Anda di halaman 1dari 2

Analisis Public-Private Partnership dalam Proyek MRT Jakarta

Berdasarkan Peraturan Presiden No.38/2015, Public-Private Partnership (PPP)


dilaksanakan untuk menstimulasi investasi, dengan memperluas sektor-sektor yang
memenuhi persyaratan dan dengan menawarkan lebih banyak insentif. PPP sendiri
dikarakteristikan dengan entitas sektor swasta yang mengumpulkan dana untuk
membangun sebuah aset yang dibutuhkan pemerintah, dan juga dengan menyediakan
sebuah fasilitas ataupun pelayanan dengan timbal balik aliran pendapatan kontraktual
dari pemerintah ataupun penggunanya. Dalam kasus ini, PPP digunakan Pemerintah
DKI Jakarta untuk membangun Mass Rapid Transit (MRT). PPP juga diteorikan
sebagai keterkaitan/sinergi yang berkelanjutan dalam pembangunan proyek MRT untuk
meningkatkan pelayanan publik, antara Pemerintah DKI Jakarta sebagai regulator,
bank/konsorsium selaku penyandang dana dimana dalam Proyek MRT Jakarta yaitu
Pemerintah Jepang yang diwakilkan dengan JICA (Japan International Cooperation
Agency), dan BUMD yaitu PT MRT Jakarta yang bertanggungjawab atas pelaksanaan
suatu proyek mulai dari desain, konstruksi, pemeliharaan dan operasional. Dimana,
dalam konstruksinya PT MRT Jakarta juga bermitra dengan 5 konsorsium yang
mengerjakan proyek MRT bawah tanah dan 5 konsorsium yang mengerjakan proyek
MRT dipermukaan tanah, yaitu Kajima-Waskita, Obayashi-Shimizu-Jaya Konstruksi-
Wijaya Karya, SMCC-HK, Taisei-PP, Tokyo-Adhi, Hazama-Murinda Iron Steel,
SMCCNK, Sunitomo-Adhi, Tekken-Hutama-Marubeni, dan Tokyo-Wika

Skema PPP dapat menguntungkan negara, karena pihak swasta dapat menyediakan
bantuan dana dalam pembangunan infrastruktur dan menjalankan operasional apabila
aset yang dijadikan objek telah selesai proses pembangunan. Masing-masing pihak juga
mendapatkan keuntungan baik secara langsung maupun tidak langsung dari kerjasama
ini. Hal ini tentunya menguntungkan pemerintah sebagai pemilik aset serta sektor
swasta itu sendiri. Dalam kasus Proyek MRT Jakarta sendiri, pada bulan Maret tahun
2005, Pemerintah Republik Indonesia mengajukan permintaan kepada Pemerintah
Jepang untuk membiayai proyek pembangunan MRT di DKI Jakarta. Sehingga
akhirnya, pada 28 November 2006 ditandatangani Loan Agreement dimana Pemerintah
Jepang memberikan pinjaman sebesar ¥1,869 Milyar. Pinjaman ini juga ditambah pada
penandatanganan Loan Agreement Tahap 2 dengan pinjaman sebesar ¥48,15 Milyar.
Berdasarkan data pada 2 Januari 2014, total nilai proyek pembangunan MRT ini sebesar
¥144 Milyar, dimana sekitar ¥120 Milyar pemerintah Indonesia dapatkan dari pinjaman
dan sisanya dari APBD DKI Jakarta. Sesuai dengan konsep keuntungan PPP,
Pemerintah DKI Jakarta menginvestasikan modalnya untuk Proyek MRT ini lebih
rendah karena sebagian besarnya didapatkan dari pinjaman modal investasi swasta,
yaitu Pemerintah Jepang. Selain itu, sesuai dengan konsep kelebihan dari PPP sendiri,
dengan adanya PPP Pemerintah DKI Jakarta dapat menciptakan pelayanan publik yang
sebelumnya belum bisa dipenuhi oleh pemerintah, pemerintah sendiri tanpa adanya PPP
dengan Jepang tidak dapat membangun MRT. Pelayanan publik baru yang sebelumnya
belum ada di DKI Jakarta. Namun dalam pengoperasiannya, Pemerintah DKI Jakarta
tidak menyerahkannya kepada swasta, melainkan pada PT MRT Jakarta, BUMD yang
dimiliki Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Selain itu, untuk ke depannya dalam pengelolaannya, PT MRT Jakarta juga tetap
membutuhkan skema PPP atau peliatan swasta dalam jangka panjangnya. Buktinya,
untuk tahun 2022 mendatang, PT MRT Jakarta sudah merencakanan untuk menjual
saham kepada publik melalui initial public offering. Dana yang didapatkan dari
penjualan saham tersebut kedepannya akan digunakan untuk pembiayaan operasional
perusahaan serta pembangunan MRT Jakarta fase berikutnya. Pendanaan dalam konsep
PPP tidak hanya digunakan untuk pembangunan, tetapi juga dalam pengelolaan dan
perkembangannya seperti Proyek MRT Jakarta.

Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai