Anda di halaman 1dari 4

Coretan Cerita

Cerpen : Aku, Corona dan Cinta kita

Karya : Auliya Miratun Sakinah (Lulu')

Matahari menyapa pagi dengan lembut, sisa embun semalam masih menitik di ujung
rimbunnya daun aglonema,  kicauan burung-burung di dalam sangkar saling bersahutan,
menambah suasana menjadi adem di pagi hari, dan bunga-bunga di taman bermekaran serempak
seolah menyambut datangnya hari baru. Dengan secawan teh panas dan sebatang rokok di
tangan, Reza menyaksikan cacing-cacing berjela-jela  mengerubuti segumpal tanah di dekat pot
bunga di bawah pohon Jambu, sambil seruput minuman kesukaannya itu, ia mulai memikirkan
untuk membersihkan halaman rumah, agar cepat ke kampus mengikuti perkuliahan dan bertemu
pacarnya.

Seperti biasa, sebelum pergi ke kampus, Reza harus memberi makan burung-burung di
dalam sangkar, serta menyiram semua bunga di taman, ia terpaksa mengambil alih pekerjaan
Mbo Mumun, asisten rumah tangga itu telah meminta izin ke ibunya untuk kembali ke kampung
halamannya, setelah anaknya jatuh sakit. Wanita paruh baya itu sudah puluhan tahun
mengabdikan dirinya pada keluarga Reza, setelah suami dan anak pertama meninggal dunia
karena terlibat kecelakaan saat pulang kerja.

Jam tangannya menunjukkan pukul 07.00 wita Reza harus bergegas ke kampus untuk
mengikuti perkuliahan, ia tak mau terlambat, sebab tugas mata kuliah terminologi medis yang
dikerjakan semalam telah tuntas dan  siap untuk diserahi pada dosennya. Tak mau terlambat, ia
pun memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi, dan memilih melewati jalan alternatif agar
tak menemui lampu merah dan polisi lalu lintas.

Setibanya di kampus, ia merasa heran sebab kampus tampak sepi, hanya seorang petugas
keamanan  di pos jaga, ia memilih meneliti satu persatu ruang kuliah, namun  tidak mendapati
satu pun mahasiswa. Telepon genggamnya berdering lamat-lamat, sedetik selepas pencet tuts
telepon, terdengar suara wanita.
 "Halo,...! Maaf, Reza, ini aku Reni, mulai hari ini hingga akhir bulan, kita kuliah daring.
Kemarin aku dapat informasi dari pegawai di kampus, bahwa  edaran dari Direktur terkait wabah
virus Corona sehingga seluruh mahasiswa harus kuliah daring. Tolong di save ya, ini nomor
baruku" Ujar temannya yang juga selaku ketua tingkat.
"Ok...! Terima kasih atas informasinya," Jawab Reza.

Reza tampak gelisah, sebab ia ingin merayakan hari ulang tahunnya dengan mengajak
wanita pujaannya bernama shandy untuk makan bersama seusai mengikuti perkuliahan terpaksa
batal, lantaran edaran dari direktur selama dua pekan harus jalani kuliah daring. Shandy yang
merupakan Pacarnya itu memang anak semata wayang dari seorang pengusaha sukses, tidak
gampang untuk diajak jalan dan nongkrong di taman kota seperti layaknya anak-anak aktivis.
Sebab, mengunjungi rumah teman atau menonton film di Bioskop pun harus ditemani oleh
bodyguard yang ditugasi khusus mengawasinya.

Reza semakin gundah setelah dalam perjalanan pulang ke rumah, mendapati mobil polisi
persis di dekat lampu merah, di mobil itu ada beberapa anggota polisi berpakaian dinas lengkap,
yang memberi himbauan kepada warga menggunakan pengeras suara untuk tidak mengunjungi
taman, atau pusat keramaian agar tidak terinfeksi virus Corona.

Reza tak mau menghubungi pacarnya melalui WhatsApp ataupun menelpon. Dia tak
ingin mengulangi kesalahan kedua kalinya. Sebab, ia pernah diancam melalui telepon setelah
pesan WhatsApp yang dikirim kepada Shandy, ternyata dibaca oleh Ayahnya Shandy hingga
berujung pada ancaman bahkan sempat diteror oleh bodyguard. "Aku tak mau mengulangi
kesalahan itu," gumam Reza.

Tak terasa seminggu telah berlalu, rasa rindunya belum bisa terobati, lantaran wabah
virus Corona menjadi penghalang, hari-hari dijalaninya dengan tetap membaca buku dan
mengikuti kuliah daring, dan membuat tugas yang diserahi oleh dosen. Jika teringat sang
pacarnya itu, ia cepat-cepat mengambil pekerjaanya dan melihat fotonya, inilah cara terbaik bagi
Reza untuk mengobati rasa rindunya, namun rasanya berbeda jika harus bertemu langsung, dan
mengajak ngobrol sambil mengudap cemilan dan menikmati minuman dingin di taman kampus,
seperti yang dijalani setiap hari seusai mengikuti perkuliahan.
Senja sudah berlalu, bola matahari berwarna jingga itu menggelincir masuk ke batas
cakrawala, beberapa gelintir bocah yang beruntung menyaksikan peristiwa ajaib itu berdecak
kagum, sementara lampu penerangan jalan di depan rumah telah dinyalakan, hawa panas mulai
surut dan jalan-jalan pun bertambah ramai, orang-orang berpenampilan layaknya tawaf di
Baitullah terlihat mengatur langkah menuju masjid, saat terdengar suara adzan saling bersahutan
antara masjid dan mushola. Reza memilih melaksanakan sholat maghrib di rumah bersama
ibunya. Sementara Ayah dan kedua adiknya memilih sholat berjamaah di masjid.

Sejak wabah virus Corona mengancam, hingga diberlakukan kuliah daring, ikut
berdampak pada aktivitas seperti biasanya yang selalu mereka jalani seusai mengikuti
perkuliahan. Sebab, kedua orang tua Shandy tidak mau anak mereka keluar rumah, agar terhindar
dari wabah virus Corona, bahkan Reza meminta kepada Ivan sahabat Reza untuk mengajak
Shandy keluar dengan alasan membuat tugas kuliah pun tidak lagi mendapat izin, hingga Reza
merasa gundah karena tidak bisa bertemu dengan pujaan hatinya.

Dengan kondisi yang semakin tak menentu, Reza terus memikirkan kekasihnya tersebut.
Saat menjelang magrib tak terasa rintik hujan membasahi rumput-rumput disekitar rumah Reza.
Suasana tersebut menambah rasa rindu dan kangen Reza pada Shandy, hingga ia mulai
menuliskan tentang cinta mereka:

Ketika kita percaya bahwa setiap negara berganti musim

Begitu juga dengan keyakinan kita terhadap Covid 19


Setiap musim memberi rasa yang berbeda untuk dikenang
Pada saat itulah kita dapat memberi harga
Untuk setiap rasa yang pernah ada

Jika kita percaya bahwa musim semi tiba setelah musim dingin
Maka bencana covid 19 pasti akan berlalu dan Bumi pulih kembali
Seperti halnya hati kita yang kadang terluka
Lalu sembuh dan bangkit untuk mewujudkan impian kita bersama

Saya percaya dengan berbagi perhatian dan dorongan


Kasih dan sayang antar sesama
Kita dapat melewati hari ini dengan senyuman
Ya, senyuman yang tak dapat dibendung oleh besarnya tembok China

Dalam waktu yang sangat singkat


Kita akan menunggu di perbatasan dan
Membuka kembali tangan untuk saling menggenggam
Hati untuk saling menguatkan
Jiwa yang rapuh kembali suci
Dalam suka dan cita serta cinta.

Puisi yang dia tulis tak mampu menahan laju air mata yang menetes dipipinya. Ia
merasakan kesedihan yang luar biasa karena semua ini mereka menjadi makin sulit untuk
ketemu, mereka terhalang untuk saling bertemu bahkan hanya untuk saling menjamu makan di
kantin kampus seperti biasanya. Keadaan ini diperparah dengan keterlibatan Ayah Reza menjadi
anggota Satgas COVID-19, jadi makin rentan.

‘Ah, inilah sebenarnya yang paling membuatku sedih di seluruh perjalanan cinta kami
yaitu hadirnya Corona yang dapat menjadikan hubungan kami bertambah jauh meski kami
tinggal dalam satu kota,’ gumam Reza dalam hati. AKu berdoa semoga kami berdua disatukan
oleh kekuatan cinta. Harap Reza!

Anda mungkin juga menyukai