Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

KEMUNDURAN DAN KERUNTUHAN BANI ABBASIAH


Tugas ini Ditulis Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah SejarahPemikirandanPeradaban Islam

Dosen Pengampu: Prof. Dr. MisriA.Mukhsin., MA

Disusun oleh

Samhudi 2020540945

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM


PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LHOKSEUMAWE
2021
KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, penulis
memanjatkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT. Karna atas rahmat, dan
hidayahnyalah penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Begitupula Shalawat
serta salam senantiasa tercurahkan kepada BagindaNabi Muhammad SAW beserta
Sahabat, keluarga dan pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.

Dalam penyusunan makalah ini penulis sedikit mengalami kesulitan dan


rintangan, namun berkat bantuan yang di berikan dari berbagai pihak, sehingga
kesulitan-kesulitan tersebut bisa teratasi dengan baik. Dengan demikian penulis
lewat lembaran ini hendak menyampaikan ucapan terimakasih yang setinggi-
tingginya kepada dosen pengampu teriring doa agar segenap bantuannya dalam
urusan penyelesaian makalah ini, sehingga bernilai ibadah disisi Allah SWT .

Akhirnya penulis menyadari bahwa makalah ini bukanlah sebuah proses


akhir dari segalanya, melainkan langkah awal yang masih memerlukan banyak
koreksi, oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan untuk penyempurnaan
makah selanjutnya. Amin.

Lhokseumawe, 05 Januari 2021

Samhudi
2020540945

DAFTAR ISI

2
KATA PENGANTAR ....................................................................................

DAFTAR ISI ...................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN .....................................................................


A. Latar Belakang Masalah........................................................
B. Rumusan Masalah..................................................................
C. Tujuan.....................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................
A. Kemunduran bani Abbasiyah................................................
B. Dinasti-dinasti kecil bani Abbasiyyah
C. Keruntuhan Pemerintahan Abbasiyyah...................................

BAB III PENUTUP..................................................................................


A. Kesimpulan............................................................................
B. Saran......................................................................................

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

3
Dalam teori evolusi bahwa segala sesuatu memiliki siklus yang selalu
berputar ada hidup dan ada mati seperti dunia yang selalu berputar terkadang
diatas dan terkadang dibawah. Begitu juga dalam sejarah negeri-negeri dan
kerajaan-kerajaan selalu berputar ada masanya pembentukan dan pembangunan,
masa keemasan dan pada akhirnya masa keruntuhan dan kehancuran. Seperti
kerajaan Babilonia, Gupta, Firaun, Bani Umayyah, bahkan kerajaan yang pernah
berjaya di Indonesia yaitu Majapahit.
Dari gambaran diatas banyaknya kerajaan yang berdiri lalu jatuh dan
hancur. Hal ini serupa dengan yang dialami oleh Bani Abbasiyah yang memiliki
sejarah panjang selama lima abad dimulai dari masa pembentukan, masa
keemasan dan sampai masa kehancuran.Bani Abbasiyah merupakan Daulah
Islamiyah yang paling besar dan mengalami masa keemasan dari perluasan
wilayahnya, tata kota dan bangunan yang indah, pemerintahan, ekonomi,
kesehatan, dan pendidikan atau keilmuan.
Penjelasan tersebut akan mengejutkan kita lantaran Bani Abbasiyah
merupakan Daulah yang hebat, luas, dan berjaya tetapi mengalami masa
keruntuhan, kehancuran dan bahkan lenyapnya Bani Abbasiyah dari muka
bumi.Maka dari itu, kami akan membahas bagaimana terjadinya keruntuhan Bani
Abbasiyah, faktor apa saja yang menjadikan Bani Abbasiyah masuk kedalam
kehancuran dan keruntuhan baik dari faktor dalam atau luar.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja yang menyebabkan kemunduran Bani Abbasiyah.
2. Apa saja yang menyebabkan kehancuran Bani Abbasiyah.

C. Tujuan penelitian
1. Untuk mengetahui sebab-sebab kemunduran Bani Abbasiyah.
2. Untuk mengetahui sebab-sebab kehancuran Bani Abbasiyah.

D. Manfaat Penelitian

Dengan adanya tujuan yang ingin dicapai didalam penelitian ini, maka

4
peneliti mengharapkan agar penelitian ini dapat bermanfaat sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

a. Untuk memperbanyak pengetahuan tentang sejarah peradaban islam di

masa kekalifahan bani Abbasiyah.

b. Menjadi kontribusi positif terhadap fakultas Syariah khususnya

konsentrasi pada jurusan al-ahwal al-syakhshiyyah.

2. Secara Praktis

a. Dapat memberikan informasi terhadap masyarakat tentang sejarah

kemunduran dan keruntuhan pemeritah bani Abbasiyah.

b. Menjadi bahan rujukan untuk peneliti selanjutnya yang meneliti

tentang sejarah kemunduran dan keruntuhan pemeritah bani

Abbasiyah.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Kemunduran Bani Abbasiyah
Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa
kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor
penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah
terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat,
benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas
terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai
kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur

5
roda pemerintahan.1Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang
menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor
tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai
berikut;
1. Faktor internal
a) Kemewahan hidup di kalangan penguasa
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang
dicapai Bani Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa
untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Setiap khalifah cenderung 
ingin lebih mewah daripada pendahulunya. Kondisi ini memberi peluang kepada
tentara profesional Turki untuk mengambil alih kendali pemerintahan.2
b) Melebihkan Bangsa Asing dari Bangsa Arab
Keluarga Abbasiyah memberikan pangkat dan jabatan negara yang
penting-penting dan tinggi-tinggi, baik sipil ataupun militer kepada bangsa Persia.
Mereka itu sebagian besar diangkat menjadi wazir, panglima tentara, wali
provinsi, hakim-hakim dan lain sebagainya. Oleh karena itu, umat Arab benci dan
amarah kepada khalifah-khalifah serta menjauhkan diri dari padanya. Kebengisan
keluarga Abbasiyah menindas dan menganiaya  keluarga Bani Umayah dan
perbuatan mereka memusuhi kaum Alawiyin, kian menambah amarah dan sakit
hati mereka.3
c) Ankara murka terhadap Bani Umayah dan Alawiyin

Keluarga Abbasiyah melakukan siasatnya dengan menindas dan


menganiaya Bani Umayah dan memusuhi kaum Alawiyin yang mengakibatkan
kerugian bagi dirinya sendiri. Mereka lupa bahwa berdirinya Bani mereka adalah
hasil kerja sama dengan keluarga Alawiyin yang tiada sedikit jasanya kepada
mereka dalam menjauhkan kekuasaan Bani Umayah. Akibat dari permusuhan

1
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975), h. 13-14.
2
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II.  (Jakarta: Raja Grapindo
Persada, 2008), h. 61.

3
A Latif Osman. Ringkasan Sejarah Islam, (Jakarta: Widjaya, 2000), hlm. 128.

6
kedua keluarga besar itu, yaitu Abbasiyah dan Alawiyin timbullah huru-hara dan
pemberontakan hampir diseluruh negeri-negeri Islam.4
d) Perebutan kekuasaan antara keluarga Bani Abbasiyah
Banyak sejarawan yang menyatakan bahwa perebutan kekuasaan antara
keluarga Bani Abbasiyah ialah ketika terjadinya perang saudara antara al-Amin
dan al-Makmun. Tetapi kalau kita cermati lebih dalam bahwa perebutan
kekuasaan antara keluarga Bani Abbasiyah adalah ketika masa khalifah Musa al-
Hadi yaitu ketika Musa al-Hadi ingin membatalkan putra mahkota yang diberikan
khlaifah al-Mahdi kepada Harun ar-Rasyid dan membai’ahkan putranya sendiri
yang bernama Jafar.Walaupun hal ini tidak kesampaian dilaksanakan oleh Musa
al-Hadi karena dia telah diburu ajalnya.5
e) Pengaruh bid’ah-bid’ah agama dan filsafat
Beberapa orang khalifah Abbasiyah seperti Al-Makmun, Al-Muktasim dan
Al-Wasiq amat terpengaruh oleh bid’ah-bid’ah agama dan pembahasan-
pembahasan filsafat. Hal ini menimbulkan bermacam-macam madzhab dan
merenggangkan persatuan umat Islam sehingga mereka terpecah belah kepada
beberapa partai golongan dan ini menjauhkan hati kaum agamawan.6
f) Konflik keagamaan
Timbulnya konflik keagamaan ini dimulai ketika terjadinya konflik antara
Khalifah Ali ibn Thalib dan Muawiyah yang berakhir lahirnya tiga kelompok
umat yaitu pengikut Muawiyah, Syi’ah dan Khawarij, ketiga kelompok ini
senantiasa berebut pengaruh. Yang senantiasa berpengaruh baik pada masa Bani
Umayah atau Abbasiyah.7 Ketika kekhalifahan Abbasiyah muncul juga kaum
zindik yang lahir pada masa Khalifah al-Mahdi, kaum ini menghalalkan yang
haram dan mencederakan adab kesopanan dan budi kemanusiaan. Oleh karena itu
al-Mahdi berusaha menindas golongan ini, sehingga untuk itu dia mendirikan

4
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II,...h. 129.

5
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II,... h. 130.

6
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan,...h. 201.

7
A Latif Osman. Ringkasan Sejarah Islam,... h. 138.

7
suatu jawatan istimewa dikepalai oleh seorang yang pangkatnya bernama
“Shahibu az-Zanadiqah”. Tugasnya adalah membasmi kaum itu serta mengikis
faham dan pengajarannya. Hal ini dilanjutkan oleh anaknya yaitu Khalifah Musa
al-Hadi.8
g) Luasnya wilayah kekuasaan Bani Abbasiyyah
Luasnya wilayah kekuasaan Bani Abbasiyyah sementara komunikasi pusat
dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di
kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.9
h) Ketergantungan dan kepercayaan khalifah kepada  wazir-nya sangat
tinggi.
Dalam hal ini kita bisa melihat beberapa khalifah yang terlalu
mempercayakan kepercayaannya terhadap wazirnya. Seperti yang dilakukan oleh
Khalifah al-Amin yang menyerahkan sekalian urusan Baninya kepada wazirnya
Fadhal ibn Rabi. Dia terkenal pandai memfitnahi dan memburukkan orang lain.
Dia pula yang menghasut Harun ar-Rasyid untuk menggulingkan keluarga
Barmak dan dia juga yang memutusan tali silaturrahim antara adik dan kakak,
yaitu antara al-Amin dan al-Makmun yang mengakibatkan meletusnya perang dua
saudara dengan tewasnya al-Amin dan naiknya al-Makmun kesinggasana
Khalifah.
2. Faktor eksternal
a) Banyaknya pemberontakan
Banyaknya daerah yang tidak dikuasai oleh khalifah dengan memberikan
atau memilih gubernur  dari orang yang telah berjasa kepada khalifah sebagai
hadiah dan penghormatan untuknya.Ditambah dengan kebijakan yang lebih
menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam.10 Akibatnya
provonsi-provinsi yang diberikan khalifah kepada gubernur-gubernur  banyak
yang ingin melepaskan diri dari genggaman khalifah Abbasiyah. Adapun cara
provinsi-provinsi tersebut melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad adalah;
8
A Latif Osman. Ringkasan Sejarah Islam, h. 113-115

9
A Latif Osman. Ringkasan Sejarah Islam,... h. 120.

10
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II..., h.61.

8
Pertama, seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil
memperoleh kemerdekaan penuh, seperti Bani Umayah di Spanyol dan Idrisiyah
di Maroko; Kedua, seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah,
kedudukannya semakin bertambah kuat, kemudian melepaskan diri, seperti Bani
Aghlabiyah di Tunisia dan Thahiriyah di Kurasan.
b) Bencana Bangsa Turki
Amat besar bahaya umat Turki atas Bani Abbasiyah. Beberapa khalifah
menjadi korban mereka. Tiang tua dan segala persediaan rusak binasa olehnya.
Kekacauan timbul dimana-mana, sedang khalifah sendiri menjadi permainan
dalam tangan panglima-panglima Turki. Perselisihan antara tentara dan rakyat
sering terjadi. Permusuhan diantara panglima-panglima Turki itu sendiri kian
menambah buruk dan keruh suasana Bani Abbasiyah.Kelemahan pemerintah
pusat di Baghdad itu menjadi peluang bagi kepala-kepala pemerintahan wilayah
untuk melakukan siasatnya. Mereka berusaha memutuskan perhubungan dengan
khalifah lalu mendirikan kerajaan sendiri-sendiri dalam daerah mereka. Dengan
demikian terurailah buhul tali persatuan Bani Abbasiyah dan berdirilah kerajaan
kecil-kecil dalam pekarangan Bani itu senndiri.
c) Dominasi Bangsa Persia
Pada awal pemerintahan Bani Abbasiyah, keturunan Parsi bekerjasama
dalam mengelola pemerintahan dan Bani Abbasiyah yang mengalami kemajuan
yang cukup pesat dalam berbagai bidang. Pada periode kedua, saat kekhalifahan
Bani Abbasiyah sedang mengadakan pergantian khalifah, yaitu dari khalifah
Muttaqi kepada khlaifah Muth’ie. Banu Buyah berhasil merebut kekuasaan.
Pada mulanya mereka berkhidmat kepada pembesar-pembesar dari pada
khalifah, sehingga banyak dari mereka yang menjadi panglima tentara,
diantaranya menjadi panglima besar. Setelah mereka memiliki kedudukan yang
kuat, para khalifah Abbasiyah berada di bawah telunjuk mereka dan seluruh
pemerintahan berada di tangan mereka. Khalifah Abbasiyah hanya tinggal
namanya saja, hanya disebut dalam doa-doa di atas mimbar, bertanda tangan di

9
dalam peraturan dan pengumuman resmi dan nama mereka ditulis atas mata uang,
dinar dan dirham.11

B. Dinasti Dinasti Kecil Bani Abbasiyah

1. Dinasti Idrisiyah di Maroko (172 H-375 H / 788 M-985 M)


Telah kita ketahui bahwa kesuksesan yang diraih oleh Bani Abbasiyah
dalam menumbangkan kekuasaan Bani Umayyah tidak lepas dari dukungan dan
bantuan beberapa kelompok yang memiliki andil besar seperti keluarga alawiyun
dan kelompok Syi’ah. Mereka beranggapan bahwa jika Abbasiyah telah berkuasa,
mereka akan mendapatkan haknya yang selama ini hilang dan dirampas Umayyah.
Tetapi, ketika usaha penggulingan itu berhasil apa yang mereka inginkan itu tidak
kunjung tiba, tampaknya mereka merasa dikhianati oleh Bani Abbasiyah. Hal
inilah yang menyebabkan mereka akhirnya menempatkan diri sebagai kelompok
oposan dan membuat kekuasaan tersendiri yang terlepas dari Bani Abbasiyah.12
Karena kekecewaan itulah lalu kelompok alawiyun bangkit
mempropaganda dengan slogan al-ridla min ali al-baitdan melakukan
pemberontakan oleh dua orang bersaudara dari keturunan Ali Bin Abi Thalib,
yaitu Muhammad (al-Nafs al-Zakiyyah) dan Ibrahim, yang mana keduanya adalah
putra Abdullah Ibnu Hasan Ibnu Ali. Akan tetapi, pemberontakan mereka dapat
dilumpuhkan oleh penguasa, dikarenakan pasukan penguasa Abbasiyah masih
sangat kuat.Pada tahun 144 H Muhammad terbunuh di Madinah dan setahun
kemudian yakni pada tahun 145 H Ibrahim juga terbunuh di daerah antara Kufah
dan Wasith.

Ketika kekhalifahan di tangan al-Hadi, kelompok Alawiyun kembali


melakukan pemberontakan terhadap Bani Abbasiyah di Fakh (kota kecil antara
Mekkah dan Madinah) yang dipimpin oleh Al-Husain Ibnu Ali Ibnu Al-Hasan
yang dikenal dengan peristiwa mauqi’ fakh. Dalam pertempuran ini kelompok
Alawiyun gagal, dan mengakibatkan Al-Hasan gugur bersama sejumlah keluarga
Alawiyun yang lain. Terdapat dua orang yang berhasil meloloskan diri dari
keluarga Alawiyun, yaitu Idris ibnu Abdillah dan saudaranya, Yahya ibnu
Abdillah.Idris melarikan diri ke daerah barat yaitu Maroko (Afrika Utara) melalui
Mesir hingga Maghrib al-Aqsha, dan Idris inilah yang kemudian dikenal sebagai
perintis berdirinya Dinasti Idrisiyah.Dari sini dapat diketahui bahwa Dinasti
Idrisiyah merupakan salah satu dinasti yang muncul di saat posisi kekhalifahan
Abbasiyah masih kuat.

11
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan,...h. 139.
12
Jurji Zaidan, History of Islamic Civilization (New Delhi: Kitab Bhavan, 1978), h. 240

10
Wilayah kekuasaan Dinasti Idrisiyah adalah Maghribi (Maroko).13Dinasti
ini adalah dinasti pertama yang beraliran syiah. Sultan Idrisiyah yang terbesar
adalah Yahya IV (905 M–922 M).Dalam perkembangannya dinasti ini sempat
mengukir peradaban yang maju di masanya.Idris ibnu Abdullah memilih Maroko
sebagai basis kekuatannya dengan beberapa alasan.Pertama, Bangsa Barbar di
Maroko menerima kehadirannya dengan tangan terbuka.Kedua, Maroko cukup
kondusif untuk mendirikan kekuasaan yang otonom. Kemajuan yang Dicapai
Pemerintahan Idrisiyah mampu mengembangkan pemerintahannya dengan bagus
ketika Dinasti ini dibawah pimpin Idris II hingga Yahya IV.Orang-orang Barbar
direkrut untuk mendukung pemerintahan mereka. Idris kemudian menjadikan kota
Fez sebagai ibukota pemerintahan pada tahun 808 M. Bahkan, Fez mampu
menjadi kota terkenal di Afrika hingga Spanyol. Dinasti Idrisiyah berperan dalam
menyebarkan budaya dan agama Islam ke Bangsa Barbar dan penduduk asli. Dan
peradaban luar biasa yang diukir oleh dinasti ini adalah pendirian Universitas
Qarawiyyun yang megah dan terkenal.14

Kemunduran dan Kehancuran


Kemunduran dan kehancuran Dinasti Idrisiyah terjadi ketika dinasti ini
dipimpinoleh Muhammad al-Muntashir, beberapa wilayah kekuasaan dinasti ini
mengalami perpecahan sehingga sangat rentan akan serangan dari luar. Selain itu
juga terdapat ancaman serius yang datang dari kelompok khawarij Rustamiyah
yang berkuasa di Aljazair bagian barat meskipun pada akhirnya dapat dikalahkan.
Dan bahaya yang lain adalah ancaman dari dinasti baru yang lebih besar yaitu
Dinasti Fathimiyah. Akhirnya pada tahun 985 M Dinasti Fathimiyah berhasil
mengambil alih kekuasaan akibat semakin melemahnya kekuatan dinasti Idrisiyah

2. Dinasti Aghlabiyah (184 H-296 H / 800 M-908 M)


Sejarah Pembentukan Dinasti Aghlabiyah merupakan sebuah dinasti yang
pusat pemerintahannya berada di Qairawan, Tunisia. Nama dinasti ini dinisbatkan
dari nama Ibrahim ibn alAghlab, seorang Khurasan yang menjadi perwira dalam
barisan tentara Abbasiyah pada masa pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid15.
Pada masa pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid tersebut di daerah bagian barat
Afrika Utara muncul dua kekuatan yang mengancam stabilitas kekhalifahan
Abbasiyah. Kekuatan tersebut adalah Dinasti Idrisiyah yang beraliran Syiah dan
kelompok Khawarij. Dalam rangka mempertahankan pemerintahan Abbasiyah
itulah kemudian Harun al-Rasyid mengirimkan bala tentaranya ke Ifriqiyah
(sekarang Tunisia) di bawah pimpinan Ibrahim ibn al-Aghlab dan berhasil
menumpas kelompok Khawarij. Dengan keberhasilan yang dicapai itulah, Ibrahim
13
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2009), h. 275
14
Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Teras, 2011), h. 158
15
Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Teras, 2011), h. 158

11
mengusulkan kepada khalifah agar wilayah Ifriqiyah tersebut dihadiahkan
kepadanya dan keturunannya secara permanen. Usulan Ibrahim itu kemudian
disetujui khalifah dan secara resmi ia diangkat sebagai gubernur di Tunis pada
tahun 800 M serta diberi hak otonomi secara luas, dan sebagai imbalannya dia
harus membayar upeti tahunan sebesar 40.000 dinar kepada khalifah di Baghdad.16
Dalam perjalanan selanjutnya, hubungan Ibrahim semakin baik dengan
khalifah Abbasiyah.Setelah satu tahun menjadi amir, khalifah kemudian
memberikan hak otonomi penuh kepada Ibrahim untuk mengatur wilayahnya dan
menentukan kebijakan politiknya, termasuk menentukan penggantinya tanpa
campur tangan sedikitpun dari khalifah walaupun secara formal masih tetap
mengakui kekhalifahan Baghdad.17 Dengan demikian Ibrahim ibnu al-Aghlab
membina wilayah ini dengan keturunannya, yang kemudian dikenal dengan
Dinasti Aghlabiyah.

Kemajuan yang Dicapai


Sosok Ibrahim I adalah sosok panglima militer Abbasiyah yang gagah
perkasa. Penguasa Dinasti Aghlabiyah ini mulai dari Ibrahim I dan para
penggantinya mampu menumpas beberapa pemberontakan yang bermunculan,
antara lain pemberontakanHamdis (805 M), Zaid ibn Sahal (822M), Mansur ibn
Nashir Tanbizi (823 M), dan lainlain. Kesuksesanpara penguasa dalam menumpas
para pemberontak menunjukkanbahwa Dinasti Aghlab merupakan dinasti yang
dibangun atas kekuatan yang mampumemelihara stabilitas politik pemerintahan
secara baik.Terdapat beberapa kemajuan yang dicapai Dinasti Aghlabiyah yang
mampumemberikan kontribusi kepada peradaban Islam. Kemajuan tersebut
meliputi:
a) Kemajuan di bidang Politik
Salah satu kemajuan Dinasti Aghlabiyah yang terkenal adalah kemajuan
danketangguhan militernya.Armada laut dinasti ini mampu menjelajah pulau-
pulau di laut tengah dan pantai-pantai Eropa. Dinasti yang semula hanya memilki
wilayahkegubernuran telah mencuat kekuasaannya hingga ke Eropa, Sisilia,
pulau-pulauyang berdekatan dengan Tunisia, kota-kota Pantai Italia dan kota
Roma serta PantaiYugoslavia. Kesuksesan yang diraih dinasti ini dalam
menaklukkan berbagaiwilayah tersebut, di antaranya adalah semangat
egalitarianisme, dengan tidakmembeda-bedakan antara orang Arab dengan orang
Barbar.18
Di samping itu juga yang tidak kalah pentingnya adalah semangat jihadnya
untuk mengembangkan Islam.Hal ini terbukti dengan adanya kebijakan
16
W. Montgomery Watt. Kejayaan Islam Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis,terj. Hartono
Hadikusumo, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990), h. 109
17
Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Teras, 2011), h. 160
18
Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Teras, 2011), h. 161

12
Ziadatullah Iyang menunjuk seorang faqih mazhab Maliki yang juga penyusun
kitab Asadiyat,sebagai komandan perang.Ulama besar yang berpengaruh ini
kemudianmengumandangkan jihad melawan orang-orang kafir.Semangat pasukan
Islam dalamjihad ini sangatlah tinggi dikarenakan pimpinan mereka adalah orang
yang alimdalam beragama.
b) Kemajuan di bidang Kebudayaan
Kesetabilan bidang ekonomi dan iklim politik yang kondusif
menyebabkandinasti Aghlabiyah mampu membangun beberapa kota menjadi kota
yang megah, di antaranya adalah kota Tunisia dan Sisilia, selain itu guna
mengimbangi masjid-masjid di timur dibangunlah masjid Qairawan yang megah.
Pada masa pemerintahan Ziadatullah dibangun 10.000 benteng pertahanan di
Afrika Utara dengan konstruksi dan arsitektur yang megah pula. Kota Sisilia yang
dikuasai Dinasti Aghlabiyah ini merupakan wilayah transformasi ilmu dan
kebudayaan Arab dan Islam ke wilayah Eropa lewat jalur tengah.

c) Kemajuan di bidang Ilmu Pengetahuan


Dinasti Aghlabiyah juga mengalami kemajuan di bidang ilmu pengetahuan.
Hal ini dibuktikan dengan keberadaan kota Qairawan, sebagai pusat penting bagi
perkembangan mazhab Maliki yang menggantikan kota Madinah.19 Di kota ini
pula lahir sejumlah intelektual Islam terkemuka mazhab Maliki, di antaranya
adalah Sahnun pengarang kitab Mudawwanat, Yusuf ibnu Yahya, Abu Zakaria al-
Kinani dan Isa ibnu Muslim. Karya-karya mereka tentang mazhab Maliki
tersimpan dengan baik di masjid Qairawan. Meskipun dinasti ini bukan termasuk
dinasti yang besar, akan tetapi kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan agama
serta kontribusinya terhadap peradaban Islam tampak nyata.

c) Kemajuan di bidang Perekonomian


Di bidang ekonomi, pemerintahan Dinasti Aghlabiyah mendapatkan
pemasukan dari beberapa sektor, yaitu sektor pertanian, perdagangan, dan
industri.Dinasti ini membangun bendungan untuk irigasi, dan juga
mengembangkan perkebunan anggur dan kurma.Sementara itu untuk memajukan
bidang perdagangan, dibangunlah jalan-jalan dan angkutan serta lalu lintas
perdagangan. Untuk mengembangkan sektor industri, Bani Aghlabiyah
mendirikan manufaktur alat-alat pertanian, pengolahan emas, perak, dan lain-
lain.Kemajuan ekonomi ini menjadikan pemerintahan Dinasti Aghlabiyah dengan
segenap penduduknya hidup dengan relatif makmur.

Kemunduran dan Kehancuran


Setelah Bani Aghlabiyah berkuasa selama satu setengah abad, badai
kehancuran mulai mengancam, lambat laun dinasti ini mengalami tangga
19
Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Teras, 2011), h. 162

13
penurunan tepatnya pada abad ke-IX.Kemunduran ini terjadi di bidang politik,
yang disebabkan oleh gencarnya propaganda orang-orang Syi’ah yang dimotori
Abu Abdullah al-Syi’i atas perintah Ubaidillah al-Mahdi, pendiri dinasti
Fathimiyah. Kuatnya pasukan yang dibentuk kelompok Syi’ah dari sekte
Ismailiah ini kemudian mampu menggulingkan Dinasti Aghlabiyah pada tahun
909 M, yang pada saat itu diperintah oleh Ziadatullah II, dan sekaligus menandai
berdirinya dinasti baru dan terkenal bernama Dinasti Fathimiah. Artinya, Dinasti
Aghlabiyah juga berakhir di tangan Dinasti Fathimiyah.20

3. Dinasti Thuluniyah di Mesir (254 H-292 H / 868 M-967 M)


Awal berdirinya dinasti ini tidak bisa dilepaskan dari seorang tawanan
perangm Turki yang kemudian dijadikan sebagai pengawal istana al-Musta’in,
namanya Bayakbek.Pada saat terjadi penggulingan kekuasaan yang dilakukan
oleh al-Mu’tazz,Bayakbek memilih bergabung dengan al-Mu’tazz dan
meninggalkan al-Musta’in.Setelah penggulingan berhasil, ternyata al-Mu’tazz
memberikan jabatan penting bagi mereka yang telah berjasa dalam penggulingan
tersebut. Bayakbek adalah salah satu orang yang berjasa, sehingga ia menerima
jabatan penting tersebut yakni menjadi gubernur Mesir. Oleh Bayakbek jabatan itu
tidak dipegangnya tetapi diberikan kepada anaknya Ibnu Thulun, yang kemudian
ia mendirikan Dinasti Thuluniyah pada abad IX M.
Pada tahun 254 H Ibnu Thulun21secara resmi diangkat sebagai gubernur
Mesir. Selanjutnya, Ibnu Thulun melepaskan diri dari kekhalifahan Bani
Abbasiyah. Bahkan, ia mampu menaklukkan Damaskus, Homs, Hamat, Aleppo,
dan Antiokia. Karena itu ia kemudian tidak hanya menjadikan Mesir sebagai suatu
wilayah yang merdeka, akan tetapi juga berkuasa atas wilayah Syam. Ia lalu
membangun armada laut tangguh yang berpangkalan di Akka (Acre) sebagai
upaya pengontrolan dan pengawasan wilayah-wilayah kekuasaannya.

Kemajuan yang Dicapai


Dinasti Thulun mencatat berbagai prestasi, antara lain sebagai berikut:
a) Mendirikan bangunan-bangunan megah, seperti rumah sakit Fustat, masjid
Ibnu Thulun, dan istana khalifah yang kemudian dijadikan sebagai
peninggalan sejarah Islam yang sangat bernilai.
b) Memperbaiki nilometer (alat pengukur air) di pulau Raufah yang sangat
membantu dalam meningkatkan hasil produksi pertanian rakyat Mesir.

20
Badri Yatim, Sejarah Kebudayaan Sejarah Kebudayaan Islam II (Jakarta: Ditjen Binbaga
Islam,1996),h. 434., lihat pula Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Teras, 2011), h.
164
21
Ibn Taghri-Birdi, al-Nujum Al-Zahirah Fi Mulk Mishr Wa Al-Qahirah (Jilid. II; Leiden: 1855) h.
1, Taufik Abdullah, Ensiklopedi Dunia Islam (Jilid. II; Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, T.t)
h. 108

14
c) Berhasil membawa Mesir pada kemajuan, sehingga Mesir menjadi pusat
kebudayaan Islam yang dikunjungi para ilmuwan dari seluruh pelosok
dunia Islam.

Kemunduran dan Kehancuran


Dinasti Thulun adalah sebuah dinasti Islam yang masa pemerintahannya
paling cepat berakhir.22Sepeninggal Khumarawaih, situasi memanas yaitu setelah
Abu Asakir al-Jaisy menggantikan ayahnya yang disebabkan oleh peristiwa
pembunuhannya terhadap pamannya yaitu Mudhar ibnu Ahmad ibnu Thulun.Hal
inilah yang memicu gencarnya perlawanan antara pihaknya dengan para fuqaha
dan qadhi yang pada akhirnya ke-amir-an Jaisy dibatalkan. Lalu diangkatlah Abu
Musa Harun sebagai amir yang baru dalam usia 14 tahun. Tampaknya dengan usia
yang relatif belia ini menyebabkan Harun kurang cakap dalam mengendalikan
suasana yang semakin kacau itu. Sementara itu di Syam sendiri, pemberontakan
yang dilakukan oleh Qaramithah juga tidak berhasil dipadamkan. Segera setelah
Harun kalah, kepemimpinannya diambil alih ke tangan khalifah Syaiban bin
Thulun. Namun semakin rapuhnya pertahanan Dinasti Thuluniyahakhirnya dinasti
ini mengakhiri masa pemerintahannya diusia 38 tahun sejak kemunculannya dan
berakhir ketika dikalahkan oleh pasukan Dinasti Abbasiyah di era khalifah al-
Muktafi.

4. Dinasti Ikhsidiyah (323 H- 357 H / 934 M-967 M)

Sejarah Pembentukan Tidak berselang lama setelah berakhirnya Dinasti


Thuluniyah, muncul lagi dinasti baru di Mesir yang masih keturunan
Fraghanahdengan nama Dinasti Ikhsidiyah yang berpusat di Fustat. 23 Dinasti ini
lahir diawali dengan pengangkatan seorang gubernur yang memiliki kekuasaan
dan hak otonom penuh yang kemudian dikelola bersama keluarga dan
keturunannya. Pendiri dinasti ini adalah seorang militer Turki yang telah lama
mengabdi kepada khalifah Abbasiyah yang bernama Muhammad ibnu Tughji. 24
Karena keberhasilannya meredam pemberontakan yang dilakukan oleh Dinasti
Fathimiyah di Mesir,maka ia dianugerahi gelar al-Ikhsyid. Berkat keberhasilannya
tersebut, khalifah menjadi simpati kepadanya.Bahkan karena kecakapannya, ada
salah seorang pangeran Romawi yang bernama Romanus, menyatakan rasa kagum
dan hormat kepadanya. Kemajuan yang Dicapai Setelah Dinasti Ikhsidiyah berdiri
dan mengalami perkembangan, al-Ikhsyid meninggal dunia.Kemudian
kepemimpinan beralih kepada anaknya yang bernama Unujur dan Ali.Kedua
22
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2009), h. 276
23
Ibn Sa’id, Al-Mughrib Fi Hula Al-Maghrib, (Leiden: 1899) h. 5
24
Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Teras, 2011), h. 167

15
pengganti al-Ikhsyid ini masih anak-anak, sehingga pemerintahan dinasti ini
diserahkan kepada Abu al-Misk Kafur.Di masa pemerintahan Kafur inilah Dinasti
Ikhsidiyah mencapai kegemilangan. Salah satu kehebatan Kafur adalah ia dapat
memadamkan pemberontakan Dinasti Fathimiyah di sepanjang pantai utaraAfrika.
Bukan hanya itu saja, serangan dari Dinasti Hamdaniyah di Suriah Utara juga
dapat dipadamkan.Kegemilangan Dinasti Ikhsidiyah lebih tampak pada kekuatan
militernya.Wilayah-wilayah yang pernah ditaklukkan oleh Dinasti Ikhsidiyah
adalah Syam, Palestina, Makkah, dan Madinah. Kafur juga membangun istana
yang terkenal dengan sebutan Bustan al-Kafur di Raudah. 25 Dan pada saat
kekuasaan dinasti ini pula muncul beberapa intelektual Muslim ternama antara
lain Abu Ishak al-Marwazi, Hasan ibnu Rasyid al-Misri, Muhammad ibnu Walid
al-Tamimi, dan al-Mutanabbi. Kemunduran dan Kehancuran Seperti raja-raja
lainnya, penguasa Ikhsidiyah terutama sebagai pendiri dinasti, menghabiskan
uang negara dengan boros dan berlebihan demi kesenangan orang-orang
dekatnya.Diceritakan bahwa jatah harian untuk dapur Muhammad mencakup
seratus ekor domba, limaratus unggas, seribu burung dara dan seratus guci gula-
gula.Ketika diungkapkan secara puitis kepada Kafur bahwa gempa bumi yang
sering terjadi pada masa itu adalah disebabkan tarian hura-hura yang dilakukan
bangsa Mesir, orang Abisinia yang yang berbangga hati menghadiahkan uang
seribu Dinar kepada penyair yang “Ahli Seismograf” itu.

Tanda-tanda kemunduran Dinasti Ikhsidiyah dimulai setelah Kafur


meninggal dunia.Sepeninggal Kafur kekhalifahan digantikan oleh Ahmad, cucu
Muhammad ibnu Tughji.Di zaman Ahmad, Ikhsidiyah mengalami fase
kemunduran dan kehancuran.Selama periode kekuasaannya, dinasti Ikhsidiah
tidak memberikan kontribusi apapun bagi kehidupan seni dan sastra di Mesir
maupun Suriah.Selain itu, tidak ada karya-karya publik yang lahir dari tangan
mereka. Refresentasi terakhir dinasti ini adalah seorang anak lelaki berusia sebelas
tahun, Abu Al-Fawaris Ahmad, pada masanya propaganda Syi’ah Fathimiyah
dilakukan secara gencar oleh Jauhar al-Saqily Qa’id al-Muiz Lidnillah al-Fatimi
yang berhasil mempengaruhi masyarakat Mesir, sehingga pada tahun 969
kehilangan kekuasaan atas negerinya dan menyerah kepada jendral tenar dari
dinasti Fatimiyah, Jawhar.26Sehingga pada akhirnya dinasti ini resmi telah jatuh ke
tangan Dinasti Fathimiyah pada tahun 358 H.

5. Dinasti Hamdaniyah (317 H – 399 H / 929 M – 1009 M)

Sejarah Pembentukan Ke wilayah utara, Ikhsidiyah Mesir memiliki


pesaing kuat yaitu dinasti Hamdaniyah yang Syiah.Dinasti itu didirikan pertama

25
Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Teras, 2011), h.168
26
K. Hitti, Philip. History of Arabs (terj). Jakarta: (Serambi Ilmu Semesta. 2006). h.57

16
kali di Mesopotamia utara dengan Mosul sebagai ibu kotanya (929-991), mereka
merupakan keturunan Hamdan Ibnu Hamdun dari suku Taghlib.27 Gerakan
keluarga Hamdani ini sebenarnya sudah ada pada masa khalifah al-Mu’tadhid,
yang waktu itu tampil dengan aksi menentang khalifah Abbasiyah. Gerakan ini
gagal dan akibatnya beberapa anggota keluarganya ditangkap.Namun akhirnya
khalifah Abbasiyah membebaskan mereka, setelah al-Husain ibnu Hamdan
menangkap tokoh khawarij Harun al-Syari. Ketika bani Abbasiyah diperintah
khalifah al-Muqtadir, nasib keluarga Hamdani mengalami perubahan, keluarga ini
banyak memperoleh penghargaan dari khalifah, diantaranya adalah Abu alHaija’
Abdullah ibnu Hamdan dijadikan gubernur Mousul (Irak) pada tahun 292 H,
sedangkan Sa’id pada tahun 312 H juga diangkat menjadi gubernur Nahawand.

Kemudian dua putera dari Abu al-Haija’ menjadi penguasa Dinasti


Hamdaniyah. Kedua putranya tersebut adalah Muhammad al-Hasan ibnu
Abdullah yang bergelar Nashir al-Daulat dan Abu al-Mahasin ibnu Abdullah yang
bergelar Saif al-Daulat.Nashir al-Daulat diangkat sebagai pengganti ayahnya, di
tangannya inilah keluarga Hamdaniyah memiliki kekuasaan otonom di Mousul.
Sedangkan, Saif al-Daulat berkuasa di Aleppo (Suriah), dan ia dikenal sebagai
pendiri Dinasti Hamdaniyah di wilayah Aleppo. Hal ini berarti, Dinasti
Hamdaniyah memiliki perbedaan dengan dinasti kecil yang lain, kalau dinasti
kecil lain hanya berpusat pada satu tempat, tetapi pemerintahan Dinasti
Hamdaniyah berpusat pada dua tempat, yaitu cabang Mousul dan cabang Aleppo.
Meskipun Aleppo merupakan bawahan Mousul, namun pada kenyataannya sering
terlihat kedinastian Aleppo lebih mendominasi, lebih kuat, dan tidak bergantung
kepada Mousul.

Kemajuan yang Dicapai


Prestasi gemilang yang telah diukir oleh Dinasti Hamdaniyah lebih tampak
pada wilayah politiknya.Dinasti ini mampu memainkan peran penting sebagai
pagar betis untuk mempertahankan kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang ketika itu
berada pada tahap kemunduran.Bahkan, Dinasti Hamdani ini sebagai suatu
kekuatan, yang mampu menahan pasukan Romawi untuk merebut seluruh wilayah
Suriah.Pasukan Hamdani cukup kuat dalam mempertahankan wilayah Islam.
Disamping bidang tersebut Dinasti Hamdaniyah jugamenaruh perhatiannya yang
cukup besar terhadap dunia intelektual. Hal ini terbukti di masa dinasti ini muncul
sejumlah nama-nama intelektual Muslim, yakni al-Farabi, al-Isfahani, dan
alFiras.Meskipun dinasti ini bukanlah dinasti yang besar, tetapi pencapaiannya
jelas nampak.
Kemunduran dan Kehancuran

Taufik Abdullah, Ensiklopedi Dunia Islam (Jilid. II; Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, T.t) h.
27

120lihatAt-Thabari, jilid.III, h. 2141

17
Meninggalnya Saif al-Daulat pada tahun 976 M, menyebabkab
kepemimpinannyaberalih kepada putranya yaitu Sa’ad al-Daulat Syarif I yang
kemudian secara berturut-turut dipegang oleh Sa’d Daulat Sa’d, Ali II, Syarif II.
Berbeda dengan Saif al-Daulat, para penggantinya ini kurang memiliki kecakapan
dalam memimpin, terutama dalam mengimbangi kekuatan-kekuatan asing yang
besar waktu itu yaitu Bani Buwaihi, Romawi, dan Fathimiyah.Akhirnya, pada
tahun 1004 Mdinasti Hamdaniyah berhasil dikuasai oleh Dinasti Fathimiyah.

Syaif Al-Daulah mencapai kemasyurannya dalam sejarah Arab terutama


karena perhatian dan sokongannya yang besar dalam bidang pendidikan dan
dalam skala yang lebih kecil, karena aksinya membangkitkan kembali semangat
perlawanan terhadap musuh-musuh Islam dari kalangan Kristen setelah sekian
lama tidak dilakukan oleh para penguasa muslim. Setelah memapankan posisinya
di Suriyah Utara, pedang dinasti Hamdaniyah dimulai pada tahun 947 mulai
mengadakan serangan reguler setiap tahun ke Asia Kecil, hingga saat kematiannya
dua puluh tahun kemudian, tidak satu tahunpun terlewatkan tanpa peperangan
melawan Yunani. Awalnya keberuntungan berpihak pada Sayf. Dia berhasil
merebut Mar’asy diantara kota-kota perbatasan lainnya.Tetapi kepemimpinan
cemerlang Nicephorus Phocas dan Jhon Tzimisces, yang keduanya kelak menjadi
Kaisar, berhasil menyelamatkan Bizantium.Pada tahun 961 Nicephorus berhasil
merebut Aleppo, kecuali benteng pertahanannya. Di kota itu ia membunuh tak
kurang dari sepuluh ribu pemuda, membinasakan seluruh tawanan dan
menghancurkan istana Sayf Al-Dawlah. Pada awal masa kekuasaan Kaisar itu,
dua belas ribu orang Banu Habib dari keturunan Nashibin, sepupu-sepupu
Hamdaniyah pergi meninggalkan pemukimannya karena beban pajak yang terlalu
tinggi, lantas memeluk agama Kristen dan bergabung dengan bangsa Bizantium
menyerang kawasan muslim.

5. Dinasti Thahiriyah (200 H-259 H / 820 M-872 M)

Sejarah Pembentukan Pendiri Dinasti Thahiriyah adalah Thahir ibnu al-


Husain(776 s.d 822 M).28 Wilayah kekuasaannya di sekitar Khurasan, termasuk
Transoxania, dengan ibukota di Merv.Sejarah pendiriannya tidak bisa dilepaskan
dari peristiwa perselisihan antara alAmin dan al-Makmun, keduanya adalah putra
Harun al-Rasyid.Dalam perselisihan tersebut, Thahir yang dikenal sebagai ahli
perang, berada di pihak al-Makmun.Ketika peperangan melawan al-Amin ini
pasukan yang dipimpin oleh Thahir mengalami kemenangan, sehingga al-
Makmun dikukuhkan menjadi khalifah Abbasiyah. Dengan kemenangan tersebut
Thahir mendapat jabatan menjadi gubernur di kawasan timur Baghdad.Jabatan ini
dipegangnya selama dua tahun.Pada tahun 207 H Thahir meninggal dengan tiba-

28
Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Teras, 2011), h.172

18
tiba karena penyakit demam yang dideritanya. Ada pula yang menyebutkan bahwa
ia meninggal karena keracunan. Sebelum meninggal, ia sudah mulai menghapus
nama al-Makmun (khalifah) dalam khutbah-khutbah jumat, ini berarti bahwa
kekuasaan Thahir ini lepas dari Abbasiyah, walaupun kenyataannya tidak
melepaskan diri secara total. Kepemimpinan Thahir kemudian digantikan oleh
puteranya yang bernama Thalhah bin Thahir (w.213H/828 M). Thalhah berupaya
meningkatkan hubungan kerja sama dengan pemerintahan pusat. Ini artinya
bahwa Dinasti Thahiriyah pada realitasnya masih memiliki hubungan baik dengan
pemerintahan pusat Bani Abbasiyah. Pengganti Thalhah adalah Abdullah bin
Thahir, ia adalah saudara Thalhah sendiri. Pengangkatan khalifah yang ketiga
kalinya ini menunjukkan betapa kuatnya dominasi keluarga Thahir dalam
pemerintahan, sehingga kekuasaannya diserahkan secara turun-temurun.

Kemajuan yang Dicapai


Kemajuan Dinasti Thahiriyah terjadi pada masa kepemimpinan Abdullah
ibnu Thahir, yaitu khalifah ketiga dinasti ini.Ia adalah penguasa yang memiliki
pengaruh yang besar. Pengaruh besar itu tampak pada upaya-upaya yang
dilakukannya, antara lain meningkatkan kerja sama dengan pemerintahan pusat
Dinasti Abbasiyah, terutama dalam kaitannya dengan upaya meredam para
pemberontak, juga melaksanakan perjanjian dengan baik, memberikan hak-hak
Bani Abbas sebagai keluarga penguasa, memperbaiki keadaan perekonomian,
memantapkan keamanan, dan meningkatkan perhatian pada bidang ilmu
pengetahuan dan akhlak. Abdullah ibnu Thahir juga berhasil menjadikan kota
Nishapur menjadi pusat peradaban Islam yang patut diperhitungkan.
Kemunduran dan Kehancuran
Pasca pemerintahan Abdullah ibnu Thahir, kekuasaan Dinasti Thahiriyah
mulai mengalami penurunan. Pada saat pemerintahan dipegang oleh Muhammad
bin Jabir, wilayah Khurasan mengalami kemunduran yang nampak jelas, dan
bersamaan itu pula muncul sebuah kekuatan baru dari Dinasti Shaffar di wilayah
Sijistan, dan selanjutnya wilayah Khurasan pun dapat dikuasai oleh Dinasti
Shaffariyah. Dan dengan jatuhnya kekuasaan Thahiriyah yang ada di Wilayah
Khurasan ini maka berakhir pula pemerintahan Dinasti Thahiriyah.29

C. Kehancuran Bani Abbasiyah


1. Faktor dari dalam
a) Lemahnya semangat patriotisme negara
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan
orang-orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua

29
Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Teras, 2011), h.177

19
golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas.
Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan
persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab Bani Abbasiyah memilih
orang-orang Persia daripada orang-orang Arab yaitu; pertama, sulit bagi orang-
orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan
warga kelas satu; kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya
ashabiyah (kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di
atas ashabiyah tradisional.30
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka
menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara
itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah
darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab (‘ajam).
Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama sangat
luas, meliputi berbagai bangsa
seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Mereka disatukan
dengan bangsa Semit kecuali Islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran yang
merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat. Akibatnya,
disamping fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang
melahirkan gerakan syu’ubiyah.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh
penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru.
Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Mereka
diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Oleh Bani Abbas, mereka dianggap
sebagai hamba. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh bangsa
Persia dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka merasa
bahwa negara adalah milik mereka mereka mempunyai kekuasaan atas rakyat
berdasarkan kekuasaan khalifah. Kecenderungan masing-masing bangsa untuk
mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri.

30
Hasjmy, A, Sejarah Kebudayaan Islam.(Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 186.

20
Akan tetapi, karena para khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga
keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga.31
Setelah al-Mutawakkil, seorang khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi
tentara Turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya
sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini
kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia. Pada periode ketiga, dan
selanjutnya beralih kepada Dinasti Seljukdan munculnya dinasti-dinasti yang lahir
dan ada yang melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah
Abbasiyah. Dan bahkan ada yang mengaku dirinya khilafah. Dari latar belakang
dinasti-dinasti itu, nampak jelas adanya persaingan antarbangsa, terutama
antara Arab, Persia dan Turki. Disamping latar belakang kebangsaan, dinasti-
dinasti itu juga dilatar belakangi paham keagamaan, ada yang berlatar
belakang Syi’ah maupun Sunni.
b) Hilangnya sifat amanah
Hilangnya sifat amanah dalam segala perjanjian yang dibuat, sehingga
kerusakan moral dan kerendahan budi menghancurkan sifat-sifat baik yang
mendukung negara selama ini.
c) Tidak percaya pada kekuatan sendiri
Tidak percaya pada kekuatan sendiri. Dalam mengatasi berbagai
pemberontakan, khalifah mengundang kekuatan asing. Akibatnya, kekuatan asing
tersebut memanfaatkan kelemahan khalifah.32
d) Fanatik madzhab dan keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan.
Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong
sebagian mereka mempropagandakan
ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang
dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah. Al-
Mansur berusaha keras memberantasnya, bahkan Al-Mahdi merasa perlu
mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan

31
Hasjmy, A, Sejarah Kebudayaan Islam..., h. 188.
32
A Latif Osman. Ringkasan Sejarah Islam,... h. 140.

21
melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid’ah. Akan tetapi, semua itu
tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan
golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti
polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan
darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh
konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di
balik ajaran Syi’ah, sehingga banyak aliran Syi’ah yang
dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi’ah
sendiri. Aliran Syi’ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang
berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik
yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkilmemerintahkan
agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan. Namun anaknya, Al-
Muntashir (861-862 M.), kembali memperkenankan orang Syi’ah “menziarahi”
makam Husein tersebut. Syi’ah pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah
melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan
khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi’ah yang memerdekakan diri
dari Baghdad yang Sunni.
Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik
antara muslim dan zindiq atau Ahlussunnah dengan Syi’ah saja, tetapi juga antar
aliran dalam Islam. Mu’tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai
pembuat bid’ah oleh golongan salafy. Perselisihan antara dua golongan ini
dipertajam oleh al-Ma’mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M),
dengan menjadikan Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara dan
melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861 M),
aliran Mu’tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan Sunni kembali
naik daun. Tidak tolerannya pengikut Hanbali terhadap Mu’tazilah yang rasional
dipandang oleh tokoh-tokoh ahli filsafat telah menyempitkan horizon intelektual
padahal para salaf telah berusaha untuk mengembalikan ajaran Islam secara murni
sesuai dengan yang dibawa oleh Rasulullah.

22
Aliran Mu’tazilah bangkit kembali pada masa Bani Buwaih. Namun pada
masa Dinasti Seljuk yang menganut paham Sunni, penyingkiran golongan
Mu’tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa
aliran Asy’ariyah tumbuh subur dan berjaya. Pikiran-pikiran al-Ghazali yang
mendukung aliran ini menjadi ciri utama paham Ahlussunnah. Pemikiran-
pemikiran tersebut mempunyai efek yang tidak menguntungkan bagi
pengembangan kreativitas intelektual Islam.33
e) Kemerosotan ekonomi
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi
bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama,
pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk
lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan
harta.34 Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-Kharaj,
semacam pajak hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara
menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan
negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya
terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. diperingannya pajak
dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi
membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan
oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. Jenis pengeluaran
makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi.35Kondisi politik yang tidak
stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi
ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua,
faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.
2. Faktor Ekternal
b) Disintegrasi

Susiawati, Peradaban Emas Dinasti Abbasiyah (Artikel), (Bandung: Universitas Islam


33

Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, 2011)h. 82-83.

34
Mufrod Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997), h. 96.
35
Ahmad Amin. Islam dari Masa ke Masa. (Bandung: CV Rusyda, 1987). h. 42.

23
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban
dan kebudayaan Islam dari pada persoalan politik itu, provinsi-provinsi tertentu di
pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbasiyah, dengan berbagai
cara di antaranya pemberontakan yang dilakukan oleh pemimpin lokal dan mereka
berhasil memperoleh kemerdekaan penuh. Bahkan berusaha merebut pusat
kekuasan di Baghdad.
Hal ini dimanfaatkan oleh pihak luar dan banyak mengorbankan umat,
yang berarti juga menghancurkan Sumber Daya Manusia (SDM). Yang paling
membahayakan adalah pemerintahan tandingan Fatimiah di Mesir walaupun
pemerintahan lainnyapun cukup menjadi perhitungan para khalifah di Baghdad.
Pada akhirnya, pemerintah-pemerintah tandingan ini dapat ditaklukan atas
bantuan Bani Saljuk atau Buyah.36
c) Perang Salib
Perang Salib ini terjadi pada tahun 1095 M, saat Paus Urbanus II berseru
kepada umat Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci, untuk memperoleh
kembali keleluasaan berziarah di Baitul Maqdis yang dikuasai oleh
Penguasa Seljuk, serta menghambat pengaruh dan invasi dari tentara Muslim atas
wilayah Kristen.37 Selain seruan Paus Urbanus ada juga dua faktor penyebab
terjadinya perang salib yaitu para pedagang besar yang berada di pantai Timur
laut Tengah, terutama yang berada di kota Venezia, Genoa dan Pisa berambisi
untuk menguasai sejumlah kota dagang di sepanjang pantai Timur dan selatan laut
Tengah untuk memperluas jaringan dagang mereka. Sedangkan sebab lainnya
adalah orang-orang Kristen beranggapan jika mereka mati dalam perang salib
maka jaminannya adalah surga.
Periodesasi perang salib terbagi menjadi tiga, yaitu; Pertama, periode penaklukan
yang dimulai oleh pidato Paus Urbanus II yang memotivasi untuk berperang salib.
Pada periode ini terjadi beberapa pertempuran yaitu gerakan yang dipimpin oleh
Pierre I’ermitte melawan pasukan Dinasti Bani Saljuk. Pasukan ini mudah
dipatahkan oleh pasukan Bani Saljuk; Kedua, Gerakan yang dipimpin oleh
36
Dedi Supriyadi. Sejarah Peradaban Islam. (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 141.

37
Mustafa Sodiq. Kompetensi Dasar Sejarah. (Solo: Tiga Serangkai, 2004), h. 144.

24
Godfrey of Bouillon. Gerakan ini merupakan gerakan terorganisir rapi. Mereka
berhasil menundukan kota Palestina (Yerussalem) pada 7 Juli 1099 dan
melakukan pembantaian besar-besaran terhadap umat Islam. Begitu juga mereka
menundukkan Anatalia Selatan, Tarsus, Antiolia, Allepo, Edessa, Tripoli, Syam,
Arce dan Bait al-Maqdis; Ketiga, periode reaksi umat Islam (1144-1192). Periode
ini muncullah pasukan yang dikomandani oleh Imanuddin Zangi untuk
membendung pasukan salib bahkan pasukan ini dapat merebut Aleppo dan
Edessa. Lalu setelah wafatnya Imanuddin Zangi maka anaknya menggantikannya
yaitu Nuruddin Zangi, dia berhasil menaklukan Damaskus, Antiolia dan Mesir. Di
Mesir muncullah Shalahuddin al-Ayyubi (Saladin) yang berhasil membebaskan
Bait al-Maqdis. Dari keberhasilan umat Islam tersebut membangkitkan kaum
Salib untuk mengirim ekspedisi militer yang lebih kuat. Ekspedisi ini dipimpin
oleh raja-raja besar Eropa, seperti Frederick I, Richard I dan Philip II. Disini
terjadiilah pertempuran sengit antara pasukan Richard dan pihak Saladin. Pada
akhirnya keduanya melakukan gencatan senjata dan membuat
perjanjian. Ketiga, yaitu periode perang saudara kecil-kecilan atau periode
kehancuran di dalam pasukan Salib.38
Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari
tentara Salib, namun kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena
peperangan itu terjadi di wilayahnya. Kerugian-kerugian ini mengakibatkan
kekuatan politik umat Islam menjadi lemah. Dalam kondisi demikian mereka
bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah belah. Banyak Bani kecil yang
memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad.39
d) Serangan Bangsa Mongol dan jatuhnya Baghdad
Pada tahun 565 H/1258 M, tentara Mongol yang berkekuatan sekitar
200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad. Khalifah Al-Musta’shim,
penguasa terakhir Bani Abbas di Baghdad (1243 – 1258), betul-betul tidak
berdaya dan tidak mampu membendung “topan” tentara Hulagu Khan.

38
Dedi Supriyadi. Sejarah Peradaban Islam..., h. 144.

39
Dedi Supriyadi. Sejarah Peradaban Islam, h. 145.

25
Pada saat yang kritis tersebut, wazir khilafah Abbasiyah, Ibn Alqami ingin
mengambil kesempatan dengan menipu khalifah. la mengatakan kepada khalifah,
“Saya telah menemui mereka untuk perjanjian damai. Hulagu Khan ingin
mengawinkan anak perempuannya dengan Abu Bakr Ibn Mu’tashim, putera
khalifah. Dengan demikian, Hulagu Khan akan menjamin posisimu. la tidak
menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan, sebagaimana kakek-kakekmu terhadap
sulthan-sulthan Seljuk.
Khalifah menerima usul itu, la keluar bersama beberapa orang pengikut
dengan membawa mutiara, permata dan hadiah-hadiah berharga lainnya untuk
diserahkan kepada Hulagu Khan. Hadiah-hadiah itu dibagi-bagikan Hulagu
kepada para panglimanya. Keberangkatan khalifah disusul oleh para pembesar
istana yang terdiri dari ahli fikih dan orang-orang terpandang. Tetapi, sambutan
Hulagu Khan sungguh di luar dugaan khalifah. Apa yang dikatakan wazirnya
temyata tidak benar. Mereka semua, termasuk wazir sendiri, dibunuh dengan leher
dipancung secara bergiliran.40
Dengan pembunuhan yang kejam ini berakhirlah kekuasaan Abbasiyah di
Baghdad. Kota Baghdad sendiri dihancurkan rata dengan tanah, sebagaimana
kota-kota lain yang dilalui tentara Mongol tersebut. Walaupun sudah dihancurkan,
Hulagu Khan memantapkan kekuasaannya di Baghdad selama dua tahun, sebelum
melanjutkan gerakan ke Syria dan Mesir.
Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan
bangsa Mongol bukan saja mengakhiri kekuasaan khilafah Bani Abbasiyah di
sana, tetapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban
Islam, karena Bagdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat
kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumihanguskan
oleh pasukan Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan tersebut.41
 

40
Al-Iskandari, Umar dan Safdaj, al-Miraj,. At-Tarikhu al-Islamiyu Juz II. (Ponnorogo:
Darussalam Pers, tt) h. 136.

41
Al-Iskandari, Umar dan Safdaj, al-Miraj,. At-Tarikhu al-Islamiyu Juz II..., h. 138.

26
BAB III

PENUTUP

 
A. Kesimpulan
Berikut ini adalah faktor yang menjadi kemunduran Daulah Abbasiyah.
Faktor dari dalam:
a) Kemewahan hidup di kalangan penguasa
b) Melebihkan Bangsa Asing dari Bangsa Arab
c) Ankara murka terhadap Bani Umayah dan Alawiyin
d) Perebutan kekuasaan antara keluarga Bani Abbasiyah
e) Pengaruh bid’ah-bid’ah agama dan filsafat
f) Konflik keagamaan
g) Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah
h) Ketergantungan dan kepercayaan khalifah kepada  wazir-nya sangat tinggi.

Faktor dari luar:


a) Banyaknya pemberontakan
b) Bencana Bangsa Turki
c) Dominasi Bangsa Persia

Kehancuran Daulah Abbasiyah faktor dari dalam:


a) Lemahnya semangat patriotisme negara
b) Hilangnya sifat amanah
c) Tidak percaya pada kekuatan sendiri
d) Fanatik madzhab dan keagamaan

27
e) Kemerosotan ekonomi
Faktor dari luar:
a) Disintegrasi
b) Perang Salib
c) Serangan Bangsa Mongol dan jatuhnya Baghdad

B. Saran
1. Hendaknya kita mempelajari sejarah agar menjadi pelajaran berharga di
masa mendatang.
2. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan oleh penulis.

28
DAFTAR PUSTAKA

A Latif Osman. Ringkasan Sejarah Islam, Jakarta: Widjaya, 2000.

Ahmad Amin. Islam dari Masa ke Masa. Bandung: CV Rusyda.

Al-Iskandari, Umar dan Safdaj, al-Miraj,. At-Tarikhu al-Islamiyu Juz II.


Ponnorogo: Darussalam Pers, tt.

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II.  Jakarta: Raja


Grapindo Persada, 2008.

Dedi Supriyadi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan,


Jakarta: Bulan Bintang.

Hasjmy, A, Sejarah Kebudayaan Islam.Jakarta: Bulan Bintang, 2005.

Mufrod Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos.

Mustafa Sodiq. Kompetensi Dasar Sejarah. Solo: Tiga Serangkai, 2004.

Susiawati, Peradaban Emas Dinasti Abbasiyah (Artikel), Bandung: Universitas


Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, 2011.

29

Anda mungkin juga menyukai