Anda di halaman 1dari 13

Pertanyaan:

Asalamualaikum wr wb. Nama saya hendika muhamad, saya mau nanya tentang
nadzar. Dulu ibu saya saat saya di kandungan bernadzar jika melahirkan anak laki-
laki akan dimasukkan pesantren. Tapi waktu saya masih sekolah, saya nggak mau
dimasukin pesantren, sampai ketika saya mengalami kecelakaan dan hampir masuk
pnjara, saya juga bernadzar saya akan masuk pesantren kalo saya tidak dipenjara.
Dan, Alhamdulillah saya tidak dipenjara. Tetapi saat saya mau masuk pesantren,
perekonomian keluarga saya tidak mencukupi, dan sampai sekarang saya belum masuk
pesantren. Apakah ada cara untuk mengugurkan nadzar-nadzar itu, selain harus
masuk pesantren. Terimaksih sebelumnya, saya tunggu jawabannya, wasalamualaikum
wr wb. (Hendika Muhamad, Indonesia)
Jawaban:
Nazar adalah ungkapan janji yang diucapkan untuk melakukan sesuatu di kemudian hari, baik
itu dengan syarat ataupun tanpa syarat. Rasul SAW sebenarnya tidak menganjurkan umatnya
untuk melakukan nazar, karena hal ini tidak memberikan motivasi baik dan tidak merubah
sedikit pun dari ketentuan Allah.
ADVERTISEMENT
Ibnu Umar melaporkan bahwa Rasul SAW melarang untuk bernazar, sebab nazar sama sekali
tidak dapat menolak sesuatu, hanya itu biasanya dilakukan oleh orang-orang yang bakhil
dalam beramal. (Hr. Bukhari:6693)
Namun, jika hamba tersebut bernazar untuk melakukan ketaatan kepada Allah, Rasul
menganjurkan untuk melaksanakannya dan melarang melakukan nazar yang mengandung
unsur maksiat.
Aisyah melaporkan sebuah hadis bahwa Rasuk bersabda:
“Barang siapa yang bernazar untuk taat kepada Allah, maka penuhilah nazar tersebut. Dan
barang siapa yang bernazar untuk bermaksiat, maka janganlah meneruskan atau melakukan
nazar itu”. (Hr. Bukhari:6696)
Ibnu Umar juga melaporkan bahwa ayahnya Umar bin Khottob pada saat jahiliyah pernah
bernazar untuk i’tikaf di Masjidilharam pada suatu malam. Lalu Rasul pun bersabda:
“Laksanakanlah nazarmu itu”. (Hr. Bukhari:2043)
ADVERTISEMENT
Maka, dari keterangan di atas, seharusnya nazar itu dilaksanakan, apalagi nazar itu dalam
bentuk yang baik dan sangat mulia, yaitu menempuh pendidikan di pesantren. Namun, jika
nazar itu tidak dapat dipenuhi, maka yang bersangkutan akan terkena hukum Allah dalam
firman-Nya:
"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja,
Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu
dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada
mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang
demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat
sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu.
Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur
(kepada-Nya)”. (Qs. Al-Maa'idah:89)
ADVERTISEMENT
Maka jika Saudara tidak mampu memenuhi nazar tersebut dan mencari solusinya, saudara
harus melakukan salah satu dari beberapa hal ini; (1) memberi makan kepada sepuluh orang
miskin, (2) memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin, dan (3) memerdekakan budak
(hamba sahaya). Namun, jika Saudara masih tidak mampu melakukan salah satu ketentuan di
atas, maka Saudara harus melakukan puasa selama tiga hari (tidak harus berturut-turut atau
bersambung, bisa dipisah-pisah). Nah, itulah ketentuan hukum Allah jika Saudara memilih
untuk tidak melakukan nazar atau sumpah yang pernah Saudara lalukan dan orang tua.
Wallahu A’lam.

Hukum Mengganti Nadzar


Pertanyaan:
Setelah seseorang menentukan nadzar dan arahnya, apakah boleh seseorang merubahnya bila
mendapatkan arah yang lebih berhak?

Jawaban:
Akan saya kemukakan mukadimah terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan tersebut,
yaitu bahwa tidak semestinya seseorang melakukan nadzar, sebab pada dasarnya hukum
nadzar itu makruh ataupun (maksimal pen.) diharamkan sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarangnya di dalam sabdanya,

“Sesungguhnya ia tidak pernah membawa kebaikan dan sesungguhnya ia hanya dikeluarkan


(bersumber) dari orang yang bakhil.”

Maka, kebaikan (terwujudnya keinginan dan harapan) yang Anda perkirakan terjadi
dari nadzar itu, bukanlah nadzar itu sebagai penyebabnya.

Banyak orang yang bila sudah sakit, akan bernadzar untuk melakukan ini dan itu bila
disembuhkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan bila sesuatu hilang, dia bernadzar untuk
melakukan ini dan itu bila menemukannya kembali. Kemudian, bila dia ternyata
disembuhkan atau menemukan kembali barang yang hilang tersebut, bukanlah artinya bahwa
nadzar itu yang menyebabkannya akan tetapi hal itu semata berasal dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Dan Allah adalah Maha Mulia dari sekedar kebutuhan akan suatu persyaratan ketika
Dia dimintai.

Oleh karena itu, Anda wajib bermohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar
disembuhkan dari sakit ini atau agar barang yang hilang ditemukan kembali. Sedangkan
nadzar itu sendiri, ia tidaklah memiliki aspek apapun dalam hal ini. Banyak sekali orang-
orang yang bernadzar tersebut, bila sudah mendapatkan apa yang dinadzarkan kemudian
bermalas-malasan untuk menepatinya bahkan barangkali tidak jadi melakukannya. Ini
tentunya bahaya yang amat besar. Sebaiknya, dengarkanlah Firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala berikut,

‫} فَلَ َّمآ َءاتَاهُم ِّمن فَضْ لِ ِه بَ ِخلُوا بِ ِه َوت ََولَّوْ ا َوهُم‬75{ َ‫ص َّدقَ َّن َولَنَ ُكون ََّن ِمنَ الصَّالِ ِحين‬َّ َ‫َو ِم ْنهُم َّم ْن عَاهَ َد هللاَ لَئِ ْن َءاتَانَا ِمن فَضْ لِ ِه لَن‬
}77{ َ‫} فَأ َ ْعقَبَهُ ْم نِفاقا فِي قلوبِ ِه ْم إِلى يَوْ ِم يَلقوْ نَهُ بِ َمآ أخلفوا هللاَ َما َو َعدُوهُ َوبِ َما كانوا يَك ِذبُون‬76{ َ‫ْرضُون‬
ْ ُ َ ُ َ ْ َ َ ْ َ ُ ُ ً َ ِ ‫ُّمع‬

“Dan di antara mereka ada orang yang berikrar kepada Allah, ‘Sesungguhnya jika Allah
memberikan sebagian dari karuniaNya kepada kami, pasti kami akan bersedekah dan
pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih.’ Maka setelah Allah meberikan kepada
mereka sebagian dari karuniaNya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan
mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah
menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai pada waktu mereka menemui Allah,
karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepadaNya
dan (juga) karena mereka selalu berdusta.” (QS. Taubah: 75-77)

Maka berdasarkan hal ini, tidak semestinya seorang mukmin melakukan nadzar.

Sedangkan jawaban atas pertanyaan di atas, maka kami katakan bahwa bila seseorang
bernadzar sesuatu pada arah tertentu dan melihat bahwa selainnya lebih baik dan lebih
diperkenankan Allah serta lebih berguna bagi para hamba-Nya, maka tidak apa-apa dia
merubah arah nadzar tersebut ke arah yang lebih baik.

Dalilnya adalah hadis tentang seorang laki-laki yang datang ke hadapan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah bernadzar akan
melakukan shalat di Baitul Maqdis (Masjid Al-Aqsha, pen.), bila kelak Allah
menganugerahkan kemenangan kepadamu di dalam menaklukkan Mekah.” Maka beliau
menjawab, “Shalatlah di sini saja.” (Yakni Masjid Nabawi yang pahalanya lebih besar
daripada shalat di masjid Al-Aqsha, pen.), kemudian orang tadi mengulangi lagi
perkataannya, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tetap mengatakan, “Shalatlah di
sini saja,” kemudian orang tadi mengulangi perkataannya, lalu dijawab oleh beliau, “Kalau
begitu, itu menjadi urusanmu sendiri.”

Hadis ini menunjukkan bahwa bila seseorang berpindah dari nadzarnya yang kurang utama
kepada yang lebih utama, maka hal itu boleh hukumnya.
Fatawa al-Mar’ah, dari Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin, Hal. 68

Sumber: Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 2, Darul Haq Cetakan VI 2010

Read more https://konsultasisyariah.com/10895-mengganti-nadzar.html


Pertama, nazar lajjaj. Nazar lajjaj adalah nazar yang bertujuan untuk memotivasi seseorang
agar melakukan suatu hal, atau mencegah seseorang melakukan suatu hal, atau meyakinkan
kebenaran sebuah kabar yang disampaikan oleh seseorang. Contoh nazar lajjaj yang berupa
motivasi adalah perkataaan seseorang “Jika aku tidak mengkhatamkan membaca buku ini
selama tiga hari, maka aku akan bersedekah senilai satu juta rupiah”. Pengucapan nazar
demikian dimaksudkan agar ia termotivasi segera mengkhatamkan bacaan bukunya dalam
waktu yang cepat, sebab jika hal tersebut tidak ia lakukan maka ia berkewajiban
menyedekahkan uangnya senilai satu juta rupiah. Sehingga nazar ini sejatinya dimaksudkan
agar seseorang termotivasi atau semakin tertuntut untuk melakukan suatu hal yang
bermanfaat baginya. Contoh nazar lajjaj yang berupa pencegahan, seperti ketika seseorang
mengatakan “Jika aku berbicara lagi dengan Fulan, maka aku akan bersedekah senilai satu
juta rupiah”. Nazar ini dimaksudkan agar dirinya tidak lagi berhubungan dengan Fulan.
Sebab jika ia melakukan hal tersebut maka ia terkena beban kewajiban menyedekahkan uang
satu juta rupiah. Sehingga nazar ini dimaksudkan agar seseorang tercegah untuk melakukan
suatu hal yang tidak ia senangi. Sedangkan contoh nazar lajjaj yang bertujuan untuk
meyakinkan orang lain akan kebenaran suatu berita yang disampaikan oleh seseorang,
misalnya seseorang setelah mengabarkan suatu berita pada orang lain mengatakan “Jika
kabar yang aku sampaikan ini tidak benar, niscaya wajib bagiku untuk bersedekah senilai satu
juta rupiah padamu”. Dengan ucapan ini, orang yang diajak bicara diharapkan akan merasa
yakin atas kebenaran sebuah kabar yang disampaikan olehnya.
Kedua, nazar tabarrur. Nazar tabarur adalah menyanggupi akan melakukan suatu ibadah
(qurbah) tanpa menggantungkannya pada suatu hal, atau menggantungkannya dengan suatu
hal yang diharapkan (marghub fih). Nazar tabarrur ini juga dikenal dengan nama nazar
mujazah. Contoh nazar tabarur yang tidak digantungkan pada suatu hal, seperti ucapan “Aku
bernazar akan bersedekah senilai satu juta rupiah” maka wajib bagi seseorang yang
mengatakan hal tersebut untuk menyedekahkan uangnya senilai satu juta tatkala ia sudah
memilikinya. Kewajiban menyedekahkan ini bersifat kewajiban yang lapang (wujub
muwassa’), dalam arti seseorang tidak wajib untuk segera menyedekahkan uang tersebut
(faur) saat ia telah mampu, tapi bisa dilakukan kapan pun selama ia tidak memiliki keyakinan
tidak akan memiliki uang senilai satu juta rupiah lagi. Jika ia yakin tidak akan memiliki uang
senilai satu juta rupiah selain pada waktu tersebut maka ia wajib menyedekahkan uangnya
sebelum habis digunakan untuk keperluan lain (Syekh Abdul Hamid al-Makki As-Syarwani,
Hawasyi As-Syarwani, juz 10, hal. 75). Namun meski begitu, sebaiknya ia segera
melaksanakan nazar agar segera pula terbebas dari tanggungan kewajiban. Sebab seringkali
ketika pelaksanaan kewajiban ini diakhirkan, seseorang akan teledor hingga lupa tidak
melaksanakannya. Sedangkan contoh nazar tabarrur yang digantungkan pada sesuatu yang
diharapkan, misalnya seperti ucapan “Jika Allah menyembuhkan penyakitku, aku akan
bersedekah senilai satu juta rupiah”. Kesembuhan penyakit merupakan sebuah hal yang
diharapkan oleh seseorang, ketika penyakitnya telah sembuh, maka ia berkewajiban untuk
menyedekahkan uang senilai satu juta sebagai wujud nazar tabarrur yang telah diucapkan
olehnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nazar secara umum terbagi menjadi dua
bagian, yakni nazar lajjaj dan nazar tabarrur. Sedangkan jika dibagi secara rinci, maka nazar
terbagi menjadi lima. Sebab nazar lajjaj terdiri dari tiga macam. Sedangkan nazar tabarrur
terdiri dari dua macam. Segala bentuk nazar yang diucapkan oleh seseorang pasti termasuk
salah satu di antara lima bentuk nazar di atas. Nazar yang Dapat dan Tak Dapat Dilanggar Di
antara berbagai macam nazar di atas, bentuk nazar yang dapat dilanggar oleh seseorang hanya
berlaku dalam nazar lajjaj saja. Di balik nazar lajjaj terkandung motif atau maksud si
pengucap nazar: entah menyemangati diri sendiri, menghindarkan diri, atau mempengaruhi
orang lain. Sementara dalam nazar tabarrur tidak tergambarkan bahwa nazar tersebut dapat
dilanggar oleh seseorang, sehingga tidak ada jalan lain bagi orang yang mengucapkan nazar
tersebut selain harus melakukan perkara yang telah ia sanggupi. Dari ketiga macam nazar
yang tercakup dalam nazar lajjaj, semuanya dapat dilanggar--dengan konsekuensi
menggantinya dengan membayar denda. Misalnya pada kasus nazar motivasi, dapat dilanggar
ketika seseorang tidak memenuhi target pelaksanaan yang ia nazarkan. Dalam nazar
pencegahan, dapat dilanggar ketika seseorang melakukan hal yang semula ia nazarkan tak
akan dilakukan. Dan dalam nazar meyakinkan sebuah kabar, dapat dilanggar ketika ternyata
kabar yang disampaikan adalah sebuah kebohongan. Ketika melakukan nazar lajjaj,
seseorang diberi pilihan antara melaksanakan hal yang ia nazarkan (al-manzur bih, misalnya
bersedekah satu juta rupiah) atau membayar denda sumpah (kafarat yamin), yakni memilih di
antara melakukan salah satu dari tiga hal: (1) memerdekakan budak, (2) memberi makan
sepuluh orang miskin dengan ketentuan setiap orang miskin diberi satu mud makanan pokok
(0,6 kilogram atau ¾ liter beras), atau (3) memberikan pakaian pada sepuluh orang miskin.
Jika tidak mampu melakukan satu pun dari ketiga hal di atas, maka wajib untuk berpuasa
selama tiga hari. Meskipun seseorang ketika melanggar nazar lajjaj diperbolehkan memilih di
antara kedua pilihan di atas (melakukan hal yang dinazarkan atau membayar denda sumpah),
namun yang paling baik baginya adalah memilih pilihan yang bernilai paling banyak. Jika
bernazar akan menyedekahkan uang senilai satu juta rupiah, sedangkan memberi makanan
untuk sepuluh orang miskin hanya menghabiskan biaya dua ratus ribu rupiah, maka yang
lebih utama baginya adalah melakukan hal yang ia nazarkan. Begitu juga sebaliknya, jika hal
yang dinazarkan hanya menyedekahkan seratus ribu rupiah, sedangkan memberi makanan
sepuluh orang miskin menghabiskan tiga ratus ribu rupiah, maka yang lebih utama adalah
membayar denda sumpah (Muhammad bin Ahmad bin Umar as-Syatiri, Syarah al-Yaqut an-
Nafis, hal. 874). Bernazar bukanlah sebuah kewajiban. Namun, saat nazar itu kadung terucap
maka ada kewajiban yang mesti dilunasi. Pada kasus nazar tabarrur, kewajiban tersebut
adalah realisasi janji sesuai bunyi nazar itu. Tak ada pilihan lain, termasuk membayar kafarat.
Melanggarnya punya konsekuensi dosa bagi pengucap nazar, sebagaimana nazar lajjaj ketika
tak ditepati tapi sekaligus juga tak diganti dengan membayar kafarat. Wallahu a'lam.

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/111240/macam-macam-nazar-dan-sanksi-bagi-
pelanggarnya

Ada seorang jamaah bercerita: Ada seorang muslim dalam keterbatasan ilmu pernah
berkata,"Aku bernadzar, kalau lalai melaksanakan shalat, maka aku harus menghapal
surat pendek Al-Qur`an." Ternyata dia beberapa kali lalai sholat sehingga dia sudah
tidak ingat berapa banyak surat Al-Qur`an yang harus dihapal. Dia sudah berusaha
menghapal, tapi terbatas dalam kemampuan daya ingatnya. Dia bertanya,"(1). Apakah kata-
kata muslim tersebut termasuk sumpah dan harus bayar kaffarah?; (2) Apakah memberi beras
100 kg kepada panti asuhan bisa sebagai pembayaran kaffarah dan dia tidak harus menghapal
Al-Qur`an lagi?; (3) Bisakah wali muslim tersebut, membantu menghapal?

Ustadz Muhammad Shiddiq Al-Jawi menjawab, kata-kata muslim di atas jelas merupakan
nadzar, bukan sumpah. Yang menjadi masalah adalah muslim tersebut ternyata tidak mampu
melaksanakan nadzarnya untuk menghapal surat-surat pendek Al-Qur`an.

Solusi untuk masalah tersebut adalah sebuah hukum syara yang digali dari nash-nash hadis,
yaitu bahwa barangsiapa yang bernadzar tapi tidak mampu melaksanakan nadzarnya, wajib
atasnya untuk membayar kaffarah (tebusan) nadzar, yang sama dengan kaffarah untuk
sumpah (yamin) yang tidak terlaksana. Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir RA bahwa
Rasululah SAW bersabda :

"Kaffarah nadzar adalah kaffarah sumpah."(HR Muslim, no. 1645, At-Tirmidzi, no. 1528;
An-Nasa`i, no. 3832; Abu Dawud, no. 3323, lafazh hadits adalah lafazh Muslim).

Dari Ibnu Abbas RA bahwa bahwa Rasululah SAW bersabda :

"Barangsiapa bernadzar sesuatu nadzar yang tidak mampu dilaksanakannya, maka


kaffarahnya adalah kaffarah sumpah."(HR Abu Dawud, no. 3322, dan Ibnu Majah, no.
2128).

Berdasarkan dalil-dalil ini, maka jelaslah bahwa kaffarah untuk orang yang tidak mampu
melaksanakan nadzar adalah dengan membayar kaffarah sumpah, yaitu sebagaimana firman
Allah SWT dalam surah Al-Maidah ayat 89 :

"maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu
dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada
mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang
demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat
sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar)." (QS Al-Ma`idah [5] : 89)

"Ini adalah tiga macam kaffarah sumpah, mana saja yang dikerjakan oleh pelanggar sumpah,
akan mencukupinya menurut ijma ulama. Tiga macam kaffarah tersebut dimulai dari yang
paling ringan dan seterusnya, sebab memberi makan lebih ringan daripada memberi pakaian,
sebagaimana memberi pakaian lebih ringan daripada membebaskan budak. Jadi kaffarah ini
meningkat dari yang rendah kepada yang lebih tinggi. Jika mukallaf tidak mampu
melaksanakan salah satu dari tiga macam kaffarah ini, maka dia menebus sumpahnya dengan
berpuasa selama tiga hari, sebagaimana firman Allah Taala:Barangsiapa tidak sanggup
melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari." (TafsirIbnu Katsir,
3/176).

Jadi, ayat di atas menjelaskan ada tiga macam kaffarah sumpah yang boleh dipilih mana saja
salah satunya oleh pelanggar sumpah, yaitu : (1) memberi makan untuk sepuluh orang
miskin, dari makanan yang biasanya diberikan seseorang kepada keluarganya, yang menurut
Imam Syafii masing-masing diberi satumud; atau (2) memberi pakaian kepada sepuluh orang
miskin, misalnya masing-masing diberi satu baju gamis, atau satu celana panjang, atau satu
sarung, dan sebagainya, atau (3) membebaskan seorang budak, yaitu budak mukmin. Jika dia
tidak mampu melaksanakan salah satu dari tiga kaffarah ini, maka dia berpuasa selama tiga
hari (tidak disyaratkan berturut-turut). (Lihat Imam Jalaluddin As-Suyuthi & Jalaludin Al-
Mahalli,Tafsir Al-Jalalain, 2/257, Maktabah Syamilah).

Jika penanya ingin membayar kaffarah dengan beras, maka yang wajib diberikan adalah
memberi beras kepada sepuluh orang miskin, masing-masing satumud(544 gram) untuk satu
orang miskin (Abdul Qadim Zallum,Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, hal. 60). Inilah yang
diwajibkan dan mencukupi untuk membayar kaffarah. Selebihnya dari itu adalah tidak wajib,
yaitu sunnah karena dapat dianggap shadaqah yang hukumnya sunnah. Memberi 100 kg
untuk panti asuhan menurut kami masih tidak jelas, karena tidak jelas berapa orang yang
menjadi penerima beras 100 kg itu, juga tidak jelas berapa kilogram bagian bagi masing-
masing penerima. Sebaiknya diperjelas seperti yang telah kami uraikan.

Mengenai apakah wali muslim tersebut dapat membantu menghapal, menurut kami tidak
boleh, selama pelaku nadzar masih hidup. Sebab yang dibolehkan adalah menunaikan nadzar
dari seseorang yang sudah meninggal, bukan yang masih hidup. Imam Syaukani dalam
kitabnyaNailul Autharhal. 1773 pada babQadha`u Kulli Al-Mandzuuraat an Al-
Mayyit(Menunaikan Semua yang Dinadzarkan oleh Orang yang Meninggal) mengetengahkan
hadits berikut :

Dari Ibnu Abbas bahwa Saad bin Ubadah meminta fatwa kepada Rasulullah SAW, dia
berkata,"Sesungguhnya ibuku telah meninggal sedangkan dia masih berkewajiban
melaksanakan nadzar yang belum ditunaikannya." Maka Rasulullah SAW
berkata,Tunaikanlah nadzar itu olehmu untuknya." (HR Abu Dawud no. 2876, dan An-
Nasa`i, no. 3603).

Imam Syaukani menukilkan pendapat Imam Ibnu Hazm dalam masalah ini, bahwa ahli waris
berkewajiban melaksanakan nadzar dari orang yang diwarisinya dalam semua keadaan (anna
al-waarits yulzimuhu qadhaa`u an-nadzari an muwarritsihi fi jamiii al-haalaat). (Imam
Syaukani,Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm], 2000, hal. 1773).

Dengan demikian, jelaslah, bahwa ahli waris dapat melaksanakan nadzar dari orang yang
diwarisinya yang sudah meninggal. Berarti jika orang yang bernadzar itu masih hidup dan
belum meninggal, nadzar itu wajib dilaksanakan oleh dia sendiri dan tidak boleh ada orang
lain yang melaksanakan nadzarnya.Wallahu alam. [ ]
Ketentuan Cara Bayar Fidyah
Banyak orang yang mengatakan boleh membayar fidyah sesuai harga nominal makan untuk
satu porsi dikalikan jumlah puasa yang harus digantikan.

Namun, banyak pula yang menyarankan dengan memberi makan orang miskin sebanyak 1
mud (1,25 kilogram seperti, gandum, beras dan lainnya).

Takaran Membayar Fidyah dengan Beras

Melansi dari situs Liputan 6, menurut Imam Malik, Imam As-Syafi’I Fidyah cara bayar
fidyah dengan beras adalah sebesar 1 mud.

Kira-kira 6 ons= 675 gram / 0,75 kilogram.

Atau seukuran telapak tangan yang ditengadahkan saat berdia.

Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah, cara bayar fidyah menggunakan beras harus sebanyak
2 mud atau setara ½ sha beras.

Jika 1 sha’ setara 4 mud= sekitar 3 kilogram, maka ½ sha’ berarti sekitar 1,5 kilogram.
Waktu Membayar Fidyah
Seseorang membayar fidyah di waktu yang tepat yaitu, pada hari ketika dia tidak
melaksanakan puasa atau diakhirkan sampai hari terakhir bulan Ramadhan.

Cara bayar fidyah yang tepat bisa ditetapkan berdasarkan jumlah hari yang ditinggalkan
untuk berpuasa.

Setiap 1 hari seseorang meninggalkan puasa, maka dia wajib membayar fidyah kepada 1


orang fakir miskin.

Sedangkan teknis pelaksanaannya bisa dilaksanakan perhari atau mau sekaligus satu bulan
penuh.

Bila seseorang nyaman memberikan fidyah setiap hari, silakan dilakukan.

Baca Juga:

Enggak Pake Lama! 7 Negara Ini Memiliki Durasi Puasa Terpendek

Cara Membayar Fidyah dengan Uang

Melansir dari detikNews, cara bayar fidyah juga bisa dengan uang.

Menurut Deputi Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Arifin Purwakananta, ia menjelaskan
bahwa cara membayar fidyah dengan uang satu harinya sebesar Rp50 ribu.
Secara fikih, ia menyebutkan bahwa cara bayar fidyah bisa memberi makan kepada orang
miskin selama satu hari.

Namun, tak dipungkuri pula boleh memberikan makan orang miskin sebanyak sehari dua kali
hingga tiga kali.

Begini prosedur pembayaran fidyah berupa uang:

1. Menghitung jumlah hari tak puasa


2. Diniatkan untuk membayar fidyah
3. Mendatangi pengelola zakat atau ke kantor Baznas setempat
4. Menyampaikan maksud untuk membayar fidyah ke panitia zakat
5. Panitia zakat akan membaca doa sebagai tanda fidyah telah dibayarkan.

Cara Bayar Fidyah Orang Meninggal


Melansir dari situs Liputan 6, Abu Syuja’ rahimahullah berkata, “Barangsiapa memiliki utang
puasa ketika minggal dunia, hendaklah dilunasi dengan cara memberi makan (kepada orang
miskin), satu hari tidak puasa dibayar dengan satu mud.”

Maka dari itu cara bayar fidyah untuk orang yang meninggal adalah membayar utang puasa
sang mayit dengan berpuasa.

Penggantian puasa ini bisa dilakukan oleh kerabat terdekat atau orang yang diizinkan oleh
ahli waris almarhum.

Hukum bagi yang tidak berpuasa karena uzur lantas tidak memiliki kemampuan untuk
melunasi utang puasanya dan ia meninggal dunia sebelum hilangnya uzur atau ia….

….Meninggal dunia setelahnya namun tidak memiliki waktu untuk mengqodho’ puasanya,
maka tidak ada qodho’ baginya, tidak ada fidyah dan tidak ada dosa untuknya.
Intinya, orang yang punya utang puasa dan terlanjur meninggal dunia sebelum utangnya
dilunasi, maka bisa ditempuh dua cara membayar puasa orang meninggal:

1. Membayar utang puasa dengan kerabatnya melakukan puasa,


2. Menunaikan fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin.

Dalil bolehnya melunasi utang puasa orang yang telah meninggal dunia dengan menunaikan
fidyah (memberi makan kepada orang miskin) adalah beberapa riwayat berikut,

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Jika seseorang sakit di bulan Ramadan, lalu ia meninggal
dunia dan belum lunasi utang puasanya, maka puasanya dilunasi dengan memberi makan
kepada orang miskin dan ia tidak memiliki qodho’.

Adapun jika ia memiliki utang nazar, maka hendaklah kerabatnya melunasinya.” (HR. Abu
Daud no. 2401, shahih kata Syaikh Al Albani).

Baca Juga:

Ketahui 9 Tips Puasa Ibu Hamil dan Janin Agar Tetap Aman

Semoga informasi di atas bermanfaat untuk kamu, ya!

Temukan informasi-informasi menarik lainnya seputar properti di Blog 99 Indonesia.

Atau kamu lagi mencari properti terbaru? Temukan yang cari di situs 99.co/id.
(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu
tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang tidak berpuasa itu) pada hari-hari
yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi
makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu
lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Direktur Dewan Pakar Pusat Studi Alquran Prof Dr M Quraish Shihab pada Juli 2015 kepada detikcom
pernah menjabarkan tentang siapa saja yang boleh mengganti puasa dengan fidyah. Menurut
Quraish Shihab, sahabat Nabi bernama Ibnu Abbas memasukkan wanita hamil dan menyusui dalam
kategori sesuai Surat Al-Baqarah ayat 184, sebagaimana diriwayatkan oleh pakar hadis Al-Bazzar.

Tetapi ada pandangan lain, kata Quraish, bahwa dalam mazhab Hambali disebutkan bahwa wanita
hamil/menyusui tak wajib membayar fidyah, tetapi mengganti puasa. Kemudian menurut mazhab
Ahmad dan Syafi'i, jika wanita hamil/menyusui hanya khawatir dengan bayi yang
dikandungnya/disusukannya saja maka dia harus membayar fidyah dalam saat yang sama mengganti
puasanya. Sedangkan jika khawatir akan dirinya sendiri, maka ibu hamil/menyusui cukup mengganti
puasa dan tidak membayar fidyah.

Bagaimana cara membayar fidyah?

Direktur Urusan Agama Islam Kemenag Juraidi menyatakan fidyah dibayarkan dalam bentuk
makanan pokok. Ia merujuk pada Surat Al-Baqarah ayat 184.

"Dalam bentuk makanan pokok, ada yang membolehkan diganti dengan uang senilai makan yang
bersangkutan satu hari untuk satu fidyah," tutur Juraidi.

Pembayaran fidyah lebih utama dilakukan dalam bulan puasa sampai sebelum salat Id. Juraidi juga
mengatakan pembayaran fidyah bisa dilakukan lewat lembaga yang mengelola zakat.

Diwawancarai terpisah, Deputi Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Arifin Purwakananta menjelaskan
besaran pembayaran fidyah. Meski besaran fidyah bisa berbeda-beda, Baznas memberikan patokan.

"Secara fikih, dia disebutkan memberi makan kepada orang miskin selama satu hari. Ada orang yang
makan sehari dua kali, ada pula yang sehari tiga kali. Sehingga Baznas menetapkan sehari itu
dibayarkan ke orang miskin sebanyak Rp 50 ribu," tutur Arifin.

Baznas dan lembaga pengelola zakat lainnya akan menyalurkan fidyah yang dibayarkan kepada fakir
miskin. Menurut Arifin, Baznas memakai standar Badan Pusat Statistik (BPS) untuk menentukan
kategori fakir miskin.

Begini prosedur pembayaran fidyah berupa uang:

1. Menghitung jumlah hari tak puasa


2. Diniatkan untuk membayar fidyah
3. Mendatangi pengelola zakat atau ke kantor Baznas setempat
4. Menyampaikan maksud untuk membayar fidyah ke panitia zakat
5. Panitia zakat akan membaca doa sebagai tanda fidyah telah dibayarkan.

Anda mungkin juga menyukai