Anda di halaman 1dari 7

Tafsir Al-Qur'an Tematik

Taufiq, Hidayah dan Inayah

Kerap kali kita mendengar atau membaca untaian kata yang disajikan secara
bersamaan, yaitu Taufiq, Hidayah dan Inayah; baik secara lisan, seperti ketika
berpidato, maupun secara tulisan, seperti pada surat undangan. Oleh sebab itu,
penulis tertarik untuk mengulas kandungan makna Taufiq, Hidayah dan Inayah
melalui kajian tafsir al-Qur’an tematik (maudhu’i).

Pertama, Taufiq.
Kata ini berasal dari kata waffaqa yang bererti kesesuaian antara dua hal. Dari
sini berkembang maknanya menjadi: kesesuaian antara perbuatan manusia
dengan takdir Allah subhaanahu wa ta’ala. Dengan demikian, secara
sederhana taufiq bermakna: ‘kesesuaian antara keinginan manusia dengan
kehendak Allah subhaanahu wa ta’ala’.

Contohnya: ada orang memiliki hajat menikahkan putra-putrinya; jika hajat


tersebut terlaksana, berarti orang tersebut diberi taufiq oleh Allah subhaanahu wa
ta’ala.

Al-Qur’an sendiri menyebut kata taufiq sebanyak tiga kali. Salah satunya adalah
ketika dua pasangan suami istri sedang berkonflik yang berpotensi berujung
perceraian, namun keduanya memiliki keinginan atau kehendak untuk berdamai
melalui seorang mediator, maka Allah subhaanahu wa ta’ala akan memberikan
taufiq kepada pasangan suami istri tersebut.

Firman Allah subhaanahu wa ta’ala

Dan jika kamu bimbangkan perpecahan di antara mereka berdua (suami isteri)
maka lantiklah "orang tengah" (untuk mendamaikan mereka, iaitu), seorang dari
keluarga lelaki dan seorang dari keluarga perempuan. Jika kedua-dua "orang
tengah" itu (dengan ikhlas) bertujuan hendak mendamaikan, nescaya Allah

1
subhaanahu wa ta’ala akan memberi taufiq kepada kedua (suami isteri itu)
menjadikan berpakat baik. Sesungguhnya Allah sentiasa Mengetahui, lagi Amat
mendalam pengetahuanNya. (An-Nisaa' 4:35)

Contoh ayat lainnya adalah usaha Nabi Syu’aib alaihi salam yang menginginkan
kebaikan umat beliau melalui ikhtiar semaksimal mungkin.

Mereka berkata: "Wahai Syuaib! Adakah sembahyangmu (yang banyak itu)


menyuruhmu perintahkan kami supaya meninggalkan apa yang disembah oleh
datuk nenek kami, atau supaya kami lakukannya apa yang kami suka
melakukannya dalam menguruskan harta kami? Sesungguhnya engkau (wahai
Syuaib) adalah orang yang penyabar, lagi bijak berakal (maka bagaimana pula
engkau menyuruh kami melakukan perkara yang bertentangan dengan
kebiasaan kami)?"
(Hud 11:87)

Nabi Syuaib berkata: "Wahai kaumku! Bagaimana fikiran kamu, jika aku
berdasarkan bukti yang nyata dari Tuhanku, dan Ia pula mengurniakan daku
pangkat Nabi sebagai pemberian daripadaNya, (patutkah aku berdiam diri dari
melarang kamu) sedang aku tidak bertujuan hendak melakukan sesuatu yang
aku melarang kamu daripada melakukannya? Aku hanya bertujuan hendak
memperbaiki sedaya upayaku; dan tiadalah aku akan beroleh taufik untuk
menjayakannya melainkan dengan pertolongan Allah. Kepada Allah jualah aku
berserah diri dan kepadaNyalah aku kembali.
(Hud 11:88)

Apabila dua ayat tersebut dicermati, niscaya akan diperoleh simpulan bahawa
kata ‘taufiq’ selalu diawali dengan kata ‘yuridu’ atau kehendak dan ‘ishlah’

2
atau perbaikan. Temuan ini dapat dimaknai bahwa tips untuk
memperoleh taufiq adalah kita harus memiliki kehendak atau keinginan
memperbaiki problem yang sedang dihadapi.

Contoh praktisnya, apabila kita ingin berhasil dalam suatu pekerjaan, maka kita
harus memiliki tekad (kehendak) yang kuat dan usaha yang terbaik ketika
melaksanakan pekerjaan tersebut, sehingga mengundang datangnya taufiq dari
Allah subhaanahu wa ta’ala.

Kedua, Hidayah.
Kata hidayah seakar dengan kata hadiah. Arti aslinya, “pemberian dengan
lemah lembut”. Adalah menarik, jika kita melihat catatan sejarah bahwa
mayoritas –jika bukan ‘seluruhnya’– orang yang mendapatkan hidayah itu
melalui cara-cara yang lemah lembut atau santun. Jarang sekali – bahkan
mungkin tidak ada– orang yang mendapat hidayah melalui cara-cara kekerasan,
seperti tindak terorisme.

Dilihat dari jenisnya, hidayah terbagi menjadi dua, iaitu Hidayah


Informasi dan Hidayah Kemampuan.

Hidayah informasi itu semisal kita bertanya kepada seseorang, “Di mana rumah
Pak Ahmad?”, lalu orang itu memberi informasi rute jalan ke rumah Pak
Ahmad. Jika hanya berbekal hidayah informasi, belum menjamin seseorang
sampai pada tujuan yang dimaksud. Oleh sebab itu,
dibutuhkan hidayah kemampuan.

Hidayah kemampuan itu semisal kita bertanya kepada seseorang, “Di mana
rumah Pak Ahmad”, lalu orang itu menjawab: “Kebetulan saya adalah
puteranya, kalau begitu Anda saya antarkan saja”. Jadi, hidayah kemampuan
dapat menjamin sampainya seseorang pada tujuan yang dimaksud.

Faktanya, al-Qur’an menggunakan redaksi yang berzeda untuk kedua


jenis hidayah di atas. Ketika menyebut hidayah informasi, al-Qur’an memakai
redaksi hidayah plus kata ila (kepada), Misalnya: Nabi Muhammad salallallahu
alaihi wa sallam hanya memiliki kemampuan memberi hidayah informasi:

3
Firman Allah subhaanahu wa ta’ala;

Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) - Al-Quran sebagai


roh (yang menghidupkan hati perintah Kami; engkau tidak pernah mengetahui
(sebelum diwahyukan kepadamu): apakah Kitab (Al-Quran) itu dan tidak juga
mengetahui apakah iman itu; akan tetapi Kami jadikan Al-Quran: cahaya yang
menerangi, Kami beri petunjuk dengannya sesiapa yang Kami kehendaki di
antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya engkau (wahai Muhammad)
adalah memberi petunjuk dengan Al-Quran itu ke jalan yang lurus,
(Asy-Syuura 42:52)

Pada ayat lain disebutkan bahawa Nabi Muhammad salallahu alaihi wasallam
tidak memiliki kemampuan untuk memberi hidayah kemampuan:

Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) tidak berkuasa memberi hidayah


petunjuk kepada sesiapa yang engkau kasihi (supaya ia menerima Islam), tetapi
Allah jualah yang berkuasa memberi hidayah petunjuk kepada sesiapa yang
dikehendakiNya (menurut undang-undang peraturanNya); dan Dialah jua yang
lebih mengetahui akan orang-orang yang (ada persediaan untuk) mendapat
hidayah petunjuk (kepada memeluk Islam). (Al-Qasas 28:56)

Dari sini dapat difahami bahwa hidayah kemampuan hanya menjadi hak
istimewa (prerogatif) Allah subhaanahu wa ta’ala. Oleh sebab itu, umat muslim
dididik agar berdoa memohon hidayah kemampuan kepada Allah subhaanahu wa
ta’ala , sesuai ayat berikut:

Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Al-Faatihah 1:6)

4
Jika mengacu pada keterangan di atas, seolah-olah ayat tersebut bermakna: “Ya
Allah, mohon hantarkanlah kami ke jalan yang lurus”.

Ketiga, Inayah.
Kata ‘inayah ini semakna dengan kata ‘aun yang bererti ‘pertolongan dan
bantuan’. Sebagai makhluk yang selalu menghadapi problem kehidupan, semua
manusia memerlukan ‘inayah Allah subhaanahu wa ta’ala.

Kita baru benar-benar merasa memerlukan ‘inayah Allah subhaanahu wa ta’ala,


apabila problem yang dihadapi adalah problem-problem canggih atau problem-
problem kelas atas yang tidak dapat kita selesaikan sendiri maupun dengan
bantuan orang lain.

Contoh konkretnya adalah problem yang dihadapi oleh seorang presiden,


gubernur dan kepala daerah di bawahnya; walaupun dia seorang ahli dan
didukung oleh banyak tim ahli, namun kualitas dan kuantitas permasalahan
yang dihadapi begitu banyak dan kompleks, sehingga dia akan benar-benar
merasakan keperluan kepada ‘inayah Allah subhaanahu wa ta’ala .

Contoh yang lebih sederhana, ketika siswa mendapatkan PR di sekolah, maka


dia tidak terlalu merasa membutuhkan ‘inayah dari Allah subhaanahu wa ta’ala,
kerana dia merasa bahawa PR tersebut dapat dia selesaikan sendiri maupun
dengan bantuan orang lain. Lain halnya ketika dia harus mengerjakan UN
(Ujian Nasional), di mana dia merasa tidak mampu menyelesaikannya sendiri
maupun meminta bantuan orang lain, maka saat itulah perasaan perlu
terhadap ‘inayah Allah subhaanahu wa ta’ala muncul pada diri setiap siswa
bahkan guru-guru sekalipun.

Al-Qur’an menyinggung bahasan tentang ‘inayah sebanyak 10 kali. Contoh


problem yang memerlukan ‘inayah dari Allah subhaanahu wa ta’ala adalah
problem yang dihadapi Nabi Ya’qub alaihi salam terkait sikap putera-puteranya
yang menyingkirkan Nabi Yusuf alaihi salam, sang putera tercinta.

Dan (bagi mengesahkan dakwaan itu) mereka pula melumurkan baju Yusuf
dengan darah palsu. Bapa mereka berkata: "Tidak! Bahkan nafsu kamu
memperelokkan kepada kamu suatu perkara (yang tidak diterima akal). Kalau

5
demikian, bersabarlah aku dengan sebaik-baiknya, dan Allah jualah yang
dipohonkan pertolonganNya, mengenai apa yang kamu katakan itu."
(Yusuf 12:18)

Demikian halnya dengan doa yang diajarkan oleh Rasulullah salallahu alaihi wa
sallam:

َ َ‫َع ِّن َعلَى ِذ ْك ِر َك َو ُش ْك ِر َك َو ُح ْس ِن ِعب‬


َ ِ‫ادت‬
)‫ك (رواه ابو داود‬ ِ ‫اللَّه َّم أ‬
ُ
Ya Allah, mohon Engkau beri pertolongan kepadaku untuk berdzikir kepada-
Mu, bersyukur kepada-Mu dan beribadah kepada-Mu dengan Ihsan (H.R. Abu
Dawud).

Mengingat dzikir, syukur dan beribadah yang baik tidak cukup hanya berbekal
kemampuan diri sendiri maupun mengharapkan bantuan orang lain, maka satu-
satunya jalan adalah mendapat ‘inayah dari Allah subhaanahu wa ta’ala .

Lalu bagaimana cara kita meraih ‘inayah dari Allah subhaanahu wa ta’ala?.
Jawabannya adalah melalui sikap sabar dan ibadah, khususnya shalat
sebagaimana yang difirmankan oleh Allah subhaanahu wa ta’ala:

Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan jalan sabar dan mengerjakan
sembahyang; dan sesungguhnya sembahyang itu amatlah berat kecuali kepada
orang-orang yang khusyu’; (Al-Baqarah 2:45)

Firman Allah ta’ala:

Wahai sekalian orang-orang yang beriman! Mintalah pertolongan (untuk


menghadapi susah payah dalam menyempurnakan sesuatu perintah Tuhan)
dengan bersabar dan dengan (mengerjakan) sembahyang; kerana sesungguhnya
Allah menyertai (menolong) orang-orang yang sabar. (Al-Baqarah 2:153)

6
Kesimpulan yang dapat dipetik dari tulisan ini adalah:

Pertama, apabila kita berharap agar keinginan-keinginan kita selaras dengan


kehendak Allah subhaanahu wa ta’ala; maka kita harus mengusahakan keinginan-
keinginan tersebut dengan sebaik-baiknya, secara total, bukan setengah-setengah.
Jika ternyata masih gagal juga, patut kiranya kita mengingat sebuah ayat:

‫) النجم‬24( ‫ان َما تَ َمنَّى‬


ِ ‫س‬ ِ ْ ‫أَ ْم ِل‬
َ ‫ْل ْن‬
“Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya?”
(Q.S. al-Najm [53]: 24).

Kedua, kita seharusnya berdoa memohon hidayah informasi, lebih-


lebih hidayah kemampuan kepada Allah subhaanahu wa ta’ala, agar ditunjukkan
kepada jalan yang lurus. Namun alangkah baiknya jika diiringi dengan usaha
maksimal untuk mendapatkan kedua jenis hidayah tersebut, melalui keteguhan
dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam sebagaimana yang dijelaskan ayat,

‫) ال عمران‬101( ‫ستَ ِق ٍيم‬ َ ‫اَّلل فَقَ ْد هُد‬


ْ ‫ِي ِإلَى ِص َراطٍ ُم‬ ِ َّ ‫َو َم ْن َي ْعتَ ِص ْم ِب‬
“Barangsiapa berpegangteguh kepada Allah, maka sungguh dia diberi hidayah
ke jalan yang lurus” (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 101).

Ketiga, sepatutnya kita meningkatkan kualitas kehidupan dengan cara mengambil


peran atau tanggungjawab yang lebih tinggi, lebih luas atau lebih banyak daripada
kemampuan kita yang sebenarnya. Semakin tinggi peranan atau tanggungjawab
yang dipikul, semakin besar tingkat keperluan kita kepada ‘inayah Allah
subhaanahu wa ta’ala. Pada saat yang sama, kita perlu mengundang ‘inayah Allah
subhaanahu wa ta’ala tersebut dengan rajin beribadah, khususnya shalat serta
bersabar. Itulah kiranya mengapa al-Qur’an menyeru umat muslim agar
beribadah dan memohon ‘inayah sekaligus,

ْ َ‫ِإ َّياكَ نَ ْعبُ ُد َو ِإ َّياكَ ن‬


)‫) الفاتحة‬5( ‫ستَ ِعي ُن‬
“Hanya kepada-Mu kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami memohon
pertolongan” (Q.S. al-Fatihah [1]: 5).

Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Anda mungkin juga menyukai