Anda di halaman 1dari 2

Selama Pandemi, Cyber Crime Money Mule Meningkat di Indonesia

Jakarta - Salah satu perusahaan teknologi global dalam Manajemen Fraud dan Compliance, Verifikasi
Identitas, dan Intelijen Data berbasis lokasi, GBG menyatakan tingkat cyber crime atau kejahatan
penipuan di Indonesia mengalami peningkatan selama pandemi.

Dalam penelitian berjudul 'Future-proofing Fraud Prevention in Digital Channels: an Indonesian FI Study',
GBG berkolaborasi bersama The Asian Banker mengadakan survei di lebih dari 300 institusi finansial di 6
negara wilayah Asia Pasifik. Managing Director APAC GBG June Lee mengatakan tipe kejahatan dengan
model money mule diprediksi akan meningkat drastis di tahun 2020-2021 yang berdampak pada
konsumen sektor perbankan dan finansial.

"Di tahun 2019, lebih dari 50 persen responden melihat adanya peningkatan fraud, yang paling
menonjol adalah synthetic ID lebih dari 60 persen. Sementara di tahun 2020 ini, ada peningkatan
penipuan pihak pertama, tapi yang paling menonjol adalah money mule," ujarnya saat video conference,
Rabu (30/9/2020).

June menjelaskan para korban penipuan biasanya tidak sadar terkait penipuan ini sehingga bisa dengan
mudah dimanfaatkan oleh penipu. Adapun money mule merupakan salah satu metode pencurian yang
mana penipu akan mentransfer uang secara ilegal. Metode ini terjadi saat penipu memperoleh uang dari
korban dengan meminta korban untuk membuka rekening bank dan mengelola transaksi.

Dalam penelitian tersebut, ditemukan juga peningkatan penggunaan internet di Indonesia selama
pandemi dan PSBB berdampak terhadap tingkat cyber crime. Salah satunya layanan pinjaman online
yang kini menjadi prioritas teratas bagi 43% institusi finansial di Indonesia di tahun 2020-2021.

"Sebelum pandemi terjadi, konsumen di Indonesia sudah mengonsumsi berbagai macam produk digital,
terutama yang berkenaan dengan fasilitas kredit. Sekarang ini situasinya lebih penting lagi karena
perusahaan-perusahaan sudah mulai mengalami masalah cashflow. Banyak orang yang membutuhkan
berbagai macam pinjaman atau kredit dengan durasi pendek," katanya.

Terkait situasi ini, GBG memprediksi jenis penipuan money mule meroket hingga 68% pada 2020-2021.
Selain itu, cyber crime juga dinilai sebagai satu hal yang paling merugikan institusi keuangan di Indonesia
saat ini.

"Lebih dari 32 persen responden institusi keuangan di Indonesia melihat bahwa yang paling merugikan
adalah serangan siber. Saat ini, kejahatan dari cyber crime diperkirakan akan menimbulkan kerugian
sebesar USD 171 miliar. Sehingga terlihat tipe serangan ini semakin kompleks, terorganisir, dan
terkoordinasi," kata June.

GBG juga menemukan di samping money mule, penipuan berkedok pemalsuan identitas (55%) dan
pencurian identitas (53%) masuk bersama-sama dengan money mule dalam jenis fraud dengan tingkat
pertumbuhan tertinggi di Indonesia tahun ini.

Melihat hal ini, June menyarankan agar para institusi finansial di Indonesia untuk lebih menjaga
keamanan digital nasabahnya, yakni dengan melakukan verifikasi dan identifikasi data secara digital.
"Jadi, untuk bisa memerangi kejahatan finansial di luar sana, perusahaan ini memerlukan framework
yang efektif yang bisa langsung mengatasi ancaman digital pada saat itu juga. Oleh karena itu, yang
penting untuk dilakukan adalah sharing data antar departemen yang lengkap dan konsisten," katanya.

Menurutnya, kebutuhan untuk segera melakukan transisi dan mendukung adopsi layanan keuangan
digital merupakan tantangan terbesar bagi institusi finansial di Indonesia. Apalagi melihat orang
Indonesia yang pada umumnya terbiasa bertatap muka secara langsung.

"Hal ini bukan hanya tentang membuat konsumen beralih menuju adopsi digital, tetapi juga upaya
organisasi agar memiliki sarana yang mampu secara inovatif memadukan penilaian risiko kredit seluler
dengan teknologi penipuan dan menjembatani kurangnya data. Tujuan kami adalah menciptakan
keseimbangan untuk meniadakan maraknya pola penipuan digital dan menciptakan lingkungan
perbankan digital yang aman bagi masyarakat Indonesia," pungkasnya.

Sebagai informasi, guna mencegah maraknya cyber crime di Indonesia, GBG memiliki Digital Risk
Management dan Intelligence Platform untuk mencakup seluruh proses digital onboarding dan
memonitor perjalanan transaksi pengguna.

Platform ini dapat meningkatkan deteksi fraud untuk membantu institusi finansial dan pemerintah
dalam memerangi fraud dan kejahatan siber finansial. Teknologi digital end to end dan compliance
memudahkan perbankan dan institusi finansial lainnya untuk memaksimalkan keakuratan deteksi
penipuan hingga 30%.

1. Apakah selalu berulangnya kasus computer crime setiap tahun akibat dari (1) keteledoran manusia,
(2) pelaku kejahatam  computer yang makin pinter, (3) proteksi sistem informasi yang lemah, (4)
hukuman yang ringan?
jawab:

kasus ini selalu berulang setiap tahun yang diakibatkan oleh keteledoran manusia yang mudah tertipu.
salah satu metode pencurian yang mana penipu akan mentransfer uang secara ilegal. Metode ini terjadi
saat penipu memperoleh uang dari korban dengan meminta korban untuk membuka rekening bank dan
mengelola transaksi. Sebelum pandemi terjadi, konsumen di Indonesia sudah mengonsumsi berbagai
macam produk digital, terutama yang berkenaan dengan fasilitas kredit. Sekarang ini situasinya lebih
penting lagi karena perusahaan-perusahaan sudah mulai mengalami masalah cashflow. Banyak orang
yang membutuhkan berbagai macam pinjaman atau kredit dengan durasi pendek. GBG juga
menemukan di samping money mule, penipuan berkedok pemalsuan identitas dan pencurian identitas.
Jadi, untuk bisa memerangi kejahatan finansial di luar sana, perusahaan ini memerlukan framework
yang efektif yang bisa langsung mengatasi ancaman digital pada saat itu.

Anda mungkin juga menyukai