Anda di halaman 1dari 6

Menimbang Kerja Sama Sertifikasi Halal Indonesia-Arab Saudi

Disusun oleh:

Nama : Adkhilni M. Sidqi


NIP : 19860808 200912 1 001
Satuan Kerja : Direktorat Eropa II

Kementerian Luar Negeri RI


Jakarta
2020

i
LEMBAR PENYERAHAN MAKALAH

Yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan bahwa:

Nama : Adkhilni M. Sidqi

NIP : 19860808 200912 1 001


Ditempatkan pada Perwakilan RI : KBRI Riyadh

Telah menyerahkan makalah dengan judul “Menimbang Kerja Sama Sertifikasi Halal
Indonesia-Arab Saudi” pada Direktorat Jenderal Asia Pasifik dan Afrika pada tanggal 26
November 2020.

Demikian Lembar Penyerahan Makalah ini dibuat dengan sesungguhnya untuk dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya.

Sekretaris Direktorat Jenderal


Direktur Timur Tengah,
Asia Pasifik dan Afrika,

BAGUS HENDRANING KOBARSYIH ROSSY VERONA


NIP. 19690915 199710 1 001 NIP. 19720619 199903 2 001

ii
Menimbang Kerja Sama Sertifikasi Halal Indonesia-Arab Saudi
Latar Belakang
1. Isu sertifikasi halal telah menjadi perhatian banyak negara, terutama di negara dengan
mayoritas penduduk muslim, seperti Indonesia dan Kerajaan Arab Saudi (KAS). Melalui UU
33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), Indonesia memberlakukan kewajiban
sertifikat halal bagi seluruh produk yang masuk dan diedarkan di wilayahnya. Di samping
menyiapkan peraturan perundang-undangan, Indonesia juga telah mendirikan lembaga
khusus yang menangani isu halal, yakni BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk
Halal) di bawah Kementerian Agama.
2. UU JPH telah menjadikan sertifikasi halal sebagai instrumen perdagangan internasional.
Pemberlakuan kewajiban sertifikasi halal bagi produk yang masuk (pasal 4) atau yang
diimpor (pasal 47) ke Indonesia menarik perhatian dan intervensi dari negara-negara mitra
dagang, baik secara bilateral, regional, dan multilateral. Proses sertifikasi halal di bawah
rezim UU JPH yang masih belum rapi juga mengundang keprihatinan bisnis internasional
dari negara mitra dagang. Hal ini ditunjukan antara lain UU JPH yang dipermasalahkan
oleh enam negara pada 13 kali sidang Technical Barrier to Trade (TBT) WTO sepanjang
2016-2020.
3. Kasus sengketa impor ayam Brasil (didukung oleh 19 negara) melawan Indonesia di WTO
(nama kasus: DS484) juga menggambarkan keprihatinan internasional yang besar
terhadap sertifikasi halal Indonesia. Lebih jauh lagi, isu sertifikasi halal menjadi salah satu
agenda pada forum mekanisme bilateral antara Indonesia dengan beberapa negara mitra.
4. Sementara itu, sebagai pusat dunia Islam dan mengangkat Visi 2030 yang mendiversifikasi
perekonomian, KAS berambisi besar untuk menjadi entitas terdepan dalam industri halal.
Arab Saudi berambisi untuk memasuki pasar global USD 1,3 triliun untuk produk halal, dan
pasar halal diperkirakan bernilai USD 6 miliar per tahun.
Rumusan Masalah
5. Mencermati isu halal Indonesia dan Visi 2020 Saudi, bagaimana potensi, peluang, dan
tantangan kerja sama halal Indonesia-Arab Saudi?
Pembahasan
6. Kerajaan Arab Saudi adalah ekonomi terbesar di Timur Tengah dan terbesar ke-18 di
dunia. KAS memiliki populasi terbesar di wilayah GCC sekitar 30 juta penduduk dengan
tingkat pertumbuhan populasi tahunan sebesar 3,3%. Karena kondisi geografis yang keras
dan lahan tidak sesuai untuk pertanian, KAS mengimpor lebih dari 80% kebutuhan
pangannya. Pada tahun 2020, total nilai impor pangan akan mencapai USD 35 miliar. Pada
tahun 2018, Impor Pangan KAS meningkat sebesar 10% dibandingkan tahun sebelumnya
dan diperkirakan akan terus meningkat dalam beberapa tahun mendatang. Pasar Makanan
Halal di KAS diharapkan mencapai USD 6 miliar.
7. Pada tahun 2024, pasar makanan halal di Arab Saudi diproyeksikan tumbuh lebih dari 9%.
Pertumbuhan pasar makanan halal di KAS dipengaruhi oleh meningkatnya permintaan
makanan halal kemasan di kalangan non-Muslim, regulasi impor dan ekspor yang ketat,
kebijakan produk halal, serta peningkatan populasi Muslim.
8. Otoritas KAS menjamin semua produk yang masuk ke Arab Saudi adalah halal. Pada
aspek kelembagaan, pada 1 Oktober 2019, KAS meluncurkan sistem nasional Kerajaan
1
untuk produk halal dengan dua lembaga pengampu sistem halal nasional, yakni Saudi
Standards, Metrology and Quality Organization (SASO), dan Saudi Food and Drug
Authority (SFDA). SASO bertanggung jawab atas akreditasi dan SFDA mengakui dan
menerbitkan sertifikat halal.
9. Pada level multilateral, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang berkantor pusat di Arab
Saudi juga memiliki lembaga standardisasi halal bagi negara muslim, yakni Standards and
Metrology Institute for the Islamic Countries (SMIIC).
10. Pada sisi Indonesia, UU JPH membuka peluang dan kesempatan Pemerintah ‘dapat’
melakukan kerja sama internasional pengembangan JPH, penilaian kesesuaian, dan/atau
kerja sama saling pengakuan (mutual recognition agreement/MRA) sertifikat halal (pasal
46). Meskipun hanya ‘dapat’ atau bersifat tidak wajib, kerja sama internasional JPH dinilai
penting dan mendesak.
11. Urgensi kerja sama internasional JPH ini ditangkap oleh sejumlah negara anggota WTO
yang menawarkan kerja sama kepada Indonesia pada bidang JPH dengan tujuan agar
sertifikasi halal tidak mengarah pada hambatan perdagangan bagi produk-produk mereka
masuk ke Indonesia. Mencermati faktor intermestik (internasional-domestik) UU JPH, kerja
sama JPH internasional dilakukan untuk menjaga, mengamankan, dan melestarikan
kebijakan JPH di dalam negeri.
12. Namun demikian, riset Sidqi & Salim (2020) menemukan bahwa hingga saat ini belum ada
satupun MRA atau MoU terkait sertifikasi halal yang berhasil dijalin oleh BPJPH. Potensi
dan peluang kerja sama internasional halal belum cukup dioptimalkan oleh BPJPH.
13. BPJPH mengkonsentrasikan kerja sama internasional halal selama ini dengan negara mitra
dagang utama RI atau negara yang telah memiliki CEPA/FTA/PTA dengan RI, seperti
seperti Tiongkok, Australia, dan Chile. Namun demikian, upaya menjalin kerja sama halal
dengan negara-negara dimaksud, acap kali terbentur dengan kendala kelembagaan, yakni
sulitnya mencari counterpart yang setara dengan BPJPH atau Kementerian Agama di
negara mitra. Lebih jauh lagi, kendala substansi berupa perbedaan aliran fiqh yang dianut
oleh Indonesia dengan negara mitra juga menjadi tantangan terjalinnya kerja sama
internasional halal.
14. Sebagai mitra dagang utama RI di Timur Tengah, total nilai perdagangan RI-KAS masih
didominasi oleh migas. Dengan kata lain, masih terdapat ruang yang sangat luas untuk
peningkatan komoditas ekspor non-migas RI-KAS, terutama bagi produk pertanian dan
pangan RI ke KAS.
15. Dalam upaya kerja sama halal dengan Indonesia, Arab Saudi memiliki hambatan yang
lebih rendah dibandingkan dengan negara mitra lain, seperti Chile dan Australia. Selain
karena pust dunia Islam, KAS juga memiliki ambisi untuk mengembangkan industri halal
sebagai bagian dari Visi 2030. Secara kelembagaan, BPJPH telah memiliki counterpart di
Saudi, yaitu SASO dan SDFA. Pada aspek multilateral, RI-KAS dapat menjadi inisiator
untuk mengenalkan SMIIC halal standar dalam kerangka World Trade Organization (WTO).
16. Lebih jauh lagi, sertifikasi halal Indonesia dapat diproyeksikan untuk diakui sebagai
standarisasi dan sertifikasi perdagangan di seluruh dunia. Pada fase ini, sistem jaminan
halal akan menjadi soft-power diplomasi Indonesia sekaligus diharapkan akan menjadikan
Indonesia sebagai “kiblat” sistem jaminan halal dunia.

2
17. ‘Eksperimen’ Indonesia dalam penerapan JPH telah menyedot perhatian dunia, khususnya
bagi negara muslim lainnya. Keberhasilan/kegagalan Indonesia dalam penerapan sistem
jaminan halal merupakan ‘batu ujian’ bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di Dunia Muslim
dan negara-negara dengan agama yang menerapkan pembatasan pola konsumsi, seperti
Yahudi (kosher), Buddha (vegetarian), dan Hindu (ahimsa). Sistem jaminan halal di
Indonesia ibarat pilot project upaya penegakan sistem jaminan halal dunia dan sertifikasi
perdagangan berdasarkan kepercayaan agama.
Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
18. Meminjam istilah Putnam (1988), guna menjamin keberlangsungan amanat UU JPH,
penting bagi pengampu kebijakan nasional untuk memenangkan “two-level games” pada
arena domestik dan internasional sekaligus. Mengabaikan satu arena akan mengakibatkan
kekalahan pada arena lain.
19. Mempertimbangkan efisiensi, kesiapan lembaga, dan upaya peningkatan ekspor RI, Pemri
perlu mempertimbangkan pembentukan kerja sama halal dengan KAS sebagai pilot project
dalam rangka menegakan sistem halal dunia.
20. Sertifikasi halal yang dinilai sebagai instrumen perdagangan internasional, maka Pemri
(Kemlu, Kemenag, Kemendag) perlu mengembangkan pendekatan komprehensif non-
keagamaan dalam pengembangan kerja sama sertifikasi halal RI-KAS. Untuk itu,
setidaknya terdapat empat tahap,
sebagai berikut:
a. Menguatkan pondasi sistem jaminan
halal nasional,
b. Menegakkan kerja sama
internasional dengan tiga pilar
utama, yaitu promosi,
pengembangan kapasitas SDM
halal, oenelitian dan pengembangan.
c. Membangun Mutual Recognition
Agreement (MRA) halal, dan
d. RI-KAS dapat menjadi inisiator
sistem jaminan halal dunia.
21. Secara bilateral, direkomendasikan untuk mengangkat isu halal sebagai agenda pada
mekanisme bilateral RI-KAS, yaitu Indonesia-Saudi Leaders’ Council, Joint Working Group
on Health Cooperation, dan Indonesia-Saudi Business Council. Juga pada pertemuan
dengan para pejabat/duta besar asing, road show, dan forum bisnis di dalam/luar negeri,
serta memasukan halal sebagai agenda negosiasi FTA/PTA/CEPA.
22. Secara multilateral, Indonesia juga direkomendasikan untuk berperan lebih aktif pada
organisasi internasional di bawah Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang menangani
halal, yakni Standards and Metrology Institute for the Islamic Countries (SMIIC). SMIIC
halal standar dan kerja sama halal perlu dikenalkan dalam kerangka World Trade
Organization (WTO).
23. Sangat direkomendasikan untuk meneruskan rencana penyelenggaraan Halal Summit oleh
Indonesia pada November 2021 guna menguatkan kepemimpinan Indonesia pada industri
dan sertifikasi halal dunia. Namun, perlu juga diwaspadai bentroknya Halal Summit

3
Indonesia dengan rencana Saudi menyelenggarakan 1st Saudi International Halal Expo
pada November 2021.

Anda mungkin juga menyukai