net/publication/339783688
CITATIONS READS
0 3,660
1 author:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Muhammad Dhiya Ulhaq on 08 March 2020.
iii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Belum adanya pendampingan berbasis psikologi secara khusus di
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Yogyakarta berkaitan erat dengan
munculnya beberapa kasus terkait dengan kebutuhan pendampingan secara mental
bagi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di Lapas tersebut. Berdasarkan
preliminary study yang dilakukan, dipaparkan oleh salah satu petugas sipir Lapas
Kelas IIA Yogyakarta, AA (23 tahun) bahwa di Lapas tersebut belum ada
pendampingan khusus untuk menanggulangi permasalahan mental bagi WBP.
Di sisi lain dipaparkan oleh petugas sipir lainnya, yaitu SK (40 tahun)
bahwa beberapa kali pernah ditemukan WBP yang melakukan percobaan bunuh
diri dengan cara meminum bubuk baterai dan cukup sulit untuk diajak
berkomunikasi, bahkan percobaan bunuh diri tersebut tidak hanya dilakukan
sekali saja. Meskipun sempat berusaha untuk dihubungkan dengan salah satu
petugas magang yang juga merupakan seorang psikolog, beberapa lama
setelahnya WBP tersebut merasa lebih baik dan lebih mampu untuk diajak
berkomunikasi. Selain itu, dipaparkan oleh SK bahwa para WBP menyadari
bahwa mereka membutuhkan bantuan pendampingan secara mental, hal ini
digambarkan ketika ada petugas magang atau program yang sebelumnya pernah
dilakukan berkaitan dengan pemberian konseling baik individu maupun kelompok,
para WBP sangat antusias untuk mendaftarkan diri guna melaksanakan proses
konseling tersebut.
Di Lapas Kelas IIA Yogyakarta sendiri, angka residivis ialah sebesar 31%
atau 104 dari total keseluruhan 340 WBP. Melalui program Psychoamity, di
samping upaya meningkatkan kesadaran akan pentingnya pendampingan secara
psikologis, diharapkan pula program pendampingan secara psikologis mampu
mengoptimalkan potensi individu, kesejahteraan diri (psychological well-being),
dan juga mendorong fungsi Lapas dalam mendorong para WBP dapat berhasil
memantapkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya serta bersikap optimis
akan masa depannya; berhasil memperoleh pengetahuan, minimal keterampilan
untuk bekal mampu hidup mandiri dan berpartisipasi dalam kegiatan
pembangunan nasional; berhasil menjadi manusia yang patuh hukum yang
tercermin pada sikap dan perilakunya yang tertib, disiplin, serta mampu
menggalang rasa kesetiakawanan sosial; dan berhasil memiliki jiwa dan semangat
pengabdian terhadap bangsa dan negara. Urgensi terkait tujuan tersebut
disadarkan dari cukup tingginya angka residivis (WBP yang kembali masuk ke
Lapas setelah bebas masa tahanan).
Di sisi lain, kesehatan baik fisik maupun mental adalah hak setiap orang
tanpa terkecuali (Pasal 4 Undang-Undang Kesehatan). World Health Organization
(WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai kondisi fisik, mental, dan sosial yang
2
lengkap dan bukan sekadar tidak adanya penyakit atau kelemahan. Hal ini
mengindikasikan bahwa kesehatan mental juga merupakan satu hal yang sangat
penting untuk diperhatikan dan berlaku bagi para WBP. Warga Binaan
Pemasyarakatan adalah terpidana yang menjalani pidana di Lembaga
Pemasyarakatan (UU RI No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 1 ayat
7).
Hilangnya berbagai komponen dalam kehidupan WBP ketika berada di
dalam Lapas adalah salah satu permasalahan yang selalu terjadi, permasalahan
lain misalnya: harmonisasi sesama warga binaan, fasilitas Lapas yang tidak
mengakomodasi hak dasar WBP, tidak diberikannya sarana untuk mengurai
permasalahan dan mengeluarkan emosinya dengan cara yang tepat, dan buruknya
iklim kehidupan sosial di dalam Lapas. Kondisi penuh tekanan di dalam Lapas
juga membuat WBP memiliki resiliensi yang cenderung rendah. Resiliensi adalah
kemampuan individu untuk beradaptasi dan kembali pulih dalam menghadapi
masalah kehidupan maupun situasi lain yang menekan (Reivich & Shatte dalam
Ifdil & Taufik, 2012). Riza & Herdiana (2013) dalam penelitiannya tentang
‘Resiliensi Pada Narapidana Laki-Laki’ mengungkapkan bahwa resiliensi
seharusnya muncul secara optimal terutama ketika mereka sedang dalam situasi
menjalankan hukuman dan tekanan. Namun, dengan problem baru yang lebih
membatasi ruang gerak mereka, resiliensi mereka seringkali berada dalam level
yang rendah. Mereka menjadi rentan mengalami masalah psikologis selama di
dalam Lapas dan bahkan setelah keluar dan bebas.
Adanya urgensi yang penting dan mendesak untuk diadakannya sarana
pemberian dukungan psikologis diharapkan mampu membuka ruang kebijakan
dan mengembangkan saran inovatif untuk segera diimplementasikan agar dapat
diterapkan ke WBP melalui perpanjangan bantuan dari petugas Lapas. Hal ini
dapat berperan untuk meminimalisir dampak-dampak negatif secara psikis bagi
WBP, berperan sebagai sarana pengembang potensi WBP. Pentingnya kebutuhan
pendampingan berbasis psikologis di Lapas telah disampaikan oleh beberapa
pihak Lapas di Indonesia, salah satunya ditekankan pula oleh Wakil Menteri
Hukum dan HAM, Prof. Denny Indrayana, yang mendorong keterlibatan psikolog
dan bantuan psikologis pada Lapas di Indonesia disebabkan upaya membangun
mental yang sehat di lingkungan Lapas merupakan prioritas mengingat sampai
saat ini belum terbangun sistem layanan kesehatan mental yang terintegrasi
dengan Lapas (Satria, 2013). Selain itu, dipaparkan oleh Komisioner Ombudsman
RI Ninik Rahayu bahwa kebutuhan penghuni Lapas tidak hanya dari keagamaan
tetapi juga pendampingan kondisi mental dan psikologis (Hafiez, 2018). Oleh
karena itu, sarana pemberian dukungan psikologis dirasa sangat diperlukan demi
keberlangsungan lingkungan Lapas yang sehat dan sejahtera secara fisik maupun
mental, terlebih untuk meminimalisir risiko, stres, depresi, atau bahkan
kemungkinan untuk bunuh diri dan memaksimalisasi tujuan, serta hakikat dari
3
BAB 2
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SASARAN
2.1 Letak Geografis
PKM-M ini akan dilaksanakan di Lapas Kelas IIA Yogyakarta yang
berada di Jalan Tamansiswa No. 6 Kelurahan Wirogunan, Kecamatan Mergangsan,
Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kondisi geografis Lapas kelas
IIA Yogyakarta berada di Jalan Taman siswa seluas 3,8 hektar. Jarak tempuh dari
Universitas Gadjah Mada menuju Lapas sejauh 4,4 kilometer. Lapas ini berada
dalam wilayah kerja Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.
antar sesama WBP, pembulian verbal, dan bahkan usaha untuk melakukan kontak
kekerasan fisik antar napi. Oleh karena itu, perlu dibangun sistem dan fasilitas
serta program yang menangani permasalahan psikologis yang dialami WBP.
Program ini disebut dengan PsychoAmity yang akan dilaksanakan oleh petugas
kemasyarakatan Lapas Wirogunan Kelas IIA Yogyakarta kepada WBP. Namun,
sebelum segenap sumber daya petugas Lapas kompeten, di awal harus dilakukan
pelatihan yang dilaksanakan oleh tim PKM ini (gabungan mahasiswa psikologi
dan sosiologi) serta mitra berupa tim professional psikolog UGM.
campur tangan pihak luar lapas. Program PsychoAmity yang disusun diharapkan
dapat diadakan secara berkala sebagai model pemecahan permasalahan psikologis
hingga kemudian model terbaru yang lebih efektif ditemukan.
BAB 3
METODE PELAKSANAAN
Pada dua sesi awal pelaksanaan inner circle, Tim PKM diizinkan untuk
membantu wali lapas dan group leader dalam melaksanakan program bimbingan
psikologis. Setelahnya, segenap pihak di struktur pengurusan inner circle
diharapkan mampu mandiri melaksanakan programnya. Dilaksanakan pula
tahapan evaluasi yang akan mengecek kualitas program inner circle yang
dijalankan wali lapas. Hal ini sangat penting agar wali lapas memahami
pekerjaannya dan tercapai program mandiri berkelanjutan.
a. Pembentukan Kelompok Peer Counselor
WBP akan dikelompokkan yang dari berbagai WBP dengan jenis
permasalahan psikologis yang berbeda satu sama lain. Sehingga dalam satu
kelompok tidak berisikan permasalahan yang sejenis yang secara psikologis justru
berdampak buruk bagi harmonitas kelompok. Kelompok kecil ini akan menjadi
peserta program sharing session di PsychoAmity Inner Circle.
b. Sharing Session
Sharing session merupakan kegiatan penanganan permasalahan dari
masing-masing individu yang diutarakan pada kelompok peer counselor. Pada
dua sesi pertama dari kegiatan ini akan dilaksanakan oleh wali lapas dan group
leader dengan bantuan tim PKM dan tim profesional psikolog. Mulai pada sesi
ketiga, tim PKM dan tim profesional psikolog akan mundur untuk mengawasi.
Selain itu, kegiatan juga dapat dilakukan secara tertulis. Harapannya agar
narapidana yang tidak memiliki kemampuan bercerita secara verbal dengan baik
tetap dapat menceritakan permasalahan secara tertulis.
c. Training of Trainer
Training of trainer adalah kegiatan yang ditujukan pada wali lapas dan
group leader. Tujuan dari diadakannya training of trainer adalah agar wali lapas
dan group leader dapat kompeten mengurai dan mencari solusi dari segenap
permasalahan psikologis WBP dan kemudian program Psychoamity berjalan sama
baiknya dengan tanpa ada tim PKM ini.
d. Peer Counselor
Peer counselor merupakan kegiatan konseling yang mempertemukan para
warga binaan dengan permasalahan psikologis dengan wali lapas dan asistensi
group leader. Teknis kegiatan ini berbentuk diskusi kelompok ataupun kegiatan
bercerita secara personal oleh narapidana kepada wali lapas dan group leader.
Efek timbal balik dalam sesi konseling ini diharapkan muncul. Wali lapas dan
group leader menjadi lebih paham akan situasi terkini yang sedang dialami WBP,
serta WBP menjadi lebih tercerahkan dan optimis. Menurunnya pergesekan dan
kontak fisik antar WBP, kerusuhan percobaan bunuh diri, dan bahkan turunnya
residivis di masa yang akan diharapkan dapat tercapai.
e. Kegiatan Hiburan
Kegiatan hiburan yang dimaksud dapat berupa pertunjukan roleplay dari
warga binaan, penayangan film nilai-nilai solidaritas dan motivasi, dan kegiatan
permainan lain akan dilaksanakan secara rutin sekali dalam empat minggu.
9
3 Perjalanan 900.000
4 Lain-lain 325.000
Jumlah 11.089.675
10
DAFTAR PUSTAKA
Hafiez, F. A., 2018, Ombudsman: Psikolog di Lapas tak Mengakomodasi Warga
Binaan, https://www.medcom.id/nasional/peristiwa/3NOn1epK-
ombudsman-psikolog-di-lapas-tak-mengakomodasi-warga-binaan, diakses
pada 9 Desember 2019 pukul 18.36 WIB.
Ifdil & Taufik, 2012, Urgensi Peningkatan dan Pengembangan Resiliensi Siswa
di Sumatera Barat, Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan Volume XII No.2
November 2012.
Riza, M., Herdiana, I, 2013, Resiliensi pada narapidana laki-laki di Lapas Klas 1
Medaeng, Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial. 1(3), 142-147.
Satria, 2013, Wamenkumham Dorong Keterlibatan Psikolog di Lapas,
ugm.ac.id/id/berita/7723-wamenkumham-dorong-keterlibatan-psikolog-di
lapas, diakses pada 9 Desember 2019 pukul 19.23 WIB.
11
LAMPIRAN
Lampiran 1. Biodata Ketua, Anggota, dan Dosen Pendamping
Lampiran 1.1. Biodata Ketua
A. IdentitasDiri
1 Nama Lengkap Muhammad Dhiya Ulhaq
2 Jenis Kelamin Laki-Laki
3 Program Studi S1 Pariwisata
4 NIM 17/411359/SA/18847
5 Tempat dan Tanggal Lahir Pekanbaru, 26-05-1999
6 Alamat E-mail ulhaqqqq@gmail.com
7 Nomor Telepon/HP 081378043499
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai
ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi.
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu
persyaratan dalam pengajuan PKM-M.
23
B. Riwayat pendidikan
Gelar Sarjana S2/Magister S3/Doktor
Nama Institusi Universitas Gadjah Agder University Victoria
Mada College, University,
Kristiansand, Melbourne,
Norway Australia
Jurusan Akuntansi International Accounting
Management and
Finance
Tahun Masuk- 2000 – 2004 2005 – 2007 2013 – 2017
Lulus
C.2. Penelitian
No Judul Penelitian Penyandang Tahun
Dana
1. Mechanism Design in Accounting: An Applied, Mandiri 2017
Integrated and Realistic Approach
2. Hedge Accounting, Agency Theory and Corporate Mandiri 2017
Financial Management: A New
Optimization Modelling Approach
3. Corporate Governance: A Game Theory Based Mandiri 2018
Mechanism Design Approach
4. Can Hedge Accounting Reduce Risks and Improve Mandiri 2018
Firm Value?
5. Does the Use of Metaphors in Teaching Fakultas 2019
Auditing Improve Students’ Understanding? Ekonomika dan
An Experiment on Deep and Surface Learning Bisnis
Approaches Universitas
Gadjah Mada
4.
5.
6.
26
1. Mengontrol dan
bertanggung jawab
atas kinerja yang
dicapai dan kegiatan
Muhammad
Sosio- yang dilaksanakan
Dhiya Ulhaq S1
1. Humani 12 2 Mengkonsultasikan
17/411359/SA/ Pariwisata
ora permasalahan dengan
18847
dosen pembimbing
3 Koordinator
pelaksana seluruh
rangkaian kegiatan
1. Bertanggung jawab
pada ketua pelaksana
2. Mengkonsultasikan
Muhammad permasalahan dengan
Sosio-
Ibnu Azzulfa S1 dosen pembimbing
2. Humani 12
18/428306/SP/ Sosiologi 3. Koordinator
ora
28515 Pembagian Kelompok
Peer Counselor
4. Koordinator Peer
Counselor
1. Bertanggung jawab
pada ketua pelaksana
YoelSawi’eo D3 2. Mengkonsultasikan
18/431601/SV/ Teknik Teknik 12 permasalahan dengan
3.
15572 Industri dosen pembimbing
3. Koordinator Sharing
Session
Sinta Kartika Sosio- 1. Bertanggung jawab
S1
4. Widyowati Humani 12 pada ketua pelaksana
Psikologi
18/428003/PS/ ora 2. Mengkonsultasikan
29
32