Anda di halaman 1dari 14

PORTOFOLIO

PENTING NYA ORANG MUDA BAGI GEREJA

DOSEN PENGAMPU:LUNDU SITOHANG


KELOMPOK 2:
1. RISKI SURYANDA LIMBONG :220201024
2. RIZKY NADEAK :220102027
3. RIVALDO MICHAEL MAHULAE :220101118
4. TRI MARSELA :220204029
5. RENDY CRISTIAN PURBA :220102070

INSTITUT TEKNOLOGI SAWIT INDONESIA


MEDAN
2022/2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1

1.1 latar Belakang......................................................................................................1

1.2 Batasan Masalah..................................................................................................6

1.3. Rumusan Masalah...............................................................................................7

1.4. Tujuan Penelitian................................................................................................7

1.5. Manfaat Penelitian..............................................................................................7

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................9

2.1 PENGERTIAN OMK(ORANG MUDA KATOLIK).........................................9

2.2 SEJARAH OMK.................................................................................................9

2.3 KELOMPOK USIA OMK..................................................................................9

2.4 JENIS KEGIATAN...........................................................................................10

BAB III PENUTUP...................................................................................................11

3.1 KESIMPULAN.................................................................................................11

3.2 SARAN..............................................................................................................11

DAFTAR ISI..............................................................................................................12
BAB I PENDAHULUAN
1.1 latar Belakang
OMK (Orang Muda Katolik) merupakan sebuah wadah yang dapat
menghimpun para pemuda Katolik untuk terus melayani Tuhan dan sesama,
sebagai sebuah komunitas keagamaan. Pelayanan itu diwujudkan oleh berbagai
macam program sosial dan keagamaan yang dibuat komunitas ini, misalkan bakti
sosial, membentuk komunitas doa, serta seminar atau pelatihan bertemakan
pendalaman iman. Seseorang yang terlibat dalam komunitas ini dapat mengisi
waktu luang mereka dengan berinteraksi dengan sesama anggota OMK, dan
membentuk berbagai pengalaman iman di dalam program-program sosial-
keagamaan. Pengalaman-pengalaman tersebut memiliki keterkaitan dengan
kesejahteraan psikologis (psychological well-being), yakni sebagai bahan evaluasi
seseorang akan kondisi dirinya dalam hal menyadari potensi diri, merasakan
kebahagiaan, berusaha mencapai tujuan hidupnya, serta memiliki kepedulian
dengan orang sekitarnya (Snyder & Lopez, 2007:71). Dengan mengangkat tema
sosial-keagamaan, program-program komunitas OMK juga turut menanamkan
nilai-nilai gereja yang mengajarkan anggota OMK untuk bisa terus berkembang,
mengasihi diri sendiri dan orang lain (Gracia, 2013). Dengan demikian,
keterlibatan seseorang di komunitas OMK secara langsung maupun tidak, dapat
berkontribusi dalam perkembangan kondisi kesejahteraan psikologis seseorang.
Akan tetapi, tidak semua pengalaman bisa dievaluasi oleh seseorang sebagai suatu
kondisi yang positif. Seorang anggota OMK bisa saja memiliki penilaian negatif
atas pengalamannya ketika terlibat di kegiatan komunitas tersebut. Hal ini sejalan
dengan pandangan Ryff, dimana hasil evaluasi pengalaman seseorang dapat
mengarah kepada dua macam kondisi, yakni pada kesejahteraan (well being) atau
mengarah pada ketidaksejahteraan (Snyder & Lopez, 2007:70-71). Anggota OMK
yang mengevaluasi pengalamannya di OMK sebagai suatu hal yang positif atau
sebagai suatu pembelajaran kehidupan dapat digolongkan ke arah kesejahteraan

1
psikologis. Sebaliknya, seorang anggota yang mengevaluasi pengalamannya
dengan negatif akan mengarah pada ketidaksejahteraan psikologis.
Ketidaksejahteraan psikologis inilah yang perlu diwaspadai, karena kondisi
seorang anggota OMK yang cenderung mengalami hal tersebut akan berpengaruh
pada kondisi komunitas, terutama yang membutuhkan interaksi antar-anggotanya.
Mereka yang cenderung mengalami ketidaksejahteraan psikologis dapat membawa
evaluasi negatifnya ke dalam aktivitas OMK. Hal ini dapat dilihat dari kutipan
singkat wawancara dengan ketua OMK salah satu wilayah di salah satu paroki
Kevikepan Surabaya Barat yang menunjukkan adanya evaluasi negatif anggotanya
yang terbawa ke dalam aktivitas OMK. “Terkadang ada sih Mas, anggota yang
pesimis saat dikasih tugas di kegiatan OMK gitu. Alasannya itu selalu banyak.
Entah itu takut salah lah, merasa gak bisa lah, dan mereka malah lempar ke anak
lain akhir-akhirnya. Padahal mereka lo belum pernah ditugasi sebelumnya.
Biasanya sih anak-anak yang modelnya gitu yang nantinya kayak bermasalah sama
anggota lainnya” (D, anggota OMK, 20 tahun) Untuk lebih memperjelas fenomena
ini, Ryff telah mengemukakan enam aspek kondisi kesejahteraan psikologis
seseorang. Enam aspek tersebut ialah penerimaan diri, pengembangan diri, relasi
positif dengan orang lain, otonomi atau kemandirian, tujuan hidup, serta
penguasaan lingkungan (Snyder & Lopez, 2007: 70-71). Berdasarkan data
wawancara di atas, setidaknya telah menunjukkan bahwa terdapat anggota OMK
yang memiliki kendala dalam mencapai kesejahteraan psikologis, terutama dalam
dimensi pengembangan diri dan relasi positif dengan orang lain. Apabila ia telah
mengembangkan diri secara baik dan membangun relasi positif dengan orang lain,
seharusnya ia dapat menerima tanggung jawab serta tidak menimbulkan masalah
dengan anggota lainnya. Selain data wawancara di atas, ada pula data dari seorang
anggota OMK yang terlihat mengalami ketidaksejahteraan psikologis dalam
lingkungan OMK. “Saya sadar sih mas kalau saya ini anggota OMK, tapi saya
agak males ikut kegiatan-kegiatannya, soalnya kapan lalu pernah ikut itu disuruh-
suruh macem-macem, kayak jualan lah, sementara saya sukanya jalan-jalan, main,

2
nonton film gitu. Makanya saya memilih untuk pasif saat ada kegiatan atau proyek
di OMK” (I, anggota OMK, 23 tahun) Berdasarkan data tersebut, nampak bahwa
terdapat anggota komunitas yang secara sadar memilih untuk pasif, daripada turut
mengambil bagian di dalam komunitas OMK. Anggota tersebut jelas memiliki
kekurangan dalam aspek kesejahteraan psikologis, terutama pada aspek tujuan
hidup. Berdasarkan aspek tujuan hidup, ia belum dapat melihat tujuan hidupnya di
dalam komunitas OMK, sehingga ia tidak tertarik dengan kegiatan-kegiatan di
dalamnya. Apabila ia sudah melihat tujuan hidupnya di dalam OMK, seharusnya
ia bisa lebih antusias dalam menjalankan aktivitas yang ada di OMK. Secara tidak
langsung, sikap-sikap anggota yang seperti ini dapat mempengaruhi proses
tercapainya tujuan utama dari OMK itu sendiri. Tujuan utama OMK seperti yang
dikemukakan Komisi Kepemudaan dalam Konferensi Waligereja Indonesia ialah
menghasilkan anggota yang tangguh dan tanggap dalam hidup sebagai umat
Katolik/Gereja maupun sebagai masyarakat (Gracia, 2013). Ketika seorang
anggota memilih pasif, maka ia kurang berkontribusi dalam mewujudkan anggota
OMK yang tangguh dan tanggap dalam kehidupan bergereja dan bermasyarakat.
Temuan lain yang berbeda dengan kondisi ketidaksejahteraan anggota OMK,
yakni terdapat data yang menunjukkan kondisi anggota OMK yang mengalami
kesejahteraan psikologis, seperti yang dikemukakan oleh informan berikut. “Saya
mah memilih untuk join di OMK ini karena saya sendiri memang memilih untuk
berkontribusi dalam melayani Allah dan sesama tanpa disuruh orang tua atau romo
pas pembinaan komuni pertama. Bukannya omong kosong ya Kak, tapi ya
ketimbang saya harus menghabiskan waktu di rumah main sendiri gitu kan
kelihatan nggak produktif, makanya lebih baik saya bersosialisasi dengan teman-
teman dalam karya pelayanan, gini aja saya udah seneng kak. Malah saya ini
istilahnya kayak nulari mereka dalam arti bisa bikin anak-anak yang tadinya males
ikut pertemuan jadi mau. Dalam hati saya mikir sih, padahal saya ini kan orang
biasa yang masih punya salah dan kekurangan di samping kelebihan saya, tapi kok
bisa mereka mempercayakan jabatan ketua OMK ke saya. Mungkin sudah putusan

3
Tuhan lah. Trus apa kak? Relasi dengan anggota? Dari segi relasi, kami juga
kompak, saling jaga, saling peduli lah kalo ada yang lagi ada masalah.” (R,
anggota OMK, 20 tahun) Data wawancara di atas menunjukkan bahwa selain
terdapat anggota yang mengalami ketidaksejahteraan psikologis, ada pula anggota
yang terlihat sejahtera secara psikologis. Hal ini terlihat dari kondisi-kondisi
informan yang telah memenuhi keseluruhan aspek kesejahteraan psikologis.
Secara aspek otonomi, informan tersebut telah menunjukkan bahwa keputusannya
bergabung dengan OMK didasarkan pada pilihannya sendiri tanpa adanya
pengaruh dari pihak lain. Secara aspek tujuan hidup, informan telah memiliki
tujuan yang sejalan dengan tujuan OMK itu sendiri, yakni melayani sesama.
Secara aspek pengembangan diri, informan telah aktif bersosialisasi dan terlibat
dalam karya pelayanan daripada hanya sekedar bermain sendiri di rumah. Secara
aspek relasi positif dengan orang lain, informan telah menunjukkan bahwa relasi
dengan anggota OMK lainnya tetap kompak dan saling menjaga satu dengan yang
lainnya. Secara aspek penguasaan lingkungan, informan telah memberikan
pengaruh bagi orang lain (teman-temannya) untuk ikut terlibat dalam mewujudkan
tujuan OMK. Secara aspek penerimaan diri, informan juga sudah menunjukkan
bahwa dirinya mengakui adanya kekurangan di samping kelebihan dalam dirinya.
Terkait dengan data-data awal temuan peneliti terkait dengan kondisi
kesejahteraan psikologis anggota OMK, Prilletensky (2006: 123-133)
mengungkapkan empat faktor yang dapat mempengaruhi kondisi kesejahteraan
psikologis seseorang, yakni: kepribadian (biological and constitutional factors),
pengalaman awal pola asuh orangtua terhadap anak, kecerdasan emosi, dan
hubungan kasih dengan orang lain (loving relationship). Peneliti mengelompokkan
keempat faktor tersebut menjadi dua bagian, yakni faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal terdiri dari faktor kepribadian dan kecerdasan emosi,
sedangkan faktor eksternal terdiri dari faktor pengalaman awal pola asuh orang tua
dan hubungan kasih dengan orang lain. Dalam faktor eksternal, dijelaskan bahwa
pengalaman awal pola asuh orangtua yang memiliki kelekatan dengan anak, akan

4
membantu anak merasa aman dan nyaman di lingkungan sekitar saat tumbuh
dewasa. Selain itu, kondisi hubungan yang penuh kepedulian dan cinta kasih juga
dapat membuat individu merasa nyaman di dalam lingkungannya (Prilletensky,
2006: 123-133). Bentuk perilaku orang tua mengasuh anaknya, serta kepedulian
dan cinta itulah yang dapat digolongkan sebagai dukungan sosial. Menurut Uchino
(dalam Sarafino & Smith, 2007: 81), dukungan sosial merupakan sebuah bentuk
kepedulian, harga diri, atau ketersediaan pertolongan terhadap seseorang, yang
berasal dari orang lain atau kelompok, yang dapat mengarahkan seseorang ke
dalam kondisi nyaman dengan lingkungan sekitarnya. Dengan adanya keterkaitan
faktor eksternal kesejahteraan psikologis dengan pengertian dukungan sosial,
peneliti melihat bahwa dukungan sosial memiliki kontribusi dalam membentuk
kesejahteraan psikologis seseorang. Dukungan sosial itu sendiri dapat teramati
dalam komunitas OMK, yang bisa berasal dari sesama anggota maupun dari luar
OMK (keluarga dan anggota komunitas lain), sebagaimana tergambar dari
pengalaman informan berikut. “OMK itu aktif banget kok kak untuk bantu sesama
anggotanya yang lagi kesulitan. Kayak kapan lalu ada anggota yang sakit habis
kecelakaan, kami semua bareng-bareng jenguk dan kumpulin dana untuk bantu
biaya pengobatan.. Trus nggak jarang juga orang tua dari anak-anak OMK ini
ikutan nyumbang.. Trus ada juga saat ada anggota yang lagi UNAS gitu, kita
kakak kakaknya ikutan bantu ngajarin pelajaannya..” (Y, anggota OMK, 25 tahun)
Data wawancara di atas sudah cukup menggambarkan bentuk-bentuk dukungan
sosial yang ada di dalam OMK. Terdapat bentuk dukungan materi (instrumental),
dimana sesama anggota OMK menyumbangkan dana untuk biaya pengobatan.
Ada pula dukungan informasi, dimana anggota OMK yang lebih tua mengajarkan
anggota yang lebih muda saat hendak menghadapi ujian sekolah. Dukungan-
dukungan di atas yang sejauh ini dipercaya telah memberikan kontribusi bagi
kesejahteraan psikologis anggota OMK. Terkait dengan hubungan antara
dukungan sosial dengan psychological well-being, terdapat sejumlah penelitian
yang telah dilakukan, di antaranya penelitian yang dilakukan oleh Milatina dan

5
Yanuvianti (2014). Dalam penelitian yang berjudul “Hubungan antara Dukungan
Sosial dengan Psychological well-being pada Wanita Menopouse (di RS Harapan
Bunda Bandung),” ditemukan adanya hubungan positif yang cukup kuat antara
dukungan sosial dengan kesejahteraan psikologis dengan angka koefisien korelasi
sebesar 0,658. Sementara itu, dalam penelitian yang dilakukan oleh Nugraheni
(2016) yang berjudul “Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Psychological
well-being pada Guru Honorer Daerah,” ditemukan hubungan positif dengan
kategori cukup di antara kedua variabel tesebut, dengan angka koefisien korelasi
sebesar 0,395. Kedua hasil penelitian tersebut memang telah mendukung adanya
hubungan antara dukungan sosial dengan psychological well-being. Akan tetapi,
peneliti masih menemukan kesenjangan yang membuat penelitian ini penting
untuk dilakukan, yakni dalam sebuah lingkungan pembinaan OMK yang
seharusnya menerapkan nilai kepedulian dan nilai kasih, peneliti masih
menemukan kondisi ketidaksejahteraan psikologis seperti yang didapatkan pada
data preliminari sebelumnya. Inilah yang kemudian menjadi daya tarik peneliti
untuk menguji kembali hubungan antara variabel dukungan sosial dengan
kesejahteraan psikologis, terutama terhadap anggota komunitas OMK.

1.2 Batasan Masalah


Melihat luasnya ruang lingkup penelitian dalam hal pembagian kelompok
populasi, maka peneliti menerapkan batasan sebagai berikut:
a. Partisipan dalam penelitian ini merupakan anggota komunitas OMK kevikepan
Surabaya Barat, yang terdiri dari kelompok rentang usia taruna, usia madya,
dan usia karya (16-35 tahun), serta berstatus lajang atau belum menikah.
Pembagian usia ini ditetapkan untuk menghindari kerancuan keanggotaan
dengan komunitas ReKat (Remaja Katolik) yang memiliki aktivitas berbeda.
b. Partisipan pernah terlibat dalam aktivitas OMK setidaknya satu kali.
c. Penelitian ini berfokus untuk menguji hubungan antara dukungan sosial
dengan psychological well-being anggota OMK.

6
1.3. Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara dukungan sosial dan psychological well-being pada
anggota komunitas Orang Muda Katolik Kevikepan Surabaya Barat?
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat ada atau tidaknya hubungan antara
dukungan sosial dan psychological well-being pada anggota komunitas Orang
Muda Katolik
1.5. Manfaat Penelitian
Apakah ada hubungan antara dukungan sosial dan psychological well-being pada
anggota komunitas Orang Muda Katolik Kevikepan Surabaya Barat?
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat ada atau tidaknya hubungan antara
dukungan sosial dan psychological well-being pada anggota komunitas Orang
Muda Katolik.
1.5.1. Manfaat teoritik
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
ilmu psikologi, terkhusus pada bidang psikologi klinis terkait dengan
dukungan sosial dan psychological well-being pada anggota komunitas
Orang Muda Katolik.

1.5.2. Manfaat praktis


a. Bagi Responden
Memberikan pemahaman bagi responden terkait dengan peran dukungan
sosial dalam kesejahteraan psikologis diri, serta menjadi bahan evaluasi diri
dalam pengembangan kondisi kesejahteraan psikologis dan dukungan
sosial.
b. Bagi Komunitas OMK
Hasil penelitian ini nantinya dapat menjadi masukan komunitas Orang
Muda Katolik terkait dengan peran dukungan sosial dalam kesejahteraan
psikologis anggota komunitas, serta menjadi bahan evaluasi komunitas

7
terkait dengan pengembangan kondisi kesejahteraan psikologis dan
dukungan sosial anggotanya.
c. Bagi gereja
Memberikan gambaran kondisi kesejahteraan psikologis (psychological
well-being) dan dukungan sosial anggota komunitas OMK yang juga
bagian dari umat gereja, sehingga dapat digunakan sebagai bahan evaluasi
terkait pengembangan kesejahteraan psikologis dan dukungan sosial umat
gereja, khususnya pada usia muda.

8
BAB II PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN OMK(ORANG MUDA KATOLIK)


Orang Muda Katolik (OMK) adalah komunitas wadah kreativitas,
pengembangan, pengaderan generasi muda di
lingkungan stasi atau paroki gereja Katolik Roma. OMK berada di bawah
naungan Komisi Kepemudaan yang merupakan perangkat Gereja dengan tugas
khusus memberi perhatian pada pembinaan dan pendampingan kaum muda.
Nama OMK, sebelumnya bernama Mudika (Muda-mudi Katolik)

2.2 SEJARAH OMK


Sebelum dipakai istilah ini, dipergunakan nama Seksi Muda-mudi, atau Seksi
Kepemudaan Paroki (SKP). Istilah Mudika muncul sekitar tahun 1974 dan
pertama kali dipakai di Keuskupan Bogor untuk menamai gerakan Katolik muda
yang berbasis teritori Gereja. Istilah ini menjadi umum dan dipakai di seluruh
Indonesia. Sejak munculnya UU Keormasan No. 5 tahun 1985, peran Mudika
menguat menggantikan peran Pemuda Katolik sebelumnya. Pada tahun 2004
Komisi Kepemudaan Keuskupan Agung Jakarta memunculkan istilah baru,
OMK, Orang Muda Katolik. Nama ini kemudian meluas dan diteguhkan dalam
Pertemuan Nasional (PERNAS) OMK 2005 menjadi pengganti Mudika. Namun
sampai dengan saat ini, kedua istilah masih dipakai bergantian, sesuai dengan
pilihan masing-masing komunitas Katolik muda itu sendiri. Anggota OMK adalah
setiap kaum muda Katolik yang tinggal di wilayah tertentu yang berusia mulai
dari 13-35 tahun. Namun, ada juga OMK yang anggotanya Berusia mulai dari 12-
35 tahun, bahkan 6-35 Tahun.

2.3 KELOMPOK USIA OMK


Kelompok usia remaja (12 - 15 tahun)

9
Kelompok usia taruna (16 - 19 tahun)

Kelompok usia madya (20 - 24 tahun)

Kelompok usia karya (25 - 35 tahun)

kini ada juga OMK yang anggotanya berusia 6 tahun, atau 7 tahun.

2.4 JENIS KEGIATAN


Pelayanan altar

Pelayanan sekolah minggu

Pelatihan

Penelusuran minat dan bakat

Rekoleksi

Bakti sosial

Kompetisi

Pertemuan antar-OMK, daerah dan nasional

Menjaga parkir

10
BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan,maka kesimpulan yang dapat
diambil dalam bentuk peran OMK terhadap gereja yaitu dapat mengetahui
peranan peranan OMK terhadap gereja,mengetahui sejarah OMK,dapat
mengetahui kelompok usia OMK,Dan dapat mengetahui jenis kegiatan OMK

3.2 SARAN
1. Saran Bagi OMK
Loyalitas dan totalitas terhadap setiap kegiatan Gereja oleh OMK memang
baik untuk dipertahankan. Apa yang telah dalami OMK selama ini cukup
membantu mereka dalam mengembangkan diri, menumbuhkan kesadaran akan
potensi dan kepekaan pada lingkungan serta dapat mengakomodasi keinginan-
keinginan mereka. Tetapi yang perlu dicatat adalah bahwa OMK juga harus
memahami situasi dan kondisi kehidupannya terkait dengan tugas-tugas
pribadinya yang begitu beragam dan sangat padat. OMK diharapkan mampu
membagi waktu agar proses eksplorasi dirinya dapat berjalan lancar dan pada
akhirnya dapat mencapai identitas diri yang diharapkan.
2. Saran Bagi Orang Tua dan Dewan Paroki
Sebagai orang tua OMK dan dewan sebagai wakil Gereja diharapkan
memberikan ruang yang cukup dan kesempatan bagi OMK untuk dapat lebih
mengembangkan diri. Pemahaman dari pihak orang tua dan dewan paroki akan
tugas perkembangan terkait dengan masa usaha mencapai identitas diri,
kewajiban dan hak kaum muda juga diharapkan agar OMK terbantu dalam
menemukan diri, potensi, dan minatnya.

11
DAFTAR ISI
https://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Muda_Katolik Diakses pada tanggal 2 feb 2023

https://123dok.com/article/saran-kesimpulan-saran-pemaknaan-orang-katolik-
kegiatan-gereja.yrd6o7pq Diakses pada tanggal 2 feb 2023

12

Anda mungkin juga menyukai