Anda di halaman 1dari 14

Fara Syafira

04011181823033
Gamma 2018
Learning Issue
PEMERIKSAAN SARAF MORBUS HANSEN
Saraf tepi yang terkait morbus hansen (Ilmu penyakit kulit dan kelamin FK UI edisi
7)
1. N. ulnaris:
a. anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
b. clawing kelingking dan jari manis
c. atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial.
2. N. medianus:
a. anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
b. tidak mampu aduksi ibu jari
c. clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
d. ibu jari kontraktur
e. atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
3. N. radialis:
a. anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk
b. tangan gantung (wrist drop)
c. tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.
4. N. poplitea lateralis:
a. anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
b. kaki gantung (foot drop)
c. kelemahan otot peroneus
5. N. tibialis posterior:
a. anestesia telapak kaki
b. claw toes
c. paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis
6. N. fasialis:
a. cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus
b. cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi
wajah dan kegagalan mengatupkan bibir
7. N. trigeminus:
a. anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata
b. atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral

Pemeriksaan Saraf Tepi


I. Inspeksi
Dengan penerangan yang baik, lesi kulit harus diperhatikan dan juga kerusakan
kulit.
II. Palpasi
a. Kelainan kulit: nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus, khususnya pada tangan
dan kaki
b. Kelainan saraf: meraba dengan teliti N. aurikularis magnus, N. ulnaris, N.
peroneus. Mencari adakah penebalan saraf dan nyeri tekan. Perhatikan raut
wajah pasien, apakah kesakitan atau tidak pada saat meraba saraf.
Pemeriksaan harus sistematis, meraba atau palpasi jangan sampai menyakiti
atau pasien mendapat kesan kurang baik.
1. Pemeriksaan fungsi rasa raba dan kekuatan otot
Langkah-langkah pemeriksaan fungsi saraf:
a. Persiapan pemeriksaan fungsi saraf
1) Siapkan ballpoint yang ringan dan kertas
2) Siapkan tempat duduk untuk penderita.
b. Cara pemeriksaan saraf:
Periksa secara berurutan agar tidak ada yang terlewatkan mulai dari kepala
sampai kaki
1) Mata
a) Fungsi motorik saraf Facialis
- Penderita diminta memejamkan mata
- Dilihat dari depan/samping apakah mata tertutup dengan
sempurna/tidak ada celah.
- Bagi mata yang menutup tidak rapat, diukur lebar celahnya lalu
dicatat, misalnya lagopthalmos ±3mm mata kiri atau kanan

b) Fungsi sensorik mata (pemeriksaan kornea, yaitu fungsi saraf


trigeminus) tidak dilakukan di lapangan.
2) Tangan
a) Fungsi sensorik saraf Ulnaris dan Medianus
- Posisi penderita: Tangan yang akan diperiksa diletakkan di atas
meja/paha penderita atau bertumpu pada tangan kiri pemeriksa
sedemikian rupa, sehingga semua ujung jari tersangga (tangan
pemeriksa yang menyesuaikan diri dengan keadaan tangan
penderita) misalnya claw hand, maka tangan pemeriksa
menyangga ujung-ujung jari tersebut sesuai lengkungan jarinya.
- Jelaskan pada penderita apa yang akan dilakukan padanya,
sambil memperagakan dengan sentuhan ringan dari ujung
ballpoint pada lengannya dan satu atau dua titik pada telapak
tangannya (Gambar 6.4a)
- Bila penderita merasakan sentuhan diminta untuk menunjuk
tempat sentuhan tersebut dengan jari tangan yang lain (Gambar
6.4b)
- Test diulangi sampai penderita mengerti dan kooperatif
- Penderita diminta menutup mata atau menoleh ke arah
berlawanan dari tangan yang diperiksa
a. Penderita diminta menunjuk tempat yang terasa disentuh
ii. Usahakan pemeriksaan titik-titik tersebut tidak berurutan
(secara acak)

b) Fungsi motorik (kekuatan otot)


i. Saraf Ulnaris (kekuatan otot jari kelingking)
- Tangan kiri pemeriksa memegang ujung jari manis, jari
tengah dan telunjuk tangan kanan penderita, dengan telapak
tangan penderita menghadap ke atas dan posisi ekstensi (jari
kelingking bebas bergerak tidak terhalang oleh tangan
pemeriksa)
- Minta penderita mendekatkan (adduksi) dan pada
menjauhkan (abduksi) kelingking dari jari-jari lainnya
(Gambar6.5a). Bila penderita dapat melakukannya, minta ia
menahan kelingkingnya pada posisi jauh dari jari lainnya, dan
kemudian jari telunjuk pemeriksa mendorong pada bagian
pangkal kelingking (Gambar 6.5b)
Penilaian:
- Bila jari kelingking penderita dapat menahan dorongan ibu
jari pemeriksa, berarti masih Kuat.
- Bila jari kelingking penderita tidak dapat menahan dorongan
pemeriksa berarti Sedang.
- Bila jari kelingking penderita tidak dapat mendekat atau
menjauh dari jari lainnya berarti sudah Lumpuh.
- Bila hasil pemeriksaan meragukan apakah masih kuat atau
sudah mengalami kelemahan, anda dapat melakukan
pemeriksaan konfirmasi sebagai berikut:
- Minta penderita menjepit sehelai kertas yang diletakkan
diantara jari manis dan jari kelingking tersebut, lalu
pemeriksa menarik kertas tersebut sambil menilai ada
tidaknya tahanan/jepitan terhadap kertas tersebut

Penilaian:
- Bila kertas terlepas dengan mudah berarti kekuatan otot
Lemah
- Bila ada tahanan terhadap kertas berarti otot masih Kuat

ii. Saraf Medianus (kekuatan otot ibu jari)


- Tangan kanan pemeriksa memegang jari telunjuk sampai
kelingking tangan kanan penderita agar telapak tangan
pendeita menghadap ke atas, dan dalam posisi ekstensi.
- Ibu jari penderita ditegakkan keatas sehingga tegak lurus
terhadap telapak tangan penderita (seakan-akan menunjuk ke
arah hidung) dan penderita diminta untuk mempertahankan
posisi tersebut. (Gambar 6 .6a)
- Jari telunjuk pemeriksa menekan pangkal ibu jari penderita
yaitu dari bagian batas antara punggung dan telapak tangan
mendekati telapak tangan (Gambar 6.6b)

Penilaian:
- Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat
- Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti sedang
- Bila tidak ada gerakan berarti lumpuh
Selalu perlu dibandingkan kekuatan otot tangan kanan dan kiri
untuk menentukan adanya kelemahan.

iii. Saraf Radialis ( kekuatan pergelangan tangan )


- Tangan kiri pemeriksa memegang punggung lengan bawah
tangan kanan penderita.
- Penderita diminta menggerakkan pergelangan tangan kanan
yang terkepal ke atas ( ekstensi ) ( gambar 6.7a)
- Penderita diminta bertahan pada posisi ekstensi (ke atas) lalu
dengan tangan kanan pemeriksa menekan tangan penderita
ke bawah ke arah fleksi. ( gambar 6.7b)
Penilaian :
- Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih Kuat
- Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti sedang
- Bila tidak ada gerakan berarti Lumpuh( pergelangan tangan
tidak bisa ditegakkan ke atas )
3) Kaki
a) Fungsi sensorik saraf Tibialis posterior
- Kaki kanan penderita diletakkan pada paha kiri, usahakan telapak
kaki menghadap ke atas.
- Tangan kiri pemeriksa menyangga ujung jari kaki penderita.
- Cara pemeriksaan sama seperti pada rasa raba tangan.
- Pada daerah yang menebal sedikit menekan dengan cekungan
berdiameter 1 cm
b) Fungsi motorik saraf Peroneus Communis (Poplitea lateralis )
- Dalam keadaan duduk, penderita diminta mengangkat ujung kaki
dengan tumit tetap terletak di lantai / ekstensi maksimal ( seperti
berjalan dengan tumit ) ( Gambar 6.9a)
- Penderita diminta bertahan pada posisi ekstensi tersebut lalu
pemeriksa dengan kedua tangan menekan punggung kaki
penderita ke bawah/ lantai. ( Gambar 6.9b)
Penilaian :
- Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti Kuat
- Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti Sedang
- Bila tidak ada gerakan berarti Lumpuh ( ujung kaki tidak bisa
ditegakkan ke atas)
2. Tes fungsi saraf sensoris sensibilitas
I. Rasa nyeri (nosiseptor)
Nyeri merupakan sensasi yang paling baik untuk menentukan batas
gangguan sensorik. Alat yang digunakan adalah jarum berujung tajam
dan tumpul. Cara pemeriksan:
1) Mata penderita ditutup
2) Pemeriksa terlebih dahulu mencoba jarum pada dirinya sendiri.
3) Tekanan terhadap kulit penderita seminimal mungkin, jangan sampai
menimbulkan perlukaan.
4) Rangsangan terhadap kulit dilakukan dengan ujung runcing dan ujung
tumpul secara bergantian. Penderita diminta menyatakan sensasinya
sesuai yang dirasakan.
5) Bandingkan daerah yang normal dengan daerah abnormal yang
kontralateral tetapi sama (misalnya: lengan bawah volar kanan dengan
kiri)
6) Penderita juga diminta menyatakan apakah terdapat perbedaan
intensitas ketajaman rangsang di derah yang berlainan.
7) Apabila dicurigai daerah yang sensasinya menurun/meninggi maka
rangsangan dimulai dari daerah tadi ke arah yang normal.
II. Raba/sensasi taktil (tangoseptor)
Alat yang dipakai adalah kapas, tissue, bulu, kuas halus, dan lain-lain.
Cara pemeriksaan :
1) Mata penderita ditutup
2) Pemeriksa terlebih dahulu mencoba alat pada dirinya sendiri.
3) Stimulasi harus seringan mungkin, jangan sampai memberikan
tekanan terhadap jaringan subkutan. Tekanan dapat ditambah sedikit
bila memeriksa telapak tangan atau telapak kaki yang kulitnya lebih
tebal.
4) Mulailah dari kulit yang normal menuju bercak/lesi yang abnormal.
Bandingkan daerah yang normal dengan daerah abnormal yang
kontralateral tetapi sama (misalnya: lengan bawah volar kanan dengan
kiri)
5) Penderita diminta untuk mengatakan “ya” atau “tidak” apabila
merasakan adanya rangsang, dan sekaligus juga diminta untuk
menyatakan tempat atau bagian tubuh mana yang dirangsang
III. Suhu (thermoreseptor)
Alat yang dipakai adalah tabung berisi air bersuhu 5-10ºC untuk sensasi
dingin dan air 40-45ºC untuk sensasi panas. Cara pemeriksaan:
1) Penderita lebih baik pada posisi berbaring.
2) Mata penderita ditutup.
3) Tabung panas/dingin lebih dahulu dicoba terhadap diri pemeriksa.
4) Tabung ditempelkan pada kulit penderita dan penderita diminta
menyatakan apakah terasa dingin atau panas.

ANALISIS MASALAH
1. Pemeriksaan saraf tepi:
Palpasi: teraba penebalan saraf pada nervus tibialis posterior dekstra et sinistra
Tes fungsi saraf:
- Ada gangguan fungsi sensorik rasa raba, nyeri dan suhu pada plantar pedis
dextra et sinistra.
- Tes otonom tidak dilakukan
- Ada gangguan motorik pada otot yang dipersarafi nervus tibialis posterior
dekstra et sinintra
a. Bagaimana pemeriksaan fungsi saraf sensorik?
Jawab:
I. Rasa nyeri (nosiseptor)
Nyeri merupakan sensasi yang paling baik untuk menentukan batas
gangguan sensorik. Alat yang digunakan adalah jarum berujung tajam dan
tumpul. Cara pemeriksan:
1) Mata penderita ditutup
2) Pemeriksa terlebih dahulu mencoba jarum pada dirinya sendiri.
3) Tekanan terhadap kulit penderita seminimal mungkin, jangan sampai
menimbulkan perlukaan.
4) Rangsangan terhadap kulit dilakukan dengan ujung runcing dan ujung
tumpul secara bergantian. Penderita diminta menyatakan sensasinya
sesuai yang dirasakan.
5) Bandingkan daerah yang normal dengan daerah abnormal yang
kontralateral tetapi sama (misalnya: lengan bawah volar kanan dengan
kiri)
6) Penderita juga diminta menyatakan apakah terdapat perbedaan
intensitas ketajaman rangsang di derah yang berlainan.
7) Apabila dicurigai daerah yang sensasinya menurun/meninggi maka
rangsangan dimulai dari daerah tadi ke arah yang normal.
II. Raba/sensasi taktil (tangoseptor)
Alat yang dipakai adalah kapas, tissue, bulu, kuas halus, dan lain-lain.
Cara pemeriksaan :
1) Mata penderita ditutup
2) Pemeriksa terlebih dahulu mencoba alat pada dirinya sendiri.
3) Stimulasi harus seringan mungkin, jangan sampai memberikan
tekanan terhadap jaringan subkutan. Tekanan dapat ditambah sedikit
bila memeriksa telapak tangan atau telapak kaki yang kulitnya lebih
tebal.
4) Mulailah dari kulit yang normal menuju bercak/lesi yang abnormal.
Bandingkan daerah yang normal dengan daerah abnormal yang
kontralateral tetapi sama (misalnya: lengan bawah volar kanan dengan
kiri)
5) Penderita diminta untuk mengatakan “ya” atau “tidak” apabila
merasakan adanya rangsang, dan sekaligus juga diminta untuk
menyatakan tempat atau bagian tubuh mana yang dirangsang
III. Suhu (thermoreseptor)
Alat yang dipakai adalah tabung berisi air bersuhu 5-10ºC untuk sensasi
dingin dan air 40-45ºC untuk sensasi panas. Cara pemeriksaan:
1) Penderita lebih baik pada posisi berbaring.
2) Mata penderita ditutup.
3) Tabung panas/dingin lebih dahulu dicoba terhadap diri pemeriksa.
4) Tabung ditempelkan pada kulit penderita dan penderita diminta
menyatakan apakah terasa dingin atau panas.
b. Saraf sensorik apa saja yang dapat dilakukan pemeriksaan?
Jawab:
Saraf tepi
- n. Facialis
- n. Auricularis Magnus
- n. Radialis
- n. Ulnaris
- n. Medianus
- n. Cutaneus Radialis
- n. Peroneus Communis (poplitea lateralis)
- n. Tibialis Posterior
c. Bagaimana hubungan pemeriksaan saraf tepi dengan penebalan nervus tibialis
dan bercak merah serta mati rasa?
Jawab?
Pemeriksaan Mekanisme

M. Leprae memiliki bagian G domain of


extracellular matriks protein laminin 2 yang akan
berikatan dengan sel schwaan melalui reseptor
dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC kelas II
setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan
mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2
akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal
Palpasi: memfagosit M. Leprae akibat adanya fenolat

Penebalan saraf pada glikolipid I yang melindunginya di dalam makrofag.

nervus tibialis Ketidakmampuan makrofag akan merangsangnya

posterior dekstra et bekerja terus-menerus untuk merangsang

sinistra pengeluaran sitokin dan growth factors (GF) yang


lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenali
bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf
dan saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan
fibrosa sehingga terjadilah penebalan saraf tepi.
Terbentuknya jaringan fibrosa ini menyebabkan
gangguan hantaran sinyal saraf sensoris sehingga
dapat timbul mati rasa. (Darmaputra, 2018)

Tes gangguan fungsi Akibat dari penebalan sistem saraf tepi yang
sensorik rasa raba, disebabkan terjadi reaksi peradangan sehingga
nyeri dan suhu pada impuls saraf yang dialirkan juga terhambat inilah
plantar pedis dextra yang menyebabkan terganggunya fungsi sensorik
et sinistra. sensibilitas (rasa raba, rasa nyeri, dan suhu)

Gangguan motorik Akibat dari penebalan n. tibialis posterior dekstra et


pada otot yang sinistra yang disebabkan oleh reaksi peradangan

dipersarafi n. tibialis sehingga impuls saraf yang dialirkan ke otot-otot

posterior dekstra et efektornya juga terhambat inilah yang menyebabkan

sinistra terganggunya fungsi motorik

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Ilmu Kesehatan kulit dan kelamin FK UI. (2017). Ilmu Penyakit Kulit dan
kelamin. 7 penyunt. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Darmaputra, I. G. N., & Ganeswari, P. A. D. (2018).Peran sitokin dalam kerusakan
saraf pada penyakitkusta: Tinjuan Pustaka.
https://isainsmedis.id/index.php/ism/article/view/328 (diakses pada 03 November
2020)
Suriadiredjo, Aida, dkk. (2014). Panduan Layanan Klinis Dokter Spesialis Dermatologi
dan Venereologi. Jakarta: PARDOSKI.

Anda mungkin juga menyukai