NURDIN SAIDI
BINAWATI GINTING
MURNIANA
MUSTANIR
Jurusan Kimia
Fakultas Matematikan dan Ilmu Pengetahuan alam
Universitas Syiah Kuala
KATA PENGANTAR
i
4. Semua anggota herbarium Chemistry Department University of
Malaya
5. Dan semua yang ikut membantu kegiatan ini.
ii
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar ................................................................................... i
Daftar Isi ........................................................................................... iii
Daftar Gambar.................................................................................... iv
Daftar Skema..................................................................................... v
PENDAHULUAN............................................................................. 1
BAB I PENGUMPULAN SAMPEL TUMBUHAN ...................... 5
A. Persiapan ................................................................................ 6
B. Pengumpulan Sampel Tumbuhan .......................................... 7
C. Penanganan Sampel ............................................................... 8
BAB 2. ANALISIS FITOKIMIA .................................................... 12
A. Pendahuluan ........................................................................... 12
B. Uji Fitokimia Alkaloid ........................................................... 13
C. Uji Fitokimia Terpenoid, Steroid Dan Saponin ..................... 19
D. Uji Fitokimia Flavonoid ......................................................... 25
BAB 3. PEMISAHAN SENYAWA................................................. 28
A. Pelarut .................................................................................... 28
B. Esktraksi ................................................................................. 30
C. Isolasi ..................................................................................... 36
BAB 4. TEKNIK BIOASSAY ......................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 78
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR SKEMA
v
PENDAHULUAN
1
tumbuhan diyakini memiliki kandungan kimia yang sama atau hampir
sama. Pembuktian ini sudah sering dilakukan dengan cara penapisan
fitokimia, sehingga golongan senyawa metabolit sekunder dapat
diketahui.
Tumbuhan diketahui menghasilkan dua metabolit, yaitu primer
dan sekunder. Metabolisme primer merupakan bahan penyusun utama
dari makhluk hidup dan berfungsi untuk kelangsungan hidupnya.
Contoh metabolit primer adalah polisakarida, lemak, protein dan asam
nukleat. Produk metabolit sekunder merupakan produk sisa dari
metabolit primer dan proses pembentukan metabolit sekunder terjadi
hanya pada spesies tertentu, sehingga memberikan produk yang
berlainan untuk setiap sepsies. Produk ini bukan digunakan untuk
eksistensinya, tetapi banyak pakar menduga untuk pertahan diri dari
serangan spesies lain. Contoh produk ini dapat berupa pertahanan,
penarik sex, feromon, juvenil hormon dari berbagai kelompok yang
didasarkan pada kerangka utama senyawanya. Pengelompokkan
tersebut dapat berupa senyawa golongan alkaloid, terpenoid, steroid,
sapinin, kumarin, falavonoid dan beberapa kelompok lain. Beberapa
pakar juga menduga bahwa produk metabolit sekunder terbentuk,
karena ketidakmampuan tumbuhan untuk membuang sisa metabolism
primer dalam sel, sehingga terjadi detoksifikasi.
Ekstraksi, isolasi dan struktur elusidasi senyawa boaktif
memerlukan pakar multidisiplin ilmu. Diterminasi tumbuhan dan
pengenalan spesies memerlukan pakar biologi, khususnya botanis. Uji
aktvitas senyawa memerlukan pakar dari berbagai disiplin, misalnya
biokimia, pakar mikrobiologi dan biologi. Ekstraksi, isolasi dan
2
struktur elusidasi senyawa memerlukan pakar kimia organik bahan
alam dan analitik. Modifikasi struktur dan sintesis, pakar organik
sintesis sangat berperan.
Cara yang sering dilakukan dalam kajian senyawa asal tumbuhan
meliputi pengumpulan sampel tumbuhan, menyiapkan sampel untuk
bioassay, penapisan senyawa yang memiliki potensi, penapisan
fitokimia untuk menggolongkan kelompok metabolit sekunder dan
elusidasi struktur. Saat ini elusidasi struktur lebih mudah dilakukan,
karena peralatan yang semakin canggih. Peralatan nuclear magnetic
resonance (NMR) saat ini sudah memilki daya resolusi yang tinggi
bahkan sampai 800 MHz. Nuclear magnetic resonance dua dimensi
(2D-NMR HMQC, HMBC, COSY, NOESY) dan MS sangat
membantu dalam elusidasi struktur.
Penapisan dan isolasi sampel tumbuhan untuk senyawa metabolit
sekunder yang aktif memerlukan pendekatan multidisipli ilmu.
Pendekatan yang sudah baku dan teruji selama ini ini digunakan untuk
keperluan ini. Satu contoh adalah fraksionasi yang dipandu dengan uji
hayati (Bioassay guided fractination). Cara ini yang diisolasi hanya
senyawa aktif saja, namun senyawa lain tidak terisolasi. Teknik isolasi
yang juga kerap dilakukan adalah mengisolasi senyawa apa saja,
walaupun potensi aktivitasnya belum diketahui. Senyawa yang tidak
aktif pada bioindikator tertentu belum tentu tidak bermanfaat. Rekayasa
senyawa melalui sintesis dan modifikasi struktur sangat berperan untuk
meningkatkan potensi suatu senyawa.
3
Penapisan pendahuluan melalui uji hayati merupakan hal yang
menjadi penentu keberhasilan isolasi selanjutnya. Namun memerlukan
beberapa kriteria, yaitu prosedurnya harus jelas dan sederhana, dapat
dilakukan dengan cepat, terpercaya, murah, peka terhadap bioindikator,
tidak banyak memerlukan peralatan dan mampu mengidentifikasi
bioindikator, baik secara umum maupun khusus.
4
BAB I
PENGUMPULAN SAMPEL TUMBUHAN
5
hal yang perlu dilakukan dalam pengumpulan sampel tumbuhan untuk
keperluan penelitian, yaitu persiapan, pengumpulan dan penanganan
atau penyimpanan sampel.
A. PERSIAPAN
Persiapan perlu dilakukan untuk menghindari kesulitan dalam
pengumpulan sampel, Beberapa hal yang perlu dilakukan tujuan
tersebut adalah:
a. Kenderaan. yang digunakan untuk transportasi harus mampu
digunakan dalam medan atau kondisi yang berat. Karena tidak
semua sampel dapat diperoleh dari tempat yang mudah dijangkau,
misalnya di daerah bukit yang relatif tinggi dan jurang yang dalam.
b. Chain saw atau alat pemotong batang, cabang atau ranting
tumbuhan yang relatif besar, sehingga tidak memerlukan waktu
yang lama.
c. Goni atau wadah sampel yang terbuat dari kain. Hindari sampel di
simpan dalam wadah dari plastik, karena dapat merusak struktur
senyawa, akibat kerja-kerja mikroba.
d. Etanol diperlukan untuk menyimpan spesimen buah agar tidak
cepat rusak karena mikroba tidak akan hidup.
e. Gunting, alat pemotong, parang, kampak, tali goni,
f. Kabel besar berfungsi untuk menarik sampel yang masuk ke dalam
jurang.
g. Pengepres spesimen.
h. Sepatu, baju lengan panjang, sarung tangan, topi dan kaca mata juga
diperlukan untuk melindungi diri dari duri atau binatang kecil.
6
i. Makanan dan minuman secukupnya
8
lebih banyak mengandung air. Jumlah tersebut diperkirakan cukup
untuk keperluan isolasi, uji fitokimia dan uji hayati. Sampel
dikeringanginkan di udara terbuka tanpa sinar matahari secara langsung
(Gambar 2) sehingga dapat kering secara baik dan tidak rusak secara
biologi. Sampel yang telah kering dihancurkan dengan mesin
penghancur dan selanjutnya dimasukkan ke dalam wadah yang terlah
diberi kode herbarium.
9
memastikan nama spesies tersebut. Nama spesies yang sudah diketahui
diletakkan dalam bilik herbarium (Gambar 3).
10
Gambar 4. Cara pengambilan sampel
11
BAB II
ANALISIS FITOKIMIA
A. PENDAHULUAN
Analisis senyawa kimia tumbuhan bertujuan untuk mengetahui
keberadaan metabolit sekunder. Metabolit sekunder ini dapat
dikelompokkkan berdasarkan kerangka dasar senyawa, meliputi
golongan alkaloid, terpenoid, steroid, flavonoid maupun saponin.
Beberapa senyawa metabolit sekunder tidak dapat digolongkan secara
spesifik, karena kerangka dasarnya belum ditetapkan secara umum.
Secara kualitatif keberadaan senyawa ini dapat diketahui dengan
reagen-reagen penampak noda tertentu. Cara seperti ini disebut dengan
analisis fitokimia. Tujuan analisis fitokimia adalah sebagai panduan
dalam isolasi golongan senyawa target dan panduan untuk uji hayati.
Keberadaan golongan metabolit sekuder sangat bervariasi dalam
tumbuhan dan umumnya dapat diprediksi lebih awal dari suatu famili.
Misalnya famili Lauraceae, anonaceae dan apocynaceae dan beberapa
famili lain memiliki kandungan senyawa dari golongan alkaloid,
walaupun keberadaan golongan senyawa lainnya mungkin ada. Famili
Meliaceae umumnya memiliki kandungan senyawa golongan
terpenoid. Famili Moraceae diketahui banyak terdapat metabolit
sekunder dari golongan flavonoid. Walaupun demikian para pakar
senyawa bahan alam tidak dapat menduga pasti setiap tumbuhan
mengandung senyawa tertentu, untuk itu uji fitokimia menjadi hal yang
12
penting untuk pedoman dalam isolasi senyawa metabolit sekunder
selanjutnya.
Banyak cara para peneliti melakukan uji fitokimia, namun secara
umum cara yang paling sering digunakan adalah analisis fitokimia
dengan penampak noda. Penampak noda masing-masing golongan
berbeda-beda. Golongan senyawa alkaloid dapat diidentifikasi dengan
reagen Mayer, Wagner maupun dragendorf. Steroid dan terpenoid
biasanya menggunakan reagen Libermann-Bourchard atau vanillin
sulfat sebagai penampak noda dan flavonoid mereaksikan sampel
dengan pereaksi FeCl3.
13
Alkaloid adalah senyawa produk alam yang paling bervariasi,
sehingga jumlah senyawa golongan ini memiliki jenis yang paling
banyak jika dibandingkan dengan golongan lainnya. Variasi senyawa
alkaloid disebabkan oleh rantai samping yang sangat beragam.
Beberapa contoh senyawa alkaloid yang sudah ditemukan di dalam
tumbuhan tertera pada Gambar 5.
O 5 4
6 4a 3
7 8a
8 1 N
O
Papralina
O 4
3
2 3a
5
1
1b
N
O
1a 6a
11a 7
O
11 7a
10 8
9
H3CO
OCH3
Disentrinona
14
H3CO
5 4
6 4a 3
7 8a
N CH3
8
HO
1
H
H3CO
2'
3' 1'
4' 6'
5'
H3CO
Kodamina
Gambar. 5 Beberapa Senyawa Metabolit Golongan Alkaloid
Sampel 10 g
-Digerus dan dihaluskan
-Dibasahkan dengan amonia pekat 2 jam
-Dimaserasi dengan 5 mL CH2Cl2
-Dikocok kuat-kuat
-Disaring dan dipekatkan
Filtrat Residu
-Ditambahkan 5 mL HCl 5%
-Dikocok
-Didiamkan beberapa saat sampai terjadi 2
lapisan
Hasil
c. Reagen Wagner
Reagen Wagner dibuat dengan cara menimbang 1,25 g iodine, I2
dan 1 g kalium iodide, KI. Campuran bahan tersebut dilarutkan dalam
100 mL aqudes dalam labu ukur. Reaksi positif alkaloid menunjukkan
endapan coklat.
21 28
24 H
23
22
18 20 25
26
H
12 H
13 17 27
19 11
H 16
14
15
1 9
2 10 8
H H
3 5 7
4 6
HO
29
21 28
18 23 24
22 H
20
26
25
12 H
19 11 13 17
H 16 27 H
14
15
1 9
6' 2 10 8
CH2OH H 7 H
O 3 5
HO 4' 4 6
5' O
3' 2'
HO OH 1'
20
Gambar 8. Struktur Senyawa Golongan Terpenoid
21
Sampel 10 g
- Digerus halus
- Ditambahkan metanol panas
Filtrat
- Diuapkan dengan rotary evaporator
Ekstrak
metanol
- Diekstraksi dengan etilasetat atau diklorometana
Fraksi yang
Fraksi yang larut
tidak larut
- Diuji dengan pereaksi Liebermann - (Residu)
Burchard
Busa stabil ± 30
Hijau/Biru Ungu/Merah menit
(+) (+)
Ekstrak
- Ditambahkan
HCl
Ungu/merah Hijau/Biru
(+) Saponin (+) Saponin
Triterpen Steroid
24
D. UJI FITOKIMIA FLAVONOID
Senyawa golongan flavonoid sebenarnya adalah senyawa
golongan fenolat. Umumnya golongan senyawa ini bersifat polar,
karena memiliki beberapa gugus hidroksil atau juga sering dijumpai
dalam bentuk flavon glikosida. Banyak tumbuhan-tumbuhan yang
memiliki kandungan senyawa golongan falvonoid. Famili moraceae
dan leguminocae adalah contoh tumbuhan yang banyak terkandung
senyawa golongan ini. Kerangka dasar flavonoid terdiri atas 15 atom
karbon yang memiliki 2 cincin fenil (A dan B) yang dihubungkan oleh
rantai propane (Gambar 9).
25
Sampel 10 g
Ekstrak
metanol
- Diekstraksi dengan n-heksana
Residu Filtrat
- Diekstraksi dengan 10 mL etanol 80%
- Ditambahkan 0,5 g Mg dan Hcl 0,5 M
Merah muda/ungu
(+) Flavonoid
27
BAB III
PEMISAHAN SENYAWA
A. PELARUT
Faktor pelarut sangat berperan penting dalam proses ekstraksi ini.
Pelarut yang digunakan memiliki kualitas yang bervariasi dan jika
digunakan untuk ekstraksi dapat dilakukan menggunakan pelarut yang
kualitasnya relatif lebih rendah (industrial grade). Pelarut ini dapat
ditingkatkan kualitasnya dengan cara distilasi pelarut. Rendemen hasil
distilasi biasanya berkisar antara 70-80% tergantung sistem
pendinginnya atau jumlah pengotornya.
Secara umum pelarut yang digunakan untuk ekstraksi dibagi tiga
kategori yaitu (1) pelarut non polar, misalnya n-heksana dan petroleum
eter. (2) pelarut semi polar, misalnya, etilasetat, aseton, diklorometana,
benzena dan kloroform. (3) Pelarut polar biasanya digunakan metanol
dan etanol. Pada dasarnya pelarut yang digunakan untuk ekstraksi harus
memiliki beberapa persyaratan.
28
a. Mudah diperoleh
Banyak pelarut yang diproduksi harus dipesan dalam waktu yang
relatif lama, sehingga pekerjaan ekstraksi dapat terhambat.
b. Relatif murah
Pelarut satu dengan yang lainnya, seringkali memiliki perbedaan
harga yang signifikan, walaupun keduanya memiliki fungsi yang
relatif sama dalam hal pemisahan.
c. Memiliki titik didih yang rendah
Pelarut yang memiliki titik didih rendah memudahkan dalam
proses pemekatan. Pelarut dengan titik didih yang relatif tinggi
memerlukan waktu yang lebih lama dalam proses pemekatan ekstrak.
Satu contoh etanol dan metanol merupakan pelarut organik polar dan
senyawa yang terekstraksi relatif sama, tetapi etanol memiliki titik
didih 79 0C dan metanol adalah 65 0C. Para pakar umumnya lebih
menyukai metanol sebagai pelarut.
d. Relatif kurang berbahaya
Satu contoh pelarut yang berbahaya adalah, misalnya kloroform
(walaupun merupakan ekstrakstor yang baik), tetapi pengerjaannya
harus sangat hati-hati. Contoh lain pelarut yang tidak dianjurkan
adalah benzena, karena pelarut ini sangat karsinogenik.
e. Tidak bereaksi dengan sampel
Beberapa pelarut seringkali bereaksi dengan pelarut, sehingga
jika digunakan akan diperoleh senyawa yang sudah berubah dari
senyawa asalnya.
29
Tabel 1 adalah beberapa pelarut dan titik didihnya, yang lazim
digunakan dalam proses ekstraksi maupun isolasi, walaupun masih
banyak jenis pelarut yang lain tidak tercantum dalam tabel tersebut.
B. EKSTRAKSI
Ekstraksi merupakan proses penyarian suatu senyawa atau
kelompok senyawa menggunakan pelarut tertentu yang sesuai dengan
sifat kepolaran senyawa yang diinginkan. Berbagai cara ekstraksi telah
dilakukan untuk analisis senyawa kimia dalam tumbuhan. Masing-
masing cara ekstraksi memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan
tergantung sifat senyawa yang diinginkan. Beberapa jenis ekstraksi
30
yang sering dilakukan oleh kimiawan organik bahan alam meliputi
maserasi, sokletasi, perkolasi dan partisi.
a. Maserasi
Maserasi adalah proses ekstraksi yang menggunakan pelarut
dingin, tanpa perlakuan suhu dan dengan cara perendaman. Cara ini
paling sering digunakan, karena memiliki beberapa kelebihan
walaupun juga memiliki beberapa kekurangan. Kelebihan ekstraksi
dengan cara maserasi adalah:
1) Senyawa yang mudah rusak akan tetap terjaga dengan baik,
karena tidak menggunakan suhu tinggi pada saat ekstraksi.
2) Jumlah sampel yang diekstrasi dapat dilakukan dengan
jumlah yang banyak, karena wadahnya dapat dimodifikasi
sesuai dengan jumlah sampel.
3) Tidak menggunakan peralatan khusus. Wadah apa saja dapat
digunakan untuk maserasi sejauh tidak bereaksi atau dapat
larut dengan pelarut yang digunakan.
Ekstraksi secara maserasi, walaupun memiliki beberapa kelebihan,
namun ada juga beberapa kelemahan.
1) Pelarut yang diperlukan lebih banyak, karena dilaukan
perendaman berulang-ulang sampai diharapkan semua
senyawa terekstrak.
2) Waktu yang diperlukan untuk proses ekstraksi relatif lebih
lama. Biasanya satu kali maserasi dilakukan dalam masa 3
hari. Jika maserasi dilakukan berulang-ulang 3 kali, maka
akan memerlukan waktu 9 hari.
31
3) Jika waktu yang digunakan tidak maksimum, maka tidak
semua senyawa terekstrak dengan sempurna.
b. Sokletasi
Teknik ekstraksi ini adalah menggunakan pelarut yang sesuai
dengan titik didihnya sebagai ekstraktor. Cara ini dapat digunakan jika
menggunakan pelarut yang memiliki titik didih rendah. Karena titik
didih yang rendah memungkinkan senyawa yang terekstrak tidak
rusak. Ekstraksi beberapa senyawa metabolit sekunder dapat juga
dilakukan dengan cara ini, karena senyawa tersebut cukup tahan
terhadap suhu tinggi. Alat sokletasi sederhana yang kerap digunakan
untuk ekstraksi terlihat pada Gambar 12. Cara ini memiliki beberapa
kelebihan sebagai berikut.
1) Lebih ekonomis
2) Menggunakan pelarut yang sedikit, karena sistem kerja
peralatan soklet, pelarut akan kembali ke dalam labu soklet.
3) Ekstraksi dapat berlangsung secara cepat, sehingga tidak
memerlukan waktu yang lama untuk memperoleh ekstrak.
4) Senyawa yang terekstraksi menjadi lebih banyak, karena
sirkulasi perendaman berlangsung lebih banyak dan cepat.
32
Gambar 12. Peralatan Ekstraksi Soklet
33
Ekstraksi cara ini juga memiliki kelemahan dan diantaranya
adalah:
1) Senyawa yang terekstraksi dikuatirkan akan rusak, terutama
senyawa-senyawa yang sensitif terhadap panas, apalagi
menggunakan pelarut yang memiliki titik didih tinggi.
2) Peralatan soklet umumnya dapat menampung sampel dalam
jumlah yang sedikit. Jika sokletasi sampel dalam jumlah yang
banyak, maka diperlukan sokletasi berkali-kali, sehingga
memerlukan waktu yang lama.
Cara kerja alat ini adalah sampel diletakkan pada tempat sampel
dan ditambahkan dengan natrium sulfat anhidrat untuk mengurangi atau
menghilangkan air yang terdapat dalam sampel. Pelarut organik yang
digunakan diletakkan dalam labu bulat dan dipanaskan dengan heating
mantel. Pelarut diuapkan melalui jalan langsung uap (bypass sidearm)
sehingga terjadi pengembunan pada kondensor. Kondensor harus
dihubungkan dengan sistem pendingin (cooler), sehingga
pengembunan uap pelarut terjadi secara sempurna.
Pelarut yang mengembun menjadi cair akan merendam sampel
sampai pada batas ketinggian refluk sidearm, maka pelarut akan turun
ke dalam labu bulat lagi. Proses ini berlangsung secara terus menerus
sampai diperkirakan semua senyawa terkstraksi.
c. Perkolasi
Proses ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru secara terus
menerus sampai sempurna disebut dengan perkolasi. Proses perkolasi
ini dilakukan pada suhu ruang, sama seperti proses ekstraksi maserasi.
34
Ekstraksi cara akan dihentikan jika senyawa yang terekstraksi tidak
terkandung lagi dalam sampel. Perkolasi dapat dihentikan, jika tetesan
perkolat tidak berwarna lagi, walaupun seringkali banyak senyawa
yang tidak berwarna. Cara lain adalah pada perkolat terakhir dilakukan
KLT, kemudian dilihat di bawah lampu UV dan jika masih terlihat ada
senyawa, maka perkolasi masih dilanjutkan.
35
dipisahkan dengan cara membuka keran labu. Laju tetesan ekstrak sama
dengan tetesan pelarut baru yang diletakkan dalam botol yang telah
dimodifikasi dan dilengkapi dengan keran (Gambar 13). Ekstraksi
dengan cara perkolasi memiliki beberapa kuntungan.
1) Kandungan senyawa dalam sampel tidak mengalami kerusakan,
karena dilakukan dengan suhu kamar.
2) Sampel yang diekstrasi dapat dilakukan dengan jumlah yang
banyak, karena wadahnya dapat dimodifikasi sesuai dengan
jumlah sampel.
3) Pelarut yang digunakan terus menerus dalam keadaan baru,
sehingga proses ekstraksi akan lebih cepat.
Beberapa kelemahan proses ekstrasi dengan cara perkolasi adalah
1) Memerlukan pelarut yang banyak
2) Proses ekstraksi memerlukan waktu yang lama
d. Partisi
Partisi adalah pemisahan dua campuran senyawa atau lebih
dengan menggunakan pelarut yang tidak saling larut dengan salah satu
senyawa. Cara ini sering dilakukan untuk campuran senyawa dalam
keadaan cairan, namun sering juga dalam campuran padatan. Peralatan
yang paling sering digunakan untuk proses adalah corong pisah.
C. ISOLASI
Isolasi adalah pengasingan masing-masing senyawa berdasarkan
sifat kepolaran senyawa yang akan diasingkan. Isolasi senyawa
metabolit sekunder dapat dilakukan dengan berbagai cara. Cara yang
36
paling sering dilakukan adalah secara kromatografi kolom,
kromatografi kolom cair vakum, kromatografi lapis tipis preparatif
(KLTP) dan kromatografi cair kinerja tinggi preparatif (KCKTP).
Umumnya proses isolasi dilakukan dengan menaikkan tingkat
kepolaran pelarut yang dimulai dari ekstrak yang bersifat non polar
sampai polar. Proses isolasi didahului oleh proses proses ekstraksi.
Skema 4 adalah contoh ekstraksi umum yang sering dipedomani
sebagai cara yang sederhana.
Sampel Tumbuhan
dipekatkan
Ekstraksi dengan Etilasetat
Ekstrak n-heksana
Ekstrak etilasetat
Residu Filtrat MeOH
Dipekatkan
Extrak MeOH
37
Pengerjaan awal sampel dimulai dengan cara ekstraksi (misalnya,
maserasi, sokletasi, perkolasi atau partisi) menggunakan pelarut n-
heksana. Pelarut ini dapat mengekstrak senyawa golongan lemak,
monoterpenoid ataupun senyawa metabolit sekunder lain yang bersifat
non polar. Pengerjaan isolasi ini akan diperoleh kelompok senyawa non
polar. Senyawa ini dalam pengerjaan selanjutnya dilakukan isolasi dan
dapat diidentifikasi masing-masing senyawa. Residu diekstrasi dengan
pelarut semipolar, misalnya etilasetat atau diklorometana. Fungsi
pelarut ini untuk memisahkan senyawa yang bersifat semi polar. Isolasi
ekstrak etil asetat melalui berbagai cara pemisahan dapat diperoleh
senyawa-senyawa yang terkandung dalam ekstrak ini. Pelarut polar,
misalnya metanol, digunakan untuk menarik senyawa-senyawa polar,
misalnya golongan senyawa saponin, tanin, flavonoid atau metabolit
sekunder lainnya yang bersifat polar. Hasil pengerjaan ini diharapkan
semua senyawa dalam sampel dapat terekstraksi dan dapat diisolasi
yang selanjutnya diidentifikasi melalui elusidasi struktur. Skema 5
adalah contoh pengerjaan isolasi senyawa metabolit sekunder dari
tumbuhan.
38
Ekstrak n-heksana atau
EtOAc atau MeOH
Kolom kekromatografi
dipekatkan
Isolat murni
Isolat murni
Elusidasi struktur
Struktur
39
Teknik isolasi yang dimulai dari pelarut polar sering juga
dilakukan, namun pengerjaannya dengan cara ini sedikit lebih susah,
karena pada saat partisi antara semi polar dengan polar, harus
menambahkan air. Air memiliki titik didih yang tinggi sehingga lebih
sulit dipekatkan. Cara ini memiliki kelebihan, yaitu menggunakan
pelarut yang relatif sedikit. Skema 6 adalah contoh teknik isolasi umum
yang dimulai dengan pelarut polar.
Sampel Tumbuhan
Filtrat Residu
Filtrat MeOH
Dipekatkan
Ekstrak MeOH
Residu Filtrat
- Ditambah air
- Dipartisi dengan EtOAc Dipekatkan
Ekstrak n-heksana
Filtrat Residu
dipekatkan dipekatkan
40
Sampel diekstraksi dengan metanol beberapa kali sampai
diharapkan semua senyawa baik yang polar, semipolar maupun non
polar dapat terkestraksi ke dalam pelarut. Ekstraksi dapat dihentikan
jika pelarut tidak berwarna lagi atau diidentifikasi dengan cara
menotolkan ekstrak di atas plat KLT, kemudian di-spray dengan reagen
penampak noda. Metanol adalah pelarut yang sangat baik untuk
ekstraksi semua senyawa metabolit sekunder dalam jaringan tumbuhan.
Kemampuan ini disebabkan metanol dapat merusak struktur jaringan
sel tumbuhan, sehingga semua senyawa dapat terektraksi. Ekstrak
metanol disaring dan dipekatkan dengan rotari evaporator. Ekstrak
pekat metanol dipartisi dengan n-heksana secara berulang-ulang,
sampai semua senyawa non polar dapat terekstraksi. Filtrat dipekatkan
dan dipeoleh ekstrak pekat n-heksana.
Ekstraksi secara partisi dengan n-heksana adalah untuk menarik
senyawa non polar yang terkandung dalam sampel. Partisi dilakukan
berulang-ulang sampai senyawa non polar terekstraksi sempurna.
Fraksi ini dilakukan pemisahan dengan teknik-teknik isolasi secara
kromatografi kolom, kolom lapis tipis preparatif ataupun kromatografi
kolom cair vakum.
Residu yang diperoleh dilarutkan dalam air dan dipartisi dengan
pelarut semi polar, misalnya etilasetat, EtOAc atau diklorometana atau
pelarut semipolar lainnya. Fungsi penambahan air bertujuan untuk
meningkatkan kepolaran, sehingga akan terjadi polarisasi antara
senyawa semipolar dan polar. Partisi dengan senyawa ini dilakukan
41
berulang-ulang sampai semua senyawa semi polar diharapkan
terkestraksi. Filtrat disaring dan dipekatkan untuk tujuan isolasi.
Residu yang dihasilkan adalah ekstrak polar yang mengandung
air. Pemekatan ekstrak ini sedikit lebih susah, karena pemekatan
menggunakan rotary evaporator memerlukan waktu yang lama dan
suhu yang relatif tinggi, sehingga dikuatirkan senyawa akan menjadi
rusak. Cara pemekatan yang sederhana adalah pemekatan melalui
freeze dryer.
Perbandingan teknik ekstraksi yang dimulai dari pelarut non polar
(Skema 4) dan dimulai dari pelarut polar (Skema 6), masing-masing
memiliki kelebihan dan kekurangan. Cara pertama banyak memerlukan
pelarut, tetapi pengerjaannya relatif lebih mudah. Cara kedua adalah
sebaliknya, sehingga peneliti dapat memilih mana yang terbaik untuk
isolasi.
Secara umum isolasi yang dapat mengidentifikasi semua
senyawa, termasuk golongan alkaloid terlihat dalam Skema 7. Sampel
dalam jumlah yang cukup untuk keperluan identifikasi dan elusidasi
struktur senyawa, dihomogenkan dengan dalam pelarut metanol-air
(4:1) selama 5 menit. Tujuannya adalah semua senyawa, bahkan yang
sangat polar sekalipun, misalnya saponin dan tanin, dapat terekstrak ke
dalam pelarut tersebut.
Residu diekstraksi dengan etilasetat secara berulang-ulang,
sehingga diperoleh residu dan filtrat. Residu mengandung senyawa
polisakarida, misalnya selulosa atau senyawa makromolekul. Filtrat
mengandung senyawa lemak atau lilin. Kedua senyawa tersebut dapat
dipisahkan secara KLT preparatif atau kromatografi kolom. Jika hanya
42
untuk identifikasi dapat dilakukan dengan KLT atau gas kromatografi-
mass spektrometri (GC-MS).
Sampel
- Homogenkan 5 menit
dalam
Residu Filtrat
Ekstraksi dengan Uapkan sampai 1/10 vol.
EtOac (5X), saring (40oC) Asamkan dengan
H2SO4 2M/HCl 5% Ekstaksi
dengan CHCL3 (3X)
Residu Filtrat
Serat Ekstrak netral
(terutama (lemak, lilin) Ekstrak CHCL3 Lapisan air
poli-sakarida) Pisah dengan Keringkan, asam- basakan sampai pH 10
KLT dengan NH4OH
uapkan
- ekstraksi dengan
Pada silika atau CHCl3-MeOH (3:1)
KGC Ekstrak polar
2X dan CHCl3
pertengahan
(terpenoid
atau senyawa
fenol) KKt atau
KLT Pada silika
43
Filtrat yang diperoleh dipekatkan pada suhu 40 oC sampai volume
menjadi 10%-nya. Filtrat tersebut diasamkan dengan asam sulfat 2 M
atau HCl 5%, untuk memisahkan golongan alkaloid (jika dalam sampel
mengandung senyawa tersebut) dan bukan alkaloid. Perlakuan
selanjutnya ke dalam sampel tersebut ditambahkan dengan kloroform
atau diklorometana atau pelarut organik semipolar lainnya, sehingga
terpisah antara fraksi air dan fraksi organik. Fraksi air mengandung
senyawa alkaloid dalam bentuk garam alkaloid. Fraksi organik
dipekatkan dan mengandung senyawa terpenoid, steroid, kumarin dan
ada juga golongan flavonoid. Isolasi senyawa dari fraksi ini dapat
dilakukan secara KLT preparatif, kromatografi kolom atau HPLC
preparatif.
Lapisan air-asam dibasakan dengan ammonia sampai pH 10 atau
11 untuk mengubah alkaloid garam menjadi netral, sehingga dapat
terekstraksi dengan kloroform atau diklorometana. Penambahan pelarut
metanol bersama kloroform adalah untuk memisahkan alkaloid yang
semi polar dan polar (misalnya alkaloid yang mengandung N-oksida.
Isolasi senyawa dari ekstrak dapat dilakukan dengan berbagai
cara diantaranya adalah kolom kromatografi (kromatografi kolom
(Gambar 13), kromatografi tipis preparatif, kromatografi kolom cair
vakum dan kromatografi kolom cair kinerja tinggi preparatif. Teknik
tersebut masing-masing memiliki beberapa kelebihan maupun
kekurangan tergantung senyawa yang akan dipisahkan.
A. Kromatografi kolom
Kromatografi kolom didasarkan pada absorpsi senyawa dalam
silika yang didasarkan pada kepolaran senyawa. Senyawa yang lebih
44
non polar akan turun terlebih dahulu dibandingkan dengan senyawa
yang lebih polar. Sebelum pengerjaan kromatografi kolom, maka
dilakukan terlebih dahulu mencari sistem pelarut. Sistem pelarut
ditentukan dengan cara KLT secara berulang-ulang sampai diperoleh
pelarut yang sesuai. Secara teknis pengerjaan dengan kolom
kromatografi adalah sebagai berikut:
a. Sampel dalam bentuk ekstrak dilarutkan dalam pelarut yang lebih
non polar dibandingkan dengan system eluen yang akan
digunakan untuk elusi dan dibuat sepekat mungkin.
b. Kolom yang digunakan berdiameter sesuai dengan jumlah
sampel. Jika jumlah sampel banyak, maka digunakan kolom yang
berdiameter besar.
c. Silika gel (fasa diam) yang digunakan sebaiknya menggunakan
jenis memiliki kualitas yang tinggi.
d. Silika gel yang digunakan sebaiknya dimasukkan ke dalam oven
o
pada suhu 110 C untuk menghilangkan kadar air yang
terkandung dalam silika gel. Silika gel direndam selama satu
malam dalam pelarut yang lebih non polar dibandingkan dengan
system eluen yang akan digunakan untuk elusi. Misalnya sistem
pelarut untuk elsui adalah diklorometana-metanol 90:10, maka
untuk merendam silika gel digunakan pelarut diklorometana
100%. Perendaman dilakukan untuk menghomogenkan interkasi
antara fasa diam dengan pelarut dan menghilangkan udara yang
terdapat dalam silika gel.
e. Bagian bawah kolom diletakkan kapas dan diatasnya pasir untuk
menahan silica gel keluar melalui penampung isolat.
45
f. Ke dalam kolom masukkan pelarut yang lebih non polar
dibandingkan dengan system eluen yang akan digunakan untuk
elusi.
g. Sedikit demi sedikit masukkan silika gel melalui dinding kolom
sambil keran penampung eluen dibuka, tetapi kolom jangan
sampai kering.
h. Pasir diletakkan dibagian atas silika untuk menghindari
menyebarnya silika pada saat memasukkan sampel atau eluen.
i. Sampel dimasukkan perlahan-lahan melalui dinding kolom.
j. Eluen dimasukkan sedikit demi sedikit agar sampel tidak
menyebar di dalam pelarut.
47
Gambar 15. Kromatografi kolom cair vakum
Kertas saring diletakkan diatas silika gel dan sampel diletakkan
di atasnya lagi. Sampel dikemas dalam keadaan kering, dengan cara
mencampur dengan silika gel yang ukuran partikelnya sedikit lebih
kasar. Sampel dielusi menggunakan pelarut non polar sampai senyawa
non polar terelusi semua dan ditampung. Berikutnya diikuti dengan
pelarut semipolar dan terakhir dengan pelarut polar. Eluat yang
diperoleh dilakukan KLT dan fraksi yang memilki pola noda sama
digabung. Fraksi yang belum murni dilakukan re-kromatografi dan
sampel murni dielusidasi struktur.
48
C. Kromatografi Lapis Tipis Preparatif
Kromatografi lapis tipis preparatif (KLT preparatif) dilakukan
untuk pemurnian senyawa. Sebaiknya penggunaan cara ini dilakukan,
jika jumlah senyawa dalam sampel sudah tidak terlalu banyak(2 atau 3
senyawa), sehingga pemisahan senyawa satu dan yang lain akan lebih
mudah. Hasil kromatografi kolom yang mengandung dua atau tiga
senyawa dapat dilakukan dengan metode ini.
49
f. Isolat murni dielusidasi strukturnya menggunakan IR, UV, MS,
1D-NMR dan 2D-NMR.
D. Isolasi Alkaloid
Perlakuan isolasi senyawa golongan alkaloid sedikit berbeda
denga prosedur yang telah dijelaskan. Berikut ini adalah contoh isolasi
alkaloid dari suatu tumbuhan family Lauraceae, genus Cinnamomum
dan spesies Cinnamomum sintoc.
Sampel kulit batang Cinnamomum sintoc (3 kg) yang sudah
dikeringanginkan dan dihaluskan, dimaserasi dengan n-heksana selama
3 x 24 jam. Ekstrak n-heksana disaring dan dipekatkan dengan rotary
evaporator. Ekstrak pekat n-heksana diuji aktivitas antifungal dengan
konsentrasi 0,5; 5; 10; dan 20%. Residu dibasakan dengan amonia 10%
dan dibiarkan selama satu malam. Residu yang sudah dibasakan dengan
amonia dimaserasi dengan dikolormetana selama 3 x 24 jam sampai
diperkirakan senyawa terekstrak sempurna dalam diklorometana.
Filtrat disaring, dipekatkan menggunakan rotary evaporator dan
ditimbang.
Ekstrak pekat ditambahkan diklorometana sampai volume
menjadi 500 mL, ditambahkan 100 mL HCl 5% dan dipartisi dengan
corong pisah. Pengerjaan ini dilakukan berulang-ulang sampai uji
Meyer menunjukkan negatif alkaloid. Lapisan organik (non alkaloid)
dipekatkan, ditimbang (sebagian untuk isolasi dan sebagian lagi untuk
uji hayati). Lapisan anorganik yang mengandung alkaloid digabung,
dibasakan dengan amonia sampai pH 11 dan diekstraksi kembali
dengan diklorometana (dengan cara partisi). Fraksi dikorometana
50
(fraksi alkaloid) ditambahkan dengan natrium sulfat anhidrat untuk
menghilangkan kadar air, disaring dipekatkan (sebagian untuk isolasi
dan sebagain lagi untuk uji hayati).
Ekstrak alkaloid diisolasi dengan kolom kromatografi
menggunakan fasa diam silika gel G 60 F secara gradien elusi. Rasio
eluen yang digunakan adalah antara metanol dan diklorometana (100:0;
99:1; 98:2; 96:4; 93:7; 90:10; 85:15; 80:10 dan 50:50). Fraksi
dikumpulkan setiap 100 mL dan setiap fraksi dilakukan kromatografi
lapis tipis dengan eluen metanol dan diklorometana. Noda alkaloid
dilihat dibawah lampu UV (254 dan 366 nm) dan disemprot dengan
reagen Dragendorff’s. Fraksi yang mempunyai pola noda yang sama
digabung. Jika kelompok noda belum menunjukkan satu noda, maka
dilakukan re-kromatografi kolom atau kromatografi lapis tipis
preparatif. Senyawa murni dilakukan pengukuran secara spekroskopi
menggunakan UV, IR, MS, 1D dan 2D-NMR. Cara yang sama
dilakukan untuk isolasi senyawa non alkaloid. Secara umum ekstraksi
dan isolasi diperlihatkan dalam skema 8 dan 9.
51
Uji fitokimia Sampel C. sintoc (3 kg)
Maserasi dengan n-
heksana
selama 3 x 24 jam
Dipekatkan
Ekstrak
n-heksana
Residu
Dipekatkan
52
Extract CH2Cl2
(alkaloid)
Isolat murni
Kromatografi
Struktur
kolom
Isolat murni
Elusidasi struktur
Struktur
Skema 9. Tahapan isolasi dan purifikasi senyawa alkaloid dan non
alkaloid
53
BAB IV
TEKNIK BIOASSAY
54
μg obat antibiotik) dan kontrol negatif pada daerah yang berbeda
dalam media tmbuh jamur. Diamati pertumbuhan jamur untuk setiap
area. Bila zona hambatan belum tampak, dibiarkan selama 24 jam
lagi. Daerah zona hambatan diukur dengan penggaris dalam satuan
milimeter.
55
dikultivasi dalam labu 75 cm2 yang telah mengandung medium RPMI
1640 (20 mL) sebagai suplemen HEPES (25 mM; Gibco-BRL,
Paisley, Scotland), NaHCO3 (25 mM), 10% dari A+serum dan
erythrocytes (haematocrit 2.5%). Kultur kemudian diinkubasi pada 37
o
C, 10% O2, 6% CO2, 84% N2, dengan kelembaban 90%.
b. Pengukuran Parasitaemia
Uji hayati dilakukan secara triplikat in plate 96-well kultur
jaringan(Nunc Brand products, Fisher, Paris, France). Kandungan
plate tersebut adalah 200 μL kultur parasit pada 2% parasitamia, 2%
haematocrit dan 5 μL sampel yang telah dilarutkan dalam DMSO atau
H2O. Kontrol negative adalah bersisi hanya pelarut DMSO atau H2O
dan control positif adalah Chloroquine yang ditambahkan untuk setiap
set percobaan.
Setelah 48 jam inkubasi tanpa pengubahan medium plate
kemudian disentrifugasi dan cairan bagian atas diganti dengan 200 μL
larutan hydroethidine (0.05 mg/ml in PBS). Setelah 20 menit inkubasi
dalam ruang gelap pada 37 oC dan tiga kali pencucian dan PBS
akhirnya didilusi dalam 1 mL PBS. Pembacaan parasitemia
menggunakan cytometer FACSort.
58
6. Uji Aktivitas Biji Buah Annona Glabra Azadirachta indica
Terhadap Phaedonia inclusa
Serangga dewasa P. inslusa dipelihara dilabolaturium sampai
bertelur. Telur diletakkan dan dipindahkan kedalam wadah plastik.
Setelah telur menetas, larva diberi makan daun kedelai muda. Larva
instar terakhir generasi pertama digunakan untuk percobaan. Ekstraksi
biji buah nona sabrang dan nimba dilakukan dengan menggunakan
metanol. Residu Biji disaring dan dipekatkan dengan pengisat gasing
hampa. Pengujiannya adalah ekstrak biji buah nona sabrang dan
nimba masing-masing dicampur dengan Tween-20 (polioksietilen
sorbitan monolaurat), dilarutkan dalam etanol dan kemudian
diencerkan dengan air suling menjadi enam tingkat konsentrasi dari
0,2% sampai dengan 1%.
Daun kedelai (satu daun trifoliat) dicelupkan dalam ekstrak uji
selama 3-5 detik dan Dibiarkan mengering. Daun kontrol dicelupkan
dalam air (mengandung Tween-20 0,2% dan etanol (5%). Satu daun
trifoliat kedelai uji dan daun kontrol diletakkan dalam wadah plastik
berventilasi (diameter 11 cm dan tinggi 5 cm) yang dialasi kertas
hisap lembab, kemudian kedalam wadah tersebut dimasukkan 10 ekor
larva P. Inclusa instar terakhir (usia 1 hari). Untuk setiap tingkat
konsentrasi dan kontrol diulang tiga kali. Setelah 24 jam larva
dipindahkan kewadah plastik yang bersih dan diberi makan daun
tanpa perlakuan. Larva uji diamati setiap hari hingga berkepompong.
Gejala keracunan dan jumlah serangga yang mati dicatat.
Sumber: Djoko Projono dan Dadan Hindayana, 1993
59
7. Uji Toksisitas Ekstrak Biji Buah Annona glabra Terhadap
Crocidolomia binotatis
Larva C. Binotalis dikumpulkan dari kemudian dipelihara di
labolaturium. Larva diberi makan daun brokoli (Brassica oleraceae
var. italica) dan serangga dewasa diberi makan larutan madu 10%.
Instar ketiga dari generasi ke-15 dan ke-16 digunakan untuk
percobaan. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut metanol
dan air. Ekstraksi dengan metanol, biji buah nona sabrang dikeringkan
, digiling halus dan dimaserasi selama 48 jam, kemudian disaring dan
dipekatkan dengan pengisat gasing hampa. Ekstraksi dengan
menggunakan air, biji buah nona sabrang dikupas kemudian
dikeringudarakan selama 3 hari atau kadar air tersisa 5,53% biji (0,25-
2g) dihaluskan dengan mortar kemudian diekstraksi dengan
menggunakan 100 ml (mengandung etanol 1% dan pengemulsi alkil
gliserol ftalat 0,154%). Ekstrak disaring melalui tiga lapis kain kasa
halus dan filtratyang diperoleh langsung digunakan untuk pengujian.
Ekstrak metanol biji buah nona sabrang diemulsikan dalam air
yang mengandung metanol 1% dan alkil gliserol ftalat 0,154%. Efek
insektisida ekstrak tersebut diuji pada enam tingkat konsentrasi
dengan kisaran 0,019-0,149% yang diharapkan dapat memberikan
tingkat kematian >0% dan <100%. Lembaran daun caisim (Brassica
Campestris var. chinensis) ukuran 4X4 cm dicelupkan dalam emulsi
ekstrak selama 3-5 detik, kemudian dibiarkan mengering. Daun
60
kontrol dicelupkan dalam air yang mengandung metanol dan
pengemulsi dengan konsentrasi seperti pada emulsi ekstrak uji.
Empat lembar daun caisim uji dan daun kontrol diletakkan
dalam wadah plastik berventilasi yang dialasi dengan kertas hisap
lembab, kemudian kedalam wadah tersebut dimasukkan 10 ekor larva
C. Binotalis instar ke-3 (12-16 jam setelah ganti kulit). Untuk setiap
tingkat konsentrasi dan kontrol digunakan empat ulangan. Setelah 24
jam larva dipindahkan kedalam wadah plastik yang bersih dan diberi
makan daun tanpa perlakuan. Larva uji diamati setiap hari hingga saat
berkepompong. Gejala keracunan dan jumlah serangga yang mati
dicatat. Pengujian dengan menggunakan ekstrak air biji buah nona
sambrang dilakukan dengan cara yang sama dengan cara diatas.
Sumber: Djoko Rijono dkk., 1993.
62
hanya diberi pelarut. Mortalitas kutu beras dicatat setiap 12 jam
sekali dan berturut-turut sebanyak 5 kali.
63
sepuluh ekor ulat uji. Kepada serangga uji dikemungkinkan
mengadakan pilihan cakram daun mana yang akan dimakan. Evakuasi
dilakukan setelah dua jam. Karena uji hayati ini dilakukan hanya
untuk memperoleh gambaran dari kemungkinan bentuk aktivisasi
senyawa uji, maka evaluasi dibatasi hanya secara visual dimana
besarnya sisa cakram daun yang diberi perlakuan dibanding terhadap
kontrol. Untuk pengamatan yang sesungguhnya maka cakram-cakram
itu ditimbang untuk dibandingkan dengan kontrol. Penyusutan berat
daun karena penguapan juga diperhatikan dengan menimbang cakram
daunnya saja (tidak diberikan kepada ulat).
(Sumber: Tjokronegoro, R. K., 1987).
65
Nilai %T/C nol, menunjukkan total hambatan makan dan nilai yang
lebih besar dari 100 menunjukkan aktivitas penarik makan.
(Sumber: Miles, D. H., 1994).
x 100
69
10. Uji Hayati Kontrol Populasi Lipas
Juvenoid adalah senyawa potensial untuk mengontrol populasi
lipas, hal ini disebabkan kemampuan untuk menghentikan reproduksi.
Lima puluh instar keempat lipas dicampur dengan Blatella germani
sex (Lipas Jerman) dimasukkan ke dalam kerangkeng tikus ukuran 28
x 17 x 12 cm. Pinggir dinding kerangkeng diolesi dengan suspensi
telflon cair Fluon AD-1 untuk mencegah lipas melarikan diri. Dalam
kerangkeng harus disediakan air dan udara yang cukup. Suhu dijaga
sekitar 27°C selama 16 jam dan kelembaban kamar (RH) sekitar 50%
dalam ruangan penyejuk (udara tidak berganti). Masing-masing uji
dibuat dalam replikasi. Makanan disiapkan dengan melumatkan
burger dalam blender. Tepung makanan kemudian dicampurkan
dengan senyawa aktif (senyawa uji) yang dilarutkan dalam aseton.
Setelah pencampuran itu makanan dibiarkan dalam wadah selama 24
jam agar pelarut menguap. Sekitar 10 gram makanan diberikan untuk
serangga uji dan sisanya disimpan dalam wadah tertutup pada suhu
5°C untuk pemberian makanan berikutnya. Semua populasi secara
berkala dihitung ada atau tidaknya ketidaknormalan morfogenetik.
(Sumber: Miles, D. H., 1994).
73
Metode yang digunakan adalah metode Groscurt. Serangga uji
berupa pupa yang baru keluar atau ulat pada instar terakhir. Jika yang
diperlakukan adalah pupa, maka analisis kitin dilakukan terhadap
sayap depan serangga dewasa (imago), sedangkan jika yang
diperlakukan adalah larvanya, maka analisis kitin dilakukan terhadap
kulit pupa. Perlakuan dilakukan dengan menetaskan suatu volume
tertentu pada dada (thorax), tengkuk atau perut (abdomen) target yang
diuji. Kulit pupa atau sayap serangga dewasa dikeringkan pada 100°C
sampai berat konstan, lalu dicatat beratnya. Dihidrolisis dengan KOH
30% selama 15 menit dalam penangas air. Sisa padatanyang tidak
larut kemudian dicuci enam kali dengan air, dua kali dengan etanol
96% dan dua kali dengan eter. Kadar kitin adalah berat (mg) residu
perberat (mg) kulit pupa atau sayap serangga kering.
(Sumber: Tjokronegoro, R. K., 1987).
77
DAFTAR PUSTAKA
77
9. Mardiningsih, T. L. Dan S. L. T. Sondang. Efikasi Buah Lada
Hitam terhadap Sitophyluis Zeamis. Proseding Seminar Hasil
Penelitian dalam Rangka Pemnafaatan pestisida Nabati. Bogor.
Hal. 101-105.
10. Mardinigsih, T. L., S. Rusli, E. A. Wikardi, dan S. L. T.
Sondang. (1993). Kemungkinan Produk nilam
Sebagai bahan penolak serangga. Proseding seminar hasil
penelitian dalam rangka pemnafaatan pestisida nabati. Bogor.
Hal. 101-105.
11. Miles, D. H. (1994). A Guide to Biologically Active Plants
Constituent. Departement of Chemistry,
University of Florida. USA. Pp. 10-12.
12. Prijono, D. Dan D. Hindayana. (1993). Efek Insektisida
Ekstrak Biji Buah Nona Sabrang (Annona
Glabra) dan Nimba (Azadirachta indica) Terhadap Phaedonia
inclusa. Proseding seminar hasil penelitian dalam rangka
pemnafaatan pestisida Nabati. Bogor. Hal. 163-170.
13. Pujiastuti. Y., E. Martono, dan S. Mangundiharjo, (1993).
Pengaruh Ekstrak Kulit Buah dan Biji Duku (Lansium
domesticum) terhadap aktivitas makan, penetasan Telur dan
Fekunditas ulat Grayak (Spodoptera Littura). Proseding
Seminar Hasil Penelitian dalam rangka pemnafaatan pestisida
nabati. Bogor. Hal. 106-112.
14. Schwinger, M., B. Ehhamer and W. Krauss. (1983).
Methodology of the evilachna varivestis Bioassay of
78
Antifeedants Demonstrated with some coumpounds from
Azadirachta indica and Melia azadirach, Proc. 2nd Int. Neem
Conf. Stuttgart, 181.
15. Simonds, M. S. J., W. M. Blaney, F. D. Monache, M. M.
Mcquhae, and G. B. M. Bettolo (1985). Insect Antifeedant
Properties of Antranoids from genus Vismia. Journal of
Chemical Ecology. 11 (12), 1593.
16. Tjokronegoro, R. K. (1987). Penelusuran senyawa kandungan
tumbuhan indonesia bioaktif terhadap Serangga. Disertasi.
Universitas padjajaran,Bandung. Hal. 76-80.
17. Tarigan, P. (1996). Analisis senyawa Bioaktif Alami;
pengantar dan penuntun praktikum. Universitas Padjajaran,
Bandung Hal. 1-15.
18. Zakaria, M. (1991). Preliminery Bioassay for Herbicidal
Activity of plant Extract. The 8th National Seminar and
Unesco Regional Workshop on the Bioassay Natural Product
with special Emphasis on Anticancer Agents. Institute for
Advances Studies University of malaya. Pp. 20-21.
19. Nurdin Saidi*, Hira Helwati, Lailatul Qhadariah Lubis,
Muhammad Bahi, 2017, ANTIMICROBIAL ACTIVITY OF
METHANOL EXTRACT FROM STEM BARK OF
Cinnamomum sintoc, Jurnal Natural, Vol.17, 77-82, pISSN
1411-8513 eISSN 2541-4062.
20. Saidi N, Morita H, Litaudon M, Nafiah MA, Awang K,
Mustanir., 2016, New Phenyl Propanoids from Cryptocarya
79
bracteolata , Natural product communications, Vol. 1, 815-
816, 1555-9475.
21. R Nasution, T Barus, P Nasution, N Saidi, 2014, Isolation and
Structure Elucidation of Steroid from Leaves of Artocarpus
camansi (Kulu) as Antidiabetic , International Journal of
Pharm Tech Research , Vol.6,, 1279-1285, 0974-4304.
22. Bastian Arifin , Rosnani Nasution, Nurdin Saidi, Marianne,
and Sri Aprilia, 2014, Vitex Trifolia Plant Control of Mice
Environmentally Friendly, International Journal of ChemTech
Research, Vol. 6, 4595 - 4600, 0974 - 4290.
23. Mustanir*, Hendra Fahrizal, Nurhaida, dan Nurdin Saidi,
2013, ANTIFUNGAL EKSTRAK n-HEKSANA TUMBUHAN
OBAT DI ACEH TERHADAP Candida albicans, J. Ind. Soc.
Integ. Chem., Volume, 7-14, 2085-1715.
24. Nurdin Saidi, Hiroshi Morita, Marc Litaudon, Mat Ropi
Mukhtar, Khalijah Awang, A. Hamid A. Hadi, 2012, Isolasi
Senyawa Alkaloid dari Tumbuhan Cryptocarya bracteolata
GAMB. (Lauraceae), Jurnal Farmasi Indonesia, Vol 6, 1-6,
1412-1107.
25. Nurdin Saidi, Hiroshi Morita, Marc Litaudon, Mat Ropi
Mukhtar, Khalijah Awang, A. Hamid A. Hadi, 2011,
BENZYLISOQUINOLINE ALKALOIDS FROM BARK OF
Cryptocarya rugulosa, Indonesian Journal of Chemistry, Vol.
1, 59-66, 1411-9420.
80
26. Nurdin Saidi, 2011, Isolation and Structure Elucidation of
Sterols From Cryptocarya rugulosa, Jurnal Natural, Vol. 9,
27. Nurdin Saidi, 2011, Alkaloidal Constituents from Bark of
Cryptocarya rugulosa, Jurnal Natural, Vol 11, 48-51, 1141-
8513.
28. Murniana, Israhadi, Khairan dan Nurdin Saidi, 2011,
Antifungal from Ethylacetate Extract of Plumeria alba Against
Candida albicans, Jurnal Natural, Vol 11, 85-88, 1141-8513.
29. Nurdin Saidi, 2010, CINNAMIDE AND BENZAMIDE FROM
SPECIES OF CRYPTOCARYA CRASSIVERVIA , Jurnal
Natural, Vol. 1, 7-11, 1141-8513.
30. Pratiwi Pudjiastuti 1, Mat Ropi Mukhtar, A. Hamid A. Hadi ,
Nurdin Saidi , Hiroshi Morita, Marc Litaudon and Khalijah
Awang, 2010, (6,7-Dimethoxy-4-methylisoquinolinyl)-(4’-
methoxyphenyl)- methanone, a New Benzylisoquinoline
Alkaloid from Beilschmiedia brevipes, molecules, Volume,
2339-2346, ISSN 1420-3049.
31. Nurdin Saidi, 2009, Two Oxoaphorpine alkaloids from Bark of
Cryptocarya rugulosa, Jurnal Natural, Vol 11, 48-51, pISSN
1411-8513 .
32. Nurdin Saidi, A. Hamid A. Hadi, Khalijah Awang, Mat Ropi
Mukhtar, 2009, Aphorpine alkaloids from bark of Cryptocarya
ferrea, Indonesian journal of Chemistry, Vol.9,, 461-465,
1411-9420.
81
33. Khalijah Awang, A. Hamid A. Hadi, Nurdin Saidi, Mat Ropi
Mukhtar, Hiroshi Morita, Marc Litaudon, 2008, New
Phenantrene alkaloids from Cryptocarya crassinervia,
Fitoterapia, Vol 79, 308-310, 0367-326X.
34. Nurdin Saidi, Mat Ropi Mukhtar, Khalijah Awang, A. Hamid
A. Hadi and Seik Weng Ng*, 2007, 6,7,8-Trimethoxycoumarin
from Cryptocarya bracteolata, Acta Crystallographyca
Journal, E63, 3692-3693, 1600-5368.
35. Suyanto, Wahyudi Priyono Suwarso , Soleh Kosela , Hery
Suwito , Pratiwi Pudjiastuti , Sri Winiati , and Nurdin Saidi,
2006, ANTHRAQUINONE FROM THALLUS OF LICHEN
Ramalina javanica Nyl, Indo. J. Chem., 2006,, Vol. 6, 85 - 87,
1411-9420.
36. Kartini Hasballah, Murniana, and Nurdin Saidi, 2012,
Antibacterial activity of secondary metabolite compounds from
leaf of Eclipta alba L. Hassk, Proceedings of The 2nd Annual
International Conference Syiah Kuala University 2012, & The
8th IMT-GT Uninet Biosciences Conference, Banda Aceh, 22-
24 November 2012, Banda Aceh.
37. Nurdin Saidi, 2011, Aphorpines and benzylisoquinoline
alkaloids from bark of Cryptocarya crassinervia, Science and
Engineering, Annual International Conference, Banda Aceh,
29-30 Nov, 2011, Banda Aceh, Syiah Kuala Univ.Press 2011,
0, ISSN 2089-208X
82
83