Anda di halaman 1dari 92

ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

NURDIN SAIDI
BINAWATI GINTING
MURNIANA
MUSTANIR

Jurusan Kimia
Fakultas Matematikan dan Ilmu Pengetahuan alam
Universitas Syiah Kuala
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Allah SWT, karena telah memberikan kurnia


nikmat yang tidak terhingga dan salah satu nikmat tersebut adalah
selesainya kegiatan penulisan buku Analisis Metabolit Sekunder. Buku
ini memuat berbagai hal tentang koleksi sampel, analisis fitokimia,
ekstraksi, isolasi senyawa dan uji aktivitas senyawa hasil isolasi. Buku
ini diharapkan mampu membantu mahasiswa dalam pemahaman
senyawa metabolit sekunder tumbuhan, terutama teknik isolasi. Buku
ini disusun berdasarkan pengalaman penelitian yang selama ini telah
dilakukan. Materi Analisis metabolit sekunder diajarkan di berbagai
Fakultas dan Jurusan serta Program Studi yang memiliki kajian di
bidang senyawa metabolit sekunder dan aktivitasnya dari berbagai
material tumbuhan.
Penulisan buku ini masih banyak sekali kekurangan dan kelemahan,
tetapi dimasa akan datang akan terus-menerus direvisi, sehingga buku
ajar ini dapat menjadi lebih baik. Pada kesempatan ini diucapkan
terimakasih kepada pihak-pihak yang telah ikut membantu
terselenggaranya kegiatan penulisan buku ajar ini. Ucapan terimakasih
kepada :
1. Ketua peer group kimia organik dan anggotanya.
2. Ketua Jurusan Kimia FMIPA.
3. Dekan Fakultas MIPA, yang telah memberi kesempatan dalam
penulisan buku ini.

i
4. Semua anggota herbarium Chemistry Department University of
Malaya
5. Dan semua yang ikut membantu kegiatan ini.

Semoga semua jasa dan pengorbanan semua pihak akan diberi


ganjaran yang setimpal oleh Allah SWT. Akhirnya semoga laporan ini
bermanfaat bagi kita semua, terutama untuk pakar bidang kimia bahan
alam.

Banda Aceh, September 2018


Penyusun,

ii
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar ................................................................................... i
Daftar Isi ........................................................................................... iii
Daftar Gambar.................................................................................... iv
Daftar Skema..................................................................................... v

PENDAHULUAN............................................................................. 1
BAB I PENGUMPULAN SAMPEL TUMBUHAN ...................... 5
A. Persiapan ................................................................................ 6
B. Pengumpulan Sampel Tumbuhan .......................................... 7
C. Penanganan Sampel ............................................................... 8
BAB 2. ANALISIS FITOKIMIA .................................................... 12
A. Pendahuluan ........................................................................... 12
B. Uji Fitokimia Alkaloid ........................................................... 13
C. Uji Fitokimia Terpenoid, Steroid Dan Saponin ..................... 19
D. Uji Fitokimia Flavonoid ......................................................... 25
BAB 3. PEMISAHAN SENYAWA................................................. 28
A. Pelarut .................................................................................... 28
B. Esktraksi ................................................................................. 30
C. Isolasi ..................................................................................... 36
BAB 4. TEKNIK BIOASSAY ......................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 78

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Pengumpulan kulit batang sampel tumbuhan ................... 8


Gambar 2 Pengeringan sampel di udara terbuka ............................... 9
Gambar 3 Bilik herbarium sampel tumbuhan .................................... 10
Gambar 4 Cara pengambilan sampel ................................................. 11
Gambar 5 Beberapa senyawa metabolit golongan alkaloid .............. 15
Gambar 6 Struktur senyawa golongan steroid ................................... 20
Gambar 7 Struktur senyawa golongan saponin steroid ...................... 20
Gambar 8 Struktur senyawa golongan terpenoid ............................... 21
Gambar 9 Kerangka dasar senyawa golongan flavonoid ................... 25
Gambar 10 Strutur senyawa flavonoid, apigenin ............................... 27
Gambar 11 Strutur senyawa flavonoid, trisetin ................................. 27
Gambar 12 Peralatan ekstraksi soklet ................................................ 33
Gambar 13 Ekstraksi secara perkolasi ............................................... 35
Gambar 14 Kolom kromatografi ........................................................ 46
Gambar 15 Kromatografi kolom cair vakum ..................................... 48
Gambar 16 Kromatografi lapis tipis preparatif .................................. 49

iv
DAFTAR SKEMA

Skema 1 Uji fitokimia senyawa alkaloid ........................................ 16


Skema 2 Uji fitokimia senyawa golongan terpenoid, steroid dan
saponin ............................................................................. 22
Skema 3 Uji fitokimia senyawa golongan flavonoid ...................... 26
Skema 4 Proses isolasi umum dengan peningkatan kepolaran ....... 37
Skema 5 Isolasi senyawa metabolit sekunder dari tumbuhan ......... 39
Skema 6 Teknik ekstraksi umum yang dimulai dengan pelarut
polar ................................................................................. 40
Skema 7 Cara umum ekstraksi dan fraksionasi (Sumber Harborne,
1987) ................................................................................ 43
Skema 8 Tahapan ekstraksi senyawa alkaloid dan non alkaloid dari
kulit batang C. Sintoc ....................................................... 52
Skema 9 Tahapan isolasi dan purifikasi senyawa alkaloid dan non
Alkaloid ............................................................................ 53

v
PENDAHULUAN

Isolasi senyawa yang berasal dari tumbuhan saai ini dirasakan


semakin penting untuk menghadapi pertambahan jumlah penduduk
yang semakin meningkat. Hal ini mengakibatkan kebutuhan pangan,
obat-obatan dan kesehatan serta keperluan lahan untuk pemukiman,
pertanian dan pembangunan semakin meningkat. Tekanan ini
menyebabkan perambahan hutan dan tumbuhan semakin tidak
terkendali, sehingga mengakibatkan terjadinya kepunahan berbagai
spesies tumbuhan yang tidak dapat diperbaharui, sementara potensi
tumbuhan tersebut belum pernah diteliti dan dikaji.
Kepunahan budaya suatu masyarakat tertentu ikut juga memicu
hilangnya pengetahuan tentang potensi sumber daya tumbuhan.
Punahnya budaya mengakibatkan putusnya rantai pengetahuan
etnobotanik penggunaan tumbuhan yang sudah berlangsung lama dan
turun-temurun. Pengetahuan etnobotanik merupakan hal yang sangat
penting, karena kajian senyawa yang berasal dari tumbuhan didasarkan
oleh dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah secara etnobotanik
dan kedua adalah secara kemotaksonomi. Pendekatan etnobotanik
didasarkan pada penggunaan tumbuhan oleh suatu masyarakat untuk
keperluan tertentu, misalnya sebagai bahan obat tradisional.
Pendekatan ini belum dapat dapat dipertanggungjawabkan karena
secara ilmiah belum dapat dibuktikan, namun demikian sebagai dasar
kajian ilmiah sudah sangat membantu. Pendekatan kemotaksonomi
didasarkan pada kekerabatan kandungan kimia, sehingga suatu famili

1
tumbuhan diyakini memiliki kandungan kimia yang sama atau hampir
sama. Pembuktian ini sudah sering dilakukan dengan cara penapisan
fitokimia, sehingga golongan senyawa metabolit sekunder dapat
diketahui.
Tumbuhan diketahui menghasilkan dua metabolit, yaitu primer
dan sekunder. Metabolisme primer merupakan bahan penyusun utama
dari makhluk hidup dan berfungsi untuk kelangsungan hidupnya.
Contoh metabolit primer adalah polisakarida, lemak, protein dan asam
nukleat. Produk metabolit sekunder merupakan produk sisa dari
metabolit primer dan proses pembentukan metabolit sekunder terjadi
hanya pada spesies tertentu, sehingga memberikan produk yang
berlainan untuk setiap sepsies. Produk ini bukan digunakan untuk
eksistensinya, tetapi banyak pakar menduga untuk pertahan diri dari
serangan spesies lain. Contoh produk ini dapat berupa pertahanan,
penarik sex, feromon, juvenil hormon dari berbagai kelompok yang
didasarkan pada kerangka utama senyawanya. Pengelompokkan
tersebut dapat berupa senyawa golongan alkaloid, terpenoid, steroid,
sapinin, kumarin, falavonoid dan beberapa kelompok lain. Beberapa
pakar juga menduga bahwa produk metabolit sekunder terbentuk,
karena ketidakmampuan tumbuhan untuk membuang sisa metabolism
primer dalam sel, sehingga terjadi detoksifikasi.
Ekstraksi, isolasi dan struktur elusidasi senyawa boaktif
memerlukan pakar multidisiplin ilmu. Diterminasi tumbuhan dan
pengenalan spesies memerlukan pakar biologi, khususnya botanis. Uji
aktvitas senyawa memerlukan pakar dari berbagai disiplin, misalnya
biokimia, pakar mikrobiologi dan biologi. Ekstraksi, isolasi dan
2
struktur elusidasi senyawa memerlukan pakar kimia organik bahan
alam dan analitik. Modifikasi struktur dan sintesis, pakar organik
sintesis sangat berperan.
Cara yang sering dilakukan dalam kajian senyawa asal tumbuhan
meliputi pengumpulan sampel tumbuhan, menyiapkan sampel untuk
bioassay, penapisan senyawa yang memiliki potensi, penapisan
fitokimia untuk menggolongkan kelompok metabolit sekunder dan
elusidasi struktur. Saat ini elusidasi struktur lebih mudah dilakukan,
karena peralatan yang semakin canggih. Peralatan nuclear magnetic
resonance (NMR) saat ini sudah memilki daya resolusi yang tinggi
bahkan sampai 800 MHz. Nuclear magnetic resonance dua dimensi
(2D-NMR HMQC, HMBC, COSY, NOESY) dan MS sangat
membantu dalam elusidasi struktur.
Penapisan dan isolasi sampel tumbuhan untuk senyawa metabolit
sekunder yang aktif memerlukan pendekatan multidisipli ilmu.
Pendekatan yang sudah baku dan teruji selama ini ini digunakan untuk
keperluan ini. Satu contoh adalah fraksionasi yang dipandu dengan uji
hayati (Bioassay guided fractination). Cara ini yang diisolasi hanya
senyawa aktif saja, namun senyawa lain tidak terisolasi. Teknik isolasi
yang juga kerap dilakukan adalah mengisolasi senyawa apa saja,
walaupun potensi aktivitasnya belum diketahui. Senyawa yang tidak
aktif pada bioindikator tertentu belum tentu tidak bermanfaat. Rekayasa
senyawa melalui sintesis dan modifikasi struktur sangat berperan untuk
meningkatkan potensi suatu senyawa.

3
Penapisan pendahuluan melalui uji hayati merupakan hal yang
menjadi penentu keberhasilan isolasi selanjutnya. Namun memerlukan
beberapa kriteria, yaitu prosedurnya harus jelas dan sederhana, dapat
dilakukan dengan cepat, terpercaya, murah, peka terhadap bioindikator,
tidak banyak memerlukan peralatan dan mampu mengidentifikasi
bioindikator, baik secara umum maupun khusus.

4
BAB I
PENGUMPULAN SAMPEL TUMBUHAN

Analisis metabolit sekunder dalam suatu tumbuhan sangat erat


kaitannya dengan pengumpulan, determinasi atau identifikasi dan
penyimpanan sampel. Pengumpulan sampel merupakan pengerjaan
yang memerlukan kepakaran dan persiapan khusus, sehingga sampel
yang akan dianalisis kandungan kimianya sesuai dengan yang
diinginkan. Penanganan sampel bertujuan untuk memastikan bahwa
kandungan kimia tidak mengalami perubahan, sehingga perlu
dilakukan secara baik. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh reaksi
oksidasi senyawa dalam sampel atau kerja-kerja mikroorganisme.
Sampel yang akan dikoleksi untuk tujuan kajian dan penelitian
seringkali tidak terdapat disekitar pemukiman, tetapi berada dalam
hutan, bahkan hutan yang belum dijamah samasekali, sehingga
diperlukan perlakuan khusus. Sampel tumbuhan yang harus diambil
terdiri atas beberapa bagian tumbuhan, meliputi daun, kulit batang,
bunga, buah dan akar. Beberapa bagian tumbuhan, jika tidak
mencukupi, maka koleksi sampel dibatasi pada bagain yang cukup saja.
Misalnya bagian daun mencukupi untuk keperluan penelitian, tetapi
bagian bunga atau buah tidak mencukupi, maka cukup mengambil
bagian daunnya saja. Beberapa tumbuhan yang sudah langka atau yang
dilindungi karena memiliki potensi obat atau lainnya, maka koleksi
tumbuhan tersebut tidak boleh ditebang. Koleksi sampel doilakukan
dengan mengambil sebagian dahan atau cabang. Berikut ini beberapa

5
hal yang perlu dilakukan dalam pengumpulan sampel tumbuhan untuk
keperluan penelitian, yaitu persiapan, pengumpulan dan penanganan
atau penyimpanan sampel.

A. PERSIAPAN
Persiapan perlu dilakukan untuk menghindari kesulitan dalam
pengumpulan sampel, Beberapa hal yang perlu dilakukan tujuan
tersebut adalah:
a. Kenderaan. yang digunakan untuk transportasi harus mampu
digunakan dalam medan atau kondisi yang berat. Karena tidak
semua sampel dapat diperoleh dari tempat yang mudah dijangkau,
misalnya di daerah bukit yang relatif tinggi dan jurang yang dalam.
b. Chain saw atau alat pemotong batang, cabang atau ranting
tumbuhan yang relatif besar, sehingga tidak memerlukan waktu
yang lama.
c. Goni atau wadah sampel yang terbuat dari kain. Hindari sampel di
simpan dalam wadah dari plastik, karena dapat merusak struktur
senyawa, akibat kerja-kerja mikroba.
d. Etanol diperlukan untuk menyimpan spesimen buah agar tidak
cepat rusak karena mikroba tidak akan hidup.
e. Gunting, alat pemotong, parang, kampak, tali goni,
f. Kabel besar berfungsi untuk menarik sampel yang masuk ke dalam
jurang.
g. Pengepres spesimen.
h. Sepatu, baju lengan panjang, sarung tangan, topi dan kaca mata juga
diperlukan untuk melindungi diri dari duri atau binatang kecil.
6
i. Makanan dan minuman secukupnya

B. PENGUMPULAN SAMPEL TUMBUHAN


Sampel yang diambil adalah tergantung tumbuhan yang menjadi
objek penelitian. Penelitian yang difokuskan untuk mencari senyawa
alkaloid, maka dipilih pohon dari jenis yang mengandung alkaloid,
misalnya lauraceae, apocynaceae, pavaperaceae. Jika Objek kajian
adalah senyawa metabolit sekunder golongan steroid, maka sampel
tumbuhan yang dipilih adalah famili meliaceae atau euphorbiaceae.
Bagian yang dipilih untuk dikumpulkan menjadi sampel harus memiliki
persyaratan untuk determinasi atau identifikasi, misalnya buah, bunga
dan daun. Tanpa persyaratan ini botanis akan sulit menentukan jenis
dan spesies sampel yang dikoleksi. Jika peneliti mengalami keraguan
terhadap nama spesies tertentu, maka sampel harus dikirim ke tempat
lain dan digunakan sebagai pembanding.
Berbagai jenis bagian sampel tumbuhan, misalnya kulit batang,
daun, buah, bunga dan lainnya memerlukan cara yang khas. Beberapa
tumbuhan memiliki kulit yang tipis, tebal dan seringkali dalam
keadaaan yang sulit di haluskan pada saat kering, sehingga proses
penghalusan dilakukan dalam keadaan basah. Contoh tumbuhan yang
seperti ini adalah famili Anonaceae. Famili Myrtaceae, umumnya
meliki kulit yang tipis, sehingga pengumpulan sampel harus dalam
jumlah yang banyak sampai mencukupi jumlah sampel yang akan
dianalisis. Gambar 1 menunjukkan cara pengupasan kulit batang
tumbuhan famili Lauraceae. Kulit batang yang sudah dikupas
dimasukkan ke dalam goni atau wadah kain dan siap dikeringanginkan.
7
Penggunaan wadah goni atau kain mempunyai tujuan agar sampel yang
dikumpulkan tidak mengalami kerusakan akibat kerja mikroorganisme
sebelum proses pengeringanginan. Cara yang sama juga dilakukan
terhadap daun, bunga dan buah (jika mencukupi).

Gambar 1. Pengumpulan Kulit Batang Sampel Tumbuhan

C. PENANGANAN SAMPEL TUMBUHAN


Jumlah sampel basah yang dikumpulkan tegantung dengan
keperluan ekstraksi atau isolasi. Umumnya dari sekitar 10 kg sampel
kulit batang, kulit akar, bunga dan buah basah, diperoleh berat kering
sekitar 4-5 kg. Sampel daun basah akan menyusut lebih tinggi, karena

8
lebih banyak mengandung air. Jumlah tersebut diperkirakan cukup
untuk keperluan isolasi, uji fitokimia dan uji hayati. Sampel
dikeringanginkan di udara terbuka tanpa sinar matahari secara langsung
(Gambar 2) sehingga dapat kering secara baik dan tidak rusak secara
biologi. Sampel yang telah kering dihancurkan dengan mesin
penghancur dan selanjutnya dimasukkan ke dalam wadah yang terlah
diberi kode herbarium.

Gambar 2. Pengeringan sampel di udara terbuka

Spesimen yang telah diberi alkohol dan dipres, dilakukan


determinasi atau identifikasi untuk menetukan jenis dan spesies sampel.
Determinasi sebaiknya dilakukan di tiga tempat yang berbeda untuk

9
memastikan nama spesies tersebut. Nama spesies yang sudah diketahui
diletakkan dalam bilik herbarium (Gambar 3).

Gambar 3. Bilik herbarium sampel tumbuhan

10
Gambar 4. Cara pengambilan sampel

11
BAB II
ANALISIS FITOKIMIA

A. PENDAHULUAN
Analisis senyawa kimia tumbuhan bertujuan untuk mengetahui
keberadaan metabolit sekunder. Metabolit sekunder ini dapat
dikelompokkkan berdasarkan kerangka dasar senyawa, meliputi
golongan alkaloid, terpenoid, steroid, flavonoid maupun saponin.
Beberapa senyawa metabolit sekunder tidak dapat digolongkan secara
spesifik, karena kerangka dasarnya belum ditetapkan secara umum.
Secara kualitatif keberadaan senyawa ini dapat diketahui dengan
reagen-reagen penampak noda tertentu. Cara seperti ini disebut dengan
analisis fitokimia. Tujuan analisis fitokimia adalah sebagai panduan
dalam isolasi golongan senyawa target dan panduan untuk uji hayati.
Keberadaan golongan metabolit sekuder sangat bervariasi dalam
tumbuhan dan umumnya dapat diprediksi lebih awal dari suatu famili.
Misalnya famili Lauraceae, anonaceae dan apocynaceae dan beberapa
famili lain memiliki kandungan senyawa dari golongan alkaloid,
walaupun keberadaan golongan senyawa lainnya mungkin ada. Famili
Meliaceae umumnya memiliki kandungan senyawa golongan
terpenoid. Famili Moraceae diketahui banyak terdapat metabolit
sekunder dari golongan flavonoid. Walaupun demikian para pakar
senyawa bahan alam tidak dapat menduga pasti setiap tumbuhan
mengandung senyawa tertentu, untuk itu uji fitokimia menjadi hal yang

12
penting untuk pedoman dalam isolasi senyawa metabolit sekunder
selanjutnya.
Banyak cara para peneliti melakukan uji fitokimia, namun secara
umum cara yang paling sering digunakan adalah analisis fitokimia
dengan penampak noda. Penampak noda masing-masing golongan
berbeda-beda. Golongan senyawa alkaloid dapat diidentifikasi dengan
reagen Mayer, Wagner maupun dragendorf. Steroid dan terpenoid
biasanya menggunakan reagen Libermann-Bourchard atau vanillin
sulfat sebagai penampak noda dan flavonoid mereaksikan sampel
dengan pereaksi FeCl3.

B. UJI FITOKIMIA ALKALOID


Definisi senyawa golongan alkaloid masih terjadi perdebatan dan
para pakar mendefinisikan secara berbeda-beda, namun secara umum
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Sebagian besar atom N merupakan bagian cincin heterosilklik.
b. Mempunyai sifat fisiologis yang unik, sebagian beracun dan
sebagian lagi dapat dimanfaatkan untuk obat-obatan.
c. Mengandung paling sedikit sebuah N (walaupun ada beberapa
senyawa alam yang mengandung N tetapi bukan alkaloid.
d. Bersifat basa dan terasa pahit (tidak disarankan untuk mencicipi
sampel tumbuhan).
e. Keberadaan dalam tumbuhan tersebar secara luas di setiap
jaringan (akar, daun, kulit batang dan kadang-kadang dalam buah,
bahkan dalam beberapa spesies jamur juga terdapat alkaloid).

13
Alkaloid adalah senyawa produk alam yang paling bervariasi,
sehingga jumlah senyawa golongan ini memiliki jenis yang paling
banyak jika dibandingkan dengan golongan lainnya. Variasi senyawa
alkaloid disebabkan oleh rantai samping yang sangat beragam.
Beberapa contoh senyawa alkaloid yang sudah ditemukan di dalam
tumbuhan tertera pada Gambar 5.

O 5 4
6 4a 3

7 8a
8 1 N
O

Papralina

O 4
3
2 3a
5
1
1b
N
O
1a 6a

11a 7

O
11 7a

10 8
9
H3CO

OCH3

Disentrinona

14
H3CO
5 4
6 4a 3

7 8a
N CH3
8
HO
1
H

H3CO
2'
3' 1'

4' 6'
5'
H3CO

Kodamina
Gambar. 5 Beberapa Senyawa Metabolit Golongan Alkaloid

Sampel tumbuhan baik dalam keadaan segar ataupun yang sudah


dikeringanginkan (akar, kulit batang, daun atau buah) sebanyak 10 g
digerus atau dihaluskan dan kemudian dibasahkan dengan amonia pekat
selama 2 jam. Penggunaan ammonia dapat juga dilakukan dengan
konsentrasi 10%, namun waktu yang diperlukan sekitar 24 jam. Sampel
yang telah dibasahkan dengan ammonia dimaserasi dengan 5 mL
diklorometana atau kloroform, kemudian digerus atau dikocok
sehingga untuk mempercepat proses ekstraksi. Filtrat disaring dan
dipekatkan sampai volumenya menjadi 1 mL. Filtrat ditambahkan asam
klorida 5% sebanyak 5 mL, dikocok kuat-kuat, didiamkan beberapa saat
sampai larutan asam klorida dan dikorometana atau kooroform
memisah. Lapisan asam klorida diambil dan dibagi dalam tiga tabung
reaksi dan masing-masing tabung diuji untuk mengetahui keberadaan
15
alkaloid. Penambahan dengan pereaksi Meyer akan menyebabkan
terjadinya endapan putih, dengan reagen Dragendorff akan
menyebabkan ada endapan coklat kemerahan, dan dengan pereaksi
wagner timbul endapan kuning. Uji fitokimia secara skematis dapat
dilihat pada Skema 1.

Sampel 10 g
-Digerus dan dihaluskan
-Dibasahkan dengan amonia pekat 2 jam
-Dimaserasi dengan 5 mL CH2Cl2
-Dikocok kuat-kuat
-Disaring dan dipekatkan

Filtrat Residu

-Ditambahkan 5 mL HCl 5%
-Dikocok
-Didiamkan beberapa saat sampai terjadi 2
lapisan

Lapisan HCl Lapisan CH2Cl2

-Dibagi kedalam 3 tabung reaksi


-Diuji dengan reagen Mayer, Dragendorf, dan Wagner

Hasil

Skema 1. Uji Fitokimia Senyawa Golongan Alkaloid

Setiap proses perlakuan memiliki pengaruh atau tujuan terhadap


analisis fotokimia. Sampel digerus atau dihaluskan bertujuan untuk
16
mempercepat proses reaksi antara ammonia dengan alkaloid. Alkaloid
di alam masih dalam bentuk garam alkaloid, sehingga proses
ekstraksinya lebih susah, apalagi menggunakan pelarut yang non polar
atau semipolar. Alkaloid yang sudah menjadi netral diekstraksi dengan
diklorometana atau kloroform. Penggunaan kloroform harus hati-hati
karena lebih bersifat toksik dibandingkan dengan diklorometana.
Ekstraksi dengan etilasetat juga banyak dilakukan, namun pada saat
pemekatan sedikit lebih susah, karena etilasetat memiliki titik didih
yang lebih tinggi dibandingkan diklorometana atau kloroform. Filtrat
yang mengandung alkaloid masih bercampur dengan senyawa non
alkaloid lain, sehingga perlu penambahan HCl 5% untuk menjadikan
alkaloid netral menjadi garam alkaloid sehingga terjadi pemisahan
antara alkaloid dengan non alkaloid.
Garam alkaloid diuji kualitatif dengan berbagai reagen penampak
noda. Penambahan penampak noda dengan reagen Mayer menunjukkan
positif mengandung alkaloid, jika terjadi endapan putih. Jika
menggunakan penampak noda Dragendorff terjadi endapan merah
kecoklatan dan pereaksi Wagner ada endapan kuning. Masih banyak
lagi penampak noda untuk senyawa alkaloid, misalnya reagen asam
pikrat atau asam tanat. Penambahan berbagai penampak noda ini
berguna untuk mendeteksi semua jenis alkaloid, karena alkaloid dari
jenis tertentu sensitif dengan reagen penampak noda tertentu. Misalnya
alkaloid jenis oksoaporfina akan sangat sensitif dengan Dragendorff
dan dalam masa relatif singkat akan menjadi coklat kehitaman.
Alkaloid yang memiliki N tidak terikat pada cincin aromatik atau siklik,
tidak menunjukkan warna yang tajam dengan reagen Dragendorff.
17
Kesulitan lain dari analisis kualitatif ini, seringkali terjadi jika suatu
sampel yang sebernarnya mengandung alkaloid, tetapi memiliki
konsentrasi yang kecil sehingga seolah-olah dalam sampel tidak
mengandung alkaloid. Hal ini dapat diatasi dengan menambah jumlah
sampel dan diikuti dengan pemekatan filtrat. Cara lain untuk
mendeteksi senyawa alkaloid adalah dengan melakukan kromatografi
lapis tipis (KLT). Filtrat yang sudah pekat ditotolkan pada plat KLT dan
dielusi dengan pelarut yang sesuai kemudian di semprot dengan
penampak noda Dragendorff menunjukkan warna coklat. Penggunaaan
reagensia penampak noda untuk alkaloid disarankan yang baru dibuat,
karena reagensia ini kurang stabil, sehingga dikhawatirkan tidak
menunjukkan reaksi yang positif. Pembuatan masing-masing reagen ini
adalah sebagai berikut:
a. Reagen Mayer
Endapat putih yang terbentuk menunjukkan ada alkaloid di dalam
sampel. Reagen ini dibuat dengan menimbang 1,4 g merkuri (II) klorida
dalam 60 mL air distilasi dan mencampurkan larutan kalium iodide ( 5
g KI dalam 10 mL air distilasi). Kedua jenis laruatan ini dicampur dan
kemudian ditambah air distilasi sampai volume menjadi 150 mL.
b. Reagen Dragendorff
Reagent Dragendorff digunakan untuk mendeteksi alkaloid yang
umumnya untuk penyemprotan di pelat kromatografi lapis tipis (KLT).
Noda coklat kemerahan menunjukkan positif alkaloid Pembuatan
reagen Dragendorff adalah bismuth (III) nitrat (1.7 g) dilarutkan dengan
20 mL asam asetat glasial dan diencerkan dengan 80 mL air distilasi.
Larutan ini disebut dengan larutan A. Kalium Iodida (16 g) dilarutkan
18
dalam dalam 40 mL air distilasi. Larutan ini disebut dengan larutan B.
Kedua campuran larutan ( A dan B) dicampurkan menjadi regaen stok
Dragendorf. Larutan untuk penyemprotan dibuat dengan mengukur 40
mL larutan stok dan dicampur dengan 20 mL asam asetat glasial,
kemudian diencerkan dengan 120 mL air distilasi.

c. Reagen Wagner
Reagen Wagner dibuat dengan cara menimbang 1,25 g iodine, I2
dan 1 g kalium iodide, KI. Campuran bahan tersebut dilarutkan dalam
100 mL aqudes dalam labu ukur. Reaksi positif alkaloid menunjukkan
endapan coklat.

C. UJI FITOKIMIA TERPENOID, STEROID DAN SAPONIN


Terpenoid, steroid dan saponin merupakan senyawa produk alam
yang tersebar hampir di semua jenis tumbuhan. Triterpenoid, steroid
dan saponin secara struktural memiliki beberapa persamaan (Gambar 6,
7 dan 8). Secara umum terpenoid dibagi kedalam beberapa kelas, yaitu
monoterpenoid (C10), sesquiterpenoid (C15), diterpenoid (C20) dan
tetraterpenoid (C40).
Steroid, secara struktural mirip dengan triterpenoid, namun pada
atom C4 memiliki gugus metil untuk golongan terpenoid dan tidak ada
untuk steroid. Saponin merupakan triterpenoid atau steroid yang
memiliki gugus gula. Jika gugus steroid mengikat gugus gula disebut
dengan saponin steroid dan jika terpenoid mengikat gugus gula, maka
disebut saponin triterpenoid. Jika gugus gula mengalami hidrolisis,
maka seteroid atau triterpenoid disebut dengan aglikon dan gugus gula
19
disebut glikon. Gambar 6 merupakan contoh steroid yang diisolasi dari
spesies Cryptocarya rugulosa, family Lauraceae.
29

21 28

24 H
23
22
18 20 25
26
H
12 H
13 17 27
19 11
H 16
14
15
1 9
2 10 8
H H
3 5 7
4 6
HO

Gambar 6. Struktur Senyawa Golongan Steroid

29

21 28

18 23 24
22 H
20
26
25
12 H
19 11 13 17
H 16 27 H
14
15
1 9
6' 2 10 8
CH2OH H 7 H
O 3 5
HO 4' 4 6
5' O
3' 2'
HO OH 1'

Gambar 7. Struktur Senyawa Golongan Saponin Steroid

20
Gambar 8. Struktur Senyawa Golongan Terpenoid

Analisis fitokimia ketiga jenis senyawa tersebut biasanya


dilakukan secara bersamaan dan menggunakan penampak noda
Libermann Bourchard atau vanillin sulfat dalam pelat KLT. Skema 2
adalah analisis fitokimia senyawa golongan terpenoid, steroid dan
saponin.

21
Sampel 10 g
- Digerus halus
- Ditambahkan metanol panas
Filtrat
- Diuapkan dengan rotary evaporator

Ekstrak
metanol
- Diekstraksi dengan etilasetat atau diklorometana

Fraksi yang
Fraksi yang larut
tidak larut
- Diuji dengan pereaksi Liebermann - (Residu)
Burchard
Busa stabil ± 30
Hijau/Biru Ungu/Merah menit
(+) (+)
Ekstrak

- Ditambahkan
HCl

Ungu/merah Hijau/Biru
(+) Saponin (+) Saponin
Triterpen Steroid

Skema 2. Uji Fitokimia Senyawa Golongan Terpenoid, Steroid dan


Saponin

Sampel yang digunakan untuk uji fitokimia dapat dalam keadaan


segar, maupun yang sudah dikeringanginkan. Penggunaan sampel segar
lebih dianjurkan, karena senyawa yang terkandung masih diyakini
belum rusak secara struktur, namun kandungan air yang terdapat dalam
sampel berpengaruh terhadap konsentrasi. Seringkali konsentrasi yang
22
kecil tidak terdeteksi oleh reagensia yang digunakan untuk identifikasi.
Sampel sebaiknya dihaluskan untuk mempercepat proses ekstraksi.
Ekstraksi sampel dilakuan menggunakan methanol panas dengan
harapan semua senyawa metabolit sekunder dapat diekstraksi ke dalam
pelarut.
Filtrat yang diperoleh diuapkan menggunakan rotary evaporator,
sehingga senyawa yang dikuatirkan rusak akan terjaga dengan baik.
Umumnya golongan terpenoid dan steroid bersifat non polar sampai
semi polar, sementara itu saponin umunya bersifat polar, karena
memiliki banyak gugus fungsi hidroksil. Perlakuan dengan
memisahkan kedua golongan itu dilakukan dengan ekstraksi ekstrak
menggunakan pelarut yang non polar sampai semi polar. Banyak
pelarut yang dapat digunakan, diantaranya adalah n-heksana (non
polar), etilasetat, kloroform, diklorometana atau dietileter (semi polar).
Golongan senyawa terpenoid dan steroid larut dalam pelarut
non polar sampai semi polar. Senyawa yang larut dalam pelarut tersebut
dapat diidentifikasi dengan menggunakan reagen Liebermann-
Burchard. Warna hijau atau biru menunjukkan adanya steroid dan
warna ungu atau merah positif terpenoid. Identifikasi dengan cara lain
adalah memperlakukan secara kromatografi lapis tipis, kemudian
dielusi dengan eluen yang sesuai dan disemprot dengan penampak noda
vanillin sulfat atau serik sulfat.
Fraksi yang tidak larut dalam pelarut non polar atau semi polar
adalah golongan senyawa saponin. Uji kualitatif saponin dapat
dilakukan dengan menambahkan air kemudian dikocok. Busa yang
terbentuk akan stabil dalam waktu yang relatif lama, lebih kurang 30
23
menit. Saponin tidak menunjukkan sensitifitas dengan reagen
Liebermann-Burchard, sehingga perlu dihidrolisis dengan HCl untuk
memutuskan ikatan glikosidanya. Ikatan glikosida yang sudah terputus
menjadikan senyawa steroid atau terpenoid (aglikon) dan senyawa gula
(glikon). Aglikon diidentifikasi menggunakan reagensia Liebermann-
Burchard atau vanillin sulfat. Hasil positif ditunjukkan warna ungu atau
merah untuk saponin triterpen dan hijau atau biru untuk saponin steroid.
Reagen penampak noda yang paling sering digunakan untuk
identifikasi adalah Liebermann-Burchard, vanillin sulfat dan serik
sulfat. Masing reagen dapat dibuat dengan cara sebagai berikut:
a. Reagen Liebermann-Burchard
Campuran ssam asetat anhidrat (5 mL) dan 5 mL asam sulfat
pekat secara hati-hati di tambahkan 5 mL etanol absolut di
dalam penangas es.
b. Reagen vanillin sulfat
Larutan 1. 5% vanillin dalam etanol absolut
Larutan 2. 5% asam sulfat pekat dalam etanol absolut
Kedua larutan tersebut dicampur dan dimasukkan ke dalam
botol sprayer. Pencampuran reagensia ini sebaiknya dilakukan
pada saat akan digunakan untuk menghindari kerusakan reagen.
c. Reagen serik sulfat.
Dibuat dengan mencampurkan serik sulfat jenuh ke dalam
larutan asam sulfat 65%.

24
D. UJI FITOKIMIA FLAVONOID
Senyawa golongan flavonoid sebenarnya adalah senyawa
golongan fenolat. Umumnya golongan senyawa ini bersifat polar,
karena memiliki beberapa gugus hidroksil atau juga sering dijumpai
dalam bentuk flavon glikosida. Banyak tumbuhan-tumbuhan yang
memiliki kandungan senyawa golongan falvonoid. Famili moraceae
dan leguminocae adalah contoh tumbuhan yang banyak terkandung
senyawa golongan ini. Kerangka dasar flavonoid terdiri atas 15 atom
karbon yang memiliki 2 cincin fenil (A dan B) yang dihubungkan oleh
rantai propane (Gambar 9).

Gambar 9. Kerangka Dasar Senyawa Golongan Flavonoid

Analisis fitokimia senyawa golongan flavonoid dapat dilakukan


secara sederhana. Secara skematis (Skema 3) dapat dilakukan sebagai
berikut.

25
Sampel 10 g

- Diekstraksi dengan metanol


- Dipekatkan

Ekstrak
metanol
- Diekstraksi dengan n-heksana

Residu Filtrat
- Diekstraksi dengan 10 mL etanol 80%
- Ditambahkan 0,5 g Mg dan Hcl 0,5 M
Merah muda/ungu
(+) Flavonoid

Skema 3. Uji Fitokimia Senyawa Golongan Flavonoid


Sampel diekstraksi menggunakan pelarut methanol karena
umumnya senyawa golongan flavonoid bersifat polar, sehingga
diharapkan semua flavonoid dapat terekstraksi ke dalam pelarut. Filtrat
yang diperoleh dipekatkan menggunakan rotary evaporator. Ekstrak
metanol pekat diekstraksi, secara partisi menggunakan pelarut non
polar, misalnya n-heksana atau petroleum eter. Penggunaan pelarut ini
bertujuan untuk menghilangkan senyawa-senyawa non fenolik (lemak
atau mono terpenoid) sehingga tidak mengganggu proses identifikasi.
Senyawa golongan fenol menyerap sinar daerah ultra violet
pendek yang dapat diamati pada pelat KLT yang mengandung indikator
fluoresensi gelombang 254 nm. Cara lain mendeteksi senyawa
golongan fenol adalah dengan menambahkan larutan FeCl3 yang
26
menunjukkan warna biru sampai ungu. Deteksi secara sederhana
lainnya adalah dengan menotolkan ekstrak pada pelat KLT yang diikuti
dengan pemberian uap ammonia. Bercak biru agak pudar menunjukkan
positif senyawa golongan fenol. Beberapa contoh senyawa flavonoid
adalah seperti pada Gambar 10 dan 11.

Gambar 10. Struktur Senyawa Flavonoid, Apigenin

Gambar 11. Struktur Senyawa Flavonoid, Trisetin

Senyawa golongan flavonoid umumnya memiliki aktivitas


antioksidan. Aktivitas tersebut diduga, karena golongan flavonoid
memiliki gugus fungsi hidroksil.

27
BAB III
PEMISAHAN SENYAWA

Senyawa dalam sampel tumbuhan masih dalam keadaan


bercampur satu sama lain, sehingga teknik pemisahan senyawa menjadi
hal yang penting dalam keberhasilan pekerjaan. Senyawa, seringkali
memiliki sifat kepolaran yang mirip, sehingga, proses pemisahan
menjadi lebih rumit. Berbagai faktor yang harus diperhatikan dalam
pemisahan senyawa meliputi, pelarut, proses ekstraksi, isolasi dan
purifikasi.

A. PELARUT
Faktor pelarut sangat berperan penting dalam proses ekstraksi ini.
Pelarut yang digunakan memiliki kualitas yang bervariasi dan jika
digunakan untuk ekstraksi dapat dilakukan menggunakan pelarut yang
kualitasnya relatif lebih rendah (industrial grade). Pelarut ini dapat
ditingkatkan kualitasnya dengan cara distilasi pelarut. Rendemen hasil
distilasi biasanya berkisar antara 70-80% tergantung sistem
pendinginnya atau jumlah pengotornya.
Secara umum pelarut yang digunakan untuk ekstraksi dibagi tiga
kategori yaitu (1) pelarut non polar, misalnya n-heksana dan petroleum
eter. (2) pelarut semi polar, misalnya, etilasetat, aseton, diklorometana,
benzena dan kloroform. (3) Pelarut polar biasanya digunakan metanol
dan etanol. Pada dasarnya pelarut yang digunakan untuk ekstraksi harus
memiliki beberapa persyaratan.

28
a. Mudah diperoleh
Banyak pelarut yang diproduksi harus dipesan dalam waktu yang
relatif lama, sehingga pekerjaan ekstraksi dapat terhambat.
b. Relatif murah
Pelarut satu dengan yang lainnya, seringkali memiliki perbedaan
harga yang signifikan, walaupun keduanya memiliki fungsi yang
relatif sama dalam hal pemisahan.
c. Memiliki titik didih yang rendah
Pelarut yang memiliki titik didih rendah memudahkan dalam
proses pemekatan. Pelarut dengan titik didih yang relatif tinggi
memerlukan waktu yang lebih lama dalam proses pemekatan ekstrak.
Satu contoh etanol dan metanol merupakan pelarut organik polar dan
senyawa yang terekstraksi relatif sama, tetapi etanol memiliki titik
didih 79 0C dan metanol adalah 65 0C. Para pakar umumnya lebih
menyukai metanol sebagai pelarut.
d. Relatif kurang berbahaya
Satu contoh pelarut yang berbahaya adalah, misalnya kloroform
(walaupun merupakan ekstrakstor yang baik), tetapi pengerjaannya
harus sangat hati-hati. Contoh lain pelarut yang tidak dianjurkan
adalah benzena, karena pelarut ini sangat karsinogenik.
e. Tidak bereaksi dengan sampel
Beberapa pelarut seringkali bereaksi dengan pelarut, sehingga
jika digunakan akan diperoleh senyawa yang sudah berubah dari
senyawa asalnya.

29
Tabel 1 adalah beberapa pelarut dan titik didihnya, yang lazim
digunakan dalam proses ekstraksi maupun isolasi, walaupun masih
banyak jenis pelarut yang lain tidak tercantum dalam tabel tersebut.

Tabel 1. Titik didih beberapa pelarut yang biasa digunakan untuk


Ekstraksi
No Nama Pelarut Titik didih (oC
1 n-heksana 69
2 Petroleum eter 60-70
3 Dietileter 35
4 Kloroform 61
5 Diklorometana 40
6 Etilasetat 77
7 Aseton 56
8 Benzene 80
9 n-Propanol 97
10 Asetonitril 82
11 Asam asetat 118
12 n-butanol 118
13 Etanol 79
14 Methanol 65
15 Air 100

B. EKSTRAKSI
Ekstraksi merupakan proses penyarian suatu senyawa atau
kelompok senyawa menggunakan pelarut tertentu yang sesuai dengan
sifat kepolaran senyawa yang diinginkan. Berbagai cara ekstraksi telah
dilakukan untuk analisis senyawa kimia dalam tumbuhan. Masing-
masing cara ekstraksi memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan
tergantung sifat senyawa yang diinginkan. Beberapa jenis ekstraksi

30
yang sering dilakukan oleh kimiawan organik bahan alam meliputi
maserasi, sokletasi, perkolasi dan partisi.
a. Maserasi
Maserasi adalah proses ekstraksi yang menggunakan pelarut
dingin, tanpa perlakuan suhu dan dengan cara perendaman. Cara ini
paling sering digunakan, karena memiliki beberapa kelebihan
walaupun juga memiliki beberapa kekurangan. Kelebihan ekstraksi
dengan cara maserasi adalah:
1) Senyawa yang mudah rusak akan tetap terjaga dengan baik,
karena tidak menggunakan suhu tinggi pada saat ekstraksi.
2) Jumlah sampel yang diekstrasi dapat dilakukan dengan
jumlah yang banyak, karena wadahnya dapat dimodifikasi
sesuai dengan jumlah sampel.
3) Tidak menggunakan peralatan khusus. Wadah apa saja dapat
digunakan untuk maserasi sejauh tidak bereaksi atau dapat
larut dengan pelarut yang digunakan.
Ekstraksi secara maserasi, walaupun memiliki beberapa kelebihan,
namun ada juga beberapa kelemahan.
1) Pelarut yang diperlukan lebih banyak, karena dilaukan
perendaman berulang-ulang sampai diharapkan semua
senyawa terekstrak.
2) Waktu yang diperlukan untuk proses ekstraksi relatif lebih
lama. Biasanya satu kali maserasi dilakukan dalam masa 3
hari. Jika maserasi dilakukan berulang-ulang 3 kali, maka
akan memerlukan waktu 9 hari.

31
3) Jika waktu yang digunakan tidak maksimum, maka tidak
semua senyawa terekstrak dengan sempurna.

b. Sokletasi
Teknik ekstraksi ini adalah menggunakan pelarut yang sesuai
dengan titik didihnya sebagai ekstraktor. Cara ini dapat digunakan jika
menggunakan pelarut yang memiliki titik didih rendah. Karena titik
didih yang rendah memungkinkan senyawa yang terekstrak tidak
rusak. Ekstraksi beberapa senyawa metabolit sekunder dapat juga
dilakukan dengan cara ini, karena senyawa tersebut cukup tahan
terhadap suhu tinggi. Alat sokletasi sederhana yang kerap digunakan
untuk ekstraksi terlihat pada Gambar 12. Cara ini memiliki beberapa
kelebihan sebagai berikut.
1) Lebih ekonomis
2) Menggunakan pelarut yang sedikit, karena sistem kerja
peralatan soklet, pelarut akan kembali ke dalam labu soklet.
3) Ekstraksi dapat berlangsung secara cepat, sehingga tidak
memerlukan waktu yang lama untuk memperoleh ekstrak.
4) Senyawa yang terekstraksi menjadi lebih banyak, karena
sirkulasi perendaman berlangsung lebih banyak dan cepat.

32
Gambar 12. Peralatan Ekstraksi Soklet

33
Ekstraksi cara ini juga memiliki kelemahan dan diantaranya
adalah:
1) Senyawa yang terekstraksi dikuatirkan akan rusak, terutama
senyawa-senyawa yang sensitif terhadap panas, apalagi
menggunakan pelarut yang memiliki titik didih tinggi.
2) Peralatan soklet umumnya dapat menampung sampel dalam
jumlah yang sedikit. Jika sokletasi sampel dalam jumlah yang
banyak, maka diperlukan sokletasi berkali-kali, sehingga
memerlukan waktu yang lama.
Cara kerja alat ini adalah sampel diletakkan pada tempat sampel
dan ditambahkan dengan natrium sulfat anhidrat untuk mengurangi atau
menghilangkan air yang terdapat dalam sampel. Pelarut organik yang
digunakan diletakkan dalam labu bulat dan dipanaskan dengan heating
mantel. Pelarut diuapkan melalui jalan langsung uap (bypass sidearm)
sehingga terjadi pengembunan pada kondensor. Kondensor harus
dihubungkan dengan sistem pendingin (cooler), sehingga
pengembunan uap pelarut terjadi secara sempurna.
Pelarut yang mengembun menjadi cair akan merendam sampel
sampai pada batas ketinggian refluk sidearm, maka pelarut akan turun
ke dalam labu bulat lagi. Proses ini berlangsung secara terus menerus
sampai diperkirakan semua senyawa terkstraksi.

c. Perkolasi
Proses ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru secara terus
menerus sampai sempurna disebut dengan perkolasi. Proses perkolasi
ini dilakukan pada suhu ruang, sama seperti proses ekstraksi maserasi.
34
Ekstraksi cara akan dihentikan jika senyawa yang terekstraksi tidak
terkandung lagi dalam sampel. Perkolasi dapat dihentikan, jika tetesan
perkolat tidak berwarna lagi, walaupun seringkali banyak senyawa
yang tidak berwarna. Cara lain adalah pada perkolat terakhir dilakukan
KLT, kemudian dilihat di bawah lampu UV dan jika masih terlihat ada
senyawa, maka perkolasi masih dilanjutkan.

Gambar 13. Ekstraksi secara Perkolasi

Cara kerja proses ini adalah sampel ditempatkan dalam labu


perkolasi dan direndam dengan pelarut. Senyawa yang terekstraksi

35
dipisahkan dengan cara membuka keran labu. Laju tetesan ekstrak sama
dengan tetesan pelarut baru yang diletakkan dalam botol yang telah
dimodifikasi dan dilengkapi dengan keran (Gambar 13). Ekstraksi
dengan cara perkolasi memiliki beberapa kuntungan.
1) Kandungan senyawa dalam sampel tidak mengalami kerusakan,
karena dilakukan dengan suhu kamar.
2) Sampel yang diekstrasi dapat dilakukan dengan jumlah yang
banyak, karena wadahnya dapat dimodifikasi sesuai dengan
jumlah sampel.
3) Pelarut yang digunakan terus menerus dalam keadaan baru,
sehingga proses ekstraksi akan lebih cepat.
Beberapa kelemahan proses ekstrasi dengan cara perkolasi adalah
1) Memerlukan pelarut yang banyak
2) Proses ekstraksi memerlukan waktu yang lama

d. Partisi
Partisi adalah pemisahan dua campuran senyawa atau lebih
dengan menggunakan pelarut yang tidak saling larut dengan salah satu
senyawa. Cara ini sering dilakukan untuk campuran senyawa dalam
keadaan cairan, namun sering juga dalam campuran padatan. Peralatan
yang paling sering digunakan untuk proses adalah corong pisah.

C. ISOLASI
Isolasi adalah pengasingan masing-masing senyawa berdasarkan
sifat kepolaran senyawa yang akan diasingkan. Isolasi senyawa
metabolit sekunder dapat dilakukan dengan berbagai cara. Cara yang
36
paling sering dilakukan adalah secara kromatografi kolom,
kromatografi kolom cair vakum, kromatografi lapis tipis preparatif
(KLTP) dan kromatografi cair kinerja tinggi preparatif (KCKTP).
Umumnya proses isolasi dilakukan dengan menaikkan tingkat
kepolaran pelarut yang dimulai dari ekstrak yang bersifat non polar
sampai polar. Proses isolasi didahului oleh proses proses ekstraksi.
Skema 4 adalah contoh ekstraksi umum yang sering dipedomani
sebagai cara yang sederhana.

Sampel Tumbuhan

Ekstraksi dengan n-heksana

Residu Filtrat n-heksana

dipekatkan
Ekstraksi dengan Etilasetat
Ekstrak n-heksana

Filtrat etilasetat Residu

Ekstraksi dengan MeOH


Dipekatkan

Ekstrak etilasetat
Residu Filtrat MeOH

Dipekatkan

Extrak MeOH

Skema 4. Proses isolasi umum dengan peningkatan kepolaran

37
Pengerjaan awal sampel dimulai dengan cara ekstraksi (misalnya,
maserasi, sokletasi, perkolasi atau partisi) menggunakan pelarut n-
heksana. Pelarut ini dapat mengekstrak senyawa golongan lemak,
monoterpenoid ataupun senyawa metabolit sekunder lain yang bersifat
non polar. Pengerjaan isolasi ini akan diperoleh kelompok senyawa non
polar. Senyawa ini dalam pengerjaan selanjutnya dilakukan isolasi dan
dapat diidentifikasi masing-masing senyawa. Residu diekstrasi dengan
pelarut semipolar, misalnya etilasetat atau diklorometana. Fungsi
pelarut ini untuk memisahkan senyawa yang bersifat semi polar. Isolasi
ekstrak etil asetat melalui berbagai cara pemisahan dapat diperoleh
senyawa-senyawa yang terkandung dalam ekstrak ini. Pelarut polar,
misalnya metanol, digunakan untuk menarik senyawa-senyawa polar,
misalnya golongan senyawa saponin, tanin, flavonoid atau metabolit
sekunder lainnya yang bersifat polar. Hasil pengerjaan ini diharapkan
semua senyawa dalam sampel dapat terekstraksi dan dapat diisolasi
yang selanjutnya diidentifikasi melalui elusidasi struktur. Skema 5
adalah contoh pengerjaan isolasi senyawa metabolit sekunder dari
tumbuhan.

38
Ekstrak n-heksana atau
EtOAc atau MeOH

Kolom kekromatografi

Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3 Fraksi 4 Fraksi n

TLC TLC TLC TLC TLC

dipekatkan
Isolat murni

Sub fraksi A Sub fraksi B Sub fraksi n

Rekromatografi Rekromatografi Rekromatografi


atau PTLC atau PTLC atau PTLC

Isolat murni

Elusidasi struktur

Struktur

Skema 5. Isolasi senyawa metabolit sekunder dari tumbuhan

39
Teknik isolasi yang dimulai dari pelarut polar sering juga
dilakukan, namun pengerjaannya dengan cara ini sedikit lebih susah,
karena pada saat partisi antara semi polar dengan polar, harus
menambahkan air. Air memiliki titik didih yang tinggi sehingga lebih
sulit dipekatkan. Cara ini memiliki kelebihan, yaitu menggunakan
pelarut yang relatif sedikit. Skema 6 adalah contoh teknik isolasi umum
yang dimulai dengan pelarut polar.

Sampel Tumbuhan

- Ekstraksi dengan MeOH

Filtrat Residu
Filtrat MeOH
Dipekatkan

Ekstrak MeOH

- Diencerkan dengan MeOH


- Dipartisi dengan n-heksana

Residu Filtrat
- Ditambah air
- Dipartisi dengan EtOAc Dipekatkan

Ekstrak n-heksana
Filtrat Residu
dipekatkan dipekatkan

Ekstrak etilasetat Ekstrak MeOH

Skema 6. Teknik ekstraksi umum yang dimulai dengan pelarut polar

40
Sampel diekstraksi dengan metanol beberapa kali sampai
diharapkan semua senyawa baik yang polar, semipolar maupun non
polar dapat terkestraksi ke dalam pelarut. Ekstraksi dapat dihentikan
jika pelarut tidak berwarna lagi atau diidentifikasi dengan cara
menotolkan ekstrak di atas plat KLT, kemudian di-spray dengan reagen
penampak noda. Metanol adalah pelarut yang sangat baik untuk
ekstraksi semua senyawa metabolit sekunder dalam jaringan tumbuhan.
Kemampuan ini disebabkan metanol dapat merusak struktur jaringan
sel tumbuhan, sehingga semua senyawa dapat terektraksi. Ekstrak
metanol disaring dan dipekatkan dengan rotari evaporator. Ekstrak
pekat metanol dipartisi dengan n-heksana secara berulang-ulang,
sampai semua senyawa non polar dapat terekstraksi. Filtrat dipekatkan
dan dipeoleh ekstrak pekat n-heksana.
Ekstraksi secara partisi dengan n-heksana adalah untuk menarik
senyawa non polar yang terkandung dalam sampel. Partisi dilakukan
berulang-ulang sampai senyawa non polar terekstraksi sempurna.
Fraksi ini dilakukan pemisahan dengan teknik-teknik isolasi secara
kromatografi kolom, kolom lapis tipis preparatif ataupun kromatografi
kolom cair vakum.
Residu yang diperoleh dilarutkan dalam air dan dipartisi dengan
pelarut semi polar, misalnya etilasetat, EtOAc atau diklorometana atau
pelarut semipolar lainnya. Fungsi penambahan air bertujuan untuk
meningkatkan kepolaran, sehingga akan terjadi polarisasi antara
senyawa semipolar dan polar. Partisi dengan senyawa ini dilakukan

41
berulang-ulang sampai semua senyawa semi polar diharapkan
terkestraksi. Filtrat disaring dan dipekatkan untuk tujuan isolasi.
Residu yang dihasilkan adalah ekstrak polar yang mengandung
air. Pemekatan ekstrak ini sedikit lebih susah, karena pemekatan
menggunakan rotary evaporator memerlukan waktu yang lama dan
suhu yang relatif tinggi, sehingga dikuatirkan senyawa akan menjadi
rusak. Cara pemekatan yang sederhana adalah pemekatan melalui
freeze dryer.
Perbandingan teknik ekstraksi yang dimulai dari pelarut non polar
(Skema 4) dan dimulai dari pelarut polar (Skema 6), masing-masing
memiliki kelebihan dan kekurangan. Cara pertama banyak memerlukan
pelarut, tetapi pengerjaannya relatif lebih mudah. Cara kedua adalah
sebaliknya, sehingga peneliti dapat memilih mana yang terbaik untuk
isolasi.
Secara umum isolasi yang dapat mengidentifikasi semua
senyawa, termasuk golongan alkaloid terlihat dalam Skema 7. Sampel
dalam jumlah yang cukup untuk keperluan identifikasi dan elusidasi
struktur senyawa, dihomogenkan dengan dalam pelarut metanol-air
(4:1) selama 5 menit. Tujuannya adalah semua senyawa, bahkan yang
sangat polar sekalipun, misalnya saponin dan tanin, dapat terekstrak ke
dalam pelarut tersebut.
Residu diekstraksi dengan etilasetat secara berulang-ulang,
sehingga diperoleh residu dan filtrat. Residu mengandung senyawa
polisakarida, misalnya selulosa atau senyawa makromolekul. Filtrat
mengandung senyawa lemak atau lilin. Kedua senyawa tersebut dapat
dipisahkan secara KLT preparatif atau kromatografi kolom. Jika hanya
42
untuk identifikasi dapat dilakukan dengan KLT atau gas kromatografi-
mass spektrometri (GC-MS).
Sampel
- Homogenkan 5 menit
dalam
Residu Filtrat
Ekstraksi dengan Uapkan sampai 1/10 vol.
EtOac (5X), saring (40oC) Asamkan dengan
H2SO4 2M/HCl 5% Ekstaksi
dengan CHCL3 (3X)
Residu Filtrat
Serat Ekstrak netral
(terutama (lemak, lilin) Ekstrak CHCL3 Lapisan air
poli-sakarida) Pisah dengan Keringkan, asam- basakan sampai pH 10
KLT dengan NH4OH
uapkan
- ekstraksi dengan
Pada silika atau CHCl3-MeOH (3:1)
KGC Ekstrak polar
2X dan CHCl3
pertengahan
(terpenoid
atau senyawa
fenol) KKt atau
KLT Pada silika

Ekstrak Lapisan air


CHCL3- MeOH basa
Uapkan,
Ekstaksi
Keringkan,
Dengan
uapkan MeOH
Ekstraksi basa Ekstraksi polar
(kebanyakan alkaloid) Ekstak MeOH
KLT pada silika atau (alkaloid kuarterner
Elektroferesis dan N-oksida)

Skema 7. Cara umum ekstraksi dan fraksionasi (Sumber Harborne,


1987)

43
Filtrat yang diperoleh dipekatkan pada suhu 40 oC sampai volume
menjadi 10%-nya. Filtrat tersebut diasamkan dengan asam sulfat 2 M
atau HCl 5%, untuk memisahkan golongan alkaloid (jika dalam sampel
mengandung senyawa tersebut) dan bukan alkaloid. Perlakuan
selanjutnya ke dalam sampel tersebut ditambahkan dengan kloroform
atau diklorometana atau pelarut organik semipolar lainnya, sehingga
terpisah antara fraksi air dan fraksi organik. Fraksi air mengandung
senyawa alkaloid dalam bentuk garam alkaloid. Fraksi organik
dipekatkan dan mengandung senyawa terpenoid, steroid, kumarin dan
ada juga golongan flavonoid. Isolasi senyawa dari fraksi ini dapat
dilakukan secara KLT preparatif, kromatografi kolom atau HPLC
preparatif.
Lapisan air-asam dibasakan dengan ammonia sampai pH 10 atau
11 untuk mengubah alkaloid garam menjadi netral, sehingga dapat
terekstraksi dengan kloroform atau diklorometana. Penambahan pelarut
metanol bersama kloroform adalah untuk memisahkan alkaloid yang
semi polar dan polar (misalnya alkaloid yang mengandung N-oksida.
Isolasi senyawa dari ekstrak dapat dilakukan dengan berbagai
cara diantaranya adalah kolom kromatografi (kromatografi kolom
(Gambar 13), kromatografi tipis preparatif, kromatografi kolom cair
vakum dan kromatografi kolom cair kinerja tinggi preparatif. Teknik
tersebut masing-masing memiliki beberapa kelebihan maupun
kekurangan tergantung senyawa yang akan dipisahkan.
A. Kromatografi kolom
Kromatografi kolom didasarkan pada absorpsi senyawa dalam
silika yang didasarkan pada kepolaran senyawa. Senyawa yang lebih
44
non polar akan turun terlebih dahulu dibandingkan dengan senyawa
yang lebih polar. Sebelum pengerjaan kromatografi kolom, maka
dilakukan terlebih dahulu mencari sistem pelarut. Sistem pelarut
ditentukan dengan cara KLT secara berulang-ulang sampai diperoleh
pelarut yang sesuai. Secara teknis pengerjaan dengan kolom
kromatografi adalah sebagai berikut:
a. Sampel dalam bentuk ekstrak dilarutkan dalam pelarut yang lebih
non polar dibandingkan dengan system eluen yang akan
digunakan untuk elusi dan dibuat sepekat mungkin.
b. Kolom yang digunakan berdiameter sesuai dengan jumlah
sampel. Jika jumlah sampel banyak, maka digunakan kolom yang
berdiameter besar.
c. Silika gel (fasa diam) yang digunakan sebaiknya menggunakan
jenis memiliki kualitas yang tinggi.
d. Silika gel yang digunakan sebaiknya dimasukkan ke dalam oven
o
pada suhu 110 C untuk menghilangkan kadar air yang
terkandung dalam silika gel. Silika gel direndam selama satu
malam dalam pelarut yang lebih non polar dibandingkan dengan
system eluen yang akan digunakan untuk elusi. Misalnya sistem
pelarut untuk elsui adalah diklorometana-metanol 90:10, maka
untuk merendam silika gel digunakan pelarut diklorometana
100%. Perendaman dilakukan untuk menghomogenkan interkasi
antara fasa diam dengan pelarut dan menghilangkan udara yang
terdapat dalam silika gel.
e. Bagian bawah kolom diletakkan kapas dan diatasnya pasir untuk
menahan silica gel keluar melalui penampung isolat.
45
f. Ke dalam kolom masukkan pelarut yang lebih non polar
dibandingkan dengan system eluen yang akan digunakan untuk
elusi.
g. Sedikit demi sedikit masukkan silika gel melalui dinding kolom
sambil keran penampung eluen dibuka, tetapi kolom jangan
sampai kering.
h. Pasir diletakkan dibagian atas silika untuk menghindari
menyebarnya silika pada saat memasukkan sampel atau eluen.
i. Sampel dimasukkan perlahan-lahan melalui dinding kolom.
j. Eluen dimasukkan sedikit demi sedikit agar sampel tidak
menyebar di dalam pelarut.

Gambar 14. Kolom kromatografi


46
k. Eluat ditampung dalam wadah (tergantung volume isolat
tampungan). Jumlah sampel yang besar, maka volume isolate
yang ditampung setiap wadah juga besar, begitu juga sebaliknya.
l. Setiap wadah (fraksi) dilakukan KLT untuk memonitor kelompok
noda. Pola noda yang sama digabung menjadi sub fraksi baru.
m. Sub fraksi baru (jika tidak menunjukan kemurnian), maka
dilakukan re-kromatografi kolom.
n. Isolat murni dipekatkan dan dilanjutkan dengan elusidasi struktur
atau uji hayati atau keduanya.
Sistem elusi dapat dilakukan secara gradient elusi. Elusi dengan
cara ini adalah menggunakan pelarut yang mingkatkan kepolaran. Satu
sistem eluen untuk elusi adalah diklorometana 90:10, maka elusi
dimulai dari 100% diklorometana, dilanjutkan dengan 99:1; 98:2 dan
seterusnya sampai methanol 100%.
B. Kromatografi kolom cair vakum
Pada prinsipnya isolasi senyawa dengan cara ini sama dengan
kromatografi kolom. Perbedaannya hanya pada ukuran silika gel (yaitu
silika gel 60 F254 yang memilki partikel lebih kecil) dan pergerakan
sampel dan eluen didasarkan pada pompa vakum. Berikut ini adalah
Gambar 15 yang menunjukkan peralatan kromatografi kolom cair
vakum.

47
Gambar 15. Kromatografi kolom cair vakum
Kertas saring diletakkan diatas silika gel dan sampel diletakkan
di atasnya lagi. Sampel dikemas dalam keadaan kering, dengan cara
mencampur dengan silika gel yang ukuran partikelnya sedikit lebih
kasar. Sampel dielusi menggunakan pelarut non polar sampai senyawa
non polar terelusi semua dan ditampung. Berikutnya diikuti dengan
pelarut semipolar dan terakhir dengan pelarut polar. Eluat yang
diperoleh dilakukan KLT dan fraksi yang memilki pola noda sama
digabung. Fraksi yang belum murni dilakukan re-kromatografi dan
sampel murni dielusidasi struktur.

48
C. Kromatografi Lapis Tipis Preparatif
Kromatografi lapis tipis preparatif (KLT preparatif) dilakukan
untuk pemurnian senyawa. Sebaiknya penggunaan cara ini dilakukan,
jika jumlah senyawa dalam sampel sudah tidak terlalu banyak(2 atau 3
senyawa), sehingga pemisahan senyawa satu dan yang lain akan lebih
mudah. Hasil kromatografi kolom yang mengandung dua atau tiga
senyawa dapat dilakukan dengan metode ini.

Gambar 16. Kromatografi Lapis Tipis Preparatif


a. Sampel dilarutkan dengan pelarutnya dan dengan penotol kaca
sampel dan disapukan pada bagian bawah.
b. Sampel dielusi dengan pelarut yang sesuai dalam chamber
sampai tanda batas
c. Setiap lapisan senyawa dikikis untuk memperoleh masing-
masing senyawa.
d. Hasil kikisan diletakkan dalam wadah dan dilarutkan dengan
pelarutnya.
e. Saring dan dipekatkan menggunakan rotary evaporator.

49
f. Isolat murni dielusidasi strukturnya menggunakan IR, UV, MS,
1D-NMR dan 2D-NMR.

D. Isolasi Alkaloid
Perlakuan isolasi senyawa golongan alkaloid sedikit berbeda
denga prosedur yang telah dijelaskan. Berikut ini adalah contoh isolasi
alkaloid dari suatu tumbuhan family Lauraceae, genus Cinnamomum
dan spesies Cinnamomum sintoc.
Sampel kulit batang Cinnamomum sintoc (3 kg) yang sudah
dikeringanginkan dan dihaluskan, dimaserasi dengan n-heksana selama
3 x 24 jam. Ekstrak n-heksana disaring dan dipekatkan dengan rotary
evaporator. Ekstrak pekat n-heksana diuji aktivitas antifungal dengan
konsentrasi 0,5; 5; 10; dan 20%. Residu dibasakan dengan amonia 10%
dan dibiarkan selama satu malam. Residu yang sudah dibasakan dengan
amonia dimaserasi dengan dikolormetana selama 3 x 24 jam sampai
diperkirakan senyawa terekstrak sempurna dalam diklorometana.
Filtrat disaring, dipekatkan menggunakan rotary evaporator dan
ditimbang.
Ekstrak pekat ditambahkan diklorometana sampai volume
menjadi 500 mL, ditambahkan 100 mL HCl 5% dan dipartisi dengan
corong pisah. Pengerjaan ini dilakukan berulang-ulang sampai uji
Meyer menunjukkan negatif alkaloid. Lapisan organik (non alkaloid)
dipekatkan, ditimbang (sebagian untuk isolasi dan sebagian lagi untuk
uji hayati). Lapisan anorganik yang mengandung alkaloid digabung,
dibasakan dengan amonia sampai pH 11 dan diekstraksi kembali
dengan diklorometana (dengan cara partisi). Fraksi dikorometana
50
(fraksi alkaloid) ditambahkan dengan natrium sulfat anhidrat untuk
menghilangkan kadar air, disaring dipekatkan (sebagian untuk isolasi
dan sebagain lagi untuk uji hayati).
Ekstrak alkaloid diisolasi dengan kolom kromatografi
menggunakan fasa diam silika gel G 60 F secara gradien elusi. Rasio
eluen yang digunakan adalah antara metanol dan diklorometana (100:0;
99:1; 98:2; 96:4; 93:7; 90:10; 85:15; 80:10 dan 50:50). Fraksi
dikumpulkan setiap 100 mL dan setiap fraksi dilakukan kromatografi
lapis tipis dengan eluen metanol dan diklorometana. Noda alkaloid
dilihat dibawah lampu UV (254 dan 366 nm) dan disemprot dengan
reagen Dragendorff’s. Fraksi yang mempunyai pola noda yang sama
digabung. Jika kelompok noda belum menunjukkan satu noda, maka
dilakukan re-kromatografi kolom atau kromatografi lapis tipis
preparatif. Senyawa murni dilakukan pengukuran secara spekroskopi
menggunakan UV, IR, MS, 1D dan 2D-NMR. Cara yang sama
dilakukan untuk isolasi senyawa non alkaloid. Secara umum ekstraksi
dan isolasi diperlihatkan dalam skema 8 dan 9.

51
Uji fitokimia Sampel C. sintoc (3 kg)

Maserasi dengan n-
heksana
selama 3 x 24 jam

Dipekatkan

Ekstrak
n-heksana
Residu

- Dibasakan dengan 10%


Uji hayati
NH3
- Diekstraksi dengan CH2Cl2

Dipekatkan

Extract CH2Cl2 Residu


(alkaloid)

Skema 8. Tahapan ekstraksi senyawa alkaloid dan non alkaloid dari


kulit batang C. sintoc

52
Extract CH2Cl2
(alkaloid)

- Ditambah 500 ml CH2Cl2


- Ditambah 5% HCl 100 ml (sampai uji mayer –ve)
- Dipartisi

Lapisan air Uji hayati Lapisan organik


(non alkaloid)
- Dtambah NH3 sampail pH 11
- Ditambah CH2Cl2 (sampai test mayer –ve)
- Dipartisi
- Dipekatkan
- Kromatografi
kolom
Lapisan air Lapisan organik

Isolat murni

Uji hayati Ekstrak alkaloid Elusidasi struktur

Kromatografi
Struktur
kolom

Isolat murni

Elusidasi struktur

Struktur
Skema 9. Tahapan isolasi dan purifikasi senyawa alkaloid dan non
alkaloid
53
BAB IV
TEKNIK BIOASSAY

Senyawa kimia hasil isolasi,seringkali diguanakn untuk uji


hayati (bioassay). Berbagai metode bioassay telah dilakukan untuk
menentukan aktivitas senyawa. Aktivitas senyawa sangat bervariasi
dan diantaranya adalah aktivitas anti kanker, antidiabetes,
anatimalarial, antifungal, pestisida dan masih banyak fungsi-fungsi
lain yang belum ditelaah.\Suatu senyawa tertentu seringkali memiliki
beberapa aktivitas, sehingga sangat sulit diperkirakan kelompok
senyawa tertentu memiliki aktivitas tertentu juga. Berikut ini adalah
beberapa jenis bioassay yang telah kerap digunakan untuk
menentukan aktivitas senyawa.

1. Uji Aktivitas Antifungal


Pengujian antifungal dilakukan dengan metode difusi agar
menggunakan cakram. Media yang digunakan adalah Sabouroud
Dextrose Agar (SDA) sebanyak 20 g, disterilisasi dalam autoklaf pada
suhu 121 0C selama 15 menit. Setiap cawan petri diisi dengan media
0
sebanyak 20 mL, kemudian ketika suhu mencapai 45 C (media
belum mengeras) diinokulasi suspensi jamur Candida albicans
sebanyak 1 mata kawat ose. Cakaram diisi dengan larutan uji yang
telah disiapkan dengan konsentrasi 10, 50, 100, 500 dan 1000 ppm
dan diinokulasi pada suhu 370C selama 24 jam. Setiap set percobaan
diletakkan cakram berisi larutan uji sebagai kontrol positif (nistatin 50

54
μg obat antibiotik) dan kontrol negatif pada daerah yang berbeda
dalam media tmbuh jamur. Diamati pertumbuhan jamur untuk setiap
area. Bila zona hambatan belum tampak, dibiarkan selama 24 jam
lagi. Daerah zona hambatan diukur dengan penggaris dalam satuan
milimeter.

2. Uji Aktivitas Antimakan


Uji aktivitas antimakan dilakukan dengan metode daun cakram
pilihan yang dikembangkan oleh Schwinger dkk. tahun 1983. Larutan
uji dibuat dengan berbagai variasi konsentrasi dengan pelarut
metanol, selanjutnya dioleskan pada parohan kiri tulang daun dan
kontrol pada parohan kanannya. Jika sampel tidak larut dalam
methanol, maka ditambahkan teepol untuk meningkatkan kelarutan.
Dibiarkan beberapa saat agar pelarut mengering. Ke dalam cawan
petri berlubang bulat dimasukkan berturut-turut kertas saring basah,
kain kasa, daun uji dan dua ekor serangga uji (E. sparsa) instar 2 atau
3. Pengamatan dicatat setiap 12 jam selama 24 jam. Dihitung persen
daun yang dikonsumsi untuk mengetahui aktivitasnya dengan rumus:

Persen luas dikonsumsi (kontrol - perlakuan):


persen luas dikonsumsi (kontrol + perlakuan) x 100%

3. Uji Aktivitas Antimalarial


a. Kultur Plasmodium falciparum
Kultur Plasmodium falciparum dilakukan sesuai dengan
prosedur yang dibuat oleh Trager dan Jensen (1976). Parasit

55
dikultivasi dalam labu 75 cm2 yang telah mengandung medium RPMI
1640 (20 mL) sebagai suplemen HEPES (25 mM; Gibco-BRL,
Paisley, Scotland), NaHCO3 (25 mM), 10% dari A+serum dan
erythrocytes (haematocrit 2.5%). Kultur kemudian diinkubasi pada 37
o
C, 10% O2, 6% CO2, 84% N2, dengan kelembaban 90%.

b. Pengukuran Parasitaemia
Uji hayati dilakukan secara triplikat in plate 96-well kultur
jaringan(Nunc Brand products, Fisher, Paris, France). Kandungan
plate tersebut adalah 200 μL kultur parasit pada 2% parasitamia, 2%
haematocrit dan 5 μL sampel yang telah dilarutkan dalam DMSO atau
H2O. Kontrol negative adalah bersisi hanya pelarut DMSO atau H2O
dan control positif adalah Chloroquine yang ditambahkan untuk setiap
set percobaan.
Setelah 48 jam inkubasi tanpa pengubahan medium plate
kemudian disentrifugasi dan cairan bagian atas diganti dengan 200 μL
larutan hydroethidine (0.05 mg/ml in PBS). Setelah 20 menit inkubasi
dalam ruang gelap pada 37 oC dan tiga kali pencucian dan PBS
akhirnya didilusi dalam 1 mL PBS. Pembacaan parasitemia
menggunakan cytometer FACSort.

c. Pengukuran Konsentrasi Daya Hambat


Nilai IC50 dilakukan dengan mengukur nilai rata-rata dari 3
perlakuan percobaan. Konsentrasi sampel tumbuhan yang
menunjukkan penurunan infeksi erythrocytes 50%-nya dinyatakan
sebagai IC50 Plasmodium.
56
4. Uji Antimikrobial
Uji antimikrobial dilakukan dengan metode Kirby-Bauer
menggunakan cakram. Media yang digunakan adalah Muller Hinton
Agar (32 g). Disterilisasi di dalam autoklaf pada suhu 1210C selama
15 menit. Setiap cawan petri diisi dengan media padat dan disebarkan
suspensi bakteri yang sesuai dengan standar Mc Farland 0,5 secara
merata dengan menggunakan kapas lidi steril. Cakram diisi dengan
ekstrak n-heksana, etilasetat dan metanol pada konsentrasi 100%
sebanyak 10 mikroliter, dengan. Kemudian dipilih fraksi mana yang
paling baik aktivitasnya. Inkubasi dilakukan pada suhu 370C selama
24 jam. Untuk setiap set perlakuan dimasukkan dua cakram kontrol
positif dan kontrol negatif. Bila zona hambatan belum tampak
dibiarkan lagi selama 24 jam lagi. Zona hambatan yang terbentuk
diukur dengan menggunakan penggaris dalam milliliter.

5. Uji Aktivitas Serangga (Repellensi)


Serangga yang digunakan digunakan adalah ngengat kain
(Tysanura:Lepismatidae) dan S. zeamais. Untuk S. zeamais yang
digunakan adalah imagonya, sedangkan untuk ngengat kain adalah
yang diperoleh dari kain yang terserang serangga tersebut yang
berukuran 1 cm. Contoh yang digunakan adalah ekstrak, serbuk,
limbah dan minyak nilam. Disamping itu juga digunakan kamfer
untuk pembanding. Serbuk dan limbah nilam yang digunakan dalam
bentuk bubuk masing-masing 10 gram yang dibungkus dalam kain
kasa. Ekstrak dan minyak nilam dicampur dengan komposisi ekstrak
atau minyak (0,3 g), dekstrin (6,7 g) serbuk gergaji (3,0 g ) dan air
57
secukupnya. Campuran tersebut dibuat adonan, dibagi 20 dan dibuat
seperti pelet. Komposisi tersebut digunakan setelah melalui uji
pendahuluan. Kamfer yang digunakan adalah 5 gram persatuan
percobaan.
Alat yang digunakan adalah dua stoples plastik yang
dihubungkan dengan pipa plastik dan ditutup dengan kain kasa. Kedua
stoples diisi makanan serangga yang sesuai dengan jenis serangganya.
Salah satu stoples tersebut diberi perlakuan dengan ekstrak dan stoples
yang lain tidak diberi perlakuan (kontrol). Sebanyak 10 ekor serangga
Lepismatidae dilepaskan kedalam stoples yang diberi perlakuan. Cara
ini digunakan juga untuk serbuk, limbah, kamfer dan minyak serta
juga untuk serangga S. zeamais. Pengamatan dilakukan dengan
menghitung jumlah serangga yang tetap berada pada perlakuan dan
yang berpindah kekontrol. Pengamatan dilakukan beberapa jam
sampai dengan empat hari setelah perlakuan dan diulang pada 7, 14,
21, 28 dan 35 hari setelah perlakuan. Persentase penolakan dihitung
dengan rumus:

Jumlah serangga yang menolak


% penolakan = x 100
Jumlah serangga total

Sumber: Mardiningsih, T. L. Dkk

58
6. Uji Aktivitas Biji Buah Annona Glabra Azadirachta indica
Terhadap Phaedonia inclusa
Serangga dewasa P. inslusa dipelihara dilabolaturium sampai
bertelur. Telur diletakkan dan dipindahkan kedalam wadah plastik.
Setelah telur menetas, larva diberi makan daun kedelai muda. Larva
instar terakhir generasi pertama digunakan untuk percobaan. Ekstraksi
biji buah nona sabrang dan nimba dilakukan dengan menggunakan
metanol. Residu Biji disaring dan dipekatkan dengan pengisat gasing
hampa. Pengujiannya adalah ekstrak biji buah nona sabrang dan
nimba masing-masing dicampur dengan Tween-20 (polioksietilen
sorbitan monolaurat), dilarutkan dalam etanol dan kemudian
diencerkan dengan air suling menjadi enam tingkat konsentrasi dari
0,2% sampai dengan 1%.
Daun kedelai (satu daun trifoliat) dicelupkan dalam ekstrak uji
selama 3-5 detik dan Dibiarkan mengering. Daun kontrol dicelupkan
dalam air (mengandung Tween-20 0,2% dan etanol (5%). Satu daun
trifoliat kedelai uji dan daun kontrol diletakkan dalam wadah plastik
berventilasi (diameter 11 cm dan tinggi 5 cm) yang dialasi kertas
hisap lembab, kemudian kedalam wadah tersebut dimasukkan 10 ekor
larva P. Inclusa instar terakhir (usia 1 hari). Untuk setiap tingkat
konsentrasi dan kontrol diulang tiga kali. Setelah 24 jam larva
dipindahkan kewadah plastik yang bersih dan diberi makan daun
tanpa perlakuan. Larva uji diamati setiap hari hingga berkepompong.
Gejala keracunan dan jumlah serangga yang mati dicatat.
Sumber: Djoko Projono dan Dadan Hindayana, 1993

59
7. Uji Toksisitas Ekstrak Biji Buah Annona glabra Terhadap
Crocidolomia binotatis
Larva C. Binotalis dikumpulkan dari kemudian dipelihara di
labolaturium. Larva diberi makan daun brokoli (Brassica oleraceae
var. italica) dan serangga dewasa diberi makan larutan madu 10%.
Instar ketiga dari generasi ke-15 dan ke-16 digunakan untuk
percobaan. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut metanol
dan air. Ekstraksi dengan metanol, biji buah nona sabrang dikeringkan
, digiling halus dan dimaserasi selama 48 jam, kemudian disaring dan
dipekatkan dengan pengisat gasing hampa. Ekstraksi dengan
menggunakan air, biji buah nona sabrang dikupas kemudian
dikeringudarakan selama 3 hari atau kadar air tersisa 5,53% biji (0,25-
2g) dihaluskan dengan mortar kemudian diekstraksi dengan
menggunakan 100 ml (mengandung etanol 1% dan pengemulsi alkil
gliserol ftalat 0,154%). Ekstrak disaring melalui tiga lapis kain kasa
halus dan filtratyang diperoleh langsung digunakan untuk pengujian.
Ekstrak metanol biji buah nona sabrang diemulsikan dalam air
yang mengandung metanol 1% dan alkil gliserol ftalat 0,154%. Efek
insektisida ekstrak tersebut diuji pada enam tingkat konsentrasi
dengan kisaran 0,019-0,149% yang diharapkan dapat memberikan
tingkat kematian >0% dan <100%. Lembaran daun caisim (Brassica
Campestris var. chinensis) ukuran 4X4 cm dicelupkan dalam emulsi
ekstrak selama 3-5 detik, kemudian dibiarkan mengering. Daun
60
kontrol dicelupkan dalam air yang mengandung metanol dan
pengemulsi dengan konsentrasi seperti pada emulsi ekstrak uji.
Empat lembar daun caisim uji dan daun kontrol diletakkan
dalam wadah plastik berventilasi yang dialasi dengan kertas hisap
lembab, kemudian kedalam wadah tersebut dimasukkan 10 ekor larva
C. Binotalis instar ke-3 (12-16 jam setelah ganti kulit). Untuk setiap
tingkat konsentrasi dan kontrol digunakan empat ulangan. Setelah 24
jam larva dipindahkan kedalam wadah plastik yang bersih dan diberi
makan daun tanpa perlakuan. Larva uji diamati setiap hari hingga saat
berkepompong. Gejala keracunan dan jumlah serangga yang mati
dicatat. Pengujian dengan menggunakan ekstrak air biji buah nona
sambrang dilakukan dengan cara yang sama dengan cara diatas.
Sumber: Djoko Rijono dkk., 1993.

8. Racun Kontak atau Racun Perut


a. Racun Kontak Dengan Metode Suspensi Air (Water
suspension Method) Terhadap Larva Nyamuk (C. Pippens)
Untuk mengetahui aktivitas daya racun kontak dilakukan
dengan mengunakan larva nyamuk. Metode uji yang digunakan
melalui suspensi contoh dalam air. Ke dalam suspensi air contoh
dimasukkan larva nyamuk.
Pada tahap pertama, bahan uji yang telah dikeringkan
ditimbang seberat 5 mg dan dilarutkan ke dalam 0,5 ml air.
Larutan dipipet berturut-turut sebanyak 100; 80; 60; 40; 20;10
dan 0 ul. Larutan tersebut kemudian dimasukkan kedalam botol
61
uji. Replikasi dilakukan sebanyak tiga (3) kali. Kelompok
konsentrasi disertai blanko yang hanya berisi pelarut asal (air) ke
dalam setiap botol uji tepat menjadi 5 ml. Berarti kelompok
sekarang menjadi 100; 80; 60; 40; 20;10 dan 1 ppm. Pengamatan
dilakukan setelah 6; 12; dan 24 jam dengan mencatan jumlah
larva nyamuk yang masih hidup. Analisis data uji bioaktivitas ini
diolah dengan analisi Finney untuk menentukan harga LC50
pada batas kepercayaan 95%.

(Sumber: Tjokronegoro, R. K., 1987).

b. Uji Aktivitas Racun Perut dengan Metode Makan (Feeding


Method) Terhadap Kutu Beras (Calandra orizae)
Bahan uji dibuat dengan melarutkan 2 mg contoh kedalam
2 ml pelarutnya dan dibuat konsentrasi masing-masing menjadi
100; 80; 60; 40; 20;10 dan 1 ppm dengan volume 3 ml. Larutan
uji kemudian dicampurkan ke dalam 3 gram tepung beras
sebagai makanan kutu beras sebelum perlakuan kutu beras harus
dipuaskan terlebih dahulu selama 2 jam dan bahkan makanan
kutu beras harus bebas dari pelarut uji (dengan cara menguapkan
pelarut ditempat terbuka). Selanjutnya tepung beras yang telah
diperlakukan diletakkan ke dalam cawan petri dan dimasukkan
10 ekor kutu beras. Sebagai kontrol digunakan tepung beras yang

62
hanya diberi pelarut. Mortalitas kutu beras dicatat setiap 12 jam
sekali dan berturut-turut sebanyak 5 kali.

(Sumber: Tjokronegoro, R. K., 1987).

9. Uji Hayati Antimakan (Antifeedant)


a. Metode Cakram Daun Pilihan (Choice Leaf Disk Method)
Metode yang digunakan adalah Hozosawa Method yang
mengunakan makanan berupa daun sesuai dengan makanan kesukaan
serangga indikator seperti daun Morus alba Linn. (murbei) untuk
Bombix mori dan Brassica oleraceae Linn. (kubis) untuk
Crocidolomia binotalis. Daun yang menjadi pilihan diusahakan yang
mempunyai ketebalan sama, kemudian dipotong bulat-bulat
membentuk cakram bergaris tengah sekitar 2,5 cm. Senyawa yang
akan diuji dilarutkan kedalam pelarut aseton dan kemudian sebanyak
20 ul dioleskan pada satu sisi permukaan cakram daun. Sebagai
kontrol digunakan daun yang mempunyai ukuran sama, tetapi hanya
diolesi dengan 20 ul aseton. Bilamana senyawa aktif cukup banyak
maka lebih baik daun dicelupkan atau direndam selama dua detik
dalam larutan pada konsentrasi yang diinginkan. Daun yang sudah
mendapat perlakuan kemudian dibiarkan pada udara terbuka selama
setengah jam untuk menguapkan pelarutnya. Dalam cawan petri
diameter 9 cm yang dialasi dengan kertas saring yang basah
diletakkan lima lembar cakram daun yang diberi senyawa uji dan lima
lembar kontrol secara berseling. Kedalam cawan petri dimasukkan

63
sepuluh ekor ulat uji. Kepada serangga uji dikemungkinkan
mengadakan pilihan cakram daun mana yang akan dimakan. Evakuasi
dilakukan setelah dua jam. Karena uji hayati ini dilakukan hanya
untuk memperoleh gambaran dari kemungkinan bentuk aktivisasi
senyawa uji, maka evaluasi dibatasi hanya secara visual dimana
besarnya sisa cakram daun yang diberi perlakuan dibanding terhadap
kontrol. Untuk pengamatan yang sesungguhnya maka cakram-cakram
itu ditimbang untuk dibandingkan dengan kontrol. Penyusutan berat
daun karena penguapan juga diperhatikan dengan menimbang cakram
daunnya saja (tidak diberikan kepada ulat).
(Sumber: Tjokronegoro, R. K., 1987).

b. Metode Cakram Daun Tanpa Pilihan ( No Choice Leaf Disk


Method)
Pada metode ini serangga yang diuji tidak diberikan pilihan
antara daun yang diberi senyawa uji kontrol. Kedua jenis cakram daun
ini (dengan senyawa uji dan kontrol) masing-masing dalam cawan
petri yang terpisah. Kedalam cawan ini masing-masing dilepaskan dua
ekor ulat. Untuk setiap perlakuan digunakan lima cawan dengan
cakram daun yang diberi senyawa uji dan kontrol. Setelah dua jam
penelitian dihentikan. Kepada ulat yang digunakan untuk uji diberikan
makanan biasa untuk mengetahui apakah ulat tersebut benar-benar
masih dalam keadaan sehat. Keaktifaln dapat diukur dengan cara
visual (secara kasar) atau dengan penimbangan sisa daun uji (secara
teliti).
(Sumber: Tjokronegoro, R. K., 1987).
64
c. Uji Aktivitas Antimakan Kumbang Kapas
Prosedur uji hayati plug-agar dikembangkan oleh Hedin dkk.
Yang telah sedikit dimodifikasi. Plug-agar dibuat dengan mendidih 3
gram agar bersama-sama dengan 3 gram kapas kering dalam 100 ml
air suling untuk membuat sol kental. Sol dituang ke dalam gelas
dengan diameter 13 mm dan gelatin akan terbentuk setelah
pendinginan. Gelatin yang berbentuk batang dipotong masing-masing
3,5 cm.
Ditimbang kertas saring Whatman ukuran 4 cm dan kemudian
dimasukkan kedalam larutan ekstrak. Setelah kering kertas saring
ditimbang untuk mengetahui konsentrasi ekstrak yang akan diuji.
Kertas kontrol juga dipotong dengan ukuran 4 cm dan dimasukkan ke
dalam pelarut yang digunakan untuk melarutkan ekstrak dan dibiarkan
mengering. Kertas saring diselipkan disekitar plug-agar. Akhirnya
plug ditutup dengan sumbat gabus. Plug kemudian diletakkan disisi
stapel dalam cawan petri untuk mengharuskan kumbang kapas
memakan hanya dengan cara melubangi kertas. Dua puluh ekor
kumbang kapas yang baru diambil dimasukkan ke dalam cawan petri
14 x 2 yang mengandung plug kontrol dan uji. Uji hayati dibiarkan
dalam tempat gelap pada suhu 26°C selama 4 jam.
Aktivitas antimakan dapat dihitung sebagai nilai %T/C, yaitu:
Jumlah lubang pada kertas uji
% T/C = X 100%
Jumlah lubang pada kertas kontrol

65
Nilai %T/C nol, menunjukkan total hambatan makan dan nilai yang
lebih besar dari 100 menunjukkan aktivitas penarik makan.
(Sumber: Miles, D. H., 1994).

d. Uji Hayati Antimakan Larva Ulat Tembakau


Pada metode ini blok rancangan acak sempurna dari delapan
ulangan dengan lima larva digunakan untuk masing-masing data.
Senyawa sampel yang akan diuji disiapkan pada rentangan konsentrasi
5-6 dari 0,5% total makanan. Betar larva dinyatakan sebagai persen
kontrol (%T/C). Persen senyawa yang menurunkan pertambahan berat
dengan 50% detetapkan sebagai. Untuk pendekatan nilai, berat larva
ditunjukkan sebagai %T/C yang diplot sebagai persen senyawa pada
makanan dengan mengunakan porsi linier dari kurva.
Prosedur perlakuannya adalah potongan daun masing-masing
diletakkan pada blok kertas lembab dengan bagian atasnya menghadap
keatas. Emulasi uji dipipet dan disemprotkan ke potongan daun.
Setelah larutan mengering, ulat daun tembakau dimasukkan ke dalam
potongan daun (1 ulat setiap cawan). Cawan ditutup dengan
penutupnya dan kemudian diinkubasi dalam ruang gelap. Persentase
yang dimakan dihitung masing-masing setelah 2 hari, 6 hari dan 10
hari perlakuan dengan catatan ulat masih hidup.

e. Uji Hayati Antimakan Terhadap Rayap


Sarang serangga rayap Reticulitermes speratus dikumpulkan dan
dipelihara di laboraturium yang selanjutnya digunakan untuk uji
hayati. Beberapa potong kertas saring dicelupkan selama lebih kurang
66
satu detik ke dalam larutan yang mengandung Briliant blue FCF
(suatu bahan warna tak beracun) dan dikeringkan sebelum digunakan
untuk uji. Contoh uji dilarutkan dalam metanol dan konsentrasinya
dicatat, kemudian dioleskan pada kertas saring ukuran 8 mm. Sebagai
kontrol, kertas saring berwarna disiapkan untuk makanan rayap.
Serangga tersebut dilepaskan dalam cawan petri yang bagian
bawahnya dilapisi dengan pasir laut yang lembab. Sepuluh rayap
digunakan untuk uji hayati dari masing-masing contoh (kecuali untuk
uji pendahuluan yang mana dua rayap digunakan) dan masing-masing
konsentrasi diulang tiga kali. Laju pertumbuhan, persen yang hidup
dan intensitas warna dari pencernaan serangga dibandingkan dengan
kontrol.
(Sumber: Colegate, S. M., and R, J Molyneux, 1993)

f. Uji Aktivitas Antimakan (Antifeedant) Terhadap Ulat Daun


Epilachna varivestis
Uji aktivitas antimakan dapat dilakukan melalui dua metode
yaitu metode daun cakram pilihan dan metode saun cakram tanpa
pilihan. Schwinger dkk, (1983) telah menjelaskan metode uji aktivitas
antimakan beberapa senyawa dari tumbuhan Azadirachta indica dan
Melia azadirach dengan metode cakram daun pilihan terhadap larva
E. Varivestis instar 4. Uji mengunakan daun kacang buncis (Phaseolus
vulgaris saxa) sebagai media uji.
Uji hayati terhadap Epilachna varivestis dilakukan dengan cara
menyapukan larutan uji pada parohan kiri daun kacang buncis dan
parohan kanan dengan pelarut larutan uji sebagai kontrol. Daun
67
kacang buncis yang telah diberi perlakuan dibebaskan dari pelarut
dengan cara menggunakan kipas angin atauu dibiarkan beberapa saat.
Selanjutnya daun yang telah diberi perlakuan dan bioindikator
dimasukkan kedalam cawan petri. Setelah perlakuan satu kali 24 jam
diukur luas daun kacang buncis yang dimakan dan dibandingkan
dengan kontrol. Perhitungan aktivitas dari senyawa uji dihitung
dengan cara:

x 100

Persentase yang dikonsumsi dihitung dengan cara pembagian luas


menjadi 32 sektor atau 100 sektor.
(Sumber: Schwinger dkk., 1983).

g. Uji Aktivitas Antimakan Terhadap Larva Spesies Spodoptera,


Heliothis dan Locusta migratoria
Serangga yang digunakan adalah larva instar terakhir dari
Spodoptera, yaitu S. Littoralis, S. Exempta, Heliothis virescene dan H.
Armigera. Dari jenis Locust yaitu L. Migratoria. Makanan larva
tersebut adalah dibatasi pada spesies Graminae. Sebelum pengujian
serangga telah diberi makan yang cukup sampai pada instar dimana
larva sangat kuat daya makannya.
Senyawa dilarutkan dalam etanol 96% untuk membuat tingkat
konsentrasi dari 2x10-3 M sampai dengan 10-1 M. Larutan ini
digunakan untuk persiapan uji bahan daun (T). Cakra daun cabai
dengan diameter 2,1 cm atau helai daun gandum yang panjangnya 3,8
cm dicelupkan ke dalam larutan uji selama 1 menit, angkat dan
68
keringkan di aliran udara dingin. Bahan daun kontrol (C) dicelupkan
ke dalam etanol 96% dan dikeringkan. Cakra filter gelas fiber dengan
diameter 2,1 cm juga dapat digunakan sebagai bahan uji selama dapat
dimakan oleh larva dan menghindari terbentuknya variabelitas yang
tidak dapat dihindari dengan daun uji. Cakra tersebut dapat dibuat
enak dengan penambahan 200 ul larutan sukrosa (0,05 M). Ketika
kering digunakan sebagai cakra kontrol (C). Cakra uji (T) dibuat
dengan penambahan 200 ul larutan etanol dari senyawa uji untuk
cakra kontrol dan dikeringkan.
Bahan daun atau cakra ditimbang dan ditunjukkan sebagai
pasangan (C vs T) untuk masing-masing ulat dalam cawan petri
selama 8 jam jadi tidak pernah lebih dari 50% dari beberapa cakra
yang dimakan. Pengujian terhadap Locust juga dilakukan dengan cara
yang sama, masing-masing diletakkan dalam kantong plastik yang
bersih dengan ukuran 27x15x10 cm dengan pilihan dua cakra. Satu
untuk uji dan satu lagi untuk kontrol. Pengujian Locust dilakukan di
tempat gelap pada suhu 28°C dan berakhir setelah 3 jam. Ulat dan
Locusta biasanya memakan 20 sampai dengan 45% cakra kontrol.
Setelah serangga dipindahkan bahan yang tidak dimakan ditimbang
dan uji signifikasi perbedaan berat daun sebelum dan setelah
perlakuan. Selama perioda uji jumlah cakra daun sebelah kiri pada
pasangan dalam tempat uji tanpa serangga untuk membiarkan
pengaruh berat yang menguap menjadi tak berhubungan dengan hasil.
(Sumber: Simmonds dkk., 1985).

69
10. Uji Hayati Kontrol Populasi Lipas
Juvenoid adalah senyawa potensial untuk mengontrol populasi
lipas, hal ini disebabkan kemampuan untuk menghentikan reproduksi.
Lima puluh instar keempat lipas dicampur dengan Blatella germani
sex (Lipas Jerman) dimasukkan ke dalam kerangkeng tikus ukuran 28
x 17 x 12 cm. Pinggir dinding kerangkeng diolesi dengan suspensi
telflon cair Fluon AD-1 untuk mencegah lipas melarikan diri. Dalam
kerangkeng harus disediakan air dan udara yang cukup. Suhu dijaga
sekitar 27°C selama 16 jam dan kelembaban kamar (RH) sekitar 50%
dalam ruangan penyejuk (udara tidak berganti). Masing-masing uji
dibuat dalam replikasi. Makanan disiapkan dengan melumatkan
burger dalam blender. Tepung makanan kemudian dicampurkan
dengan senyawa aktif (senyawa uji) yang dilarutkan dalam aseton.
Setelah pencampuran itu makanan dibiarkan dalam wadah selama 24
jam agar pelarut menguap. Sekitar 10 gram makanan diberikan untuk
serangga uji dan sisanya disimpan dalam wadah tertutup pada suhu
5°C untuk pemberian makanan berikutnya. Semua populasi secara
berkala dihitung ada atau tidaknya ketidaknormalan morfogenetik.
(Sumber: Miles, D. H., 1994).

11. Uji Kematian Larva udang (Brine Shrimp Lethality Test)


Suatu uji hayati umum yang mampu mendeteksi bioaktih pada
spektrum yang luas dari senyawa yang terdapat dalam ekstraks kasar
adalah dengan uji kematian larva udang (Brine Shrimp Lethality Test).
Teknik pengujian ini mudah dipahami, murah dan mengunakan
contoh uji yang sedikit. Tujuannya adalah alat penapisan terdepan
70
yang kemudian didukung dengan uji hayati yang lebih khusus bila
senyawa yang terkandung sudah berhasil diisolasi. Hasil pengujian Uji
Kematian Larva Udang (BSLT) ini dapat membuat prakiraan aktivitas
sitotoksisitas dan pestisida. Sebagai bioindikator digunakan udang
kecil Artemia salina. Telurnya mudah diperoleh dan dapat disimpan
beberapa tahun dalam lemari pendingin . telur tersebut jika
dimasukkan kedalam air laut/air garam, telur menetas dalam waktu 48
jam dan berkumpul menuju sumber cahaya.
Pengujian dilakukan dengan membuat larutan ekstrak dalam air
garam dengan konsentrasi 10, 100 dan 1000 ppm. Pada setiap 5 ml
larutan dalam botol dimasukkan 10 ekor larva udang. Setelah 24 jam
larva yang masih hidup diamati dengan stereoskop mikroskop.
Tentukan nilai LC50 dengan batas kepercayaan 95%.
Telah dilakukan berbagai modifikasi kecil sesuai kebutuhan,
misalnya untuk persoalan kelarutan ekstrak. Hal ini dapat diatasi
dengan menggunakan Tween-80 (2% dalam air) atau
polivinilpitolidon (tidak toksik sampai pada konsentrasi 400 ug/ml
dalam air). Pengujian ini juga dapat dilakukan dalam pelat tetes 400
ul. Air laut (50 ul) mengandung 10-40 larva dipipet kedalam masing-
masing lubang pelat dan kemudian ditambah 300 ul larutan yang diuji,
sehingga konsentrasi akhir contoh diperoleh 1,25; 5,0 dan 8,5 mg/ml.
Pelat diinkubasi dibawah sinar lampu pada suhu 25 sampai 30°C dan
setelah 24 jam larva yang mati dihitung dibawah mikroskop. Larva
yang masih hidup dibunuh dengan menambahkan 50 ul dapar posfat
(pH 1). Kemudian jumlah keseluruhan yang mati dihitung.
Sumber: 1. Colegate, S. M., and R. J. Molyneux, 1993
71
2. Betz, J. M., and W. J. Blogoslawsky, 1982
3. Tarigan, P., 1996).

12. Metode Penapisan Untuk Aktivitas Nematisida


Biarkan Nematoda (bentuk propagatif) dipisahkan dari media
dibiarkan dengan corong Baermann dan dihitung dibawah mikroskop
(x20). Dibuat suspensi nematoda (ca 15.000) nematoda/ml) dalam air.
Botrytis cinerea dibiakkan dalam 3 ml medium agar Czapex-Dox
(1,3% agar) dalam cawan petri (diameter 4 cm) pada suhu 22°C
selama 4 hari. Pada pusat lapik fungal dalam petri diletakkan bola
kapas (diameter 5 mm) yang mengandung 20 mg larutan pekat uji.
Suspensi nematoda yang telah disiapkan (0,1 ml) disuntikkan dengan
mikropipet kedalam bola kapas dan cawan disimpan pada suhu 26°C
selama 116 jam. Pengaruh nematisidal (aktif atau tidak aktif) dihitung
dengan melihat miselia dimakan (+) atau tidak (-) oleh nematoda.
Untuk perkiraan kuantitatif jumlah nematoda yang masih hidup
dapat dihitung sebagai berikut: Nematoda yang masih hidup
dipisahkan dari media biakan melalui dua lapis kertas saring melalui
corong Baermann selama 24 jam. Untuk memudahkan perhitungan,
nematoda dikumpulkan dengan cara setrifugasi dengan putaran 650
selama 3 menit dan dimatikan dengan memasukkan tabung dalam air
mendidih selama 3 menit. Kemudian dibri warna dengan 2 tetes
larutan metilen biru 1%. Suspensi nematoda yang telah diwarnai
dituang kedalam pelat cawan dan diamati dibawah mikroskop (x20)
dan nematoda dihitung. Laju pembiakan dinyatakan dalam persen dari
jumlah nematoda yang diperhitungkan dengan kontrol.
72
(Sumber: Kawazu, K, Y. Nishi, K. Ishi and M. Tada).

13. Uji Hayati Untuk Aktivitas Herbisida


Metode untuk uji ini adalah dengan melarutkan 500 mg ekstrak
kasar dalam 5 ml air atau pelarut yang cocok. Semprotkan 1 ml
larutan ini diatas kertas saring dalam cawan petri (8,5 cm). Kertas
saring dibiarkan mengering dan kemudian ditambahkan air sampai 10
ml. Letakkan biji Vigna radiata (greenpea) diatas kertas saring dan
dibiarkan tumbuh selama satu minggu dalam ruang gelap pada suhu
25-28°C. Perkecambahan dan pertumbuhan diukur dan dibandingkan
dengan kontrol.
Prosedur penapisan lain untuk memantau fitotoksisitas adalah
beberapa mikroliter larutan uji diteteskan pada daun yang telah
dipetik. Daun tersebut diletakkan diatas kertas saring yang telah
dibasahi dan dimasukkan kedalam cawan petri. Cawan ditutup dengan
kertas parafilm diinkubasi pada suhu dan intensitas cahaya yang
diatur. Aktivitas contoh uji dapat dilihat dengan timbulanya noda
klorotik, nekrotik atau berwarna yang menyebar ke sekeliling dari
tempat penetasan larutan uji. Aktivitasnya dapat dibaca setelah 24 jam
dan kemudian bandingkan dengan kontrol.
(Sumber: Zakaria, M., 1991).

14. Penghambat Sintesis Kitin

73
Metode yang digunakan adalah metode Groscurt. Serangga uji
berupa pupa yang baru keluar atau ulat pada instar terakhir. Jika yang
diperlakukan adalah pupa, maka analisis kitin dilakukan terhadap
sayap depan serangga dewasa (imago), sedangkan jika yang
diperlakukan adalah larvanya, maka analisis kitin dilakukan terhadap
kulit pupa. Perlakuan dilakukan dengan menetaskan suatu volume
tertentu pada dada (thorax), tengkuk atau perut (abdomen) target yang
diuji. Kulit pupa atau sayap serangga dewasa dikeringkan pada 100°C
sampai berat konstan, lalu dicatat beratnya. Dihidrolisis dengan KOH
30% selama 15 menit dalam penangas air. Sisa padatanyang tidak
larut kemudian dicuci enam kali dengan air, dua kali dengan etanol
96% dan dua kali dengan eter. Kadar kitin adalah berat (mg) residu
perberat (mg) kulit pupa atau sayap serangga kering.
(Sumber: Tjokronegoro, R. K., 1987).

15. Uji Aktivitas Eugenol Terhadap Bakteri Pseudomonas


solanacearum
Bakteri yang digunakan meliputi tiga isolat P. Solanacearum (T.
585, T 615 dan T. 557). Bakteri ini yang menyebabkan penyakit layu
pada tanaman jahe, kentang, dan tumbuhan nilam.
Cara kerja uji aktivitas ini adalah eugenol dan minyak cengkeh
diemulsikan dalam trietanolamin, tween-80 dan gelatin 5%. Emulsi
dari bahan-bahan tersebut dicampurkan dengan media agar nutrien.
Konsentrasi dari eugenol dan minyak cengkeh dibuat menjadi 1000,
800, 600, 400, 200, 100, dan 0 ppm (kontrol negatif). Campuran dari
bahan-bahan pengemulsi diuji aktivitasnya terhadap bakteri P.
74
Solanacearum sebagai perlakuan kontrol positif. Serbuk cegkeh
dicampur dengan agar nutrien dan dibuat konsentrasinya menjadi 0-
10.000 ppm dengan rentangan tergantung dari serbuk cengkeh dan
isolat dari bakterinya.
Isolat bakteri yang sedang dalam masa pertumbuhan maksimum
(sekitar dua hari) disuspensikan dengan akuades steril. Suspensi
bakteri digoreskan pada media agar nutrien yang telah dicampur
dengan eugenol, minyak dan serbuk cengkeh. Perlakuan diinkubasi
pada suhu 28°C. Pengamatan terhadap pertumbuhan bakteri dilakukan
pada hari ke-1, 3 dan ke-5 setelah inkubasi. Pertumbuhan bakteri
dinilai mulai dai 0 sampai dengan 5. Nilai 0 menunjukkan tidak ada
pertumbuhan dan nilai 5 menunjukkan pertumbuhan bakteri yang
sangat baik.
(Sumber: Hartati, S. Dkk).

16. Uji Aktivitas Lada Hitam Terhadap Serangga Sitophilus


zeamais
S. zeamais adalah serangga hama gudang yang sangat merusak.
Serangga ini menyerang jagung, sorgum, beras dan serealia lainnya.
Lada hitam direndam dalam air, maka lada enteng mengapung dan
lada berat tengelam kedasar wadah. Kedua jenis tersebut dipisahkan
dan dikeringkan dalam oven pada suhu 50°C sampai cukup untuk
digiling dan diperoleh bubuk halus sekitar 0,75 mesh.
Bubuk lada enteng diperlakukan secara terpisah dengan
konsentrasi 0,25%; 0,5%; 1%; 2% dan 4% (gram bubuk lada pergram
beras) pada beras dan dikocok selama 15 menit. Sebanyak 20 kg beras
75
yang telah diberi perlakuan dimasukkan ke dalam botol plastik
(volume 80 ml). Botol-botol tersebut dibiakan selama satu malam.
Keesokan harinya sebanyak 10 ekor serangga S. Zeamais hasil
pemeliharaan di laboratorium dimasukkan kedalam botol-botol
tersebut. Untuk kontrol yang digunakan hanya beras yang tidak diberi
bubuk lada dan dimasukkan 10 ekor serangga. Pengamatan dilakukan
dengan menghitung mortalitas serangga pada 7, 14 dan 21 hari setelah
serangga dimasukkan. Pada hari ke-21 semua serangga diambil dan
dimusnahkan. Perlakuan ini diulang untuk bubuk lada berat.
(Sumber: Mardiningsih, T. L dan Sodang, S. L. T).

17. Uji Aktivitas Antimakan, penetasan Telur dan Fekunditas


Ulat Spodoptera litura
Ulat S. Litura dipelihara dilaboratorium dengan menggunakan
pakan daun jarak (Riccinus communis). Stadia yang digunakan adalah
telur, larva instar tiga dan ngengat. Contoh yang digunakan adalah
ekstrak kulit buah dan biji duku. Kedua bahan tersebut dicuci dan
dikeringkan sampai kandungan airnya minimum (berat bahan akan
berkurang 60-75%.
Pengujian aktivitas makan digunakan larva instar tiga. Kedua
macam ekstrak dilarutkan dalam aseton dan dibuat dalam satu seri
konsentrasi mulai dari 80, 40, 20, 10 dan 0 persen. Pakan disajikan
dalam bentuk sandwich daun. Pengujian dilakukan dengan dua cara
yaitu uji dengan pilihan dan uji tanpa pilihan. Pengujian degan pilihan
yaitu sandwich daun ekstrak diletakkan dalam cawan petri sama. Ulat
larva instar ketiga sebanyak tiga ekor yang telah dipuasakan selama 4
76
jam dilepaskan ke dalamnya. Pengamatan dilakukan selama 6 jam.
Luas daun yang dimakan dihitung baik daun ekstrak maupun kontrol.
Penurunan aktivitas antimakan dengan rumus:
P = (1 – T/C) x 100
Keterangan: P adalah penurunan aktivitas antimakan
T adalah luas daun ekstrak yang dimakan dan
C adalah luas daun kontrol yang dimakan
Uji tanpa pilihan dan perhitungan adalah sama dengan uji
dengan pilihan. Bedanya hanya pada sandwich daun ekstrak dan
kontrol diletakkan secara terpisah pada cawan petri berbeda.
Pengujian penetasan telur dengan menggunakan telur sebagai
stadium serangga. Ekstrak dibuat dalam suatu seri konsentrasi mulai
dari 100; 50; 25; 12,5; 6,25 dan 0 persen sebagai kontrol. Pengujian
dilakukan dengan mencelupkan satu kelompok telur ke dalam larutan
ekstrak. Pengamatan dilakukan sampai telur menetas. Dihitung jumlah
telur yang menetas maupun yang tidak menetas.
Pada uji fekunditas ngengat stadium serangga yang digunakan
adalah sepasang ngengat yang baru keluar dari kepompong. Ekstrak
dicampur dengan larutan madu 10% dengan perbandingan 1 : 1 (v/v).
Ekstrak yang telah dicampur madu dibuat dalam satu seri konsentrasi
mulai dari 100; 50; 25; 12,5 dan 0 persen sebagai kontrol. Pakan
diberikan dengan cara membasahkan pda kapas. Pengamatan
dilakukan sampai ngengat tersebut mati dan dihitung telur yang
dihasilkan.
(Sumber: Pujiastuti, Y. Dkk).

77
DAFTAR PUSTAKA

1. Cordell, G. A. (1981), Introduction to Alkaloids A Biogenetic


Approach, John Willey & Sons, Inc.,
2. Grainge, M. and Ahmed, S, (1987), Handbook of Plants with
Pest Control Properties, John Willey & Sons.
3. Harborne, J. B., 1984. Phytochemical Methods, Chapmann and
Hall Ltd.
4. Manitto, P. (1981), Biosynthesis of Natural Products, Ellis
Horwood Limited.
5. Betz, J. M. And W. J. Blogoslawsky, (1982). Toxicity of
Gonyaulax tamarensis Var.
Exavata Cell to Brine Shrimp Artemia salina L. Journal of
Pharmaceutical sciencis. 71 (4), 463-464.
6. Colegate, S. M. And R. J. Molyneux. (1993). Bioactive
Natural Product: Detection, Isolation and Structure
Determination. CRC Press. Boca Raton, Ann Arbor, london
and tokyo. Pp. 241-263 and 452-456.
7. Hartati, S. Y., E.M. Adhi, dan N. Karyani. (1993). Ujii efikasi
minyak cengkeh dan serai wangi terhadap Pseudomonas
Solanacearum. Proseding Seminar Hasil Penelitian dalam
rangka pemnafaatan pestisida Nabati.Bogor. Hal. 37-42.
8. Kawazu, K., Y. Nisshi and M. Tada. (1980). A Convenient
Screening Method for Nematicial Activity. Agric. Biol. Chem.
44 (3), 631-635.

77
9. Mardiningsih, T. L. Dan S. L. T. Sondang. Efikasi Buah Lada
Hitam terhadap Sitophyluis Zeamis. Proseding Seminar Hasil
Penelitian dalam Rangka Pemnafaatan pestisida Nabati. Bogor.
Hal. 101-105.
10. Mardinigsih, T. L., S. Rusli, E. A. Wikardi, dan S. L. T.
Sondang. (1993). Kemungkinan Produk nilam
Sebagai bahan penolak serangga. Proseding seminar hasil
penelitian dalam rangka pemnafaatan pestisida nabati. Bogor.
Hal. 101-105.
11. Miles, D. H. (1994). A Guide to Biologically Active Plants
Constituent. Departement of Chemistry,
University of Florida. USA. Pp. 10-12.
12. Prijono, D. Dan D. Hindayana. (1993). Efek Insektisida
Ekstrak Biji Buah Nona Sabrang (Annona
Glabra) dan Nimba (Azadirachta indica) Terhadap Phaedonia
inclusa. Proseding seminar hasil penelitian dalam rangka
pemnafaatan pestisida Nabati. Bogor. Hal. 163-170.
13. Pujiastuti. Y., E. Martono, dan S. Mangundiharjo, (1993).
Pengaruh Ekstrak Kulit Buah dan Biji Duku (Lansium
domesticum) terhadap aktivitas makan, penetasan Telur dan
Fekunditas ulat Grayak (Spodoptera Littura). Proseding
Seminar Hasil Penelitian dalam rangka pemnafaatan pestisida
nabati. Bogor. Hal. 106-112.
14. Schwinger, M., B. Ehhamer and W. Krauss. (1983).
Methodology of the evilachna varivestis Bioassay of

78
Antifeedants Demonstrated with some coumpounds from
Azadirachta indica and Melia azadirach, Proc. 2nd Int. Neem
Conf. Stuttgart, 181.
15. Simonds, M. S. J., W. M. Blaney, F. D. Monache, M. M.
Mcquhae, and G. B. M. Bettolo (1985). Insect Antifeedant
Properties of Antranoids from genus Vismia. Journal of
Chemical Ecology. 11 (12), 1593.
16. Tjokronegoro, R. K. (1987). Penelusuran senyawa kandungan
tumbuhan indonesia bioaktif terhadap Serangga. Disertasi.
Universitas padjajaran,Bandung. Hal. 76-80.
17. Tarigan, P. (1996). Analisis senyawa Bioaktif Alami;
pengantar dan penuntun praktikum. Universitas Padjajaran,
Bandung Hal. 1-15.
18. Zakaria, M. (1991). Preliminery Bioassay for Herbicidal
Activity of plant Extract. The 8th National Seminar and
Unesco Regional Workshop on the Bioassay Natural Product
with special Emphasis on Anticancer Agents. Institute for
Advances Studies University of malaya. Pp. 20-21.
19. Nurdin Saidi*, Hira Helwati, Lailatul Qhadariah Lubis,
Muhammad Bahi, 2017, ANTIMICROBIAL ACTIVITY OF
METHANOL EXTRACT FROM STEM BARK OF
Cinnamomum sintoc, Jurnal Natural, Vol.17, 77-82, pISSN
1411-8513 eISSN 2541-4062.
20. Saidi N, Morita H, Litaudon M, Nafiah MA, Awang K,
Mustanir., 2016, New Phenyl Propanoids from Cryptocarya

79
bracteolata , Natural product communications, Vol. 1, 815-
816, 1555-9475.
21. R Nasution, T Barus, P Nasution, N Saidi, 2014, Isolation and
Structure Elucidation of Steroid from Leaves of Artocarpus
camansi (Kulu) as Antidiabetic , International Journal of
Pharm Tech Research , Vol.6,, 1279-1285, 0974-4304.
22. Bastian Arifin , Rosnani Nasution, Nurdin Saidi, Marianne,
and Sri Aprilia, 2014, Vitex Trifolia Plant Control of Mice
Environmentally Friendly, International Journal of ChemTech
Research, Vol. 6, 4595 - 4600, 0974 - 4290.
23. Mustanir*, Hendra Fahrizal, Nurhaida, dan Nurdin Saidi,
2013, ANTIFUNGAL EKSTRAK n-HEKSANA TUMBUHAN
OBAT DI ACEH TERHADAP Candida albicans, J. Ind. Soc.
Integ. Chem., Volume, 7-14, 2085-1715.
24. Nurdin Saidi, Hiroshi Morita, Marc Litaudon, Mat Ropi
Mukhtar, Khalijah Awang, A. Hamid A. Hadi, 2012, Isolasi
Senyawa Alkaloid dari Tumbuhan Cryptocarya bracteolata
GAMB. (Lauraceae), Jurnal Farmasi Indonesia, Vol 6, 1-6,
1412-1107.
25. Nurdin Saidi, Hiroshi Morita, Marc Litaudon, Mat Ropi
Mukhtar, Khalijah Awang, A. Hamid A. Hadi, 2011,
BENZYLISOQUINOLINE ALKALOIDS FROM BARK OF
Cryptocarya rugulosa, Indonesian Journal of Chemistry, Vol.
1, 59-66, 1411-9420.

80
26. Nurdin Saidi, 2011, Isolation and Structure Elucidation of
Sterols From Cryptocarya rugulosa, Jurnal Natural, Vol. 9,
27. Nurdin Saidi, 2011, Alkaloidal Constituents from Bark of
Cryptocarya rugulosa, Jurnal Natural, Vol 11, 48-51, 1141-
8513.
28. Murniana, Israhadi, Khairan dan Nurdin Saidi, 2011,
Antifungal from Ethylacetate Extract of Plumeria alba Against
Candida albicans, Jurnal Natural, Vol 11, 85-88, 1141-8513.
29. Nurdin Saidi, 2010, CINNAMIDE AND BENZAMIDE FROM
SPECIES OF CRYPTOCARYA CRASSIVERVIA , Jurnal
Natural, Vol. 1, 7-11, 1141-8513.
30. Pratiwi Pudjiastuti 1, Mat Ropi Mukhtar, A. Hamid A. Hadi ,
Nurdin Saidi , Hiroshi Morita, Marc Litaudon and Khalijah
Awang, 2010, (6,7-Dimethoxy-4-methylisoquinolinyl)-(4’-
methoxyphenyl)- methanone, a New Benzylisoquinoline
Alkaloid from Beilschmiedia brevipes, molecules, Volume,
2339-2346, ISSN 1420-3049.
31. Nurdin Saidi, 2009, Two Oxoaphorpine alkaloids from Bark of
Cryptocarya rugulosa, Jurnal Natural, Vol 11, 48-51, pISSN
1411-8513 .
32. Nurdin Saidi, A. Hamid A. Hadi, Khalijah Awang, Mat Ropi
Mukhtar, 2009, Aphorpine alkaloids from bark of Cryptocarya
ferrea, Indonesian journal of Chemistry, Vol.9,, 461-465,
1411-9420.

81
33. Khalijah Awang, A. Hamid A. Hadi, Nurdin Saidi, Mat Ropi
Mukhtar, Hiroshi Morita, Marc Litaudon, 2008, New
Phenantrene alkaloids from Cryptocarya crassinervia,
Fitoterapia, Vol 79, 308-310, 0367-326X.
34. Nurdin Saidi, Mat Ropi Mukhtar, Khalijah Awang, A. Hamid
A. Hadi and Seik Weng Ng*, 2007, 6,7,8-Trimethoxycoumarin
from Cryptocarya bracteolata, Acta Crystallographyca
Journal, E63, 3692-3693, 1600-5368.
35. Suyanto, Wahyudi Priyono Suwarso , Soleh Kosela , Hery
Suwito , Pratiwi Pudjiastuti , Sri Winiati , and Nurdin Saidi,
2006, ANTHRAQUINONE FROM THALLUS OF LICHEN
Ramalina javanica Nyl, Indo. J. Chem., 2006,, Vol. 6, 85 - 87,
1411-9420.
36. Kartini Hasballah, Murniana, and Nurdin Saidi, 2012,
Antibacterial activity of secondary metabolite compounds from
leaf of Eclipta alba L. Hassk, Proceedings of The 2nd Annual
International Conference Syiah Kuala University 2012, & The
8th IMT-GT Uninet Biosciences Conference, Banda Aceh, 22-
24 November 2012, Banda Aceh.
37. Nurdin Saidi, 2011, Aphorpines and benzylisoquinoline
alkaloids from bark of Cryptocarya crassinervia, Science and
Engineering, Annual International Conference, Banda Aceh,
29-30 Nov, 2011, Banda Aceh, Syiah Kuala Univ.Press 2011,
0, ISSN 2089-208X

82
83

Anda mungkin juga menyukai