Anda di halaman 1dari 133

BAB III

METODE ARTIFICIAL LIFT

Bermacam – macam jenis peralatan pengangkatan buatan, namun dalam bab


ini akan dijelaskan lima jenis artificial lift yang banyak digunakan di lapangan
minyak yaitu: gas lift, sucker rod pump, electric submersible pump, progressive
cavity pump, dan jet pump.
Desain artificial lift untuk sebuah sumur, direkomendasikan bahwa pada
awalnya sumur dianggap sebagai sumur natural flow, oleh karena itu harus
disiapkan sistem produksi untuk melihat sumur tersebut dapat mengalir dan pada
laju alir berapa. Tujuan dari artificial lift adalah untuk menetapkan tubing intake
pressure sehingga reservoir merespon dan memproduksi laju alir yang diharapkan.
Desain dan analisa dari berbagai artificial lift dapat dibagi menjadi dua
bagian, yang pertama adalah komponen reservoir (inflow performance relationship)
yang menggambarkan kemampuan sumur untuk memproduksikan fluida.
Komponen yang kedua menggambarkan seluruh pipa dan sistem artificial lift.
Tubing intake pressure lalu dapat ditentukan untuk laju alir yang berubah-ubah dan
ketika kurva intake ini terletak pada plot yang sama dengan kurva IPR, laju alir
untuk metode pengangkatan dapat ditentukan.
Gambar 3.1. menunjukkan contoh laju alir untuk masing-masing metode
artificial lift yang berbeda. Sedangkan Gambar 3.2. menunjukkan laju alir sumur
alami dengan kondisi sumur berproduksi, karena tubing intake pressure memotong
kurva IPR. Gambar 3.3. menunjukkan sumur mati karena tubing intake pressure
tidak memotong kurva IPR. Sumur ini harus dipasang artificial lift untuk mengubah
tubing intake curve sehingga memotong kurva IPR.
Untuk sumur yang masih mampu mengalir secara alami, tidak berarti
artificial lift tidak dipertimbangkan untuk dipasang. Banyak sumur mampu
memproduksi laju alir yang lebih tinggi ketika dipasang artificial lift, dan hal ini
hampir sering dilakukan untuk mempercepat produksi atau ketika terjadi situasi
yang kompetitif.

74
75

Gambar 3.1.
Contoh Tubing Intake Pressure Untuk Tiap Artificial Lift
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

Gambar 3.2.
Sumur Berproduksi
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

Gambar 3.3.
Sumur Mati
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
76

3.1. Sucker Rod Pump


Sucker rod pump atau sering juga disebut beam pumping adalah salah satu
metode artificial lift yang memanfaatkan gerakan naik- turun dari plunger untuk
mendorong fluida reservoir ke permukaan.

Gambar 3.4.
Beam Pumping System
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

Gambar 3.5.
Macam-macam Pompa Sucker Rod
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
77

Menurut standar American Petroleum Institue (API). Pumping Unit dapat


dibedakan ada tiga macam:
a. Standard atau Conventional Type.
Pada tipe ini samson post menopang walking beam pada bahagian tengah.
Pumping Unit tipe ini paling banyak dipakai pada industri perminyakan dan tersedia
dalam bermacam-macam ukuran (ada yang mencapai 100 Horse Power).
Conventional type ini ada 2 (dua) bagian:
1. Crank Counter Balance System; dimana counter weight dipasang pada crank.
2. Beam Counter Balance System; dimana balancing load ( counter weight )
dipasang pada walking beam.

b. Low Torque Unit ( Mark II unitorque pumping unit )


Pada tipe ini, samson post menopang walking beam pada bagian ujung
belakang. Pada ukuran kerangka yang sama, biasanya unit ini membutuhkan Horse
Power yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan conventional type. Ukuran yang
tersedia tidak bervariasi banyak dengan terbesar sampai mencapai 125 Horse
Power.

c. Air Balance Unit


Pada tipe ini tabung udara yang bertekanan digunakan sebagai pengganti
counter weight. Pumping Unit ini lebih kecil dan ringan dari tipe unit yang lain dan
diperlengkapi dengan air kompressor. Ukuran yang dibuat terbatas, tetapi ada yang
mencapai 150 Horse Power.

API telah membuat standarisasi kode Pumping Unit :


C - 160D - 173 - 64
(1) (2) (3) (4)

Artinya:
(1) : A = Air Balance
B = Beam Counter Balance
78

C = Conventional
M = Mark II.
(2) : 160 = Peak torque rating, dalam ribuan In-lb
D = Double reduction gear reducer
(3) : 173 = Polished rod rating, dalam ratusan lb
(4) : 64 = Panjang langkah (stroke) maximum, in
(panjang langkah yang lain 54 in dan 48 in )

Prinsip Kerja Pompa Sucker Rod


Pada saat upstroke, plunger bergerak ke atas menyebabkan tekanan di
bawah turun. Karena tekanan dasar sumur lebih besar dari tekanan dalam pompa,
akibatnya standing valve terbuka dan minyak masuk ke dalam barrel. Pada saat
downstroke beban fluida yang ada di dalam barrel dan tekanan yang diakibatkan
oleh naiknya plunger, maka standing valve menutup sedangkan travelling valve
pada plunger terbuka akibat tekanan minyak yang tidak di dalam barrel, selanjutnya
pada saat upstroke maksimum minyak akan dipindahkan ke dalam tubing.

Gambar 3.6.
Mekanisme Kerja Sucker Rod
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

3.1.1. Peralatan Sucker Rod Pump


Peralatan sucker rod pump dibagi menjadi dua kelompok utama yaitu
peralatan di atas permukaan dan di bawah permukaan. Peralatan-peralatan tersebut
saling berhubungan dalam kelancaran sucker rod pump.
79

3.1.1.1. Peralatan Di atas Permukaan Sucker Rod Pump


Peralatan di atas permukaan ini memindahkan energi dari suatu prime mover
ke sucker rod. Selain itu peralatan ini juga mengubah gerak berputar dari prime
mover menjadi suatu gerak bolak balik dan juga mengubah kecepatan prime mover
menjadi langkah pemompaan yang sesuai.
a. Prime mover
Merupakan penggerak utama, dimana prime mover akan memberikan
gerakan putar yang diubah menjadi gerak naik turun pada polish rod dan sucker rod
untuk diteruskan ke peralatan bawah permukaan. Prime mover dapat berupa mesin
gas, diesel, motor bakar dan listrik. Prime mover ini disesuaikan dengan tersedianya
sumber tenaga tersebut. Jadi pemilihan motor diusahakan mempunyai daya yang
cukup untuk mengangkat fluida dan rangkaian rod dengan kecepatan yang
diinginkan.
b. V-Belt
V-belt terletak diantara prime mover dan gear reducer. V-belt berfungsi
untuk meneruskan gerakan rotasi prime mover. Gerakan rotasi prime mover akan
menggerakkan v-belt, sehingga v-belt bisa meneruskan gerakan rotasi tersebut ke
gear reducer.
c. Gear Reducer
Berfungsi mengubah kecepatan putar dari prime mover menjadi langkah
pemompaan yang sesuai. Gear reducer juga merupakan transmisi yang berfungsi
untuk mengubah kecepatan putar dari prime mover, gerak putaran prime mover
diteruskan ke gear reducer dengan menggunakan belt. Yang mana belt ini dipasang
engine pada prime mover dan unit sheave pada gear reducer.
d. Crank Shaft
Merupakan poros crank yang berfungsi untuk mengikat crank pada gear
reducer. Gerak rotasi dari gear reducer diteruskan ke crank, sedangkan crank shaft
sebagai poros/tetap.
e. Crank
Merupakan sepasang tangkai yang menghubungkan crank shaft pada gear
reducer dengan counterbalance. Pada crank ini terdapat lubang-lubang tempat
80

pitman bearing. Besar kecilnya langkah atau stroke pemompaan yang diinginkan
dapat diatur disini, dengan cara mengubah-ubah pitman bearing. Apabila
kedudukan pitman bearing ke posisi lubang mendekati counterbalance, maka
langkah pemompaan menjadi bertambah besar atau sebaliknya.
f. Counterbalance
Adalah sepasang pemberat yang berfungsi untuk mengubah gerak berputar
dari prime mover menjadi gerak naik turun, menyimpan tenaga prime mover pada
saat down-stroke atau pada saat counterbalance menuju ke atas, yaitu pada saat
kebutuhan tenaga kecil atau minimum dan membantu tenaga prime mover pada saat
up-stroke (saat counterbalance bergerak ke bawah) sebesar tenaga potensialnya,
karena kerja prime mover yang terbesar adalah pada saat up-stroke (pompa bergerak
ke atas) yang mana sejumlah minyak ikut terangkat ke atas permukaan.
g. Pitman
Adalah penghubung antara walking beam pada equalizer hearing dengan
crank. Lengan pitman merubah gerakan berputar dari counterbalance menjadi
gerakan naik turun pada walking beam.
h. Walking Beam
Merupakan tangkai horizontal di bawah horse head. Fungsinya merupakan
gerak naik turun yang dihasilkan oleh pasangan pitman-crank-counterbalance, ke
rangkaian pompa di dalam sumur melalui rangkaian rod.
i. Horse Head.
Menurunkan gerak dari walking beam ke unit pompa di dalam sumur
melalui bridle, polish rod dan sucker string atau merupakan kepala dari walking
beam yang menyerupai kepala kuda.
j. Bridle
Merupakan nama lain dari wire line hanger, yaitu merupakan sepasang
kabel baja yang disatukan pada carrier bar. Bridge berfungsi sebagai tenaga angkat
dari rangakaian peralatan bawah permukaan.
81

k. Carrier Bar
Merupakan alat yang berfungsi sebagai tempat bergantungnya rangkaian
rod dan polished rod. Carrier bar ini sebagai penyangga dari polished rod clamp
menjaga agar rod tidak jatuh.
l. Polished Rod Clamp
Komponen yang bertumpu pada carrier bar yang fungsinya untuk
mengeraskan kaitan polish rod pada carrier bar. Polished rod clamp juga sebagai
tempat dimana dinamometer diletakkan.
m. Polished Rod
Polished rod adalah rod yang berukuran lebih pendek. Polished rod
merupakan bagian teratas dari rangkaian rod yang muncul dipermukaan. Sebagai
fungsinya untuk menyesuaikan panjang rod dengan kedalaman yang diinginkan
n. Stuffing Box
Dipasang di atas kepala sumur (casing atau tubing head) untuk
mencegah/menahan minyak agar supaya tidak keluar bersama naik turunnya polish
rod. Dengan demikian seluruh aliran minyak hasil pemompaan akan mengalir ke
flowline lewat crosstee. Disamping itu juga berfungsi sebagai tempat kedudukan
polish head rod sehingga dengan demikian polish rod dapat bergerak naik turun
dengan bebas.
o. Sampson Post
Merupakan kaki- kaki penyangga atau penopang walking beam. Beratnya
walking beam bertumpu pada sampson post. Untuk menjaga kestabilan
ketinggian pada setiap kaki-kaki sampson post, maka sampson post diletakkan
pada bidang yang datar.
p. Saddle Bearing
Alat ini sebagai penghubung walking beam dengan sampson post bagian
teratas sehingga walking beam tetap bergerak pada posisinya. Alat ini bekerja
dengan cara sebagai poros pada gerakan walking beam, dan menjaga kedudukan
walking beam.
82

q. Equalizer
Adalah bagian atau dari pitman yang dapat bergerak secara leluasa menurut
kebutuhan operasi pemompaan minyak berlangsung. Equalizer diletakkan diantara
crank shaft dan pitman crank. Sebagai penyelaras dengan gerakkan crank disetiap
sisi.
r. Brake
Brake di sini berfungsi untuk mengerem gerak pompa jika dibutuhkan,
misalnya pada saat akan dilakukan reparasi sumur atau unit pompanya sendiri.
Prime mover dimatikan dan dengan adanya brake yang diletakkan di gear reducer
dapat memposisikan head horse pada tinggi maksimum atau tinggi minimum untuk
mempermudah ketika perawatan.

3.1.1.2. Peralatan Di Bawah Permukaan Sucker Rod Pump


Untuk peralatan pompa di bawah permukaan (subsurface pump equipment)
terdiri dari empat komponen utama, yaitu : working barrel, plunger, travelling
valve dan standing valve.
a. Working Barrel
Merupakan tempat plunger dapat bergerak naik turun sesuai dengan langkah
pemompaan dan menampung minyak terisap oleh plunger pada saat bergerak ke
atas (up stroke). Working barrel yang terdiri dari sejumlah liner yang diselubungi
oleh jacket (biasanya diberi simbol L) dan working barel yang terdiri dari satu
bagian utuh dan kuat (diberi simbol H atau W).
b. Plunger
Merupakan bagian dari pompa yang terdapat di dalam barrel dan dapat
bergerak naik turun yang berfungsi sebagai penghisap minyak dari formasi masuk
ke barrel yang kemudian diangkat ke permukaan melalui tubing.
c. Tubing
Seperti halnya pada peralatan sembur alam, tubing digunakan untuk
mengalirkan minyak dari dasar sumur ke permukaan setelah minyak diangkat oleh
plunger pada saat up stroke.
83

d. Standing Valve
Merupakan bola yang ikut bergerak naik turun menurut gerakan plunger dan
berfungsi mengalirkan minyak dari working barrel masuk ke plunger dan hal ini
terjadi pada saat plunger bergerak ke atas dan selanjutnya standing valve membuka.
Pada saat plunger bergerak ke bawah standing valve akan menutup untuk mencegah
fluida keluar ke annulus.
e. Traveling Valve
Merupakan bola yang ikut bergerak naik turun menurut gerakan plunger dan
berfungsi mengalirkan minyak dari working barrel masuk ke plunger dan hal ini
terjadi pada saat plunger bergerak ke bawah serta menahan minyak keluar dari
plunger pada saat plunger bergerak ke atas.
f. Gas Anchor
Merupakan komponen pompa yang dipasang dibagian bawah dari pompa
yang berfungsi untuk memisahkan gas dari minyak agar gas tersebut tidak ikut
masuk ke dalam pompa bersama-sama dengan minyak, untuk menghindari
masuknya pasir atau padatan ke dalam pompa, dan mengurangi atau menghindari
terjadinya tubing stretch.
Gas ini dialirkan masuk ke annulus dan dilepaskan ke permukaan melalui
Ada dua macam type Gas Anchor, yaitu :
- Poorman type
Larutan gas dalam minyak yang masuk ke dalam anchor akan melepaskan
diri dari larutan (bouyancy effect). Minyak akan masuk ke dalam barrel
melalui suction pipe, sedangkan gas yang telah terpisah akan dialihkan
melalui annulus. Apabila suction pipe terlalu panjang atau diameternya
terlalu kecil, maka akan terjadi pressure loss yang cukup besar sehingga
menyebabkan terjadinya penurunan PI sumur pompa. Sedangkan apabila
suction pipe terlalu besar akan menyebabkan annulus antara dinding anchor
dengan suction pipe menjadi lebih kecil, sehingga kecepatan aliran minyak
besar dan akibatnya gas masih terbawa oleh butiran-butiran minyak.
Diameter gas anchor yang terlalu besar akan menyebabkan penurunan PI
sumur pompa.
84

- Packer type
Minyak masuk melalui ruang antara dinding anchor dan suction pipe,
kemudian minyak jatuh di dalam annulus antara casing dan gas anchor dan
ditahan oleh packer, selanjutnya minyak masuk ke pompa melalui suction
pipe. Disini minyak yang masuk ke dalam annulus sudah terpisah dari
pompa.
g. Tangkai Pompa
Tangkai pompa (sucker rod string) terdiri dari Sucker rod, Pony rod dan
Polished rod.
Sucker rod
Merupakan batang/rod penghubung antara plunger dengan peralatan di
permukaan. Fungsi utamanya adalah melanjutkan gerak naik turun dari horse head
ke plunger. Berdasarkan konstruksinya, maka sucker rod dibagi menjadi 2 (dua) :
a. Berujung box-pin
b. Berujung pin-pin
Untuk menghubungkan antara dua buah sucker rod digunakan sucker rod coupling.
Umumnya panjang satu single dari sucker rod yang sering digunakan berkisar
antara 20-30 ft. Terdapat beberapa macam ukuran sucker rod, seperti pada tabel di
bawah ini, di mana ukuran-ukuran tersebut merupakan standar API. Dalam
perencanaan sucker rod selalu diusahakan atau yang dipilih yang ringan, artinya
memenuhi kriteria ekonomis, tetapi dengan syarat tanpa mengabaikan kelebihan
(allowable stress) pada sucker rod tersebut. Sucker rod yang dipilih dari
permukaan, sampai unit pompa di dasar sumur (plunger) tidak perlu sama
diameternya, tetapi dapat dilakukan/dibuat kombinasi dari beberapa tipe dan ukuran
rod. Sucker string yang merupakan kombinasi dari beberapa tipe dan ukuran
tersebut. Disebut Tappered Rod String.
Poni rod
Merupakan rod yang mempunyai panjang yang lebih pendek dari panjang
rod umumnya (25 feet). Fungsinya adalah untuk melengkapi panjang dari sucker
rod, apabila tidak mencapai kepanjangan yang dibutuhkan ukurannya adalah : 2, 4,
6, 8, 12 feet.
85

Polished rod
Adalah tangkai rod yang berada di luar sumur yang mengubungkan sucker
rod string dengan carrier bar dan dapat naik turun di dalam stuffing box. Diameter
stuffing box lebih besar daripada diameter sucker rod, yaitu : 1 1/8, 1 ¼, 1 ½, 1 ¾.
Panjang polished rod adalah :8,11,16, 22 feet.

Gambar 3.7.
Peralatan Bawah Permukaan Sucker Rod
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

Gambar 3.8.
Klasifikasi Pompa menurut API
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
86

Pompa digerakan oleh sucker rod string dan peralatan pompa yang berada
di permukaan. Batang pompa yang ditarik dapat dibagi menjadi tiga tipe dasar yaitu
:
1. Tubing pumps
2. Rod pumps
3. Casing pumps ( lebih besar dari rod pumps )
Perbedaan yang mendasar antara tubing pump dan rod pump adalah cara
menginstalasi working barrel. Pada tubing pump, working barrel terhubung sampai
dasar dari tubing dan bergerak masuk ke sumur sebagai sebuah bagian utuh dari
tubing stringi. Sedangkan pada rod pump, working barrel adalah sebagai bagian
utuh dari seluruh rangkaian bawah permukaan pompa dan bergerak sebagai unit
pada sucker rod string di dalam tubing string. Tabel III – 1. menunjukan ukuran
maksimum plunger yang bisa digunakan dalam tubing string.

Tabel III-1.
Ukuran Maksimum Pompa
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

Tubing size, in
PUMP
1,900 2 3⁄8 2 7⁄8 3 1⁄2
Tubing one-piece,
1 1⁄2 1 3⁄4 2 1⁄4 2 3⁄4
thin-wall barrel (TW)
Tubing one-piece,
1 1⁄2 1 3⁄4 2 1⁄4 2 3⁄4
heavy-wall barrel (TH)
Tubing liner barrel (TL) - 1 3⁄4 2 1⁄4 2 3⁄4
Rod one-piece,
1 1⁄4 1 1⁄2 2 2 1⁄2
Thin-wall barrel (RW)
Rod one-piece,
1 1⁄18 1 1⁄4 1 3⁄4 2 1⁄4
heavy-wall barrel (RH)
Rod liner barrel (RL) - 1 1⁄4 1 3⁄4 2 1⁄4
87

3.1.2. Analisa Peralatan Sucker Rod Pump


Komponen-komponen peralatan pompa sucker rod merupakan suatu
gabungan yang komplek dan menyatu, dengan kata lain akan saling ketergantung
satu dengan yang lain. Oleh karena itu penting dilakukannya analisa peralatan
pompa untuk menjaga effisiensi pompa mengangkat fluida naik ke permukaan.

3.1.2.1. Analisa Gerakan Rod


Apabila sucker rod digantung pada polished rod atau bergerak naik turun
pada kecepatan konstan, maka gaya yang bekerja pada polished rod adalah berat
dari sucker rod, WR, dalam hal ini sucker rod mengalami percepatan. Polished rod
akan menderita beban tambahan yaitu beban percepatan.
Wr
 a .................................................................................................(3-1)
g
Keterangan :
Wr = Berat rod
g = Percepatan gravitasi
a = Percepatan maksimum yang terdapat pada sucker rod string
Faktor percepatan atau faktor dimana bobot mati dari rod harus dikalikan
dengan faktor kecepatan ini untuk mendapatkan beban percepatan yang maksimal,
dinyatakan sebagai :
a
 ..................................................................................................(3-2)
g
Keterangan :
a = Percepatan maksimum yang terdapat pada sucker rod string
g = Percepatan gravitasi
α = Faktor percepatan
Suatu study terhadap gerakan yang ditransmisikan dari prime mover ke
sucker rod menunjukkan bahwa gerakan sucker rod hampir merupakan gerak
beraturan yang sederhana. Gerak beraturan ini dapat dinyatakan sebagai proyeksi
suatu partikel yang bergerak melingkar pada garis tengah lingkaran tersebut.
88

Gambar 3.8.
Sistem Gerakan Sucker Rod
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

Apabila hal tersebut diatas dihubungkan dengan sistem sucker rod, maka :
1. Diameter lingkaran menyatakan panjang langkah polished rod.
2. Waktu untuk sau kali putaran dari partikel yang melingkar sama dengan waktu
untuk satu kali siklus pemompaan.
Percepatan maksimum dari pada sistem sucker rod terjadi pada awal up stroke dan
awal down stroke, yaitu pada saat titik proyeksi mempunyai jarak yang jauh dari
pusat gerak melingkar. Pada saat tersebut percepatan dari pada proyeksi sama
dengan percepatan gerak melingkar, yaitu :
2
Vp
a= .................................................................................................(3-3)
re
Keterangan :
Vp = Kecepatan partikel
re = Jari-jari lingkaran
Apabila waktu untuk satu kali putaran, maka :
2re
Vp = ..............................................................................................(3-4)

Apabila N = jumlah putaran persatuan waktu :
Vp = 2 re N.........................................................................................(3-5)
89

Keterangan :
N = 1/, jika persamaan 3-3 dan 3-5 disubstitusikan pada persamaan 3-2 didapat :

4 2 re N 2
2
Vp
 ...................................................................................(3-6)
re g g
Untuk sumur pompa :
N = Kecepatan pemompaan
re = Dapat dihubngkan dengan polished rod, stroke length yaitu :
re = S/2
Dengan demikian persamaan 3-6 menjadi :
2 2 SN
= ...........................................................................................(3-7)
g
Panjang langkah polished rod biasanya dinyatakan dalam inchi, dan kecepatan
pemompaan dalam stroke per menit (SPM), maka :
2 2 SN 2 in / min 1 ft 1 min
=
32,2 ft / sec 2 12in 3600 sec 2

SN 2
= ............................................................................................(3-8)
70500

3.1.2.2. Sucker Rod String


Sucker rod string didapati pada sumur-sumur yang dalam, dan tidak hanya
terdiri dari satu macam diameter, merupakan tappered rod (makin ke atas makin
besar diameternya, karena membawa beban yang lebih berat). Dengan anggapan
bahwa stress disetiap bagian sama (pada puncak masing-masing interval).
Pada Tabel III-2, R1, R2, R3, dan seterusnya adalah fraksi panjang dari
seluruh rod, dan karena umumnya suatu potongan rod mempunyai panjang 25 ft,
maka pembulatan selalu 25 ft.
90

Tabel III-2.
Kombinasi Untuk Sucker Rod
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

Ukuran rod pada Harga R sebagai fungsi Luas Plunger


string (Ap)
(in) Catatan : R1 adalah yang bawah atau
terkecil
R1 = 0,759 – 0,0896 Ap
5/8 – ¾ R2 = 0,241 + 0,0896 Ap
R1 = 0,786 – 0,0566 Ap
¾ - 7/8 R2 = 0,214 + 0,0566 Ap
R1 = 0,814 – 0,0375 Ap
7/8 – 1 R2 = 0,186 + 0,0375 Ap
R1 = 0,627 – 0,1393 Ap
5/8 – ¾ - 7/8 R2 = 0,199 + 0,0737 Ap
R3 = 0,175 + 0,0655 Ap
R1 = 0,644 – 0,0894 Ap
¾ - 7/8 – 1 R2 = 0,181 + 0,0478 Ap
R3 = 0,155 + 0,0146 Ap
R1 = 0,582 – 0,1110 Ap
R2 = 0,159 + 0,0421 Ap
¾ - 7/8 – 1 – 1 1/8
R3 = 0,137 + 0,0364 Ap
R4 = 0,123 + 0,0325 Ap

3.1.2.3. Effective Plunger Stroke


Jumlah volume minyak yang diperoleh selama pemompaan tidak tergantung
pada panjang polished rod, tetapi tergantug pada gerakan relatif plunger terhadap
working barrel yang disebut effective plunger stroke. Pada dasarnya langkah ini
berbeda dengan polished rod stroke. Perbedaan ini disebabkan oleh :
1. Adanya rod stretch dan tubing stretch.
2. Adanya plunger over travel yang disebabkan adanya percepatan.
Dengan demikian perlu diperkirakan adanya rod stretch dan tubing stretch
serta over travel. Yang mana hal ini telah dikembangkan oleh Marsh dan Coberly.
Pada saat down stroke, standing valve tertutup dan travelling valve terbuka, beban
fluida bekerja pada tubing yang menyebabkan elongasi pada tubing tersebut. Pada
awal up stroke, travelling valve tertutup, menimbulkan perpanjangan pada rod dan
pembukaan pada standing valve menyebabkan tubing mengalami stretch.
91

Kembalinya tubing ke panjang semula menyebabkan working barrel bergerak lebih


ke atas.
Perpanjangan rod menyebabkan plunger bergerak ke bawah. Dengan
demikian effective plunger stroke berkurang sebesar jumlah perpanjangan rod dan
tubing yang disebabkan oleh beban fluida. Untuk suatu deformasi elastik, terdapat
perbandingan antara stress yang bekerja pada suatu benda dengan strain yang
dihasilkan oleh stress tersebut yang besarnya konstan, yaitu :
Stress
E= ............................................................................................(3-9)
Strain
Keterangan :
E = modulus elastisitas, tergantung pada beban yang dipergunakan
Sedangkan stress merupakan gaya persatuan luas, maka :
Stress = F/ A.........................................................................................(3-10)
Dan strain adalah fraksi perubahan panjang, yaitu :
Strain = e /L.........................................................................................(3-11)
Gaya (F) dinyatakan dalam Lb, penampang (A) dinyatakan dalam in 2.
perpanjangan (e) dan panjang mula-mula (L) dinyatakan dalam satuan sama.
Umumnya besarnya perpanjangan dalam in. Sedangkan panjang dalam ft, dengan
demikian persamaan 3-11 berubah menjadi :
e
Strain = .........................................................................................(3-12)
12 L
Kemudian disubstitusikan kedalam persamaan 3-9 menjadi :
F / A 12 FL
E= 
e / 12 L eA
12 FL
e= ..............................................................................................(3-13)
EA
Gaya yang disebabkan oleh beban fluida yang disebabkan adanya perbedaan
tekanan sepanang plunger, dan bekerja pada luas permukaan Ap, adalah:
F = P x Ap..........................................................................................(3-14)
Apabila dianggap bahwa pompa dipasang pada working fluid level,
perbedaan tekanan (P) pada plunger adalah tekanan kolom fluida dengan specific
gravity SG, sepanjang L (kedalaman pompa).
92

P = 0,433 SG L...................................................................................(3-15)
Untuk suatu hal yang umum, dimana working fluid level terletak pada
kedalaman D, tekanan C (dibawah plunger) yang disebabkan oleh kolom fluida
didalam casing setinggi (L –D) harus diperhitungkan.
Dengan demikian :
P = 0,433 SG L – 0,433 SG (L –D).................................................... (3-16)
P = 0,433 SG D
Dari persamaan 3-13 :
12 FL
e =
EA
12 x0,433SGDAP L
=
EA
520SGDAL
=
EA
Persamaan 3-16 di atas merupakan persamaan umum. Persamaan tersebut
dapat untuk menghitung perpanjangan dari suatu benda yang mengalami
pembebanan.
Berdasarkan persamaan 3-16, maka :
1. Perpanjangan tubing (et) adalah :
et = 5,20 SG D Ap L / E At.....................................................................(3-17)
2. Perpanjangan rod string (er) adalah :
er = 5,20 SG D Ap L / E Ar....................................................................(3-18)
Keterangan :
et = Perpanjangan tubing, in
er = Perpanjangan rod, in
SG = Specific gravity fluida
D = Working fluid level, ft
L = Kedalaman letak pompa, ft
Ap = Luas penampang plunger, sq-in
At = Luas penampang tubing, sq-in
Ar = Luas penampang rod, sq-in
93

E = Modulus elastisitas = 30 x 106


Bila dipasang anchor pada tubing, maka bentuk L/A, dapat diabaikan.
Besarnya Ar, At, Ap dari masing-masing ukuran rod, tubing atau plunger
dapat dilihat pada Tabel III-3, III-4 dan III-5 berikut :
Tabel III-3.
Data Sucker Rod
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

Rod Size, Area Plunger Rod Weight Konstanta, K


in (in2) (lb/ft)
½ 0,196 0,72
5/8 0,307 1,13 0,046
¾ 0,442 1,63 0,066
7/8 0,601 2,22 0,102
1 0,785 2,90 0,117
1 1/8 0,994 3,67 0,148

Tabel III-4.
Data Tubing
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

Normal Size Outside Weight Wall


(in) Diameter (lb/ft) Area
(in) (sq-in)
1½ 1,900 2,90 0,800
2 2,375 4,7 1,304
2½ 2,875 6,50 1,812
3 3,500 9,30 2,59
3½ 4,000 11,00 3,077
4 4,500 12,75 3,601
94

Tabel III-5.
Data Plunger Pompa
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

Diameter Area Pump Content


in Aq-in Bbl/day/in/spm
1 0,785 0,116
11/16 0,886 0,131
1¼ 1,227 0,182
1½ 1,767 0,262
1¾ 2,405 0,357
1 25/32 2,448 0,369
2 3,142 0,466
2¼ 3,976 0,590
2¼ 4,909 0,728
2¾ 5,940 0,881
3¾ 11,045 1,639
4 3/4 17,721 2,630

Untuk desain dari sucker rod string terdapat 2 cara yaitu dengan desain
tapered dan untapered. Tapered adalah desain yang mana ukuran stringnya terdiri
dari panjang yang berbeda masing-masing memiliki ukuran diameter yang berbeda.
Untuk desain untapered, string rod hanya memakai 1 ukuran diameter yang sama.
Biasanya desain tapered digunakan untuk kedalaman lebih dari 3500 ft. Harga
maksimum dan minimum beban yang didapat oleh rod string harus ditentukan agar
desain atau peralatan yang dipakai di permukaan mampu menahan beban yang
diterima.
Adapun cara untuk mendesain sebuah tapered sucker rod string adalah
menentukan maksimum stress untuk tiap bagian string rod. Sehingga, tiap bagian
rod string yang dipilih memiliki maksimum stress yang berbeda namun tetap aman
untuk dipakai dan terhindar rod break dan buckling yang mungkin terjadi pada saat
pemompaan.
95

Persentase tiap ukuran rod ditentukan dari tabel (lampiran 1). Contoh
perhitungan desain tapered, sebuah pompa dengan plunger berdiameter 2 in
dipasang pada kedalaman 6050 ft terdiri dari 3 rod dengan masing-masing
diameternya 3⁄4 in, 7⁄8 in dan 1 in. Sucker rod yang tersedia memiliki panjang 25 ft.
Tentukan panjang tiap bagian dari tapered rod string.
Dari tabel (lampiran 1, dengan rod no.86);
R1 = 32,8 % untuk 1 in
R2 = 33,2 % untuk 7⁄8 in
R3 = 33,9 % untuk 3⁄4 in
Kemudian,
L1 = 6050 x 0,328 = 1984,4 ft
L2 = 6050 x 0,332 = 2008,6 ft
L3 = 6050 x 0,339 = 2051 ft
Jadi, untuk rod 25 ft
L1 = 2000 ft
L2 = 2000 ft
L3 = 2050 ft

Untuk Tappered rod string, perpanjangan rod dicari untuk masing-masing


bagian, yaitu :
e1 = 5,20 SG D Ap L1 / E A1...................................................................(3-19)
e2 = 5,20 SG D Ap L2 / E A2...................................................................(3-20)
Keterangan :
e1 = Perpanjangan rod bagian pertama dengan panjang L1
e2 = Perpanjangan rod bagian kedua dengan panjang L2
Dari gabungan persamaan diatas, perpanjangan rod total adalah :

5,20SGDAP  L1 L2 
er =    ... ............................................................(3-21)
E  A1 A2 
Rod mengalami perpanjangan akibat berat rod itu sendiri dan beban
percepatan. Untuk tappered rod, beban rod bervariasi secara uniform dari harga nol
(yaitu dari bagian bawah rod) sampai sebesar Wr (yaitu puncak dari rod). Rata-rata
96

berat dari rod yang menyebabkan perpanjangan adalah Wr/2, apabila dipusatkan
pada L/2. Perpanjangan rod yang mengakibatkan berat rod dan beban percepatan,
tidak sama besarnya pada waktu upstroke ataupun downstroke.
Pada akhir downstroke, perpanjangan rod, adalah :
12(Wr  Wr ) L / 2
ed = ........................................................................(3-22)
EAr
dan perpanjangan pada waktu upstroke, adalah :
12(Wr  Wr  ) L / 2
eu = .........................................................................(3-23)
EAr
Dari persamaan 3-22 dan 3-23 dapat ditentukan perpanjangan yang disebabkan oleh
beban percepatan, yaitu :
12Wr L
ep = e d – eu = ...........................................................................(3-24)
EAr
Sedang berat rod string, adalah :
 r LAr
Wr = ..........................................................................................(3-25)
144
Keterangan :
 = Faktor percepatan
r = Density rod, lb/cuft  490 lb/cuft untuk baja.
Maka :
12 L 490 LAt 40,8L2
ep =  ............................................................(3-26)
EAr 144 E
Keterangan :
E = Modulus young besi = 30 x 106 Psi
Persamaan 3-26 digunakan untuk untappered rod string, sedangkan untuk tappered
rod string dilakukan pendekatan dengan persamaan berikut ;
ep = (32,8 L2) / E...............................................................................(3-27)

Keterangan :
Ep = Plunger overtravel, in
L = Panjang rod, ft
97

 = Faktor percepatan = S N2 /70500


S = Panjang langkah, in
N = langkah/menit, SPM
Persamaan 3-27 akan memberikan perbedaan sekitar 25% tetapi hal in tidak
berpengaruh banyak dalam effective plunger stroke. Dengan demikian effective
plunger stroke adalah panjang langkah (polished rod stroke) dikurangi dengan
perpanjangan rod ditambah dengan (rod & tubing stretch) sebagai akibat beban
fluida ditambah dengan plunger overtravel, maka :
Sp = S + ep – (et + er)............................................................................(3-28)

Penggabungan persamaan 3-17, 3-21, 3-26, dan 3-28 didapatkan persamaan sebagai
berikut :

40,8L2 5,20SGDAP  L1 L2 
Sp = S +     ... ...................................(3-29)
E E  A1 A2 

Dalam hal ini tappered rod string, persamaan 3-29 menjadi :

40,8L2 5,20SGDAP  1 
Sp = S +    ..................................................(3-30)
E E  At 

Keterangan :

L1, L2, L3, ...adalah panjang-panjang rod (bila diameternya berbeda-beda


untuk sistem tersebut), ft

A1, A2, A3,...adalah luas penampang masing-masing bagian rod yang


berbeda-beda untuk, inch2.
Catatan :
Dalam hal tubing dipasang anchor, maka At dapat diabaikan dan persamaan 3-29
tidak mengandung At.

3.1.2.4. Kecepatan Pompa


Akibat pemompaan akan timbul getaran yang dialami oleh rod string.
Getaran yang dialami rod tersebut adalah merupakan resultan dari getaran aslinya
98

(transmitted wave) dengan getaran yang dipantulkan (reflected wave). Apabila


transmitted wave dan reflected wave terjadi serempak (syncronous), maka
akibatnya akan terjadi resultan getaran yang maksimum (saling menguatkan). Akan
tetapi bila antara kedua macam tidak terjadinya saling bergantian (non-syncronous),
maka resultannya merupakan getaran yang saling melemahkan. Maka dapatlah
dimengerti bahwa kecepatan pemompaan setiap menit harus tidak boleh
menimbulkan getaran yang maksimum, karena hal tersebut dapat membahayakan
rod string (menyebabkan putus). Sehingga dibuat supaya getaran yang terjadi
adalah getaran yang saling melemahkan.
Secara teoritis, dengan ketentuan kecepatan getaran pada baja sama dengan
15800 fps, maka akan terjadi getaran non-syncronous, jika :
N = 237000 / n L.................................................................................(3-31)
Keterangan :
N = Kecepatan pemompaan, SPM
L = Panjang sucker rod string, ft
n = Bilangan tidak bulat
Jadi menentukan N dari pemompaan harus dipilih supaya harga n tidak
bulat. Dihindarkan harga n = 1, 2, 3, ...dst, karena harga n bulat akan terjadi getaran
yang syncronous.

3.1.2.5. Perhitungan Counterbalance


Fungsi utama counterbalance adalah menyimpan tenaga pada waktu
upstroke dan waktu downstroke serta melepaskan tenaga pada waktu upstroke.
Secara teoritis counterbalance effect ideal (Ci) harus sedemikian rupa sehingga
prime mover akan membawa beban rata-rata yang sama besarnya baik pada waktu
upstroke ataupun pada waktu downstroke, yang dinyatakan sebesar :
Wmax – Ci = Ci – W min.........................................................................(3-32)
Counterbalance yang ideal adalah :
Ci = 0,5 (Wmax + Wmin).........................................................................(3-33)
99

Dengan menggunakan parameter Wmax dan Wmin yang didapat dari hasil
perhitungan polished rod load, maka akan diperoleh counterbalance effect ideal
sebesar :
Ci = 0,5 We Wr ( 1- 0,127 SG)...............................................................(3-34)

3.1.2.6. Perhitungan Torsi (Puntiran)


Perhitungan torsi sangat erat hubungannya dengan perencanaan
counterbalance, karena pumping unit harus bekerja tidak boleh melebihi puntiran
yang diijinkan pada gear reducer yang telah ditentukan oleh pabrik pembuatannya.
Besarnya beban polished rod (W) ditransmisikan ke crank melalui pitman yang
bergerak dengan arah vertikal. Dari gambar tersebut puntiran bersih dinyatakan
sebagai berikut:
Wmax = Wf Wr (1   ) ......................................................................................................... ..(3-35)
Keterangan :
Wf = Beban fluida, lb
Wr = Beban rod, lb
 = Faktor percepatan, in
Wmax = Beban Polished rod maksimum, lb

Apabila geometri dari peralatan permukaan diabaikan, yaitu jarak dari


“saddle bearing” ke “tail bearing” serta “struktural unbalance” dari instalasi
permukaan, maka akan diperoleh persamaan untuk :
Ci = 2 Wc d /S......................................................................................(3-36)
Keterangan :
Ci = Crank counterbalance, lbs
Wc = Berat counterbalance, lbs
S = Panjang langkah, in
d = jarak crankshaft ke pitman bearing, in
Tp = W (S/2) sin  - Ci (S/2) sin 
= (W –Ci) (S/2) sin ..................................................................(3-37)
100

Harga maksimum untuk variabel-variabel W dan sin  masing –masing


adalah Wmax dan sin  = 1 atau  = 90, dengan demikian puntiran maksimum
(peak torque) adalah :
Tp = (Wmax –Ci) (S/2)............................................................................(3-38)
Keterangan :
Tp = Peak torque maksimum, Lbs
Dalam perhitungan harga peak torque (Ci) diasumsikan 95% dari harga
idealnya (Ci), maka persamaan 3-38 menjadi :
Tp = (Wmax – 0,95 Ci) (S/2)...............................................................(3-39)

3.1.2.7. Kapasitas Pompa (Pump Displacement)


Dengan prinsip torak (piston), maka volume teoritis pemompaan (pump
displacement) adalah :
Stroke 1440menit / hari
PD = Ap (in2) x Sp (in / stroke) x N x
menit 9702in 3bbl
= 0,1484 Ap Sp N bbl / hari ..................................................(3-40)
Peramaan 3-40 di atas harga 0,1484 Ap merupakan konstanta untuk suatu
diameter plunger tertentu dan dinotasikan dengan K yang disebut sebagai konstanta
pompa :
PD = K Sp N bbl / hari..........................................................................(3-41)
Untuk mencari harga rate produksi yang sebenarnya dari pump
displacement perlu diketahui “effisiensi volumetris” dari pompa tersebut, Ev
Jadi :
q = PD/ Ev............................................................................................(3-42)
Keterangan :
q = Rate produksi, bbl/hari
PD = Pump displacement, bbl/hari
Ev = Efisiensi volumetris antara 25 – 100% tergantung dari gas di
sumur tersebut, umumnya diambil antara 75-80%
101

3.1.2.8. Efisiensi Total Sucker Rod Pump


Dengan mengetahui besarnya horse power, maka akan dapat ditentukan
efisiensi total dari pompa sucker rod. Efisiensi total pompa adalah hasil kali dari
dua efisiensi, yaitu efisiensi permukaan (above ground efficiency) dan efisiensi
bawah permukaan (bellow ground efficiency). Besarnya horse power yang perlu
diketahui disini adalah :
 Polished rod horse power (PRHP)
 Hidroulic horse power (HHP)
 Power input (power yang dibutuhkan prime mover selama pemompaan
berjalan) atau brake horse power (BHP)

3.1.2.9. Perhitungan Beban Polished Rod (Polished Rod Load)


Dalam hal ini yang diabaikan beban getaran dan beban percepatan
sehubungan dengan fluida yang diangkat. Selama siklus pemompaan terdapat lima
faktor yang mempengaruhi beban bersih (net load) polished rod yaitu :
a. Beban fluida
b. Beban mati dari pada rod
c. beban percepatan dari pada sucker rod
d. Gaya ke atas pada sucker rod yang tercelup dalam fluida
e. Gaya gesekan
Berat tappered rod string adalah :
Wr = M1L1 +M2L2 +......+ Mn Ln.......................................................................(3-43)
Keterangan :
M1 = berat rod section pertama dari tappered rod, lb/ft
L1 = panjang rod, section pertama, ft
Dengan menganggap density rod 490 lb /cuft, volume rod string sama
dengan fluida yang dipindahkan rod string adalah :
berat W
Volume =  r cuft ...............................................................(3-44)
density 490
102

Densitas fluida yang dipindahkan 62,4 SG (dimana SG = Specific gravity)


lb/cuft. Gaya ke atas yang bekerja pada rod, adalah berat fluida yang dipindahkan
yaitu :
Wr
Gaya ke atas = x62,4SG
490
= -0,127 Wr SG.............................................................(3-45)
Beban fluida yang digunakan dalam perhitungan beban polished rod adalah
berat kolom fluida yang ditahan oleh plunger, volume dari kolom fluida dari
plunger dan setinggi rod string adalah :
LAP
Volume = cuft..............................................................................(3-46)
144
Volume fluida dapat diperoleh dari persamaan 3-46 dikurangi persamaan 3-44.
LAP Wr
Volume = - cuft....................................................................(3-47)
144 490
Beban fluida Wf adalah :
Wf = 62,4 SG ( LAP / 144)  (Wr / 490)...............................................(3-48)

Wf = 0,433 SG ( LAP  0,294Wr ).......................................................(3-49)


Beban fluida tersebut hanya bekerja pada polished rod pada waktu upstroke.
Selanjutnya beban gesekan tidak dapat diturunkan secara matematis, tetapi beban
ini dapat diperkirakan secara empiris dengan dynamometer tes. Sedangkan untuk
keperluan desain, gesekan ini dapat dinyatakan sebagai + F, pada waktu upstroke
dan – F pada waktu downstroke. Jadi, beban polished rod maksimum yang terjadi
pada waktu upstroke adalah :
Wmax = Wf + Wr + Wr  + F.................................................................(3-50)
Beban polished rod minimum yang terjadi saat downstroke :
Wmin = Wf – Wr -  - 0,127 Wr SG – F..................................................(3-51)
Jika persamaan 3-50 digunakan untuk menghitung beban maksimum, suku
yang terakhir diabaikan, oleh karena itu beban gesekan tidak dapat dihitung dengan
tepat.
Wmax = Wf + Wr (1 - ).........................................................................(3-52)
103

Dengan cara yang sama, perhitungan beban minimum juga dengan


mengabaikan beban gesekan.
Wmin = Wr (1 -  - 0,127 SG)..............................................................(3-53)

3.1.2.10. Hydrauluc Horse Power


Hydraulic Horse Power (HHP) adalah besarnya horse power yang
diperlukan pompa untuk mengangkat sejumlah fluida secara vertikal saat
pemompaan berlangsung. Hal penting di dalam penentuan horse power ini adalah
net lift (LN), pengertian net lift yaitu, jarak angkat efektif pompa dalam satuan ft.
Besarnya net lift, dapat ditentukan dengan persamaan dibawah :
 2,31Pt 
LN = L x  , ft ...........................................................................(3-54)
 SG 
Keterangan :
L = Pump setting depth, ft
Pt = Tubing pressure, psi
SG = Specific gravity fluida
Selanjutnya besarnya horse power dapat ditentukan dengan persamaan :
HHP = (7,36 x 10-6) q SG LN, hp............................................................(3-55)
Keterangan :
q = Rate produksi,BPD
SG = Specific gravity fluida
LN = Net lift, ft

3.1.2.11. Brake Horse Power (Power Input)


Power input ini menunjukkan besarnya horse power yang dibutuhkan oleh
prime mover pada operasi pompa sucker rod ada dua power load yang harus
dipertimbangkan selama terjadi gerakan fluida dari pompa ke permukaan, yaitu
pertama adalah hidraulic horse power seperti telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya, dan kedua adalah friction horse power diberi simbol H, harga friction
horse power dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut :
104

0,25Wr .S .N .in  lb / min


Hf =
12in / ftx 33000 ft  lb / min/ hp
= (6,31 x 10-7) Wr S N , hp..............................................................(3-56)
Keterangan :
Wr = Berat rod string, lb
S = Panjang stroke, in
N = Jumlah stroke permenit, spm
Selanjutnya besarnya brake horse power (BHP) merupakan penjumlahan
hidraulic dan friction horse power. Untuk mengatasi tekanan yang tidak dapat
diperkirakan dalam peralatan dipermukaan maka diambil faktor keselamatan
sebesar 1,5. brake horse power dituliskan :
BHP = 1,5 (Hb + Hf).............................................................................(3-57)

3.1.2.12. Penentuan Efisiensi Total Pompa


Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa efisiensi total pompa adalah
merupakan hasil kali dari dua efisiensi, yaitu efisiensi permukaan (above ground
efficiency) dan efisiensi bawah permukaan (bellow ground efficiency). Above
ground efficiency yaitu efisiensi pompa yang berhubungan dengan keperluan horse
power oleh prime mover di permukaan, dan besarnya dinyatakan dengan
perbandingan antara polished rod horse power terhadap power input pada prime
mover (brake horse power). Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut :

Polished rod horsepower


Above Ground Efficiency =
Brake horse power

PRHP
=
BHP

Bellow ground effisiensi yaitu effisiensi yang berkaitan dengan peralatan


bawah permukaan di dalam mengangkat fluida permukaan, besarnya efisiensi ini
dinyatakan dengan perbandingan antara horse power terhadap polished rod horse
power dan secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut :
105

Hydraulic horsepower
Bellow Ground Efficiency =
Polished rod horsepower

HHP
= , Hp
PRHP

Sehingga besarnya efisiensi total pompa adalah :


Effisiensi total = Efisiensi permukaan x Efisiensi bawah permukaan
PRHP HHP
= x , Hp
BHP PRHP

3.1.3. Perencanaan Sucker Rod Pump


Perencanaan sucker rod pump (sucker rod) bertujuan untuk mendapatkan
parameter-parameter pompa secara optimal sesuai dengan potensi sumur. Sebelum
dilakukan perencanaan pompa perlu dilakukan analisa perhitungan perilaku pompa.
Tujuan dari analisa perhitungan pompa sucker rod ini adalah untuk mendapatkan
perilaku yang efisien dari peralatan yang tersedia. Adapun langkah-langkah
perencanaan pompa sucker rod adalah sebagai berikut :
1. Setting Depth Pompa (L)
L =H – (Pwf/Gf) +S...............................................................................(3-58)
Keterangan :
H = Kedalaman sumur dari permukaan sampai top perforasi, ft
Pwf = Tekanan dasar sumur, Psi
Gf = Gradient formasi, psi/ft
S = Submergence, berkisar antara 60 – 100 ft
2. Panjang Langkah (stroke)
Berdasarkan L dan PD, maka dari chart pump unit section (Tabel III-1, III-
3, III-4, dan III-5) diperoleh API size dan Effective Plunger Stroke.
3. Penentuan Diameter Plunger, Tubing, Rod SPM
- Berdasarkan API size pada langkah “2” dan kedalaman L maka dari tabel
desain data diperoleh :
 Diameter plunger
106

 Diameter tubing
 Ukuran rod
 Kecepatan Pemompaan (SPM)
4. Acceleration Faktor
 = SN2 / 70500...................................................................................(3-59)
Keterangan :
S = Panjang langkah, inchi
N = Kecepatan pemompaan, SPM
5. Panjang Langkah Plunger Efektif

40,8L2 5,20SGDAP  L1 L2 
SP = S +     ... ...................................(3-60)
E E  A1 A2 
Atau untuk untapered :

40,8L2 5,20SGDAP  1 
SP = S +    ................................................(3-61)
E E  At 
Keterangan :
SP = Panjang langkah efektif plunger, in.
 = Acceleration faktor.
L = Setting depth pompa, ft.
E = Modulus elastisitas, T. (besarnya tergantung dari bahan.)
D = Working fluid level, ft.
Ap = Luas penampang plunger, sq. In.
SG = Specific gravity fluida
At = Luas penampang tubing, sq. In.w
L1, L2.. = Panjang rod, ft.
A1,A2...= Luas penampang rod, sq. In.
6. Pump Displacement
PD = K Sp N.........................................................................................(3-62)
Ketarangan :
PD = Pump Displacement, Bbl/day
K = Konstanta plunger tertentu
107

Sp = Panjang langkah plunger efektif, in.


N = kecepatan pemompaan, SPM
7. Efisiensi Volumetris Pompa
Ev = (qt/PD) 100%................................................................................(3-63)
Keterangan :
Ev = Efisiensi volumetris pompa, %
qt = Produksi total, bpd
PD = Pump Displacement, bpd
8. Berat Rod String
Wr = L x m...........................................................................................(3-64)
Keterangan :
Wr = Berat rod string, lb.
L = Setting depth pompa, ft.
m = Berat rod, lb/ft
9. Berat Fluida
Wf = 0,433 SG (L Ap – 0,294 Wr).......................................................(3-65)
Keterangan :
Wf = Berat fluida, lb
SG = Specific gravity fluida
L = Setting depth pompa, ft
Ap = Luas penampang plunger, sq.in.
Wr = Berat rod string, lb
10. Beban Polished Rod
Wmax = Wf + Wr ( 1 +  )..................................................................(3-66)
Wmin = Wr (1-  - 0,127 SG)……………………………………….(3-67)
11. Rod Stress
Stress maks = Wmaks / Ar, Psi........................................................(3-68)
Stress min = Wmin / Ar, Psi..........................................................(3-69)
Keterangan :
Ar = Luas Penampang rod, sq.in.
108

12. Counterbalance
Ci = 0,5 Wf + Wr ( 1- 0,127 Sg), lb.....................................................(3-70)
13. Torque
(Wmaks  0,95Ci ) S
Tp = , lb-in............................................................(3-71)
2
14. Tenaga Motor
Hh = 7,36 x 10-6 Q SG L, Hp................................................................(3-72)
Hf = 6,31 x 10-7 Wr S N, Hp................................................................(3-73)
Hb = 1,5 (Hh + Hf), Hp......................................................................(3-74a)
Keterangan :
Hh = Hydraulic horse power to lift fluida
Hf = Subsurface frictional power loss
Hb = Brake horse power
Motor Rating = Hb / 0,75, Hp
Diameter engine sheave prime mover :
de = (Nu du) / Ne ................................................................................. (3-74b)
Keterangan :
de = diameter engine sheave, in
Nu = diameter unit sheave, in
Ne = kecepatan engine sheave, rpm
Nu = kecepatan unit sheave, rpm

3.1.4. Optimasi Sucker Rod Pump


Maksud optimasi adalah menganalisa pengaruh dari harga kecepatan
pemompaan (N) dan panjang langkah (S) terhadap efisiensi volumetris dari pompa
sucker rod. Optimasi pompa sucker rod ini meliputi beberapa langkah, yakni :
a) Perhitungan perencanaan Sucker Rod Pump.
b) Perhitungan Inflow Performance Relationship (IPR).
c) Perhitungan Re-design Sucker Rod Pump berdasarkan stroke maksimum
pompa terpasang.
109

a). Prosedur Perencanaan Sucker Rod Pump


Untuk itu perlu diketahui terlebih dahulu dasar prosedur perhitungan desain
sucker rod. Langkah-langkah perhitungan yang dilakukan untuk mengetahui
effisiensi volumetris (% Ev) dari sucker rod pump dan perhitungan terhadap beban
pada sumur seperti yang terdapat pada sub bab sebelumnya.

b). Perhitungan Inflow Performance Relationship aktual.


Sesuai dengan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, bahwa
pembuatan grafik IPR dengan menggunakan metoda-metoda perhitungan kinerja
aliran fluida dari formasi ke lubang sumur dapat dikelompokkan berdasarkan
kriteria jumlah fasa yang mengalir, pengaruh skin dan pengaruh turbulensi.

c). Prosedur Optimasi Pompa Sucker Rod.


Dengan memperhatikan ukuran pompa, kemudian dicari harga kecepatan
pemompaan (N) yang optimum berdasarkan panjang stroke (S) maksimum pompa
terpasang untuk mendapatkan laju (q) yang optimal.
Prosedur dalam melakukan desain ulang sucker rod pump berdasarkan
panjang langkah (S) maksimum pompa terpasang adalah sebagai berikut ;
1. Menghitung Ap (in2) , K, Wr (lb), dan Wf (lb).

- Ap = 0,25π d2

- Ar = 0,25π d2

- K = 0,1484Ap
- Wr untuk Tappered Rod String.
Wr = M1L1+M2 L2+……+MnLn
Wr untuk Untappered Rod String
Wr = MxL
Berat kolom fluida (Wf)
Wf = 0,433 SG L Ap
110

2. Menghitung konstanta “a”.


1  T 
a = Wf  (0,9  0,5063SF )Wr  SF . Atr 
Ap  4 
Menghitung konstanta “b”.
WrN  c
b = (1  0,5625SF  (1  0,5625SF ) 
56.400 K . Ap  p
Menghitung konstanta “c”.
Wr  c
c = 2 1  0,625SF  (1  0,5625SF ) 
45120.K . Ap.S  p
3. Menentukan persamaan Pump Intake untuk N.
P = a + bv
Menentukan persamaan Pump Intake untuk S.
P = a +c v2

4. Berdasarkan persamaan yang diperoleh pada langkah (5), dihitung untuk


satu harga N, dengan mengasumsikan beberapa harga q sehingga
diperoleh harga P, kemudian diplot pasangan data (q,P) untuk satu harga
N pada grafik IPR sumur.
5. Berdasarkan persamaan yang diperoleh pada langkah (6), dihitung untuk
satu harga S, dengan mengasumsikan beberapa harga q sehingga didapat
harga P, kemudian diplot pasangan data (q,P) untuk satu harga S pada
grafik IPR sumur.
6. Dari kurva yang didapat akan menghasilkan perpotongan antara kurva
Pump Intake dengan kurva IPR, dimana untuk satu kurva Pump Intake
yang memotong kurva IPR akan mendapatkan pasangan data (N,q) atau
(S,q) sesuai dengan jenis kurva Pump Intake nya.
7. Memplot pasangan data (N,q) dan (S,q) menjadi kurva sehingga akan
didapatkan kurva hubungan (N vs q) dan (S vs q).
8. Dari kurva hubungan antara S, N dan q akan didapatkan laju produksi
dengan menggunakan sucker rod pump berdasarkan stroke maksimum
pompa terpasang.
111

9. Menghitung beban dengan diketahui stroke maksimum pompa


terpasang (S), laju produksi (q = “x”, bpd), N (N = “y”, spm) dan P (P
= “z”,psi, dari kurva IPR).

- menghitung α1

SN 2  c 
α1= 1   , c/p = crank pitman ratio
70500  p

- menghitung α2

SN 2  c 
α2= 1  
70500  p

- menghitung PPRL (Peak polished rod load)

PPRL =Wf + (0,9Wr + Wr + α1.Wr) – P .Ap

- menghitung αmaks

PPRL
 maks 
Ar
- menghitung MPRL (Minimum Polished rod load)

MPRL = Wr – 0,1 Wr – α2 Wr

=0.9Wr – α2 Wr

- menghitung αmin

MPRL
 min 
Ar
Menghitung effisiensi volumetric yang baru dengan S = “stroke
maksimum pompa terpasang”, in. N = “y”, spm. Dan q = “x” bpd, adalah
:

- menghitung α1

SN 2

70500
- menghitung Plunger Overtravel (ep).
112

Untuk Untappered
40.8.L2 .
ep 
E
Untuk Tappered
46,5L2
ep =
E
- menghitung Perpanjangan Rod (er).
untuk jenis Untappered
5,20SGDApL
er =
EAr
untuk jenis Tappered
5,20SGDAp  L1 L2 L3 
er =     .....
E  A1 A2 A3 
- menghitung Pump Displacement (PD).
PD = K Sp N
- menghitung effisiensi volumetric sumur yang baru (setelah di
redesign)
q
Ev  x100%
PD
Dari prosedur perhitungan beberapa harga S dan N, yang kemudian diplot juga
dengan kurva IPR aktual, maka akan didapatkan grafik seperti dibawah ini :
113

Gambar 3.9.
Perpotongan Kurva IPR dengan (N vs q) dan (S vs q)
Dari hasil perpotongan antara outflow dan inflow tersebut lalu diplot lagi
antara flow rate (q) terhadap panjang langkah (S) maupun kecepatan pemompaan
(N).

Gambar 3.10.
Perpotongan kurva hubungan (N vs q) dan (S vs q)

Dari grafik ini maka bisa ditentukan pasangan harga S dan N untuk harga q yang
diinginkan.
114

3.2. Electrical Submersible Pump


Electric Submersible Pump adalah pompa yang dimasukkan ke dalam
lubang sumur yang digunakan untuk memproduksi minyak secara artificial lift
(pengangkatan buatan) dan digerakkan oleh motor listrik. Peralatan pompa listrik
submersible terdiri dari pompa sentrifugal, protector dan motor listrik. Unit ini
ditenggelamkan di cairan, disambung dengan tubing dan motornya dihubungkan
dengan kabel ke permukaan yaitu switcboard dan transformator.
Pompa ESP terdiri dari pompa sentrifugal bertingkat banyak yang berputar
3475 – 3500 RPM, 60 Hz dengan motor listrik induksi sinkron kutub 3 fase,
berbentuk sangkar, instalasi ESP dapat dilihat pada Gambar 3.11. Pompa ESP
biasanya dipakai untuk laju produksi 200 – 2500 STB/ day, walaupun dapat
digunakan untuk produksi sampai 30000 STB/day.

Gambar 3.11.
Instalasi Electric Submersible Pump
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
115

Prinsip kerja ESP adalah berdasarkan pada prinsip kerja pompa sentrifugal
dengan sumbu putarnya tegak lurus. Pompa sentrifugal adalah motor hidrolik yang
dapat memompakan cairan, dengan jalan memutar cairan yang melalui impeler
pompa. Cairan masuk ke dalam impeler pompa menuju poros pompa, dikumpulkan
oleh diffuser dan kemudian akan dilempar keluar. Tenaga mekanis motor oleh
impeler dirubah menjadi tenaga hidrolik. Impeler terdiri dari dua piringan yang di
dalamnya terdapat sudu-sudu. Pada saat impeler diputar dengan kecepatan sudut ,
cairan yang ditampung dalam rumah pompa kemudian dialirkan melalui diffuser
dan sebagian tenaga kinetik dirubah menjadi tenaga potensial berupa tekanan,
karena cairan dilempar keluar maka akan terjadi proses penghisapan.

Gambar 3.12.
Skema Impeler dan Diffuser
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

3.2.1. Peralatan Electrical Submersible Pump


3.2.1.1. Peralatan Di Atas Permukaan Electrical Submersible Pump
a. Tubing Head
Kepala sumur harus dilengkapi dengan tubing head atau system pack-off.
Tubing head untuk pompa reda sedikit berbeda dengan tubing head biasa.
Perbedaannya terletak pada adanya kabel yang melalui tubing head tersebut.
116

Adapun fungsi dari tubing head ini adalah sebagai penyokong rangkaian tubing
tempat keluarnya kabel dan untuk menutup ruang antara casing dengan tubing.
b. Junction Box
Diperlukan sebagai tempat menghubungkan kabel dari berbagai sumur dari
switchboard. Kabel tersebut perlu dipisahkan untuk memberi kesempatan gas
dalam kabel keluar terlepas ke atmosfer. Junction box terletak antara well head dan
switchboard.
c. Switchboard
Merupakan panel kontrol yang dilengkapi dengan push button (on/off)
untuk over atau under load protection, fuse, ammater recording, lampu signal,
intermitting timer dan remote control. Switchboard berfungsi sebagai pengontrol
kerja pompa (mengontrol operasi arus listrik yang dibutuhkan oleh motor).
Fungsi peralatan yang ada pada switchboard adalah :
- Start/stop panel, yang berfungsi untuk menghidupkan atau mematikan motor.
- Breaker, sebagai pemutus aliran listrik saat dilakukan reparasi pompa.
- Sekering, merupakan pengaman jika terjadi hubungan singkat pada arus listrik
atau terjadi over voltage.
- Recording ammater, sebagai pencatat besarnya arus yang digunakan motor.
d. Variable Speed Drive
Sistem ESP dioperasikan dengan frekuensi tetap 50 atau 60 Hz. Secara
umum Variable Speed Drive (VSD) merupakan switchboard yang mempunyai
kapasitas frekuensi yang dapat diubah. VSD digunakan untuk mengubah frekuensi
yang masuk ke dalam AC power menjadi frekuensi lainnya, biasanya berkisar
antara 30-90 Hz. Dengan range frekuensi maka pengaturan putaran pompa
diharapkan akan didapatkan pemompaan yang optimum dengan tanpa harus
merubah perencanaan jumlah stage.
d. Transformer
Berfungsi sebagai perubah tegangan primer yang tinggi menjadi tegangan
sekunder yang rendah sesuai yang dibutuhkan motor. Adanya tegangan tinggi yang
masuk ke motor akan merusak pompa. Sehingga diperlukan transformer untuk
menyesuaikan tegangan tersebut.
117

3.2.1.2. Peralatan Di Bawah Permukaan Electrical Submersible Pump


a. Motor listrik
Motor listrik yang digunakan adalah motor induk tiga fase, dua katup,
squirrel cage. Fungsi dari motor ini adalah untuk menggerakkan shaft pompa
sehingga impeller-impeller-nya berputar. Putaran motor listrik umumnya dirancang
dengan kecepatan 3500 putaran per menit (RPM), dengan frekuensi 60 Hz. Motor
diisi dengan minyak yang tahan terhadap tegangan listrik yang tinggi. Motor
didesain untuk tegangan yang dapat dipakai antara 230 sampai 5000 volt, dengan
satuan listrik 12 sampai 125 Ampere. Penambahan daya HP dari motor dilakukan
dengan merangkai panjang motornya.
Rangkaian motor ESP (bertingkat) dapat mencapai 750 HP dengan panjang
sekitar 90 ft. selain ukuran motor, yang perlu diperhatikan adalah horse power dan
seri motor. Jenis seri menunjukkan diameter motor yang harus sesuai dengan
diameter dalam casing sumur.

Gambar 3.13.
Motor Pompa ESP
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
118

b. Kabel
Kabel dipakai sebagai sarana penghantar daya listrik dari permukaan ke
motor yang letaknya di dalam sumur. Kabel selain tahan temperatur dan tekanan
fluida, serta kedap terhadap resapan liquid dari sumur. Untuk itu kabel harus
memiliki bagian seperti :
- Konduktor
- Isolasi
- Sarung
Ada dua jenis kabel yang biasa dipakai round cable atau flat cable. Jenis –
jenis kabel dapat dilihat pada Gambar 3.14. Biasanya kabel jenis round mempunyai
usia pakai lebih lama dari pada jenis flat, tetapi memerlukan ruang penempatan
yang lebih besar. Bila digunakan flat kabel seluruhnya maka kehilangan tenaga
listrik akan bertambah 8 %. Juga flat kabel mudah rusak dalam pemasangannya.
Kabel listrik terdiri dari tiga kabel yang diisolir satu sama lain dengan
pembalut dari karpet. Ketiganya terbungkus oleh suatu pelindung yang terbuat dari
baja penampang kawat tembaga berubah-ubah fungsi tegangan arus dari motor dan
biasanya dipilih antara 16,25 atau 35 mm2. Hubungan antara tubing dan kabel
dilakukan dengan pertolongan kabel clamp.

Gambar 3.14.
Kabel
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
119

c. Seal Section (Protector)


Protector diletakkan di antara motor dan pompa. Fungsinya :
 Tempat menyimpan bahan pelumas untuk pompa.
 Tempat menyimpan minyak untuk pompa.
 Menjaga tekanan dalam pompa dan motor agar selalu lebih besar dari tekanan
luar pompa.
 Mencegah masuknya cairan ke dalam motor.
Protector terdiri dari dua kamar yaitu kamar atas dan kamar bawah.
Keduanya dipisahkan oleh piston. Tekanan hidrostatis cairan dalam pompa sumur
masuk ke dalam protector melalui orifice dan bekerja pada piston. Karena tegangan
di dalam kamar atas, tekanan dijaga agar lebih besar tekanan di luar pompa. Di
dalam kamar atas dimasukkan minyak pelumas pompa, sedangkan di dalam kamar
bawah permukaan dimasukkan minyak motor.

Gambar 3.15.
Seal Section atau Protector
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
120

d. Intake Section (Separator Gas)


Gas separator dipasang antara bagian protector dan pompa. Gas yang akan
dipisahkan dari cairannya dibuang ke annulus. Pada prinsipnya bekerja secara
gravitasi atau sentrifugal, dimana jika terjadi putaran, maka gas akan mengalir di
tengah dan dikirim ke annulus. Sedangkan minyak akan terlempar ke pinggir oleh
gaya sentrifugal dan dialirkan ke inlet pompa.
Pada sumur-sumur yang tidak banyak mengandung gas, cukup
menggunakan pump intake saja. Tetapi pada sumur-sumur GOR tinggi, gas
separator dapat disambungkan pada pompa guna memberikan effisiensi pompa.
Dalam hal ini terdapat 3 jenis gas separator yang sering dipakai antara lain :
 Standar intake, untuk GLR 10 – 15 %.
 Rotary gas separator, untuk GLR 90 %.
 Static gas separator, untuk GLR 20 %.

Gambar 3.16.
Gas Separator atau Intake Section
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
121

e. Pompa Sentrifugal
Pompa submersible adalah tipe pompa centrifugal multi tingkat. Setiap
tingkat terdiri dari bagian yang bergerak yaitu impeller dan bagian yang stasioner
(tidak bergerak) yaitu diffuser. Tipe dan ukuran dari tiap tingkat menentukan
volume dari fluida yang dapat diproduksi. Jumlah tingkatnya menentukan jumlah
head yang dihasilkan, apabila dikalikan dengan daya (HP) pert ingkat dan spesiic
gravity-nya, maka jumlah HP motor yang dibutuhkan dapat ditentukan.
Pompa tandem adalah beberapa single pump (pompa tunggal) yang disusun
seri baik secara hydraulic untuk memberikan total head dari pompa yang
dibutuhkan untuk keperluan tertentu. Komponen ini, seperti halnya poros pompa
dibuat khusus yang tahan korosi, scale, temperatur tinggi, pasir dan jumlah tingakat
yang digunakan untuk ukuran tertentu tergantung pada head pengangkatan.
f. Motor Lead Cable
Motor lead cable disebut juga motor lead extension dan berbentuk flat
(pipih). Panjangnya dibuat sepanjang pothead pada motor sampai dengan bagian
atas dari pompanya, yang kemudian disambungkan dengan power kabelnya.
Seal section, gas separator dan pompa dengan flat cable ini dimasukkan agar
total diameter luar rangkaian pompa dan motor lead cable tidak terlalu besar untuk
dimasukkan sumur, terutama pada sumur yang menggunakan liner yang ukurannya
lebih besar dari diameter casing. Motor lead cable diberi pelindung (cable guards)
untuk mencagah kerusakan pada waktu dimasukkan ke dalam sumur.

3.2.2. Analisa Peralatan Electrical Submersible Pump


Komponen-komponen peralatan electrical submersible pump merupakan suatu
gabungan yang komplek dan menyatu, dengan kata lain saling tergantung satu
dengan yang lainnya. Oleh karena itu penting dilakukannya analisa peralatan
pompa untuk menjaga effisiensi pompa mengangkat fluida naik ke permukaan.

3.2.2.1. Pemilihan Jenis Dan Ukuran Pompa


Tipe pompa diklasifikasikan atas : ukuran casing minimum dan laju
produksi yang dianjurkan. Pemilihan tipe pompa harus didasarkan pada besar laju
122

produksi yang diharapkan, pada head pengangkatan yang sesuai. Ukuran casing
juga diperhitungkan di dalam pompa, sehingga diusahakan seekonomis mungkin,
yaitu dengan memilih seri yang tertinggi dan mempunyai diameter terbesar selama
ukuran casing memungkinkan.
Dalam memilih tipe pompa yang akan dipergunakan adalah pertimbangan
laju produksi yaitu dalam range optimum, sehingga dicapai efisiensi yang tinggi.
Jika dari hasil pemilihan pompa berdasarkan kapasitas dan ukuran casing terdapat
dua tipe yang memenuhi syarat, maka pertimbangan lainnya untuk memilih adalah
besarnya horsepower yang dibutuhkan dipilih terkecil dan perbedaan harga tipe-
tipe pompa tersebut, dipilih yang termurah.

3.2.2.2. Penentuan Jumlah Tingkat Pompa


Stage pompa ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut :
TDH
N= …………………………………………………………...(3-75)
GfH
Keterangan :
N = jumlah tingkat, stage
Gf = gradien fluida, psi/ft
H = head, ft/stage
TDH = Total Dynamic Head,ft
3.2.2.3. Pemilihan Motor
Pemilihan ukuran motor yang dibutuhkan berdasarkan pada :
- Tegangan listrik yang tersedia
- Ukuran casing sumur
- Besarnya horse power yang dibutuhkan
Ukuran motor juga dibatasi oleh ukuran minimum casing yang dipakai
seperti halnya pompa. Untuk seri motor yang dipilih disesuaikan dengan seri pompa
yang telah dipilih. Besarnya horse power motor dihitung dengan persamaan :
HP = SGxNxHp…………………………………………….………………(3-76)
Keterangan :
SG = Spesific gravity fluida
123

Hp = Horse power motor untuk tiap stage, HP/stage


Apabila besarnya hp yang dibutuhkan motor dari hasil perhitungan tidak
sama dengan hp yang tersedia maka dipilih motor yang dimiliki hp yang lebih besar
dan yang paling mendekati.

3.2.2.4. Pemilihan Kabel Listrik


Untuk pemilihan kabel listrik ditentukan oleh besarnya arus listrik yang
mengalir, penurunan voltage serta clearance antara tubing dan colar dengan casing.
Dianjurkan memilih kabel yang mempunyai penurunan voltage di bawah atau
sekitar 30 volt/1000 ft. Panjang kabel ditentukan berdasarkan kedalaman setting
depth pump ditambah 100 ft untuk keperluan di permukaan.

3.2.2.5. Pemilihan Ukuran Transformer Dan Switchboard


Di dalam menentukan switchboard yang akan dipakai perlu diketahui
terlebih dahulu berapa besarnya voltage yang akan bekerja pada switchboard
tersebut. Besarnya tegangan yang bekerja pada switchboard dapat dihitung dari
persamaan berikut :
Vs = Vm + Vc……………………………………………..………..(3-77)
Vc = (L/100) x Voltage Drop………………….……………………(3-78)
Keterangan :
Vs = Surface voltage, volt
Vm= Motor voltage, volt
Vc = Correction voltage, volt
L = Panjang kabel, ft
Voltage Drop = Kehilangan voltage, volt/1000 ft
Untuk menentukan besarnya tegangan transformer yang diperlukan dihitung
dengan persamaan berikut :
Vsx Im x1,73
T= ……………………...…………………………….(3-79)
1000
Keterangan :
T = Ukuran transformer, KVA
124

Vs = Surface Voltage, volt


Im = Ampere motor, ampere

3.2.3. Perencanaan Electrical Submersible Pump


Merencanakan suatu pemilihan unit ESP untuk suatu sumur adalah
merupakan hal yang sangat penting karena akan menentukan efisinensi pompa
terhadap laju alir fluida. Sebelum memilih jenis ESP yang akan dipasang untuk
suatu sumur terlebih dahulu harus kita tentukan kemampuan produksi dari sumur
tersebut dengan tes produksi. Sesudah itu barulah kita dapat melakukan
perhitungan-perhitungan yang cukup panjang untuk menentukan jenis pompa yang
cocok dipasang pada sumur tesebut. Dalam perhitungan perencanaan ESP ini perlu
ditunjang adanya data-data lengkap dan akurat agar pemilihan pompanya bisa
efisien dan ekonomis. Berikut ini adalah urutan data-data yang diperlukan untuk
perencanaan ESP.
Metode yang digunakan adalah metode analitis dengan bantuan gambar dan
table sesuai merek dagang terpilih. Persyaratan perencanaan ini berlaku untuk
lubang sumur tegak (vertikal).
Langkah kerja :
1. Data yang diperlukan (data sumur, reservoir, dan fluida). Unit ESP dibuat
dengan bermacam-macam ukuran diameter housing-nya (OD). Ukuran casing
pada umumnya dinyatakan dari diameter luarnya (OD) sedangkan berat casing
akan bisa menentukan diameter dalamnya (ID) yang merupakan tempat untuk
dilewati rangkaian ESP. jadi dengan mengetahui ID casing akan bisa
menentukan serie (OD) ESP yang akan dipasang.
2. Hitung berat jenis rata-rata dan gradien tekanan fluida produksi menurut :
1xSGoil  WORxSGwater
SGrata-rata = …………………….…..……(3-80)
1  WOR
Gradien fluida (Gf) = 0,433 x SG rata-rata
Bila mengandung gas kurangi Gf sekitar 10%
125

3. Tentukan kedudukan pompa (PSD) di atas lubang perforasi teratas. Jarak antara
motor dan lubang perforasi teratas kurang lebih 50 ft. Hal ini dilakukan untuk
mencegah abrasi pada peralatan pompa.
4. Tentukan laju produksi diinginkan dengan cara memilih kemudian mencoba
harga Pwf untuk menghitung harga laju total menurut persamaan :
qTotal = (Ps-Pwf) x PI………………………………..…………………(3-81)
Hitung laju yang diinginkan (qo) menurut persamaan :
1
qo = xqtot …………………………………..……….……....(3-82)
1  WOR
Apabila harga tersebut belum sesuai, ulangi memilih harga Pwf dengan coba-
coba.
5. Hitung Pump Intake Pressure (PIP) menurut persamaan :
PIP = Pwf – Gf x (Mid perfo – PSD)……………………….…………… (3-83)
Harga PIP harus lebih besar dari Pb (tekanan jenuh), bila tidak terpenuhi ulangi
langkah 4 dan 5 dengan laju produksi yang lebih rendah.
6. Hitung harga HD menurut persamaan :
PIPx 2,31 ft / psi
HD = PSD -
SG
7. Tentukan kehilangan tekanan sepanjang tubing (Hf) dengan menggunakan
Gambar 3.17.
8. Hitung Total Dynamik Head (TDH) menurut persamaan :
THP
TDH = + HD +H………………………….……………………..(3-84)
Gf
9. Pilih jenis dan ukuran dari katalog perusahaan pompa bersangkutan dan tabel
III-6. yang menunjukkan effisiensi maksimum untuk laju produksi yang
diperoleh di langkah 4. baca harga head capacity (HC) dan daya kuda motor
(HP motor) pada laju produksi tersebut.
10. Hitung jumlah stages atau tingkat
TDH
Jumlah stages = ……………………………………....………….(3-85)
HC
11. Hitung daya kuda yang diperlukan :
126

HP = HP motor x jumlah stages………………………..……………….(3-86)


12. Tentukan jenis motor pada tabel yang memenuhi HP tersebut.(pada Tabel III-
6).
13. Untuk masing-masing jenis motor hitung kecepatan aliran di annulus motor
0,0119 xqtotal
FV =
( IDca sin g ) 2  (ODmotor) 2
Jenis motor dan OD motor terkecil yang memberikan FV > 1 ft/dtk adalah
pasangan yang harus dipilih.
14. Baca harga arus listrik (A) dan tegangan listrik (Vmotor) yang dibutuhkan untuk
jenis motor yang bersangkutan.
15. Dari harga arus listrik tersebut pilih jenis kabel pada gambar 3.18 (dianjurkan
memilih jenis kabel yang mempunyai kehilangan tegangan di bawah atau
sekitar 30 volt tiap 1000 ft.
V kabel = (Mid Perfo- 50) x V/ 1000 ft………………………………(3-87)
16. Memilih transformator dan switchboard
a. Hitung tegangan yang diperlukan motor dan kabel
(Vtotal) = V motor + V kabel
b. Hitung KVA = 1,73 x Vtot xA/1000
c. Dari tabel tentukan transformator yang memenuhi hasil perhitungan 16 b
karena aliran 3 fasa maka transformator yang dipilih adalah sepertiga dari
hasil hitungan 16.b.
d. Dari tabel tentukan switcboard yang sesuai
17. Lakukan perhitungan total tegangan pada waktu start sebagai berikut :
a. Kebutuhan tegangan untuk start = 20,35 x voltage rating
b. Kehilangan tegangan selama start = 3 x kehilangan tegangan biasa
18. Bandingkan apakah total tegangan pada waktu start tidak melebihi tegangan
yang dikeluarkan oleh switcboard. Apabila tidak melebihi, berarti perencanaan
telah betul, apabila melebihi ulangi langkah 16.
127

Gambar 3.17.
Chart Kehilangan Tekanan Dalam Pipa
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
128

Tabel III-6.
Jenis Motor ESP
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
129

Gambar 3.18.
Chart Kehilangan Tegangan
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

3.2.4. Optimasi Electrical Submersible Pump


Optimasi Electric Submergible Pump (ESP) dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui perbandingan antara produktivitas formasi dengan kapasitas pompa
yang terpasang. Sebelumnya perlu diketahui terlebih dulu prosedur untuk
130

mengetahui effisiensi volumetris dari ESP terpasang pada suatu sumur, yakni
sebagai berikut :
a. Penentuan Specific Gravity Fluida
1. SG Campuran (SGf) :WCx Gair + (1-WC) x SGminyak
2. Gradien Fluida (Gf) : SGf x 0,433 psi / ft
b. Penentuan Pump Intake Pressure (PIP)
1. Perbedaan Kedalaman = Middle Perforation - PSD (TVD)
2. Perbedaan Tekanan = Perbedaan kedalaman x Gf
3. Pump Intake Pressure = Pwf – Perbedaan Tekanan .
c. Kedalaman Total Dynamic Head (TDH)
1. Menentukan Fluid Over Pump (FOP)
PIPx 2,31 ft / psi
FOP 
SGf
2. Menentukan Vertical Lift (HD)
Vertical Lift (HD) = Pump Setting Depth (TVD) – FOP
3. Menentukan Tubing Friction Loss (Hf)
Dalam menentukan besarnya harga Friction Loss (F) dapat
digunakan Grafik Friction Loss seperti yang ditunjukkan pada
gambar 3.19. atau dapat juga menggunakan persamaan berikut;
1,85 1,85
 100   qt 
2,083   
Friction Loss (F) =  C   34.3 
ID 4,8655
Kemudian menghitung Tubing Friction Loss (Hf).
Tubing Friction Loss (Hf) = F x PSD (MD)
4. Menentukan Tubing Head (HT)
Tubing Pr essurex2,31 ft / psi
Tubing Head (HT) =
SGf
5. Menentukan Total Dynamic Head (TDH)
Total Dynamic Head (TDH) = HD + HF + HT
131

d. Penentuan Effisiensi Volumetris (% Ev)


1. Menentukan Head per Stage, (ft/stage) dengan persamaan ;
TDH
Head per Stage, (ft/stage) =
Stages
2. Berdasarkan Head per Stage tersebut kemudian dari Grafik Pump
Performance Curve seperti yang ditunjukkan pada Gambar
3.20. dan 3.21. untuk tipe pompa terpasang diperoleh harga
produksi (qtheoritical) dalam Bpd.
3. Menentukan Effisiensi Volumetris (% Ev)
qactual
% Ev = x100%
qtheoritical

Gambar 3.19.
Grafik Friction Loss William-Hazen
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
132

Gambar 3.20.
Recommended Operating Range Pump Performance Curve untuk A-30 50Hz
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

Perencanaan Optimasi Electical Submersible Pump


Optimasi dilakukan dengan pengaturan dan penyesuaian kembali tipe
pompa, jumlah stage, motor dan lain-lain berdasarkan data produksi yang
diinginkan sesuai dengan produkitivitas formasi dalam status periode tertentu,
sehingga diperoleh laju produksi (QL) yang optimum. Dasar perencanaan optimasi
suatu unit pompa electical submersible pump dibagi menjadi tiga metode. Pertama
dilakukan perencanaan ulang terhadap electical submersible pump untuk, Pump
Setting Depth (PSD) berubah dengan Tipe dan Stage Pompa tetap. Yang kedua,
dengan PSD tetap namun Tipe dan Stage Pompa berubah dan yang ketiga baik
Pump Setting Depth, Tipe dan Stage pompa berubah semuanya.
a. Pump Setting Depth Berubah dengan Tipe dan Stage Pompa Tetap
Optimasi Pump Setting Depth (PSD) dilakukan dengan mengubah
kedalaman tersebut dari PSD minimum sampai dengan PSD maksimum, dimana
pada evaluasi tersebut menggunakan tipe dan stage yang telah terpasang.
133

Prosedur penentuan laju produksi (qL) optimum pada berbagai variasi PSD
dengan tipe dan stage pompa tetap :
1. Menentukan PSD minimum dan PSD maksimum dengan menggunakan
Persamaan
Pc
PSDmin = WFL 
Gf
Pc
PSDmaks = Dmidperforasi 
Gf
2. Menentukan PSD observasi (PSDmin < PSDobs < PSDmax)
3. Menentukan Pwf berdasarkan q asumsi dan menentukan Total Dynamic
Head pada setiap kedalaman dan q assumsi.
4. Membaca harga Head Capacity dan Pump Performance Curve
berdasarkan harga laju produksi assumsi dan menghitung Head.
5. Mengulangi langkah (2) sampai (5) untuk harga PSD untuk masing-
masing assumsi.
Berdasarkan langkah-langkah di atas, maka dapat mengubah kedalaman
pompa sumur. Dari hasil perhitungan, didapatkan hasil yang jika ditunjukkan
dengan grafik adalah sebagai berikut.

Gambar 3.21.
Grafik Hasil Perencanaan PSD Berubah dengan Tipe dan Stage Tetap.
134

b. Pump Setting Depth Tetap dengan Tipe dan Stage Pompa Berubah
Merupakan optimasi dengan mengubah-ubah tipe dan jumlah tingkat
(stage) pompa pada Pump Setting Depth tetap. Pemilihan pompa dibatasi oleh
pemilihan Casing (Check Clearances) dan laju produksi yang diinginkan dimana
laju tersebut seharusnya masih berada dalam kapasitas laju produksi yang
direkomendasikan. Untuk meningkatkan effisiensi pengangkatan, dilakukan
evaluasi jumlah tingkat pompa.
Prosedur untuk membuat kurva intake yang digunakan untuk mendapatkan
jumlah tingkat (stage) pompa yang paling tepat, yaitu :
1. Memilih pompa yang sesuai dengan ukuran casing dan laju produksi
yang diinginkan.
2. Menghitung ρfsc dan γfsc

ρfsc = 350WC x γwsc + 350 (1-WC) γosc

γfsc = (ρfsc/350)
3. Mengasumsikan laju produksi bervariasi, kemudian menentukan
head/stage dari Pump Performance Curve dan menghitung tekanan
intake pompa (P3), setelah mengetahui harga tekanan discharge
Pompa (P2) masing-masing maka dilakukan perhitungan laju
produksi.
4. Memplot laju produksi terhadap tekanan intake dari tiap stage
asumsi pada kurva IPR.
5. Membaca laju produksi sebagai hasil perpotongan dari kurva IPR
dan tekanan Intake.
Plot grafik IPR yang telah dibuat, diplot dengan tekanan intake untuk
masing-masing stage asumsi menunjukkan bahwa, dengan semakin banyak
tingkatan (stage) pompa yang dipakai akan semakin besar pula kemampuan untuk
mengangkat fluida. Seperti yang ditunjukkan Gambar 3.23.
135

Gambar 3.22.
Kurva IPR dengan TIP Tubing 2,441 in

Gambar 3.23.
Grafik Hasil Perencanaan PSD Tetap denganTipe dan Stage Pompa Berubah

c. Pump Setting Depth Berubah dengan Tipe dan Stage Pompa Berubah
Dalam perencanaan electical submersible pump (ESP) untuk PSD berubah
dengan Tipe dan Stage pompa juga berubah, langkah perhitungannya sama seperti
perhitungan pada dua bab sebelumnya. Langkah-langkahnya sebagai berikut :
1. Mengasumsikan PSDobs yang berada dalam range PSDmin dan PSDmaks.
136

2. Memilih tipe pompa yang sesuai dengan produktivitas formasinya


dengan langkah perhitungan yang sama seperti pada bab sebelumnya.
3. Menentukan Total Dynamic Head (TDH) dan Head Pompa pada PSDobs
dengan mengasumsikan beberapa harga laju produksi dan jumlah
stages (SPS stok).
4. Mengulangi langkah 1 sampai 3 untuk PSD asumsi lainnya.
5. Memilih pompa PSD pada asumsi yang menghasilkan laju produksi
yang berada dalam batas (range) pompa yang direkomendasikan dan
sesuai dengan produktivitas formasi.
Secara keseluruhan prosedur perhitungan optimasi dengan merubah PSD
sekaligus tipe dan stage pompa, merupakan kombinasi antara perencanaan PSD
tetap, tipe dan stage pompa berubah dengan PSD berubah, tipe dan stage tetap.
Seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.24 maka harga laju produksi yang
memberikan harga lebih besar dengan PSD yang semakin dalam, dan menggunakan
stage pompa yang semakin besar.

Gambar 3.24.
Grafik Hasil Perencanaan Evaluasi ESP dengan PSD Berubah Tipe dan
Stage Pompa Berubah.
137

3.3. Jet Pump


Jet pump adalah perkembangan dari hydraulic pump unit (HPU). Jet pump
telah dikembangkan sejak tahun 1930. Jet pump mulai popular pada tahun 1970 di
industri minyak dan sangat populer digunakan di perumahan untuk memompa air.
Jet pump cukup baik untuk memproduksi minyak dengan laju cukup besar, karena
biaya operasi rendah, tidak mudah rusak karena tidak ada bagian metal yang
bergerak, toleran terhadap pasir dan sedikit gas (gas tersebut dapat membantu
mengangkat minyak ke atas bila GOR 400-500 SCF/STB) mengimbangi
kehilangan efisiensi pompanya. Laju produksinya 50-15000 B/D. Daya kuda triplex
6-275 hp dan kedalaman pemasangan 15000 ft.
Kelemahan dari jet pump antara lain :
1. Membutuhkan daya kuda relatif besar dan efisiensinya rendah, hanya disekitar
25-35% maksimum.
2. Untuk menghindari cavitasi, dibutuhkan penenggelaman pompa cukup dalam
dan tekanan isap (suction intake, Pps) yang besar
3. Harga pemasangannya cukup mahal.

Prinsip Kerja Jet Pump


Prinsip kerja pompa jet adalah berdasarkan transfer momentum antara dua
aliran power fluid bertekanan tinggi yang dialirkan melalui suatu nozel dan energi
potensial (tekanan) diubah ke energi kinetis dalam bentuk kecepatan tinggi atau jet.
Fluida produksi bercampur dengan power fluid di pipa pencampuran yang disebut
throat. Dengan bercampurnya power fluid dengan fluida produksi maka momentum
dipindahkan ke fluida produksi sehingga energinya akan meningkat. Dengan
dilakukannya pencampuran tersebut (pipa melebar dengan sudut sekitar 6 o) maka
kecepatan fluida (terutama power fluid) akan berkurang dan sebagian energinya
diubah kembali ke energi potensial (tekanan) yang cukup untuk mengirim
campuran (power fluid balik dan produksi) tersebut ke permukaan (Gambar 3.25.).
138

Gambar 3.25.
Casing Tipe Jet Pump
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

Power Fluid
Power fluid adalah fluida yang digunakan sebagai media penghantar untuk
mentransfer energi yang diberikan dari permukaan ke fluida sumur. Energi
diberikan pada fluida ini adalah dengan memompakan fluida ke dalam sumur
melalui tubing dengan tekanan injeksi tertentu.
Kualitas power fluid, baik minyak maupun air yaitu viskositas dan terutama
jumlah partikel padat merupakan faktor yang sangat mempengaruhi umur pompa.
Untuk itu power fluid harus bersih dari partikel-partikel dan dapat berfungsi sebagai
pelumas. Partikel padat yang diijinkan adalah 10-15 ppm untuk minyak dengan
berat jenis 30-40 °API, ukuran partikel tidak lebih dari 15 mikron dengan kadar
garam maksimum sebesar 12 lb/1000 bbl minyak dari lapangan yang bersangkutan
harus di proses dan dibersihkan agar dapat digunakan sebagai power fluid.
Pemilihan minyak atau air sebagai fluida kerja tergantung pada beberapa faktor,
yaitu :
 Air lebih aman terhadap bahaya kebakaran dan polusi.
139

 Pompa untuk air memerlukan pelumas dan penyekat pada toraknya,


sedangkan untuk minyak tidak.
 Biaya pemeliharaan dan operasi pompa minyak lebih kecil.
 Bila digunakan air sebagai fluida kerja maka tekanan kerja pompa lebih
besar karena air lebih berat daripada minyak.
 Bila fluida formasi termasuk minyak berat, fluida kerja miyak lebih mudah
bercampur dan mengalir ke permukaan.
Untuk operasi Jet Pump, tersedia 2 jenis sistem power fluid, yaitu:
b. CPF (close power fluid), di mana power fluid yang mengalir kembali ke
permukaan terpisah dari fluida produksi. Sistim ini hanya bisa dilakukan
untuk pompa piston hidrolik (Gambar 3.26.)
c. OPF (open power fluid), di mana power fluid bercampur dengan fluida
produksi dan sebagian dari campuran ini akan diproses dan dibersihkan
dan sebagian kembali ke tangki penyimpan power fluid untuk diinjeksikan
kembali ke sumur-sumur. Sistem OPF dapat untuk pompa piston hidrolik
maupun jet. (Gambar 3.27.)

Gambar 3.26.
Fasilitas Permukaan Pada Sistem Closed Power Fluid
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
140

Gambar 3.27.
Fasilitas Permukaan Pada Sistem Open Power Fluid
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

3.3.1. Peralatan Jet Pump


Peralatan jet pump dibagi menjadi dua macam, yaitu peralatan di atas
permukaan dan peralatan di bawah permukaan. Peralatan-peralatan tersebut saling
berhubungan selama kelancaran proses jet pump.

3.3.1.1. Peralatan Di Atas Permukaan Jet Pump


Pada dasarnya fasilitas peralatan permukaan dari jet pump sama dengan
peralatan permukaan umumnya. Separator, heater treater, manifold adalah contoh
peralatan permukaan yang umum dipermukaan, tetapi didalam jet pump dikenal
juga peralatan khusus yang digunakan, yakni peralatan yang jarang dijumpai pada
peralatan permukaan umumnya.
1. Gas Boot
Peralatan ini berfungsi untuk melepaskan fluida dari molekul-molekul gas
yang terkandung didalamnya. Mekanisme kerja dari peralatan ini dengan cara
gravity setling.
141

2. Power Fluid Tank


Tank ini berfungsi sebagai tempat menampung power fluid. Pencampuran
power fluid dengan fluida produksi dipisahkan dahulu di separator, treater, dan gas
boot. Hasil pemisahan menghasilkan fluida produksi yang ditampung dalam
production tank dan power fluid yang ditampung dalam power fluid tank. Power
fluid disimpan sebagai stock untuk diinjeksikan kembali ke bawah permukaan.
3. Surface Pump
Surface pump didesain khusus untuk memompakan power fluid ke bawah
permukaan. Peralatan surface pump ini juga harus dilengkapi oleh relief valve,
pressure gauge, dan safety switches untuk mengontrol tekanan dipompa. Discharge
line dari relief valve dan back pressure control valve seharusnya tidak
disambungkan secara langsung dengan suction line pompa, tetapi disambungkan
dengan separate line yang mengalir kembali ke tank. Hal ini dikarenakan ketika
minyak mengalir dari tekanan tinggi ke tekanan rendah, gas akan lepas dari minyak
(solution). Jika gas masuk ke pompa, gas ini akan mengurangi efisiensi volumetrik
dari pompa. (Gambar 3.28.)

Gambar 3.28.
Triplex Pump
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
142

3.3.1.2. Peralatan Di Bawah Permukaan Jet Pump


1. Nozzle
Nozzle berfungsi untuk menyemprotkan power fluid dari permukaan ke
throat. Tenaga untuk menyemprotkan ini berasal dari tekanan injeksi pompa yang
digunakan dipermukaan. Pada nozzle yang paling kecil (diameter = 0,06869 inch)
dapat mengalir power fluid dengan laju alir sekitar 200 sampai 300 bpd, dan pada
nozzle yang paling besar (diameter = 0,57220) dapat mengalir power fluid dengan
laju alir sekitar 16000 sampai 18000 bpd.
1. Throat
Throat berfungsi sebagai pipa tempat bercampurnya power fluid yang
disemprotkan oleh nozzle dan fluida produksi yang didorong oleh tekanan dari dasar
sumur. Mekanisme pencampuran di throat ini dengan cara spread (menyebar)
power fluid ke fluida produksi.

Throat

Nozzle

Gambar 3.29.
Throat Dan Nozzle Pada Jet Pump
(SPE 59021., ”Test of Hydraulic Jet Pump in The Balam 91 Well”, 2000)

2. Diffuser
Diffuser di jet pump berfungsi sebagai tempat fluida campuran mengalir ke
combined fluid return yang selanjutnya menuju kepermukaan. Diameter diffuser
lebih besar dan throat.
143

3.3.2. Analisa Peralatan Jet Pump


3.3.2.1. Analisa Ukuran Nozzle Dan Throat
Ukuran nozzle dan throat mempengaruhi laju aliran sedangkan perbandingan
luas nozzle dan throat mempengaruhi head yang terjadi selain juga laju aliran yang
berhubungan dengan head itu seperti juga pada ESP. Makin besar perbandingan
nozzle terhadap throat maka makin besar pula head yang bisa didapat, karena laju
produksi yang didapat berkurang dan berarti bahwa makin besar momentum yang
bisa diserap oleh produksi tadi dan ini sesuai dengan pompa yang relatif lebih dalam
dengan produksi kecil. Karena ukuran throat dan nozzle bermacam-macam, maka
diperlukan grafik ulah (performance curves) pompa jet dalam jumlah yang banyak.
Untuk mengatasi hal ini Gosline dan O'Brien telah menurunkan beberapa
persamaan untuk kelakuan jet pump, yang selanjutnya dikembangkan oleh
Cunningham. Dengan persamaan-persamaan ini, dan dengan mengetahui geometri
pompanya, maka kelakuan jet pump tersebut dapat ditentukan. Persamaan-
persamaan yang diturunkan tanpa dimensi, dapat digunakan untuk setiap ukuran
pompa. Oleh karena selama operasi harga Reynold Number cukup besar, maka
pengaruh viskositas dapat diabaikan.
144

Tabel III-7.
Luas Dan Diameter Nozzel Dan Throat
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

Tabel III-8.
Nozzle Throat National untuk Pemilihan Pompa
(Pedoman Pertamina, “Teknik Produksi” Jakarta, 2003)
NATIONAL Nozzle Throat R
Nozzle Throat N N-1 0,483 X
# Area # Area N N 0,380 A
1 0,0024 1 0,0064 N N+1 0,299 B
2 0,0031 2 0,0081 N N+2 0,235 C
3 0,0039 3 0,0104 N N+3 0,184 D
4 0,0050 4 0,0131 N N+4 0,145 E
5 0,0064 5 0,0167
6 0,0081 6 0,0212
7 0,0103 7 0,0271
8 0,0131 8 0,0346
9 0,0167 9 0,0441
145

Tabel III-9.
Pemilihan Kombinasi Pompa National
(Pedoman Pertamina, “Teknik Produksi” Jakarta, 2003)
NATIONAL
Throat annulus area (in2)
Nozzle
X A B C D E
1 0,0040 0,0057 0,0080 0,0108 0,0144
2 0,0033 0,0050 0,0073 0,0101 0,0137 0,0183
3 0,0042 0,0065 0,0093 0,0129 0,0175 0,0233
4 0,0054 0,0082 0,0118 0,0164 0,0222 0,0296
5 0,0068 0,0104 0,0150 0,0208 0,0282 0,0277
6 0,0087 0,0133 0,0191 0,0265 0,0360 0,0481
7 0,0111 0,0169 0,0243 0,0338 0,0459 0,0612
8 0,0141 0,0215 0,0310 0,0431 0,0584 0,0779
9 0,0179 0,0274 0,0395 0,0543 0,0743 0,0992
10 0,0229 0,0350 0,0503 0,0698 0,0947 0,1264

3.3.2.2. Cavitation
Faktor lain yang harus diperhatikan pula adalah kavitasi (cavitation), yaitu
keadaan di mana kecepatan fluida yang masuk terlalu cepat, sehingga tekanan turun
di bawah tekanan titik gelembung (bubble point pressure), sehingga gelembung gas
yang keluar dari larutan akan mengakibatkan getaran (shock wave) yang dapat
mengikis dinding throat. Kerusakan pompa dapat terjadi dalam waktu relatif
singkat (beberapa jam atau beberapa hari saja setelah kejadian tersebut).

3.3.3. Perencanaan Jet Pump


1. Siapkan data pendukung : Laju aliran yang diharapkan (qs), Pump intake
pressure (PIP), Gas-Oil Ratio (GOR), Water cut (WC), Gradien Pump intake
fluid (Gs), Panjang tubing (L), Viskositas (μd, μo, μw), Gradien fluida (Gn, Go,
Gd, Gw), Tekanan injeksi power fluid (Pinj), Pump setting Depth (D).
2. Dari data laju produksi qs, tekanan isap PIP dan GOR, hitung luas anulus
minimum Asm agar tidak terjadi kavitasi.



Asm  q s  1
691

Gs
  1  WC GOR
PIP 
  ....................(3-88)
24650PIP  

Keterangan :
Asm = Luas Annulus minimum, in2
146

qs = Laju alir yang diharapkan, bpd


PIP = Pump Intake Pressure, psi
Gs = Pump Intake Gradient, psi/ft
WC = Water cut, fraksi
GOR = Gas Oil Ratio, scf/bbl
3. Dari Tabel "Nozzle and Throat Annulus Area" Tabel III-9 pilih suatu kombinasi
nozzle dan throat yang luas anulusnya lebih besar, yang terdekat dengan harga
Asm.
4. Anggap tekanan kerja pompa di atas permukaan Pinj, yang minimum besarnya
antara 2000 - 4000 psi.
5. Hitung tekanan di nozzle (Pn)
Pn  Pinj  Gn D  Pf D ......................................................................(3-89)

Keterangan :
Pn = Tekanan Nozzle, psi
Pinj = Tekanan injeksi power fluid, psi
Gn = Gradien Power Fluid, psi/ft
D = Pump Setting Depth, ft
Pf = Head Pressure Loss, psi
6. Hitung laju power fluid (qn) menggunakan persamaan (3-90).

Pn  PIP
qn  832 An ..............................................................................(3-90)
Gn

Keterangan :
qn = laju alir power fluid, bpd
An = Luas area nozzle, in2
Pn = Tekanan nozzle, psi
PIP = Pump intake pressure, psi
Gn = Gradien power fluid, psi/ft
7. Hitung laju alir fluida campuran (discharge flow rate) yang kembali ke
permukaan (qd), dengan menggunakan persamaan berikut
147

q d  q n  q s ..............................................................................................(3-
91)
Keterangan :
qd = discharge flow rate, bpd
qn = laju alir power fluid, bpd
qs = laju alir yang diharapkan, bpd
8. Hitung gradien suction pompa (gradien fluida produksi)
Gs  Gw  WC   1  WC Go ...................................................................(3-92)
Keterangan :
Gs = Gradien fluida produksi, psi/ft
Gw = Gradien air, psi/ft
WC = water cut, fraksi
Go = gradient minyak, psi/ft
9. Hitung gradien fluida campuran yang kembali ke permukaan
Gd  Gs  qs  Gn  qn  / qd ......................................................................(3-93)
Keterangan :
Gd = Gradien fluida campuran (discharge gradient), psi/ft
Gs = Gradien fluida produksi, psi/ft
qs = laju alir yang diharapkan, bpd
Gn = Gradien power fluid, psi/ft
qn = laju alir power fluid, bpd
qd = discharge flow rate, bpd
10. Hitung persen kadar air fluida campuran (WCD).
WCd  qs  WC / qd ..................................................................................(3-94)
Apabila power fluid adalah air, maka
WCd  qn  qs  WC  / qd ........................................................................(3-95)
Keterangan :
WCd = water cut discharge, fraksi
11. Hitung GLR (gas liquid ratio, perbandingan gas-cairan) fluida yang kembali :
148

GLR  qs 1 WC GOR / qd .......................................................................(3-96)


Keterangan :
GLR = Gas liquid ratio, scf/bbl
12. Jika GLR lebih besar dari 10 SCF/STB, tentukan kehilangan tekanan fluida
yang kembali (Pfd) dengan menggunakan korelasi aliran multifasa vertikal dan
lanjutkan ke langkah 14.
13. Jika GLR kurang dari 10 SCF/STB, tentukan viskositas fluida campuran yang
kembali ke permukaan (μd) menggunakan persamaan (3-97) dan selanjutnya
hitung kehilangan tekanan fluida yang kembali (Pfd)
 d  WCd   w  1  WCd  o ..................................................................(3-97)
Keterangan :
μd = viskositas discharge, cp
μo = viskositas minyak, cp
μw = viskositas air, cp
Harga viskositas campuran (μd) yang dihitung persamaan (3-97), dengan
anggapan bahwa campuran minyak - air tidak menghasilkan emulsi dan, bila
power fluid digunakan adalah minyak maka viskositasnya sama dengan
viskositas minyak yang diproduksi.
14. Tentukan tekanan discharge pressure (Pd), yaitu jumlah dari tekanan
hidrostatika di pipa balik, kehilangan tekanan karena friksi (Pfd) dan tekanan
kepala sumur (THP atau Pwh).
Pd  Gd D  Pfd D  Pwh .....................................................................(3-98)

15. Hitung N (Dimensionless pressure ratio) dari persamaan (3-98)


Pd  PIP
N ...........................................................................................(3-99)
Pn  Pd
16. Hitung M (Dimensionless Mass Flow Ratio)
GOR 2
qs [(1  2,8 ) (1  WC )  WC ]Gs
M PIP ..............................................(3-100)
qnGn
149

Gambar 3.30. digunakan untuk mencari harga N untuk pompa National. Untuk
pompa lain lakukan interpolasi.
17. Hitung qs yang baru, perbandingan antara M terbaca (gambar 3.30) dan M
perhitungan
 Mread
qs  qs  .................................................................................. (3-101)
M
18. Hitung laju aliran maksimum qsc tanpa terjadi kavitasi.
q s  At  An 
q sc  ..............................................................................(3-102)
Asm
Keterangan :
qsc = laju alir sebelum kavitasi, bpd
At = Luas area throat, in2
An = Luas area nozzle, in2
Asm = Luas Annulus minimum, in2
qs = laju alir yang diharapkan, bpd
19. Hitung daya kuda pompa permukaan, HP, dengan menganggap bahwa efisiensi
sebesar 90%.
1,7 x10 5 q n .Pinj
HP  ..............................................................................(3-103)
eff
Keterangan :
eff = effisiensi pompa, %
150

Gambar 3.30.
Dimensionless Characteristics Curve (National Pump)
(Pedoman Pertamina, “Teknik Produksi” Jakarta, 2003)
3.3.4. Optimasi Jet Pump
Optimasi jet pump dilakukan dengan mencari laju produksi optimum atau
laju produksi yang diinginkan terlebih dahulu. Laju produksi tersebut dapat
ditentukan dari kurva IPR sumur. Setelah itu dilakukan pemilihan jenis pompa
dipermukaan dengan kapasitasnya dan pemilihan ukuran nozzle dan throat yang
diperlukan sesuai dengan kemampuan reservoir.
Dalam optimasi jet pump dilakukan dengan merubah tekanan pompa
dipermukaan dan merubah diameter ukuran nozzle dan throat. Tekanan pompa
dipermukaan dan diameter ukuran nozzle dan throat berhubungan langsung dengan
laju alir power fluid dan hasil pencampuran power fluid dengan fluida produksi.
Setiap jenis pompa dipermukaan memiliki kapasitas tekanan maksimum operasi,
sedangkan ukuran nozzle dan throat yang tersedia hanya terbatas.
151

3.4. Gas Lift


Ditinjau dari cara penginjeksian gasnya ke dalam sumur, injeksi gas dapat
dibedakan menjadi dua cara, yaitu :
1. Continuous Gas Lift, dimana gas diinjeksi secara terus menerus ke dalam
annulus dan melalui valve yang dipasang pada tubing, gas masuk ke dalam
tubing tersebut.
2. Intermittent Gas Lift, dimana gas hanya diinjeksikan pada setiap selang waktu
tertentu sehingga injeksi gas merupakan suatu siklus injeksi.
Tabel III-10.
Kriteria Penentuan Sistem Injeksi
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
PI BHP Sistem Injeksi
>0,5 Mampu mengangkat kolom cairan minimum 70% Continuous
dari dasar sumur
>0,5 Mampu mengangkat kolom cairan yang kurang Intermittent
dari 70% atau minimum 40% dari dasar sumur.

<0,5 Mampu mengangkat kolom cairan minimum 70% Intermittent


dari dasar sumur
<0,5 Mampu mengangkat kolom cairan yang kurang Intermittent
dari 70% atau minimum 40% dari dasar sumur.

3.4.1. Tipe Gas Lift


3.4.1.1. Continous Flow Gas Lift
Continuous Gas Lift merupakan proses pengangkatan fluida dari suatu
sumur dengan cara menginjeksikan gas yang bertekanan relatif lebih tinggi secara
terus menerus ke dalam tubing dengan maksud untuk meringankan kolom cairan
yang ada di dalam tubing. Karena penginjeksian dilakukan secara kontinyu, maka
memerlukan kesetimbangan aliran minyak dari formasi ke dalam lubang sumur
dengan rate yang cukup tinggi. Gambar 3.31. menunjukkan suatu operasi dari
continuous gas lift.
152

Apabila dapat diperkirakan besarnya gradien tekanan aliran rata-rata di


bawah dan di atas titik injeksi, maka Pwf dapat dihitung dengan persamaan :
Pwf = Pwh + Gfa L + Gfb (D – L)...........................................................(3-104)
Keterangan:
Pwf = Tekanan alir dasar sumur, psi
Pwh = Tekanan pada well head, psi
Gfa = Gradien tekanan rata-rata di atas titik injeksi, psi/ft
Gfb = Gradien tekanan rata-rata di bawah titik injeksi, psi/ft
L = Kedalaman titik injeksi, ft
D = Kedalaman sumur total, ft

Gambar 3.31.
Mekanisme Operasi Continuous Gas Lift
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
153

Dengan demikian dasar dari perencanaan gas lift adalah menentukan Pwf
yang diperlukan supaya sumur dapat berproduksi dengan rate yang diinginkan,
yaitu dengan cara menginjeksikan gas pada kedalaman tertentu di dalam tubing.
Sesuai dengan fungsinya, katup – katup gas lift terdiri dari :
1. Katup unloading, yaitu sebagai jalan masuk dari annulus ke tubing, untuk
mendorong cairan yang semula digunakan untuk mematikan sumur.
2. Katup operasi, yaitu sebagai jalan masuk gas dari anulus ke tubing untuk
mendorong fluida reservoir ke permukaan.
3. Katup tambahan, yaitu sebagai katup operasi jika Ps turun.
Pada tahap pertama, injeksi gas akan mengaktifkan katup-katup unloading
sehingga cairan untuk mematikan sumur akan terangkat ke permukaan dan level
cairan dalam anulus turun. Kemudian katup unloading secara bergantian bekerja
dan level cairan dalam anulus akan mencapai katup operasi. Gas injeksi akan masuk
ke dalam tubing secara kontinyu jika tekanan injeksi gas dalam anulus lebih besar
dari tekanan aliran dalam tubing. Oleh karena itu letak katup operasi ditempatkan
pada kedalaman sehingga tekanan alir dalam tubing lebih kecil dari tekanan injeksi
gas di anulus. Penempatan katup operasi ditentukan dari titik keseimbangan, yaitu
titik yang mana tekanan aliran di dalam tubing sama dengan tekanan injeksi gas di
anulus, setelah dikurangi dengan tekanan differensial 100 psi.
Dengan masuknya gas injeksi melalui katup operasi maka perbandingan gas
cairan di atas titik injeksi akan lebih besar daripada perbandingan gas cairan di
bawah titik injeksi. Dengan demikian dasar perencanaan gas lift adalah penentuan
Pwf yang diperlukan agar sumur dapat berproduksi dengan rate yang diinginkan,
yaitu dengan cara menginjeksikan gas pada kedalaman tertentu di dalam tubing.
Diagram tekanan kedalaman seperti terlihat pada Gambar 3.32. memberikan
gambaran yang lebih jelas mengenai continuous gas lift dan merupakan dasar
perencanaan. Umumnya perencanaan continuous gas lift bertolak dari laju produksi
yang diinginkan. Apabila indeks produktivitasnya dan tekanan statik diketahui,
maka tekanan alir dalam sumur yang sesuai dengan laju produksi yang diinjeksikan
dapat dihitung.
154

Apabila perbandingan gas cairan dari formasi diketahui, maka kurva


gradien tekanan aliran mulai dari dasar sumur dapat digambarkan. Berdasarkan
tekanan injeksi gas yang tersedia, garis gradien dalam anulus dapat digambarkan
dan titik keseimbangan antara tekanan gas dalam annulus dengan tekanan alir dalam
tubing dapat ditentukan. Kemudian letak katup operasi dapat pula ditentukan pada
kedalaman yang mempunyai tekanan alir dalam tubing 100 psi lebih kecil dari
tekanan injeksi gas. Apabila tekanan alir di kepala sumur tertentu, maka perlu
diinjeksikan sejumlah gas tertentu, sehingga memberikan perbandingan gas cairan
titik injeksi yang tepat dan menghasilkan gradien aliran di atas titik injeksi yang
diinginkan. Gradien aliran harus menghasilkan penurunan tekanan sedemikian rupa
sehingga tekanan aliran di permukaan sama dengan tekanan di kepala sumur.
Berdasarkan perbandingan gas cairan yang diperoleh tersebut serta GLR f, maka
jumlah gas yang diinjeksikan dapat dihitung.

Gambar 3.32.
Diagram Kedalaman-Tekanan Untuk Perencanaan Sumur Gas Lift Kontinyu
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
155

Pada keadaan sebenarnya, pressure traverse yang digunakan tidak selalu


tepat dengan hasil pengukuran gradien aliran di dalam sumur. Kesalahan dapat
berkisar antara 10 -20%. Dengan demikian akan terjadi pula kesalahan dalam
menempatkan katup operasi. Untuk mengatasi kesalahan ini perlu ditambah katup-
katup pada selang di atas dan di bawah katup opersai. Selang ini disebut dengan
Bracketing Envelope. Perencanaan continuous gas lift meliputi :
 Penentuan titik injeksi.
 Penentuan jumlah gas injeksi.
 Penentuan kedalaman katup-katup sembur buatan.

3.4.1.2. Intermitent Flow Gas Lift


Proses pengangkatan cairan pada intermittent gas lift berbeda dengan
continuous gas lift. Pada continuous gas lift, kolom cairan dicampur dengan gas
injeksi untuk mengurangi gradien kolom cairan sehingga tekanan aliran di dalam
tubing turun. Sedangkan pada intermittent gas lift, gas diinjeksikan dengan tekanan
tinggi (lebih besar dari tekanan kolom cairan), sehingga cairan terangkat akibat
pengembangan dan pendorongan gas injeksi, seperti yang ditunjukkan dalam
Gambar 3.33.
Intermitent gas lift merupakan proses yang berulang dan dapat dibagi dalam
tiga periode (seperti yang terlihat dalam Gambar 3.34), yaitu :
1. Periode Aliran masuk
Ditunjukkan oleh Gambar 3.34. distribusi tekanan dari awal sampai titik A,
selama periode ini cairan mengalir dari reservoir masuk ke dalam lubang
sumur dan terkumpul dalam tubing di atas katup (valve) operasi. Selama
periode ini valve dalam keadaan tertutup. Kenaikan tekanan yang
ditunjukkan dalam kurva diakibatkan oleh bertambahnya cairan yang masuk
ke dalam tubing.
2. Periode Pengangkatan
Ditunjukkan oleh Gambar 3.34. mulai dari titik A sampai titik D. bila cairan
yang terkumpul dalam tubing sudah cukup, valve akan terbuka dan gas yang
bertekanan tinggi masuk ke dalam tubing untuk mengangkat slug cairan ke
156

permukaan. Dari kurva tersebut terlihat pada saat valve terbuka terjadi
kenaikan tekanan dalam tubing yang tajam sehingga mencapai maksimum
(kurva BC) kemudian turun (kurva CD). Turunnya tekanan ini disebabkan
oleh penurunan tekanan dalam casing dan pengembangan gas dalam tubing.
3. Periode Penurunan Tekanan
Ditunjukkan oleh kurva DE yang mana setelah valve tertutup slug terangkat
ke permukaan, maka pengaruh tekanan injeksi hilang. Pada kurva terlihat
bahwa penurunan tekanan sedikit demi sedikit dan hal ini disebabkan oleh
cairan yang tidak ikut terangkat ke permukaan jatuh kembali ke dasar sumur
sehingga menimbulkan tekanan balik. Tekanan tubing mencapai minimum
pada titik E, kemudian proses berulang ke inflow performance (periode
aliran masuk).

Gambar 3.33.
Operasi Unloading-Intermittent Flow Well
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
157

Gambar 3.34.
Grafik Tekanan Dasar Sumur Pada Proses Intermittent Gas Lift
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

3.4.2. Peralatan Gas Lift


Peralatan gas lift dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu peralatan di atas
permukaan dan peralatan di bawah permukaan. Peralatan-peralatan tersebut saling
berhubungan dalam kelancaran proses gas lift.

3.4.2.1. Peralatan Di Atas Permukaan Gas Lift


Peralatan di atas permukaan adalah semua peralatan yang diperlukan untuk
proses injeksi gas ke dalam sumur yang terletak di permukaan. Peralatan-peralatan
tersebut meliputi :
1. Well Head dan Gas Lift Christmas Tree
Well head bukan merupakan alat khusus pada operasi gas lift, tetapi
digunakan pada metode sembur alam. Alat ini berfungsi sebagai tempat
menggantungkan casing dan tubing serta merupakan tempat dudukan christmas
tree. Sedangkan christmas tree sendiri berfungsi untuk mengatur laju produksi dan
menjaga tekanan reservoir. Gas lift X-mastree dipakai untuk sumur-sumur gas lift
yang dalam dan produksi hariannya cukup besar.
158

2. Stasiun Kompressor
Alat ini berfungsi untuk menaikkan tekanan gas injeksi sesuai dengan
keperluan. Di dalam stasiun kompressor terdapat beberapa buah kompressor yang
dihubungkan dengan manifold. Dari stasiun kompressor ini gas bertekanan tinggi
dikirimkan ke sumur-sumur melalui stasiun distribusi.
3. Stasiun Distribusi
Dalam menyalurkan gas injeksi dari kompressor ke sumur terdapat beberapa
macam cara, yaitu :
o Stasiun Distribusi Langsung
Pada sistem ini gas dari kompressor disalurkan langsung ke sumur produksi.
Sistem ini mempunyai kelemahan yaitu bila kebutuhan gas untuk masing-
masing sumur tidak sama sehingga injeksi tidak efisien.
o Stasiun Distribusi dengan Pipa Induk
Sistem ini lebih ekonomis karena panjang pipa dapat diperpendek. Tetapi
karena sumur yang satu berhubungan dengan sumur yang lain maka apabila
salah satu sumur sedang dilakukan injeksi gas, sumur yang lain bisa
terpengaruh.
o Stasiun Distribusi dengan Stasiun Distribusi
Stasiun ini sangat efektif sehingga sering digunakan. Gas dikirim dari
stasiun pusat kompressor ke stasiun distribusi kemudian dibagi ke sumur-
sumur dengan menggunakan pipa.
4. Alat-alat Kontrol
Beberapa jenis alat control yang digunakan pada operasi gas lift adalah :
o Choke Control dan Regulator
Choke control adalah alat yang digunakan untuk mengatur jumlah gas
injeksi sehingga dalam waktu tertentu (saat valve terbuka) gas tersebut dapat
mencapai suatu harga tekanan yang dibutuhkan. Choke control ini dirangkai
dengan regulator yang berfungsi untuk membatasi jumlah gas injeksi yang
dibutuhkan. Bila gas injeksi telah cukup maka regulator akan menutup.
159

o Time Cycle Control


Time Cycle Control adalah alat yang berfungsi untuk mengotrol laju aliran
gas injeksi dalam intermittent gas lift untuk interval waktu tertentu. Time
cycle control dapat diatur sesuai dengan yang diinginkan.

3.4.2.2. Peralatan Di Bawah Permukaan Gas Lift


Peralatan di bawah permukaan untuk operasi gas lift adalah valve (katup) gas
lift. Katup-katup ini dipasang pada tubing dan berfungsi untuk :
o Mengosongkan sumur dari fluida workover atau kill fluid supaya fluida
dapat mencapai titik optimum di dalam tubing.
o Mengatur aliran injeksi gas ke dalam tubing, baik pada proses unloading
(pengosongan sumur) maupun pada proses pengangkatan fluida.
1. Jenis-jenis Valve Gas Lift
Berdasarkan macam tekanan (tekanan casing atau tekanan tubing) yang
berpengaruh terhadap operasi valve, maka valve gas lift dapat dibagi dalam tiga
kelompok, yaitu :
a. Casing Pressure Operating Valve
Valve ini bekerja karena tekanan casing dan biasanya disebut pressure
valve. Valve ini dalam posisi tertutup sensitif (50 – 100 %) terhadap tekanan casing
dan 100 % terhadap tekanan casing dalam keadaan terbuka. Ini berarti untuk
membuka valve diperlukan kenaikan tekanan dalam casing dan untuk menutup
valve diperlukan adanya penurunan tekanan dalam casing.
b. Fluid Operated Valve
Valve ini bekerja karena tekanan fluida dalam tubing. Dalam posisi tertutup
valve ini (50 – 100 %) sensitif terhadap tekanan dalam tubing dan dalam posisi
terbuka 100 % sensitif terhadap tekanan dalam tubing. Ini berarti valve akan
membuka apabila tekanan dalam tubing naik dan valve akan menutup bila tekanan
dalam tubing menurun.
c. Thortling Pressure Valve (Valve Kontinyu)
Valve ini disebut dengan valve yang proposional atau valve aliran kontinyu.
Dalam posisi tertutup valve ini sama dengan pressure valve, tetapi apabila dalam
160

posisi terbuka, valve ini sensitif terhadap tekanan dalam tubing. Berarti untuk
membuka valve diperlukan tekanan dalam casing dan untuk menutup valve
diperlukan penurunan tekanan dalam tubing atau casing. Gambar 3.35.
menunjukkan skema valve gas lift aliran kontinyu.

Gambar 3.35.
Skema Thortling Pressure Valve
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
161

3.4.3. Instalasi Gas Lift


Secara umum macam instalasi secara prinsip dipengaruhi oleh apakah
sumur itu akan ditempatkan sebagai aliran intermittent atau aliran continyu, juga
pemilihan jenis valve tergantung pada sumur yang akan ditempatkan sebagai sumur
intermittent gas lift atau sebagai sumur continuous gas lift. Dalam menentukan tipe
instalasi awal harus bertitik tolak dari kemampuan sumurnya termasuk tekanan
dasar sumur dan Productivity Index (PI).

3.4.3.1. Instalasi Terbuka (Opened Installation)


Pada installasi ini tubing dipasang dalam sumur tanpa packer dan standing
valve, gas diinjeksikan melalui casing-tubing annular dan fluida diproduksikan
melalui tubing. Tipe ini baik untuk continuous gas lift, yang mana packer tidak
dipasang dengan suatu alasan seperti gas tidak dapat menyembur di sekitar tubing.
Jika instalasi ini digunakan pada intermittent gas lift maka pada saat shut-down time
fluida akan ke anulus casing (Gambar 3.36.).

3.4.3.2. Instalasi Setengah Terbuka (Semi Closed Installation)


Instalasi setengah tertutup mirip dengan intallasi terbuka, bedanya pada
instalasi ini dipasang packer dan tidak menggunakan standing valve Instalasi ini
cocok untuk continuous flow gas lift dan intermittent flow gas lift.

3.4.3.3. Instalasi Tertutup (Closed Installation)


Installasi tertutup mirip dengan instalasi setengah tertutup hanya pada
installasi tertutup dipasang packer dan standing valve. Standing valve diletakan
dibawah valve yang paling bawah atau pada ujung tubing string, dimaksudkan
untuk mencegah masuknya gas yang diinjeksikan ke dalam sumur. Standing valve
ini dipasang pada instalasi intermittent gas lift dan dengan pemasangan ini akan
menaikan laju produksi.
162

Gambar 3.36.
Tipe Instalasi Gas Lift
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

3.4.4. Perencanaan Gas Lift


3.4.4.1. Perencanaan Dan Perhitungan Continous Gas Lift
Perencanaan instalasi gas lift bertujuan untuk mendapatkan hasil yang
maksimal dari perolehan minyak. Adapun metode yang digunakan adalah metode
grafis berdasarkan pressure traverse dan gradien tekanan gas di anulus.
a. Penentuan Titik Injeksi
Langkah kerja penentuan titik injeksi :
1. Menyiapkan data penunjang :
a. Kedalaman sumur (D)
b. Ukuran tubing (dt) dan casing (dc)
c. Laju produksi cairan yang diinginkan (q L)
d. Kadar air (KA)
e. Perbandingan gas cairan sebelum instalasi sembur buatan di pasang
f. Tekanan statik (Ps)
g. PI untuk aliran satu fasa atau kurva IPR untuk aliran dua fasa
163

h. Tekanan kepala sumur (Pwh)


i. Tekanan injeksi gas (Pso)
j. Temperatur dasar sumur (TBHP), temperatur di permukaan (Ts) dan gradien
thermal (Gt)
k. API minyak, spesifik gravity air (w), spesifik gravity gas injeksi (gi)
2. Menyiapkan kertas transparan
Membuat sumbu kartesian berskala yang sesuai dengan skala pressure traverse.
Menggambarkan tekanan pada sumbu datar dan kedalaman pada sumbu tegak
dengan titik asal (nol) di sudut kiri kertas.

3. Menghitung tekanan alir dasar sumur berdasarkan laju alir yang diinginkan (q L)
dengan menggunakan persamaan :

 Untuk aliran satu fasa :


qL
Pwf  Ps  ..............................................................................(3-105)
PI
 Untuk aliran dua fasa (persamaan Vogel) :

Pwf  0,125Ps (1  81  80(q L /q max ) .......................................(3-106)

4. Memplot titik (Pwh,D)


5. Memilih pressure traverse yang sesuai berdasarkan qL, kadar air, dan diameter
tubing yang digunakan.
6. Dari titik Pwf plot gradient tekanan alir di bawah titik injeksi ke arah atas. Hal
ini dapat dilakukan dengan menggunakan kurva gardien tekanan alir yang
sesuai dengan GLRf, atau dengan gradient tekanan campuran yang dapat
dihitung dengan rumus :
Gf mix  WOR(Go)  (1  WOR)Gw ........................................................... (3-107)
Keterangan :
Gfmix = gradien tekanan campuran
Go = Gradien tekanan minyak
= SGo (0,433)
Gw = Gradien tekanan air
= SGw (0,433)
164

7. Plot titik tekanan kick off (Pko) dimana Pko yang besarnya 50 psi lebih besar
dari tekanan operasi (Pso) yang besarnya 100 psi pada kedalaman 0 (di
permukaan).
8. Dari titik Pso, tarik garis ke bawah sampai memotong garis gradient tekanan
alir di bawah titik injeksi dengan memperhitungkan gradient gas injeksi.
Gradient gas injeksi dapat diperoleh dengan menggunakan Weight of Gas
Colomn Chart (Gambar 3.38 dan Gambar 3.39). Titik potong ini merupakan
titik keseimbangan antara tekanan tubing dan annulus atau Point of Balance
(POB).
9. Tentukan Point of Injection (POI) yang besarnya 100 psi lebih kecil dari POB
pada kurva gradient tekanan alir.
POI = POB – 100, psi .............................................................................. (3-108)
10. Plot tekanan kepala sumur (Pwh) pada kedalaman 0 (di permukaan)
11. Dari titik Pwh, plot gradient tekanan alir di atas titik injeksi dengan
menghubungkan POI dengan Pwf. Dengan menggunakan kurva gradient
tekanan alir yang sesuai, kurva ini akan menunjukan perbandingan gas cairan
(GLR) total. Seperti terlihat pada Gambar 3.32.
b. Penentuan Jumlah Gas Injeksi
Langkah kerja penentuan jumlah gas injeksi adalah sebagai berikut :
1. Memplot titik (Pwh,0).
2. Menghitung jumlah gas injeksi, yaitu :
qgi = qL (GLRt - GLRf )...............................................................(3-109)
3. Mengkoreksi harga Qgi pada temperatur titik injeksi, yaitu ;
a. Menentukan temperatur di titik injeksi :
Tpoi = (Ts + Gt Di) + 4600 ...........................................................(3-110)
b. Menghitung faktor koreksi :

Corr = 0,0054 γgiTpoi ..............................................................(3-111)


c. Volume gas injeksi terkoreksi adalah sebesar :
qgicorr = qgi  Corr........................................................................(3-112)
Keterangan :
165

qgi = laju injeksi gas, scf/day


GLRt = gas liquid ratio total, scf/stb
GLRf = gas liquid ratio formasi, scf/stb
Sgi = specific gravity gas injeksi
Tpoi = temperatur pada ttitk injeksi, oR
Gt = Gradien temperature, 0C/100ft
Di = Kedalaman titik injeksi, ft

c. Penentuan Kedalaman Katup-katup Sembur Buatan


Langkah kerja penentuan kedalaman katup-katup adalah sebagai berikut :
1. Siapkan data dan grafik penunjang :
a. Kertas transparan hasil penentuan titik injeksi dan jumlah gas injeksi.
b. Tekanan differential (Pd).
c. Tekanan kick off (Pko).
d. Gradien statik fluida dalam sumur (Gs).
e. Kesalahan korelasi pressure traverse terhadap hasil pembuatan pressure
traverse di lapangan setempat, besarnya antara 10 – 20 %.
2. Buat garis perencanaan tekanan tubing yang didapatkan dengan menarik garis
dari (P2,0) dengan POI.
P2 = Pwh + 0,2 (Pso)............................................................................... (3-113)
3. Tarik garis Kill Fluid Gradient dari Pwh sebesar 0,4 – 0,5 psi/ft hingga
memotong garis injeksi gas (Pko), dimana Pko = Pso + 50. Titik perpotongan
ini merupakan kedalaman valve pertama (Dv1) atau valve yang paling atas.
4. Untuk menetukan kedalaman valve kedua (2), (3),…dst, dapat dilakukan
beberapa cara, diantaranya :
a. Surface Opening Pressure (Pso) tetap
b. Surface Opening Pressure (so) berkurang 25 psi untuk setiap valve.
I. Penentuan kedalaman valve dengan Pso tetap
1. Tarik garis horizontal dari Dv1 hingga memotong garis perencanaan
tubing.
166

2. Dari perpotongan garis perencanaan tubing dengan garis horizontal,


tarik garis sejajar dengan garis Kill Fluid Gradient sebesar 0,4 – 0,5 psi/
ft hingga memotong garis Pso. Titik potong tersebut merupakan
kedalaman valve 2 (Dv2).
3. Lakukan langkah 1 dan 2 untuk Dv3, Dv4,..dst sampai pada kedalaman
katup yang lebih dalam dari titik injeksi (POI), sehingga diperoleh :
valve (1)…….ft
valve (2)…….ft
valve (3)…….ft
dst
II. Penetuan kedalaman valve dengan Pso berkurang 25 psi
1. Tarik garis horizontal Dv1 hingga memotong garis perencanaan tekanan
tubing.
2. Dari perpotongan garis perencanaan tekanan tubing dengan garis
horizontal, tarik garis sejajar dengan garis Kill Fluid Gradient sebesar
0,4 – 0,5 psi/ ft hingga memotong garis injeksi 25 psi lebih rendah dari
garis Pko (Pso1). Titik potong tersebut merupakan kedalaman valve 2
(Dv2).
3. Ulangi langkah langkah tersebut di atas untuk menentukan Dv3, Dv4,
dst sampai pada kedalaman katup yang lebih dalam dari titik injeksi
(POI)
Dari langkah tersebut diatas, kita peroleh sebagai berikut :
Valve no. Kedalaman Pso
1 Dv1 Pko
2 Dv2 Pko – 25
3 Dv3 Pko – 50
Dimana Pko = Pso - 50
Sedangkan penetuan spasi katup secara analitis dapat dilakukan dengan
menggunakan persamaan berikut :
Pko  Pwh
Dv1  ......................................................................................... (3-114)
Gs
167

Pso1, Pso2....  Pwh  Dv1, v2...(Gu)


Dv2, v3...  Dv1, v2..  ....................... (3-115)
Gs
Keterangan :
Dv1, v2… = kedalaman katup 1, 2, dst, ft
Pso1, Pso2… = tekanan buka permukaan 1, 2, dst, psi
Pwh = tekanan kepala sumur, psi
Gs = gradient kill fluid, psi/ft
Gu = gradient unloading, psi/ft
Gu didapatkan dari grafik (Gambar 3.40 dan Gambar 3.41)

Gambar 3.37.
Ilustrasi Penentuan Spasi Katup Gas Lift
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

3.4.4.2. Perencanaan Dan Perhitungan Intermitent Gas Lift


168

Perencanaan sumur intermittent gas lift meliputi : penentuan jumlah gas


injeksi penetuan spasi katup dan penetuan tekanan katup di bengkel (kondisi
standar).
a. Penentuan Spasi Valve
Penentuan spasi valve dapat secara analitis dan secara grafis.
Langkah –langkah yang harus dilakukan untuk perencanaan spasi valve
secara grafis adalah sebagai berikut :
1. Pada kertas grafik kartesian buat system sumbu koordinat dengan kedalaman
sebagai sumbu tegak dan tekanan sebagai sumbu datar.
2. Plot titik (Pso,0), Pso = Tekanan yang tersedia - 50
3. Tentukan gradient gas dengan grafik (Gambar 3.38 dan Gambar 3.39) dan buat
garis gradient gas dalam sumur mulai dari titik (Pso,0) dan perpanjang garis
tersebut sampai di dasar sumur.
4. Plot tekanan tubing di permukaan (untuk intermittent gas lift, tekanan ini sama
dengan tekanan separator)
5. Tentukan gradient unloading dengan menggunakan grafik (Gambar 3.40 dan
Gambar 3.41) sesuai dengan ukuran tubing dan rate yang diinginkan.
6. Plot garis gradient unloading berdasarkan Gu dari langkah 5 mulai dari tekanan
separator di permukaan dan perpanjang garis tersebut sampai dasar sumur.
7. Tentukan tekanan penutup yang konstan di permukaan, yaitu :
Psc = Pso – 100 ………………………………………………….….(3-116)
8. Tentukan gradien gas dengan grafik (Gambar 3.38 dan Gambar 3.39) dan buat
garis gradien gas dalam sumur mulai dari titik (Psc,0) dan perpanjang garis
tersebut sampai di dasar sumur.
Pcv = Psc+DGg ……………………………………………………..(3-117)
9. Tarik garis kill fluid dengan gradient 0,4 psi/ft – 0,5 psi /ft dari Psep. Perpanjang
garis tersebut sampai memtong garis Pso, perpotongan ini merupakan letak titik
valve (1).
10. Dari perpotongan tersebut (langkah 9), buat garis horizontal ke kiri sampai
memotong garis unloading.
169

11. Dari perpotongan (langkah 10), buat garis sejajar dengan gradien fluida yang
mematikan sumur (langkah 9) sampai memotong garis gradient gas yang
berawal dari titik (Psc,0), titik ini merupakan letak dari valve (2)
12. Dari perpotongan tersebut (langkah 11), buat garis horisontal ke kiri sampai
memotong garis unloading.
13. Lakukan langkah 11 dan 12 untuk mendapatkan latak katup Dv3, Dv4, dst
lanjutkan sampai dasar sumur
Sedangkan penetuan spasi katup secara analitis dapat dilakukan dengan
menggunakan persamaan berikut :
Pko  Pwh
Dv1  ............................................................................. (3-118)
Gs
Pso1, so2....  Pwh  Dv1, v2...(Gu)
Dv2, v3...  Dv1, v2..  ………..(3-119)
Gs
Keterangan :
Dv1, v2… = Kedalaman katup 1, 2, dst, ft
Pso1, Pso2… = Tekanan buka permukaan 1, 2, dst, psi
Pwh = Tekanan kepala sumur, psi
Gs = Gradient kill fluid, psi/ft
Gu = Gradient unloading, psi/ft
Gu didapatkan dari grafik (Gambar 3.40 dan Gambar 3.41)
b. Penentuan Jumlah Gas Injeksi
Gas yang diperlukan untuk mengangkat slug cairan dari dasar sumur ke
permukaan adalah volume gas yang diperlukan untuk mengisi tubing pada tekanan
gas rata-rata bawah slug dari dasar sumur ke permukaan. Langkah-langkah untuk
menentukan besarnya gas injeksi adalah :
1. Siapkan data penujangnya sebagai berikut :
a. Kedalaman katup operasi (umumnya di ujung tubing)
b. Tekanan buka katup operasi (Pv), di hitung dengan rumus :
Pv  Pso  Ggi.D …………………………………………..(3-120)
Keterangan :
Pv = Tekanan buka katup operasi pada kedalaman, psi
170

Pso = Surface operating pressure, psi


Ggi = Gradient tekanan gas injeksi, psi/ft
D = Kedalaman, ft
2. Pilih grafik yang sesuai dengan ukuran tubing dan tekanan separator
3. Plot kedalaman katup pada sumbu kedalaman
4. Dari titik tersebut tarik garis horisontal ke kanan sampai memotong sumbu
volume gas
5. Baca volume gas injeksi yang diperlukan (qgi, MMCF)
c. Penentuan Tekanan Buka Katup
Prosedur menetukan tekanan buka katup adalah sebagai berikut :
1. Dari hasil spasi katup, buat skala temperatur yang berhimpitan dengan sumbu
tekanan
2. Plot titik (Ts,0) dan (Tb,D) kemudian hubungkan kedua titik tersebut
3. Baca temperatur untuk setiap kedalaman katup (Tv)
4. Baca tekanan tubing untuk setiap kedalaman katup (Pt).
5. Baca tekanan tutup katup setiap kedalaman (Pvc), Pvc = Pd
6. Tentukan ukuran port yang diperlukan, sebagai berikut :
a. Tentukan perubahan tekanan dalam casing (ΔPd) berdasarkan jumlah gas
yang diinjeksikan serta ukuran casing dan tubing.
b. Hitung harga R untuk setiap katup :
Pd
R ……………………………………............(3-121)
Pvc  Pd  Pt
c. Tentukan ukuran port masing-masing katup dengan membandingkan harga
R dari langkah b dengan harga R dari ukuran pada Tabel III-11.
7. Hitung tekanan buka katup (Pvo) pada setiap kedalaman katup
Pvc
Pvo   Pt (TEF ) …………………………………………(3-122)
1 R
8. Tentukan tekanan dome (Pd) untuk setiap valve pada temperature 60oF, menurut
persamaan :
Pd @ 60  Ct ( Pd ) ……………………………………………...(3-123)
Ct didapat dari Tabel III-12.
171

9. Hitung tekanan setting di work shop (Ptro) pada temperature 60oF, dengan
persamaan :
Pd @ 60
Ptro  …………………………….……………..……(3-124)
1 R

Tabel III-11.
“R values”
Bellow Area and Seat Area Relationship for Ab = 0,77 in2 for 1 ½” Valve
and 0,29 in2 for 1” Valve
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)

Diameter of Spread For 1“ O.D Valves For 1 ½” O.D Valves


Control Seat (in) R 1–R R 1–R
3 0,0863 0,9137 0,0359 0,9641
16

¼ 0,1534 0,8466 0,0638 0,9362


9 0,1942 0,8058
32 - -
5 0,2397 0,7603 0,0996 0,9004
16

11 0,2900 0,7100
32 - -
3 0,3450 0,6550 0,1434 0,8566
8

7 0,4697 0,5303 0,1952 0,8048


16

½ - - 0,2562 0,7438
9 0,3227 0,6773
16 - -
172

Tabel III-12.
Temperatur Correction Factor (Ct) for Nitrogen Based on 60oF
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
173

Gambar 3.38.
Weight of Gas Column Chart
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
174

Gambar 3.39.
Weight of Gas Column Chart
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
175

Gambar 3.40.
Unloading Gradient Chart
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
176

Gambar 3.41.
Unloading Gradient Chart
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
177

Gambar 3.42.
Penentuan Ukuran Port
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
178

Gambar 3.43.
Penentuan Ukuran Port
(Brown, Kermit, E., ”The Technology Of Artificial Lift Method”, 1980)
179

3.4.5. Optimasi Gas Lift


Tujuan dari injeksi gas pada operasi continuous gas lift adalah untuk
memperkecil besarnya gradien tekanan alir di dalam tubing sehingga dengan
demikan tekanan yang dibutuhkan untuk mengangkat fluida juga menjadi lebih
kecil, akibatnya, juga menjadikan harga Pwf turun. Dengan menurunnya harga Pwf,
maka drawdownnya akan semakin besar. Akan tetapi pada kenyataan di lapangan
tidak selalu seperti itu. Hal ini dikarenakan pada keadaan tertentu dengan
bertambahnya laju injeksi gas bukan memperkecil gradien tekanan aliran tetapi
justru sebaliknya, karena adanya laju gas yang terlalu besar maka kecepatannya
juga semakin besar sehingga gesekan yang terjadi ikut bertambah yang akhirnya
akan memperbesar gradien tekanan alirannya disamping dimungkinkan juga
adanya tekanan balik. Dengan semakin besarnya gradien tekanan aliran
menyebabkan mengecilnya drawdown tekanan yang akan menurunkan laju
produksi.
Pada sub bab ini akan mengoptimasi harga GLR total maupun besar laju
injeksi yang optimum untuk mendapatkan laju produksi yang maksimum.
Pengertian GLR optimum adalah suatu harga dimana penambahan gas lebih lanjut
tidak akan menaikkan laju produksi, tetapi sebaliknya.
Persoalan sumur-sumur gas lift akan menjadi lebih sulit, hal ini dikarenakan
di dalam penyelesaian menggunakan variabel yang berbeda. Untuk suatu harga laju
produksi tertentu, perhitungan gradien tekanan aliran fluida di dalam pipa
digunakan dengan menggunakan parameter GLR formasi, yaitu perhitungan
dimulai dari tekanan dasar sumur sampai operating valve serta dari reservoir sampai
lubang sumur. Sedangkan untuk laju produksi yang sama perhitungan gradien
tekanan aliran fluida dengan menggunakan parameter GLR total, yaitu diatas titik
injeksi sampai ke kepala sumur yang divariasikan dengan berbagai harga laju
produksi total.
Metode Optimasi Continuous Gas Lift
Dalam melakukan optimasi dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
1. Membuat kurva inflow performance (IPR).
180

2. Menghitung distribusi tekanan sepanjang tubing hingga mencapai titik injeksi


dari tekanan kepala sumur untuk berbagai harga GLR total asumsi (scf/stb),
untuk setiap harga laju produksi.
3. Menghitung distribusi tekanan sepanjang tubing dari titik injeksi sampai dasar
sumur pada Pwf untuk setiap laju produksi asumsi dengan menggunakan kurva
gradien tekanan pada GLR formasi.
4. Hasil perhitungan distribusi tekanan pada berbagai harga GLR kemudian diplot
terhadap kurva IPR hasil perhitungan pada langkah 1 seperti ditunjukkan pada
Gambar 3.44.
5. Dari Gambar 3.44. dapat ditentukan kondisi optimum sumur tersebut, yang
kemudian hasil dari langkah 4 dapat dibuat suatu grafik yang disebut dengan
kurva performance gas lift (Gambar 3.45).
Berdasarkan data-data di atas, maka dapat dilakukan perhitungan sehingga
didapatkan kurva IPR yang dipotongkan dengan kurva Tubing Intake dengan
menggunakan senitivitas GLR. Hasil dari sensitivitas GLR tersebut akan diplotkan
pada kurva hidrolik (GLR Vs Rate). Dengan demikian akan dapat diketahui berapa
besarnya GLR optimum dan laju produksi maksimum sebelum penambahan injeksi
gas lebih lanjut akan menurunkan rate produksi.
181

2500

IPR
GLR 663
GLR 800
2000
GLR 1000
GLR 1600
GLR 2000
GLR 2500
GLR 3000
1500
GLR 3500
Tekanan, Psi

GLR 4000

1000

500

0
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800
Laju Produksi, stb/d

Gambar 3.44.
Kurva IPR dan GLR Asumsi

1220

1200

1180
Laju Produksi Total

1160

1140

1120

1100
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500
GLR Total, scf/stb

Gambar 3.45.
Gas Lift Performance Curve
182

3.5. Progressive Cavity Pump


Progressive Cavity Pump (PCP) merupakan salah satu jenis pompa putar
(rotary pump) yang terdiri dari rotor berbentuk ulir yang digerakkan oleh
penggerak melalui rod dan drive head, serta berputar didalam stator yang
merupakan bagian diam dari pompa yang dihubungkan kepermukaan oleh tubing.
Prime mover umumnya menggunakan motor listrik yang dipasang dipermukaan
didekat wellhead yang dihubungkan dengan perantara v-belt drive ke drive
assembly-nya. Stator pompa biasanya dihubungkan dengan tubing produksi
dipermukaan (pada tubular PCP) dan stator pompa dimasukkan dalam tubing (pada
insertabel PCP).
PCP terdiri dari dua komponen utama, yaitu stator yang diam berbentuk
pipa selubung yang bagian dalamnya terbuat dari bahan elastomer yang berbentuk
“double threaded helical” dan rotor yang bergerak secara rotary dan dalam keadaan
normal akan memompa fluida dan mendorongnya kepermukaan secara positif
(positive displacement pump). Arti positif disini adalah bahwa fluida yang telah
masuk kedalam pompa seluruhnya akan didorong kepermukaan tanpa adanya fluida
yang mengalir balik seperti yang terjadi pada pompa ESP.
Bila tekanan absolut dari cairan pada suatu titik didalam pompa berada
dibawah tekanan gelembung pada temperatur cairan, maka gas yang semula terlarut
didalam cairan akan terbebaskan. Gelembung-gelembung gas ini akan mempunyai
tekanan lebih tinggi, dimana gelembung akan mengecil lagi secara tiba-tiba yang
mengakibatkan shock yang besar pada dinding didekatnya. Fenomena ini disebut
kavitasi. Kejadian ini berhubungan dengan kondisi pengisapan. Bila kondisi berada
diatas tekanan gelembung, maka kavitasi tidak akan terjadi. Pada PCP ini justru
sistem kerjanya membuat kavitasi, sehingga pengaruh tekanan gelembung dapat
diabaikan, tetapi pengesetan pompa tetap perlu diperhitungkan.
183

Gambar 3.46.
Progressiv Cavity Pump
(SPE 110479., ”World’s First Metal PCP SAGD Field Test Shows Promising
Artificia-Lift Technology for Heavy-Oil Hot Production: Joslyn Field Case”, 2007)

Prinsip Kerja Progressive Cavity Pump


Pada PCP prinsip yang bekerja yaitu proses pemindahan rongga-rongga
yang terbentuk antara rotor dan stator yang berlangsung secara terus-menerus
dimana motor yang berputar dalam stator. Pada waktu rotor berputar secara
eksentris di dalam stator serangkaian rongga-rongga (cavities) yang terpisah 180o
satu sama lain bergerak maju dari sisi sebelah bawah naik menuju sisi pompa
sebelah atas. Pada saat rongga yang satu mengecil, rongga yang bersebelahan akan
membesar dengan kecepatan yang sama sehingga terjadi aliran fluida tanpa kejutan-
kejutan, karena tidak ada katup (valve) seperti pada pompa sucker rod sehingga
tidak ada gas yang terperangkap (gas lock) yang dapat mengurangi efisiensi pompa
dan aliran yang ada berlangsung secara kontinyu dengan kecepatan rendah yang
konstan (low velocity non-pulsating positive displacement). Pompa jenis ini mampu
menahan tekanan tersekat masing-masing rongga satu sama lain oleh suatu seal
yang terbentuk seperti garis (seal line) antara rotor dan stator atau tepatnya pada
bagian elastomernya.
184

Elastomer merupakan bagian dari stator berbentuk karet yang sangat


penting perannya dalam pertimbangan penggunaan pompa PCP ini. Elastomer
reaktif terhadap fluida produksi (minyak) dan mefmbentuk clearance antara rotor
dan stator.

Gambar 3.47.
Prinsip Kerja PCP
(SPE 110479., ”World’s First Metal PCP SAGD Field Test Shows Promising Artificia-
Lift Technology for Heavy-Oil Hot Production: Joslyn Field Case”, 2007)

3.5.1. Tipe-Tipe Progressive Cavity Pump


3.5.1.1. Tubular Progressive Cavity Pump
Jenis tubular PCP ini terdiri dari beberapa jenis yang kesemuanya itu
tergantung dari kebutuhan yang diperlukan, karena penggunaan PCP ini haruslah
disesuaikan dengan kapasitas produksi pompa yang digunakan dengan kemampuan
dari reservoir itu sendiri untuk mensuplai fluida produksi dari reservoir ke lubang
sumur. Laju produksi yang dihasilkan oleh PCP jenis ini lebih besar dibandingkan
dengan jenis Insertable PCP. Penggunaan turbular PCP ini biasanya lebih banyak
pada sumur onshore dikarenakan saat pemasangannya diperlukan penyambungan
antara tubing dengan stator yang sudah tentu lebih mudah dilakukan di onshore.

3.5.1.2. Insertable Progressive Cavity Pump


Jenis Insertable PCP ini juga terdiri dari beberapa jenis yang kesemuanya
juga tergantung dari kebutuhan yang diperlukan. Laju produksi yang dihasilkan
oleh PCP jenis ini lebih kecil dibandingkan jenis tubular PCP dikarenakan saat
pemasangannya, stator dan rotor dimasukkan langsung kedalam tubing yang
otomatis akan memperkecil volume fluida yang di produksikan. Penggunaan
185

insertable PCP ini mempunyai kelebihan yaitu lebih mudah untuk memasangnya
tanpa harus disambung dengan tubing. Oleh karena itu PCP jenis ini cenderung
banyak digunakan pada sumur di offshore.

3.5.2. Peralatan Progressive Cavity Pump


Secara umum peralatan Progressive Cavity Pump (PCP) dibagi menjadi dua
bagian, peralatan bawah permukaan dan peralatan atas permukaan. Peralatan-
peralatan tersebut saling berhubungan dalam kelancaran progressive cavity pump.

3.5.2.1. Peralatan Di Atas Permukaan Progressive Cavity Pump


Peralatan diatas permukaan berfungsi sebagai penggerak peralatan bawah
permukaan, dimana pergerakannya berupa putaran (rotary system). Peralatan atas
permukaan progressing cavity pump terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut :
1. Prime Mover
Penggerak pompa utama pada umumnya digunakan motor listrik yang
dipasang dipermukaan dekat well head. Kekuatan dari motor listrik disesuaikan
dengan kebutuhan daya untuk pengangkatan fluida dari dalam sumur. Jenis motor
ini dapat digunakan electric motor, gas engine, gasoline engine atau diesel engine
tergantung kondisi lapangan dan sumber tenaga yang ada.
Pemasangan kedalaman pompa (Pump Setting Depth) merupakan fakor
yang menentukan pada daya listrik (motor voltage) yang nantinya berpengaruh
terhadap besarnya putaran motor (RPM), karena semakin dalam semakin besar pula
RPM yang dibutuhkan.
2. Well Head
Well head adalah bagian utama sumur yang berguna untuk mematikan dan
menghidupkan produksi / aliran dari sumur. Well head dilengkapi dengan :
- Tubing Head Adapter
- Tubing Head dan Tubing Hanger
- Blow Out Preventer
186

3. V-belt System
V-belt adalah tali kipas yang menghubungkan roda dari prime mover (Prime
Mover Sheave) dengan roda dari drive (Drive Sheave), dimana tali kipas ini tidak
boleh teralu kencang dan tidak boleh terlalu kendur untuk mencapai putaran yang
optimal.
4. Drive Head Assembly
Adalah rangkaian peralatan yang meneruskan tenaga dari prime mover
dengan V-belt untuk memutar rod dan pompa ulir. Letaknya diatas well head yang
dilengkapi dengan well head frame untuk disambungkan ke well head, terdiri dari
komponen-komponen sebagai berikut :
A. Backstop Break Assembly
Alat ini disebut juga “Roller-Ramp Overruning Clutch” yang berfungsi
sebagai alat pengaman bagi seluruh peralatan progressing cavity pump. Break
akan bekerja pada waktu drive shaft berusaha akan berputar balik atau berputar
berlawanan arah dengan jarum jam. Hal ini dapat terjadi apabila mesin
penggeraknya stall (macet atau mati). Bila mesin penggerak berhenti pada saat
keadaan normal, fluida dalam tubing akan turun melalui elemen pompa. Ketika
itu terjadi, rotor pompa dan rod-string akan berputar balik.
Torqeu (gaya puntir) dibangkitkan oleh motor listrik dan dipindahkan ke
rod-string dan kekuatan dari mesin penggeraknya. Bila mesin penggeraknya
berhenti, rod-string akan berusaha berputar balik untuk menghilangkan torque-
nya. Pada waktu rod-string bergerak balik ini, perbedaan ukuran dari roda gigi
penurunan putaran berubah menjadi mempercepat dan memindahkan kecepatan
putaran pada sheave yang bekerja secara potensial dan membahayakan. Tugas
dari backstop break adalah untuk mencegah rod-string dan komponen lainnya
berputar balik, dengan demikian torque yang tersimpan dapat direndam secara
terkendali. Prinsip kerja backstop break assembly adalah terdiri dari roller-
ramp overruning clutch yang dipasakkan kepada drive shaft dan dikelilingi oleh
break and assy (sabuk rem) yang seluruh bagian yang bekerja ditempatkan pada
housing dan diberi penutup.
187

Overruning clutch menggunakan roller ramp yang dirancang dapat


bergerak bebas pada arah putaran satu dan bekerja pada arah sebaliknya. Pada
waktu bekerja normal dimana drive shaft-nya berputar searah jarum jam, alat
ini tidak bekerja dan roller-roller akan mengembang dan bergulir bebas. Akan
tetapi bila drive shaft berusaha untuk berputar balik maka roller-roller dengan
segera terjepit diantara ramp putar dan silinder yang diam dan ditahahan oleh
sabuk remnya. Kekuatan cengkeraman remnya dilepaskan dengan
mengendorkan sedikit ikatan baut penegang (tension bolt) sehingga daya
cengkeramnya berkurang. Alat ini terutama terdiri dari sebuah overruning
clutch yang didalamnya terdapat satu outer race seal dan ditempatkan
diatasnya, serta satu lip seal yang ditempatkan dibawahnya.
B. Drive Shaft
Ujung bawah dari drive shaft disambungkan dengan pony-rod dan
selanjutnya disambungkan dengan rangkaian sucker rod sampai ke ujung rotor
pompa.
C. Spiral Bevel gear Reducer Assembly
Susunan roda gigi bevel ini gunanya adalah selain untuk mengurangi
kecepatan putaran, juga untuk mengubah arah putarannya secara menyiku
sesuai dengan rotasi dari rotor pompa.
D. Stuffing Box Assembly
Merupakan bagian aas dari drive head assembly, digunakan sebagai
penyekat kebocoran terdiri dari housing yang didalamnya berisi satu set ring-
ring packing. Pada bagian terbawah dari packing housing dipasang packing
washer. Diatas washer dipasang dua susun ring packing dan diantaranya
dipasang lantern rings (ring-ring lantera) tempat memasukkan grease
(pelumas). Pada bagian paling atas dipasang packing gland penekan packing
yang terdiri dari dua belahan yang diikat secukupnya agar tidak terjadi
kebocoran antara drive shaft yang berputar dan packing-nya.
188

Gambar 3.48.
Susunan Progressive Cavity Pump
(SPE 30271., ”Progressive Cavity Pump Systems Applications in Heavy Oil
Production”, 1995)

3.5.2.2. Peralatan Di Bawah permukaan Progressive Cavity Pump


1. Gas Anchor
Komponen ini merupakan peralatan tambahan dan dipasang pada bagian
bawah. Alat ini diletakkan diantara seal (penyekat) dan pompa. Fungsinya untuk
memisahkan gas dari minyak agar gas tidak ikut masuk kedalam pompa, karena
adanya gas akan mengurangi efisiensi pompa. Gas anchor ini bila diperlukan saja
dipasang, yakni pada sumur yang memiliki kandungan gas tinggi.
2. Tubing Anchor
Merupakan tambahan yang dipasang pada bagian bawah rangkaian pompa.
Fungsinya untuk meredam getaran pda tubing saat pompa dioperasikan/ dijalankan
pada putaran (RPM) tertentu.
3. Centralizer
Merupakan alat tambahan yang dipasang pada tubing yang berfungsi untuk
menjaga tubing tetap berada di tengah-tengah lubang bor dan mencegah gesekan
langsung antara tubing dengan dinding casing. Biasanya centralizer ini
diaplikasikan pada sumur bersudut (deviated well) dengan kemiringan yang kecil.
189

4. Stator
Terletak diatas gas anchor yang dihubungkan dengan tubing produksi dan
berfungsi sebagai dudukan dari rotor. Stator terbuat dari bahan campuran synthetic
elastomer dengan steel tube yang tahan terhadap korosi dan abrasi. Adapun
spesifikasi dari stator adalah :
a) Medium High Acrylonitrile, digunakan dengan kondisi :
 SG minyak < 30 oAPI
 Fluida dengan GOR rendah
 Jika ada CO2
 Temperatur maksimum 200o F
b) Ultra High Acrylonitrile, digunakan dengan kondisi :
 SG minyak > 30 oAPI
 Fluida dengan sedikit dalam larutan (GLR ≈ 0)
 Temperatur maksimum 200o F
c) Very High Acrylonitrile, digunakan dengan kondisi :
 Bila terdapat kandungan asam (H2S) dengan maksimum konsentrasi 15,00
ppm atau 1,5 % dalam larutan
 Banyak terdapat faktor abrasi (pasir kasar)
 Bila terdapat Iron Sulfide dan Hydrogen Sulfide dengan maksimum
konsentrasi 20,00 ppm atau 20 % dalam larutan
 Temperatur maksimum 200o F.
Mengingat bahwa elastomer mempunyai keterbatasan dan sangat
berperanan penting dalam pompa PCP ini, maka perlu juga diperhatikan batasan-
batasannya, sehingga nantinya didapat jenis elastomer yang tepat untuk kandidat
sumur. Berikut adalah beberapa contoh elastomer yang sering digunakan :
190

Tabel III-13.
Spesifikasi Elastomer
(www.dyna-drill.com, ”Dyna-Lift Progressing Cavity Pumps”, 2006)
Elastomer Tipe Elastomer Keterangan Batas Ketahanan Ketahanan Ketahanan
Temperatur H2S CO2 Pasir
(ºC)
NBR-1A Medium-High Sangat baik digunakan pada 90 ºC Cukup Baik Baik
Acrylonitrile daerah yang abrasi, Baik untuk
NBR viskositas minyak diatas 25
ºAPI, toleran terhadap 2% H2S,
dan 2-3% volume pasir
NBR-OR High Sangat baik digunakan pada 125 ºC Sangat Sangat Baik
Acrylonitrile daerah yang abrasi, Baik untuk Baik Baik
NBR viskositas minyak diatas 35
ºAPI, toleran terhadap 3-5%
H2S, dan 2-3% volume pasir
NBR-SR Medium-High Sangat baik digunakan pada 85 ºC Cukup Sangat Sangat
Acrylonitrile daerah yang abrasi, Baik untuk Baik Baik
NBR viskositas minyak diatas 25
ºAPI, toleran terhadap 2% H2S,
dan 5% volume pasir
HSN-38 Medium-High Sangat baik digunakan pada 150 ºC Sangat Sangat Baik
Acrylonitrile daerah yang abrasi, Baik untuk Baik Baik
NBR viskositas minyak diatas 25-30
ºAPI, toleran terhadap 3-5%
H2S, dan 2-3% volume pasir

5. Rotor
Rotor ini bentuknya seperti ulir dan merupakan salah satu bagian dari PCP
yang berputar. Komponen ini dimasukkan kedalam tubing dan dihubungkan dengan
rod diatasnya. Rotor ini dibuat dari bahan stainless atau chrome yang tahan
terhadap korosi dan abrasi. Adapun spesifikasi dari rotor adalah :
a. Chrome Plate (Alloy Steel), digunakan untuk sumur-sumur yang cairannya
banyak mengandung faktor abrasi (pasir).
b. Non Plated (Stainless Steel), digunakan untuk sumur-sumur yang cairannya
banyak mengandung asam seperti H2S.
Dalam memilih rotor selain pertimbangan diatas, juga sangat dipengaruhi
oleh viscositas fluida dan BHT (Bottom Hole Temperature) reservoir.
191

Gambar 3.49.
Penampang Stator, Rotor dan Stator Rotor PCP.
(SPE 113324, “Design of Progressive Cavity Pump Wells.”, 2008)

Kemampuan tekanan pompa ini berdasarkan atas jumlah seal line atau
stage. Dimana 1 stage = 1,5 x Ps , atau 1 stage = 3 x Pr .Dengan bertambahnya stage
maka kemampuan tekanan pompa bertambah demikian pula dengan kedalamnya.
Besar kecilnya laju alir dapat diperhitungkan dengan menggunakan persamaan
berikut,
𝑞 = 𝑑 × 4𝑒 × 𝑃𝑠 × 𝑁
Keterangan :
q = Laju alir, gpm
d = diameter stator, in
e = eccentricity, in
Ps = Panjang pitch stator, in
N = Putaran per menit, rmp
192

Stator

Rotor

Gambar 3.50.
Stator Dan Rotor Progressive Cavity Pump
(SPE 110479., ”World’s First Metal PCP SAGD Field Test Shows Promising Artificia-
Lift Technology for Heavy-Oil Hot Production: Joslyn Field Case”, 2007)

6. Sucker Rod
Merupakan penghubung antara rotor dengan peralatan penggerak yang ada
di permukaan. Fungsinya adalah melanjutkan gerak berputar dari drive shaft atau
gear reducer yang ada didalam drive head ke rotor. Umumnya panjang satu single
sucker rod berkisar antara 25-30ft.
7. Pony Rod
Merupakan sucker rod yang mempunyai ukuran panjang lebih pendek.
Fungsinya adalah melengkapi panjang dari sucker rod apabila panjang dari sucker
rod tidak mencapai panjang yang dibutuhkan. Panjang pony rod adalah 2, 4, 6, 8,
10, dan 12 ft.

3.5.2.3. Peralatan Tambahan


Peralatan tambahan (Accessory Screwpump Tools) berguna untuk
menunjang operasi perlatan utama agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
Adapun peralatan tersebut adalah:
1. Hydraulic Skids
Adalah suatu unit perlatan yang mentrasmisikan tenaga dari prime mover ke
drive head dengan sisem Hydraulic Power Transmision Unit (HPTU). Alat ini
193

dilengkapi denga peralatan monitor tenaga putar dan penutup aliran (Torque
Monitoring dan Shutdown Assembly) yang berfungsi memutuskan aliran atau
tenaga dari prime mover dan menghentikannya bila terjadi putaran tinggi, sehingga
drive dan rod tidak rusak.
2. Tubing On-Off Tools
Alat ini berfungsi sebagai penyambung tubing pada beberapa titik rawan,
sehingga tubing terjaga agar tidak terlepas, karena alat ini dapat membebaskan
tegangan pada tubing dan meredam putaran yang berlawanan arah (berlawanan arah
jarum jam). Dan bila dikombinasikan dengan anchor atau catcher akan lebih
menstabilkan kedudukan tubing.
3. Sucker Rod Centralizers
Alat ini berfungsi untuk menjaga agar rangkaian rod tetap berada ditengah-
tengah (centralizing) tubing, sehingga memberikan putaran yang maksimum selain
mencegah rangkaian rod menempel pada tubing yang dapat mengesek dan
mengikisnya. Pada fluida produksi yang mengandung pasir, bahan elastomer dari
sleeve dapat menahan dan melindungi peralatan dari pengikisan tersebut. Selain itu
sucker rod centralizer juga meminimalkan friction loss yang dapat mengurangi laju
produksi, karena dirancang tidak bergerak dan mempunyai baling-baling.
Alat ini terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu:
a. Centralizer Shaft: terbuat dari baja yang diberi lapisan chrome, sehingga
dapat menaahan abrasi yang tinggi serta mempunyai lubang ditengah-
tengah rod yang ditengahkan.
b. Centralizer Sleeve: terbuat dari nitrile dengan baling-baling yang akan
melekatkan shaft pada tubing.
3.5.3. Perencanaan Progressive Cavity Pump
Perencanaan terdiri atas pengujian didalam usaha untuk menentukan suatu
bentuk sistem yang optimal untuk suatu aplikasi tertentu. Prosedur perhitungan
perencanaan penggunaan PCP terdiri dari :
- Penentuan Tipe Pompa
- Efisiensi Volumetris Pompa
194

A. Penentuan Tipe Pompa


Adapun langkah-langkah dalam perencanaan PCP sebagai berikut :
1. Mempersiapkan data-data yang diperlukan seperti : data sumur, data pompa,
dan data lainnya.
2. Mempersiapkan pembuatan kurva IPR
Sebagai contoh, Menggunakan Metode Pudjo Sukarno dengan asumsi :
- Faktor skin sama dengan nol
- Minyak, air dan gas berada pada satu lapisan dan mengalir secara radial
- Water cut (WC) tinggi
a. Menentukan SG minyak (SGoil), SG campuran (SGmix), Gradien Fluida
(Gf)
b. Menentukan konstanta P1 dan P2
c. Menentukan WC @ Pwf  Ps
d. Menghitung konstanta A0, A1, A2
e. Menentukan laju produksi total cairan maksimum (qt max)
f. Menghitung harga qo, WC, qw serta qtotal berdasarkan harga qt max (pada
Pwf asumsi  Ps)
g. Mentabulasikan nilai hasil perhitungan (terutama nilai qo, WC, qw dan qt)
h. Plot antara (Pwf vs qo), (Pwf vs qw), (Pwf vs qtot)
3. Menentukan Pump Setting Depth
a. Mempersiapkan data sumur
b. Menentukan Pump Intake Pressure (PIP)
PIP = Pwf – Gf (mid depth perforasi – pump intake pressure) ........(3-125)
Catatan :
Untuk perhitungan optimasi dengan asumsi Pwf berubah :
PIP = Pwf – Gf (mid depth perforasi – pump intake -  P) ..............(3-126)
Pwf  PwfAsumsi
P  ..................................................................(3-127)
Gf
c. Menentukan Setting Depth Pompa
Pwf
WFL  mid . perforasi  ......................................................... (3-128a)
Gf
195

PIP  Pc
PSD optimum = WFL + ..................................................(3-128b)
Gf
4. Menentukan Lifting Capacity (TNL) dengan asumsi Pflowline
TNL = (pump setting depth terpasang x Gf ) + Pflowline ...........................(3-129)
5. Menentukan Tipe Pompa yang Digunakan
Berdasarkan lifting capacity dan rate produksi yang diinginkan (dari IPR) dapat
ditentukan tipe pompa yang digunakan berdasarkan Quick Selection Guide.
(Tabel III-14). Contoh, bila menginginkan laju alir sebesar 1000 bfpd dengan
kedalaman pompa 500 ft, maka digunakan pompa size 10-H-685.
6. Menentukan RPM Pompa
Menggunakan kurva performance dari tipe pompa yang digunakan dapat
diperoleh RPM pompanya berdasarkan plot q vs TNL (Gambar 3.51.)
7. Menghitung Torque
TNL (m) x q pump displacement
Torque =  friction torque ............(3-130)
125
* harga friction torque antara 50 – 200 lb/ft diambil 100 -120.
8. Menghitung Horse Power Motor (HP motor)
RPMxTorque
HPpolish rod = .....................................................................(3-131)
5252
Q (m 3 /D) x PSD optimum (m)
HPhydraulic = ...........................................(3-132)
4360
Hpmotor = HPpolish rod + HPhydrulic ...............................................................(3-133)
9. Menentukan Jenis Drive Head
Menggunakan jenis drive head berdasarkan spesifikasi pompa (Gambar 3.52.)
10. Memilih Ukuran V-belt, Diameter Sheave Pump dan Diameter Sheave Motor
Menggunakan (Tabel III-15.), yang disesuaikan dengan pump speed yang
digunakan.
196

Tabel III-14.
Pedoman Pemilihan Quick Selection Guide
(Pedoman Pertamina, “Teknik Produksi” Jakarta, 2003)
197

Gambar 3.51.
Grafik Performance Pompa.
(Pedoman Pertamina, “Teknik Produksi” Jakarta, 2003)
198

Gambar 3.52.
Spesifikasi Pompa.
(Pedoman Pertamina, “Teknik Produksi” Jakarta, 2003)
199

Tabel III-15.
Pemilihan Drive Type dan Accessories Pompa.
(Pedoman Pertamina, “Teknik Produksi” Jakarta, 2003)
200

3.5.4. Analisa Peralatan Progressive Cavity Pump


3.5.4.1. Kondisi Suction
Pada waktu pompa dimasukkan ke dalam fluida sumur dan pompa dijalankan, maka
level fluida akan turun dari posisi statiknya (Static Fluid Level). Suction Head
didefinisikan sebagai jarak antara lubang masuk pompa (Pump Intake) dengan
permukaan level fluida kondisi operasi (Operation Fluid Level/ Working Fluid
Level).
Hs =PIP / Gf, feet…………………………………………………...(3-134)
Keterangan :
Hs = Suction Head, feet
PIP = Pump intake pressure, psi
Gf = Gradient fluida, psi/ft

3.5.4.2. Kondisi Discharge


Pada kondisi operasi, kerja yang dibutuhkan pompa untuk menaikkan dari level
energi ke level lainnya disebut Total Dynamic Head (TDH). TDH juga dinyatakan
sebagai pressure total, dimana pompa bekerja dan TDH dinyatakan sebagai head.
TDH dirumuskan sebagai berikut:
TDH = OFL + (Pt x 2,31/SG) + Hf, head…………..........................(3-135)
Keterangan :
OFL = Operation Fluid Level (Working Fluid Level), feet
Pt =Tekanan tubing dipermukaan, psi
SG = Specific Gravity
HF = Kehilangan tekanan karena friksi, ft

3.5.4.3. Penentuan Pump Setting Depth


Suatu batasan umum untuk menentukan letak kedalaman pompa dalam suatu sumur
adalah bahwa harus ditenggelamkan di dalam fluida sumur. Sebelum perhitungan
perkiraan Pump Setting Depth dilakukan, terlebih dahulu diketahui parameter yang
menentukannya, yaitu static fluid level (SFL) dan working fluid level (WFL) untuk
menentukannya digunakan alat sonolog atau dengan operasi wireline, bila sumur
201

tersebut tidak menggunakan packer. Jika sumur menggunakan packer, maka


penentuan SFL dan WFL dilakukan dengan :
A. Static Fluid Level (SFL, ft)
Apabila sumur dalam keadaan mati (tidak diproduksikan), sehingga tidak
ada aliran, maka tekanan di depan perforasi sama dengan tekanan statik sumur (Ps).
Sehingga kedalaman permukaan fluida di anulus (SFL, ft) adalah :
 Ps Pc 
SFL = D mid perf -    , feet…………………………………..(3-136)
 Gf Gf 
B. Working Fluid Level / Operating Fluid Level (WFL, ft)
Bila sumur diproduksikan dengan rate produksi sebesar q (bbl/D), dan
tekanan alir dasar sumur adalah Pwf (psi), maka ketinggian (kedalaman bila diukur
dari permukaan) fluida di annulus adalah :
 Pwf Pc 
WFL = D mid perf -   , feet ………………………………(3-137)
 Gf Gf 
Keterangan :
SFL = Static fluid level, ft
WFL = Working fluid level, ft
Ps = Tekanan statik sumur, psi
Pwf = Tekanan alir dasar sumur, psi
q = Rate produksi, B/D
Dmid perf = Kedalaman mid perforasi, ft
Pc = Casing head pressure, psi
Gf = Gradient fluida, psi/ft
Pump Setting Depth Minimum
Posisi minimum dalam waktu yang singkat akan terjadi pump off, oleh
karena ketinggian fluid level di atas pompa relatif sangat kecil atau pendek. Pada
kondisi ini pump intake pressure (PIP) akan menjadi kecil. Jika PIP mencapai harga
di bawah tekanan bubble point (Pb), maka akan terjadi penurunan efficiency
volumetric dari pompa (disebabkan terbebasnya gas dari larutan). Pump setting
depth (PSD) minimum dapat ditulis dengan persamaan :
PSD min = WFL + Pb/Gf + Pc/ Gf, ft………………………………(3-138)
202

Keterangan :
PSDmin = Pump setting depth minimum, ft.
WFL = Working fluid level, ft
Pb = Tekanan buble point, psi
Pc = Casing head pressure, psi
Gf = Gradien fluida, psi/ft
Pump Setting Depth Optimum
Untuk menentukan kedalaman pompa optimum dapat dipergunakan
persamaan sebagai berikut :
Pfop = PIP – Pc………………………………………………….….(3-139)
Keterangan :
Pfop = Tekanan kolom fluida di atas pompa, psi
PIP = Pump intake pressure, psi
Pc = Casing head pressure, psi
Apabila gradien fluida (Gf) diketahui, maka dapat ditentukan tinggi kolom
fluida di atas pompa, yaitu :
Pfop
Hfop = ……………………………………………………......(3-140)
Gf
Sehingga apabila kedalaman level fluid pada kondisi operasi WFL diketahu,
maka kedalaman pompa dapat ditentukan dengan persamaan :
PSD opt =WFL + Hfop……………………………………………..,,(3-141)
Keterangan :
PSD opt = Pump setting depth optimum, ft
WFL = Working fluid level, ft
Hfop = tinggi kolom fluida di atas pompa (submerger), ft
Pump Setting Depth Maksimum
Pompa pada keadaan maksimum, juga kedudukan yang kurang
menguntungkan. Karena dalam keadaan ini memungkinkan terjadinya overload
(pembebanan berlebihan), yaitu pengangkatan beban kolom fluida yang terlalu
berat. Kedalaman pump setting depth (PSDmax) dapat didefinisikan :
203

Pb Pc
PSDmax = D mid perf -  , feet ………………………………..(3-142)
Gf Gf
Keterangan :
Dmid perf = Kedalaman mid perforasi, ft
Pc = Casing head pressure, psi
Gf = Gradient fluida, psi/ft
Pb = Tekanan buble point, psi

3.5.5. Optimasi Progressive Cavity Pump


Laju produksi optimum atau yang diinginkan dapat ditentukan dari kurva
IPR sumur atau kapasitas dalam barrel dari fluida yang diproduksikan per hari per
psi drawdown (PI). Setelah itu dilakukan pemilihan jenis pompa dengan kapasitas
yang diperlukan sesuai dengan kemampuan reservoir.
Dalam optimasi PCP dapat dilakukan dengan mengatur pump setting depth
(PSD) dan kecepatan pompa untuk berputar. Perlu diketahui setiap sumur memiliki
PI reservoir yang bervariasi sehingga PSD dan kecepatan pompa diatur
menyesuaikannya. Letak PSD sendiri masih harus terletak dalam batas PSDmaksimum
dan PSDminimum. Dengan mengatur PSD hingga didapat kondisi optimum saja hanya
akan berpengruh kepada kenaikkan efisensi pompa yang kecil. Pengaturan
kecepatan pompa juga perlu dilakukan. Namun setiap jenis pompa memiliki batasan
kapasitasnya, termasuk kecepatan putar pompa maksimum. Jika melebihi
kecepatan tersebut, putaran akan menyebabkan pompa tersebut bergetar. Keadaan
ini akan menyebabkan tubing bisa saja terkikis dan rusak. Oleh karena itu,
pemilihan jenis pompa dengan kapasitasnya menjadi hal penting dalam optimasi
PCP.
Evaluasi Efisiensi Volumetris
Penentuan efisiensi volumetrik pompa PCP dilakukan dengan maksud
untuk mengetahui keefektifan kerja dari pompa yang direncanakan. Suatu
penggantian tipe pompa atau perubahan unit dapat dilakukan agar didapatkan
kapasitas produksi yang diinginkan. Besarnya efisiensi volumetrik pompa
204

diperoleh dengan membandingkan rate produksi aktual dari sumur terhadap rate
produksi teoritis.
Qtheory = V . N .......................................................................................(3-143)
Keterangan :
Qtheory = theoritical flow rate (bbl/day atau m3/day)
V = pump displacement (bbl/day/RPM atau m3/day/RPM)
N = rotation speed (RPM)
Sehingga persamaan volumetric didapat :
Q aktual
EV = x100% ...........................................................................(3-144)
Qteori
Keterangan :
EV = volumetric pumping efficiency (%)
Qaktual = actual flow rate (bbl/day, atau m3/day)
Qteori = theoritical flow rate (bbl/day atau m3/day)

3.6. Screening Criteria Artificial Lift


1. Screening Criteria Sucker Rod Pump
 Kedalaman Operasi : 16000 feet TVD
 Mengatasi Korosi : Baik sampai istimewa
 Volume Operasi : 5 Sampai 6000 BFPD
 Mengatasi Adanya Gas : Cukup sampai baik
 Mengatasi Adanya Padatan : Cukup sampai baik
 Densitas Fluida : >8 ⁰API
 Perawatan : Workover rig
 Tenaga Penggerak Utama : Gas atau Listrik
 Aplikasi di offshore : Buruk
2. Screening Criteria Electical Submersible Pump
 Kedalaman Operasi : 15000 feet TVD
 Mengatasi Korosi : Baik
 Volume Operasi : 200 Sampai 60000 BFPD
205

 Mengatasi Adanya Gas : Buruk sampai cukup


 Mengatasi Adanya Padatan : Buruk sampai cukup
 Densitas Fluida : >8 ⁰API
 Perawatan : Workover rig
 Tenaga Penggerak Utama : Motor Listrik
 Aplikasi di offshore : Istimewa
3. Screening Criteria Jet Pump
 Kedalaman Operasi : 15000 feet TVD
 Mengatasi Korosi : Baik sampai istimewa
 Volume Operasi : 300 sampai 20000 BFPD
 Mengatasi Adanya Gas : Cukup sampai baik
 Mengatasi Adanya Padatan : Buruk sampai baik
 Densitas Fluida : >8⁰API
 Perawatan : Hydraulic atau wireline
 Tenaga Penggerak Utama : Listrik
 Aplikasi di offshore : Baik sampai istimewa
4. Screening Criteria Gas Lift
 Kedalaman Operasi : 18000 feet TVD
 Mengatasi Korosi : Baik sampai istimewa
 Volume Operasi : 100 Sampai 50000 BFPD
 Mengatasi Adanya Gas : Istimewa
 Mengatasi Adanya Padatan : Baik sampai istimewa
 Densitas Fluida : >15 ⁰API
 Perawatan : Wireline atau workover rig
 Tenaga Penggerak Utama : Kompresor gas
 Aplikasi di offshore : Istimewa
5. Screening Criteria Progressive Cavity Pump
 Kedalaman Operasi : 12000 feet TVD
 Mengatasi Korosi : Cukup sampai baik
 Volume Operasi : 5 Sampai 6000 BFPD
206

 Mengatasi Adanya Gas : Baik


 Mengatasi Adanya Padatan : Istimewa
 Densitas Fluida : <40 ⁰API
 Perawatan : Workover rig
 Tenaga Penggerak Utama : Gas atau listrik
 Aplikasi di offshore : Baik

Anda mungkin juga menyukai