Anda di halaman 1dari 1

Film ini diawali dengan adegan Seorang laki-laki paruh baya menonton televisi yang

menayangkan film Jagal (The Act Of Killing) karya Joshua Oppenheimer sebelumnya, laki –
laki itu hanya terpaku dan terlihat sangat tertekan melihat adegan demi adegan dimana Anwar
Congo memperagakan bagaimana ia dulu membunuh orang – orang yang terlibat gerakan
Komunis.

Adalah Adi laki – laki paruh baya, seorang PUJAKESUMA (Putra Jawa Kelahiran
Sumatera), yang merupakan adik dari seorang kakak yang terbunuh pasca kejadian G30SPKI.
Kakaknya ini dituduh terlibat gerakan Komunis di masa dimana telunjuk kita bisa lebih
mematikan dari laras senapan. Kenangan kelam masa lalu ini yang kemudian membawa Adi
pada sebuah pencarian. Ia lantas berkeliling ke daerah dimana dahulu kakaknya terbunuh
yaitu di sekitar Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Tampak jelas digambarkan di film
dokumenter ini bahwa yang dicari Adi hanya sesuatu yang sederhana, sebuah kata, Maaf, dari
orang – orang yang dulu terlibat dan bertanggung jawab atas kematian Kakaknya. Beberapa
kali adegan memperlihatkan ketika Adi menemui sang mantan ‘Penjagal’ ia hanya
‘memancing’ cerita tentang apa yang dahulu mereka lakukan yang kemudian ia akhiri dengan
sebuah pengakuan bahwa dirinya adalah adik dari salah seorang korban, lalu ia diam, tanpa
menuntut apa – apa secara eksplisit kepada sang mantan ‘Penjagal’, yang kemudian
mendapat respon beragam dari sang mantan – mantan ‘Penjagal’ itu.

“Tampak jelas digambarkan di film dokumenter ini bahwa yang dicari Adi hanya sesuatu
yang sederhana, sebuah kata, Maaf.”

Senyap (The Look of Silence) ini adalah dokumenter kedua yang digarap Joshua
Oppenheimer. Untuk menggarap film ini Joshua nampaknya perlu kembali ke Negaranya
atau setidaknya ke Jakarta lalu mengambil peralatan yang lebih mumpuni, karena yang saya
tangkap pertama kali ketika menonton film ini adalah kualitas sinematografi yang lebih baik
dari film pertamanya, Jagal (The Act of Killing). Cerita film Senyap masih seputar
pengungkapan dari sudut pandang yang berbeda terkait peristiwa yang pernah terjadi pasca
G30SPKI. Jika di film pertama sudut pandang diambil dari kacamata sang pelaku
‘Pembantaian’, film kedua ini mengambil angle dari kacamata penyintas (korban).

Dan dari film ini saya jadi teringat sebuah pernyataan yang bilang, “Sejarah adalah milik
pemenang perang”, yang menurut saya itu salah. Sejarah seharusnya adalah milik ‘Sang
Kebenaran’. Tapi siapa kah itu ‘Sang Kebenaran’? apakah ia si ‘Pemenang Perang’?.

Anda mungkin juga menyukai