Inkontinensia Dikonversi
Inkontinensia Dikonversi
ELIZABETH H
0906554043
DEPOK
JULI 2014
ELIZABETH H
0906554043
DEPOK
JULI 2014
HALAMAN PENGESAHAN
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan berkat sehingga saya dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir ners
(KIA-N) ini. Penulisan KIA-N ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu
syarat untuk meraih gelar perawat (Ners) pada Fakultas Ilmu Keperawatan
an KIA-N ini tidak lepas dari dorongan, bimbingan, bantuan dan petunjuk dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesemp
an dan bimbingannya yang telah diberikan selama proses pembuatan KIA-N ini;
N dan memberikan arahan dan masukan untuk KIAN ini
kesempatan kepada saya untuk melakukan praktik klinik keperawatan Gerontik kesehatan masyarakat perkotaan;
audara saya Ando Hutagaol, Ronald, Samuel, Moraliston Sihotang dan Alex Tobing yang telah memberikan bantuan materia
membantu saya dalam menyelesaikan karya ilmiah akhir ners ini.
membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga KIA-N ini dapat bermanfaat
bagi pengembangan ilmu
Penulis
viii
Analisis praktik ..., Elizabeth H, FIK UI, 2014
ABSTRAK
Nama : Elizabeth H
Inkontinensia urin sering terjadi pada lansia, hal ini berkaitan dengan perubahan
secara biologis yaitu penurunan muskoloskeletal, melemahnya otot dasar panggul dan
ketidakmampuan otot sfingter eksternal sementara atau menetap untuk mengontrol
ekskresi urin, itu sebabnya makin lanjut usia makin besar kecenderungan untuk
menderita inkontinensia urin. Karya ilmiah akhir ners ini bertujuan member
gambaran masalah inkontinensia di Wisma Flamboyan PSTW Budi Mulia 01
Cipayung, intervensi keperawatan yang paling efektif dilakukan yaitu latihan kegel.
Hasil evaluasi menunjukkan kemampuan berkemih lansia semakin baik ketika
dilakukan latihan kegel.
ABSTRACT
Name : Elizabeth H
Universitas Indonesia
HALAMAN JUDUL.............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................iii
HALAMAN PERSETUJUAN..............................................................................iv
KATA PENGANTAR...........................................................................................v
ABSTRAK............................................................................................................vi
DAFTAR ISI.........................................................................................................vii
BAB 1 PENDAHULUAN....................................................................................1
3.4 Implementasi...................................................................................................24
3.5 Evaluasi...........................................................................................................25
4.2 Analisa Masalah Keperawatan dengan Konsep Terkait KKMP dan Konsep
Kasus Terkait...........................................................................................32
4.3 Analisis Salah Satu Intervensi dengan Konsep dan Penelitian Terkait......33
BAB 5 PENUTUP................................................................................................34
5.1 Kesimpulan......................................................................................................34
5.2 Saran................................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Bila ditinjau dari presentase penduduk lansia yang berada diperkotaan sebanyak
7,49% dan tidak jauh dari jumlah lansia yang berada didaerah pedesaan yaitu 9,19 %
(RISKESDAS, 2007) dan menurut tipe daerah, persentase lansia yang bekerja di
daerah perkotaan (51,46%) lebih tinggi dibandingkan lansia perdesaan (38,99%).
Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh jenis pekerjaan di perdesaan bersifat
informal yang tidak memiliki persyaratan yang umumnya tidak dapat dipenuhi oleh
penduduk lansia, seperti faktor umur dan pendidikan (Sakernas Tahun 2011)
Lansia adalah periode dimana seseorang telah mengalami kematangan baik dalam
ukuran maupun fungsi tubuh. Seseorang dapat dikatakan lansia apabila ia telah
mencapai usia diatas 65 tahun (WHO, 2012). Sedangkan menurut Depkes RI (2003),
usia lanjut usia yaitu orang yang berusia lebih dari 60 tahun. Lanjut usia merupakan
tahap akhir perkembangan manusia. Seseorang pada tahap perkembangan lansia
mengalami penurunan fisiologis pada berbagai system tubuh yang disebut dengan
proses penuaan ( Stanley, 2006). Menua adalah suatu proses yang mengubah manusia
dewasa dari keadaan sehat menjadi rapuh dengan berkurangnya cadangan
kemampuan system fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap penyakit dan
diikuti kematian (Miller, 2003). Lansia mengalami perubahan secara biologis, dimana
sel-sel sudah mengalami penurunan sel, terjadi penurunan fungsi panca indra, kulit
mengalami penurunan lemak dibawah kulit, sehingga membuat kulit berkurang
elastisitasnya, membuat kulit menjadi kriput. Perubahan masalah yang sering terjadi
pada lansia yaitu lansia lebih cenderung mengalami inkontinensia dikarenkan otot-
otot yang berperan menahan keluarnya cairan urin dari kandung kemih atau kantung
urine menjadi semakin lemah, sehingga tidak dapat menahan keluarnya urine. Hal ini
berkaitan dengan perubahan secara biologis yaitu penurunan muskoloskeletal,
melemahnya otot dasar panggul dan ketidakmampuan otot sfingter eksternal
sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urin, itu sebabnya makin lanjut
usia makin besar kecenderungan untuk menderita inkontinensia urin (Setiati, 2001)
WHO menyatakan bahwa inkontinensia urin merupakan salah satu topik kesehatan
cukup besar dan diperkirakan lebih dari 200 juta orang diseluruh dunia mempunyai
masalah dalam pengontrolan berkemih (Rortveit et al, 2003). Menurut hasil
penelitian Brown et al (2006) di Spanyol kemungkinan usia lanjut bertambah besat
inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun. Pada usia lanjut, masalah
inkontinensia urin merupakan masalah yang sering terjadi. Prevalensi inkontinensia
urin dalam komunitas orang yang berumur lebih dari 60 tahun berkisar 15-30%..
Survey inkontinensia urin di Indonesia yang dilakukan oleh Divisi Geriatri di poli
Geriatri Dr. sardjito didapatkan angka prevelansi inkontinensia urin sebesar 14,47 %
(Setiati & Pramantara, 2007).
Survei yang pernah dilakukan hanya di Poliklinik Usia Lanjut RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 1999 didapatkan angka inkontinensia urin
sebesar 10%, pada tahun 2000 meningkat menjadi 12%, dan semakin meningkat pada
tahun 2001 yaitu sebesar 21%, kemudian menurun pada tahun 2002 sebesar 9%, dan
naik lagi pada tahun 2003 sebesar 18% (Setiati et all, 2003).
Inkontinensia urin yang berkepanjangan yang tidak ditangani dengan baik dapat
mempengaruhi kualitas hidup seseorang salah satunya segi psikologis, ini membuat
orang malu untuk bersosialisasi dengan teman sebayanya. Identifikasi awal
perubahan pada status inkontinensia mampu meningkatkan kualitas perawat dalam
manajemen terapi simptomatik, aktivitas menilai status inkontinensia pada lansia
adala bentuk interpretasi tindakan yang mempengaruhi pada lansia. Tujuan
mengidentifikasi inkontinensia urin pada lansia merupakan sebagai dasar pengelolaan
inkontinensia urin pada lansia, memastikan strategi manajemen inkontinensia urin
yang akan dilakukan menurut bukti terbaik dan meningkatkan pemeliharaan integritas
kulit (Pearce, 2002).
Pekerjaan sebelum masuk panti sosial residen bekerja sebagai pengamen masuk ke
Panti Sosial Tresna Werda pada tanggal 1 April 2014, sebelumnya bertempat tinggal
di kos daerah Pasar Rebo namun karena tidak memiliki uang lagi akhirnya Residen
memilih tinggal di pinggir jalan. Selama di Jakarta, Residen pernah bekerja sebagai
penjual martabak, penjual es, dan terakhir bekerja sebagai pengamen di pinggir jalan
di daerah pasar rebo, Residen dibawa oleh pihak Kamtibmas ketika sedang tidur di
pinggir jalan, klien lalu dibawa ke Panti Sosial Tresna Werda. Pada saat pengkajian
perkemihan terhadap klien, klien mengeluhkan pernah mengompol 2 kali pada saat
setelah bangun pagi dan ketidakmampuannya mencapai toileting, kejadian ini sudah
terjadi selama 3 kali semenjak dia berada dipanti, klien juga sangat suka
mengkomsumsi kopi, sehari 1kali, terkadang kalau uang klien tidak ada, klien
meminum kopi 1 minggu 2-3 kali. Penulis tertarik untuk mendalami masalah
keperawatan yang dialami oleh klien, dan tertarik untuk melakukan penatalaksaan
berbagai macam tindakan untuk mecegah inkontinensia.
Pencegahan masalah perkemihan pada kakek D ini merupakan masalah yang biasa
dialami oleh lansia, yang mana terjadinya penurunan kekuatan otot diantaranya otot
dasar panggul. Penanganan yang perawat bisa lakukan yaitu dengan cara
meningkatkan kekuatan otot-otot dasar panggul dengan melakukan latihan untuk
meningkatkan kekuatan otot-otot dasar panggul. Latihan ini disebut dengan kegel’s
exercise (Black & Hawks, 2005). Tindakan ini telah terbukti meningkatkan kekuatan
otot dan mengurangi inkontinensia urin. Hasil penelitian Smith, et.al (2009) juga
membuktikan bahwa latihan otot dasar panggul sangat efektif untuk mencegah
inkontinensia urin maupun feses. Selain latihan ini, perawat bisa menggunakan
latihan panggul (bladder training). Bladder training bertujuan untuk memperpanjang
waktu pengosongan kandung kemih, meningkatkan jumlah cairan yang dapat ditahan
dalam kandung kemih, dan mengurangi sense of urgency dan pengeluaran urin yang
tidak dirasakan (Family doctor organization, 2004). Latihan ini baik dilakukan
kombinasi antara bladder training dan kegel’s exercise, dan kombinasi dari latihan ini
mampu menurunkan episode inkontinensia urin. (Setyowati , 2007). Selain itu
penatalaksanaan pada inkontinensia urin bisa dilakukan dengan cara mengurangi
komsumsi kafein dan minum alkohol. (Arya, 2000, dalam Howard, et.al. 2008)
menyatakan bahwa penelitian membuktikan bahwa inkontinensia urin dapat diatasi
dengan mengurangi konsumsi kafein. Howard (2008) juga menyatakan bahwa pasien
dengan urgency, frekuensi urin dan urge incontinence mengalami perbaikan setelah
menerapkan bladder training dan mengurangi konsumsi kafein.
Inkontinensia urin pada lanjut usia termasuk masalah kesehatan yang sering terjadi
dikalangan lansia, Terjadi perubahan-perubahan fisik salah satunya perubahan sistem
perkemihan yaitu inkontinensia urin merupakan salah satu masalah besar yang
banyak dialami oleh lansia dan perlu mendapat perhatian khusus seiring dengan
meningkatnya populasi lanjut usia di Indonesia.
Tujuan umum dalam penulisan ini adalah untuk memberi gambaran asuhan
keperawatan yang telah diberikan pada lansia yang mengalami inkontinensia
dengan cara melakukan komsumsi kafein, bladder exercise dan Kegel exercise
pada lanjut usia di PSTW Budi Mulia 01 Cipayung .
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penulisan ini yaitu:
1.3.2.1 Teridentifikasi pengkajian yang telah dilakukan pada lansia yang
mengalami inkontinensia
1.3.2.2 Memberikan gambaran tindakan keperawatan yang paling efektif
untuk mencegah Inkontinensia terjadi kembali.
1.3.2.3 Memberi gambaran evaluasi tindakan keperawatan yang diberikan
pada lansia dengan inkontinensia urin sebelum dan sesudah
dilakukannya tindakan keperawatan menggunakan Skala SSI
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Manfaat Aplikasi
Hasil penulisan ini dapat bermanfaat bagi perawat khususnya praktek
keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada lansia dengan
gangguan perkemihan yaitu inkontinensia urin melalui beberapa latihan yang
akan diajarkan sebagai tindakan dalam mengatasi masalah keperawatan
inkontinensia urin
PEMBAHASAN
Menyimak fenomena urbanisasi, maka akan terus meningkatnya juga jumlah lansia
di perkotaan, maka pemerintah daerah perkotaan pun harus segera menyiapkan
langkah efektif guna menangani fenomena ini, khususnya dalam bidang kesehatan.
Sehingga, seruan WHO dalam Hari Kesehatan Sedunia 2012 menyatakan agar semua
pihak melakukan gerakan-gerakan yang menekankan pentingnya memperhatikan
pelayanan kesehatan terhadap kalangan lansia, dapat terealisasi dengan baik. Hal-hal
tersebut menunjukkan bahwa untuk mencegah perburukan kondisi kesehatan maka
dibutuhkan promosi kesehatan dari berbagai profesi kesehatan, termasuk bidang
keperawatan.Hal tersebut juga menunjukkan bahwa peran perawat pada seting
perkotaan harusnya lebih ditingkatkan.
a. Klasifikasi lansia
Klasifikasi lansia menurut Depkes RI 2003 (didalam Maryam, 2008).
1. Pralansia yaitu seorang yang berusia antara 45-59 tahun.
2. Lansia, yaitu orang yang berusia lebih dari 60 tahun
3. Lansia resiko tinggi, yaitu orang yang berusia 70 tahun atau lebih/ seseorang
berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.
4. Lansia potensial, yaitu lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan
atau kegiatan yang dapat menhasilkan barang/jasa.
5. Lansia tidak potensial, yaitu lanisa yang tidak berdaya mencari nafka,
sehingga hidupnya berganting pada bantuan oranglain.
b. Batasan-batasan lansia menurut WHO (didalam Nugroho, 2008),
mengelompokkan lansia menjadi empat kelompok yaitu:
1. Usia pertengahan (middle age) kelompok usa 45-59 tahun.
2. Usia lanjut (erderly) kelompok antara usia 60-70 tahun.
3. Usia lanjut tua (old) kelompok antara usia 70-75 tahun
4. Usia sangat tua ( very old) kelompok antara usia siatas 90 tahun.
Pada usia lansia ini terjadi perubahan dan masalah fisik, biologi dan sosial atau
penyakit degenerative yang muncul seiring dengan menuannya seseorang. Perubahan
itu terkait jumlah penurunan sel, penurunan fungsi fisik, mental dan sosial (sahar,
2001). Umumnya perubahan yang terjadi perubahan sel, dimana sel pada diri seorang
lansia akan menjadi lebih sedikit jumlahnya, terjaid penurunan proporsi protein di
otak, otot, ginjal, darah, hato dan jumlah sel otak menurun, dan terganggunya
perbaikan sel. Jumlah sel-sel otak berkurang sehingga disertai penurunan fungsi
pengindraan seperti fungsi penglihatan, pendengaran, penciuman. Kulit juga
mengalami perubahan karena penurunan lemak dibawah kulit yang menyebabkan
hilangnya elastisitas kulit sehingga menjadikan kulit lebih keriput. Tulang kehilangan
density (cairan) dan makin rapuh, kifosis, pergerakan pinggang, lutut dan jari-jari
terbatas, persendian menjadi kaku, tendon mengerut serta atrofi serabut otot
(Nugroho, 2008). Perubahan lain yang paling menonjol pada lansia yaitu terjadinya
inkontinensia urin karena penurunan kekuatan otot dasar panggul (Hudak& Carolyn,
1997).
Selain perubahan fisik, lansia juga mengalami perubahan mental dan sosial,
perubahan mental yang sering terjadi diantaranya penurunan daya ingat, depresi,
akibat menurunnya fungsi organ tubuh oleh karena bertambahnya usia. Pada
perubahan sosial lansia dilahat dari lansia itu merasa tidak berguna dan diasingkan,
hilang kekuasaan dan pekerjaan. Ini yang membua lansia bisanya menolak untuk
bersosialisasi dengan lingkungan (Kuntioro, 2002)
Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang
merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus,
risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan
rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga
akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).
Perubahan ini disebabkan melemahnya otot dasar panggul, terjadinya kontraksi yang
abnormal pada kandung kemih yang menimbulkan rangsangan berkemih sebelum
waktunya dan meninggalkan sisa, pada pengosongan kandung kemih yang tidak
sempurna bisa mengakibatkan urine didalam kandung kemih yang cukup banyak
sehingga dengan pengisian sedikit sudah merangsang untuk berkemih ( Setiati, 2000).
Inkontinensia ini sering terjadi pada lansia, salah satunya dengan pasien Pasien
delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toilet sehingga
berkemih tidak pada tempatnya. Kurangnya mobilisasi pasien dapat memicu
timbulnya inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia persisten,
seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya. Resistensi urin karena
obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula menyebabkan inkontinensia urin.
Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya inkontinensia
urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan
terjadinya inkontinensia urin seperti Calcium Channel Blocker, agonist adrenergic
alfa, analgesic narcotic, psikotropik,antikolinergik dan diuretic.Untuk mempermudah
mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible dapat disingkat menjadi
DIAPPERS
2. Inkontinensia Kronis
Ada beberapa tipe dari inkontinensia urin ini yaitu: inkontinensia dorongan,
inkontinensia total, inkontinesia stress, inkontinensia refleks, inkontinensia
fungsional (Hidayat, 2006).
a. Inkontinensia Over Flow
Inkontinensia ini terjadi jika retensi menyebabkan kandung kemih terlalu penuh dan
sebagian terlepas secara tidak terkontrol, hal ini pada umumnya disebabkan oleh
neurogenik bladder atau obstruksi bagian luar kandung kemih.
b. Inkontinensia Stress
Menurut Hidayat (2006) inkontinensia tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes
dengan peningkatan tekanan abdomen, adanya dorongan berkemih, dan sering miksi.
Inkontinensia ini terjadi apabila urin secara tidak terkontrol keluar akibat tidak
terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan intraabdominal. Dalam hal ini,
tekanan di dalam kandung kencing menjadi lebih besar daripada tekanan pada
urethra. Gejalanya antara lain kencing sewaktu batuk, mengedan, tertawa, bersin,
berlari, atau hal lain yang meningkatkan tekanan pada rongga perut. Umumnya
disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul, merupakan penyebab tersering
inkontinensia urin pada lansia di bawah 75 tahun. Pasien mengeluh mengeluarkan
urin pada saat tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau
banyak. Pengobatan dapat dilakukan secara tanpa operasi (misalnya dengan Latihan
Kegel). Inkontinensia stress ini paling sering ditemukan pada wanita dan dapat
disebabkan oleh cidera obstetrik, lesi kolum vesika urinaria, kelainan ekstrinsik
pelvis, fistula, disfungsi detrusor dan sejumlah keadaan lain (Smeltzer, 2001).
c. Inkontinensia Urge
i Inkontinensia urgensi, adalah pengeluaran urin secara involunter yangv terjadi
segera setetelah keinginan berkemih yang keluar muncul (NANDA, 2012).
Inkontinensia ini merupakan keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan
sensasi keinginan berkemih. Inkontinensia urin jenis ini umumnya dikaitkan dengan
kontraksi detrusor tak terkendali (detrusor overactivity). Masalah-masalah neurologis
sering dikaitkan dengan inkontinensia urin urgensi ini, meliputi stroke, penyakit
Parkinson, demensia dan cedera medula spinalis. Inkontinensia tipe urgensi ini
merupakan penyebab tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi
inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor dengan kontraktilitas yang
terganggu. Pasien mengalami kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan
kandung kemih sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti inkontinensia urin stress,
overflow dan obstruksi.
Keadaan inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih,
merasa bahwa kandung kemih penuh, kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk
mengeluarkan urin (Hidayat,2006). Inkontinensia fungsional merupakan
inkontinensia dengan fungsi saluran kemih bagian bawah yang utuh tetapi ada faktor
lain, seperti gangguan kognitif berat yang menyebabkan pasien sulit untuk
mengidentifikasi perlunya urinasi (misalnya, demensia Alzheimer) atau gangguan
fisik yang menyebabkan pasien sulit atau tidak mungkin menjangkau toilet untuk
melakukan urinasi (Smeltzer,2001).
2.3.2 Patofisiologi
Perubahan yang terkait dengan usia pada sistem Perkemihan Vesika Urinaria
(Kandung Kemih) Kapasitas kandung kemih yang normal sekitar 300-600 ml.
Dengan sensasi keinginan untuk berkemih diantara 150-350 ml. sedangkam menurut
miller (1999) Dalam kondisi yang nyaman, lansia mampu menyimpan 250-300ml
urin, dibandingkan dengan kapasitas tamping urin dalam kandung kemih orang
dewasa muda sebanyak 350-400 ml .Berkemih dapat ditundas 1-2 jam sejak
keinginan berkemih dirasakan. Ketika keinginan berkemih atau miksi terjadi pada
otot detrusor kontrasi dan sfingter internal dan sfingter ekternal relaksasi,yang
membuka uretra. pada orang dewasa muda hamper semua urine dikeluarkan dengan
proses ini.
Pada lansia tidak semua urine dikeluarkan, tetapi residu urine 50 ml atau kurang
dianggap adekuat. Jumlah yang lebih dari 100 ml mengindikasikan adanya retensi
urine. Perubahan yang lainnya pada peroses penuaan adalah terjadinya kontrasi
kandung kemih tanpa disadari. Pada wanita yang lanjut usia, terjadi penurunan
produksi esterogen menyebabkan atropi jaringan uretra dan efek akibat melahirkan
mengakibatkan penurunan pada otot-otot dasar (Stanley M & Beare G Patricia,
2006).
Inkontinensia pada usia lanjut terjadi karena adanya penurunan otot dasar panggul.
Proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat di pusat berkemih di sacrum, jalur
aferen yang akan membawa informasi mengenai volume kandung kemih di medulla
spinalis ( Darmojo, 2000), pada pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara
relaksasi kandung kemih melalui kerja saraf parasmpatis serta saraf simpatis dan
somatic yang mempersarafi otot dasar panggul.
Ford Martin (2002) yang meneliti pengaruh Kegel exercise dan bladder training
terhadap inkontinensia urin. Penelitian ini menyatakan bahwa latihan Kegel yang
dilakukan 15 menit setiap hari selam 4 – 6 minggu dan bladder training selama 3 – 12
minggu dapat menurunkan keluhan inkontiensia. Pernyataan yang sama juga
disampaikan oleh Northrup (dalam Craven & Hirnle) bahwa wanita yag melakukan
Kegel exercise secara konsisten dan benar selama satu bulan hasilnya sangat
memuaskan dan dapat mengatasi masalah inkontinensia urin. Smith, et al. (2009)
yang meneliti tentang efek latihan otot dasar panggul terhadap bladder training
terhadap inkontinensia urin yang membandingkan wanita dengan inkontinensia urin
yang dilakukan bladder training dan yang tidak dilakukan bladder training tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan. Tetapi kombinasi Kegel’s exercise dan
bladder training yang dilakukan pada 125 wanita yang dibagi menjadi dua kelompok
yang ditraining dan latihan secara mandiri menunjukkan hasil yang sangat
memuaskan dan signifikan secara statistik. Secara kualitatif juga diperoleh data
meningkatnya persepsi responden tentang peningkatan kualitas hidup Hal ini
diungkapkan oleh Wallace (2006)
BAB 3
LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA
Bab ini akan membahas asuhan keperawatan meliputi pengkajian, analisa data
implementasi dan evaluasi yang diberikan kepada lansia yang mengalami
inkontinensia sebagai kasus kelolaan utama penulis.
Pekerjaan sebelum masuk panti sosial klien bekerja sebagai pengamen masuk ke
Panti Sosial Tresna Werda pada tanggal 1 April 2014. Klien dibawa oleh pihak
Kamtibmas ketika sedang tidur di pinggir jalan, sebelumnya bertempat tinggal di kos
daerah Pasar Rebo namun karena tidak memiliki uang lagi akhirnya Klien memilih
tinggal di pinggir jalan. Klien berasal dari Medan, merantau ke Jakarta sejak tahun
1980. Klien menikah 2 kali. Pernikahan pertama tahun 1975 dan berakhir cerai tahun
1985. Dari istri pertama Klien memiliki satu anak perempuan yang saat ini tinggal di
Medan. Kontak terakhir dengan anak dan istri pertamanya yaitu tahun 1990. Klien
kemudian menikah lagi tahun 2005 dengan perempuan asal Semarang. Istri kedua
Kakek sudah meninggal 3 tahun yang lalu karena sakit thyfoid. Dari istri kedua ini
klien tidak memiliki anak. Selama di Jakarta, Klien pernah bekerja sebagai penjual
martabak, penjual es, dan terakhir bekerja sebagai pengamen di pinggir jalan di
daerah pasar rebo.
Kondisi emosi klien termasuk mudah diajak untuk berkomunikasi dengan baik.
Menurut beberapa teman klien yang tinggal satu wisma dengannya, klien termasuk
seorang yang pendiam, tidak banyak berbicara dengan yang lain, namun tetap dapat
diajak ngobrol. Pembawaan Klien cukup tenang dan pendiam.
Hasil wawancara dengan klien, mengatakan ketika bangun pagi tiba-tiba celananya
sudah basah dan tidak terasa sudah mengompol dan mengatakan ketidakmampuan
mencapai toileting pada saat berkemih, klien mengatakan tidak memberitahu masalah
ini ke petugas panti, karena menurut klien, dia mampu untuk menyelesaikan
masalahnya sendiri dan malu kalau memberitahu sama petugas. Pada saat penulis
melakukan pemeriksaan Bladder, terlihat pada saat penampung urin, jumlah uriin
output 1000ml, warna kuning, klien banyak kencing, dan pada saat pemeriksaan
kandung kemih, tidak adanya tanda pembesaran dan tidak ada nyeri tekan.
Perilaku klien terlihat sering minum kopi pada siang hari dan sehari-hari tampak
tidak bersemangat dan malas melakukan kegiatan/aktivitas. Berdasarkan wawancara
dengan petugas panti mengatakan bahwa memang benar klien tidak pernah
melaporkan kejadian masalah inkontinensia yang telah dialami klien. Petugas
mengatakan, bahwa klien malas mandi, penampilan tidak bersih dan kulitnya
mengalami gatal-gatal. Hasil pengkajian dan rekam medis juga didapatkan keluarga
klien tidak memiliki riwayat penyakit DM, Stroke, dan masalah pernafasan.
3.1.2 Kebiasaan Sehari-hari Klien
Hasil obeservasi didapatkan sehari-hari klien makan 3x/hari yang disediakan oleh
pihak PSTW Budi Mulia. Makan pagi Klien pukul 07.00, makan siang pukul 11.00,
dan makan sore pukul 15.00. Makan selalu habis bahkan terkadang menambah porsi
jika ada makanan tersisa. Makanan yang disediakan panti sudah memenuhi standar
gizi yaitu nasi, sayur, lauk pauk, dan buah yang bervariasi setiap waktu makan. Jika
malam hari, Klien merasa lapar dan mengatasinya dengan minum atau mengemil
biskuit yang berasal dari teman-teman sewisma. Berdasarkan pola minum klien
terlihat sering minum kopi biasanya 1 gelas perhari, biasanya klien mendapatkan kopi
dari setiap pengunjung yang memberikan uang, dan kalau tidak ada uang minta
dengan teman-temannya yang sedang minum kopi, sedangkan minum air putih ± 7
gelas sehari, klien mengatakan sering merasa haus.
Kegiatan sehari-hari klien terlihat hanya mengikuti kegiatan yang diadakan di panti.
Klien mengatakan sebenarnya tidak betah di panti. Klien tampak tidak antusias dan
tidak termotivasi melakukan aktivitas sehari-hari.. Selain itu, Klien lebih sering
terlihat duduk merokok di kurai halman atau rebahan di kamar tidur. Klien juga
termasuk jarang berinteraksi dengan teman wisma. Setiap hari Klien juga selalu
mengikuti kegiatan yang diadakan oleh pihak panti. Jika ada senam atau panggung
gembira Klien selalu mengikuti acara tersebut. Hanya kegiatan pengajian saja yang
jarang diikuti oleh Klien dengan alasan segan untuk ikut pengajian. Pada saat
panggung gembira, Klien mengatakan tidak pernah menyanyi ataupun berjoget, Klien
hanya menikmati dan melihat teman-temannya yang bernyanyi dan berjoget saja. Saat
senam, Klien mengikuti gerakan-gerakan senam sambil duduk, karena kondisi
kakinya yang menyebabkan dia untuk mengikuti gerakan senam dengan berdiri. Klien
mengatakan kadang pada pagi hari jalan pagi mengelilingi panti sebanyak 2 kali.
Tidak ada masalah dalam eliminasi klien, klien mandiri dan BAB lancar setipa satu
atau dua hari sekali, tidak nyeri saat BAB.. Klien mengatakan BAB lancar, tidak
keras, satu kali di pagi hari. Klien sering makan buah karena pihak panti selalu
menyediakan buah. Jika makan buah, maka BAB klien akan lancer. Untuk BAK klien
7-8 x/hari, dan klien melaporkan ketidakmampuan mencapai toilet pada waktunya
guna menghindari pengeluaran urin (Inkontinensia Urgensi).
Pemeriksaan dada terlihat bentuk dada simetris, warna kulit sama, pergerakan dada
simetris, tidak ada lesi. Klien mengatakan tidak sesak nafas, dada tidak nyeri, bunyi
paru resonance, suara paru vesikuler, rhonci (-), wheezing (-), Jantung: bunyi jantung
S1 dan S2 normal, murmur(-), gallop (-), CRT < 2 detik. Pada bagian abdomen
terlihat simetris, datar, tidak ada kemerahan, tidak ada luka, tidak ada tanda-tanda
infeksi, suara timpani, nyeri tekan (-), tidak ada pembesaran abdomen. Kulit tidak
pucat, warna kulit sama dengan warna tubuh, bagian musculoskeletal, klien dapat
berjalan dengan cepat menggunakan kruk. Postur tidak bungkuk. Kulit terlihat adanya
daki yang menempel di tangan dan kaki
Pemeriksaan penunjang lain yaitu pemeriksaan gula darah sewaktu , hasil GDS 2
tahun adalah 235 mg/dl, dan pada tanggal 18 April 2014 205 mg/dl dan terakhir
pemeriksaan 3 Juni 2014 190 mg dl. Pemeriksaan penunjang lainnya yaitu
Pemeriksaan resiko jatuh (FMS) dengan nilai 35 (risiko jatuh sedang) dan
pemeriksaan Indeks Kemandirian dengan nilai 100 (Kemandirian penuh).
Minggu ke- 4 praktik intervensi yang dilakukan yaitu melakukan latihan kegel,
awalnya penulis menjelaskan bagaimana latihan ini dan tujuan dari latihan kegel
untuk melatih kekuatan otot dasar panggul, perawat menjelaskan bagaimana
prosedurnya, pertama klien sulit diajarkan karena klien belum siap untuk
melakukannya karena klien sedang tidak baik emosinya, selanjutnya dijelaskan
kembali tujuan dan manfaat dari latihan ini, esoknya klien mau diajak untuk
latihan. Klien mengatakan latihan ini agak sulit dilakukan, karena ketika
melakukan latihan ini perut tidak boleh tegang dan harus bernapas normal. Dan
hari selanjutnya klien mencoba dengan cara menahan selama 5 detik dan klien
mampu, dan Rencana tindak lanjutnya yaitu mengulang latihan ini setiap hari
minimal 3-5 kali secara mandiri oleh klien.
Minggu ke-5 praktik, di evaluasi apakah klien sudah melakukan latihan kegel
secara mandiri tanpa didampingi penulis, klien mengatakan latihan dilakukan
setelah mandi, sebelum tidur dan sesudah bangun tidur, dan klien mengatakan
senang mengikuti latihan ini karena semenjak berhari-hari klien melakukan
latihan ini klien mengatakan tidak pernah ngompol lagi. Selanjutnya penulis
meakukan latihan kegel dengan cara menahan hingga 10 detik. Klien mampu dan
klien mampu mengikuti instruksi yang perawat berikan.
Minggu ke-6 dan ketujuh dilakukannya evaluasi tindakan yang telah sebelumnya
sudah dilakukan oleh klien, klien mengatakan selama 7 minggu latihan, klien
sudah tidak pernah mengompol lagi pada pagi hari saat bangun tidur, dan klien 1
kali mengalami ketidakmampuan mencapai toileting pada saat berkemih yaitu
pada saat dilakukan latihan penjadwalan waktu berkemih, yaitu pada saat awal
memberikan intervensi.
BAB IV
ANALISIS SITUASI
Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1 Cipayung ini memiliki Visi
dan Misi. Visi panti yaitu Penyandang masalah kesejahteraan sosial khususnya
lanjut usia terlantar DKI Jakarta terentas dalam kehidupan normatif dan Misi
panti antara lain : 1). Mencegah, mengurangi tumbuh kembang dan meluasnya
masalah kesejahteraan sosial khususnya lanjut usia terlantar. 2). Mengentaskan
Penyandang masalah kesejahteraan sosial lanjut usia terlantar dalam kehidupan
yang layak dan normative 3).Pembinaan peran serta sosial bagi masyarakat dalam
melaksanakan UKS 4 ). Meningkatkan fasilitas kesejahteraan sosial.
Lansia yang tinggal dipanti ini umumnya mereka yang dari kalangan ekomomi
yang menengah kebawah, dan mereka yang berasal dari jalan dan dibawa oleh
dinas sosial untuk tinggal dipanti. Panti ini terdiri dari kamar-kamar dan rata-rata
bentuknya seperti barak, dimana 1 barak bisa diisi oleh 30-40 lansia. Barak untuk
laki-laki dan wanita dipisah, dan wisma tempat mereka tinggal dibagi menjadi
dua yaitu Mandiri dan total care. Untuk mandiri yang wisma perempuan yaitu
Wisma Asoka, Bougenville dan wisma lak-laki Catlleya dan Flamboyan
sedangkan yang total care dibagi menjadi tiga wisma yaitu Dahlia, Cempaka
untuk perempuan dan Edelweis untuk lansia yang berjenis kelamin laki-
laki.Disetiap wisma terdapat perawat, dimana perawat bertugas dimasing-masing
wisma untuk memberikan obat sesuai penyakit yang dimiliki oleh lansia, dan ada
petugas lain care giver yang bertugas untuk membantu penghuni melakukan
kegiatan sehari-hari seperti mandi bagi lansia yang membutuhkan bantuan untuk
perawatan diri dan biasanya itu ada diwisma total care. Dan di wisma mandiri
biasanya lansia melakukan kegiatan sendiri seperti perawatan diri dan bagi lansia
yang masih kuat dan sehat, sebagian membantu ppetugas untuk mengambil
makanan di dapur dan dibagikan disetiap wisma dan ada beberapa perwakilan
disetiap wisma masing-masing.
Klien yang dibahas oleh penulis ini merupakan penduduk urbanisasi, awalnya
klien bertempat tinggal dan pindah kejakarta untuk mencari kerja. Klien sekarang
berada di Panti Sosial Tresna Werda pada tanggal 1 April 2014. Residen dibawa
oleh pihak Kamtibmas ketika sedang tidur di pinggir jalan, sebelumnya bertempat
tinggal di kos daerah Pasar Rebo namun karena tidak memiliki uang lagi akhirnya
Residen memilih tinggal di pinggir jalan. sebagai suatu tempat/sarana Pelayanan
Kesejahteraan Sosial bagi para lanjut usia yang mengalami masalah sosial yang
disebabkan oleh kemiskinan, ketidakmampuan secara fisik dan ekonomi untuk
diberikan pembinaan pelayanan sosial serta perlindungan agar mereka dapat
hidup secara wajar.
Klien sekarang tinggal di wisma Flamboyan yang merupakan wisma yang ada di
PSTW ini yang didalamnya terdapat 30 lansia. Hasil pengkajian menunjukkan
bahwa terdapat 2 lansia (6,67 %) yang mengalami inkontinensia. Upaya
pencegahan inkontinensia ini belum dilakukannya pencegahan oleh petugas,
dikarenakan salah satu alasan klien merupakan lansia yang mandiri dan tidak
perlu perlakuan khusus dan kurangnya pengkajian yang lebih spesifik terhadap
masalah perkemihan sehingga tidak tertanganinya masalah perkemihan ini dengan
baik.
Masalah keperawatan utama yang dialami oleh Klien (63 tahun) adalah
Inkontinensia urin. Pada saat pengkajian, didapat data secara subjektif, klien
mengatakan ketika bangun pagi tiba-tiba celananya sudah basah dan tidak terasa
sudah mengompol dan mengatakan sulit menahan pipis ketika pada saat hendak
mau miksi ke toilet, kejadian ini sudah beberapa kali dialami klien semenjak
dipanti. Data objektif terlihat cairan yang masuk 1500-2000ml/hari, buang air
kecil terlihat dari jadwal 7-8 kali/hari, dan pada saat pemeriksaan fisik tidak
adanya tanda pembesaran dan tidak ada nyeri tekan pada saat palpasi. Dari data
pengkajian, terlihat klien mengalami inkontinensia urin. tipe urgensi, urgensi,
adalah pengeluaran urin secara involunter yang terjadi segera setetelah keinginan
berkemih yang keluar muncul (NANDA, 2012). Batasan karakteristik mampu
mengosongkan kandung kemih secara tuntas, lama waktu yang diperlukan untuk
mencapai toilet lebih panjang dari waktu antara merasakan dorongan inging
berkemih dan berkemih tanpa kendali , mengeluarkan urine sebelum mencapai
toilet dan merasakan dorongan ingin berkemih. Terlihat dari gaya hidup klien,
klien sangat mengkomsumsi kopi 1x sehari. Penelitian membuktikan bahwa
inkontinensia urin dapat diatasi dengan mengurangi konsumsi kafein dan
membuktikan bahwa pasien Inkontinensia dorongan mengalami perbaikan setelah
menerapkan bladder training dan mengurangi konsumsi kafein. (Howard, 2008)
4.3 Analisis Intervensi Keperawatan Latihan Bladder & Latihan Kegel pada
Inkontinensia Urin dan penelitian terkait.
Latihan ini merupakan sebagai salah satu upaya mengembalikan fungsi kandung
kemih yang mengalami gangguan dan mengembalikan pola buang air kecil
dengan menghambat atau merangsang keinginan buang air kecil (Lutfie,2008).
Bladder training merupakan tindakan yang bermanfaat dalam mengurangi
frekuensi dari inkontinensia. Bladder training banyak digunakan untuk menangani
inkontinensia urin di komunitas. Metode bladder training dengan jadwal berkemih
dapat dilakukan dengan cara membuat jadwal berkemih setiap bangun pagi, setiap
dua jam pada siang dan sore hari, setiap empat jam pada malam hari dan sebelum
tidur malam. Memberikan cairan sesuai kebutuhan 30 menit sebelum waktu
berkemih, membatasi minum (150-200 cc) setelah makan malam. Tujuan dari
bladder training (melatih kembali kandung kemih) adalah mengembalikan pola
normal perkemihan
dengan menghambat atau menstimulasi pengeluaran air kemih dan untuk
mengembangkan tonus otot dan spingter kandung kemih agar berfungsi optimal
(Perry dan Potter, 2005). Penelitian Fant, 1991 menunjukkan bahwa 50 % dari
sampel percobaannya menjadi mampu mengontrol kencing, dan 12 % menjadi
total kontinen.
Metode bladder training dengan jadwal berkemih dapat dilakukan perawat dengan
cara membuat jadwal berkemih setiap bangun pagi, setiap dua jam pada siang dan
sore hari, setiap empat jam pada malam hari dan sebelum tidur malam (HAriyanti,
2000). Contohnya jika klien bangun pagi pukul 06.00, selanjutnya residen
berkemih pada 2 jam selanjutnya yaitu pada pukul 08.00, dan berkemih pada
siang harinya sekitar antara pukul 11.00-12.00 dan pukul 16.00 malamnya pukul
20.00 dan sebelum klien tidur. Dan klien sedikit sulit untuk mengikuti jadwal
yang diberikan oleh perawat, selanjutnya perawat membuat jadwal perkemihan
yaitu setiap 4 jam sekali, tetapi juga masih sedikit sulit dikarenakan klien sering
tidak tahan pipis.
Latihan kedua yang dilakukan yaitu Pengaturan Diet dengan cara pengubahan jenis
makanan dan minuan dengan cara membatasi minuman yang mengandung kafein.
Kafein dapat mengiritasi kandung kemih dan meningkatkan frekuensi untuk berkemih
yang akan memperburuk inkontinensia (Parker, 2007). Hal yang sama disampaikan
oleh Arya, et.al , 2000 dalam Howard, 2008 menyatakan bahwa penelitian
membuktikan bahwa inkontinensia urin dapat diatasi dengan mengurangi konsumsi
kafein. Howard, et al. (2008) juga menyatakan bahwa pasien dengan urgency,
frekuensi urin dan inkontinensia dorongan mengalami perbaikan setelah menerapkan
bladder training dan mengurangi konsumsi kafein. Menurut Newman (2004, dalam
Howard, et.al. 2008) kafein dan alkohol yang terdapat dalam makanan dan minuman
dapat menyebabkan diuresis atau iritasi kandung kemih yang berkontribusi terhadap
overactive bladder
Latihan terakhir yang dilakukan oleh penulis yaitu latihan kegel, tujuannya yaitu
untuk dapat meningkatkan mobilitas kandung kemih dan bermanfaat dalam
menurunkan gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi urin. Latihan otot dasar
panggul dapat membantu memperkuat otot dasar panggul. Penuaan menyebabkan
penurunan kekuatan otot diantaranya otot dasar panggul, yang berfungsi untuk
menjaga stabilitas organ panggul secara aktif serta men gendalikan dan mengontrol
defekasi dan berkemih (Pudjiastuti & Utomo, 1997). Melatih kegel dilakukan dengan
caram melakukan kontraksi pada otot pubococcygeus dan menahan kontraksi
tersebut dalam hitungan 10 detik, dan kontraksi dilepaskan. Pada tahap awal bisa
dimulai dengan menahan kontraksi selama 3 hingga 5 detik. Latihan ini bisa
dilakukan secara bertahap supaya otot semakin kuat, latihan ini diulang 10 kali
setelah itu mencoba berkemih dan menghentikan urin ditengah (Johnson, 2002).
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Klien merupakan penduduk urbanisasi, awalnya klien bertempat tinggal dan pindah
kejakarta untuk mencari kerja, Keluhan yang dirasakan klien pada bangun pagi tidak
terasa oleh klien mengompol dan tidak mampunya klien mencapai toileting pada saat
ingin kencing. Tindakan yang dilakukan yaitu Kaji kebiasaan pola berkemih dan dan
gunakan catatan berkemih sehari, pertahankan catatan harian untuk mengkaji
efektifitas program yang direncanakan, pantau masukan dan pengeluaran latihan
Kegel serta Bladder Training. Melakukan edukasi tentang inkontinensia, dan
membujuk klien untuk dilakukan latihan kegel. Penulis menjelaskan latihan itu
dilakukan pada minggu ke empat. pada minggu ini difokuskan untuk membuat jadwal
berkemih klien selama 24 jam. Penulis sudah membuat tabel jadwal waktu berkemih
dan menjelaskan kapan saja waktu berkemih klien dan memberikan tanda ceklist (√),
melakukan pengaturan diet dengan pengurangan komsumsi kafein dan melatih latihan
Bladder Training dan Kegel, tujuan untuk upaya mengembalikan fungsi kandung
kemih yang mengalami gangguan dan mengembalikan pola buang air kecil dengan
menghambat atau merangsang keinginan buang air kecil dan Latihan kegel bertujuan
dari latihan kegel untuk melatih kekuatan otot dasar panggul,dari tindakan yang
berhasil dilakukan penulis yaitu latihan kegel yang paling efektif untuk
penatalaksanaan intervensi pada Inkontinensia urin dan terlihat dari hasil skala SSI
ada penurunan dari inkontinensia sedang (skore 4) menjadi Inkontinensia ringan
(skore 2).
5.2 Saran
Alimul, A. Aziz. (2003). Riset Keperawatan & Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta:
Salemba Medika
Allender dan Spradley (2005), Communnity Health Nursing Concepts and Practice.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins
Black & Hawks. (2005). Medical Surgical Nursing Clinical Management for
Positive Outcomes
(Ed.7). St. Louis: Missouri Elsevier Saunders
Balitbangkes Depkes RI. (2008). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
Indonesia Tahun 2007. Jakarta.
Depkes RI. (2003). Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia lanjut bagi Petugas
Kesehatan: Materi Pembinaan. Jakarta: direktorat bina kesehatan usia lanjut
Johnson, D.W. & Johnson, R.T. (2002). Meaningful assessment: A manageable and
cooperative process. Boston: Allyn and Bacon.
Miller, C. A. (2004). Nursing for wellness in older adults: Theory and practice . 4th
ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Miller, C. A.(2003). Nursing for wellness in older adults: Theory and practice.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
NANDA International. (2012). Nursing diagnosis: Definitions and classification
2012 – 2014. UK: Wiley-Blackwell
Nugroho, Wahyudi. (2008). Keperawatan Gerontik & Geriatrik. Edisi ke 2. Jakarta:
EGC
Potter, P.A, Perry, A.G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,
Proses, Dan Praktik. Edisi 4.Volume 1.Alih Bahasa : Yasmin Asih, dkk.
Jakarta : EGC
Potter, P.A, Perry, A.G. (2009). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,
Proses, Dan Praktik. Edisi 4.Volume 1.Alih Bahasa : Yasmin Asih, dkk.
Jakarta : EGC
Setiati S, Pramantara . (2009). Buka ajar ilmu penyakit dalam. Inkontinensia urin dan
kandung kemih hiperaktif. Jilid I. Edisi ke-5. Jakarta: InternaPublishing; 2009:
hal865
Stanhope and Lancaster.(2004). Community & public health nursing. Sixth edition.
Mosby: New Jersey
Setiati S. dan Pramantara I.D.P. (2007). Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih
Hiperaktif dalam Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata K M., Setiati
S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Ed.IV. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. hal: 1392-9
Smeltzer, S.C. dan bare, B.G. (2000). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC
Wilkinson, J.M., & Ahern N.R.,(2009). Buku Saku Diagnosis Keperawatan Diagnosa
NANDA Intervensi NIC Kriteria Hasil NOC Edisi kesembilan. Jakarta: EGC