Anda di halaman 1dari 54

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN GERONTIK


KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN

PADA KAKEK D DENGAN INKONTINENSIA URIN DI PSTW BUDI


MULIA 01 CIPAYUNG

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

ELIZABETH H

0906554043

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

PROGRAM PROFESI KEPERAWATAN

DEPOK

JULI 2014

Analisis praktik ..., Elizabeth H, FIK UI, 2014


UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN GERONTIK


KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN

PADA KAKEK D DENGAN INKONTINENSIA URIN DI PSTW BUDI


MULIA 01 CIPAYUNG

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

ELIZABETH H

0906554043

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

PROGRAM PROFESI KEPERAWATAN

DEPOK

JULI 2014
HALAMAN PENGESAHAN

Karya Ilmiah akhir Ners ini diajukan oleh :


Nama
: Elizabeth H., S.Kekp
NPM: 090655043
Program
: NersStudi Judul Karya Ilmiah
: Analisis Praktik Klinik Keperawatan Gerontik Kesehatan Masyarakat Perkotaan Pada Kakek D Dengan Inkontine
Urin Di Pstw Budi Mulia 01 Cipayung

Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai


bagian persyaratan yang diperlukan untuk gelar Ners pada Program Studi Ners, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indones
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan berkat sehingga saya dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir ners
(KIA-N) ini. Penulisan KIA-N ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu
syarat untuk meraih gelar perawat (Ners) pada Fakultas Ilmu Keperawatan
an KIA-N ini tidak lepas dari dorongan, bimbingan, bantuan dan petunjuk dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesemp
an dan bimbingannya yang telah diberikan selama proses pembuatan KIA-N ini;
N dan memberikan arahan dan masukan untuk KIAN ini
kesempatan kepada saya untuk melakukan praktik klinik keperawatan Gerontik kesehatan masyarakat perkotaan;
audara saya Ando Hutagaol, Ronald, Samuel, Moraliston Sihotang dan Alex Tobing yang telah memberikan bantuan materia
membantu saya dalam menyelesaikan karya ilmiah akhir ners ini.
membalas segala

kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga KIA-N ini dapat bermanfaat
bagi pengembangan ilmu

Depok, 7 Juli 2014

Penulis
viii
Analisis praktik ..., Elizabeth H, FIK UI, 2014
ABSTRAK

Nama : Elizabeth H

Program Studi : Profesi Keperawatan

Judul : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Gerontik Kesehatan


Masyarakat Perkotaan Pada Kakek D Denganinkontinensia Urin Di
Pstw Budi Mulia 01 Cipayung

Inkontinensia urin sering terjadi pada lansia, hal ini berkaitan dengan perubahan
secara biologis yaitu penurunan muskoloskeletal, melemahnya otot dasar panggul dan
ketidakmampuan otot sfingter eksternal sementara atau menetap untuk mengontrol
ekskresi urin, itu sebabnya makin lanjut usia makin besar kecenderungan untuk
menderita inkontinensia urin. Karya ilmiah akhir ners ini bertujuan member
gambaran masalah inkontinensia di Wisma Flamboyan PSTW Budi Mulia 01
Cipayung, intervensi keperawatan yang paling efektif dilakukan yaitu latihan kegel.
Hasil evaluasi menunjukkan kemampuan berkemih lansia semakin baik ketika
dilakukan latihan kegel.

Kata kunci: Inkontinensia urin, lanjut usia, , Kegel Exercise, Perkemihan.

Analisis praktik ..., Elizabeth H, FIK UI, 2014


10

ABSTRACT

Name : Elizabeth H

Study Program : Profesional of Nursing

Title ` : Clinical Practice Analysis of Urban Problem Health Nursing in


Mr. D with Incontinence urine at PSTW Budi Mulia 1 Cipayung

Urinary incontinence is common in the elderly, this is related to biological changes


that muskoloskeletal decline, weakening of the pelvic floor muscles and the inability
of the external sphincter muscle to control the temporary or permanent urinary
excretion, which is why the more advanced age greater tendency to suffer from
urinary incontinence. Ners end scientific work is aimed at members overview
incontinence problems at Wisma Budi Mulia Flamboyan PSTW 01 Cipayung,
nursing interventions are most effective do Kegel exercises. Evaluation results show
the better ability of the elderly to urinate when do Kegel exercises.

Keywords: elderly, incontinence of urine, kegel exercise, urinal.

Universitas Indonesia

Analisis praktik ..., Elizabeth H, FIK UI, 2014


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................................i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS..................................................ii

HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................iii

HALAMAN PERSETUJUAN..............................................................................iv

KATA PENGANTAR...........................................................................................v

ABSTRAK............................................................................................................vi

DAFTAR ISI.........................................................................................................vii

BAB 1 PENDAHULUAN....................................................................................1

1.1 Latar Belakang............................................................................................1


1.2 Perumusan Masalah....................................................................................5
1.3 Tujuan Penelitian........................................................................................5
1.3.1 Tujuan Umum....................................................................................6
1.3.2 Tujuan Khusus...................................................................................6
1.4 Manfaat Penelitian......................................................................................7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................8

2.1 Konsep Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan............................8

2.2 Konsep Lanjut Usia....................................................................................9

2.3 Inkontinensia Urin......................................................................................12

2.4 Penatalalaksanaan Inkontinensia Urin........................................................16

BAB 3 LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA.........................................19

3.1 Pengkajian Kasus........................................................................................23


3.2 Analisa Data................................................................................................24

3.3 Rencana Asuhan Keperawatan...................................................................23

3.4 Implementasi...................................................................................................24

3.5 Evaluasi...........................................................................................................25

BAB 4 ANALISA SITUASI................................................................................31

4.1 Profil Lahan Praktik....................................................................................31

4.2 Analisa Masalah Keperawatan dengan Konsep Terkait KKMP dan Konsep
Kasus Terkait...........................................................................................32

4.3 Analisis Salah Satu Intervensi dengan Konsep dan Penelitian Terkait......33

BAB 5 PENUTUP................................................................................................34

5.1 Kesimpulan......................................................................................................34

5.2 Saran................................................................................................................35

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Format Pengkajian Individu Keperawatan Kesehatan Lansia


Lampiran 2 : Format Pengkajian Morse Fall Scale Lampiran 3 : Jadwal Eliminasi Kakek D perhari Lampiran 4 : Bartel Index
Lampiran 5 : Format Pengkajian Berg Balance Test Lampiran 6 : Skala SSI pada saat pengkajian
Lampiran 7 : Skala SSI pada saat setelah dilakukan Intervensi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perserikatan Bangsa-bangsa 2011 melaporkan, pada tahun 2000-2005 umur harapan


hidup adalah 66,4 tahun (dengan persentase pupulasi lanisa tahun 2000 adalah 7,74%.
Berdasarkan dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS) terjadi peningkatan umur
harapan hidup pada tahun 2000 di Indonesia adalah 64,5 tahun (dengan presentase
pupulasi lansia adalah 7,18%). Angka ini meningkat menjadi 69,43 tahun 2010
(dengan presentase pupulasi lansia adalah 7,56%) dan pada tahun 2011 menjadi 69,95
tahun (dengan presentase pupulasi lansia adalah7,58%). Indonesia termasuk Negara
berstruktur tua, hal ini dapat dilihat dari presentase lansia tahun 2008, 2009 dan 2012
telah mencapai diatas 7% dari keseluruhan penduduk (Depkes, 2012)

Bila ditinjau dari presentase penduduk lansia yang berada diperkotaan sebanyak
7,49% dan tidak jauh dari jumlah lansia yang berada didaerah pedesaan yaitu 9,19 %
(RISKESDAS, 2007) dan menurut tipe daerah, persentase lansia yang bekerja di
daerah perkotaan (51,46%) lebih tinggi dibandingkan lansia perdesaan (38,99%).
Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh jenis pekerjaan di perdesaan bersifat
informal yang tidak memiliki persyaratan yang umumnya tidak dapat dipenuhi oleh
penduduk lansia, seperti faktor umur dan pendidikan (Sakernas Tahun 2011)

Akibat dari meningkatnya proses urbanisasi menimbulkan dampak-dampak terhadap


kesehatan, lingkungan kota, baik dari segi tatakota, masyarakat, maupun keadaan
sekitarnya. Berbagai dampak dari peningkatan jumlah lansia adalah masalah penyakit
degeneratif yang sering menyertai para lansia, bersifat kronis dan multipatologis,
serta dalam penanganannya memerlukan waktu lama dan membutuhkan biaya cukup
besar (Kementerian Kesehatan RI, 2012). Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa untuk
mencegah perburukan kondisi kesehatan maka dibutuhkan promosi kesehatan dari
berbagai profesi kesehatan, termasuk bidang keperawatan.Hal tersebut juga
menunjukkan bahwa peran perawat pada seting perkotaan harusnya lebih
ditingkatkan.

Lansia adalah periode dimana seseorang telah mengalami kematangan baik dalam
ukuran maupun fungsi tubuh. Seseorang dapat dikatakan lansia apabila ia telah
mencapai usia diatas 65 tahun (WHO, 2012). Sedangkan menurut Depkes RI (2003),
usia lanjut usia yaitu orang yang berusia lebih dari 60 tahun. Lanjut usia merupakan
tahap akhir perkembangan manusia. Seseorang pada tahap perkembangan lansia
mengalami penurunan fisiologis pada berbagai system tubuh yang disebut dengan
proses penuaan ( Stanley, 2006). Menua adalah suatu proses yang mengubah manusia
dewasa dari keadaan sehat menjadi rapuh dengan berkurangnya cadangan
kemampuan system fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap penyakit dan
diikuti kematian (Miller, 2003). Lansia mengalami perubahan secara biologis, dimana
sel-sel sudah mengalami penurunan sel, terjadi penurunan fungsi panca indra, kulit
mengalami penurunan lemak dibawah kulit, sehingga membuat kulit berkurang
elastisitasnya, membuat kulit menjadi kriput. Perubahan masalah yang sering terjadi
pada lansia yaitu lansia lebih cenderung mengalami inkontinensia dikarenkan otot-
otot yang berperan menahan keluarnya cairan urin dari kandung kemih atau kantung
urine menjadi semakin lemah, sehingga tidak dapat menahan keluarnya urine. Hal ini
berkaitan dengan perubahan secara biologis yaitu penurunan muskoloskeletal,
melemahnya otot dasar panggul dan ketidakmampuan otot sfingter eksternal
sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urin, itu sebabnya makin lanjut
usia makin besar kecenderungan untuk menderita inkontinensia urin (Setiati, 2001)
WHO menyatakan bahwa inkontinensia urin merupakan salah satu topik kesehatan
cukup besar dan diperkirakan lebih dari 200 juta orang diseluruh dunia mempunyai
masalah dalam pengontrolan berkemih (Rortveit et al, 2003). Menurut hasil
penelitian Brown et al (2006) di Spanyol kemungkinan usia lanjut bertambah besat
inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun. Pada usia lanjut, masalah
inkontinensia urin merupakan masalah yang sering terjadi. Prevalensi inkontinensia
urin dalam komunitas orang yang berumur lebih dari 60 tahun berkisar 15-30%..
Survey inkontinensia urin di Indonesia yang dilakukan oleh Divisi Geriatri di poli
Geriatri Dr. sardjito didapatkan angka prevelansi inkontinensia urin sebesar 14,47 %
(Setiati & Pramantara, 2007).

Survei yang pernah dilakukan hanya di Poliklinik Usia Lanjut RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 1999 didapatkan angka inkontinensia urin
sebesar 10%, pada tahun 2000 meningkat menjadi 12%, dan semakin meningkat pada
tahun 2001 yaitu sebesar 21%, kemudian menurun pada tahun 2002 sebesar 9%, dan
naik lagi pada tahun 2003 sebesar 18% (Setiati et all, 2003).

Inkontinensia urin merupakan kehilangan kontrol berkemih yang bersifat sementara


atau menetap. Klien tidak dapat mengontrol sfingter uretra eksterna, merembesnya
urine dapat berlangsung terus menerus atau sedikit-sedikit (Potter&Perry, 2005).
Menurut kozier, 2010 Inkontinensia urin adalah sebuah gejala, bukan sebuah
penyakit. Kondisi ini dapat membuat masalah seperti kerusakan kulit dan
kemungkinan menyebabkan masalah psikososial seperti rasa malu, isolasi dan
menarik diri dari pergaulan sosial. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh
(Smeltzer dan Bare, 2000, dalam Setyowati, 2007) bahwa dampak inkontinensia urin
sangat besar yaitu perasaan malu, kehilangan kepercayaan diri, dan isolasi sosial.
Lansia yang kondisi kesehatannya melemah dapat mengalami disfungsi pada bladder
dan bowel (Wilkinson, 2009). Otot vesika urinaria menjadi lemah dan kapasitasnya
menurun sampai 200 ml atau menyebabkan frekuensi buang air kecil meningkat.
Kandung kemih orang dewasa dapat menampung sampai 250 atau 450 ml urin
sebelum tegangan di dinding kandung kemih untuk mengaktifkan reseptor regang.
Makin besar peregangan melebihi ambang ini, makin besar tingkat pengaktifan
reseptor. Selain refleks ini dimulai, refleks ini bersifat regenerasi sendiri (Guyton dan
Hall, 2007; Sherwood, 2001). Perubahan fisiologis terkait usia menyebabkan
penurunan kapasitas kandung kemih, pengosongan yang tidak tuntas, kontraksi
selama pengisian dan penurunan urin residu. Dalam kondisi yang nyaman, lansia
mampu menyimpan 250-300ml urin, dibandingkan dengan kapasitas tamping urin
dalam kandung kemih orang dewasa muda sebanyak 350-400 ml (Miller, 1999).
Tipe inkontinensia urin yaitu : inkontinensia dorongan (Urge), inkontinensia total,
inkontinensia stress, inkontinensia refleks dan inkontinensia fungsional (Hidayat,
2006). Pada usia lanjut, masalah inkontinensia urin merupakan masalah yang sering
terjadi, dan seringkali masalah ini tidak dilaporkan oleh pasien, ini dikarenakan hal
yang malu dan tabu ketika diceritakan. Pihak kesehatan, baik dokter maupun perawat
terkadang tidak memahami penatalaksanaan pasien inkontinensia urin dengan baik.
Padahal masalah inkontinensia ini merupakan masalah kesehatan pada usia lanjut
yang dapat diselesaikan (Setiati&Pramantara, 2007).

Inkontinensia urin yang berkepanjangan yang tidak ditangani dengan baik dapat
mempengaruhi kualitas hidup seseorang salah satunya segi psikologis, ini membuat
orang malu untuk bersosialisasi dengan teman sebayanya. Identifikasi awal
perubahan pada status inkontinensia mampu meningkatkan kualitas perawat dalam
manajemen terapi simptomatik, aktivitas menilai status inkontinensia pada lansia
adala bentuk interpretasi tindakan yang mempengaruhi pada lansia. Tujuan
mengidentifikasi inkontinensia urin pada lansia merupakan sebagai dasar pengelolaan
inkontinensia urin pada lansia, memastikan strategi manajemen inkontinensia urin
yang akan dilakukan menurut bukti terbaik dan meningkatkan pemeliharaan integritas
kulit (Pearce, 2002).

Kakek D, adalah klien kelolaan penulis, kakek D, Laki-laki berumur 63 tahun,


beragama Islam sudah menikah dan istrinya telah meninggal, Klien merupakan
masyrakat urban, dimana kakek D awalnya tinggal dimedan dan akhirnya merantau
ke Jakarta untuk mengadu nasib, klien berpikir bahwa kehidupan di kota, banyak
pekerjaan, dan beliau berpikir untuk mengubah nasib. Klien hidup sendiri di Jakarta
dan residen juga tidak memiliki saudara .Semenjak merantau ke Jakarta, Residen
tidak pernah pulang kampung ke Medan dan semenjak itu pula sudah tidak pernah
berkontak keluarga baik adiknya atau anaknya.

Pekerjaan sebelum masuk panti sosial residen bekerja sebagai pengamen masuk ke
Panti Sosial Tresna Werda pada tanggal 1 April 2014, sebelumnya bertempat tinggal
di kos daerah Pasar Rebo namun karena tidak memiliki uang lagi akhirnya Residen
memilih tinggal di pinggir jalan. Selama di Jakarta, Residen pernah bekerja sebagai
penjual martabak, penjual es, dan terakhir bekerja sebagai pengamen di pinggir jalan
di daerah pasar rebo, Residen dibawa oleh pihak Kamtibmas ketika sedang tidur di
pinggir jalan, klien lalu dibawa ke Panti Sosial Tresna Werda. Pada saat pengkajian
perkemihan terhadap klien, klien mengeluhkan pernah mengompol 2 kali pada saat
setelah bangun pagi dan ketidakmampuannya mencapai toileting, kejadian ini sudah
terjadi selama 3 kali semenjak dia berada dipanti, klien juga sangat suka
mengkomsumsi kopi, sehari 1kali, terkadang kalau uang klien tidak ada, klien
meminum kopi 1 minggu 2-3 kali. Penulis tertarik untuk mendalami masalah
keperawatan yang dialami oleh klien, dan tertarik untuk melakukan penatalaksaan
berbagai macam tindakan untuk mecegah inkontinensia.

Pencegahan masalah perkemihan pada kakek D ini merupakan masalah yang biasa
dialami oleh lansia, yang mana terjadinya penurunan kekuatan otot diantaranya otot
dasar panggul. Penanganan yang perawat bisa lakukan yaitu dengan cara
meningkatkan kekuatan otot-otot dasar panggul dengan melakukan latihan untuk
meningkatkan kekuatan otot-otot dasar panggul. Latihan ini disebut dengan kegel’s
exercise (Black & Hawks, 2005). Tindakan ini telah terbukti meningkatkan kekuatan
otot dan mengurangi inkontinensia urin. Hasil penelitian Smith, et.al (2009) juga
membuktikan bahwa latihan otot dasar panggul sangat efektif untuk mencegah
inkontinensia urin maupun feses. Selain latihan ini, perawat bisa menggunakan
latihan panggul (bladder training). Bladder training bertujuan untuk memperpanjang
waktu pengosongan kandung kemih, meningkatkan jumlah cairan yang dapat ditahan
dalam kandung kemih, dan mengurangi sense of urgency dan pengeluaran urin yang
tidak dirasakan (Family doctor organization, 2004). Latihan ini baik dilakukan
kombinasi antara bladder training dan kegel’s exercise, dan kombinasi dari latihan ini
mampu menurunkan episode inkontinensia urin. (Setyowati , 2007). Selain itu
penatalaksanaan pada inkontinensia urin bisa dilakukan dengan cara mengurangi
komsumsi kafein dan minum alkohol. (Arya, 2000, dalam Howard, et.al. 2008)
menyatakan bahwa penelitian membuktikan bahwa inkontinensia urin dapat diatasi
dengan mengurangi konsumsi kafein. Howard (2008) juga menyatakan bahwa pasien
dengan urgency, frekuensi urin dan urge incontinence mengalami perbaikan setelah
menerapkan bladder training dan mengurangi konsumsi kafein.

1.2 Perumusan Masalah

Inkontinensia urin pada lanjut usia termasuk masalah kesehatan yang sering terjadi
dikalangan lansia, Terjadi perubahan-perubahan fisik salah satunya perubahan sistem
perkemihan yaitu inkontinensia urin merupakan salah satu masalah besar yang
banyak dialami oleh lansia dan perlu mendapat perhatian khusus seiring dengan
meningkatnya populasi lanjut usia di Indonesia.

Ketidakmampuan lansia untuk menahan rasa buang air kecil (Inkontinensia)


seringkali masalah ini tidak dilaporkan oleh pasien, ini dikarenakan hal yang malu
dan tabu ketika diceritakan. Penatalaksaan inkontinensia ini ada beberapa intervensi
yang bisa dilakukan, yaitu dengan cara Bladder Training, mengurangi komsumsi
kafein serta melalui latihan kegel. Berdasarkan macam-macam tindakan pencegahan
inkontinensia ini , penulis tertarik untuk melakukan tindakan seperti diatas dan
mengevaluasi latihan yang lebih efektif yang digunakan untuk inkontinensia urin.

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dalam penulisan ini adalah untuk memberi gambaran asuhan
keperawatan yang telah diberikan pada lansia yang mengalami inkontinensia
dengan cara melakukan komsumsi kafein, bladder exercise dan Kegel exercise
pada lanjut usia di PSTW Budi Mulia 01 Cipayung .
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penulisan ini yaitu:
1.3.2.1 Teridentifikasi pengkajian yang telah dilakukan pada lansia yang
mengalami inkontinensia
1.3.2.2 Memberikan gambaran tindakan keperawatan yang paling efektif
untuk mencegah Inkontinensia terjadi kembali.
1.3.2.3 Memberi gambaran evaluasi tindakan keperawatan yang diberikan
pada lansia dengan inkontinensia urin sebelum dan sesudah
dilakukannya tindakan keperawatan menggunakan Skala SSI
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Manfaat Aplikasi
Hasil penulisan ini dapat bermanfaat bagi perawat khususnya praktek
keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada lansia dengan
gangguan perkemihan yaitu inkontinensia urin melalui beberapa latihan yang
akan diajarkan sebagai tindakan dalam mengatasi masalah keperawatan
inkontinensia urin

1.4.2 Manfaat Keilmuan


Hasil penulisan ini dapat menjadi masukan bagi pendidikan dalam proses
pembelajaran mahasiswa keperawatan agar diperoleh gambaran dalam
mengatasi masalah inkontinensia urin melalui latihan modifikasi Diet,
Bladder training dan Kegel Exercise.
BAB II

PEMBAHASAN

Tinjauan pustaka merupakan bagian yang mengemukakan dasar-dasar teori, temuan,


dan bahan penelitian lain yang dijadikan landasan untuk melakukan penelitian
(Alimul, 2003). Dalam bab ini akan diuraikan mengenai konsep keperawatan
kesehatan masyarakat perkotaan, konsep Lansia, dan Inkontinensia serta
penatalaksanaanya.

2.1 Konsep Asuhan Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan


Keperawatan masyarakat perkotaan memiliki delapan karakteristik dan merupakan
hal yang penting dalam melakukan praktik (Allender, 2005) yaitu merupakan lahan
keperawatan, kombinasi antara keperawatan publik dan keperawatan klinik, berfokus
pada populasi, menekankan terhadap pencegahan akan penyakit serta adanya promosi
kesehatan dan kesejahteraan diri, mempromosikan tanggung jawab klien dan self
care, menggunakan pengesahan/pengukuran dan analisa, menggunakan prinsip teori
organisasi dan melibatkan kolaborasi interprofesional

Masyarakat perkotaan merupakan komunitas yang tinggal di daerah perkotaan dengan


semua keadaan dan kondisi yang ada di lingkungan kota. Kepadatan penduduk,
masalah yang kompleks, rasiseme dan perbedaan etnik terjadi pada area
perkotaan.Pengangguaran dan gelandangan lebih banyak terjadi di daerah perkotaan
daripada pedesaan.Kemerosotan dalam hubungan tetangga dihubungkan dengan
tingginya angka kriminalitas dan juga isolasi sosial (Srinivasan et al., 2003). Jumlah
masyarakat perkotaan bertambah setiap tahunnya ini diperkirakan efek dari arus
urbanisasi yang terus meningkat setiap tahunnya. Sehingga, lansia menjadi salah satu
golongan masyarakat urban yang banyak di perkotaan, mereka bermukim di
perkotaan karena beragam latar belakang. Akibat dari meningkatnya proses
urbanisasi menimbulkan dampak-dampak terhadap kesehatan, lingkungan kota, baik
dari segi tatakota, masyarakat, maupun keadaan sekitarnya.

Menyimak fenomena urbanisasi, maka akan terus meningkatnya juga jumlah lansia
di perkotaan, maka pemerintah daerah perkotaan pun harus segera menyiapkan
langkah efektif guna menangani fenomena ini, khususnya dalam bidang kesehatan.
Sehingga, seruan WHO dalam Hari Kesehatan Sedunia 2012 menyatakan agar semua
pihak melakukan gerakan-gerakan yang menekankan pentingnya memperhatikan
pelayanan kesehatan terhadap kalangan lansia, dapat terealisasi dengan baik. Hal-hal
tersebut menunjukkan bahwa untuk mencegah perburukan kondisi kesehatan maka
dibutuhkan promosi kesehatan dari berbagai profesi kesehatan, termasuk bidang
keperawatan.Hal tersebut juga menunjukkan bahwa peran perawat pada seting
perkotaan harusnya lebih ditingkatkan.

2.1.1 Peran Perawat dalam Keperawatan Kesehatan Perkotaan


Peran perawat dalam keperawatan kesehatan komunitas menurut Teeley, et al. (2006)
dalam Potter & Perry (2009) adalah sebagai pemberi layanan (care giver) dengan
menerapkan proses keperawatan dengan pendekatan berpikir kritis untuk menentukan
pilihan, keperawatan individual merawat klien, keluarga dan komunitas untuk
meningkatkan keberhasilan jangka panjang dengan membantu membangun suatu
komunitas sehat yang aman dan memiliki unsur yang memungkinkan masyarakat
untuk mencapai dan mempertahankan kualitas dan fungsi hidup yang tinggi. Kegiatan
praktik keperawatan komunitas yang dilakukan perawat mempunyai lahan yang luas
dan tetap menyesuaikan dengan tingkat pelayanan kesehatan wilayah kerja perawat,
tetapi secara umum kegiatan praktik keperawatan komunitas adalah sebagai berikut
pertama yaitu memberikan asuhan keperawatan langsung kepada individu, keluarga,
kelompok khusus baik di rumah (home nursing), di sekolah (school health nursing),
di perusahaan, di Posyandu, di Polindes dan di daerah binaan kesehatan masyarakat.
Kedua Penyuluhan/pendidikan kesehatan masyarakat dalam rangka merubah perilaku
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat (Stanhope & Lancaster, 2004).
2.2 Lanjut Usia
Di Indonesia, batasan lanjut usia adalah 60 tahun ke atas. Hal ini dipertegas dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada Bab 1
Pasal 1 Ayat 2 (Nugroho, 2008). Umur yang dijadikan patokan sebagai lanjut usia
berbeda-beda, umumnya berkisar antara 60-65 tahun. Menua adalah suatu proses
yang mengubah manusia dewasa dari keadaan sehat menjadi rapuh dengan
berkurangnya cadangan kemampuan system fisiologis dan meningkatnya kerentanan
terhadap penyakit dan diikuti kematian (Miller, 2003). Lansia adalah periode dimana
seseorang telah mengalami kematangan baik dalam ukuran maupun fungsi tubuh.
Seseorang dapat dikatakan lansia apabila ia telah mencapai usia diatas 65 tahun
(WHO, 2012). Selain itu, seseorang yang telah mencapai tahap lansia dalam
hidupnya, cenderung lebih mengalami kemunduran dalam banyak hal baik secara
fisik maupun emosional.Salah satu kemunduran yang sering terjadi pada lansia adalah
stroke yaitu kehilangan fungsi otak yang diakibatkan berhentinya suplai darah
kebagian otak (Bruner dan Suddarth, 2000)

a. Klasifikasi lansia
Klasifikasi lansia menurut Depkes RI 2003 (didalam Maryam, 2008).
1. Pralansia yaitu seorang yang berusia antara 45-59 tahun.
2. Lansia, yaitu orang yang berusia lebih dari 60 tahun
3. Lansia resiko tinggi, yaitu orang yang berusia 70 tahun atau lebih/ seseorang
berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.
4. Lansia potensial, yaitu lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan
atau kegiatan yang dapat menhasilkan barang/jasa.
5. Lansia tidak potensial, yaitu lanisa yang tidak berdaya mencari nafka,
sehingga hidupnya berganting pada bantuan oranglain.
b. Batasan-batasan lansia menurut WHO (didalam Nugroho, 2008),
mengelompokkan lansia menjadi empat kelompok yaitu:
1. Usia pertengahan (middle age) kelompok usa 45-59 tahun.
2. Usia lanjut (erderly) kelompok antara usia 60-70 tahun.
3. Usia lanjut tua (old) kelompok antara usia 70-75 tahun
4. Usia sangat tua ( very old) kelompok antara usia siatas 90 tahun.

2.2.1 Fisiologi Berkemih


Pusat pengaturan refleks berkembih diatur di medula spinalis segmen sakral.Proses
berkemih dibagi menjadi 2 fase yaitu fase pengisian dan fase pengosongan.Pada fase
pengisian kandung kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonomsimpatis yang
menyebabkan penutupan katup leher kandung kemih, relaksasi dindingkandung
kemih, serta penghambatan saraf parasimpatis. Pada fase pengosongan,aktifitas
simpatis dan somatik menutun, sedangkan parasimpatis meningkat sehinggaterjadi
kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher kandung kemih.

Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukanrangkaian


koordinasi proses fisiologik berurutan yang pada dasarnya dibagi menjadi 2 fase
yaitu, fase pengisisandengan kandung kemih berfungsi sebagai reservoar urine yang
masuk secara berangsur-angsur dari ureter, dan fase miksi dengankandung kemih
befungsi sebagai pompa serta menuangkan urin melalui uretra dalam waktu relatif
singkat.

Proses berkemih normal melibatkan mekanisme volunter dan involunter.Sfingter


uretra eksternal dan otot dasar panggul berada dibawah kontrol volunter dandisuplai
oleh saraf pudenda, sedangkan m. detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal
berada di bawah kontrol sistem safar otonom, yang mungkindimodulasi oleh korteks
otak. Kandung kemih terdiri atas 4 lapisan, yakni lapisanserosa, lapisan otot detrusor,
lapisan submukosa dan lapisan mukosa.
Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian kandung kemih terjadi dan bila otot
kandung kemih berkontraksi pengosongan kandung kemih atau proses
berkemih berlangsung. otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa
lapisankandung kemih. Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor, saraf pelvis,
medulaspinalis dan pusat saraf yang mengontrol berkemih. Ketika kandung kemih
seseorangmulai terisi oleh urin, rangsangan saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan
medulaspinalis ke pusar saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal (pada
ganglia basaldan serebelum) menyebabkan kandung kemih berelaksasi sehingga
dapat mengisitanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih.
Ketika pengisiankandung kemih berlanjut, rasa penggebungan kandung kemih
disadari, dan pusatkortikal (pada lobus frontal), bekerja menghambat pengeluaran
urin.

Pada usia lansia ini terjadi perubahan dan masalah fisik, biologi dan sosial atau
penyakit degenerative yang muncul seiring dengan menuannya seseorang. Perubahan
itu terkait jumlah penurunan sel, penurunan fungsi fisik, mental dan sosial (sahar,
2001). Umumnya perubahan yang terjadi perubahan sel, dimana sel pada diri seorang
lansia akan menjadi lebih sedikit jumlahnya, terjaid penurunan proporsi protein di
otak, otot, ginjal, darah, hato dan jumlah sel otak menurun, dan terganggunya
perbaikan sel. Jumlah sel-sel otak berkurang sehingga disertai penurunan fungsi
pengindraan seperti fungsi penglihatan, pendengaran, penciuman. Kulit juga
mengalami perubahan karena penurunan lemak dibawah kulit yang menyebabkan
hilangnya elastisitas kulit sehingga menjadikan kulit lebih keriput. Tulang kehilangan
density (cairan) dan makin rapuh, kifosis, pergerakan pinggang, lutut dan jari-jari
terbatas, persendian menjadi kaku, tendon mengerut serta atrofi serabut otot
(Nugroho, 2008). Perubahan lain yang paling menonjol pada lansia yaitu terjadinya
inkontinensia urin karena penurunan kekuatan otot dasar panggul (Hudak& Carolyn,
1997).
Selain perubahan fisik, lansia juga mengalami perubahan mental dan sosial,
perubahan mental yang sering terjadi diantaranya penurunan daya ingat, depresi,
akibat menurunnya fungsi organ tubuh oleh karena bertambahnya usia. Pada
perubahan sosial lansia dilahat dari lansia itu merasa tidak berguna dan diasingkan,
hilang kekuasaan dan pekerjaan. Ini yang membua lansia bisanya menolak untuk
bersosialisasi dengan lingkungan (Kuntioro, 2002)

2.3 Defenisi Inkontinensia Urin


Proses berkemih yang normal adalah suatu proses dinamik yang secara fisiologik
berlangsung dibawah kontrol dan koordinasi sistem saraf pusat dan system saraf tepi
didaerah sacrum. Sensasi timbul pada saat volume kandung kemih mencapai 300-600
ml. Produksi urin pada setiap individu berbeda. Pada umumnya produksi urin
seimbang dengan pemasukan cairan, namun ada beberapa faktor yang ikut
mendukung jumlah urin dalam satu hari. Umumnya kandung kekmih dapat
menampung urin lebih kurang 500ml tanpa terjadi kebocoran, frekuensi berkemih
yang normal adalah tiap 3 jam sekali atau tak lebih dari 8 kali sehari (Ganong W,
2003). Faktor yang mempengaruhi produksi urin adalah jumlah cairan yang masuk
ketubuh, kondisi hormone, saraf sensori perkemihan, kondisi sehat sakit, tingkat
aktivitas, sedangkan pola buang air kecil dapat dipengaruhi oleh kebiasaan seseorang,
usia, penggunaan obat-obatan dan pengaruh makanan (Hariyati, 2000).

Menurut Potter& Perry, 2005 Inkontinensia urin merupakan kehilangan kontrol


berkemih yang bersifat sementara atau menetap, klien tidak dapat mengontrol sfingter
uretra eksterna. Merembesnya urine dapat berlangsung terus menerus atau sedikit
sedikit. Inkontinensia urin merupakan ketidakmampuan otot sfingter eksternal
sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urin. Secara umum penyebab
inkontinensia dapat berupa proses penuaan, pembesaran kelenjar prostat, penurunan
kesadaran, dan penggunaan obat narkotik atau sedatif. Inkontinensia tidak harus
dikaitkan dengan lansia (Hidayat, 2006). Inkontinensia dapat dialami setiap individu
pada usia berapa pun walaupun kondisi ini lebih umum dialami oleh lansia.
Inkontinensia yang berkelanjutan memungkinkan terjadi kerusakan pada kulit. Sifat
urin yang asam mengiritasi kulit. Pasien yang tidak dapat melakukan mobilisasi dan
sering mengalami inkontinensia beresiko terkena luka dekubitus (Potter dan Perry,
2005).

Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang
merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus,
risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan
rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga
akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).

Perubahan ini disebabkan melemahnya otot dasar panggul, terjadinya kontraksi yang
abnormal pada kandung kemih yang menimbulkan rangsangan berkemih sebelum
waktunya dan meninggalkan sisa, pada pengosongan kandung kemih yang tidak
sempurna bisa mengakibatkan urine didalam kandung kemih yang cukup banyak
sehingga dengan pengisian sedikit sudah merangsang untuk berkemih ( Setiati, 2000).

2.3.1 Tipe inkontinensia Urin


Ada beberapa tipe dari inkontinensia urin yaitu inkontinensia akut dan Kronis.

1. Inkontinensia Urin Akut Reversibel

Inkontinensia ini sering terjadi pada lansia, salah satunya dengan pasien Pasien
delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toilet sehingga
berkemih tidak pada tempatnya. Kurangnya mobilisasi pasien dapat memicu
timbulnya inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia persisten,
seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya. Resistensi urin karena
obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula menyebabkan inkontinensia urin.
Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya inkontinensia
urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan
terjadinya inkontinensia urin seperti Calcium Channel Blocker, agonist adrenergic
alfa, analgesic narcotic, psikotropik,antikolinergik dan diuretic.Untuk mempermudah
mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible dapat disingkat menjadi
DIAPPERS

Penyebab-penyebab inkontinensia akut menurut Resnick (1991):

D : Delirium/ confusional state


I : Infection- Urinary (symptomatic)
A : Atrophic urethritis/ vaginitis
P : Pharmaceuticals
P : Psychological
E : Excessive urine output (Cardiac)
R : Restricted Mobility
S : Stool Impaction

2. Inkontinensia Kronis

Ada beberapa tipe dari inkontinensia urin ini yaitu: inkontinensia dorongan,
inkontinensia total, inkontinesia stress, inkontinensia refleks, inkontinensia
fungsional (Hidayat, 2006).
a. Inkontinensia Over Flow
Inkontinensia ini terjadi jika retensi menyebabkan kandung kemih terlalu penuh dan
sebagian terlepas secara tidak terkontrol, hal ini pada umumnya disebabkan oleh
neurogenik bladder atau obstruksi bagian luar kandung kemih.
b. Inkontinensia Stress
Menurut Hidayat (2006) inkontinensia tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes
dengan peningkatan tekanan abdomen, adanya dorongan berkemih, dan sering miksi.
Inkontinensia ini terjadi apabila urin secara tidak terkontrol keluar akibat tidak
terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan intraabdominal. Dalam hal ini,
tekanan di dalam kandung kencing menjadi lebih besar daripada tekanan pada
urethra. Gejalanya antara lain kencing sewaktu batuk, mengedan, tertawa, bersin,
berlari, atau hal lain yang meningkatkan tekanan pada rongga perut. Umumnya
disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul, merupakan penyebab tersering
inkontinensia urin pada lansia di bawah 75 tahun. Pasien mengeluh mengeluarkan
urin pada saat tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau
banyak. Pengobatan dapat dilakukan secara tanpa operasi (misalnya dengan Latihan
Kegel). Inkontinensia stress ini paling sering ditemukan pada wanita dan dapat
disebabkan oleh cidera obstetrik, lesi kolum vesika urinaria, kelainan ekstrinsik
pelvis, fistula, disfungsi detrusor dan sejumlah keadaan lain (Smeltzer, 2001).
c. Inkontinensia Urge
i Inkontinensia urgensi, adalah pengeluaran urin secara involunter yangv terjadi
segera setetelah keinginan berkemih yang keluar muncul (NANDA, 2012).
Inkontinensia ini merupakan keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan
sensasi keinginan berkemih. Inkontinensia urin jenis ini umumnya dikaitkan dengan
kontraksi detrusor tak terkendali (detrusor overactivity). Masalah-masalah neurologis
sering dikaitkan dengan inkontinensia urin urgensi ini, meliputi stroke, penyakit
Parkinson, demensia dan cedera medula spinalis. Inkontinensia tipe urgensi ini
merupakan penyebab tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi
inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor dengan kontraktilitas yang
terganggu. Pasien mengalami kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan
kandung kemih sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti inkontinensia urin stress,
overflow dan obstruksi.

Pasien Inkontinensia dorongan mengeluh tidak dapat menahan kencing segera


setelah timbul sensasi ingin kencing. Keadaan ini disebabkan otot detrusor sudah
mulai mengadakan kontraksi pada saat kapasitas kandung kemih belum terpenuhi.
Frekuensi miksi menjadi lebih sering dan volume kehilangan urin biasanya kecil
sampai sedang tergantung pada volume urin dalam kandung kemih setelah kontraksi
dimulai. Inkontinensia tipe ini meliputi 22% dari semua inkontinensia pada wanita
(Purnomo, 2008). Beberapa penyebab terjadinya inkontinensia urin dorongan
disebabkan oleh penurunan kapasitas kandung kemih, iritasi pada reseptor rengangan
kandung kemih yang menyebabkan spasme (inspeksi saluaran kemih), minuman
alcohol atau kafein, peningkatan konsentrasi urin, dan distensi kandung kemih
yang berlebihan. (Hidayat, 2006).
d. Inkontinensia fungsional
Inkontinensia ini memerlukan identifikasi semua komponen tidak terkendalinya
pengeluaran urin akibat faktor-faktor di luar saluran kemih. Penyebab tersering
adalah demensia berat, masalah muskuloskeletal berat, faktor lingkungan yang
menyebabkan kesulitan untuk pergi ke kamar mandi, dan faktor psikologis.
Seringkali inkontinensia urin pada lansia muncul dengan berbagai gejala dan
gambaran urodinamik lebih dari satu tipe inkontinensia urin merupakan keadaan
seseorang yang mengalami pengeluaran urin secara tanpa disadari dan tidak dapat
diperkirakan.

Keadaan inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih,
merasa bahwa kandung kemih penuh, kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk
mengeluarkan urin (Hidayat,2006). Inkontinensia fungsional merupakan
inkontinensia dengan fungsi saluran kemih bagian bawah yang utuh tetapi ada faktor
lain, seperti gangguan kognitif berat yang menyebabkan pasien sulit untuk
mengidentifikasi perlunya urinasi (misalnya, demensia Alzheimer) atau gangguan
fisik yang menyebabkan pasien sulit atau tidak mungkin menjangkau toilet untuk
melakukan urinasi (Smeltzer,2001).

2.3.2 Patofisiologi
Perubahan yang terkait dengan usia pada sistem Perkemihan Vesika Urinaria
(Kandung Kemih) Kapasitas kandung kemih yang normal sekitar 300-600 ml.
Dengan sensasi keinginan untuk berkemih diantara 150-350 ml. sedangkam menurut
miller (1999) Dalam kondisi yang nyaman, lansia mampu menyimpan 250-300ml
urin, dibandingkan dengan kapasitas tamping urin dalam kandung kemih orang
dewasa muda sebanyak 350-400 ml .Berkemih dapat ditundas 1-2 jam sejak
keinginan berkemih dirasakan. Ketika keinginan berkemih atau miksi terjadi pada
otot detrusor kontrasi dan sfingter internal dan sfingter ekternal relaksasi,yang
membuka uretra. pada orang dewasa muda hamper semua urine dikeluarkan dengan
proses ini.

Pada lansia tidak semua urine dikeluarkan, tetapi residu urine 50 ml atau kurang
dianggap adekuat. Jumlah yang lebih dari 100 ml mengindikasikan adanya retensi
urine. Perubahan yang lainnya pada peroses penuaan adalah terjadinya kontrasi
kandung kemih tanpa disadari. Pada wanita yang lanjut usia, terjadi penurunan
produksi esterogen menyebabkan atropi jaringan uretra dan efek akibat melahirkan
mengakibatkan penurunan pada otot-otot dasar (Stanley M & Beare G Patricia,
2006).

Inkontinensia pada usia lanjut terjadi karena adanya penurunan otot dasar panggul.
Proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat di pusat berkemih di sacrum, jalur
aferen yang akan membawa informasi mengenai volume kandung kemih di medulla
spinalis ( Darmojo, 2000), pada pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara
relaksasi kandung kemih melalui kerja saraf parasmpatis serta saraf simpatis dan
somatic yang mempersarafi otot dasar panggul.

Setiati (2011) nenyatakan pengosongan kandung kemih melalui persyarafan


koligernik parasimpatis yang menyebabkan kontraksi kandung kemih sedangkankan
efek simpatis kandung kemih berkurang. Jika korteks serebri menekan pusat
penghambatan maka akan timbulnya rasa ingin berkemih. Hilangnya penghambatan
pusat kortikal ini dapat disebabkan karena usia sehingga lansia sering mengalami
inkontinensia urin. Karena dengan kerusakan dapat menganggu koordinasi antara
kontraksi kandung kemih dan ralaksasi uretra yang mana gangguan kontraksi
kandung kemih akan menimbulkan inkontinensia.
2.4 Penatalaksanaan Inkontinensia Urin
Penatalaksanaan inkontinensia dengan menggunakan tindakan non farmakologis
dapat dilakukan dengan cara menggunakan terapi perilaku dengan cara pengaturan
makanan dan minuman, bladder training, penguatan otot panggul. Pasien.

2.4.1 Pengurangan komsumsi Kafein


Pengubahan jenis makanan dan minuan dengan cara membatasi minuman yang
mengandung kafein. Kafein dapat mengiritasi kandung kemih dan meningkatkan
frekuensi untuk berkemih yang akan memperburuk inkontinensia (Parker, 2007). Hal
yang sama disampaikan oleh Arya, et.al , 2000 dalam Howard, 2008 menyatakan
bahwa penelitian membuktikan bahwa inkontinensia urin dapat diatasi dengan
mengurangi konsumsi kafein. Pengkajian yang dilakukan pada pasien dengan
inkontinensia urin dan overactive bladder menunjukkan ada hubungan antara gejala
inkontinensia urin dengan konsumsi kafein sehingga pasien dengan inkontinensia
urin dan overactive bladder direkomendasikan untuk mengurangi konsumsi kafein
tidak lebih dari 200 mg/dl. Howard, et al. (2008) juga menyatakan bahwa pasien
dengan urgency, frekuensi urin dan urge incontinencemengalami perbaikan setelah
menerapkan bladder training dan mengurangi konsumsi kafein. Menurut Newman
(2004, dalam Howard, et.al. 2008) kafein dan alkohol yang terdapat dalam makanan
dan minuman dapat menyebabkan diuresis atau iritasi kandung kemih yang
berkontribusi terhadap overactive bladder

2.4.2 Bladder training


Latihan ini merupakan sebagai salah satu upaya mengembalikan fungsi kandung
kemih yang mengalami gangguan dan mengembalikan pola buang air kecil dengan
menghambat atau merangsang keinginan buang air kecil (Lutfie,2008). Bladder
training merupakan tindakan yang bermanfaat dalam mengurangi frekuensi dari
inkontinensia. Bladder training banyak digunakan untuk menangani inkontinensia
urin di komunitas.
Metode bladder training dengan jadwal berkemih dapat dilakukan dengan cara
membuat jadwal berkemih setiap bangun pagi, setiap dua jam pada siang dan sore
hari, setiap empat jam pada malam hari dan sebelum tidur malam. Memberikan cairan
sesuai kebutuhan 30 menit sebelum waktu berkemih, membatasi minum (150-200 cc)
setelah makan malam. Kemudian secara bertahap periode waktu berkemih dapat
ditambah. Tujuan dari bladder training (melatih kembali kandung kemih) adalah
mengembalikan pola normal perkemihan dengan menghambat atau menstimulasi
pengeluaran air kemih dan untuk mengembangkan tonus otot dan spingter kandung
kemih agar berfungsi optimal (Perry dan Potter, 2005).

2.4.3 Latihan Kegel (latihan pengencangan otot dasar panggul)


Latihan ini merupakan aktivitas fisik yang dilakukan secara berulang-ulang untuk
meningkatkan kebugaran tubuh. Latihan kegel dapat meningkatkan mobilitas
kandung kemih dan bermanfaat dalam menurunkan gangguan pemenuhan kebutuhan
eliminasi urin. Latihan otot dasar panggul dapat membantu memperkuat otot
dasar panggul. Penuaan menyebabkan penurunan kekuatan otot diantaranya otot
dasar panggul, yang berfungsi untuk menjaga stabilitas organ panggul secara aktif
serta mengendalikan dan mengontrol defekasi dan berkemih (Pudjiastuti & Utomo,
1997).

Melatih kegel dilakukan dengan caram melakukan kontraksi pada otot


pubococcygeus dan menahan kontraksi tersebut dalam hitungan 10 detik, dan
kontraksi dilepaskan. Pada tahap awal bisa dimulai dengan menahan kontraksi selama
3 hingga 5 detik. Latihan ini bisa dilakukan secara bertahap supaya otot semakin kuat,
latihan ini diulang 10 kali setelah itu mencoba berkemih dan menghentikan urin
ditengah (Johnson, 2002).

Ford Martin (2002) yang meneliti pengaruh Kegel exercise dan bladder training
terhadap inkontinensia urin. Penelitian ini menyatakan bahwa latihan Kegel yang
dilakukan 15 menit setiap hari selam 4 – 6 minggu dan bladder training selama 3 – 12
minggu dapat menurunkan keluhan inkontiensia. Pernyataan yang sama juga
disampaikan oleh Northrup (dalam Craven & Hirnle) bahwa wanita yag melakukan
Kegel exercise secara konsisten dan benar selama satu bulan hasilnya sangat
memuaskan dan dapat mengatasi masalah inkontinensia urin. Smith, et al. (2009)
yang meneliti tentang efek latihan otot dasar panggul terhadap bladder training
terhadap inkontinensia urin yang membandingkan wanita dengan inkontinensia urin
yang dilakukan bladder training dan yang tidak dilakukan bladder training tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan. Tetapi kombinasi Kegel’s exercise dan
bladder training yang dilakukan pada 125 wanita yang dibagi menjadi dua kelompok
yang ditraining dan latihan secara mandiri menunjukkan hasil yang sangat
memuaskan dan signifikan secara statistik. Secara kualitatif juga diperoleh data
meningkatnya persepsi responden tentang peningkatan kualitas hidup Hal ini
diungkapkan oleh Wallace (2006)
BAB 3
LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA

Bab ini akan membahas asuhan keperawatan meliputi pengkajian, analisa data
implementasi dan evaluasi yang diberikan kepada lansia yang mengalami
inkontinensia sebagai kasus kelolaan utama penulis.

3.1 Pengkajian Kasus


Klien, Laki-laki 63 tahun, beragama Islam sudah menikah dan istrinya telah
meninggal, Klien merupakan anak ke 1 dari 3 bersaudara. Semua saudara klien
tinggal di Medan. Kedua orang tua Klien sudah lama meninggal dan sudah lama tidak
berhubungan lagi dengan keluarganya di Medan yaitu sejak klien merantau ke
Jakarta, dan klien juga tidak memiliki saudara di Jakarta. Sejak istri kedua meninggal,
klien memilih untuk hidup sendiri. Semenjak merantau ke Jakarta, Klien tidak pernah
pulang kampung ke Medan dan semenjak itu pula sudah tidak pernah berkontak
keluarga baik adiknya atau anaknya.

Pekerjaan sebelum masuk panti sosial klien bekerja sebagai pengamen masuk ke
Panti Sosial Tresna Werda pada tanggal 1 April 2014. Klien dibawa oleh pihak
Kamtibmas ketika sedang tidur di pinggir jalan, sebelumnya bertempat tinggal di kos
daerah Pasar Rebo namun karena tidak memiliki uang lagi akhirnya Klien memilih
tinggal di pinggir jalan. Klien berasal dari Medan, merantau ke Jakarta sejak tahun
1980. Klien menikah 2 kali. Pernikahan pertama tahun 1975 dan berakhir cerai tahun
1985. Dari istri pertama Klien memiliki satu anak perempuan yang saat ini tinggal di
Medan. Kontak terakhir dengan anak dan istri pertamanya yaitu tahun 1990. Klien
kemudian menikah lagi tahun 2005 dengan perempuan asal Semarang. Istri kedua
Kakek sudah meninggal 3 tahun yang lalu karena sakit thyfoid. Dari istri kedua ini
klien tidak memiliki anak. Selama di Jakarta, Klien pernah bekerja sebagai penjual
martabak, penjual es, dan terakhir bekerja sebagai pengamen di pinggir jalan di
daerah pasar rebo.
Kondisi emosi klien termasuk mudah diajak untuk berkomunikasi dengan baik.
Menurut beberapa teman klien yang tinggal satu wisma dengannya, klien termasuk
seorang yang pendiam, tidak banyak berbicara dengan yang lain, namun tetap dapat
diajak ngobrol. Pembawaan Klien cukup tenang dan pendiam.

3.1.1 Riwayat Kesehatan


Klien dua tahun lalu didiagnosa diabetes mellitus dengan nilai gula darah waktu itu
235 mg/dl.. Hasil pemeriksaan gula darah sewaktu (18/04/2014) 205 mg/dl. Saat ini
rutin mengkonsumsi obat Glibenklamid 1mg/hari. Hasil pemeriksaan tekanan darah
130/80 mmHg.

Hasil wawancara dengan klien, mengatakan ketika bangun pagi tiba-tiba celananya
sudah basah dan tidak terasa sudah mengompol dan mengatakan ketidakmampuan
mencapai toileting pada saat berkemih, klien mengatakan tidak memberitahu masalah
ini ke petugas panti, karena menurut klien, dia mampu untuk menyelesaikan
masalahnya sendiri dan malu kalau memberitahu sama petugas. Pada saat penulis
melakukan pemeriksaan Bladder, terlihat pada saat penampung urin, jumlah uriin
output 1000ml, warna kuning, klien banyak kencing, dan pada saat pemeriksaan
kandung kemih, tidak adanya tanda pembesaran dan tidak ada nyeri tekan.

Perilaku klien terlihat sering minum kopi pada siang hari dan sehari-hari tampak
tidak bersemangat dan malas melakukan kegiatan/aktivitas. Berdasarkan wawancara
dengan petugas panti mengatakan bahwa memang benar klien tidak pernah
melaporkan kejadian masalah inkontinensia yang telah dialami klien. Petugas
mengatakan, bahwa klien malas mandi, penampilan tidak bersih dan kulitnya
mengalami gatal-gatal. Hasil pengkajian dan rekam medis juga didapatkan keluarga
klien tidak memiliki riwayat penyakit DM, Stroke, dan masalah pernafasan.
3.1.2 Kebiasaan Sehari-hari Klien
Hasil obeservasi didapatkan sehari-hari klien makan 3x/hari yang disediakan oleh
pihak PSTW Budi Mulia. Makan pagi Klien pukul 07.00, makan siang pukul 11.00,
dan makan sore pukul 15.00. Makan selalu habis bahkan terkadang menambah porsi
jika ada makanan tersisa. Makanan yang disediakan panti sudah memenuhi standar
gizi yaitu nasi, sayur, lauk pauk, dan buah yang bervariasi setiap waktu makan. Jika
malam hari, Klien merasa lapar dan mengatasinya dengan minum atau mengemil
biskuit yang berasal dari teman-teman sewisma. Berdasarkan pola minum klien
terlihat sering minum kopi biasanya 1 gelas perhari, biasanya klien mendapatkan kopi
dari setiap pengunjung yang memberikan uang, dan kalau tidak ada uang minta
dengan teman-temannya yang sedang minum kopi, sedangkan minum air putih ± 7
gelas sehari, klien mengatakan sering merasa haus.

Kegiatan sehari-hari klien terlihat hanya mengikuti kegiatan yang diadakan di panti.
Klien mengatakan sebenarnya tidak betah di panti. Klien tampak tidak antusias dan
tidak termotivasi melakukan aktivitas sehari-hari.. Selain itu, Klien lebih sering
terlihat duduk merokok di kurai halman atau rebahan di kamar tidur. Klien juga
termasuk jarang berinteraksi dengan teman wisma. Setiap hari Klien juga selalu
mengikuti kegiatan yang diadakan oleh pihak panti. Jika ada senam atau panggung
gembira Klien selalu mengikuti acara tersebut. Hanya kegiatan pengajian saja yang
jarang diikuti oleh Klien dengan alasan segan untuk ikut pengajian. Pada saat
panggung gembira, Klien mengatakan tidak pernah menyanyi ataupun berjoget, Klien
hanya menikmati dan melihat teman-temannya yang bernyanyi dan berjoget saja. Saat
senam, Klien mengikuti gerakan-gerakan senam sambil duduk, karena kondisi
kakinya yang menyebabkan dia untuk mengikuti gerakan senam dengan berdiri. Klien
mengatakan kadang pada pagi hari jalan pagi mengelilingi panti sebanyak 2 kali.
Tidak ada masalah dalam eliminasi klien, klien mandiri dan BAB lancar setipa satu
atau dua hari sekali, tidak nyeri saat BAB.. Klien mengatakan BAB lancar, tidak
keras, satu kali di pagi hari. Klien sering makan buah karena pihak panti selalu
menyediakan buah. Jika makan buah, maka BAB klien akan lancer. Untuk BAK klien
7-8 x/hari, dan klien melaporkan ketidakmampuan mencapai toilet pada waktunya
guna menghindari pengeluaran urin (Inkontinensia Urgensi).

3.1.3 Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


Pemeriksaan yang dilakukan kepada klien dimulai dari pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan menggunakan FMS, BBT. Pada pemeriksaan ini dilakukan secara
keseluruha head to toe. Pemeriksaan fisik juga meliputi tanda-tanda vital ,terlihat
Keadaan umum tampak sehat , suhu 36oCn nadi 88x/menit, tekanan darah 130/80
mmHg, pernafasan 18x/menit, tinggi badan 160 cm, berat badan 60 kg, IMT : 23,43
(normal: 18-25). Pada bagian kepala dilakukan pemeriksaan Keadaan dan penampilan
umum kepala: kepala bulat, simetris, tidak terdapat lesi pada kulit kepala, tidak
terdapat benjolan , rambut tipis, warna rambut putih merata, kulit kepala rambut
cukup bersih (tidak ada kutu dan ketombe), rambut agak kering dan berantakan
karena tidak disisir dan sudah seminggu tidak keramas. Keadaaan dan penampilan
umum struktur mata: alis mata simetris, sejajar, tidak juling, keadaan konjungtiva dan
sklera: konjungtiva tidak anemis, tidak ikterik, klien mengatakan masih dapat
melihat dengan jelas, hanya tidak dapat membaca jika tulisan terlalu kecil. Tidak ada
sumbatan, tidak ada peradangan, tidak terdapat pengeluaran cairan, pada pemeriksaan
mlut, terlihat gigi geraham bagian kiri atas dan bawah sudah tanggal semua. Gigi
geraham kanan atas dan bawah tersisa dua. Gigi seri dan taring atas bawah masih
utuh. Gigi tampak kuning dan kotor, lidah tampak kotor. Tidak ada sariawan, mukosa
tidak kering. Keadaan dan penampilan umum struktur telinga: telinga sejajar mata,
tidak ada lesi, nyeri tidak ada, tidak terdapat pengeluaran cairan. Pada pemeriksaan
leher tidak ada kesulitan menelan, pembesaran kelenjar getah bening (-), distensi vena
jugularis (-), tidak ada tanda peradangan.

Pemeriksaan dada terlihat bentuk dada simetris, warna kulit sama, pergerakan dada
simetris, tidak ada lesi. Klien mengatakan tidak sesak nafas, dada tidak nyeri, bunyi
paru resonance, suara paru vesikuler, rhonci (-), wheezing (-), Jantung: bunyi jantung
S1 dan S2 normal, murmur(-), gallop (-), CRT < 2 detik. Pada bagian abdomen
terlihat simetris, datar, tidak ada kemerahan, tidak ada luka, tidak ada tanda-tanda
infeksi, suara timpani, nyeri tekan (-), tidak ada pembesaran abdomen. Kulit tidak
pucat, warna kulit sama dengan warna tubuh, bagian musculoskeletal, klien dapat
berjalan dengan cepat menggunakan kruk. Postur tidak bungkuk. Kulit terlihat adanya
daki yang menempel di tangan dan kaki

Pemeriksaan penunjang lain yaitu pemeriksaan gula darah sewaktu , hasil GDS 2
tahun adalah 235 mg/dl, dan pada tanggal 18 April 2014 205 mg/dl dan terakhir
pemeriksaan 3 Juni 2014 190 mg dl. Pemeriksaan penunjang lainnya yaitu
Pemeriksaan resiko jatuh (FMS) dengan nilai 35 (risiko jatuh sedang) dan
pemeriksaan Indeks Kemandirian dengan nilai 100 (Kemandirian penuh).

3.2 Analisis Data


Hasil pengkajian diatas didapatkan masalah keperawatan utama yaitu Inkontinensia
urgensi, adalah pengeluaran urin secara involunter yangv terjadi segera setetelah
keinginan berkemih yang keluar muncul (NANDA, 2012). Berdasarkan hasil
pengkajian didapatkan Klien mengatakan ketika bangun pagi tiba-tiba celananya
sudah basah dan tidak terasa sudah mengompol ini terjadi sebulan bisa 2 kali,
melaporkan ketidakmampuan mencapai toilet pada waktunya, Klien mengatakan
mampu menyelesaikan masalah inkontinensianya sendiri, jadi klien tidak
memberitahu petugas. Klien mengatakan jika sedang lapar pada malam hari, klien
mengatasinya dengan banyak minum.

3.3 Rencana Asuhan Keperawatan


3.3.1 Rencana Asuhan Keperawatan Inkontinensia Urge
Rencana asuhan keperawatan berdasarkan masalah keperawatan yang utama yaitu
Inkontinensia urge. Tujuan dari diagnosa ini berdasarkan NANDA (2012) yaitu
menunjukkan kontinensia urine, yang dibuktikan klien mampu mencapai toilet
antara waktu berkemih dan pengeluaran urin dan mempertahankan pola eliminasi
yang dapat diduga. Intervensi dari diagnosa tersebut berdasarkan NANDA (2012)
yaitu : Berkemih tepat waktu dengan cara meningkatkan kontinensia urin dengan
diingatkan secara verbal pada waktu tertentu untuk berkemih dan umpan balik
sosial yang positif demi keberhasilan eliminasi. Selanjutnya Manajemen
Eliminasi urin dengan memelihara pola eliminasi urine yang optimum serta
pelatihan kebiasaan berkemih dengan cara menetapkan pola pengosongan
kandung kemih yang dapat diperkirakan untuk mencegah inkontinensia pada klien
tersebut. Serta intervensi lain yang akan dilakukan yaitu Kaji kebiasaan pola
berkemih dan dan gunakan catatan berkemih sehari, pertahankan catatan harian
untuk mengkaji efektifitas program yang direncanakan, pantau masukan dan
pengeluaran, pastikan klien mendapat masukan cairan 1500 ml, kecuali harus
dibatasi dan Latihan Kegel serta Bladder Training.
3.4 Implementasi
3.4.1 Inkontinensia Urge
Implementasi asuhan keperawatan pada klien dilakukan dalam kurun 7 minggu.
Dan dilakukan selama 21 kali pertemuan terkait intervensi dan diagnosa . pada
minggu awal pada saat pengkajian yaitu minggu pertama dan kedua awal klien
sangat sulit untuk diajak berbincang-bincang dank lien menolak untuk diajak
untuk berkomunikasi dengan berbagai alasan, pendekatan dilakukan perlahan-
lahan dan tidak seperti memaksa supaya untuk mebina hubungan saling
percaya. Selanjutnya penulis memulai melakukan tindakan diminggu kedua
pertengahan menanyakan masalah yang sedang dialami klien terkait
inkontinensia urge, pertama perawat melakukan penjadwalan waktu berkemih
pada klien, disitu penulis menyediakan tabel waktu selama 24 jam dari awal
eliminasi klien pada saat bangun tidur sampai klien mulai tidur. Jadwal tersebut
ditempel di dinding tepat dekat dengan tempat tidur klien untuk diisi setiap
klien berkemih dan esoknya penulis akan mengobservasi apa klien mengisi atau
lupa, ketika jadwal masih ada yang kosong atau lupa diisi oleh klien, penulis
langsung menanyakan kapan saja jadwal berkemih klien tersebut.
Pada minggu ketiga dilakukannya latihan Bladder Training dilakukan dengan
membuat jadwal berkemih dapat dilakukan dengan cara membuat jadwal
berkemih setiap jam sekali. Memberikan cairan sesuai kebutuhan 30 menit
sebelum waktu berkemih, membatasi minum (150-200 cc) setelah makan
malam dan membatasi komsumsi minuman yang mengandung kafein. Tujuan
dari bladder training (melatih kembali kandung kemih) adalah
mengembalikan pola normal perkemihan dengan menghambat atau
menstimulasi pengeluaran air kemih dan untuk mengembangkan tonus otot dan
spingter kandung kemih agar berfungsi optimal (Perry dan Potter, 2005).

Pada minggu selanjutnya hingga minggu terakhir dilakukan latihan kegel


dengan cara melakukan kontraksi pada otot pubococcygeus dan menahan
kontraksi tersebut dalam hitungan 10 detik, dan kontraksi dilepaskan. Pada
tahap awal bisa dimulai dengan menahan kontraksi selama 3 hingga 5 detik
Latihan ini bisa dilakukan secara bertahap supaya otot semakin kuat, latihan ini
diulang 10 kali dilakukan dengan cara berdiri kaki dibuka selebar bahu dan
mulai mengkontraksi kan otot panggul dan merelaksasikannya seperti lagi
menahan pipis, setelah itu mencoba berkemih dan menghentikan urin ditengah,
dan latihan ini selama beberapa hari masih sedikit untuk diikut oleh klien, dan
penulis terus mengajarkan klien sampai bisa, setelah klien bisa dengan
melakukannya secara menahan selama 5 detik, penulis menambahkan waktu
menjadi 10 detik.

3.4 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi dari tindakan yang telah diimplementasikan kepada klien selama 7 minggu
dengan menggunakan metode analisis SOAP (Subjektif, Objective, Analisis, Planning
). Pada minggu pertama dan kedua awal, penulis melakukan bina hubungan saling
percaya serta melakukan pengkajian, karena ketika mau member tindakan
keperawatan kepada klien harus membina trust terlebih dahulu sehingga ketika klien
sudah trust dengan penulis itu akan membuat lebih mudah untuk dilakukannya
intervensi.

3.4.1 Evaluasi Inkontinensia Urin


Hasil evaluasi berdasarkan implementasi yang sudah dilakukan 7 minggu dan 21
pertemuan yaitu penulis sudah melakukan diminggu pertama dan kedua awal
didapat data pengkajian bahwa klien mengalami inkontinensia urge, kesulitan
menyampai toilet pada saat berkemih ini terjadi 2 kali dalam sebulan pada klien
yaitu pas bertepatan dengan panggung gembira dan dan mengompol sebanyak 2
kali pada saat bangun tidur. Klien menyadari masalah ini sangat menggangu tapi
klien tidak memberitahukannya kepada petugas yang ada dipanti, karena
menurut klien dia mampu mengurusi dirinya sendiri dan tidak mau merepotkan
orang lain.

Pada mingu kedua pertengahan, penulis melakukan edukasi tentang


inkontinensia, dan membujuk klien untuk dilakukan latihan kegel, awalnya klien
menolak dikarenakan klien malu apabila latihan sendiri, setelah itu penulis terus
memotivasi klien untuk terus melakukan latihan dan akhirya klien mau, penulis
menjelaskan latihan itu dilakukan pada minggu ke empat. pada minggu ini
difokuskan untuk membuat jadwal berkemih klien selama 24 jam. Penulis sudah
membuat tabel jadwal waktu berkemih dan menjelaskan kapan saja waktu
berkemih klien dan memberikan tanda ceklist (√) , jadwal ini dibuat selama 1
minggu hasil dari evaluasinya klien mengatakan akan melakukan ceklist pada
kolom yang tersedia, terlihat dihari-hari selanjutnya kolom jadwal diisi oleh
klien, namun ada beberapa yang kosong karena alasan klien lupa menulis dan
penulis menanyakan dan memvalidasi waktu berkemih sebelumnya pada klien.
Hasil evaluasi delama 1 minggu, klien paling banyak berkemih 6-8 kali/perhari
dan jarak berkemih sekitar 2-3 jam,. rencana selanjutnya yaitu latihan Bladder.
Minggu ke-3 dilakukan latihan Bladder, latihan ini merupakan sebagai salah satu
upaya mengembalikan fungsi kandung kemih yang mengalami gangguan dan
mengembalikan pola buang air kecil dengan menghambat atau merangsang
keinginan buang air kecil. Metode bladder training dengan jadwal berkemih
dapat dilakukan dengan cara membuat jadwal berkemih setiap bangun pagi,
setiap dua jam pada siang dan sore hari, setiap empat jam pada malam hari dan
sebelum tidur malam. Contohnya jika klien bangun pagi pukul 06.00, selanjutnya
klien berkemih pada 2 jam selanjutnya yaitu pada pukul 08.00, dan berkemih
pada siang harinya sekitar antara pukul 11.00-12.00 dan pukul 16.00 malamnya
pukul 20.00 dan sebelum klien tidur. Serta, membatasi minum (150-200 cc) pada
malam hari. Penulis bekerja sama dengan teman mitra yang berbeda dinas
dengan penulis agar bisa memantau jadwal perkemihan yang sudah disepakati
oleh penulis dan klien. Klien mengatakan sediki masih sulit untuk melakukan
latihan ini, klien mengatakan jadwal berkemih sering tidak sesuai dengan jadwal
yang telah diberikan. Rencana tindak lanjut yang akan diberikan kepada klien
yaitu latihan Kegel.

Minggu ke- 4 praktik intervensi yang dilakukan yaitu melakukan latihan kegel,
awalnya penulis menjelaskan bagaimana latihan ini dan tujuan dari latihan kegel
untuk melatih kekuatan otot dasar panggul, perawat menjelaskan bagaimana
prosedurnya, pertama klien sulit diajarkan karena klien belum siap untuk
melakukannya karena klien sedang tidak baik emosinya, selanjutnya dijelaskan
kembali tujuan dan manfaat dari latihan ini, esoknya klien mau diajak untuk
latihan. Klien mengatakan latihan ini agak sulit dilakukan, karena ketika
melakukan latihan ini perut tidak boleh tegang dan harus bernapas normal. Dan
hari selanjutnya klien mencoba dengan cara menahan selama 5 detik dan klien
mampu, dan Rencana tindak lanjutnya yaitu mengulang latihan ini setiap hari
minimal 3-5 kali secara mandiri oleh klien.
Minggu ke-5 praktik, di evaluasi apakah klien sudah melakukan latihan kegel
secara mandiri tanpa didampingi penulis, klien mengatakan latihan dilakukan
setelah mandi, sebelum tidur dan sesudah bangun tidur, dan klien mengatakan
senang mengikuti latihan ini karena semenjak berhari-hari klien melakukan
latihan ini klien mengatakan tidak pernah ngompol lagi. Selanjutnya penulis
meakukan latihan kegel dengan cara menahan hingga 10 detik. Klien mampu dan
klien mampu mengikuti instruksi yang perawat berikan.

Minggu ke-6 dan ketujuh dilakukannya evaluasi tindakan yang telah sebelumnya
sudah dilakukan oleh klien, klien mengatakan selama 7 minggu latihan, klien
sudah tidak pernah mengompol lagi pada pagi hari saat bangun tidur, dan klien 1
kali mengalami ketidakmampuan mencapai toileting pada saat berkemih yaitu
pada saat dilakukan latihan penjadwalan waktu berkemih, yaitu pada saat awal
memberikan intervensi.
BAB IV

ANALISIS SITUASI

4.1 Profil Lahan Praktik


Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 01 Cipayung Jakarta Timur
merupakan panti sosial milik Negara berada di bawah kepengurusan Departemen
Sosial RI. PSTW ini merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis Dinas Sosial
Provinsi DKI Jakarta, yang berfungsi sebagai suatu tempat/sarana Pelayanan
Kesejahteraan Sosial bagi para lanjut usia yang mengalami masalah sosial yang
disebabkan oleh kemiskinan, ketidakmampuan secara fisik dan ekonomi untuk
diberikan pembinaan pelayanan sosial serta perlindungan agar mereka dapat
hidup secara wajar. Panti ini dibangun pada tahun 1968 , pada awalnya panti
bernama Panti Werdha 1 Cipayung pada tahun 1968 kemudian diganti menjadi
Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1 Cipayung pada tahun 1996.

Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1 Cipayung ini memiliki Visi
dan Misi. Visi panti yaitu Penyandang masalah kesejahteraan sosial khususnya
lanjut usia terlantar DKI Jakarta terentas dalam kehidupan normatif dan Misi
panti antara lain : 1). Mencegah, mengurangi tumbuh kembang dan meluasnya
masalah kesejahteraan sosial khususnya lanjut usia terlantar. 2). Mengentaskan
Penyandang masalah kesejahteraan sosial lanjut usia terlantar dalam kehidupan
yang layak dan normative 3).Pembinaan peran serta sosial bagi masyarakat dalam
melaksanakan UKS 4 ). Meningkatkan fasilitas kesejahteraan sosial.

Lansia yang tinggal dipanti ini umumnya mereka yang dari kalangan ekomomi
yang menengah kebawah, dan mereka yang berasal dari jalan dan dibawa oleh
dinas sosial untuk tinggal dipanti. Panti ini terdiri dari kamar-kamar dan rata-rata
bentuknya seperti barak, dimana 1 barak bisa diisi oleh 30-40 lansia. Barak untuk
laki-laki dan wanita dipisah, dan wisma tempat mereka tinggal dibagi menjadi
dua yaitu Mandiri dan total care. Untuk mandiri yang wisma perempuan yaitu
Wisma Asoka, Bougenville dan wisma lak-laki Catlleya dan Flamboyan
sedangkan yang total care dibagi menjadi tiga wisma yaitu Dahlia, Cempaka
untuk perempuan dan Edelweis untuk lansia yang berjenis kelamin laki-
laki.Disetiap wisma terdapat perawat, dimana perawat bertugas dimasing-masing
wisma untuk memberikan obat sesuai penyakit yang dimiliki oleh lansia, dan ada
petugas lain care giver yang bertugas untuk membantu penghuni melakukan
kegiatan sehari-hari seperti mandi bagi lansia yang membutuhkan bantuan untuk
perawatan diri dan biasanya itu ada diwisma total care. Dan di wisma mandiri
biasanya lansia melakukan kegiatan sendiri seperti perawatan diri dan bagi lansia
yang masih kuat dan sehat, sebagian membantu ppetugas untuk mengambil
makanan di dapur dan dibagikan disetiap wisma dan ada beberapa perwakilan
disetiap wisma masing-masing.

Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1 menyediakan pelayanan kesehatan


seperti klinik yang tersedia di Panti, dan jadwal dilakukan pada hari senin, serta
merujuk lansia yang perlu dirawat di rumah sakit, dip anti ini juga menyediakan
alat bantu jalan seperti tongkat, walker, kruk dan kursi roda bagi lansia yang
mengalami hambatan mobilitasa dan membutuhkan alat bantu jalan.

4.2 Analisis Masalah Keperawatan Inkontinensia Urin dengan Konsep


Terkait
Lansia menjadi salah satu golongan masyarakat urban yang banyak di perkotaan.,
ini menunjukkan harus adanya peningkatan pelayanan kesehatan terhadap
kalangan lansia, dapat terealisasi dengan baik karena lansia mengalami penurunan
secara fisik, dimana sel-sel tidak mampu untuk bermultiplikasi lagi, dimana dari
gaya hidup dikota juga kurang baik, terlihat dari makanan yang dikomsumsi
lansia yang tinggal diperkotaan cenderung mengandung zat kimia yang tinggi.
Komnas Lasia menyatakan hal tersebut memicu proses penuaan yang lebih cepat
pada lansia diperkotaan yang diidentifikasi dengan penurunan sensori dan
penyakit degenerative lainya.

Klien yang dibahas oleh penulis ini merupakan penduduk urbanisasi, awalnya
klien bertempat tinggal dan pindah kejakarta untuk mencari kerja. Klien sekarang
berada di Panti Sosial Tresna Werda pada tanggal 1 April 2014. Residen dibawa
oleh pihak Kamtibmas ketika sedang tidur di pinggir jalan, sebelumnya bertempat
tinggal di kos daerah Pasar Rebo namun karena tidak memiliki uang lagi akhirnya
Residen memilih tinggal di pinggir jalan. sebagai suatu tempat/sarana Pelayanan
Kesejahteraan Sosial bagi para lanjut usia yang mengalami masalah sosial yang
disebabkan oleh kemiskinan, ketidakmampuan secara fisik dan ekonomi untuk
diberikan pembinaan pelayanan sosial serta perlindungan agar mereka dapat
hidup secara wajar.

Klien sekarang tinggal di wisma Flamboyan yang merupakan wisma yang ada di
PSTW ini yang didalamnya terdapat 30 lansia. Hasil pengkajian menunjukkan
bahwa terdapat 2 lansia (6,67 %) yang mengalami inkontinensia. Upaya
pencegahan inkontinensia ini belum dilakukannya pencegahan oleh petugas,
dikarenakan salah satu alasan klien merupakan lansia yang mandiri dan tidak
perlu perlakuan khusus dan kurangnya pengkajian yang lebih spesifik terhadap
masalah perkemihan sehingga tidak tertanganinya masalah perkemihan ini dengan
baik.

Masalah keperawatan utama yang dialami oleh Klien (63 tahun) adalah
Inkontinensia urin. Pada saat pengkajian, didapat data secara subjektif, klien
mengatakan ketika bangun pagi tiba-tiba celananya sudah basah dan tidak terasa
sudah mengompol dan mengatakan sulit menahan pipis ketika pada saat hendak
mau miksi ke toilet, kejadian ini sudah beberapa kali dialami klien semenjak
dipanti. Data objektif terlihat cairan yang masuk 1500-2000ml/hari, buang air
kecil terlihat dari jadwal 7-8 kali/hari, dan pada saat pemeriksaan fisik tidak
adanya tanda pembesaran dan tidak ada nyeri tekan pada saat palpasi. Dari data
pengkajian, terlihat klien mengalami inkontinensia urin. tipe urgensi, urgensi,
adalah pengeluaran urin secara involunter yang terjadi segera setetelah keinginan
berkemih yang keluar muncul (NANDA, 2012). Batasan karakteristik mampu
mengosongkan kandung kemih secara tuntas, lama waktu yang diperlukan untuk
mencapai toilet lebih panjang dari waktu antara merasakan dorongan inging
berkemih dan berkemih tanpa kendali , mengeluarkan urine sebelum mencapai
toilet dan merasakan dorongan ingin berkemih. Terlihat dari gaya hidup klien,
klien sangat mengkomsumsi kopi 1x sehari. Penelitian membuktikan bahwa
inkontinensia urin dapat diatasi dengan mengurangi konsumsi kafein dan
membuktikan bahwa pasien Inkontinensia dorongan mengalami perbaikan setelah
menerapkan bladder training dan mengurangi konsumsi kafein. (Howard, 2008)

4.3 Analisis Intervensi Keperawatan Latihan Bladder & Latihan Kegel pada
Inkontinensia Urin dan penelitian terkait.
Latihan ini merupakan sebagai salah satu upaya mengembalikan fungsi kandung
kemih yang mengalami gangguan dan mengembalikan pola buang air kecil
dengan menghambat atau merangsang keinginan buang air kecil (Lutfie,2008).
Bladder training merupakan tindakan yang bermanfaat dalam mengurangi
frekuensi dari inkontinensia. Bladder training banyak digunakan untuk menangani
inkontinensia urin di komunitas. Metode bladder training dengan jadwal berkemih
dapat dilakukan dengan cara membuat jadwal berkemih setiap bangun pagi, setiap
dua jam pada siang dan sore hari, setiap empat jam pada malam hari dan sebelum
tidur malam. Memberikan cairan sesuai kebutuhan 30 menit sebelum waktu
berkemih, membatasi minum (150-200 cc) setelah makan malam. Tujuan dari
bladder training (melatih kembali kandung kemih) adalah mengembalikan pola
normal perkemihan
dengan menghambat atau menstimulasi pengeluaran air kemih dan untuk
mengembangkan tonus otot dan spingter kandung kemih agar berfungsi optimal
(Perry dan Potter, 2005). Penelitian Fant, 1991 menunjukkan bahwa 50 % dari
sampel percobaannya menjadi mampu mengontrol kencing, dan 12 % menjadi
total kontinen.

Metode bladder training dengan jadwal berkemih dapat dilakukan perawat dengan
cara membuat jadwal berkemih setiap bangun pagi, setiap dua jam pada siang dan
sore hari, setiap empat jam pada malam hari dan sebelum tidur malam (HAriyanti,
2000). Contohnya jika klien bangun pagi pukul 06.00, selanjutnya residen
berkemih pada 2 jam selanjutnya yaitu pada pukul 08.00, dan berkemih pada
siang harinya sekitar antara pukul 11.00-12.00 dan pukul 16.00 malamnya pukul
20.00 dan sebelum klien tidur. Dan klien sedikit sulit untuk mengikuti jadwal
yang diberikan oleh perawat, selanjutnya perawat membuat jadwal perkemihan
yaitu setiap 4 jam sekali, tetapi juga masih sedikit sulit dikarenakan klien sering
tidak tahan pipis.

Bladder training efektif digunakan masalah inkontinensia salah satunya


inkontinensia Urge (dorongan),penelitian ini dilakukan oleh Fantl (1991)
mengenai efektifitas bladder training didapatkan bahwa sebanyak 50% dari
sampel mampu mengontrol kencingnya.

Latihan kedua yang dilakukan yaitu Pengaturan Diet dengan cara pengubahan jenis
makanan dan minuan dengan cara membatasi minuman yang mengandung kafein.
Kafein dapat mengiritasi kandung kemih dan meningkatkan frekuensi untuk berkemih
yang akan memperburuk inkontinensia (Parker, 2007). Hal yang sama disampaikan
oleh Arya, et.al , 2000 dalam Howard, 2008 menyatakan bahwa penelitian
membuktikan bahwa inkontinensia urin dapat diatasi dengan mengurangi konsumsi
kafein. Howard, et al. (2008) juga menyatakan bahwa pasien dengan urgency,
frekuensi urin dan inkontinensia dorongan mengalami perbaikan setelah menerapkan
bladder training dan mengurangi konsumsi kafein. Menurut Newman (2004, dalam
Howard, et.al. 2008) kafein dan alkohol yang terdapat dalam makanan dan minuman
dapat menyebabkan diuresis atau iritasi kandung kemih yang berkontribusi terhadap
overactive bladder

Latihan terakhir yang dilakukan oleh penulis yaitu latihan kegel, tujuannya yaitu
untuk dapat meningkatkan mobilitas kandung kemih dan bermanfaat dalam
menurunkan gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi urin. Latihan otot dasar
panggul dapat membantu memperkuat otot dasar panggul. Penuaan menyebabkan
penurunan kekuatan otot diantaranya otot dasar panggul, yang berfungsi untuk
menjaga stabilitas organ panggul secara aktif serta men gendalikan dan mengontrol
defekasi dan berkemih (Pudjiastuti & Utomo, 1997). Melatih kegel dilakukan dengan
caram melakukan kontraksi pada otot pubococcygeus dan menahan kontraksi
tersebut dalam hitungan 10 detik, dan kontraksi dilepaskan. Pada tahap awal bisa
dimulai dengan menahan kontraksi selama 3 hingga 5 detik. Latihan ini bisa
dilakukan secara bertahap supaya otot semakin kuat, latihan ini diulang 10 kali
setelah itu mencoba berkemih dan menghentikan urin ditengah (Johnson, 2002).

Peneliti Ford Martin (2002)telah melakukan penelitian, beliau meneliti pengaruh


Kegel exercise dan bladder training terhadap inkontinensia urin. Penelitian ini
menyatakan bahwa latihan Kegel yang dilakukan 15 menit setiap hari selam 4 – 6
minggu dan bladder training selama 3 – 12 minggu dapat menurunkan keluhan
inkontiensia. Menurut Wallace (2006). Kombinasi Kegel’s exercise dan bladder
training yang dilakukan pada 125 wanita yang dibagi menjadi dua kelompok yang
ditraining dan latihan secara mandiri menunjukkan hasil yang sangat memuaskan dan
signifikan secara statistik. Secara kualitatif juga diperoleh data meningkatnya
persepsi responden tentang peningkatan kualitas hidup. Awalnya perawat
menggunakan metode yang dikatakan oleh peneliti Wallace, 2006, tapi kurang efektif
dengan klien yang ditulis oleh perawat, dikarenakan kurangnya motivasi untuk
membuat jadwal berkemih, sehingga latihan yang paling efektif dan mampu
mengurangi inkontinensia urin pada klien tersebut adalah latihan kegel, ini sesuai
dengan penelitian Ford Martin (2002).
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Klien merupakan penduduk urbanisasi, awalnya klien bertempat tinggal dan pindah
kejakarta untuk mencari kerja, Keluhan yang dirasakan klien pada bangun pagi tidak
terasa oleh klien mengompol dan tidak mampunya klien mencapai toileting pada saat
ingin kencing. Tindakan yang dilakukan yaitu Kaji kebiasaan pola berkemih dan dan
gunakan catatan berkemih sehari, pertahankan catatan harian untuk mengkaji
efektifitas program yang direncanakan, pantau masukan dan pengeluaran latihan
Kegel serta Bladder Training. Melakukan edukasi tentang inkontinensia, dan
membujuk klien untuk dilakukan latihan kegel. Penulis menjelaskan latihan itu
dilakukan pada minggu ke empat. pada minggu ini difokuskan untuk membuat jadwal
berkemih klien selama 24 jam. Penulis sudah membuat tabel jadwal waktu berkemih
dan menjelaskan kapan saja waktu berkemih klien dan memberikan tanda ceklist (√),
melakukan pengaturan diet dengan pengurangan komsumsi kafein dan melatih latihan
Bladder Training dan Kegel, tujuan untuk upaya mengembalikan fungsi kandung
kemih yang mengalami gangguan dan mengembalikan pola buang air kecil dengan
menghambat atau merangsang keinginan buang air kecil dan Latihan kegel bertujuan
dari latihan kegel untuk melatih kekuatan otot dasar panggul,dari tindakan yang
berhasil dilakukan penulis yaitu latihan kegel yang paling efektif untuk
penatalaksanaan intervensi pada Inkontinensia urin dan terlihat dari hasil skala SSI
ada penurunan dari inkontinensia sedang (skore 4) menjadi Inkontinensia ringan
(skore 2).
5.2 Saran

Penulis menyarankan bahwa perlunya perawat panti untuk melakukan pengkajian


khusus untuk masalah inkontinensia, yaitu pengkajian perkemihan semakin
mendalam, dan perlunya dimasukkan latihan mandiri, yaitu latihan kegel yang
bermanfaat untuk mencegah dan mengatasi masalah perkemihan pada lansia yang
mengalami inkontinensia urin, perlunya latihan kesinambungan dan evaluasi kondisi
perkemihan agar kekuatan otot dasar panggul semakin kuat. Latihan dimulai dengan
intensitas selama 10 detik bisa dilakukan hingga 5-10 kali perhari. Dalam
mendampingi lansia dalam melakukan latihan ini juga harus sabar, dan memberikan
reinforcement positif setelah klien melakukan latihan tersebut.

Pentingnya petugas panti untuk membantu melakukan modifikasi lingkungan untuk


pasien dengan inkontinensia urin dengan cara mendekatkan tempat tidur dengan
kamar mandi serta melakukan perawatan kulit untuk pencegahan terjadinya iritasi
kulit pada klien untuk mencegah terjadinya kerusakan kulit yang semakin buruk serta
diperlukan pemantauan khusus untuk pasien inkontinensia ini untuk pencegahan jatuh
karena pasien dengan inkontinensia sering menggunakan/ bolak-balik menuju kamar
mandi dan melakukan pembersihan kamar mandi setiap harinya untuk pencegahan
tidak jatuh.
DAFTAR PUSTAKA

Alimul, A. Aziz. (2003). Riset Keperawatan & Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta:

Salemba Medika

Allender dan Spradley (2005), Communnity Health Nursing Concepts and Practice.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins

Badan Pusat Statistik Jakarta. 2008. Berita Resmi Statistik No.18/05/31/Th.X .


Diakses dari http://jakarta.bps.go.id/fileupload/brs pada tanggal 2 Juli 2014

Black & Hawks. (2005). Medical Surgical Nursing Clinical Management for
Positive Outcomes
(Ed.7). St. Louis: Missouri Elsevier Saunders

Balitbangkes Depkes RI. (2008). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
Indonesia Tahun 2007. Jakarta.

Brown J, Seeley D, Fong J, et al. Urinary incontinence in older women: who is at


risk? Obstet Gynecol 1996;87:715–21.

Depkes RI. (2003). Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia lanjut bagi Petugas
Kesehatan: Materi Pembinaan. Jakarta: direktorat bina kesehatan usia lanjut

Hidayat, A. A. A. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep


dan Proses Keperawatan. Jakarta. Salemba Medika

Howard D, DeLancey JO, Tunn R, et al.(2008). Racial differences in the structure


and function of the stress urinary continence mechanism.

Johnson, D.W. & Johnson, R.T. (2002). Meaningful assessment: A manageable and
cooperative process. Boston: Allyn and Bacon.

Kementerian Kesehatan RI. (2012). Profil Kesehatan Indonesia 2010.


http://www.depkes.go.id.

Miller, C. A. (2004). Nursing for wellness in older adults: Theory and practice . 4th
ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Miller, C. A.(2003). Nursing for wellness in older adults: Theory and practice.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
NANDA International. (2012). Nursing diagnosis: Definitions and classification
2012 – 2014. UK: Wiley-Blackwell
Nugroho, Wahyudi. (2008). Keperawatan Gerontik & Geriatrik. Edisi ke 2. Jakarta:
EGC

Potter, P.A, Perry, A.G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,
Proses, Dan Praktik. Edisi 4.Volume 1.Alih Bahasa : Yasmin Asih, dkk.
Jakarta : EGC

Potter, P.A, Perry, A.G. (2009). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,
Proses, Dan Praktik. Edisi 4.Volume 1.Alih Bahasa : Yasmin Asih, dkk.
Jakarta : EGC

Pearce, Evelyn C. (2002). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta :


Gramedia Pustaka Umum

Sahar juniati (2001). Keperawatan Gerontik, Koordinator Keperawatan Komunitas,


Fakultas Ilmu Keperawatan UI, Jakarta

Setiati S, Pramantara . (2009). Buka ajar ilmu penyakit dalam. Inkontinensia urin dan
kandung kemih hiperaktif. Jilid I. Edisi ke-5. Jakarta: InternaPublishing; 2009:
hal865

Stanhope and Lancaster.(2004). Community & public health nursing. Sixth edition.
Mosby: New Jersey

Stanley, M., & Beare, P. G. (2006). Gerontological nursing: A health


promotion/protection approach, 2nd Ed. (Penerjemah: Nety Juniarti & Sari
Kurnianingsih). Jakarta: EGC

Setiati S. dan Pramantara I.D.P. (2007). Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih
Hiperaktif dalam Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata K M., Setiati
S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Ed.IV. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. hal: 1392-9

Smeltzer, S.C. dan bare, B.G. (2000). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC

Wilkinson, J.M., & Ahern N.R.,(2009). Buku Saku Diagnosis Keperawatan Diagnosa
NANDA Intervensi NIC Kriteria Hasil NOC Edisi kesembilan. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai