Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN SUBARACHNOID

HEMORRHAGE (SAH)

Untuk Menyelesaikan Tugas Profesi Keperawatan Medikal


Bedah
Program Profesi Ners

Disusun Oleh:
Esy Andriani Sambe, S.Kep.
11194692010067

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MULIA
BANJARMASIN
2020
LEMBAR PERSETUJUAN

LAPORAN PENDAHULUAN SUBARACHNOID HEMORRHAGE (SAH)

Tanggal

Disusun oleh :
Esy Andriani Sambe, S.Kep.
11194692010067

Banjarmasin, Januari 2021


Mengetahui,

Preseptor Akademik, Preseptor Klinik,

(……………………………….) (……………………………….)
NIK. NIP.
1. Definisi
Pendarahan subarakhnoid ialah suatu kejadian saat adanya darah
pada rongga subarakhnoid yang disebabkan oleh proses patologis.
Perdarahan subarakhnoid ditandai dengan adanya ekstravasasi darah ke
rongga subarakhnoid yaitu rongga antara lapisan dalam (piamater) dan
lapisan tengah (arakhnoid matter) yang merupakan bagian selaput yang
membungkus otak (meninges) (Studen Med, 2018).
Subarachnoid Hemorrhage (SAH) atau perdarahan sub arachnoid
merupakan perdarahan kedalam rongga antara yang terletak diantara
otak dengan selaput otak (subarachnoid space) ataupun ke dalam
ventrikel otak. SAH dibagi menjadi dua yaitu Traumatic Subarachnoid
Hemorrhage (tsah) dan Spontaneous Subarachnoid Hemorrhage (ssah).
Perdarahan subarachnoid adalah masuknya darah keruang
subcharacnoid baik dari tempat lain (perdarahan eubarachnoid sekunder)
dan sumber perdarahan berasal dari rongga subarachnoid itu sendiri
(perdarahan subarachnoid primer) (Harsono, 2015).

2. Etiologi
Penyebab yang paling sering adalah robeknya aneurisma, malformasi
arteriovenosa (MAV), kelainan hemoragik (trombositopenia, leukemia,
anemia aplastik), tumor, infeksi (sifilis, encefalitis, herpes simpleks,
mikosis, TBC), serta trauma kepala (Junaidi, 2016)
3. Patofisiologi
Pendarahan subarakhnoid ialah suatu kejadian saat adanya darah
pada rongga subarakhnoid yang disebabkan oleh proses patologis.
Perdarahan subarakhnoid ditandai dengan adanya ekstravasasi darah ke
rongga subarakhnoid yaitu rongga antara lapisan dalam (piamater) dan
lapisan tengah (arakhnoid matter) yang merupakan bagian selaput yang
membungkus otak (meninges). Etiologi yang paling sering menyebabkan
perdarahan subarakhnoid adalah ruptur aneurisma salah satu arteri di
dasar otak dan adanya malformasi arteriovenosa (MAV). Terdapat
beberapa jenis aneurisma yang dapat terbentuk di arteri otak seperti
aneurisma sakuler (Berry), aneurisma fusiforme yang biasanya
disebabkan oleh aterosklerosis atau hipertensi, aneurisma mikotik yang
biasanya disebabkan oleh infeksi, dan malformasi arterivenosa (MAV).
Dari etiologi tersebut menimbulkan arteri berdilatasi dan terjadi aneurisme
intrakranial, jika aneurisme dan tekanan pada daerah sekitar saraf kranial
terus melebar maka aneurisme dapat pecah dan muncul stroke
hemoragic, jika perdarahan terdapat pada ruang subarakhnoid,
hematoma serebral menyebabkan infark jaringan serebral dan
vasopasme arteri. Infark jaringan serebral jika terdapat pada hemisfer kiri,
maka dapat menyebabkan manifestasi seperti disfagia atau sulit menelan
sehingga muncul diagnosa keperawatan gangguan menelan dan
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, afasia akan
memunculkan diagnosa hambatan komunikasi verbal, kelainan visual
akan memunculkan diagnosa keperawatan gangguan persepsi sensori,
mudah frustasi akan memunculkan diagnosa keperawatan gangguan
konsep diri, hemiplagi kanan. Infark jaringan serebral pada hemisfer
kanan akan menyebabkan hemiplagi kiri. Hemiplagi kanan maupun kiri
akan sama sama menimbulkan kelemahan fisik sehingga muncul
diagnosa keperawatan defisit perawatan diri dan hambatan mobilitas fisik.
Pada vasopasme arteri/saraf serebral, menyebabkan penurunan suplay
oksigen di otak dan terjadilah metabolisme anaerob yang meningkatkan
produsi asam laktat sehingga merangsang reseptop nyeri dan pasien
mengalami nyeri akut. Selain itu vasopasme arteri/saraf serebral juga
dapat menyebabkan iskemik/infark dan terjadinya defisit fungsi
neurologis, pada nervus 1 menyebabkan penurunan daya penciuman
sehingga muncul diagnosa keperawatan gangguan persepsi sensori,
pada nervus 2 menyebabkan penurunan daya penglihatan sehingga
muncul diagnosa keperawatan resiko cedera, pada nerbus 3,4, dan 6
maka akan menurunkan lapang pandang dan refleks cahaya, ukuran
pupil akan ikut berubah sehinngga terjadi gangguan gerak bola mata dan
muncul diagnosa keperawatan gangguan persepsi sensori, pada nervus 7
terjadi penurunan kelopak mata dan fungsi pengecap lidah sehingga
muncul diagnosa keperawatan gangguan persepsi sensori, [ada nervus
9,10,11 dan nervus 5 menyebabkan penurunan kemampuan menelan,
sehingga asupan nutrisi tidak adekuat dan berat badan pasien ikut
menurun dan akan muncul diagnosa keperawatan ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Pada nervus 12, refleks mengunyah
akan menurun dan meningkatkan resiko tersedak, jika pasien tersedak
maka terjadi obstruksi jalan napas dan muncul diagnosa ketidakefektifan
bersihan jalan napas (Setyopranoto, 2012 dan NANDA, 2017).
4. Clinical Pathway

Aneurisma Aneurisma Aneurisma Malformasi


Sakuler Fusifome Mikotik Arterivenosa (MAV)

↑ aliran darah Arteri menerima


darah dalam jlh besar

Menekan
dinding p.darah

↓ elastisitas
p.darah
Ggn. Perfusi
jaringan
serebral

Dilatasi arteri Aneurisme Pelebaran aneurisme dan tek. Aneurisme


intrakranial pd daerah sekitar saraf kranial pecah

Hematoma SAH/Perdarahan pada Stroke


serebral arakhnoid/ventrikel Hemoragic

Infark Jaringan Vasopasme


Serebral arteri/saraf serebral

Hemisfer Kiri Hemisfer Kanan Iskemik/ ↓ suplay O2


Infark di otak

Disfagia Afasia Kelainan Mudah Hemiplagi Hemiplagi Defisit Metabolism


visual frustasi kanan kiri Neurologi anaerob

Sulit ↑ akumulasi
Menelan Kelemahan Fisik asam laktat

Merangsang
Defisit Hambatan reseptor
Hambatan Gangguan Perawatan Mobilitas nyeri
Komunikasi Konsep Diri Diri Fisik
Verbal
Nyeri Akut

Gangguan
Menelan
Nervus 1 Nervus 2 Nervus Nervus 7 Nervus 8 Nervus Nervus 5 Nervus 12
3,4,6 9,10,11

↓ Daya ↓ Daya ↓ Lapang Penurunan Pendengaran ↓ refleks


penciuman peng- pandang kelopak dan mengunyah
lihatan mata dan keseimbangan Penurunan
fungsi menurun kemampuan
pengecap menelan Tersedak
↓ refleks lidah
Resiko cahaya
Cedera
Obstruksi
Asupan tidak jalan napas
Perubahan adekuat
ukuran pupil

BB Menurun Resiko
Ggn gerak bola mata aspirasi

Gangguan
Persepsi
Sensori

Ketidakseimbangan Nutrisi
Kurang Dari Kebutuhan Tubuh

Sumber: Setyopranoto (2012) & NANDA (2017)


5. Manifestasi Klinik
1. Gejala prodromal: nyeri kepala hebat dan perakut, hanya 10 %
sementara 90% lainnya tanpa keluhan sakit kepala.
2. Kesadaran sering terganggu, dan sangat bervariasi dari tak sadar
sebentar, sedikit delirium sampai koma.
3. Fundus okuli 10% penderita mengalami edema pupil, beberapaa jam
setelah perdarahan. Sering terdapat perdarahan subhialoid karena
pecahnya aneurisma pada arteri komunikans anterior atau arteri
karortis interna.
4. Gejala – gejala neurologi fokal: bergantung pada lokasi lesi.
5. Gangguan saraf otonom: demam setelah 24 jam, demam ringan karena
rangsangan mening, dan demam tinggi bila dilihatkan hipotalamus.
Bila berat, maka terjadi ulkus peptikum disertai hematemesis dan
melena (stress ulcer), dan seringkali disertai peninggian kadar gula
darah, glukosuria, albuminuria, dan perubahan pada EKG

6. Komplikasi
Vasospasme dan perdarahan ulang adalah komplikasi paling sering
pada perdarahan subarachnoid. Tanda dan gejala vasospasme dapat
berupa status mental, deficit neurologis fokal. Vasospasme akan
menyebabkan iskemia serebral tertunda dengan dua pola utama, yaitu
infark kortikal tunggal dan lesi multiple luas (Setyopranoto, 2017).
Perdarahan ulang mempunyai mortalitas 70%. Selain vasopasme dan
perdarahan ulang, komplikasi lain yang dapat terjadi adalah hidrosefalus,
hiponatremia, hiperglikemia dan epilepsi (Setyopranoto, 2017).

7. Penatalaksanaan
Tujuan penatalakasanaan pertama dari perdarahan subarakhnoid
adalah identifikasi sumber perdarahan dengan kemungkinan bisa
diintervensi dengan pembedahan atau tindakan intravascular lain. Jalan
napas harus dijamin aman dan pemantauan invasive terhadap central
venous pressure dan atau pulmonary artery pressure, seperti juga
terhadap tekanan darah arteri, harus terus dilakukan. Untuk mencegah
penigkatan tekanan intracranial, manipulasi pasien harus dilakukan
secara hati-hati dan pelan-pelan, dapat diberikan analgesic dan pasien
harus istirahat total (Setyopranoto, 2012).
PSA yang disertai dengan peningkatan tekanan intracranial harus
diintubasi dan hiperventilasi. Pemberian ventilasi harus diatur untuk
mencapai PCO2 sekitar 30-35 mmHg. Beberapa obat yang dapat
diberikan untuk menurunkan tekanan intracranial seperti :
a. Osmotic agents (mannitol) dapat menurunkan tekanan intracranial
secara signifikan (50% dalam 30 menit pemberian).
b. Loop diuretics (furosemide) dapat juga menurnukan tekanan
intracranial
c. Intravenous steroid (dexamethasone) untuk menurunkan tekanan
intracranial masih kontroversial tapi direkomendasikan oleh beberapa
penulis lain.

Setelah itu tujuan selanjutnya adalah pencegahan perdarahan ulang,


pencegahan dan pengendalian vasospasme, serta manajemen
komplikasi medis dan neurologis lainnya. Tekanan darah harus dijaga
dalam batas normal untuk mengurangi risiko perdarahan ulang sebelum
dilakukan perbaikan aneurisma, tekanan darah harus dikelola hati-hati
dengan diberikan obat fenilefrin, norepinefrin, dan dopamine (hipotensi),
labetalol, esmolol, dan nikardipi (hipertensi). Tekanan darah sistolik harus
dipertahankan >100 mmHg untuk semua pasien selama ±21 hari.
Sebelum ada perbaikan, tekanan darah sistolik harus dipertahankan
dibawah 160 mmHg dan selama ada gejala vasospasme, tekanan darah
sistolik akan meningkat sampai 120-220 mmHg.. Akan tetapi,
rekomendasi saat ini menganjurkan penggunaan obat-obat anti hipertensi
pada PSA jika MABP diatas 130 mmHg. Setelah aneurisma dapat
diamankan, maka hipertensi tidak masalah lagi.

8. Pemeriksaan Penunjang
a. CT Scan
Pemeriksaan CT scan tanpa kontras adalah pilihan utama karena
sensitivitasnya tinggi dan mampu menentukan lokasi perdarahan lebih
akurat; sensitivitasnya mendekati 100% jika dilakukan dalam 12 jam
pertama setelah serangan tetapi akan turun pada 1 minggu setelah
serangan (Setyopranoto, 2012).
Gambar 8.1. CT Scan Perdarahan Subarakhnoid
b. Pungsi Lumbal
Jika hasil pemeriksaan CT scan kepala negatif, langkah diagnostic
selanjutnya adalah pungsi lumbal. Pemeriksaan pungsi lumbal sangat
penting untuk menyingkirkan diagnosis banding. Beberapa temuan
pungsi lumbal yang mendukung diagnosis perdarahan subarachnoid
adalah adanya eritrosit, peningkatan tekanan saat pembukaan, dan
atau xantokromia. Jumlah eritrosir meningkat, bahkan perdarahan
kecil kurang dari 0,3 ml akan menyebabkan nilai sekitar 10.000 sel/ml.
xantokromia adalah warna kuning yang memperlihatkan adanya
degradasi produk eritrosit, terutama oksihemoglobin dan bilirubin di
cairan serebrospinal (Setyopranoto, 2015).
c. Angiografi
Digital-substraction cerebral angiography merupakan baku emas
untuk deteksi aneurisma serebral. Evaluasi teliti terhadap seluruh
pembuluh darah harus dilakukan karena sekitar 15% pasien memiliki
aneurisma multiple. Foto radiologic yang negative harus diulang 7-14
hari setelah onset pertama. Jika evaluasi kedua tidak memperlihatkan
aneurisma, MRI harus dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya
malformasi vascular di otak maupun batang otak (Setyopranoto,
2012).

9. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian keperawatan adalah tahap awal dari proses keperawatan
dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan
data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status kesehatan klien
1) Data Subjektif
Pengumpulan data pada pasien dan keluarga dilakukan dengan
cara anamnesa, pemeriksaan fisik dan melalui pemeriksaan
penunjang.
a) Data Pasien: Identitas pasien, usia, status perkawinan,
pekerjaan jumlah anak, agama, alamat jenis kelamin dan
pendidikan terakhir.
b) Keluhan Utama: Biasanya klien datang ke rumah sakit dalam
kondisi : penurunan kesadaran atau koma serta disertai
kelumpuhan dan keluhan sakit kepala hebat bila masih sadar
(Padila, 2012)
c) Riwayat Penyakit Sekarang: Serangan stroke hemoragik
seringkali berlangsung sangat mendadak pada saat klien
melakukan aktivitas. Biasanya terjadinya nyeri kepala, mual,
muntah, bahkan kejang sampai tidak sadar selain gejala
kelumpuhan separuh badan atau gangguan fungsi otak yang
lain. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat
kesadaran dalam hal perubahan di dalam
intrakranial.Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi.
Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak
responsif, dan koma (Mutaqin, 2011)
d) Riwayat Penyakit Sebelumnya: Perlu dikaji adanya riwayat
DM, Hipertensi, Kelainan Jantung, pernah TIAs, Policitemia
karena hal ini berhubungan dengan penurunan kualitas
pembuluh darah otak menjadi menurun (Padila, 2012).
e) Riwayat Penyakit Keluarga: Biasanya ada riwayat keluarga
yang menderita hipertensi, diabetes melitus, atau adanya
riwayat dari generasi terdahulu(Mutaqin, 2011)
2) Data Objektif
a) Antropometri
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, penurunan berat badan akibat gangguan menelan,
mual, dan muntah pada fase akut (Muttaqin, 2011).
b) Biochemical
Hemoglobin dan albumin menurun (Nursalam, 2008).
c) Clinical
i. Kepala: Bagaimana penyebaran rambut, alopesia,
kebersihan kepala, benjolan abnormal, dan hematoma
yang bisa diindikasikan adanyatrauma kepala, nyeri tekan
juga dapat diindikasikan pada tekanan intracranial
(Nursalam, 2008).
ii. Kulit: kasar, kering, bersisik, pucat, ptekie, kehilangan
lemak subkutan (Nursalam, 2008).
iii. Mulut: Mulut mencong dan penurunan koordinasi gerakan
mengunyah akibat paralisis saraf trigeminus (saraf V),
gangguan pada saraf IX dan X yang menyebabkan
kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan membuka
mulut, sianosis, akibat penurunan suplay oksigen,
kebersihan rongga mulut dan gigi terganggu akibat
kelemahan fisik yang mengakibatkan pasien kesulitan
dalam membersihkannya secara mandiri, disartria, afasia
(Nursalam, 2008).
iv. Mata: Konjungtiva pucat akibat kurangnya suplai darah ke
jaringan karena kerja jantung yang menurun sekunder
terhadap penurunan kesadaran, pupil anisokor dapat di
jumpai pada pasien yang mengalami penurunan
kesadaran. Papiledema akibat peningkatan tekanan
intracranial yang mendesak tekanan pada intraokuler,
penglihatan dan lapangan pandang kurang pada sisi yang
sakit akibat gangguan saraf ke III, IV, VI sehingga terjadi
paralisis pada sisi otot okularis yang sakit (Nursalam,
2008).
d) Pola Eliminasi
Perubahan pola berkemih seperti : inkontenensia urin, anuria.
Distensi abdomen, bising usus (-) (Wijaya & Putri, 2013).
e) Pola Istirahat
Merasa mudah lelah, susah untuk beristirahat (nyeri/kejang
otot) (Doenges, Moorhouse, & Geissler, 2012); Merasa
kesulitan untuk melakukan aktivitas karena kelemahan,
kehilangan sensasi atau paralisis (hemiplagia) (Wijaya &
Putri, 2013); Frekuensi nadi dapat bervariasi (karena
ketidakstabilan fungsi jantung, obat-obatan, efek stroke pada
pusat vasomotor); Desiran pada karotis, femoralis, dan arteri
iliaka/aorta yang abnormal (Wijaya & Putri, 2013).
f) Pulmonary Respon
Perlu dikaji adanya
i. Sumbatan jalan nafas karena penumpukan sputum dan
kehilangan refleks batuk.
ii. Adakah tanda-tanda lidah jatuh kebelakang
iii. Auskultasi suara nafas mungkin ada stridor
iv. Catat jumlah dan irama nafas (Padila, 2012)
g) Syaraf Kranial
i. Saraf I (olfaktorius) : Pada pasien srtoke perdarahan
tidak ada kelainan pada fungsi penciuman.
ii. Saraf II (optikus) : Disfungsi persepsi visual karena
gangguan jaras sensori primer diantara mata dan korteks
visual. Gangguan hubungan visual spasial sering terlihat
pada pasien dengan hemiplegi kiri. Pasien mungkin tidak
dapat memakai pakaian tanpa bantuan karena
ketidakmampuan untuk mencocokan pakaian ke bagian
tubuh.
iii. Saraf III (okulomotor), IV (troklearis), VI (abdusen) :
stroke mengakibatkan paralisis pada satu sisi otot
okularis, sehingga didapatkan penurunan kemampuan
gerak dan lapang pandang pada sisi yang sakit.
iv. Saraf V (trigeminus) :
Optalmikus : reflek kornea menurun, sensasi kulit
wajahdahi dan paranasal menurun.
Maksilaris : sensasi kulit wajah bagian kanan berkurang
sesisi.
Mandibularis : gerakan rahang terganggu, pasien
kesulitan membuka mulut.
v. Saraf VII (fasialis) : wajah asimetris dan otot wajah
tertarik ke bagian sisi yang sehat.
vi. Saraf VIII (vestibulokoklearis) : tidak ditemukan adanya
tuli konduktif dan tuli persepsi.
vii. Saraf IX (glosofaringeal) dan X (vagus) : terganggunya
kemampuan menelan dan kesulitan membuka mulut.
viii. Saraf XI (aksesorius) : atrofi otot ekstremitas sesisi
akibat kurangnya pergerakan ekstremitas sekunder
terhadap kelemahan atau kelumpuhan sesisi.
ix. Saraf XII (hipoglossus) :Lidah mencong (Muttaqin, 2011).
b. Masalah Keperawatan
1) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
2) Nyeri Akut
3) Resiko aspirasi
4) Gangguan perfusi jaringan serebral
5) Gangguan Persepsi Sensori
6) Gangguan Menelan
7) Defisit Perawatan Diri
8) Hambatan mobilitas fisik
9) Hambatan komunikasi verbal
10) Gangguan Konsep Diri
11) Resiko cedera
(Nursing Dignosis) (Nursing Intervention) Intervensi Keperawatan
No
Diagnosa Keperawatan NOC (Tujuan) NIC (Intervensi keperawatan)
1 Ketidakseimbangan nutrisi kurang Nutritional status Nutrition Management
dari kebeutuhan tubuh
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Kaji adanya alergi makanan
selama 3 x 24 jam, pasien menunjukkan 2. Monitor adanya penurunan BB
perubahan status nutrisi seimbang, 3. Monitor Hb dan kadar Ht
dengan indikator : 4. Monitor mual dan muntah
Berat badan meningkat 5. Kolaborasi dengan ahli gizi
Indeks massa tubuh normal a. Pemberian diet
Tidak ada malnutrisi b. Pemberian suplemen makanan
Mampu menelan makanan 6. Dorong asupan oral
Turgo kulit normal 7. Anjurkan makan sedikit tapi sering
Hb, Ht normal 8. Monitor intake nutrisi
9. Kolaborasi dengan tim medis
dalam pemberian terapi cairan IV
line
2 Nyeri akut Pain Level Pain Management

Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1 1. Mengkaji lokasi, karakteristik,


x 30 menit, klien menunjukkan perbaikan durasi, frekuensi, kualitas,
level nyeri dengan kriteria hasil : intensitas, dan faktor pencetus
Melaporkan nyeri berkurang nyeri secara komfrehensif
Ekspresi wajah menunjukkan tidak ada 2. Kontrol lingkungan yang dapat
nyeri mempengaruhi nyeri
Tidak ada gelisah 3. Ajarkan tekhnik relaksasi nafas
Tidak Mengerang / merintih
dalam
TTV dalam rentang normal
4. Ajarkan prinsip dari manajemen
nyeri
5. Monitor TTV
6. Gunakan cara mengontrol nyeri
sebelum nyeri menjadi berat
7. Pastikan klien menerima
pemberian analgetik
8. Kolaborasi dengan tim medis
dalam pemberian obat golongan
analgetik
3 Gangguan perfusi jaringan serebral Status neurology Management Sensasi Perifer
Setelah dilakukan asuhan keperawatan - Monitor adanya parastesi
selama 6 X 24jam pasien mampu untuk mati rasa dan tengling
mencapai skor 4 dalam - Monitor status cairan termasuk
intake dan output
Fungsi neurologis : kesadaran - Monitor fungsi bicara
Fungsi neurologis : sensori spinal / fungsi - Upayakan suhu dalam batas
motorik normal
Fungsi neurologis : otonom - Monitor GCS secara teratur
Ukuran pupil normal - Catat perubahan dalam
Pola pergerakan mata penglihatan
Pola pernafasan Monitor Tekanan Intra
Vital sign pada batas normal Kranial (TIK)
Pola istirahat-tidur meningkat - Monitor TIK pasien dan
Tidak didapatkan kejang neurologi, bandingkan
Fungsi neurologis : sentral motor kontrol dengan keadaan normal
Tekanan intra kranial pada batas normal - Monitor tekanan perfusi serebral
Tidak didapatkan sakit - Posisikan kepala agak tinggi
kepala Skala : dan dalam posisi anatomis
- Pertahankan keadaan tirah
baring
- Pantau tanda-tanda vital
- Kolaborasi pemberian
oksigen, obat
antikoagulasi, obat
antifibrolitik, antihipertensi,
vasodilatasi perifer,
pelunak feses sesuai
indikasi
Monitoring vital sign
- Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
- Catat adanya fluktuasi tekanan
darah
- Monitor VS saat pasien
berbaring, duduk, atau berdiri
- Auskultasi TD pada kedua
lengan dan bandingkan
- Monitor TD, nadi, RR, sebelum,
selama dan setelah aktivitas
- Monitor kualitas dari nadi
- Monitor jumlah dan irama jantung
- Monitor bunyi jantung
- Monitor frekuensi dan irama
pernapasan
- Monitor suara paru
- Monitor pola pernapasan
abnormal
- Monitor suhu, warna, dan
kelembaban kulit

4 Hambatan komunikasi verbal Communication ability Pengaturan komunikasi


NOC: Setelah dilakukan asuhan 1. Identifikasi metode yang dapat
keperawatan selama 6 X 24jam pasien dipahami oleh pasien untuk
mampu untuk mencapai skor 4 dalam memenuhi kebutuhan dasar
Indikator : 2. Sediakan metode komunikasi
Berkomunikasi secara tertulis alternatif
Berkomunikasi secara verbal a. berikan pensil dan kertas
Berkomunikasi menggunakan foto atau jika pasien mempu
gambar b. gunakan bahasa isyarat
Menggunakan bahasa isyarat c. konsultasi dengan speec
Menggunakan bahasa non-verbal terapy
Mengerti tentang pesan yang disampaikan 3. Tulis metode yang
Dapat menagkap pesan secara langsung digunakan pasien untuk
Bertukar pesan dengan rencana perawatan
orang lain 4. Libatkan keluarga dan
diskusika masalah untuk
meningkatkan komunikasi
psien
5. Berikan suport sistem untuk
mengatasi ketidakmampuan
6. Membantu keluarga dalam
memahami pembicaraan
pasien
7. Berbicara kepada pasien
dengan lambat dan dengan
suara yang jelas
8. Mendengarkan pasien dengan
baik
9. Menggunakan kata dan kalimat
yang singkat
10. Berdiri dihadapan pasien saat
berbicara
11. Menggunakan papan tulis bila
perlu
12. Instruksikan pasien dan
keluarga untuk
menggunakan bntuan
berbicara
13. Memberikan
reinforcement (pujian)
positif kepada pasien
14. Anjurkan pasien untuk
mengulangi
pembicaraannya jika
belum jelas
15. Gunakan interpreter jika perlu
Mendengar aktif
1. Ajak pasien berbicara sesuai
kemampuan
2. Rangsang timbal balik dari
pasien
3. Dengarkan pasien
dengan penuh
perhatian
4. Berikan reinforcement
terhadap keberhasilan
pencapaian tujuan
5 Risiko Aspirasi Pencegahan Aspirasi
1. Monitor tingkat kesadaran, batuk,
muntah dan kemampuan
menelan
2. Monitor status pernafasan
3. Monitor bunyi nafas, terutama
setelah makan/ minum
4. Periksa residu gaster sebelum
memberi asupan oral
5. Periksa kepatenan selang
nasogastric sebelum memberi
asupan oral
6. Terapeutik
7. Posisikan semi fowler (30-45
derajat) 30 menit sebelum
memberi asupan oral
8. Pertahankan posisi semi fowler
(30-45 derajat) pada pasien tidak
sadar
9. Pertahanakan kepatenan jalan
nafas (mis. Tehnik head tilt chin
lift, jaw trust, in line)
10. Pertahankan pengembangan
balon ETT
11. Lakukan penghisapan jalan
nafas, jika produksi secret
meningkat
12. Sediakan suction di ruangan
13. Hindari memberi makan melalui
selang gastrointestinal jika residu
banyak
14. Berikan obat oral dalam bentuk
cair
15. Anjurkan makan secara perlahan
16. Ajarkan strategi mencegah
aspirasi
17. Ajarkan teknik mengunyah atau
menelan, jika perlu

Anda mungkin juga menyukai