Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN STROKE NON HEMORAGIK (SNH)

Di Ruang Teratai RSUD Banyumas

Disusun sebagai salah satu syarat dan tugas Stase Keperawatan Medikal Bedah
Tahun 2020/2021

DISUSUN OLEH :
WIJI PANGESTU
2011040193

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2021
1. Pengertian
Stroke adalah gangguan fungsional yang terjadi secara mendadak berupa
tanda-tanda klinis baik lokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam atau
dapat menimbulkan kematian yang disebabkan gangguan peredaran darah ke otak,
antara lain peredaran darah sub arakhnoid, peredaran intra serebral dan infark serebral
(Nur’aeni Y R, 2017).
Stroke adalah gangguan yang menyerang otak secara mendadak dan
berkembang cepat yang berlangsung lebih dari 24 jam ini disebabkan oleh iskemik
maupun hemoragik di otak sehingga pada keadaan tersebut suplai oksigen keotak
terganggu dan dapat mempengaruhi kinerja saraf di otak, yang dapat menyebabkan
penurunan kesadaran. Penyakit stroke biasanya disertai dengan adanya peningkatan
Tekanan Intra Kranial (TIK) yang ditandai dengan nyeri kepala dan mengalami
penurunan kesadaran (Ayu R D, 2018).
Berdasarkan pendapat menurut Ayu R D, (2018) stroke non hemoragik atau
CVA (Cerebro Vaskuler Accident) dapat dibagi menjadi:
a. TIA (Trans iskemik attack): Gangguan neurologis yang terjadi selama beberapa
menit sampai beberapa jam.
b. Stroke infolusi: Stroke atau Cerebro Vaskuler Accident (CVA) yang terjadi masih
terus berkembang dimana gangguan neurologis terlihat semakin berat dan
bertambah buruk.
c. Stroke komplit: Gangguan neurologi yang timbul sudah menetap atau permanen.

2. Etiologi
a. Perdarahan intraserebral
Pecahnya pembuluh darah (mikroaneurisma) terutama karena hipertensi
memgakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, membentuk massa yang
menekan jaringan otak dan menimbulkan edema otak. peningkatan TIK yang
terjadi cepat, dapat mengakibatkan kematian mendadak karena herniasi otak.
Perdarahan intraserebral yang disebabkan karena hipertensi sering di jumpai di
daerah putamen, thalamus, pons, dan serebelum.
b. Perdarahan Subarakhnoid
Dapat terjadi karena trauma atau hipertensi, penyebab tersering adalah kebocoran
anurisma pada area sirkulus Willisi dan Malvormasi arteri – vena kongenetal.
Gejala-gejala pada umumnya mendadak, peningkatan intracranial (TIK), perubahan
tingkat kesadaran, sakit kepala (mungkin hebat), vertigo, kacau mental, stupor
sampai koma, gangguan ocular, hemiparesis atau hemiplegic, mual muntah, iritasi
meningeal (kekakuan nukhal, kernig’s, Brudzinski’s positif, Fotofobia, penglihatan
ganda, peka rangsang, kegelisahan, peningkatan suhu tubuh)
c. Perdarahan Serebral

3. Tanda gejala
Manifestasi klinis stroke tergantung dari sisi atau bagian mana yang terkena, rata-rata
serangan, ukuran lesi dan adanya sirkulasi kolateral. Pada stroke akut gejala klinis
meliputi :
a. Kelumpuhan wajah atau anggota badan sebelah (hemiparesis) yang timbul secara
mendadak
b. Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan
c. Penurunan kesadaran (konfusi, delirium, letargi, stupor, atau koma)
d. Afasia (kesulitan dalam bicara)
e. Disatria (bicara cadel atau pelo)
f. Gangguan penglihatan, diplopia
g. Ataksia
h. Verigo, mual, muntah, dan nyeri kepala

4. Patofisiologi
Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak.
Luasnya infark bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya pembuluh
darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai oleh pembuluh
darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin lambat atau makin
cepat) pada gangguan lokal (thrombus, emboli, perdarahan dan spasme vascular) atau
karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan paru dan jantung). Aterosklerosis
sering sebagai factor penyebab infark pada otak. Thrombus dapat berasal dari plak
arterosklerotik, atau darah dapat beku pada area stenosis, tempat aliran darah
mengalami perlambatan atau terjadi turbulensi.
Thrombus dapat dipecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli
dalam aliran darah. Thrombus mengakibatkan iskemia jaringan otak yang disuplai
oleh pembuluh darah yang bersangkutan dan edema dan kogestri disekitar area. Area
edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu sendiri.
Edema dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah beberapa
hari. Dengan berkurangnya edema klien mulai menunjukkan perbaikan. Oleh karena
thrombosis biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan massif. Oklusi pada
pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema dan nekrosis diikuti
thrombosis. Jika terjadi septic infeksi akan meluas pada dinding pembuluh darah
maka akan terjadi abses atau ensefalitis atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh
darah yang tersumbat menyebabkan dilatasi aneurisme pembuluh darah. Hal ini akan
menyebabkan perdarahan serebral, jika aneurisme pecah atau rupture.
Perdarahan pada otak disebabkan oleh rupture arteriosklerotik dan hipartensi
pembuluh darah.perdarahan intrasirebral yang sangat luas akan lebih sering
menyebabkan kematian dibandingkan keseluruhan penyakit serebrovaskular, karena
perdarahan yang luas terjadi destruksi masa otak,peningkatan tekanan intracranial dan
yang lebih berat dapat mengakibatkan herniasi otak pada falk serebri atau lewat
foramen magnum.
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, henisfer otak, dan
perdarahan sibatang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke bataang
otak.Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak
di nucleus kaudatus,thalamus dan pons.
Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang enuksia serebral
perubahan yang oleh enuksia serebral dapat reversible untuk waktu 4 sampai 6 menit.
Perubahan irreversible jika anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebral dapat terjadi
oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunya henti jantung.
Selain kerusakan parenkin otak,akibat volume perdarahan yang relativ banyak
akan mengakibatkan peningkatan tekanan intracranial dan penurunan tekanan perfusi
otak serta gangguan drainase otak. Elemen-eleman vaso aktiv darah yang keluar dan
kaskade iskemik akibat menurunya tekanan perfusi,menyebabkan saraf di area yg
terkena darah dan sekitarnya tertekan lagi.
Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Jika volume darah lebih dari
60cc maka resiko kematian sebesar 93% pada perdarahan dalam dan 71% pada
perdarahan logar. Sedangkan jika terjadi perdarahan seregral dengan volume antara 30
sampai 60cc diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 75%,namun volume darah
5cc dan terdapat di pons sudah berakibat fatal.
5. Pathways

Trombosis
Hipoksia; Hipertensi, penyakit
Adanya penyumbatan jantung, obesitas, merokok
aliran darah ke otak
oleh Trhombus, Embolisme Penimbunan lemak
berkembang menjadi atau kolesterol yang
Antherosklerosis pada meninarahgkat dalam
dinding pembuluh Embolisme berjalan
darah. menuju ke otak
melalui arteri
Arteri tersumbat karotis
Pembuluh darah
menjadi kaku
Terjadi bekuan darah arteri
Berkurangnya darah
ke area Thrombus Pecahnya pembuluh darah

Terjadi iskemik dan


infark pada jarngan

Stroke Non Hemoragik

Penurunan Adanya lesi Proses Resiko peningkatan TIK


kekuatan otot serebral metabolisme di
otot terganggu
Herniasi falk serebri
Kelemahan fisik Terjadinya Penurunan suplai
dan keforamen
afasia darah dan O2 ke magnum
otak

Hambatan Hambatan Defresi saraf


mobilitas fisik komunikasi kardiovaskuler
verbal Ketidakefektifan dan saraf
Defisit perawatan perfusi jaringan
diri serebral
Kegagalan
Penekanan kardiovaskuler
saluran dan pernafasan
pernapasan
Pola nafas
Kematian
tidak efektif
6. Komplikasi
a. Hipoksia serebral
Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi oksigenasi darah adekuat ke otak.
Fungsi otak bergantung pada ketersediaan oksigen yang dikirimkan ke jaringan.
b. Penurunan aliran darah serebral dan luasnya area cedera
Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan itegritas
pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intravena) harus menjamin
penurunan viskositas darah dan memperbaiki aliran darah serebral. Hipertensi atau
hipotensi ekstrem perlu dihindari untuk mencegah perubahan pada aliran darah
serebral dan potensi luasnya area cedera.
c. Embolisme serebral
Embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard. Embolisme akan
menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya menurunkan aliran darah serebral.
Disritmia dapat mengakibatkan curah jantung tidak konsisten dan penghentikan
thrombus lokal. Selain itu disritmia dapat menyebabkan embolus serebral dan harus
diperbaiki. (Suddarth, 2001)

7. Pemeriksaan diagnostik
a. Angiografi serebral
Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik misalnya perdarahan
arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari sumber perdarahan seperti
aneurisma atau malformasi vaskuler
b. CT scan
Memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi hematoma, adanya jaringan
otak yang infark atau iskemia dan posisinya secara pasti
c. Lumbal pungsi
Tekanan yang menngkat dan di sertai bercak darah pada cairan lumbal menunjukan
adanya hemoragi pada subaraknoid atau perdarahan pada intrakranial
d. MRI (Magnetic Imaging Resonance)
Menentukan posisi dan besar/luas terjadinya perdarahan otak. Hasil pemeriksaan
biasanya di dapatkan area yang mengalami lesi dan infark akibat dari hemoragik
e. USG Doppler
Mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah sistem arteri karotis)
f. EEG
Melihat masalah yang timbul dan dampak dari jaringan yang infark sehingga
menurunnya impuls listrik dalam jaringan otak
g. Sinar tengkorak
Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pienal daerah yang berlawanan dari
masa yang meluas, kalsifikasi karotis interna terdapat pada trombosis serebral,
kalsifikasi parsial dinding aneurisma pada perdarahan subaraknoid.

8. Penatalaksanaan
a. Pada fase akut
1) Pertahankan jalan napas, pemberian oksigen, penggunaan ventilator
2) Monitor peningkatan tekanan intrakranial
3) Monitor fungsi pernapasan : analisa gas darah
4) Monitor jantung dan tanda-tanda vital, pemeriksaan EKG
5) Evaluasi status cairan dan elektrolit
6) Kontrol kejang jika ada dengan pemberian antikonvulsan, dan cegah resiko
injuri
7) Lakukan pemasangan NGT untuk mengurangi kompresi lambung dan pemberian
makanan
8) Cegah emboli paru dan tromboplebitis dengan antikoagulan
9) Monitor tanda-tanda neurologi seperti tingkat kesadaran, keadaan pupil, fungsi
sensorik dan motorik, nervus kranial, dan refleks
b. Fase rehabilitasi
1) Pertahankan nutrisi yang adekuat
2) Program management bladder dan bowel
3) Mempertahankan keseimbangan tubuh dengan rentang gerak sendi (ROM)
4) Pertahankan integritas kulit
5) Pertahankan komunikasi yang efektif
6) Pemenuhan kebutuhan sehari-hari

c. Pembedahan
Di lakukan jika perdarahan serebrum diameter lebih dari 3cm atau volume lebih
dari 50ml untuk dekompresi atau pemasangan pintasan ventrikulo-peritoneal bila
ada hidrosefalus obstruktif akut
d. Terapi obat-obatan
1) Antihipertensi: captropil, antagonis kalsium
2) Diuretik: manitol 20%, furosemide
3) Antikonvulsan: fenitolin (Tarwoto, 2007)
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
Menurut Muttaqin, (2008) anamnesa pada stroke meliputi identitas klien, keluhan
utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga,
dan pengkajian psikososial.
a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor
register, dan diagnosis medis.
b. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah
kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi,
dan penurunan tingkat kesadaran.
c. Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke non hemoragik sering kali berlangsung sangat mendadak, pada saat
klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah
bahkan kejang sampai tidak sadar, selain gejala kelumpuhan separuh badan atau
gangguan fungsi otak yang lain. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat
kesadaran disebabkan perubahan di dalam intrakranial. Keluhari perubahan perilaku
juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak
responsif, dan konia.
d. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes melitus, penyakit
jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan
obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan kegemukan.
Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian
obat antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta, dan lainnya. Adanya riwayat
merokok, penggunaan alkohol dan penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian
riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan
merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan
selanjutnya.
e. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus, atau adanya
riwayat stroke dari generasi terdahulu.
f. Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien stroke meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan perawat
untuk rnemperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien.
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respons
emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga
dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya, baik dalam
keluarga ataupun dalam masyarakat.
g. Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan- keluhan klien, pemeriksaan
fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik
sebaiknya dilakukan secara per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada
pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
1) B1 (Breathing)
Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan. Auskultasi bunyi
napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret dan
kemampuan batuk yang menurun yang sering didapatkan pada klien stroke dengan
penurunan tingkat kesadaran koma.
Pada klien dengan tingkat kesadaran compos mentis, pengkajian inspeksi
pernapasannya tidak ada kelainan. Palpasi toraks didapatkan taktil premitus seimbang
kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan.
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok hipovolemik) yang
sering terjadi pada klien stroke. Tekanan darah biasanya terjadi peningkatan dan dapat
terjadi hipertensi masif (tekanan darah >200 mmHg).
3) B3 (Brain)
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, bergantung pada lokasi lesi (pembuluh
darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan aliran
darah kolateral (sekunder atau aksesori). Lesi otak yang rusak tidak dapat membaik
sepenuhnya. Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
4) B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine sementara karena konfusi,
ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk
mengendalikan kandung kemih karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang
kontrol sfingter urine eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan
kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang berlanjut
menunjukkan kerusakan neurologis luas.
5) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual muntah
pada fase akut. Mual sampai muntah disebabkan oleh peningkatan produksi asam
lambung sehingga menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya
terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi yang
berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
6) B6 (Bone)
Stroke adalah penyakit UMN dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap
gerakan motorik. Oleh karena neuron motor atas menyilang, gangguan kontrol motor
volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada neuron motor
atas pada sisi yang berlawanan dari otak. Disfungsi motorik paling umum adalah
hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan.
Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh, adalah tanda yang lain. Pada kulit,
jika klien kekurangan 02 kulit akan tampak pucat dan jika kekurangan cairan maka
turgor kulit akan buruk. Selain itu, perlu juga dikaji tanda- tanda dekubitus terutama
pada daerah yang menonjol karena klien stroke mengalami masalah mobilitas fisik.
Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau
paralise/ hemiplegi, serta mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan
istirahat.
7) Pengkajian Tingkat Kesadaran
Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan parameter
yang paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat keterjagaan klien dan
respons terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem
persarafan. Beberapa sistem digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam
kewaspadaan dan keterjagaan. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien stroke
biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Jika klien sudah
mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran
klien dan bahan evaluasi untuk pemantauan pemberian asuhan.
8) Pengkajian Fungsi Serebral
Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual, kemampuan bahasa, lobus
frontal, dan hemisfer.
9) Status Mental
Observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas
motorik klien. Pada klien stroke tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami
perubahan.
10) Fungsi Intelektual
Didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori, baik jangka pendek maupun jangka
panjang. Penurunan kemampuan berhitung dan kalkulasi. Pada beberapa kasus klien
mengalami brain damage yaitu kesulitan untuk mengenal persamaan dan perbedaan
yang tidak begitu nyata.
11) Kemampuan Bahasa
Penurunan kemampuan bahasa tergantung daerah lesi yang memengaruhi fungsi dari
serebral. Lesi pada daerah hemisfer yang dominan pada bagian posterior dari girus
temporalis superior (area Wernicke) didapatkan disfasia reseptif, yaitu klien tidak dapat
memahami bahasa lisan atau bahasa tertulis. Sedangkan lesi pada bagian posterior dari
girus frontalis inferior (area Broca) didapatkan disfagia ekspresif, yaitu klien dapat
mengerti, tetapi tidak dapat menjawab dengan tepat dan bicaranya tidak lancar.
Disartria (kesulitan berbicara), ditunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti yang
disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara.
Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya),
seperti terlihat ketika klien mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya.

h. Pengkajian Saraf Kranial

Menurut Muttaqin, (2008) Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan saraf kranial I-X11.
1) Saraf I: Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada fungsi penciuman.
2) Saraf II : Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer di
antara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual-spasial
(mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering
terlihat pada Mien dengan hemiplegia kiri. Klien mungkin tidak dapat memakai
pakaian tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian ke
bagian tubuh.
3) Saraf III, IV, dan VI. Jika akibat stroke mengakibatkan paralisis, pada
4) Satu sisi otot-otot okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat
unilateral di sisi yang sakit.
5) Saraf V : Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis saraf
trigenimus, penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah,
penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral, serta kelumpuhan satu sisi otot
pterigoideus internus dan eksternus.
6) Saraf VII : Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris, dan otot
wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.

7) Saraf VIII : Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
8) Saraf IX dan X : Kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan membuka
mulut.
9) Saraf XI : Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
10) Saraf XII : Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi, serta
indra pengecapan normal.
i. Pengkajian Sistem Motorik
Stroke adalah penyakit saraf motorik atas (UMN) dan mengakibatkan kehilangan kontrol
volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena UMN bersilangan, gangguan kontrol motor
volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada UMN di sisi
berlawanan dari otak.
1) Inspeksi Umum. Didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena
lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi
tubuh adalah tanda yang lain.
2) Fasikulasi. Didapatkan pada otot-otot ekstremitas.
3) Tonus Otot. Didapatkan meningkat.

2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul, yaitu :
a. Risiko perfusi serebral tidak efektif d.d infark serebri
b. Pola nafas tidak efektif b.d hambatan upaya nafas
c. Gangguan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan otot
d. Gangguan komunikasi verbal b.d gangguan pendengaran
e. Defisit perawatan diri b.d kelemahan
3. Perencanaan keperawatan

No. Diagnosa Keperawatan Tujuan (SLKI) Intervensi (SIKI)

1. Resiko perfusi serebral Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pemantauan TIK


tidak efektif d.d infark masalah perfusi serebral dapat teratasi dengan Observasi
serebri kriteria hasil: 1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK
2. Menitor peningkatan TD
Indikator A T 3. Monitor pelebaran tekanan nadi
Nilai rata-rata tekanan 1 5 4. Monitor ireguleritas irama napas
darah 5. Monitor penurunan tingkat kesadaran
Kesadaran 1 5 6. Monitor perlambatan atau ketidaksimetrisan respon
Tekanan darah sistolik 1 5 pupil
Terapeutik
Tekanan darah diastolik 1 5
7. Pertahankan posisi kepala dan leher netral
8. Atur interval pemantauan sesuai kondisi pasien
Keterangan: 9. Dokumentasikan hasil pemantauan
1: memburuk Edukasi
2: cukup memburuk 10. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
3: sedang 11. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
4: cukup membaik
5: membaik
2. Pola napas tidak Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pemantauan respirasi
efektif b.d hambatan masalah pola napas dapat teratasi dengan Observasi
upaya napas kriteria hasil: 1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya napas.
2. Monitor pola napas.
Indikator A T 3. Auskultasi bunyi napas.
Dispnea 1 5 4. Monitor saturasi oksigen
Frekuensi napas 1 5 Terapeutik
Kedalaman napas 1 5 5. Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi
pasien.
6. Dokumentasikan hasil pemantauan.
Keterangan:
Edukasi
1: meningkat
7. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
2: cukup meningkat 8. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
3: sedang
4: cukup menurun
5: menurun
3. Gangguan mobilitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan Dukungan mobilisasi
fisik b.d gangguan masalah mobilitas fisik dapat teratasi dengan Observasi
neuromuskuler kriteria hasil: 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
2. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
Indikator A T 3. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum
Pergerakan ekstremitas 1 5 memulai mobilisasi
Kekuatan otot 1 5 4. Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi
ROM 1 5 Terapeutik
5. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (missal
Indikator A T pagar tempat tidur)
Nyeri 1 5 6. Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu
Kaku sendi 1 5 7. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
Kelemahan fisik 1 5 meningkatkan pergerakan
Edukasi
Keterangan: 8. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
1: menurun 9. Anjurkan mobilisasi dini
2: cukup menurun 10. Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan
3: sedang (missal duduk di tempat tidur, duduk di sisi tempat
4: cukup meningkat tidur, pindah dari tempat tidur ke kursi)
5: meningkat

Keterangan:
1: meningkat
2: cukup meningkat
3: sedang
4: cukup menurun
5: menurun
4. Gangguan komunikasi Setelah dilakukan tindakan keperawatan Promosi komunikasi defisit pendengaran
verbal b.d gangguan masalah komunikasi verbal dapat teratasi Observasi
pendengaran dengan kriteria hasil: 1. Periksa kemampuan pendengaran
2. Identifikasi metode komunikasi yang disukai pasien
Indikator A T Terapeutik
Kemampuan berbicara 1 5 3. Gunakan bahasa sederhana
Kemampuan mendengar 1 5 4. Gunakan bahasa isyarat jika perlu
Kontak mata 1 5 5. Verifikasi apa yang dikatakan pasien atau dtulis pasien
6. Fasilitasi penggunaan alat bantu dengar
7. Berhadapan dengan pasien secara langsung selama
Keterangan: berkomunikasi
1: menurun 8. Pertahankan kontak mata selama berkomunikasi
2: cukup menurun 9. Hindari kebisingan saat berkomunikasi
3: sedang 10.Hindari berkomunikasi lebih dari 1 meter dari pasien
4: cukup meningkat 11.Pertahankan kebersihan telinga
5: meningkat Edukasi
12.Anjurkan menyampaikan pesan dengan isyarat
13.Ajarkan cara membersihkan serumen dengan tepat
5. Defisit perawatan diri Setelah dilakukan tindakan keperawatan Dukungan perawatan diri
b.d kelemahan masalah perawatan diri dapat teratasi dengan Observasi
kriteria hasil: 1. Identifikasi kebiasaan aktivitas perawatan diri sesuai
usia
Indikator A T 2. Monitor tingkat kemandirian
Kemampuan mandi 1 5 3. Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan diri,
Kemampuan 1 5 berpakaian, berhias, dan makan
mengenakan pakaian
Kemampuan makan 1 5 Terapeutik
Kemampuan BAB/BAK 1 5 4. Sediakan lingkungan yang terapeutik
Verbalisasi keinginan 1 5 5. Siapkan keperluan pribadi
melakukan perawatan 6. Dampingi dalam melakukan perawatan diri sampai
diri mandiri
Minat melakukan 1 5 7. Fasilitasi untuk menerima keadaan ketergantungan
perawatan diri 8. Fasilitasi kemandirian, bantu jika tidak mampu
melakukan perawatan diri
Keterangan: 9. Jadwalkan rutinitas perawatan diri
1: menurun Edukasi
2: cukup menurun 10.Anjurkan melakukan perawatan diri secara konsisten
3: sedang sesuai kemampuan
4: cukup meningkat
5: meningkat
DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association (AHA). 2018. Health Care Research: Coronary Heart Disease.

Ayu Septiandini Dyah. 2017. Asuhan Keperawatan Pada Klien Yang Mengalami Stroke Non
Hemoragik Dengan Hambatan Mobilitas Fisik Di Ruang ICU RSUD Salatiga. Program
Studi D3 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kusuma Husada Surakarta.

Arief Mansjoer. 2016. Stroke Non Hemmoragik. Jakarta : Media Aesculapius.

Dellima Damayanti Reicha. 2019. Asuhan Keperawatan Pada Klien Stroke Non Hemoragik
Dengan Masalah Keperawatan Defisit Perawatan Diri (Studi Di Ruang Krissan Rsud
Bangil Pasuruhan). Program Studi Diploma III Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Insan Cendekia Medika Jombang.

DINKES Pasuruan. 2019. Data penderita stroke kota pasuruhan. Pasuruan: Dinas Kesehatan.

Kementerian Kesehatan RI. 2018, Rencana Strategi Kementerian Kesehatan Tahun 2015-
2019. Jakarta: Kementerian Kesehatan.

Kemenkes RI. 2018. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang Klest Panca
Dimas. 2018. Asuhan Keperawatan Pada Klien Stroke Non Hemoragik Dengan
Pola Nafas Tidak Efektif Di Ruang Krisan Rumah Sakit Umum Daerah Bangil.
Program Studi Diploma III Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Insan
Cendekia Medika Jombang.
Muslihah S U, 2017, Asuhan Keperawatan Klien Stroke Non Hemoragik Dengan Hambatan
Mobilitas Fisik Di Rs Pku Muhammadiyah Gombong, Stikes Muhammadiyah Gombong
Program Studi DIII Keperawatan Tahun Akademik.

Nur’aeni Yuliatun Rini, 2017, Asuhan Keperawatan Pada Klien Stroke Non Hemoragik
Dengan Masalah Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Serebral Di Ruang Kenanga RSUD
Dr. Soedirman Kebumen, Program Studi DIII Akademi Keperawatan Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong.

PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. DPP PPNI.

PPNI. 2017. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. DPP PPNI.

PPNI. 2017. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. DPP PPNI

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), 2018, Badan Penelitian danPengembangan Kesehatan


Kementerian RI tahun 2018.

Santoso Lois Elita, (2018), Peningkatan Kekuatan Motorik Pasien Stroke Non Hemoragik
Dengan Latihan Menggenggam Bola Karet (Studi Di Ruang Flamboyan Rsud
Jombang), Skripsi Program Studi S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Insan Cendekia Medika Jombang.

Anda mungkin juga menyukai