Anda di halaman 1dari 6

1.

PIZZA HUT Veteran

Suatu hari saya ada janjian ketemu dengan mitra usaha saya
di gerai Pizza Hut di Jl. Veteran (pojokan Deplu). Seperti
biasa, petugas melayani ramah. Kami membuka-buka menu
yang dibagikan dan pada saat kami sudah memutuskan, kami
panggil pelayan dan menyampaikan pesanan yaitu American
Favourite untuk dua orang. Pelayan bernama Mega (nama
sebenarnya) kemudian mengatakan dengan penuh semangat:
“Wah! Keputusan yang benar2 tepat sekali Bapak, karena
American Favorite memang merupakan pizza yang menjadi
pilihan customer kami!”. Cara pengucapan Mega yang begitu
anthusias ini seharusnya membuat kami senang karena
pilihan yang tepat. namun, yang terjadi malahan saya dan mitra usaha saya saling pandang
dan menunjukkan ekspresi “risih” terhadap anthusiasme berlebihan dari Mega tersebut.
Lagian, pizza jenis tersebut memang sudah merupakan menu yang biasa saya atau mitra
usaha pesen, tidak ada sesuatu yang “istimewa” bagi kami untuk mendapat pujian. Mungkin
Mega baru saja mengikuti SEx (service excellence) training sehingga terlalu bersemangat
melayani kami.

Yang menjengkelkan lagi, setelah kami selesai makan dan sedang asiknya membicarakan
pekerjaan (bisnis) yang sedang kami garap, Mega menginterupsi kami tiga kali
(menawarkan desrt atau tambahan lain) dan membuat pembicaraan kami terganggu. Pada
interupsi yang ke tiga, terpaksa kami usir Mega dengan mengatakan “Jangan ganggu kami
lagi. Kalo kami butuh tambahan, kami akan panggil!”.
2. CITIBANK Landmark
Suatu hari saya mengunjungi cabang Landmark karena ada keperluan perbankan yang
mana saya “disarankan” untuk hadir di cabang tersebut.
Pelayanan di nya sungguh “cool” dan friendly, tanpa ada
kesan berlebihan (tidak ada pujian terhadap hal2 yang biasa
saja). Terkesan memang profesional sekali cara
memenuhi personal need saya sebagai nasabahnya. Sekalian
di situ saya ditawari untuk mengganti Citicard (kartu ATM)
saya dengan yang baru dan tidak ada biaya tambahan. Gratis, ya siapa gak mau, saya OK
kan aja, asalkan kartunya bisa langsung dipakai. Selain itu saya juga ditawari untuk setting
Citibank Online saya yang perlu diset di cabang untuk aktivasi internet bankingnya – dan
hari itu juga bisa aktif. Sayang .. dua hal ini ternyata hanya janji karena ternyata Citicard
saya kena beban biaya, tidak sesuai dengan penjelasan di awal dan … ternyata Citicard nya
tidak bisa langung digunakan karena harus menunggu batch run pada malam harinya dan
besok baru bisa “on”. Padahal diawalnya dijanjikan langsung bisa digunakan. Aktivasi
internet banking pun ternyata tidak bisa “same day” service. Customer Service person yang
melayani saya ternyata tidak sepenuhnya memahami proses bisnis nya sehingga pada saat
konfirmasi di CitiPhone, dinyatakan bahwa setting internet banking baru bisa digunakan
esok harinya.
3. PRAMITA
Ini adalah laboratorium kesehatan yang berlokasi di
Kramat, Jakarta. Sebelumnya, saya tidak pernah
datang ke lab ini dan bahkan namanya pun baru saya
dengar beberapa saat yang lalu saat dokter gigi saya
merujuk ke lab ini untuk pengambilan “panoramic”. Kesan awal begitu masuk ruang
penerimaan, saya sudah merasa nyaman berada di lab ini. Waktu menunggu antrian
layananpun cukup cepat, setelah mendapatkan nomor antrian. Pada saat saya memerlukan
penjelasan pun, petugas memberikannya dengan ramah dan menyebutkan nama saya
dengan jelas, tanpa harus “melirik” ke formulir pendaftaran buat membaca nama yang
tertera di situ. Ini memang hal kecil, namun gesture (gerak tubuh dan mimik) petugas
sangat mempengaruhi kepuasan nasabah dalam setiap interaksinya. Terlihat bahwa petugas
cukup terlatih dalam menghafal nama nasabah di front office.
Setelah mendaftar di front office, saya dijelaskan dengan jelas dan ramah kemana saya
musti pergi dan menunggu. Setelah selesai dengan panoramic, sambil menunggu, saya ke
musholla belakang menunaikan shalat ashar. Ada tiga orang karyawan Pramita yang saat
itu juga bersamaan di musholla. Mereka menyapa saya dengan simpatik dan tidak
berlebihan. Yang menarik adalah pada saat shalat sudah selesai, ada petugas wanita yang
sedang berbicara di telepon selulernya sambil duduk di kursi yang dipakai orang untuk
duduk sambil memakai sepatu. Petugas wanita ini begitu sigap dalam merespons terhadap
situasi. Begitu melihat saya (yang nota bene “orang asing” yang belum dikenal) serta merta
dia menyapa dengan oenganggukan kepala dan ersenyum denagn santun, sambil berdiri
sambil mempersilakan saya untuk duduk. Ini memang sepertinya hal kecil, tapi saya
terkesan sekali dengan sikapnya.
KASUS
Buruknya system pelayanan merupakan fenomena yang sering kita bahas di kalangan
masyarakat umum. Terkait buruknya pelayanan di kantor pajak adalah salah satu dari
sekian fenomena yang ada, hal ini menunjukkan kurangnya kualitas pelayanan yang
diberikan pihak aparatur negara kepada masyarakat. Dalam artikel ini, di ungkapkan bahwa
masih ditemukan beberapa pelayanan terpadu kantor pajak yang dalam pelayanannya tidak
memuaskan, yang dimana sebagian besar petugas melayani tanpa senyum, tanpa
mengucapkan terima kasih, tidak ramah, ada yang pada jam pelayanan terlihat memakai
sandal jepit di sekitar counter, toilet kotor dan pelayanan lambat. Keadaan yang demikian
membuat masyarakat sebagai pengguna pelayanan public menjadi tidak terpuaskan,
sehingga masyarakat enggan mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan
birokrasi. Hal ini dikondisikan dengan pelayanan kepada rakyat tidak ditetapkan pada
pertimbangan utama melainkan pada pertimbangan yang kesekian. Sungguh ironis,
mengingat kondisi pelayanan yang kian bobrok akan moral yang dimiliki oleh para aparatur
pelayanan.

Pelayanan masyarakat yang diselenggarakan pemerintah, walau tidak bertujuan untuk


mencari keuntungan (profit) namun tidaklah harus mengabaikan kualitas pelayanan yang
diberikan. Pelayanan yang diberikan kepada masyarakat oleh pemerintah melalui aparat
pemerintah tetap harus mengutamakan kualitas layanan yang sesuai dengan tuntutan,
harapan dan kebutuhan masyarakat.

Dalam contoh kasus ini, proses pelayanan di kantor pajak yang begitu lama, belum lagi
prosedur yang berbelit-belit, serta ketidak nyamanan dalam segi fasilitas sarana dan
prasarana membuat masyarakat tidak merasa nyaman sehingga ketidak puasan
masyarakat ini menimbulkan berbagai keluhan. 
KASUS
Saat itu saya berniat akan periksa kesehatan dan rontgen, saya memilih rumah sakit yang
bernama Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Salatiga karena saya lebih memfokuskan pada
rontgen paru-paru.  Karena belum tahu letak tempat pendaftarannya saya menanyakan kepada
salah satu satpam rumah sakit, dan dengan sabar satpam itu menunjukkan tempatnya. Lalu
setelah sampai didalam, receptionisnya menanyakan apa yang bisa dibantu, dan akhirnya saya
didata. Mereka melayani  dengan ramah dan dengan senyum yang terlihat sangat ikhlas.
Dari proses rontgen, menunggu hasil rontgen, tes urin hingga penjelasan yang diberikan
dokter atas hasil tes, semuanya berjalan sangat cepat dan cekatan. Ditambah lagi pegawai-
pegawai rumah sakit yang ramah-ramah membuat saya tidak berasa kalau waktu itu saya
melakukan banyak tes kesehatan. Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Salatiga yang berstatus
Badan Layanan Umum merupakan salah satu contoh pelayanan pemerintah dalam hal ini dalam
bidang kesehatan khususnya pelayanan rumah sakit, sudah  cukup baik dalam memberikan
pelayanannya kepada masyarakat. Bahkan pelayanannya sudah agak bisa menyamai pelayanan
rumah sakit swasta.
KASUS
Sore sekitar jam 04.00 saya pergi kerumah sakit karena anak saya mengalami sakit
kepala, persendian sakit dan suhu badan sangat tinggi.Sesampai di RS ternyata kami harus
menunggu ½ jam sebelum diperiksa oleh dokter jaga. Setelah diperiksa ternyata tidak dilakukan
tindakan yang semestinya. Sementara menunggu tersebut tidak ada tindakan apapun untuk
menenangkan  pasien. Setelah itu dokter pun memeriksa anak saya, dokter terlihat bingung dan
hanya memberi obat saja padahal pasien demam tinggi dan persendiannya sakit. Kemudian saya
tanyakan mengapa tidak diinfus? Dengan berbagai alasan dokter tersebut menolak untuk
menginfus pasien. Dokter menganjurkan untuk mencari kamar rawat di bagian pendaftaran
pasien rawat inap. Namun menurut petugas ruang rawat inap ternyata penuh, dan kami disuruh
menunggu. Jadi kami terpaksa kembali ke UGD untuk melaporkan saat ini ruangan penuh

kepada dokter. Yang menjadi pertanyaan adalah ”Apa tindakan selanjutnya?”, sedangkan kondisi

pasien semakin mencemaskan. Dokter menyarankan mencari rumah sakit lain saja, dan dengan

mendongkol saya minta untuk dilakukan tindakan infus bagi si pasien, tetapi dokter tetap

menolak dengan alasan peraturan rumah sakit tidak membolehkan tindakan infus bagi pasien

yang tidak dirawat. Terjadi adu argumentasi dan karena saya sudah tidak lagi dapat menahan

rasa marah karena dokter tersebut tidak mau meinfus anak saya yang keadaanya sudah kesakitan.

Saya langsung pergi meninggalkan RS dan mencari RS yang lain.

Anda mungkin juga menyukai