Anda di halaman 1dari 17

CONTOH KASUS PELAYANAN TERHADAP KONSUMEN

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun
makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan.
Kelemahan konsumen adalah tidak mengetahui secara langsung barang yang
akan dibelinya. Untuk melindungi konsumen dari kecurangan para produsen UUD
mengeluarkan tentang perlindungan konsumen yaitu pasal UUD N0. 8 tahun
1999. Asas dari perlindungan konsumen ini memperoleh manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.
Konsumen juga mempunyai hak-hak konsumen yang harus dipenuhi oleh
perusahaan. Hak-hak konsumen yaitu :
1. Hak kenyamanan dan hak keselamatan
2. Hak untuk memilih barang atau jasa
3. Hak atas informasi yang benar dan jujur
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya
5. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen
6. Hak untuk diperlakukan dengan benar, jujur, dan diskriminatif
7. Hak untuk mendapatkan kompensasi dan penggantian
Pengertian kualitas pelayanan menurut J.Supranto (2006:226) adalah sebuah
kata yang bagi penyedia jasa merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan
baik.
Sedangkan definisi pelayanan menurut Gronroos adalah suatu aktivitas atau
serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata yang terjadi sebagai akibat
adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal-hal lain yang
disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksud untuk
memecahkan permasalahan konsumen / pelanggan (Ratminto, 2005:2).
Pelayanan pelanggan ini sangat penting artinya bagi kehidupan suatu
perusahaan, karena tanpa pelanggan, maka tidak akan terjadi transaksi jual beli
diantara keduanya. Untuk itu kegiatan pelayanan perusahaan haruslah
berorientasi pada kepuasan pelanggan.
Kepuasan pelanggan dalam praktek tidak cukup hanya dengan terpenuhinya
kepuasan pribadi untuk melayani konsumen yang bersangkutan tetapi juga harus
diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Pelanggan adalah orang paling penting
2. Pelanggan adalah objek yang dapat memberikan keuntungan bagi
perusahaan
3. Pelanggan bukanlah lawan bicara yang perlu diajak berdebat, bila
terpaksa, maka pihak yang menang haruslah pihak pelanggan
4. Pelanggan adalah raja, sekali ia kalah dalam berargumentasi maka ia akan
pindah ke produk lain
5. Pelanggan adalah manusia biasa yang memiliki perasaan senang, benci,
bosan, dan adakalanya mempunyai prasangka yang tidak beralasan
6. Pelanggan dalam usaha mendapatkan pelayanan selalu ingin didahulukan,
diperhatikan, dan ingin diistimewakan serta tidak ingin diremehkan begitu
saja
Tujuan dan Fungsi Pelayanan
1. Kualitas pelayanan diberikan kepada konsumen harus berfungsi untuk
lebih memberikan kepuasan yang maksimal, oleh karena itu dalam rangka
memberikan pelayanan harus dilakukan sesuai dengan fungsi pelayanan.
2. Kualitas pelayanan yang diberikan oleh setiap perusahaan tentunya
mempunyai tujuan. Umumnya tujuan dengan diadakannya pelayanan adalah
agar konsumen merasakan adanya kepuasan dan dampaknya bagi
perusahaan akan memperoleh laba maksimum.
Dimensi Kualitas Pelayanan
Dimensi Kualitas Pelayanan (SERVQUAL) oleh Parasuraman (1998) dibagi
menjadi lima dimensi SERVQUAL diantaranya adalah (Lupiyoadi, 2001:148):
1. Tangibles (bukti fisik) yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam
menunjukkan eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan dan
kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan
sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi
jasa. Yang meliputi fasilitas fisik (gedung, gudang, dan lain sebagainya),
perlengkapan dan peralatan yang dipergunakan (teknologi), serta
penampilan pegawainya.
2. Reliability (kehandalan) yaitu kemampuan perusahaan untuk memberikan
pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja
harus sesuai dengan harapan pelanggan yang berarti ketepatan waktu,
pelayanan yang sama untuk semua pelanggan tanpa kesalahan, sikap yang
simpatik, dan dengan akurasi yang tinggi.
3. Responsiveness (ketanggapan) yaitu kemauan untuk membantu dan
memberikan pelayanan yang cepat (responsif) dan tepat kepada pelanggan,
dengan penyampaian informasi yang jelas.
4. Assurance (jaminan dan kepastian) yaitu pengetahuan, kesopansantunan,
dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan rasa
percaya para pelanggan kepada perusahaan. Terdiri dari beberapa komponen
antara lain komunikasi, kredibilitas, keamanan, kompetensi, dan sopan
santun.
5. Emphaty (empati) yaitu memberikan perhatian yang tulus dan brsifat
individual atau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan
berupaya memahami keinginan konsumen. Dimana suatu perusahaan
diharapkan memiliki pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan,
memahami kebutuhan pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu untuk
pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan.

Tiga Kasus Pelayanan


February 23, 2008 by Gatot Widayanto
Dalam konsep pelayanan dikenal dua hal pokok yang dianggap sebagai
kebutuhan pelanggan / nasabah. Pertama adalah yang biasa disebut
sebagai Practical Need yang merupakan kebutuhan nasabah terhadap sesuatu
barang atau jasa. Kedua adalah Personal Need yang merupakan kebutuhan
nasabah yang terkait dengan jati-diri maupun harkat serta martabatnya sebagai
seorang manusia yang perlu diperhatikan dan dihormati. Dua jenis kebutuhan ini
harus dipenuhi secaraseimbang, bukan mengutamakan satu terhadap lainnya.
Tiga kasus nyata ini pernah saya alami. Tanpa ada maksud untuk
mengkpomplain, saya sebutkan juga nama perusahaannya, siapa tahu bisa
menjadi pembelajaran untuk perbaikan berkelanjutan.
1. PIZZA HUT Veteran
Suatu hari saya ada janjian ketemu dengan mitra usaha saya di gerai Pizza Hut
di Jl. Veteran (pojokan Deplu). Seperti biasa, petugas melayani ramah. Kami
membuka-buka menu yang dibagikan dan pada saat kami sudah memutuskan,
kami panggil pelayan dan menyampaikan pesanan yaitu American Favourite
untuk dua orang. Pelayan bernama Mega (nama sebenarnya) kemudian
mengatakan dengan penuh semangat: Wah! Keputusan yang benar2 tepat
sekali Bapak, karena American Favorite memang merupakan pizza yang menjadi
pilihan customer kami!. Cara pengucapan Mega yang begitu anthusias ini
seharusnya membuat kami senang karena pilihan yang tepat. namun, yang
terjadi malahan saya dan mitra usaha saya saling pandang dan menunjukkan
ekspresi risih terhadap anthusiasme berlebihan dari Mega tersebut. Lagian,
pizza jenis tersebut memang sudah merupakan menu yang biasa saya atau mitra
usaha pesen, tidak ada sesuatu yang istimewa bagi kami untuk mendapat
pujian. Mungkin Mega baru saja mengikuti SEx (service excellence) training
sehingga terlalu bersemangat melayani kami.
Yang menjengkelkan lagi, setelah kami selesai makan dan sedang asiknya
membicarakan pekerjaan (bisnis) yang sedang kami garap, Mega menginterupsi
kami tiga kali (menawarkan desrt atau tambahan lain) dan membuat
pembicaraan kami terganggu. Pada interupsi yang ke tiga, terpaksa kami usir
Mega dengan mengatakan Jangan ganggu kami lagi. Kalo kami butuh
tambahan, kami akan panggil!.
Sungguh .. ini sebuah pelayanan yang tidak nyaman sekali karena Pizza Hut
mungkin dalam rangka meningkatkan kualitas layanannya naumn terasa sekali
berlebihan. Bersemangat membara untuk sesuatu yang biasa saja bener2
sangat mengganggu. Ini sama saja halnya dengan seoang anak SD dapet nilai 6
(dari maksimum 10) namun dipujinya setengah mati sama orang tuanya. Dalam
kasus ini Pizza Hut melakukan pemenuhan personal
need secara berlebihan meskipun practical need kami terpenuhi, yaitu: tempat
diskusi dan menikmati makanan yang enak.

2. CITIBANK Landmark
Suatu hari saya mengunjungi cabang Landmark karena ada keperluan perbankan
yang mana saya disarankan untuk hadir di cabang tersebut. Pelayanan di nya
sungguh cool dan friendly, tanpa ada kesan berlebihan (tidak ada pujian
terhadap hal2 yang biasa saja). Terkesan memang profesional sekali cara
memenuhi personal need saya sebagai nasabahnya. Sekalian di situ saya
ditawari untuk mengganti Citicard (kartu ATM) saya dengan yang baru dan tidak
ada biaya tambahan. Gratis, ya siapa gak mau, saya OK kan aja, asalkan
kartunya bisa langsung dipakai. Selain itu saya juga ditawari untuk setting
Citibank Online saya yang perlu diset di cabang untuk aktivasi internet
bankingnya dan hari itu juga bisa aktif. Sayang .. dua hal ini ternyata hanya
janji karena ternyata Citicard saya kena beban biaya, tidak sesuai dengan
penjelasan di awal dan ternyata Citicard nya tidak bisa langung digunakan
karena harus menunggu batch run pada malam harinya dan besok baru bisa
on. Padahal diawalnya dijanjikan langsung bisa digunakan. Aktivasi internet
banking pun ternyata tidak bisa same day service. Customer Service person
yang melayani saya ternyata tidak sepenuhnya memahami proses bisnis nya
sehingga pada saat konfirmasi di CitiPhone, dinyatakan bahwa setting internet
banking baru bisa digunakan esok harinya.
Dalam hal ini, pemenuhan kebutuhan personal telah dilakukan Citibank dengan
cukup baik dan tidak berlebihan, namun kebutuhan practical nya tidak
dipenuhi dalam hal janji same day service buat ATM (Citicard) dan aktivasi
internet banking. Ujungnya saya kecewa.

3. PRAMITA
Ini adalah laboratorium kesehatan yang berlokasi di Kramat, Jakarta.
Sebelumnya, saya tidak pernah datang ke lab ini dan bahkan namanya pun baru
saya dengar beberapa saat yang lalu saat dokter gigi saya merujuk ke lab ini
untuk pengambilan panoramic. Kesan awal begitu masuk ruang penerimaan,
saya sudah merasa nyaman berada di lab ini. Waktu menunggu antrian
layananpun cukup cepat, setelah mendapatkan nomor antrian. Pada saat saya
memerlukan penjelasan pun, petugas memberikannya dengan ramah
dan menyebutkan nama saya dengan jelas, tanpa harus melirik ke formulir
pendaftaran buat membaca nama yang tertera di situ. Ini memang hal kecil,
namun gesture (gerak tubuh dan mimik) petugas sangat mempengaruhi
kepuasan nasabah dalam setiap interaksinya. Terlihat bahwa petugas cukup
terlatih dalam menghafal nama nasabah di front office.
Setelah mendaftar di front office, saya dijelaskan dengan jelas dan ramah
kemana saya musti pergi dan menunggu. Setelah selesai dengan panoramic,
sambil menunggu, saya ke musholla belakang menunaikan shalat ashar. Ada tiga
orang karyawan Pramita yang saat itu juga bersamaan di musholla. Mereka
menyapa saya dengan simpatik dan tidak berlebihan. Yang menarik adalah pada
saat shalat sudah selesai, ada petugas wanita yang sedang berbicara di telepon
selulernya sambil duduk di kursi yang dipakai orang untuk duduk sambil
memakai sepatu. Petugas wanita ini begitu sigap dalam merespons terhadap
situasi. Begitu melihat saya (yang nota bene orang asing yang belum dikenal)
serta merta dia menyapa dengan oenganggukan kepala dan ersenyum denagn
santun, sambil berdiri sambil mempersilakan saya untuk duduk. Ini memang
sepertinya hal kecil, tapi saya terkesan sekali dengan sikapnya. Dari sikap
petugas yang berinteraksi dengan saya, terlihat sekali bahwa perusahaan ini
telah memilik corporate culture yang kuat sehingga sampai jajaran petugas
wanita yang bukan dari customer service department saja memiliki sikap positif
menghormati tamu. Saya benar2 terkesan dengan pelayanan yang bagus dan
terlatih dari Pramita ini. Panoramic yang dijanjikan hanya 15 menit ternyata
memang benar selesai dalm waktu yang tepat. Ini artinya, pramita ini
memeberikan pelayanan yang bagus dan seimbang
antara personaldan practical needs.

Contoh Kasus
Kasus tentang penyelewengan perlindungan konsumen terjadi pada diri saya sendiri yaitu
pada suatu hari saya berniat untuk mengirimkan ijazah kakak saya. Kakak saya meminta saya
untuk mengirimkan ijazahnya karena untuk keperluan pekerjaan, untuk itu saya pergi ke JNE
perusahaan yang memberikan jasa pengiriman barang. Sudah seminggu berlalu semenjak saya
mengirimkan ijazah tersebut kepada kakak saya tetapi masih belum tiba. Akhirnya kakak saya
pun datang ke kantor JNE yang ada di Tuban tetapi setelah sampai disana tidak mendapatkan
respon yang baik. Setelah 3 minggu menunggu saya pun mendapat telepon dari pihak JNE
dan saya diberitahu bahwa barang yang saya kirimkan dinyatakan hilang saya pun mulai
emosi, bagaimana tidak surat penting yang sudah dikirim begitu lama namun baru
dikonfirmasi setelah sekian lama. padahal kakak saya sudah melaporkannya seminggu setelah
pengiriman. Tidak lama setelah itu rumah kami di datangi oleh pihak JNE karena sebelumnya
kakak saya menulis keluhannya tersebut di KOMPAS. Pihak JNE pun datang untuk
menawarkan ganti rugi 10x lipat dari biaya pengiriman yaitu sekitar Rp 120.000 namun Ayah
saya yang kebetulan berbicara dengan pihak dari JNE tersebut tidak mau ganti rugi berupa
uang. Ayah saya hanya ingin pihak JNE mengurus surat-surat yang dibutuhkan agar kakak
saya bisa membuat ijazah yang baru. Namun pihak JNE hanya memberikan surat pernyataan
kehilangan yang dibuat oleh JNE dan mereka mengatakan akan membuat surat pernyataan
hilang juga dari polisi, namun sampai saat ini surat itu tidak kunjung datang dan kami tidak
lagi dihubungi oleh pihak JNE.

ANALISIS :
Kejadian seperti ini tentunya dapat menggambarkan bahwa konsumen tidak lagi mendapatkan
haknya untuk dapa memiliki rasa aman untuk menggunakan suatu jasa. Kejadian ini tentunya
sangat merugikan konsumen dan perusahaan itu sendiri dimana perusahaan tersebut mungkin
akan kehilangan kepercayaannya oleh konsumen sehingga berpengaruh pada bisnis yan
dijalankannya.

Contoh Kasus Pelayanan Suatu Perusahaan Kepada Konsumen

POSTED ON JUNE 11, 2015 BY LAELYRAKHMAWATIHIDAYAT

A. Complain
Konsumen menggugat Nissan March
Pemilik Nissan March melayangkan gugatan ke Nissan Motor Indonesia
(NMI) di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Itu dilakukan
lantaran Nissan dinilai melakukan kebohongan soal keiritan bahan bakar
Nissan March melalui iklan. Kasus ini bermula ketika salah seorang pemilik
Nissan, Ludmilla Arief mengeluhkan klaim Nissan terkait konsumsi BBM
Nissan March di sejumlah media dan brosur. Di situ Nissan mengklaim jika
konsumsi BBM March untuk 18 kilometer hanya butuh 1 liter. Hal itu
berbeda jauh ketika Ludmilla menggunakan March versi automatic, di
mana konsumsi bahan bakarnya ternyata 1:8. Artinya setiap satu liter
hanya mampu menempuh jarak 8 kilometer.
Klien saya komplain ke NMI dan meminta solusi kenapa March bisa tidak
sesuai konsumsi bahan bakarnya. Tapi menurut teknisi Nissan setelah
dicek tidak ada masalah dan sudah sesuai standar, kata kuasa hukum
Ludmilla, David Tobing saat berbincang dengan VIVAnews, Kamis 4 April
2012. Karena merasa tidak ada penyelesaian, akhirnya kasus ini dibawa ke
YLKI dan diselesaikan ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Kasus itu kemudian diproses. Ludmilla menuntut Nissan untuk membeli
kembali mobil miliknya yang dibeli pada 7 Maret 2011 di dealer Nissan
Warung Buncit, Jakarta Selatan. Nissan menyetujui hal tersebut, hanya
saja Nissan hanya mau membelinya dengan standar harga sebuah Nissan
March bekas yang berada di angka Rp138 juta. Sementara Ludmilla mau
Nissan membayar sesuai uang yang telah dia keluarkan untuk membeli
mobil tersebut.
Akhirnya, setelah dimediasi BPSK, pada 16 Februari 2012 lalu jalan tengah
pun diambil. Nissan harus membeli mobil Ludmilla kembali di atas harga
pasaran mobil bekas tapi di bawah harga mobil baru. Angkanya
Rp150juta. Menurut David, BPSK menyatakan Nissan melanggar UU
Perlindungan Konsumen No 8 Tahun 1999, pasal 9 ayat 1 huruf k yang
berbunyi pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan,
mengiklankan suatu barang atau jasa secara tidak benar. Kemudian
menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
Selain itu Nissan juga melanggar pasal 10 huruf c, yang berbunyi pelaku
usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan
atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai
kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang atau
jasa.

Seperti kita ketahui, tujuan utama setiap perusahaan adalah memperoleh


keuntungan dan keuntungan akan dapat diperoleh jika kita mampu
menjual barang atau jasa sebanyak-banyaknya dengan harga tertentu.
Pertanyaannya adalah kenapa kita harus bersusah payah untuk dapat
memuaskan pelanggan padahal tujuan utama kita adalah memperoleh
keuntungan? Dapatkah keuntungan perusahaan diperoleh tanpa upaya
memberikan kepuasan kepada pelanggan?
Jika kita mampu memberikan pelayanan yang baik, maka pelanggan akan
puas. Pelanggan yang puas akan:
1. Membeli lagi,
2. Menceritakan hal-hal yang baik kepada orang lain,
3. Kurang memperhatikan merek produk lain,
4. Membeli produk lain dari perusahan yang sama.
Dan apa konsekuensinya jika pelanggan tidak puas? Berdasarkan sebuah
penelitian, ditemukan bahwa pelanggan yang tidak puas :
1. 4% yang mengadukan keluhannya kepada perusahaan, sedangkan 96%
sisanya pergi diam-diam dan 91% tidak pernah kembali lagi.
2. Rata-rata seorang pelanggan yang tidak puas akan menceritakan
masalahnya kepada delapan sampai sepuluh temannya. Untuk
memperbaiki satu insiden yang negatif diperlukan dua belas pelayanan
yang positif.
3. Tujuh dari sepuluh pelanggan yang mengeluh, baru akan kembali
meneruskan hubungan bisnisnya setelah perusahaan memecahkan
masalah yang mereka hadapi. Jika masalah tersebut diselesaikan saat itu
juga, maka 95% dari mereka akan meneruskan hubungan bisnis dengan
perusahaan tersebut. Seorang pelanggan yang puas karena keluhannya
ditanggapi, rata-rata akan menceritakan pengalamannya kepada lima
temannya. Cukup berat akibat seorang pelanggan yang tidak puas, karena
tidak hanya dia sendiri yang tidak akan membeli produk kita tetapi ia juga
menceritakan kepada yang lain.

B. Responsive
PT. Indofood Sukses Makmur Tbk.
PT. Indofood Sukses Makmur menjadikan mutu dan kepuasan pelanggan
sebagai basis bagi perencanaan yang dilakukan oleh perusahaan. Oleh
karena itu keinginan dan kebutuhan konsumen harus diperhatikan oleh
produsen karena kebutuhan ini akan senantiasa berubah. Perkembangan
produk mie instan yang sudah dianggap sebagai makanan cepat saji dan
bahkan sebagai makanan pokok, menyebabkan tingkat persaingan pada
industri mie instan ini semakin tinggi.

Tingkat persaingan yang tinggi ini dapat menyebabkan pergeseran


loyalitas konsumen miee instan produk indofood kepada mie instan produk
yang lain. Kondisi ini mendorong perusahaan untuk senantiasa melakukan
riset pemasaran yang dilakukan terhadap konsumen, sehingga dapat
diketahui kebutuhan dan keinginan konsumen akan suatu produk mie.
Tingginya pangsa pasar mie instant mengharuskan perusahaan-
perusahaan yang ada untuk berhati-hati, sehingga perusahaan dituntut
harus selalu mengevaluasi dan mematangkan strategi pemasaran yang
dijalankannya.

Perusahaan ingin mengetahui bagaimana proses keputusan pembelian


mie instan, agar menghasilkan analisis pemasaran yang cermat sehingga
perusahaan tidak dirugikan karena terjadinya kekeliruan dalam melakukan
kegiatan pemasaran. Oleh karena itu, perlu diketahui respon konsumen
terhadap produk miee instan tersebut. Untuk dapat menentukan respon
konsumen, terlebih dahulu perlu diidentifikasi faktor-faktor dalam proses
keputusan. Mengetahui faktor-faktor tersebut akan memudahkan
perusahaan dalam mengambil langkah dalam kegiatan pemasaran yang
akan dilakukan sehingga dapat diketahui tingkat kepuasan dari konsumen
mie instan terhadap kegiatan pemasaran yang telah dilakukan
perusahaan.

Oleh karena itu saya merasa tertarik untuk mengetahui respon konsumen
saat ini terhadap mie instan produk indofood. Konsumen yang dipilih
adalah konsumen yang membeli mie instan di Pasar atas Cimahi. Lokasi ini
dipilih karena lokasinya yang berdekatan dengan perusahaan Indofood.
Kedekatan jarak ini membuat indofood tidak pernah melakukan analisis
terhadap respon konsumen di lokasi ini, karena menganggap masyarakat
atau konsumen di sekitar pabrik Indofood telah memiliki respon yang baik
terhadap produk mie instan mereka. Pasar Atas ini merupakan salah satu
pasar besar yang ada di kota Cimahi selain Pasar Antri. Perbedaan dari
kedua pasar ini adalah komoditi yang dijualnya. Pasar Antri lebih fokus
pada penjualan komoditi sandang, sedangkan Pasar Atas lebih fokus
menjual komoditi Pangan. Hal inilah yang mendorong saya untuk
melakukan penelitian mengenai respon konsumen terhadap mie instan
produk Indofood di Pasar Atas Cimahi.

C. Insurance
Sebagai contoh kita ambil penetapan taksiran untuk barang jaminan
berupa satu buah mobil Toyota kijang Krista tahun 2000 dengan kondisi
semua baik dan lengkap, HPS yang kita tetapkan sebesar Rp 140 juta.
Dengan patokkan taksiran sebesar 75% maka didapat nilai taksiran
sebesar Rp 105 juta. Lalu jika karena satu hal agunan mobil ini hilang atau
rusak seluruhnya di pegadaian maka ganti rugi yang akan diberikan
kepada nasabah adalah sebesar Rp 131,25 juta (125%x Rp105
juta ).Berarti setelah nasabah menebus UP+SM dari pinjaman beragunan
yang hilang tersebut maka nasabah akan mendapatkan pengantian
sebesar Rp 131,25 juta saja.Gantirugi sebesar ini jelas akan merugikan
nasabah karena tidak cukup membeli satu buah mobil Toyota kijang Krista
produksi tahun 2000 seperti yang hilang dari di pegadaian karena harga
pasar mobil tersebut adalah sebesar Rp 140 juta.
Adalah tidak adil memberi ganti rugi kepada nasabah tersebut hanya
sebesar Rp131,25 juta saja. Karena jumlah sebesar ini ternyata tidak
cukup hanya sekedar untuk membeli mobil yang sama sebagai penganti
mobil yang hilang akibat kelalaian pegadaian. Padahal ganti rugi yang
ideal selain memberi kemampuan kepada nasabah untuk membeli kembali
harta agunan yang hilang juga seyogianya memperhitungkan biaya-biaya
psikologis seperti yang diuraikan diatas.
Penetapan ganti rugi untuk agunan yang hilang atau rusak sebesar 125%
dari taksiran yang diterapkan selama ini perlu dikoreksi karena hanya
bersifat umum dan pukul rata untuk semua jenis agunan dari perhitungan
secara sederhana diatas terlihat besaran ganti rugi akan bervariasi sejak
dari 112% untuk agunan jenis gudang hingga 548% untuk agunan berlian.
Ketentuan ganti rugi sebesar 125% yang selama ini diterapkan yang
dicantumkan dalam klausul perjanjian dibelakang SBK adalah ketentuan
sepihak dari pegadaian kendati nasabah telah menandatangani SBK
namun jika dalam hal ganti rugi atas aguan yang rusak atau hilang
nasabah merasa ganti rugi yang diberikan terlalu rendah karena tidak
sesuai harga pasar yang berlaku maka nasabah berhak mengajukan protes
bahkan membawa masalahnya ke pengadilan. Ini sejalan dengan
ketentuan Undang-undang nomor 8 Perlindungan Konsumen. Dan hak
nasabah inipun telah diakomodasikan dalam klausul perjanjian kredit
dibagian belakang SBK butir sebelas yang berbunyi : Apabila terjadi
permasalahan dikemudian hari akan diselesaikan musyawarah untuk
mufakat jika ternyata perselisihan ini tidak dapat diselesaikan secara
musyawarah untuk mufakat, maka akan diselesaikan melalui Pengadilan
Negeri setempat .
Pedoman Operasional Kantor Cabang (POKC) sebagai pengganti dari Buku
Tata Pekerjaan (BTP) tidak mengatur masalah dan teknis pemberian ganti
rugi atas agunan milik nasabah yang rusak atau hilang saat digadaikan
dipenggadaian. Padahal didalam BTP hal yang sama diatur sangat rinci
secara teknis. Oleh karena itu disarankan agar yang menyangkut ganti
rugi ini dicantumkan kembali di POKC setelah direvisi seperlunya
disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi akhir ini .
Pemberian ganti rugi lebih besar dari 125% berdasarkan harga pasar,
dengan alasan mempertimbangkan tertentu, dibolehkan oleh Aturan Dasar
Pagadaian (ADP) pasal 13 ayat 4 (Lembaran Negara Nomor 81 Tahun
1928) dan sesuai pula dengan Intruksi Perdana Mentri Nomor 3/2 / 1956.
Oleh karena itu sebagai penegasan , sudah waktunya pula bagi pegadaian
untuk meninjau kembali ketentuan ganti rugi 125% yang berlaku umum
dan pukul rata untuk sebuah jenis agunan

D. Empaty
Seorang nasabah X dari perusahaan pembiayaan terlambat membayar
angsuran mobil sesuai tanggal jatuh tempo karena anaknya sakit parah. X
sudah memberitahukan kepada pihak perusahaan tentang
keterlambatannya membayar angsuran, namun tidak mendapatkan
respon dari perusahaan. Beberapa minggu setelah jatuh tempo pihak
perusahaan langsung mendatangi X untuk menagih angsuran dan
mengancam akan mengambil mobil yang masih diangsur itu. Pihak
perusahaan menagih dengan cara yang tidak sopan dan melakukan
tekanan psikologis kepada nasabah. Dalam kasus ini kita dapat
mengkategorikan pihak perusahaan telah melakukan pelanggaran prinsip
empati pada nasabah karena sebenarnya pihak perusahaan dapat
memberikan peringatan kepada nasabah itu dengan cara yang bijak dan
tepat.

Sumber :
http://amaliyahnovinda.blogspot.com/2014/03/keluhan-konsumen-
terhadap-pelanggan.html
http://krisnazulfikar.blogspot.com/2013/01/respon-konsumen-terhadap-
mie-instan_7.html
http://fhuk.unand.ac.id/in/kerjasama-hukum/menuartikeldosen-
category/932-perlindungan-hukum-terhadap-konsumen-atas-kasus-ganti-
rugi-barang-jaminan-article.html
http://intanpermatasarii.blogspot.com/2013/10/pelanggaran-etika-bisnis-
yang-sering.html

Contoh contoh kasus yang pernah terjadi, antara lain :


Anda mungkin masih ingat kasus recall motor Honda Vario?
Recall motor Honda Vario terjadi karena terdapat masalah pada komponen Anchor Pin/Nut,
dimana komponen ini dapat mempengaruhi fungsi roda belakang Vario.

Anda pula mungkin masih ingat kasus recall mobil Honda City?
Recall mobil Honda City terjadi karena kegagalan power window, dimana air masuk ke dalam
power window yang dapat menyebabkan korsleting sehingga menyebabkan sebuah mobil
terbakar di Afrika Selatan dan menewaskan penggunanya.

Recall dilakukan oleh distributor atau organisasi penghasil produk / jasa untuk
memberikan pelayanan yang terbaik, terutama karena mereka telah melepaskan produk tidak
sesuai ke tangan pelanggan. Sehingga produk yang telah sampai ke tangan pelanggan
kemudian ditemukan bahwa produk yang diterima pelanggan tidaklah sesuai dengan
ketentuan, tidak melepaskan tanggung jawab Pemasok barang / jasa untuk menindaklanjuti
ketidaksesuaian tersebut. Recall adalah salah satu tindakan yang dilakukan untuk memberikan
kepuasan kepada pelanggan karena adanya produk yang tidak sesuai yang dilepas ke pasaran.

Tak sesuai iklan, konsumen menggugat Nissan March !


Pemilik Nissan March melayangkan gugatan ke Nissan Motor Indonesia (NMI) di
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Itu dilakukan lantaran Nissan dinilai
melakukan kebohongan soal keiritan bahan bakar Nissan March melalui iklan. Kasus ini
bermula ketika salah seorang pemilik Nissan, Ludmilla Arief mengeluhkan klaim Nissan
terkait konsumsi BBM Nissan March di sejumlah media dan brosur. Di situ Nissan
mengklaim jika konsumsi BBM March untuk 18 kilometer hanya butuh 1 liter. Hal itu
berbeda jauh ketika Ludmilla menggunakan March versi automatic, di mana konsumsi bahan
bakarnya ternyata 1:8. Artinya setiap satu liter hanya mampu menempuh jarak 8 kilometer.
"Klien saya komplain ke NMI dan meminta solusi kenapa March bisa tidak sesuai
konsumsi bahan bakarnya. Tapi menurut teknisi Nissan setelah dicek tidak ada masalah dan
sudah sesuai standar," kata kuasa hukum Ludmilla, David Tobing saat berbincang
dengan VIVAnews, Kamis 4 April 2012. Karena merasa tidak ada penyelesaian, akhirnya
kasus ini dibawa ke YLKI dan diselesaikan ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK). Kasus itu kemudian diproses. Ludmilla menuntut Nissan untuk membeli kembali
mobil miliknya yang dibeli pada 7 Maret 2011 di dealer Nissan Warung Buncit, Jakarta
Selatan. Nissan menyetujui hal tersebut, hanya saja Nissan hanya mau membelinya dengan
standar harga sebuah Nissan March bekas yang berada di angka Rp138 juta. Sementara
Ludmilla mau Nissan membayar sesuai uang yang telah dia keluarkan untuk membeli mobil
tersebut.
Akhirnya, setelah dimediasi BPSK, pada 16 Februari 2012 lalu jalan tengah pun
diambil. Nissan harus membeli mobil Ludmilla kembali di atas harga pasaran mobil bekas
tapi di bawah harga mobil baru. Angkanya Rp150juta. Menurut David, BPSK menyatakan
Nissan melanggar UU Perlindungan Konsumen No 8 Tahun 1999, pasal 9 ayat 1 huruf k yang
berbunyi pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang
atau jasa secara tidak benar. Kemudian menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang
belum pasti.
Selain itu Nissan juga melanggar pasal 10 huruf c, yang berbunyi pelaku usaha dalam
menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan
mengenai kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang atau jasa.

Seperti kita ketahui, tujuan utama setiap perusahaan adalah memperoleh keuntungan
dan keuntungan akan dapat diperoleh jika kita mampu menjual barang atau jasa sebanyak-
banyaknya dengan harga tertentu. Pertanyaannya adalah kenapa kita harus bersusah payah
untuk dapat memuaskan pelanggan padahal tujuan utama kita adalah memperoleh
keuntungan? Dapatkah keuntungan perusahaan diperoleh tanpa upaya memberikan kepuasan
kepada pelanggan?
Jika kita mampu memberikan pelayanan yang baik, maka pelanggan akan puas. Pelanggan
yang puas akan:
1. Membeli lagi,
2. Menceritakan hal-hal yang baik kepada orang lain,
3. Kurang memperhatikan merek produk lain,
4. Membeli produk lain dari perusahan yang sama.
Dan apa konsekuensinya jika pelanggan tidak puas? Berdasarkan sebuah penelitian,
ditemukan bahwa pelanggan yang tidak puas :
1. 4% yang mengadukan keluhannya kepada perusahaan, sedangkan 96% sisanya pergi
diam-diam dan 91% tidak pernah kembali lagi.
2. Rata-rata seorang pelanggan yang tidak puas akan menceritakan masalahnya kepada
delapan sampai sepuluh temannya. Untuk memperbaiki satu insiden yang negatif diperlukan
dua belas pelayanan yang positif.
3. Tujuh dari sepuluh pelanggan yang mengeluh, baru akan kembali meneruskan
hubungan bisnisnya setelah perusahaan memecahkan masalah yang mereka hadapi. Jika
masalah tersebut diselesaikan saat itu juga, maka 95% dari mereka akan meneruskan
hubungan bisnis dengan perusahaan tersebut. Seorang pelanggan yang puas karena
keluhannya ditanggapi, rata-rata akan menceritakan pengalamannya kepada lima temannya.
Cukup berat akibat seorang pelanggan yang tidak puas, karena tidak hanya dia sendiri yang
tidak akan membeli produk kita tetapi ia juga menceritakan kepada yang lain.
KESIMPULAN
Dari itu maka sangat penting kedua belah pihak untuk duduk bersama sama untuk
menyelesaikan masalah tersebut dengan tidak melupakan asas manfaat memberikan manfaat
yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada
satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus
memperoleh hak-haknya.
Kedua belah harusnya menganbil jalan tengah dari masalah penarikan tersebut dengan
melakukan pembicaraan mendalam mengenai jalan keluar yang harus ditempun dengan tujuan
agar kedua belah pihak tidak merasa dirugikan karna masalah tersebut
Semakin cepat ini dilakukan akan semakin baik agar pelanggan percaya bahwa perusahaan
berkomitmen dalam melayani pelanggan sebaik mungkin dan tidak mengingkari komitmen bersama.
Demikianlah proses yang dibutuhkan saat menemukan pelanggan yang komplain. Paling tidak, bisa
membantu saat kita berada langsung bersama pelanggan. Meski, pada kenyataannya, ada banyak tipe pelanggan
saat melontarkan komplain, seperti pelanggan yang agresif, pasif, maupun yang konstruktif.
Memelihara pelanggan yang kesal bukanlah hal yang menyenangkan. Keluhan
atau komplain adalah perwujudan dari ketidakpuasan yang dinyatakan oleh pengguna jasa
dalam bentuk sikap, kata-kata (tertulis maupun lisan). Diperlukan kesabaran dan ketulusan
untuk mendengarkan keluhan. Tanggapi keluhan sesuai dengan peraturan perusahaan,
karena mereka komplain bukan terhadap Anda tetapi terhadap pelayanan perusahaan,
walaupun di dalamnya ada Anda.
Keluhan dari pelanggan jangan sekali-kali dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan,
tetapikomplain merupakan cermin dari kinerja perusahaan tempat bekerja. Jangan sekali-
kali berargumen/berdebat dengan pelanggan Anda, selesaikan masalah berdasarkan fakta dan
diskusikan/jelaskan kepada pelanggan bila ternyata ada kesalahpahaman.
SUMBER :
http://isoconsulting.wordpress.com/category/produk-tidak-sesuai/
http://otomotif.news.viva.co.id/news/read/302262-tak-sesuai-iklan--konsumen-gugat-
nissan-ri
http://www.miswans.com/pelayanan-pelanggan.html
http://isoconsulting.wordpress.com/category/pelanggan/
http://meidyawwa23.blogspot.com/2013/07/contoh-kasus-pengaduan-konsumen.html
http://netpreneur.co.id/bagaimana-menangani-keluhan-saat-produk-sampai-di-tangan-
pembeli/#.UzAmVs66G0s
http://aushuria.wordpress.com/2013/05/26/analisis-prilaku-konsumen-terhadap-suatu-
produk/
http://jhohandewangga.wordpress.com/2010/10/27/
http://ibnudblog.blogspot.com/2008/02/kepuasan-pelanggan.html
http://pengusahamuslim.com/cara-efektif-menangani-keluhan-dan-
1860#.UzAwMs66G0s
http://www.the-marketeers.com/archives/enam-tahapan-menangani-komplain-
pelanggan-.html#.UzAwLM66G0s
https://docs.google.com/document/d/14NEYyJ0jElJ0VkrbtnGfYBFNxh0zuF16ZXYj
K-9KYoE/edit?hl=en_US&pli=1

CONTOH KASUS :
Di Surabaya, seorang advokat menggugat Lion selaku pemilik Maskapai Penerbangan
Wings Air di karena penerbangan molor 3,5 jam. Maskapai tersebut digugat oleh seorang
advokat bernama DAVID ML Tobing. DAVID, lawyer yang tercatat beberapa kali menangani
perkara konsumen, memutuskan untuk melayangkan gugatan setelah pesawat Wings Air
(milik Lion) yang seharusnya ia tumpangi terlambat paling tidak sembilan puluh menit.
Kasus ini terjadi pada 16 Agustus lalu ia berencana terbang dari Jakarta ke Surabaya,
pukul 08.35 WIB. Tiket pesawat Wings Air sudah dibeli. Hingga batas waktu yang tertera di
tiket, ternyata pesawat tak kunjung berangkat. DAVID mencoba mencari informasi, tetapi ia
merasa kurang mendapat pelayanan. Pendek kata, keberangkatan pesawat telat dari jadwal.
DAVID menuding Wings Air telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan
keterlambatan keberangkatan dan tidak memadainya layanan informasi petugas maskapai itu
di bandara. Selanjutnya DAVID mengajukan gugatan terhadap kasus tersebut ke pengadilan
untuk memperoleh kerugian serta meminta pengadilan untuk membatalkan klausul baku yang
berisi pengalihan tanggung jawab maskapai atas keterlambatan, hal mana dilarang oleh
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Sebagai maskapai penerbangan swasta terbesar di Indonesia, Lion Air bolak-balik mendapat
komplain dari penumpang. Bahkan tidak sedikit komplain ini masuk hingga ke pengadilan.

Dalam catatan detikcom, Selasa (4/9/2012), perusahaan berlogo kepala singa ini pernah
digugat Rp 10 miliar oleh pengusaha De Neve Mizan Allan. Pengusaha di bidang otomotif ini
menuduh Lion Air telah melakukan refund tiket pesawat miliknya tanpa persetujuannya.

Tidak terima, lalu Lion Air menggugat balik penumpang tersebut. Lion Air menuding
penggugat sebagai penyebab keterlambatan penerbangan dari Bandara Ngurah Rai menuju
Soekarno-Hatta. Lion Air menuntut penggugat membayar biaya avtur selama 20 menit
sebesar Rp 11,6 juta, pemeliharaan pesawat sebesar US$ 36,6 dan menuntut ganti rugi gaji
pilot senilai US$ 73,3 dan biaya extend bandara Rp 1 juta.

Analisa Kasus di atas

Untuk menganalisa kasus tersebut lebih jauh sebagai suatu tindak pidana ekonomi maka
harus dikaji terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan hukum pidana ekonomi dan
Hukum Perlindungan Konsumen sebagai salah satu bentuk Hukum Pidana Ekonomi dalam
arti luas, bahwa yang dimaksud dengan Hukum Pidana Ekonomi sebagaimana disebutkan
oleh Prof. Andi Hamzah adalah bagian dari Hukum Pidana yang mempunyai corak tersendiri,
yaitu corak-corak ekonomi. Hukum tersebut diberlakukan untuk meminimalisir tindakan yang
menghambat perekonomian dan kemakmuran rakyat. Dalam Hukum Pidana Ekonomi, delik
atau tindak pidana ekonomi dibagi dalam 2 bentuk yakni delik atau tindak pidana ekonomi
dalam arti sempit maupun delik atau tindak pidana ekonomi dalam arti luas. Yang dimaksud
dengan tindak pidana ekonomi dalam arti sempit adalah tindak pidana ekonomi yang secara
tegas melanggar Undang-Undang 7/DRT/1955. Sedangkan yang dimaksud dengan tindak
pidana ekonomi dalam arti luas adalah tindak pidana yang bertentangan dengan Undang-
Undang 7/DRT/1955 serta undang-undang lain yang mengatur tentang tindak pidana
ekonomi.
Dalam kasus yang menimpa DAVID, Tindakan yang dilakukan oleh pihak Manajemen
Wings Air dengan mencantumkan klausula baku pada tiket penerbangan secara tegas
merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum perlindungan konsumen, sehingga
terhadapnya dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana ekonomi dalam arti luas.
Bila berbicara tentang hukum perlindungan konsumen maka kita harus pula membicarakan
tentang UU. RI No. 8 Tahun 1999 (UUPK). UUPK lahir sebagai jawaban atas pembangunan
dan perkembangan perekonomian dewasa ini. Konsumen sebagai motor penggerak dalam
perekonomian kerap kali berada dalam posisi lemah atau tidak seimbang bila dibandingkan
dengan pelaku usaha dan hanya menjadi alat dalam aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan
yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha. Berdasarkan Penjelasan umum atas Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa faktor utama yang menjadi
kelemahan konsumen dalam perdagangan adalah tingkat kesadaran konsumen masih amat
rendah yang selanjutnya diketahui terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan
konsumen. Mengacu pada hal tersebut, UUPK diharapkan menjadi landasan hukum yang kuat
bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan
upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Sehingga
diharapkan segala kepentingan konsumen secara intigrative dan komprehensif dapat
dilindungi.
Perlindungan konsumen sebagaimana pasal 1 ayat (1) menyebutkan arti dari
perlindungan konsumen yakni : segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi kepada konsumen. Sedangkan arti yang tidak kalah penting ialah Konsumen, yakni
setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan. Kata tidak diperdagangkan ini berarti konsumen yang dilindungi ialah
konsumen tingkat akhir dan bukanlah konsumen yang berkesempatan untuk menjual kembali
atau reseller consumer. Asas yang terkandung dalam UU Perlindungan Konsumen dapat
dibagi menjadi menjadi 5 asas utama yakni :

1. Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan


konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan
pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan
kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku
usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan dan
keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin
kepastian hukum. Perlindungan konsumen sesuai dengan pasal 3 Undang-undang
Perlindungan Konsumen, bertujuan untuk Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan
kemandirian konsumen untuk melindungi diri, Mengangkat harkat dan martabat konsumen
dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa,
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-
haknya sebagai konsumen, Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi,
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen
sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha, Meningkatkan
kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau
jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen. Sedangkan ketentuan
mengenai sangsi pidana dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diatur dalam 3
pasal yakni Pasal 61, 62 dan 63. Hukum pidana berlaku secara Ultimuum Remedium
mengingat penyelesaian sengketa konsumen dalam UUPK juga mengenal adanya
penyelesaian melalui alternative penyelesaian sengketa, Hukum Administrasi dan Hukum
Perdata. Tindakan Wings Air mencantumkan Klausula baku pada tiket penerbangan yang
dijualnya, dalam hal ini menimpa DAVID, secara tegas bertentangan dengan Pasal 62 Jo.
Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen dimana
terhadapnya dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak RP.
2.000.000.000,- ,namun dengan tidak mengesampingkan prinsip Ultimum Remedium. Yang
dimaksud dengan Klausula baku adalah segala klausula yang dibuat secara sepihak dan berisi
tentang pengalihan tanggung jawab dari satu pihak kepada pihak yang lain. Sebagaimana
ditentukan berdasarkan Pasal 18 UUPK yakni:
a. Pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang
membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila
menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
b. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat
atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
c. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian
yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat dinyatakan batal
demi hukum.
d. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang
ini. Selanjutnya berdasarkan penjelasan Pasal 18 ayat (1) UUPK disebutkan bahwa tujuan dari
pelarangan adalah semata-mata untuk menempatkan kedudukan Konsumen setara dengan
pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Selain itu khusus mengenai
penerbangan, berdasarkan konvensi Warsawa ditentukan perusahaan penerbangan tidak boleh
membuat perjanjian yang menghilangkan tanggung jawabnya. Dalam kasus disebutkan
bahwa, pada tiket penerbangan yang diperjualbelikan memuat klausul Pengangkut tidak
bertanggung jawab atas kerugian apapun juga yang ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau
keterlambatan pengangkutan ini, termasuk segala kelambatan datang penumpang dan/atau
kelambatan penyerahan bagasi. Berdasarkan pendapat saya, hal tersebut jelas merupakan
suatu bentuk klausula baku mengingat klausul yang termuat dalam tiket tersebut dibuat secara
sepihak oleh pihak Manajemen Wings Air yang berisikan pengalihan tanggungjawab dalam
hal terjadi kerugian dari pihak manajemen kepada penumpang. Atas dimuatnya klausula
tersebut jelas dapat merugikan kepentingan konsumen. Penyedia jasa dapat serta merta
melepaskan tanggungjawabnya atas kerugian yang timbul baik yang ditimbulkan oleh
penyedia jasa sendiri maupun konsumen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tindakan yang
dilakukan oleh Wings Air selaku peusahaan milik Lion Air bertentangan dengan pasal 18
UUPK dan Konvensi Warsawa tentang penerbangan.
Terkait dengan penegakan hukum perlindungan konsumen, khususnya mengenai pelarangan
pemasukan Klausula Baku dalam setiap aktivitas perdagangan, menurut pendapat saya belum
berjalan dengan efektif dan sesuai harapan. Disana-sini penggunaan klausula tersebut masih
marak dan cukup akrab dalam setiap aktivitas perekonomian. Selain itu, sampai sejauh ini pun
penggunaan sangsi pidana belum pernah diterapkan dalam setiap tindakan pencantuman
klausula baku. Hal tersebut menurut pendapat saya merupakan indikator bahwa Undang-
Undang No.8 Tahun 1999 belum ditaati dan diterapkan dengan baik melainkan sejauh ini baru
samapi pada tahap pemahaman dan sosialisasi. Dapat disimpulkan, sebagai bagian dari hukum
yang memuat ketentuan tentang pidana perekonomian, lahirnya Undang-undang Perlindungan
Konsumen menunjukan bahwa kegiatan atau aktivitas perdagangan dan perekonomian telah
berkembang sedemikian rupa dan kompleks sehingga kehadiran Undang-Undang
No.7/DRT/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi dirasa tidak lagi mumpuni dalam
meminimalisir itikad jahat pelaku ekonomi terhadap konsumen.
Kehadiran UUPK jelas memperkaya khazanah Hukum Pidana Ekonomi Indonesia dan
membuatnya selalu dinamis dan tidak tertinggal di belakang dalam mengikuti perkembangan
social yang ada pada masyarakat. Mengingat sesungguhnya tujuan diadakannya Hukum
Pidana Ekonomi bukanlah hanya untuk menerapkan norma hukum dan menjatuhkan sanksi
hukum pidana sekedar sebagai pencegahan atau pembalasan, akan tetapi mempunyai tujuan
jauh untuk membangun perekonomian dan mengejar kemakmuran untuk seluruh rakyat
sebagaimana disebutkan oleh Prof. Bambang Purnomo.
CONTOH KASUS :
Di Surabaya, seorang advokat menggugat Lion selaku pemilik Maskapai Penerbangan
Wings Air di karena penerbangan molor 3,5 jam. Maskapai tersebut digugat oleh seorang
advokat bernama DAVID ML Tobing. DAVID, lawyer yang tercatat beberapa kali menangani
perkara konsumen, memutuskan untuk melayangkan gugatan setelah pesawat Wings Air
(milik Lion) yang seharusnya ia tumpangi terlambat paling tidak sembilan puluh menit.
Kasus ini terjadi pada 16 Agustus lalu ia berencana terbang dari Jakarta ke Surabaya,
pukul 08.35 WIB. Tiket pesawat Wings Air sudah dibeli. Hingga batas waktu yang tertera di
tiket, ternyata pesawat tak kunjung berangkat. DAVID mencoba mencari informasi, tetapi ia
merasa kurang mendapat pelayanan. Pendek kata, keberangkatan pesawat telat dari jadwal.
DAVID menuding Wings Air telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan
keterlambatan keberangkatan dan tidak memadainya layanan informasi petugas maskapai itu
di bandara. Selanjutnya DAVID mengajukan gugatan terhadap kasus tersebut ke pengadilan
untuk memperoleh kerugian serta meminta pengadilan untuk membatalkan klausul baku yang
berisi pengalihan tanggung jawab maskapai atas keterlambatan, hal mana dilarang oleh
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Sebagai maskapai penerbangan swasta terbesar di Indonesia, Lion Air bolak-balik mendapat
komplain dari penumpang. Bahkan tidak sedikit komplain ini masuk hingga ke pengadilan.
Dalam catatan detikcom, Selasa (4/9/2012), perusahaan berlogo kepala singa ini pernah
digugat Rp 10 miliar oleh pengusaha De Neve Mizan Allan. Pengusaha di bidang otomotif ini
menuduh Lion Air telah melakukan refund tiket pesawat miliknya tanpa persetujuannya.

Tidak terima, lalu Lion Air menggugat balik penumpang tersebut. Lion Air menuding
penggugat sebagai penyebab keterlambatan penerbangan dari Bandara Ngurah Rai menuju
Soekarno-Hatta. Lion Air menuntut penggugat membayar biaya avtur selama 20 menit
sebesar Rp 11,6 juta, pemeliharaan pesawat sebesar US$ 36,6 dan menuntut ganti rugi gaji
pilot senilai US$ 73,3 dan biaya extend bandara Rp 1 juta.

Analisa Kasus di atas

Untuk menganalisa kasus tersebut lebih jauh sebagai suatu tindak pidana ekonomi maka
harus dikaji terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan hukum pidana ekonomi dan
Hukum Perlindungan Konsumen sebagai salah satu bentuk Hukum Pidana Ekonomi dalam
arti luas, bahwa yang dimaksud dengan Hukum Pidana Ekonomi sebagaimana disebutkan
oleh Prof. Andi Hamzah adalah bagian dari Hukum Pidana yang mempunyai corak tersendiri,
yaitu corak-corak ekonomi. Hukum tersebut diberlakukan untuk meminimalisir tindakan yang
menghambat perekonomian dan kemakmuran rakyat. Dalam Hukum Pidana Ekonomi, delik
atau tindak pidana ekonomi dibagi dalam 2 bentuk yakni delik atau tindak pidana ekonomi
dalam arti sempit maupun delik atau tindak pidana ekonomi dalam arti luas. Yang dimaksud
dengan tindak pidana ekonomi dalam arti sempit adalah tindak pidana ekonomi yang secara
tegas melanggar Undang-Undang 7/DRT/1955. Sedangkan yang dimaksud dengan tindak
pidana ekonomi dalam arti luas adalah tindak pidana yang bertentangan dengan Undang-
Undang 7/DRT/1955 serta undang-undang lain yang mengatur tentang tindak pidana
ekonomi.
Dalam kasus yang menimpa DAVID, Tindakan yang dilakukan oleh pihak Manajemen
Wings Air dengan mencantumkan klausula baku pada tiket penerbangan secara tegas
merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum perlindungan konsumen, sehingga
terhadapnya dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana ekonomi dalam arti luas.
Bila berbicara tentang hukum perlindungan konsumen maka kita harus pula membicarakan
tentang UU. RI No. 8 Tahun 1999 (UUPK). UUPK lahir sebagai jawaban atas pembangunan
dan perkembangan perekonomian dewasa ini. Konsumen sebagai motor penggerak dalam
perekonomian kerap kali berada dalam posisi lemah atau tidak seimbang bila dibandingkan
dengan pelaku usaha dan hanya menjadi alat dalam aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan
yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha. Berdasarkan Penjelasan umum atas Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa faktor utama yang menjadi
kelemahan konsumen dalam perdagangan adalah tingkat kesadaran konsumen masih amat
rendah yang selanjutnya diketahui terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan
konsumen. Mengacu pada hal tersebut, UUPK diharapkan menjadi landasan hukum yang kuat
bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan
upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Sehingga
diharapkan segala kepentingan konsumen secara intigrative dan komprehensif dapat
dilindungi.
Perlindungan konsumen sebagaimana pasal 1 ayat (1) menyebutkan arti dari
perlindungan konsumen yakni : segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi kepada konsumen. Sedangkan arti yang tidak kalah penting ialah Konsumen, yakni
setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan. Kata tidak diperdagangkan ini berarti konsumen yang dilindungi ialah
konsumen tingkat akhir dan bukanlah konsumen yang berkesempatan untuk menjual kembali
atau reseller consumer. Asas yang terkandung dalam UU Perlindungan Konsumen dapat
dibagi menjadi menjadi 5 asas utama yakni :

1. Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan


konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan
pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan
kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku
usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan dan
keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin
kepastian hukum. Perlindungan konsumen sesuai dengan pasal 3 Undang-undang
Perlindungan Konsumen, bertujuan untuk Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan
kemandirian konsumen untuk melindungi diri, Mengangkat harkat dan martabat konsumen
dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa,
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-
haknya sebagai konsumen, Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi,
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen
sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha, Meningkatkan
kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau
jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen. Sedangkan ketentuan
mengenai sangsi pidana dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diatur dalam 3
pasal yakni Pasal 61, 62 dan 63. Hukum pidana berlaku secara Ultimuum Remedium
mengingat penyelesaian sengketa konsumen dalam UUPK juga mengenal adanya
penyelesaian melalui alternative penyelesaian sengketa, Hukum Administrasi dan Hukum
Perdata. Tindakan Wings Air mencantumkan Klausula baku pada tiket penerbangan yang
dijualnya, dalam hal ini menimpa DAVID, secara tegas bertentangan dengan Pasal 62 Jo.
Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen dimana
terhadapnya dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak RP.
2.000.000.000,- ,namun dengan tidak mengesampingkan prinsip Ultimum Remedium. Yang
dimaksud dengan Klausula baku adalah segala klausula yang dibuat secara sepihak dan berisi
tentang pengalihan tanggung jawab dari satu pihak kepada pihak yang lain. Sebagaimana
ditentukan berdasarkan Pasal 18 UUPK yakni:
a. Pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang
membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila
menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
b. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat
atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
c. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian
yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat dinyatakan batal
demi hukum.
d. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang
ini. Selanjutnya berdasarkan penjelasan Pasal 18 ayat (1) UUPK disebutkan bahwa tujuan dari
pelarangan adalah semata-mata untuk menempatkan kedudukan Konsumen setara dengan
pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Selain itu khusus mengenai
penerbangan, berdasarkan konvensi Warsawa ditentukan perusahaan penerbangan tidak boleh
membuat perjanjian yang menghilangkan tanggung jawabnya. Dalam kasus disebutkan
bahwa, pada tiket penerbangan yang diperjualbelikan memuat klausul Pengangkut tidak
bertanggung jawab atas kerugian apapun juga yang ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau
keterlambatan pengangkutan ini, termasuk segala kelambatan datang penumpang dan/atau
kelambatan penyerahan bagasi. Berdasarkan pendapat saya, hal tersebut jelas merupakan
suatu bentuk klausula baku mengingat klausul yang termuat dalam tiket tersebut dibuat secara
sepihak oleh pihak Manajemen Wings Air yang berisikan pengalihan tanggungjawab dalam
hal terjadi kerugian dari pihak manajemen kepada penumpang. Atas dimuatnya klausula
tersebut jelas dapat merugikan kepentingan konsumen. Penyedia jasa dapat serta merta
melepaskan tanggungjawabnya atas kerugian yang timbul baik yang ditimbulkan oleh
penyedia jasa sendiri maupun konsumen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tindakan yang
dilakukan oleh Wings Air selaku peusahaan milik Lion Air bertentangan dengan pasal 18
UUPK dan Konvensi Warsawa tentang penerbangan.
Terkait dengan penegakan hukum perlindungan konsumen, khususnya mengenai pelarangan
pemasukan Klausula Baku dalam setiap aktivitas perdagangan, menurut pendapat saya belum
berjalan dengan efektif dan sesuai harapan. Disana-sini penggunaan klausula tersebut masih
marak dan cukup akrab dalam setiap aktivitas perekonomian. Selain itu, sampai sejauh ini pun
penggunaan sangsi pidana belum pernah diterapkan dalam setiap tindakan pencantuman
klausula baku. Hal tersebut menurut pendapat saya merupakan indikator bahwa Undang-
Undang No.8 Tahun 1999 belum ditaati dan diterapkan dengan baik melainkan sejauh ini baru
samapi pada tahap pemahaman dan sosialisasi. Dapat disimpulkan, sebagai bagian dari hukum
yang memuat ketentuan tentang pidana perekonomian, lahirnya Undang-undang Perlindungan
Konsumen menunjukan bahwa kegiatan atau aktivitas perdagangan dan perekonomian telah
berkembang sedemikian rupa dan kompleks sehingga kehadiran Undang-Undang
No.7/DRT/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi dirasa tidak lagi mumpuni dalam
meminimalisir itikad jahat pelaku ekonomi terhadap konsumen.
Kehadiran UUPK jelas memperkaya khazanah Hukum Pidana Ekonomi Indonesia dan
membuatnya selalu dinamis dan tidak tertinggal di belakang dalam mengikuti perkembangan
social yang ada pada masyarakat. Mengingat sesungguhnya tujuan diadakannya Hukum
Pidana Ekonomi bukanlah hanya untuk menerapkan norma hukum dan menjatuhkan sanksi
hukum pidana sekedar sebagai pencegahan atau pembalasan, akan tetapi mempunyai tujuan
jauh untuk membangun perekonomian dan mengejar kemakmuran untuk seluruh rakyat
sebagaimana disebutkan oleh Prof. Bambang Purnomo.

Anda mungkin juga menyukai