Anda di halaman 1dari 11

TUGAS ​REVIEW

REGIME THEORY AND URBAN POLITICS

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah PL-4042 Perencanaan dan Politik

Dosen:
Ir. Johnny Patta, MURP., Ph.D.
Nurrohman Wijaya, ST, MT, M.Sc.
Teti Armiati Argo, Ir., MES, Ph.D.

Disusun oleh:
Zahrul A. 15415078
Guntur Iqbal Kelana Suruadi 15417008
Raka Reyhananda Andi Putra 15417021
You One Van Tomi Lumbanraja 15417022
Audrina 15417041
Shafira Zanneti Zein 15417052
Hernadi 15417054
Dhea Meirizka 19017258

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


SEKOLAH ARSITEKTUR, PERENCANAAN, DAN
PENGEMBANGAN KEBIJAKAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2019
I. PENDAHULUAN
Di balik kebijakan yang dikeluarkan oleh suatu pemerintahan kota, terdapat pergerakan -
pergerakan politik yang mempengaruhi kebijakan yang ada pada kota tersebut. Lingkungan
politik perkotaan merupakan suatu fenomena dengan dinamika, permainan antaraktor yang
kompleks. Dalam buku Theories of Urban Politics (Judge dkk., 1995), dinamika antaraktor
dalam politik perkotaan dapat dijelaskan berdasarkan tiga pemahaman yang berbeda. Masing -
masing memiliki perbedaan terhadap cara pandang terhadap dinamika antar aktor yang terjadi
dalam ranah politik perkotaan. Sudut pandang pluralis, sebagaimana disebutkan oleh David
Judge (1995) dalam Theories of Urban Politics (Judge dkk., 1995), memandang bahwa
kekuasaan politik utamanya dipegang oleh masyarakat yang bergerak bersama secara
demokratis, tanpa adanya suatu elit kekuasaan yang benar - benar mendominasi perpolitikan
pada suatu daerah. Kekurangannya, teori pluralistis ini sangat idealistis. Judge (1995)
menjelaskan bahwa hingga saat ini tidak ada kota yang perpolitikannya yang benar - benar
demokratis, yang sama sekali tidak terdapat stratifikasi antar golongan dalam politik kota yang
dijadikan studi kasus, termasuk kota - kota yang disebut sebagai ‘pluralistis’.
Sudut pandang berikutnya adalah sudut pandang elitis (​elite theory​), yang di dalam buku
Theories of Urban Politics (Judge, dkk., 1995). Sudut pandang ini, sebagaimana diterangkan oleh
Harding (1995) dalam Judge dkk. (1995), memandang bahwa politik cenderung dikuasai oleh
segelintir pelaku, yang memiliki kekuasaan lebih dibandingkan dengan masyarakat kota lainnya.
Pelaku - pelaku tersebut dapat disebut sebagai golongan elit. Golongan ini kemudian
memanfaatkan kekuasaan lebih yang mereka memiliki untuk mempengaruhi pemerintahan dan
kebijakan kota, dengan harapan bahwa mereka dapat mempengaruhi kebijakan yang bermanfaat
bagi mereka ataupun golongan mereka.
Terakhir, terdapat sudut pandang rezim (rezim theory). Menurut Stoker (1995) dalam
Judge dkk. (1995), politik perkotaan kota sebenarnya merupakan koalisi antara stakeholder
masyarakat dan elit yang mendukung dan/atau didukung oleh stakeholder masyarakat tersebut.
Teori rezim ini menarik untuk dijadikan landasan kerangka analitik dalam melakukan analisis
dinamika perpolitikan yang terjadi di suatu pemerintahan kota. Hal ini dikarenakan teori rezim
menerima bahwa dalam sebuah pemerintahan kota yang berasaskan demokrasi, akan ada suatu
hubungan ketergantungan antara masyarakat dan perwakilan daripada masyarakat tersebut,
dengan elit (utamanya kalangan bisnis) yang berharap mendapatkan ​benefit dari kebijakan
pemerintahan kota. Teori ini tidak melihat perpolitikan perkotaan demokratis secara idealistis
(bahwa tidak ada golongan yang dominan mempengaruhi perpolitikan perkotaan), sebagaimana
berdasarkan teori pluralis, namun tidak pula melihat perpolitikan perkotaan dengan sudut
pandang negatif (bahwa perpolitikan perkotaan dikuasai oleh segelintir elit) sebagaimana
menurut teori elit.
Dalam makalah ini, kami membahas bagaimana kerangka analisis ​regime theory dapat
dipakai untuk menjelaskan dinamika perpolitikan kawasan perkotaan, dengan studi kasus [A]
dan [B]. Kami mencoba untuk menggunakan kerangka analisis tersebut untuk mendeskripsikan
dan menyimpulkan dinamika politik yang terjadi pada wilayah perkotaan tertentu yang kami
jadikan sebagai studi kasus. Meski demikian, tidak ada teori sosial politik yang sepenuhnya
benar dan dapat menjelaskan fenomena yang terjadi secara sepenuhnya, oleh karena itu, kami
juga mencoba memberikan kritik terhadap kerangka analisis ​regime theory.​

II. TUJUAN DAN METODE


Tujuan yang hendak dicapai dari Chapter 4 pada buku yang berjudul :Theories of Urban
Politics (Judge dkk., 1995): adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan tentang definisi ​Regime Theory dan keterkaitannya dengan politik
perkotaan.
2. Memberikan gambaran mengenai aplikasi ​Regime Theory​ pada studi kasus terpilih.
3. Memaparkan kritik mengenai ​Regime Theory yang berfungsi sebagai perbaikan
implementasi di masa berikutnya.

Adapun metode yang digunakan ialah pendekatan deskriptif dalam bentuk studi kasus.
Dari usaha melakukan deskripsi terhadap fakta yang terjadi pada studi kasus, kami dapat
mengetahui apa saja kelemahan dari Regime Theory sehingga dapat memberikan kritik terhadap
teori tersebut.
III. PEMBAHASAN

Kontribusi ​Regime Theory​ pada Politik Perkotaan


Menurut Clarence Stone (1993) , terdapat hubungan yang kompleks antara institusi
pemerintah dan nonpemerintah dalam politik perkotaan. Hubungan ini sangat luas dan menyebar
hingga mengakibatkan ketergantungan antar pihak dalam politik perkotaan pada pertengahan
1980. Sistem politik perkotaan ini tidak mengarah pada sistem satu kontrol yang intens dari satu
pihak terhadap keseluruhan kota, tetapi beberapa kontrol terbagi ke masing-masing aspek dalam
suatu segmen masyarakat. Fokusnya adalah bagaimana berbagai pihak ini saling terlibat dalam
sebuah kebijakan publik. Peran kontrol yang dimiliki sebuah negara pada akhirnya terbatasi oleh
rumitnya berbagai macam kepentingan.
Pada beberapa kondisi, Pemerintah masih dapat mengalah dalam penentuan suatu
keputusan. Di kondisi yang lain, kebijakan tersebut juga dapat dirundingkan oleh pihak yang
bersangkutan. Pada sistem perkotaan yang kompleks, kegiatan politik ini adalah sebuah usaha
tentang bagaimana institusi pemerintah dan nonpemerintah saling bekerja sama dalam suatu
pengambilan keputusan. Untuk mengakomodasi hubungannya dengan pemerintah, institusi
nonpemerintah ini membentuk suatu ​regime y​ ang diharapkan dapat turut mengambil peran
dalam suatu keputusan pemerintah. Regime ini tidak seperti institusi pemerintah yang memiliki
kuasa untuk membuat keputusan, tetapi terdapat hubungan antara institusi pemerintah dan
regime dalam menyelesaikan suatu tujuan jangka panjang. Stone mengemukakan pendapatnya
bahwa keputusan pemerintah seharusnya adalah hasil kerjasama beberapa pihak yang
merumuskan tujuan bersama. Stone juga berpendapat bahwa kunci tercapainya sebuah tujuan
dalam ​regime adalah pengetahuan tentang bagaimana cara berperilaku dalam sebuah lingkungan
sosial serta kemampuan untuk mengaplikasikan pengetahuan tersebut. Selain itu, diperlukan juga
sebuah penguasaan suatu sumber daya yang dapat menarik pihak lain untuk bekerja sama.
Di Amerika, instansi pemerintah dan perusahaan bisnis adalah dua pemegang
kepentingan utama di sebuah daerah. Berbeda dengan Amerika, negara-negara di Eropa
menggunakan tenaga profesional sebagai pegawai pemerintahan dan ikut memiliki peran dalam
pengambilan sebuah keputusan. Keberadaan sebuah ​regime diharapkan dapat melibatkan
kelompok-kelompok kecil dalam pengambilan suatu keputusan. Tak hanya itu, keberadaan
regime juga dapat membantu memastikan ketidakterlibatan suatu kelompok dalam sebuah
pengambilan keputusan.
Penyatuan berbagai pandangan dalam sistem ​regime menjadi sebuah tantangan tersendiri.
Probabilitas terwujudnya suatu tujuan harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.
Menurut Stone, komposisi dalam sebuah koalisi pemerintahan, sifat hubungan antar pihak dalam
koalisi pemerintahan, dan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing pihak dalam sebuah
koalisi pemerintahan adalah tiga faktor utama yang membentuk sebuah kebijakan politik. Pada
akhirnya, tujuan dari pendekatan Regime dalam sebuah politik di masyarakat adalah untuk
mengakomodasi berbagai pihak dalam upaya membuat sebuah kebijakan politik.
Aplikasi dari ​Regime Theory​ pada Politik Perkotaaan
Setiap kota memiliki politik perkotaan yang didominasi oleh berbagai tipe/jenis koalisi
pemerintahan atau politik rezim. ​Pluralist regimes ​didominasi oleh pemimpin politik yang
membawa kepentingan aktor privat yang berbeda-beda dan kompetitif. ​Elitist regimes
menjalankan pemerintahan dengan hubungan kuat dengan elit bisnis dengan pemimpin politik
​ engkombinasi antara pemimpin politik
yang secara keberadaannya lemah. ​Corporatist regimes m
yang kuat, yang sudah memiliki agenda yang memiliki hubungan dengan elit bisnis. ​Hyper
pluralist regime ​memandang baik pemimpin politik dan aktor privat tidak cukup kuat untuk
bekerja sama dalam pemerintahan.
Tidak ada penjelasan yang pasti mengapa pemimpin politik tertentu atau elit bisnis
bersifat kuat. Namun, ini lebih kepada jika pemimpin politiknya kuat, maka politik perkotaan
tersebut akan didominasi oleh pemimpin tersebut. Juga, tidak ada analisis ​regime y​ ang pasti
tentang kerja sama antara pemimpin pemerintah dan swasta. Sebagai contoh, dalam ​corporatist
regime, b​ agaimana pemerintah dan elit bisnis menyetujui agenda bersama dengan posisi mereka
sekarang? Selanjutnya, tidak ada perbedaan yang signifikan antara kekuasaan sebagai kontrol
sosial dan kekuatan pemerintah untuk memproduksi nilai sosial. Stone mengambil contoh politik
di Kota Atlanta yang untuk menjelaskan fenomena ini.
Kritik terhadap ​Regime Theory
Regime Theory menuai beberapa kritik pada pelaksanaannya di politik perkotaan,
sehingga diperlukan perbaikan di masa mendatang. Kritik tersebut diantaranya :
a. Perlunya kehati-hatian dalam mengartikan dan mengaplikasikan pemahaman rezim
terhadap kekuasaan
Pendekatan rezim didasarkan pada pandangan bahwa kekuasaan dalam politik perkotaan
dapat diamati dalam berbagai bentuk. Terdapat empat bentuk kekuatan dalam
pengimplementasiannya, diantaranya:
● Kekuatan sistemik, merupakan kekuatan yang mencerminkan kelebihan dan
kekurangan yang diberikan pada kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat
berdasarkan posisi mereka dalam struktur sosial ekonomi
● Kekuatan komando atau kontrol sosial, merupakan kekuatan yang melibatkan
mobilisasi sumber daya secara aktif untuk mencapai dominasi atas kepentingan
lain. Kekuatan komando memiliki keterbatasan aktivitas dan domain di sebagian
besar politik perkotaan
● Kekuatan koalisi, merupakan kekuatan yang melibatkan aktor-aktor yang tidak
berusaha untuk mendominasi tetapi lebih untuk melakukan tawar-menawar
berdasarkan kekuatan otonom mereka masing-masing
● Kekuatan kontribusi khas, kekuatan produksi sosial membentuk poros penting
dalam ​regime theory. Kekuasaan disini bertumpu pada kebutuhan akan
kepemimpinan dalam masyarakat yang kompleks dan kapasitas kepentingan
tertentu dalam koalisi untuk menyediakan kepemimpinan itu. Aksi nyata dari
kekuatan tersebut adalah dengan membangun rezim dan mencapai kapasitas untuk
memerintah. Kekuatan ini merupakan kekuatan yang disengaja dan bersifat aktif
Pendekatan rezim tidak dapat dilakukan dengan pengujian sederhana. ​Regime Theory
menyatakan bahwa hubungan sebab akibat yang mendasari pengembangan kebijakan sangat
kompleks, sehingga perlu menawarkan kerangka kerja konseptual yang luas sebagai pedoman
analisis. Studi kasus menguji kerangka dan menunjukkan penerapannya. Pengujian ini adalah
kapasitas untuk menjelaskan suatu proses daripada memprediksi hasil
b. Perlunya menempatkan​ Regime Theory s​ esuai konteks
Analisis rezim perkotaan membahas mengenai kebijakan publik yang dibentuk dengan
komposisi, hubungan, dan sumberdaya dari koalisi pemerintahan. Dilema yang sering dihadapi
oleh studi mengenai kekuatan masyarakat adalah bagaimana menempatkan analisis dengan
konteks dari proses perubahan yang lebih luas. Tantangan yang cukup krusial adalah
menghubungkan lokal dan non-lokal dari perubahan kebijakan.
Rezim dapat ditemukan di lingkungan eksternal (nasional) sebagaimana di lingkungan
lokal (cf. Horan, 1991). Kapasitas dari rezim lokal secara substansial dapat ditingkatkan dengan
akses yang mereka miliki kepada kekuatan dan sumberdaya non-lokal. Selain itu, dimensi yang
cukup krusial dari ​regime formation adalah bagaimana elit lokal mampu mengelola hubungan
pada tingkat yang tinggi dengan pemerintah dan lingkungan politik yang lebih luas. Selanjutnya,
Regime Theory h​ arus dari keluar dari jeratan lokal dengan mengurangi tingkat lokalitasnya
c. Kebutuhan untuk menjelaskan keberlanjutan rezim dan perubahannya
Pembelajaran mengenai ​Regime Theory membutuhkan eksplorasi mengenai dinamika
pada perubahan rezim dan keberlanjutan rezim. Kekuatan dari masyarakat perlu dilihat dari
sudut pandang yang dinamis.
Orr dan Stoker (1994) mengemukakan mengenai model dari transisi rezim yang
memberikan pengakuan pada kekuatan pengaruh masyarakat luar. Menurutnya, transisi rezim
dibagi ke dalam tiga tahapan, yaitu : berdirinya rezim, pendefinisian ulang cakupan dan tujuan
rezim, dan institusionalisme rezim baru. Transisi rezim tidak berjalan dengan mudah. Untuk
menantang suatu rezim merupakan tugas yang sulit. Untuk menyatukan sebuah rezim alternatif,
sebagaimana yang telah dipaparkan pada ​chapter ini, mencerminkan ekspresi kekuatan yang
patut dipertimbangkan.

IV. STUDI KASUS


1. Kota Atlanta
Stone (1989) dalam ​Regime Politics : Governing Atlanta,​ memberikan contoh analisis ​regime
theory dalam politik urban Kota Atlanta antara 1946-1988. Ia mengobservasi adanya satu ​regime
yang meskipun mengalami perubahan, tetap memiliki cara untuk berkooperasi dan komitmen
terhadap pertumbuhan ekonomi. ​Regime i​ ni mempertahankan kebijakannya melawan oposisi dan
alternatif kebijakan lainnya. Stone mengidentifikasi dua kelompok yang mendominasi ​regime
ini. Yang pertama adalah elit bisnis pusat kota seperti bank, perusahaan utilitas, ​mall​, perusahaan
koran, dan Coca Cola. Partner dalam ​regime ini adalah kekuatan politik yang direpresentasikan
oleh walikota kulit hitam. Pemimpin politik kulit hitam dapat memobilisasi pendukungnya dan
dengan bantuan dari kependetaan kulit hitam dapat membentuk posisi politik yang stabil dan
utuh. Pada akhirnya, kelompok kelas kulit menengah kulit hitamlah yang memanipulasi sumber
daya politik untuk keuntungannya. (Stoker, 1995)

2. DKI Jakarta pada Kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin


Dalam kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin (1966-1977), DKI Jakarta sempat
melakukan praktik ​Regime Politics dengan Pemprov sebagai aktor sektor formal dan pihak
swasta pemilik tempat hiburan malam sebagai aktor sektor informal. Kebijakan yang dikeluarkan
oleh Gubernur Ali Sadikin merupakan kebijakan yang kontroversial sehingga ia sempat dijuluki
gubernur maksiat. Dengan mengizinkan adanya kegiatan pelacuran dan perjudian, Gubernur Ali
Sadikin meminta pajak sebagai imbalan agar dapat melakukan pembangunan di DKI Jakarta.
(Habibah, 2013)

3. Waduk Pluit
Waduk Pluit DKI Jakarta juga menjadi salah satu praktik ​Regime Politics p​ ada masa
kepemimpinan Gubernur Joko Widodo dimana Pemprov berperan sebagai sektor formal dan
masyarakat bantaran waduk berperan sebagai sektor informal dalam praktik ini. Dalam kasus ini,
Pemprov DKI Jakarta harus merelokasi warga di sekitar bantaran waduk menuju rumah susun
yang jauh dari tempat asal dikarenakan banjir di Jakarta yang salah satu penyebabnya adalah
tidak efektifnya Waduk Pluit karena bantarannya dijadikan permukiman oleh warga sekitar.
Setelah dilakukan diskusi lebih lanjut antara Pemprov DKI, masyarakat sekitar, stakeholder, dan
berbagai organisasi, akhirnya terdapat titik tengah untuk membangun rumah susun yang
desainnya berbasis partisipasi warga. (Jamalianuri, 2014)

4. Kebijakan Reklamasi Teluk Utara, Jakarta


Pemerintah DKI Jakarta pada tahun 2014 mengundangkan kembali kebijakan
perpanjangan izin prinsip reklamasi yang dilanjutkan dengan adanya pembangunan di Teluk
Utara, Jakarta. Walaupun kebijakan ini menjadi kontroversi di tengah masyarakat karena
terindikasi dapat merugikan nelayan dan ekosistem laut di Teluk Jakarta, kebijakan ini terus
dijalankan dengan tujuan pemerintah DKI Jakarta akan mendapatkan insentif berbentuk
kontribusi tambahan dari pihak pengembang yang setelah dikonversi akan menyumbang 158
triliun rupiah untuk Jakarta dalam kurun waktu 10 tahun ke depan. (CNN Indonesia, 2019)
Kebijakan pengembangan kawasan reklamasi tertuang dalam RDTR dan RTRW yang terangkum
dalam peraturan daerah. Pihak pengembang jelas mendapatkan keuntungan pula dalam
membangun infrastruktur di kawasan reklamasi. Terjalinnya kerja sama yang bersifat saling
menguntungkan antara Pemerintah DKI Jakarta dan pengembang pembangunan reklamasi
merupakan salah satu contoh praktik ​Regime Politics ​di Indonesia. ​Corporatist regimes ​menjadi
jenis koalisi dalam kasus ini, mengingat rencana reklamasi di Teluk Jakarta sudah menjadi
agenda pemerintah dan memiliki hubungan erat dengan elit bisnis.

5. Kebijakan Pembangunan 3,9 Juta Rumah Masyarakat Berpendapatan Rendah (MBR)


dengan Skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) di Indonesia
Pembangunan 3,9 juta rumah MBR di Indonesia direncanakan menjadi agenda nasional
pada tahun 2020--2024 dengan tujuan menekan persentase ​backlog ​rumah bagi MBR di
Indonesia. Pembangunan ini diestimasikan akan membutuhkan dana hingga 780 triliun rupiah.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyiapkan strategi untuk
mengedepankan Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dalam rangka
mengurangi beban APBN dalam menanggung estimasi biaya pembangunan tersebut. Terdapat
dua pihak yang saling diuntungkan, yaitu pemerintah pusat dan pihak swasta yang nantinya akan
menjalin kerja sama. Pihak swasta akan diuntungkan dengan jenis kontrak kesepakatan
Built-Operate-Transfer (BOT) ​dan dimudahkannya pembebasan lahan untuk pembangunan
tersebut. Pemerintah pun diuntungkan karena program penekanan ​backlog akan terealisasi
dengan tidak terlalu membebani APBN. Oleh karena itu, studi kasus ini menjadi kejadian riil
adanya praktik ​Regime Politics d​ i Indonesia. Kasus ini berada dalam jenis koalisi ​pluralist
regimes, k​ arena program pembangunan rumah yang murni dari pemerintah dan pemilihan
investor dalam konsep KPBU bersifat kompetitif.

V. KESIMPULAN
Dalam regime theory, terdapat berbagai jenis koalisi pemerintahan dalam suatu kota, di
antaranya adalah ​pluralist regimes, elitist regimes, corporatist regimes, d​ an ​hyper pluralist
​ eski demikian, tidak ada penjelasan pasti mengenai alasan di balik kekuatan dan kerja
regime. M
sama pemimpin politik atau elit bisnis tertentu. Rezim dapat ditemukan baik di lingkungan
nasional dan lokal. Tidak hanya menganalisa hubungan antara pemerintah dan elit bisnis, teori
rezim juga mempelajari peran masyarakat yang dinamis. Transisi rezim dapat dibagi menjadi
tiga tahapan, yaitu berdirinya rezim, pendefinisian ulang cakupan dan tujuan rezim, dan
institusionalisme rezim baru. Kritik mengatakan bahwa regime theory perlu diaplikasikan
dengan sangat hati-hati berdasarkan konteks yang ada.
Beberapa studi kasus yang dapat dipelajari untuk memahami teori rezim adalah Kota
Atlanta, DKI Jakarta pada masa kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin, Waduk Pluit, kebijakan
reklamasi Teluk Utara Jakarta, dan kebijakan pembangunan perumahan MBR dengan skema
KPBU di Indonesia. Kota Atlanta menggambarkan cara suatu rezim mempertahankan
kedudukannya melalui kooperasi dan komitmen untuk mengembangkan ekonomi. Gubernur Ali
Sadikin mampu mendapatkan ​win - win solution yang pada akhirnya membantu pemasukan
pajak DKI Jakarta untuk keperluan pembangunan. Waduk Pluit menggambarkan kerja sama
antara pemerintah dan masyarakat dalam penataan bantaran waduk, kebijakan reklamasi Teluk
Utara Jakarta menggambarkan praktik ​corporatist regimes dengan diundangkannya rencana
reklamasi dalam RDTR dan RTRW, dan kebijakan pembangunan perumahan MBR dengan
skema KPBU menggambarkan contoh praktik ​pluralist regimes d​ i Indonesia.

VI. REFERENSI
CNN Indonesia. (2019). Polemik IMB Anies dan Pergub Reklamasi Ahok. Retrieved from
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190619103352-20-404547/polemik-imb-anies-dan-pe
rgub-reklamasi-ahok
Habibah, H. N. (2013). ​Perjudian di Jakarta Pada Masa Gubernur Ali Sadikin, 1966 - 1977​.
Hadring, A. (1995). Elite Theory and Growth Machines. In ​Theories of Urban Politics.​ London:
Sage Publications.
Horan, C. (1991). Beyond governing coalitions: analyzing urban regimes in the 1990s. ​Journal
of Urban Affairs,​ ​13(​ 2).
Jamalianuri, C. M. (2014). ​Dinamika Politik Tata Ruang Perkotaan di Jakarta (Studi Kasus
Penataan Permukiman Waduk Pluit, 2013 - 2014)​.
Judge, D. (1995). Pluralism. In ​Theories of Urban Politics​. London: Sage Publications.
Lee, R. D., & Johnson, R. W. (2013). ​Public Budgeting Systems​ (8th ed.). Jones & Bartlett.
Safutra, I. (2019). Libatkan Swasta, Bangun 3.9 Juta Rumah untuk MBR dengan skema KPBU.
Retrieved from
http://www.jawapos.com/infrastruktur/15/08/2019/libatkan-swasta-bangun-39-juta-rumah-untuk-
mbr-dengan-skema-kpbu/
Stoker, G. (1995). Regime Theory and Urban Politics. In ​Theories of Urban Politics.​ London:
Sage Publications.
Stoker, G., & Orr, M. (1994). Urban Regimes and leadership in Detroit. ​Urban Affairs Quarterly,​
30​(1).
Stone, C. (1989). ​Regime Politics: Governing Atlanta, 1946 - 1988​. Lawrence: University Press
of Kansas.
Stone, C. (1993). Urban regimes and the capacity to govern: a political economy approach.
Journal of Urban Affairs​, ​15​(1).

Anda mungkin juga menyukai