Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN ANALISIS

Kasus Undang-Undang Kajian Teori Struktural-Fungsional Gabriel Almond


Sistem Politik Indonesia
Dosen Pengampu : Dian Iskandar, S.AP.,M.A

Kelompok 2:

Arfina Putriananda 213020702080


Elsa 213020702126
Dira 213020702077
Hidayati 213010702010
Rizky Zainuri 213020702023
Lelawati 213030702175
Natalia Napitupulu 213020702070
Krisno 213020702026
Dermawanti Sipahutar 213020702138
Artha Debora M 213020702123

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2022/2023
ANALISIS KASUS UU OMNIBUS LAW

KAJIAN TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL-GABRIEL ALMOND

Politik sebagai kegiatan dikemukakan Miriam Budiardjo (1982: 8) sebagai berikut: "pada
umumnya dikatakan bahwa politik adalah pelbagai kegiatan dalam suatu sistem politik (atau
negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan
tujuan-tujuan itu". Roger H. Soltou, mengemukakan sebagai berikut:

"... the term (politics) is reserved for those common affairs are under the direction of an
authority or agency managing or controlling these affairs on behalf of, and in the name of the
community. This agency or authority we call the state".

Di mana politik terbatas pada penanganan masalah-masalah umum oleh negara dan untuk
masyarakat. Politik dihubungkan dengan lembaga yang biasa disebut negara, maka konsep
politik yang tersirat di dalamnya lebih sempit lagi. Definisi yang diungkapkan Soltou ini menjadi
perbedaan yang lebih jelas lagi dengan konsep Miriam Budiardjo, bahwa politik tidak terbatas
pada suatu kegiatan yang berkaitan dengan "decision making" (pengambilan keputusan) dan
kebijakan publik (public policies), akan tetapi mencakup tentang kegiatan kegiatan yang
bertujuan adanya perubahan-perubahan struktur masyarakat seperti adanya pergeseran kekuasaan
politik dari penguasa atau rezim ke rezim lainnya.

Perbedaan lain yang terkandung dalam definisi di atas adalah adanya gagasan sistem politik
dalam batasan Miriam Budiardjo yang tidak didapat secara eksplisit pada definisi lainnya.
Seperti sistem politik yang dikemukakan oleh Robert A. Dahl (1974: 4) adalah any persisten of
human relationship that involves, to signivicant extent, control, influence. power or authority".
Sistem politik sebagai hubungan manusia yang meliputi bentuk-bentuk kekuasaan, pengawasan,
pengaruh, maka pengertian politik tidak lagi terbatas pada negara, tapi juga mencakup bentuk-
bentuk persekutuan lainnya, seperti: perkumpulan sosial, organisasi keagamaan, dan lain-lain.

Pengertian yang melibatkan kelompok-kelompok sosial dapat membawa konflik, karena di


dalam lembaga-lembaga tersebut ada pengambilan keputusan dan kebijaksanaan umum yang
berlaku bagi seluruh kelompok atau warga. Namun hal tersebut tidak dapat ditafsirkan sama
dengan keputusan dan kebijaksanaan yang diambil dalam organisasi lembaga yang biasa disebut
negara. Tersirat bahwa konsep tersebut tidak terlepas dari aspek kelembagaan, bahwa ternyata
lebih mempengaruhi uraiannya dibanding dengan uraiannya terhadap proses pengambilan
kekuasaan dan kebijaksanaan umum yang menjadi esensi konsep politik yang dikatakannya.
Sebagai organisasi negara dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap kekuasaan
lainnya yang ada dalam masyarakat dengan melalui penerapan hukum-hukum. Karena itu semua
kekuatan sosial dalam lingkungan negara harus menempatkan dan menyesuaikan diri dengan
kerangka kekuasaan negara. Dengan kekuasaan politik di tangan kelompok pemegang kekuasaan
melaksanakan aktivitas politik dengan tujuan khusus atau bersama, mereka berusaha agar
kekuasaan tetap berada di tangan mereka dan berusaha mencapai tujuan umum dari rakyat yang
diperintah sesuai dengan nilai-nilai bersama atau hanya diakui sepihak. Dalam hal terakhir ini,
biasanya fasilitas-fasilitas yang melekat pada kedudukan dan jabatan yang dikuasai dipergunakan
untuk kepentingan golongan sendiri.

Fungsi-fungsi dan Struktur Politik

Dalam penyesuaian dan perubahan lingkungan supaya tetap hidup, maka setiap sistem politik
melaksanakan fungsi-fungsi dasar tertentu. Kata fungsi dimaksudkan adalah pengertian pelbagai;
yang salah satunya pula dalam kata the function of government adalah mengandung arti
pencapaian tujuan. Gabriel A. Almond mengungkapkan: "kegiatan politik sebagai fungsi-fungsi
politik dalam dua kategori yaitu fungsi-fungsi masukan (input function) dan fungsi-fungsi
keluaran (output function).

Fungsi-fungsi masukan (input function) adalah: "fungsi yang sangat penting dalam menentukan
cara kerjanya sistem dan yang diperlukan untuk membuat dan melaksanakan kebijakan dalam
sistem politik karena bagi Almond fungsi ini mencerminkan unsur-unsur yan penting ketimbang
fungsi output. Fungsi input politik dimaksud adalah:

a. Sosialisasi Politik
Sosialisasi antara lain berarti proses sosial yang memungkinkan seseorang menjadi
anggota kelompoknya. Oleh karena itu ia mempelajari kebudayaan kelompoknya dan
peranan dalam kelompok. Jadi dengan demikian sosialisasi politik adalah merupakan
proses sosial yang menjadikan seseorang anggota masyarakat memiliki budaya politik
kelompoknya dan bersikap serta bertindak sesuai dengan budaya politik tersebut. Dan
sosialisasi dilakukan oleh semua unsur dalam masyarakat, misalnya lingkungan
pergaulan dan pekerjaan, media massa, keluarga dan sekolah, juga instansi resmi. Dengan
demikian kebudayaan politik dapat berkembang dan terpelihara sampai pada generasi
berikutnya.
b. Rekruitmen Politik
Rekruitmen politik dimaksudkan adalah proses seleksi warga masyarakat untuk
menduduki jabatan politik dan administrasi. Menurut Gabriel A. Almond setiap sistem
politik mempunyai cara tersendiri dalam merekrut warganya untuk menduduki
kedudukan politik dan administrasi.
c. Artikulasi Kepentingan
Fungsi ini merupakan suatu proses penentuan kepentingan yang dikehendaki dari sistem
politik. Hal ini rakyat menyatakan kepentingan mereka kepada lembaga-lembaga politik
dan pemerintahan dengan melalui kelompok kepentingan yang dibentuk bersama dengan
orang lain yang memiliki kepentingan yang sama, kadang-kadang rakyat secara langsung
menyatakan keinginannya kepada pejabat pemerintahan.
d. Agresi Kepentingan
Fungsi ini adalah proses perumusan alternatif dengan jelas dengan jalan penggabungan
atau penyesuaian kepentingan yang telah diartikulasikan atau dengan merekrut calon-
calon pejabat yang menganut politik kebijaksanaan tertentu. Agresi kepentingan dapat
diselenggarakan oleh seluruh sub-sistem dari sistem politik seperti lembaga-lembaga
legislatif, eksekutif, birokrasi, media komunikasi, partai-partai politik dan kelompok
kepentingan.
e. Komunikasi Politik
Fungsi ini merupakan alat untuk penyelenggaraan fungsi-fungsi lainnya. Artinya pihak
lain mengambil bagian dalam sosialisasi politik dengan menggunakan komunikasi.
Fungsi-fungsi keluaran (output functions), meliputi fungsi-fungsi pembuatan aturan,
pelaksanaan aturan dan pengawasan azas pelaksanaan aturan-aturan. Ketiga fungsi ini
oleh Gabriel A. Almond sebagai fungsi-fungsi pemerintahan dan tidak dibahas lebih
lanjut karena pertimbangan ketidakpastian struktur formal pemerintahan umumnya
negara-negara non barat dan penyimpangan besar dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi
pemerintahan dari konstitusi. Sehubungan dengan hal di atas, di sini Almond
mengemukakan bahwa ditinggalkannya fungsi-fungsi ini disebabkan konsep yang
diajukannya kekurangan unsur yang esensial sebab fungsi pemerintahan tidak dapat
dilepaskan dari pengertian politik. Dengan demikian, maka konsepsi yang
dikemukakannya tidak komprehensif seperti yang dikehendakinya dengan menggunakan
istilah sistem. Di maksudkan dengan istilah sistem adalah "dipergunakan untuk
menunjukkan seperangkat sifat khusus yang dimiliki oleh interaksi politik, yaitu: (1)
komprehensif, (2) kebebasan, dan (3) lingkungan. Sifat komprehensif berarti bahwa
sistem politik itu mencakup seluruh interaksi yang berkenaan dengan input atau output
yang mempengaruhi penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan fisik.

Almond mengemukakan bahwa lembaga-lembaga politik yang umumnya dimiliki oleh


suatu sistem politik ada enam buah: kelompok-kelompok kepentingan, partai-partai
politik badan legislatif badan eksekutif birokrasi dan badan-badan pengadilan Struktur
politik yang dikemukakan oleh Almond tidak hanya relevan dengan sistem politik dalam
negara-negara modern tetapi juga negara-negara tradisional, Meskipun demikian konsep
Almond ini tidak harus diterapkan secara kaku, karena sebuah sistem politik dapat saja
memiliki struktur dengan lembaga yang tidak disebut olehnya atau sebaliknya. Hal ini
dapat dipahami jika dikaitkan dengan tujuan yang dimaksud oleh teori Almond yakni
sebagai kerangka analisis perbandingan.
Omnibus Law

Rencana pengesahan RUU Cipta Kerja hasil pembahasan Pemerintah dan DPR di paripurna
semakin menguat. Pemerintah mengajukan RUU ini sebagai salah satu jalan keluar mengatasi
obesitas regulasi dan mempermudah perizinan investment. RUU Cipta Kerja, semula bemama
RUU Cipta Lapangan Kerja, merupakan salah satu RUU yang disusun menggunakan metode
Omnibus Law. RUU Cipta Kerja memuat 11 klaster, 15 bab, dan 174 pasal. RUU ini berdampak
pada setidaknya 1.203 pasal dari 79 Undang-Undang. Beberapa ketentuan dari UU
Ketenagakerjaan, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Penataan Ruang.
UU Administrasi Pemerintahan akan dihapuskan. Dalam konsiderannya, RUU Cipta Kerja
disusun antara lain untuk menyerap banyak tenaga kerja,kemudahan berusaha, dan penyesuaian
berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan berusaha. Ini juga berkaitan
dengan ekspekstasi meningkatkan posisi Indonesia dalam kemudahan berusaha (case of doing
business/EoDB). Dalam rangka itu, peraturan perundang undangan dianggap menjadi hambatan,
sehingga Presiden mengusulkan penyusunan undang undangan dengan menggunakan metode
omnibus law.

Omnibus Law adalah salah satu metode penyusunan peraturan perundang-undangan yang lebih
dikenal dalam sistem hukum Common Law. Metode ini kemudian hendak diadopsi ke Indonesia
setelah Presiden Joko Widodo menyinggungnya dalam pidato pelantikan sebagai Presiden
periode kedua (2019-2024). Istilah Omnibus Law' lebih dikenal sebagai omnibus bill dalam
sistem hukum Common Law. Lema 'ominus berasal dari bahasa Latin, omnis, yang berarti untuk
semuanya, atau banyak. Omnibus law, dengan demikian, adalah hukum untuk semua. Orang
lebih memahaminya sebagai undang-undang sapu jagat.

UU Omnnibus Law

Fungsi Omnibus Law menyederhanakan peraturan perundang-undangan agar tidak memperumit


proses investasi, terutama untuk menarik korporasi asing. Begitu omnibus law ini berlaku, UU
lain di sektor terkait bisa diabaikan lewat intervensi Peraturan Pemerintah (pp). Total ada 186
Pasal dalam 15 Bab UU Cipta Kerja yang membahas upah, perizinan, hingga dampak
lingkungan dan investasi. Aturan lama yang direvisi UU Cipta Lapangan Kerja menurut
perwakilan buruh dan penggiat lingkungan disusun tanpa memuat aspirasi mereka yang
menyoroti beberapa pasal bermasalah. "Jika teman-teman ingin 100 persen diakomodir. itu tidak
mungkin. Namun, bacalah hasilnya. Akan terlihat bahwa keberpihakan kami terang benderang".
Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah, lewat surat terbuka.

Aktivis menilai, cara DPR mempercepat pembahasan dan pengesahan UU Cipta Kerja cacat
formil. "Proses pembentukan sangat tertutup, sembunyi-sembunyi, diskriminatif. Hanya
melibatkan kelompok pengusaha tanpa partisipasi tulus dari masyarakat terdampak." - Arif
Maulana, Ketua LBH Jakarta.

Catatan kritis terhadap cacat prosedural ini dalam Model Pemikiran Struktural Fungsional
Almond ini dikritisi dengan sistem politik menurutnya adalah hal yang saling ketergantungan
bukan lagi harmonisasi. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana harmonisasi ini
ditempatkan. International Environment yang menjadi penyedia lahan bagi buruh atau
masyarakat pekerja di Indonesia menjadi tidak signifikan ketergantungannya karena sama sekali
tidak menyinggung harmonisasi dari perundang-undangan. Cacat formil yang dirancang pada
UU Cipta Kerja dijabarkan sebagai berikut:

1. RUU Cipta Kerja danstate capture


Merujuk pada asas-asas formal yang digunakan sebagai pedoman dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan, RUU Cipta Kerja dinilai tidak memenuhi asas
keterbukaan (Pasal 5 UU 12/2011 jo UU Nomor 15/2019). Tentunya proses tersebut
bertentangan dengan prinsip keterbukaan yang seharusnya diterapkan sejak perencanaan,
penyusunan, pembahasan, dan pengesahan.
2. Tidak mencerminkan simplifikasi dan harmonisasi perundang-undangan
Ide simplifikasi dan harmonisasi sulit ditemukan dan terdeteksi dalam UU Cipta Kerja.
Produk hukum ini butuh ratusan peraturan pelaksana. Jumlah itu belum termasuk
munculnya "anak" peraturan pelaksana. Adanya peraturan di bawah UU ini berpotensi
disalahgunakan karena minimnya kewajiban transparansi.
3. Cipta Kerja dan sentralisasi kekuasaan
Dalam UU Cipta Kerja, hal ini dinilai banyak penumpukan kewenangan di pemerintah
pusat sehingga hal ini menjadi peringatan bagi dinamika desentralisasi yang menjadi ruh
dalam pelaksanaan kekuasaan di Indonesia. Banyaknya pemberian kewenangan pada
pemerintah pusat membuat UU Cipta Kerja rentan terhadap potensi korupsi dan
penyalahgunaan wewenang. Desentralisasi memang tidak serta merta menurunkan angka
korupsi namun setidaknya jaring pengawasan bisa diperluas dengan melibatkan banyak
pihak.
4. Potensi penyalahgunaan wewenang pada ketentuan diskresi UU Cipta Kerja dinilai
membuat lingkung diskresi menjadi sangat luas sehingga menimbulkan potensi
penyalahgunaan wewenang. Aturan ini diibaratkan sebagai cek kosong yang membuat
cakupan diskresi sangat luas tanpa pengawasan yang memadai.

Tujuan dan manfaat Omnibus Law adalah:

a. untuk mengatasi konflik peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif dan efisien;
b. untuk mkenyeragamkan kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun tingkat
daerah untuk menunjang iklim investasi;
c. untuk menjadikan pengurusan perizinan lebih terpadu, efisien dan efektif.
d. agar mampu memutus mata rantai birokrasi yang berlama-lama;
e. agar meningkatkan hubungan koordinatif antarinstansi terkait karena telah diatur dalam
kebijakan omnibus regulation yang terpadu; dan
f. agar ada jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan.

Kekuasaan politik dapat dilihat dari dua segi, yaitu: (a) Pembagian kekuasaan antara lembaga
pemerintah pusat dan lembaga pemerintah daerah. (b) Pembagian kekuasaan di antara lembaga-
lembaga pemerintahan setingkat yang berkaitan dengan fungsi-fungsi pemerintahan. Oleh karena
itu, distribusi ini bersifat kualitatif dan secara teknis distribusi kuantitatif yang dapat disebut
sebagai "pembagian kekuasaan" dan kualitatif sebagai "pemilikan kekuasaan".

Dalam sistem politik Almond, kedudukan pemerintah sangat vital, mulai dari membangun dan
mengoperasikan, menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, sampai tertuju pada proses final.
Pemerintah memiliki lembaga-lembaga khusus yang disebut struktur, seperti parlemen, birokrasi,
lembaga administrative, dan pengadilan, yang melakukan fungsi khusus pula, sehingga
pemerintah dapat dengan leluasa merumuskan, melaksanakan, dan menegakan kebijakan.
Struktur harus dikaitkan dengan fungsi, sehingga kita dapat memahami bagaimana fungsi
berproses dalam menghasilkan kebijakan dan kinerja. Sebelum kebijakan dirumuskan,beberapa
individu ataupun kelompok dalam pemerintahan atau masyarakat harus memutuskan apa yang
mereka butuhkan dan harapan dari politik. Proses politik dimulai ketika kepentingan tersebut
diungkapkan dan diartikulasikan Dengan sudut pandangan kekerasan structural, omnibus law
berpotensi memiliki fungsi sama dengan buldoser yang menumbangkan pohon-pohon dan
mengeksploitasi hutan dalam jumlah massif serta menjadi mesin yang merepresi posisi pekerja
dalam hubungan kerja industrial dengan pemilik modal. Pengesahan RUU Cipta Kerja
menambah satu catatan buruk lagi; DPR meminggirkan suara rakyat pekerja. Indonesia
mengalami krisis transparansi dalam proses pembentukan undang-undang ini. Ini problem
structural akibat representasi politik kita yang bermasalah karena terus menutup ruang partisipasi
kritis dari masyarakat. Kita perlu melihat UU Cipta Kerja ini bukan hanya sebagai sebuah
produk akhir, melainkan sebuah keseluruhan proses sejak awal perumusannya. Jika hanya
produk akhir, elemen elemen warga bangsa ini akan berdebat tak ada habisnya, tapi sebagai
keseluruhan, UU Cipta Kerja ini jelas memuat cacat-cacat demokrasi. Sebagai sebuah produk
legilasi, harus diakui, UU ini menyisakan banyak kelompok masyarakat rentan dalam praktik
implementasinya. Jika secara politik formal, proses ini dianggap telah selesai, maka secara
sosiologis, produk ini belum selesai.

RUU Omnibus Law Cipta Kerja merupakan isu startegis bagi pembangunan Indonesia. Tentunya
diperlukan diskusi yang mendalam dan memperhatikan berbagai aspirasi masyarakat sebelum
RUU ini disahkan agar produk legilasi yang dihasilkan mampu menjawab persoalan baru. Proses
politik terkait omnibus law cipta kerja jelas sekali dipaksakan tidak transparan, dan
mencurigakan sejak awal muncul sebagai gagasan hingga disahkan. Buruknya proses dan
substansi dalam UU Cipta Kerja menunjukan pemerintah dan parlemen tidak memedulikan
pentingnya prinsip dan praktik demokrasi dalam mengatasi persoalan rakyat di tengah situasi
krisis pandemic dan resesi ekonomi. Maka, sangat besar bahaya penerapan Omnibus Law Cipta
Kerja yang dipaksakan ini akan membuka jalan bagi lebih banyak lagi proses politik dan legislasi
serupa yang manipulative dan bias kepentingan oligarki. Sementara itu, besar risiko sikap ngotot
terhadap omnibus law cipta kerja ini akan memicu konflik kekerasan yang berkepanjangan di
masyarakat dan pelanggaran HAM olch negara. Harga yang harus dibayar untuk mimpi banjir
investasi versi oligarki adalah reformasi yang semakin dikorupsi dan demokrasi formal yang
tidak lagi dipercaya oleh mayoritas warga.

Pengesahan yang cacat prosedur, terkesan tergesa-gesa dan tidak wajar, tidak transparan, dan
partisipatif., waktu sidang yang tidak wajar terkait paripurna yang dimajukan. Kemudian terdapat
asumsi 'sapujahat' (re:sapu jagat) yang alih-alih menyederhanakan tata kelola, justru
dioperasionalisasikan melalui lebih dari 500 PP, sekaligus penghilangan aturan seperti izin
lingkungan serta iklim investasi yang belum tentu akan menghadirkan pertumbuhan dan
menguntungkan masyarakat banyak yang dalam hal ini hanya menangkas regulasi di sektor
ekstraktif. Selain itu, cara pandang UU ini justru melihat masalah Indonesia terletak pada kaum
buruh yang tidak mau tunduk pada race to the bottom, serta daya saing yang menekankan
fleksibilitas tenaga kerja dan upah buruh yang semurah-murahnya. Lantas, kalau alasannya
adalah memperbaiki tata kelola dan mendorong iklim usaha yang lebih baik mengapa tidak
menjawab persoalan korupsi dan perburuan rente?.

UU Cipta Kerja tentu bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. UU ini mereduksi potensi
manusia Indonesia (yang seharusnya) merdeka menjadi sekedar buruh murah yang bisa ditekan
dan dibuang kapan saja (disposable). Selain itu, UU ini juga memberi insentif bagi pengusaha
untuk mengabaikan tanggung jawab mereka terhadap kepentingan sosial bersama dan
lingkungan hidup. Kesan mengobral kepada investor asing untuk menguasai aset negara serta
merta dapat menyulitkan semua pihak dan ketidakpastian hukum yang akan terjadi. Sebagai
negara hukum terikat dengan sistem peraturan perundang undangan, maka seperi apa RUU ini
sebenarnya? Kuncinya tetap ada di Pemerintah. Kemungkinan akan tidak sinkron nya antara
pemerintah dan DPR sangat rentan terjadi sedang persiapan secara menyeluruh belum
dirumuskan naskah akademik dan draf nya. Legislasi ini menjadikan regulasi yang dinilai
terburu-buru dengan komunikasi politik yang cacat.

Namun demikian, pendekatan structural fungsional ternyata belum cukup lengkap dalam
menjelaskan fenomena perubahan politik yang ada. Faktor budaya politik sebagai bagian penting
dari sistem politik yang sangat berkaitan erat dengan sejarah perjalanan suatu bangsa. Terpisah
dari siapa yang memaknai dan mendominasi bahasa sejarah, tetap nilai-nilai historis akan
berperan penting sebagai pertanda lahirnya suatu peradaban ataupun budaya masyarakat tertentu.

Oleh karena itu, penggabungan antara pendekatan analisis sistem, pendekatan structural
fungsinal dengan sejarah akan melengkapi pemahaman kita terhadap UU Omnibus Law dengan
sistem politik Indonesia. Sehingga struktur dan fungsi terkandung dalam sistem politik: partai
politik; kelompok kepentingan; lembaga eksekutif, lembaga legislative; jajaran birokrasi; dan
lembaga pengadilan dapat kita prediksi kecendrungannya di masa mendatang.

STUDI LITERATUR :

Almond, Gabriel A. & James S. Coleman, 1970, The Politics of the Developing Areas. New

Yersey: Princeton. Sukarna. 1982. Sistem Politik, Bandung: Penerbit Alumni

Budiardjo, Meriam. 1982. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia. Mochtar M. 1982.
Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gadjah Mada, University Press.

Soltou, Rogers, 1960. An Introduction to Politik. London: Longmans, Green and co Ltd. Di
akses pada tanggal 10 Setember 2022 WIB:

http://eprints.undip.ac.id/70167/1/BUKU KONSEPSI DASAR ILMU POLITIK

Diakses pada tanggal 10 September 2022 pukul 17.35 WIB:


https://www.kompas.com/skola/read/2020/08/15/190000069/pengertian-sistem-politik?page all

Diakses pada tanggal 10 September 2022 pukul 17.35 wib:


https://republika.co.id/berita/qhqffc384/surat-terbuka-menaker-hati-saya-bersama-mereka

Anda mungkin juga menyukai