BAB I
PENDAHULUAN
Pada bulan Oktober 1991, sebuah delegasi yang terdiri dari anggota
parlemen Portugal dan 12 orang wartawan dijadwalkan akan mengunjungi provinsi Timor
Timur. Para mahasiswa telah bersiap-siap menyambut kedatangan delegasi ini. Namun
rencana ini dibatalkan setelah pemerintah Indonesia mengajukan keberatan atas rencana
kehadiran Jill Joleffe sebagai anggota delegasi itu. Joleffe adalah seorang
wartawan Australia yang dipandang mendukung gerakan kemerdekaan Fretilin.
Pemerintah Indonesia mengklaim insiden ini reaksi spontan atas kekerasan oleh
pengunjuk rasa atau "kesalahpahaman" semata. Sejumlah pihak membantahnya dengan
dua alasan utama: tentara Indonesia berkali-kali terbukti melakukan kekerasan massal di
berbagai tempat sepert Quelicai, Lacluta, dan Kraras
BAB II
ISI
Peristiwa Pembantaian Santa Cruz termasuk dalam kategori penggaran HAM berat
karena pada peristiwa ini telah terjadi kejahatan kemanusiaan dan genosida, dalam
pengkategorian ini penulis merujuk pada Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM yang menyebutkan Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi: a. Kejahatan
genosida; b. Kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kongres Amerika Serikat memangkas anggaran program pelatihan IMET untuk militer
Indonesia, tetapi penjualan senjata ke ABRI tetap berjalan. Presiden Clinton memutus kerja
sama militer dengan Indonesia pada tahun 1999.
Banyak rakyat Portugal yang menyesali keputusan pemerintah mereka yang praktis telah
meninggalkan bekas koloni mereka pada 1975. Mereka terharu oleh siaran yang melukiskan
orang-orang yang berseru-seru dan berdoa dalam bahasa Portugis. Demikian pula, banyak
orang Australia yang merasa malu karena dukungan pemerintah mereka terhadap rezim
Soeharto yang menindas di Indonesia, dan apa yang mereka lihat sebagai pengkhianatan bagi
bangsa Timor Timur yang pernah berjuang bersama pasukan Australia melawan Jepang pada
Perang Dunia II.
Peristiwa Santa Cruz melahirkan tekanan internasional terhadap Indonesia, tekanan ini
direspon Pemerintah Republik Indonesia dengan mengubah struktur kepemimpinan militer di
Timor Timur. Awal 1992 Mabes AD melalui Dewan Kehormatan Militer (DKM) memecat
Panglima Daerah Militer (Pangdam) IX Udayana, Mayjen Sintong Panjaitan, Pangkalakops
Timor berserta seluruh Asisten Pangkolakops, Danrem 164/Wira Dharma, Dandim 1827/Dili
dicopot dari jabatannnya
BAB III
KESIMPULAN
Penulis sangat menyayangkan terjadinya peristiwa berdarah ini dimasa lalu, penulis berharap
peristiwa serupa tidak boleh terjadi lagi untuk saat ini dan nanti.
Penulis sangat setuju jika para pelaku dihukum atas peristiwa berdarah ini, namun penulis
merasa aktor intelektual dibalik peristiwa ini sulit dihukum karena mereka yang dituding
sebagai pelanggar HAM saat ini berada diposisi sebagai penguasa, mereka elit penting di
pemerintahan.
Pelaku pelanggaran HAM baru dapat dihukum jika pada internal Pemerintahan telah
dibersihkan dari orang-orang yang ditenggarai sebagai pelanggar HAM, jika para pelanggar
HAM menjadi bagian dari pemerintahan maka kasus pelanggaran HAM seperti ini tidak akan
pernah selesai.
3.4 Dampak Dihukumnya Pelanggar HAM
Jika para pelanggar HAM dihukum dengan hukuman setimpal, penulis berkeyakinan itu
dapat memberikan efek jera pada pelaku dan menciptakan efek takut pada orang-orang yang
ingin melakukan pelanggaran HAM.
DAFTAR PUSTAKA :
Pembantaian Santa Cruz. (2020, Juni 9) Di Wikipedia, Ensiklopedia Bebas. Diakses pada
07:30, Desember 9, 2020, dari https://id.wikipedia.org/wiki/Pembantaian_Santa_Cruz
DH, Agung. 2018. “Tragedi Santa Cruz dan Sejarah kekerasan Indonesia di Timor Leste”
https://tirto.id/tragedi-santa-cruz-dan-sejarah-kekerasan-indonesia-di-timor-leste-b4FM
diakses pada 9 Desember 2020, pukul 08:10.
Militerisme. (2019, Februari 19) di Wikipedia, Ensiklopedia Bebas. Diakses pada 08:00,
Desember 9, 2020. Dari https://id.wikipedia.org/wiki/Militerisme