Anda di halaman 1dari 6

TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER

PELANGGARAN HAM PEMBANTAIAN SANTA CRUZ 1991

Ditulis oleh : BUJUK APRINDU


NIM : 11200942

Program Studi Manajemen


Fakultas Bisnis
Universitas Kristen Duta Wacana
2020
PEMBANTAIAN SANTA CRUZ 1991

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada bulan Oktober 1991, sebuah delegasi yang terdiri dari anggota
parlemen Portugal dan 12 orang wartawan dijadwalkan akan mengunjungi provinsi Timor
Timur. Para mahasiswa telah bersiap-siap menyambut kedatangan delegasi ini. Namun
rencana ini dibatalkan setelah pemerintah Indonesia mengajukan keberatan atas rencana
kehadiran Jill Joleffe sebagai anggota delegasi itu. Joleffe adalah seorang
wartawan Australia yang dipandang mendukung gerakan kemerdekaan Fretilin.

Pembatalan ini menyebabkan kekecewaan mahasiswa pro-kemerdekaan yang berusaha


mengangkat isu-isu perjuangan di Timor Timur. Kekecewaan ini menyebabkan situasi
memanas antara pihak pemerintah Indonesia dan para mahasiswa. Puncaknya pada
tanggal 28 Oktober, pecah konfrontasi antara aktivis pro-integrasi dan kelompok pro-
kemerdekaan yang pada saat itu tengah melakukan pertemuan di gereja Motael Dili. Pada
akhirnya, Afonso Henriques dari kelompok pro-integrasi tewas dalam perkelahian dan
seorang aktivis pro-kemerdekaan, Sebastião Gomes yang ditembak mati oleh tentara
Indonesia

Saat tentara Indonesia berhadap-hadapan dengan pengunjuk rasa, beberapa demonstran


dan seorang mayor, Geerhan Lantara, ditusuk. Stahl mengklaim Lantara menyerang
pengunjuk rasa, termasuk seorang anak perempuan yang mengibarkan bendera Timor
Leste. Aktivis FRETILIN, Constâncio Pinto, mengatakan beberapa orang mengaku
dipukuli oleh tentara dan polisi Indonesia. Saat iring-iringan warga mulai memasuki areal
TPU, beberapa orang terus berunjuk rasa di depan pagar. 200 tentara dikerahkan sambil
menenteng senjata ke arah kerumunan. Di dalam TPU, tentara melepaskan tembakan ke
arah ratusan warga sipil tak bersenjata. Sedikitnya 250 warga Timor Timur tewas dalam
peristiwa ini. Salah satu korban jiwa adalah warga negara Selandia Baru, Kamal
Bamadhaj, seorang mahasiswa ilmu politik dan aktivis hak asasi manusia yang kuliah di
Australia.

Pemerintah Indonesia mengklaim insiden ini reaksi spontan atas kekerasan oleh
pengunjuk rasa atau "kesalahpahaman" semata. Sejumlah pihak membantahnya dengan
dua alasan utama: tentara Indonesia berkali-kali terbukti melakukan kekerasan massal di
berbagai tempat sepert Quelicai, Lacluta, dan Kraras

BAB II

ISI

2.1 Ideologi Pelaku Pelanggar HAM

Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menjadi pihak paling bertanggung jawab


atas pembantaian Santa Cruz, ABRI secara umum berideologi Militerisme.
Ideologis militerisme terdiri atas supremasi, loyalisme, ekstremisme, proteksionisme-darurat,
dan nasionalisme atau bentuknya yang lebih sempit yaitu patriotism dengan pembenaran
terhadap penerapan kekerasan.

2.2 Pembantaian Santa Cruz dikategorikan pelanggaran HAM berat

Peristiwa Pembantaian Santa Cruz termasuk dalam kategori penggaran HAM berat
karena pada peristiwa ini telah terjadi kejahatan kemanusiaan dan genosida, dalam
pengkategorian ini penulis merujuk pada Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM yang menyebutkan Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi: a. Kejahatan
genosida; b. Kejahatan terhadap kemanusiaan.

2.3 Dampak Pembantaian Santa Cruz pada Indonesia


Pembantaian Santa Cruz ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika Serikat, Amy
Goodman dan Allan Nairn, dan direkam oleh Max Stahl yang diam-diam membuat liputan
untuk Yorkshire Television di Britania Raya. Rekaman pembantaian ini ditayangkan di
seluruh dunia sehingga membuat pemerintah Indonesia dipermalukan. Pemberitaan ini
menunjukkan sebuah contoh bagaimana perkembangan media baru di Indonesia semakin
mempersulit rezim Orde Baru dalam mengendalikan arus informasi keluar-masuk Indonesia,
dan pada masa pasca-Perang Dingin di dekade 1990-an, pemerintah Indonesia mulai terus-
terusan menjadi bulan-bulanan internasional. Salinan rekaman pembantaian Santa Cruz
disebarkan kembali ke Indonesia agar masyarakatnya bisa melihat sendiri tindakan yang
ditutup-tutupi oleh pemerintahnya. Sejumlah kelompok mahasiswa pro-demokrasi dan pers
mahasiswa tidak hanya mulai berani membahas dan mengkritisi Timor Timur, namun juga
mengenai Orde Baru, sejarah dan masa depan Indonesia secara keseluruhan.

Kongres Amerika Serikat memangkas anggaran program pelatihan IMET untuk militer
Indonesia, tetapi penjualan senjata ke ABRI tetap berjalan. Presiden Clinton memutus kerja
sama militer dengan Indonesia pada tahun 1999.

Banyak rakyat Portugal yang menyesali keputusan pemerintah mereka yang praktis telah
meninggalkan bekas koloni mereka pada 1975. Mereka terharu oleh siaran yang melukiskan
orang-orang yang berseru-seru dan berdoa dalam bahasa Portugis. Demikian pula, banyak
orang Australia yang merasa malu karena dukungan pemerintah mereka terhadap rezim
Soeharto yang menindas di Indonesia, dan apa yang mereka lihat sebagai pengkhianatan bagi
bangsa Timor Timur yang pernah berjuang bersama pasukan Australia melawan Jepang pada
Perang Dunia II.

Pembantaian ini memaksa pemerintah Portugal untuk menggencarkan diplomasinya. Portugal


mendorong negara-negara Uni Eropa untuk menekan Indonesia, tetapi gagal. Britania Raya,
misalnya, memiliki hubungan ekonomi erat dengan Indonesia yang melibatkan penjualan
senjata.

Masyarakat Australia mengkritik pemerintahnya yang mengakui kedaulatan Indonesia atas


Timor Timur. Pemerintah Australia saat itu sudah mempererat kerja sama dengan militer
Indonesia. Pada 1999, Australia sementara memutus hubungan militer akibat kekerasan yang
terjadi usai referendum kemerdekaan tahun itu.
2.4 Respon Pemerintah Indonesia.

Peristiwa Santa Cruz melahirkan tekanan internasional terhadap Indonesia, tekanan ini
direspon Pemerintah Republik Indonesia dengan mengubah struktur kepemimpinan militer di
Timor Timur. Awal 1992 Mabes AD melalui Dewan Kehormatan Militer (DKM) memecat
Panglima Daerah Militer (Pangdam) IX Udayana, Mayjen Sintong Panjaitan, Pangkalakops
Timor berserta seluruh Asisten Pangkolakops, Danrem 164/Wira Dharma, Dandim 1827/Dili
dicopot dari jabatannnya

BAB III

KESIMPULAN

3.1 Respon Penulis sebagai Mahasiswa

Penulis sangat menyayangkan terjadinya peristiwa berdarah ini dimasa lalu, penulis berharap
peristiwa serupa tidak boleh terjadi lagi untuk saat ini dan nanti.

3.2 Pandangan Penulis terhadap hukuman pada Pelaku

Penulis sangat setuju jika para pelaku dihukum atas peristiwa berdarah ini, namun penulis
merasa aktor intelektual dibalik peristiwa ini sulit dihukum karena mereka yang dituding
sebagai pelanggar HAM saat ini berada diposisi sebagai penguasa, mereka elit penting di
pemerintahan.

3.3 Cara Pemerintah Menghukum Pelaku

Pelaku pelanggaran HAM baru dapat dihukum jika pada internal Pemerintahan telah
dibersihkan dari orang-orang yang ditenggarai sebagai pelanggar HAM, jika para pelanggar
HAM menjadi bagian dari pemerintahan maka kasus pelanggaran HAM seperti ini tidak akan
pernah selesai.
3.4 Dampak Dihukumnya Pelanggar HAM

Jika para pelanggar HAM dihukum dengan hukuman setimpal, penulis berkeyakinan itu
dapat memberikan efek jera pada pelaku dan menciptakan efek takut pada orang-orang yang
ingin melakukan pelanggaran HAM.

DAFTAR PUSTAKA :

Pembantaian Santa Cruz. (2020, Juni 9) Di Wikipedia, Ensiklopedia Bebas. Diakses pada
07:30, Desember 9, 2020, dari https://id.wikipedia.org/wiki/Pembantaian_Santa_Cruz

DH, Agung. 2018. “Tragedi Santa Cruz dan Sejarah kekerasan Indonesia di Timor Leste”
https://tirto.id/tragedi-santa-cruz-dan-sejarah-kekerasan-indonesia-di-timor-leste-b4FM
diakses pada 9 Desember 2020, pukul 08:10.

Militerisme. (2019, Februari 19) di Wikipedia, Ensiklopedia Bebas. Diakses pada 08:00,
Desember 9, 2020. Dari https://id.wikipedia.org/wiki/Militerisme

Anda mungkin juga menyukai