Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN PENDAHULUAN

ADHF + AKI

Untuk Menyelesaikan Tugas Profesi Keperawatan Medikal Bedah


Program Profesi Ners

Disusun Oleh:
Muji Palhadad, S.Kep
11194692010076

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MULIA
BANJARMASIN
2020
LEMBAR PERSETUJUAN

LAPORAN PENDAHULUAN
ADHF + AKI

Tanggal 01 Februari 2021

Disusun oleh :
Muji Palhadad, S.Kep
11194692010076

Banjarmasin, 03 Januari 2021


Mengetahui,

Preseptor Akademik, Preseptor Klinik,

(Eirene E. M. Gaghauna, S.Kep., Ns., MSN) (H. M. Sandi Suwardi, S.Kep., Ns., M.Kes)
NIK. NIP.
LAPORAN PENDAHULUAN

A. ANATOMI FISIOLOGI JANTUNG


1. Anatomi Jantung

Jantung adalah organ otot yang berongga dan berukuran sebesar kepalan
tangan. Fungsi utama jantung adalah memompa darah ke pembuluh darah
dengan kontraksi ritmik dan berulang. Jantung normal terdiri dari empat ruang,
2 ruang jantung atas dinamakan atrium dan 2 ruang jantung di bawahnya
dinamakan ventrikel, yang berfungsi sebagai pompa. Dinding yang
memisahkan kedua atrium dan ventrikel menjadi bagian kanan dan kiri
dinamakan septum.
Batas-batas jantung:
a. Kanan : vena cava superior (VCS), atrium kanan, vena cava inferior (VCI).
b. Kiri : ujung ventrikel kiri.
c. Anterior : atrium kanan, ventrikel kanan, sebagian kecil ventrikel kirI.
d. Posterior : atrium kiri, 4 vena pulmonalis.
e. Inferior : ventrikel kanan yang terletak hampir horizontal sepanjang
diafragma sampai apeks jantung.
f. Superior : apendiks atrium kiri
Darah dipompakan melalui semua ruang jantung dengan bantuan keempat
katup yang mencegah agar darah tidak kembali ke belakang dan menjaga agar
darah tersebut mengalir ke tempat yang dituju. Keempat katup ini adalah katup
trikuspid yang terletak di antara atrium kanan dan ventrikel kanan, katup
pulmonal, terletak di antara ventrikel kanan dan arteri pulmonal, katup mitral
yang terletak di antara atrium kiri dan ventrikel kiri dan katup aorta, terletak di
antara ventrikel kiri dan aorta. Katup mitral memiliki 2 daun (leaflet), yaitu leaflet
anterior dan posterior. Katup lainnya memiliki tiga daun (leaflet) .
Jantung dipersarafi aferen dan eferen yang keduanya sistem saraf simpatis
dan parasimpatis. Saraf parasimpatis berasal dari saraf vagus melalui preksus
jantung. Serabut post ganglion pendek melewati nodus SA dan AV, serta hanya
sedikit menyebar pada ventrikel. Saraf simpatis berasal dari trunkus toraksik
dan servikal atas, mensuplai kedua atrium dan ventrikel. Walaupun jantung
tidak mempunyai persarafan somatik, stimulasi aferen vagal dapat mencapai
tingkat kesadaran dan dipersepsi sebagai nyeri.
Suplai darah jantung berasal dari arteri koronaria. Arteri koroner kanan
berasal dari sinus aorta anterior, melewati diantara trunkus pulmonalis dan
apendiks atrium kanan, turun ke lekukan A-V kanan sampai mencapai lekukan
interventrikuler posterior. Pada 85% pasien arteri berlanjut sebagai arteri
posterior desenden/ posterior decendens artery (PDA) disebut dominan kanan.
Arteri koroner kiri berasal dari sinus aorta posterior kiri dan terbagi menjadi
arteri anterior desenden kiri/ left anterior descenden (LAD) interventrikuler dan
sirkumfleks. LAD turun di anterior dan inferior ke apeks jantung.
Mayoritas darah vena terdrainase melalui sinus koronarius ke atrium
kanan. Sinus koronarius bermuara ke sinus venosus sistemik pada atrium
kanan, secara morfologi berhubungan dengna atrium kiri, berjalan dalam celah
atrioventrikuler.

2. Fisiologi Jantung
Jantung dapat dianggap sebagai 2 bagian pompa yang terpisah terkait
fungsinya sebagai pompa darah. Masing-masing terdiri dari satu atrium-
ventrikel kiri dan kanan. Berdasarkan sirkulasi dari kedua bagian pompa
jantung tersebut, pompa kanan berfungsi untuk sirkulasi paru sedangkan
bagian pompa jantung yang kiri berperan dalam sirkulasi sistemik untuk
seluruh tubuh. Kedua jenis sirkulasi yang dilakukan oleh jantung ini adalah
suatu proses yang berkesinambungan dan berkaitan sangat erat untuk asupan
oksigen manusia demi kelangsungan hidupnya.
Ada 5 pembuluh darah mayor yang mengalirkan darah dari dan ke
jantung. Vena cava inferior dan vena cava superior mengumpulkan darah dari
sirkulasi vena (disebut darah biru) dan mengalirkan darah biru tersebut ke
jantung sebelah kanan. Darah masuk ke atrium kanan, dan melalui katup
trikuspid menuju ventrikel kanan, kemudian ke paru-paru melalui katup
pulmonal.
Darah yang biru tersebut melepaskan karbondioksida, mengalami
oksigenasi di paru-paru, selanjutnya darah ini menjadi berwarna merah. Darah
merah ini kemudian menuju atrium kiri melalui keempat vena pulmonalis. Dari
atrium kiri, darah mengalir ke ventrikel kiri melalui katup mitral dan selanjutnya
dipompakan ke aorta.
Tekanan arteri yang dihasilkan dari kontraksi ventrikel kiri, dinamakan
tekanan darah sistolik. Setelah ventrikel kiri berkontraksi maksimal, ventrikel ini
mulai mengalami relaksasi dan darah dari atrium kiri akan mengalir ke ventrikel
ini. Tekanan dalam arteri akan segera turun saat ventrikel terisi darah.
Tekanan ini selanjutnya dinamakan tekanan darah diastolik. Kedua atrium
berkontraksi secara bersamaan, begitu pula dengan kedua ventrikel.

B. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Definisi
ADHF (Acute Decompensasi Heart Failure) yaitu penyakit gagal
jantung akut dimana serangan nya cepat dari gejala-gejala yang diakibat
oleh abnormalnya fungsi jantung. Disfungsi dapat berupa sistolik maupun
diastolik abnormalitas irama jantung. Gagal jantung bisa terjadi pada
seseorang dengan serangan baru tanpa kelainan jantung sebelumnya
(Aaronson, 2010).
AKI (akut kidney injury) merupakan suatu kondisi ketika ginjal
berhenti berfungsi secara tiba-tiba. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh
gangguan aliran darah ke ginjal, gangguan pada ginjal atau masalah
sumbatan pada saluran urine
2. Etiologi
ADHF
Menurut Wijaya & Putri (2013) terjadinya gagal jantung dapat disebabkan :
a. Disfungsi miokard (kegagalan miokardial)
Kegagalan miokard berkontraksi mengakibatkan isi sekuncup dan curah
jantung (cardiac output) terjadi menurun.
b. Beban tekanan berlebihan pembebanan sistolik (systolic overload)
Beban berlebihan pada kemampuan ventrikel menyebabkan
pengosongan ventrikel terhambat.
c. Beban volum berlebihan pembebanan diastolic (diastolic overload)
d. Preload yang berlebihan dan melampaui kapasitas ventrikel (diastolic
overload) akan menyebabkan volum dan tekanan pada akhir diastolic
dalam ventrikel meninggi.
e. Gangguan pengisian (hambatan input)
Hambatan dalam pengisian ventrikel dikarenakan gangguan pada aliran
masuk ventrikel akan menyebabkan pengeluaran ventrikel yang
berkurang sehingga curah jantung terjadi penurunan.
f. Hipertensi Sistemik / Pulmonal
Peningkatan beban kerja jantung mengakibatkan pengecilan serabut
otot jantung. Efeknya (hipertrofi miokard) sebagai mekanisme
kompensasi karena meningkatkan kontraktilitas jantung.
g. Penyakit jantung
Penyakit jantung lain seperti stenosis katup semilunar, temponade
perikardium, perikarditis konstruktif, stenosis katup AV.
h. Aterosklerosis Koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah
ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam
laktat)
i. Peradangan
Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung
merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.

AKI
Penyebab gagal ginjal akut secara garis besar dibagi menjadi 3
bagian, yaitu prerenal (gagal ginjal sirkulatorik), renal (gagal ginjal intrinsik),
dan post renal (uropati obstruksi akut)[Itsdana, 2012]
a. Prerenal
Penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa
menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal. Penyebab hipoperfusi
ginjal adalah :
1) Hipovolemia
Perdarahan atau kehilangan cairan melalui saluran gastrointestinal,
kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular, kerusakan
jaringan (pankreatitis), hipoalbuminemia, obstruksi usus, kehilangan
darah, kehilangan cairan ke luar tubuh, melalui saluran cerna
(muntah, diare, drainase), melalui saluran kemih (diuretik,
hipoadrenal, diuresis osmotik), melalui kulit (luka bakar)
2) Penurunan curah jantung : penyebab miokard: infark, kardiomiopati,
penyebab perikard: tamponade, penyebab vaskular pulmonal:
emboli pulmonal, aritmia, penyebab katup jantung
3) Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik : penurunan
resistensi vaskular perifer, sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam
dosis berlebihan (contoh: barbiturat), vasodilator (nitrat,
antihipertensi), vasokonstriksi ginjal, hiperkalsemia, norepinefrin,
epinefrin, siklosporin, takrolimus, amphotericin B, hipoperfusi ginjal
lokal, stenosis a.renalis, hipertensi maligna
4) Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal : kegagalan
penurunan resistensi arteriol aferen, perubahan struktural (usia
lanjut, aterosklerosis, hipertensi kronik, PGK (penyakit ginjal kronik),
hipertensi maligna), penurunan prostaglandin (penggunaan OAINS,
COX-2 inhibitor), vasokonstriksi arteriol aferen (sepsis,
hiperkalsemia, sindrom hepatorenal, siklosporin, takrolimus,
radiokontras), kegagalan peningkatan resistensi arteriol eferen,
penggunaan penyekat ACE, ARB, Stenosis renalis
5) Sindrom hiperviskositas : mieloma multipel, makroglobulinemia,
polisitemia
b. Renal
AKI renal atau disebut renal intrinsik dapat disebabkan karena beberapa
keadaan, yaitu :
1) Obstruksi renovaskular : obstruksi renalis (plak aterosklerosis,
thrombosis emboli, diseksi aneurisma, vaskulitis), obstruksi v.renalis
(trombosis, kompresi)
2) Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal : glomerulonefritis,
vaskulitis
3) Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN), iskemia
(serupa AKI prarenal), toksin, eksogen (radiokontras, siklosporin,
antibiotik, kemoterapi, pelarut organik, asetaminofen), endogen
(rabdomiolisis, hemolisis, asam urat, oksalat, mieloma)
4) Nefritis interstitial : alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril),
infeksi (bakteri, viral, jamur), infiltasi (limfoma, leukemia,
sarkoidosis), idiopatik
5) Obstruksi dan deposisi intratubular : protein mieloma, asam urat,
oksalat, asiklovir, metotreksat, sulfonamide
6) Rejeksi alograf ginjal
c. Pascarenal
1) Obstruksi ureter : batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan,
kompresi eksternal
2) Obstruksi leher kandung kemih : kandung kemih neurogenik,
hipertrofi prostat, batu, keganasan, darah
3) Obstruksi uretra : striktur, katup kongenital, fimosis
4) Kelainan kongenital, yaitu katuo uretra posterior; obstruksi ureter
bilateral pada hubungan ureterovesika atau ureteropelvis
5) Didapat : batu atau bekuan darah (bilateral), kristal asam jengkol,
asam urat.
6) Tumor : diagnosis dapat ditegakkan dengan USG ginjal dengan
menemukan dilatasi pelviokalises pada kedua ginjal. Di antaranya
tumor prostat, tumor buli, tumor serviks yang menyebabkan
obstruksi saluran kemih

3. Klasifikasi
Gagal jantung diklasifikasikan menurut American College of Cardiology
(ACC) dan American Heart Association (AHA) terbagi atas atas 4 stadium
berdasarkan kondisi predisposisi pasien dan derajat keluhannya yaitu :
a. Stage A : Risiko tinggi gagal jantung, tetapi tanpa penyakit jantung
struktural atau tanda dan gejala gagal jantung. Pasien dalam stadium ini
termasuk mereka yang mengidap hipertensi, DM, sindroma metabolik,
penyakit aterosklerosis atau obesitas.
b. Stage B : penyakit jantung struktural dengan disfungsi ventrikel kiri yang
asimptomatis. Pasien dalam stadium ini dapat mengalami LV
remodeling, fraksi ejeksi LV rendah, riwayat IMA sebelumnya, atau
penyakit katup jantung asimptomatik.
c. Stage C : Gagal jantung simptomatis dengan tanda dan gejala gagal
jantung saat ini atau sebelumnya. Ditandai dengan penyakit jantung
struktural, dyspnea, fatigue, dan penurunan toleransi aktivitas.
d. Stage D : Gagal jantung simptomatis berat atau refrakter. Gejala dapat
muncul saat istirahat meski dengan terapi maksimal dan pasien
memerlukan rawat inap.

4. Patofisiologi
Adhf dapat muncul pada organ yang sebelumnya menderita gagal
jantung atau belum pernah mengalami gagal jantung, etiologi adhf dapat
bersumber dari kardiovaskuler maupun non kardiovaskuler, etiologi ini
beserta dengan faktor presipitasi lainnya akan menimbulkan kelainan atau
kerusakan pada jantung akibat oleh proses iskemia miokad atau hipertropi
remodeling otot jantung atau kerusakan katup jantung yang dapat
menyebabkan disfungsi ventrikel sehingga terjadi gangguan preload
maupun afterload sehingga menurunkan curah jantung. Bila curah jantung
menurun, maka tubuh akan mengeluarkan mekanisme ini melibatkan
sistem adrenalin renin angiotensin dan aldosteron sehingga terjadi
peningkatan tekanan darah akibat vasokontriksi arteriol dan retensi natrium
dan air.
Tetapi bila telah mencapai ambang batas kompensasi, maka
mekanisme ini akan terdekompensasi sehingga muncul gejala klinis yang
terganggu dari ventrikel yang terkena lalu muncul adhf.
Kelainan pada otot jantung karena berbagai sebab dapat menurunkan
kontraktilitas otot jantung sehingga menurunkan isi sekuncup dan kekuatan
kontraksi otot jantung sehingga terjadi penurunan curah jantung. Demikian
pula pada penyakit sistemik menyebabkan jantung berkompensasi
memenuhi kebutuhan oksigen jaringan. Bila terjadi terus menerus, pada
akhirnya jantung akan gagal berkompensasi sehingga mengakibatkan
penurunan curah jantung.
Hal ini akan menimbukan penurunan volume darah akibatnya terjadi
penurunan curah jantung, penurunan kontraktivitas miokard pad ventrikel
kiri (apabila terjadi infark di ventrikel kiri) akan menyebabkan peningkatan
beban ventrikel kiri. Hal ini disebabkan karena penurunan kontraktivitas
disertai dengan peningkatan venous return ( aliran darah balik vena). Hal
ini tentunya akan meningkatkan bedungan darah diparu-paru. Bendungan
akan mengakibatkan airan ke jaringan dan alveolus paru terjadi edema
pada paru. Edema ini tentunya akan menimbulkan gangguan pertukara gas
diparu-paru.
Tanda dominan ADHF yaitu tekanan arteri dan vena meningkat.
Tekanan ini mengakibatkan peningkatan tekanan vena pulmonalis
sehingga cairan mengalir dari kapiler ke alveoli dan terjadilah odema paru.
Odema paru mengganggu pertukaran gas di alveoli sehingga timbul
dispnoe dan ortopnoe. Keadaan ini membuat tubuh memerlukan energy
yang tinggi untuk bernafas sehingga menyebabkan pasien mudah lelah.
Dengan keadaan yang mudah lelah ini penderita cenderung immobilisasi
lama sehingga berpotensi menimbulkan thrombus intrakardial dan
intravaskuler. Begitu penderita meningkatkan aktivitasnya sebuah
thrombus akan terlepas menjadi embolus dan dapat terbawa ke ginjal,
otak, usus dan tersering adalah ke paru-paru menimbulkan emboli paru.
Emboli sistemik juga dapat menyebabkan stroke dan infark ginjal.
Odema paru dimanifestasikan dengan batuk dan nafas pendek disertai
sputum berbusa dalam jumlah banyak yang kadang disertai bercak darah.
Pada pasien odema paru sering terjadi Paroxysmal Nocturnal Dispnoe
(PND) yaitu ortopnoe yang hanya terjadi pada malam hari, sehingga pasien
menjadi insomnia.
5. Pathway

Aterosklerosis koroner Hipertensi sistemik dan pulmonal Peradangan Kelelahan otot jantung Penyakit lain (pada
paru/ginjal)

Disfungsi miokardium Beban kerja jantung meningkat


Tekanan darah
sistemik meningkat

Hipoksia dan asidosis Hipertropi serabut otot


jantung

Kontraktilitas otot jantung


menurun

Preload afterload meningkat

Tidak tahu tentang


Acute Decompensated Heart Failure Kurang terpapar informasi Defisit Pengetahuan
penyakitnya

Stage A Stage B Stage C Stage D

Risiko tinggi gagal jantung Penyakit jantung struktural Gagal jantung simptomatis dengan Gagal jantung simptomatis
dengan disfungsi ventrikel tanda dan gejala gagal jantung saat berat atau refrakter
kiri yang asimptomatis ini atau sebelumnya

Gagal Pompa Ventrikel Kiri Gagal Pompa Ventrikel Kanan

Tahanan diastole
Forward failure Backward failure meningkat
Curah jantung menurun Resal Flow LVED meningkat
Bendungan atrium kanan

Suplai darah jaringan Pelepasan RAA meningkat Tekanan vena


menurun Bendungan vena sistemik
pulmonari meningkat

Aldosteron meningkat
Metabolisme anaerob Tekanan kapiler paru Pembesaran vena di
meningkat hepar
Memicu ADH
Asidosis metabolik
Hepatomegali
Retensi Na + H2O Edema paru Beban ventrikel
ATP menurun kanan meningkat
Tekanan pembuluh
Volume cairan Difusi O2 dan portal meningkat
Lemah dan letih ekstraseluler meningkat CO2 di alveoli Hipertropi
terganggu ventrikel kanan
Cairan terdorong keluar
Intoleransi Aktivitas Kelebihan Volume menuju abdomen
Cairan Gangguan Penyempitan Lumen
Pertukaran
Gas Asietes

Penurunan Curah Mendesak diafragma


Jantung
Sesak Nafas
Distress Pernapasan

Ketidakefektifan Pola
Nafas

Oedema ekstremitas

Nyeri Akut Nyeri tekan


Pra Renal Renal Post Renal
Nekrosis Tubular Akut Obstruksi ureter bilateral atau
Kehilangan volume cairan tubuh unilateral ekstrinsik
Penurunan volume efektif pembuluh Nefritis interstitial akut
darah Obstruksi kandung kemih atau
Glomerulonefritis akut uretra
Redistribusi cairan
Obstruksi renovaskuler Oklusi mikrokapiler/glomerular

Nekrosis kortikal akut

Iskemia nefrotoksin

Pra renal : Penurunan aliran Renal : Kerusakan sel Post Renal : Kerusakan
darah ginjal tubulus glomerulus

peningkatan pelepasan Obstruksi Kebocoran Penurunan ultrafiltrasi


NaCl ke makula densa tubulus filtrat glomerulus

Penurunan GFR
Acute Kidney Injury

↑ konsentrasi ↓ urine output (UO) Terjadi kerusakan


serum yang pada tubule untuk
diekskresikan ginjal mengkonsentrasikan
urin
Retensi pH↓
cairan
Urea,kreatinin, interstitial ↑
dan asam urat ↑ pengeluaran
Asidosis jumlah urin
metabolik secara bertahap

Mengalir Edema paru


bersama
aliran darah
MK: Hipovolemia
MK :Pola nafas tidak
efektif
Aliran darah
sampai ke otak,
shg dapat
menembus
sawar otak

MK : Risiko
Syok
6. Tanda Gejala
ADHF
a. Sesak nafas (dyspnea) muncul saat istirahat dan beraktivitas
b. Ortopnue yaitu saat berbaring sesak nafas, memerlukan posisi tidur
setengah duduk dengan menggunakan bantal lebih dari satu.
c. Paroxysmal Nocturnal Dyspneu (PND) yaitu tiba-tiba pada malam
hari terasa sesak nafas dan disertai batuk-batuk
d. Takikardia dan berdeber-debar
e. Batuk-batuk terjadi akibat edema pada broncus dan penekanan
pada broncus oleh atrium kiri yang dilatasi. Batuk sering berupa
yang basah, berbusa dan disertai bercak darah. Bunyi tambahan
seperti ronkhi dapat disebabkan oleh penumpukan cairan di paru
akibat aliran balik darah ke paru-paru
f. Mudah lelah (fatique)
g. Penumpukan cairan pada jaringan atau edema
Edema disebabkan oleh aliran darah yang keluar dari jantung
melambat, sehingga darah balik ke jantung menjadi terhambat. Hal
tersebut mengakibatkan cairan menumpuk di jaringan. Kerusakan
ginjal yang tidak mampu mengeluarkan natrium dan air juga
menyebabkan retensi cairan dalam jaringan. Penumpukan cairan di
jaringan ini dapat terlihat dari bengkak di kaki maupun pembesaran
perut (Wijaya&Putri, 2013).
AKI
a. Peningkatan konsentrasi serum urea (tetap), kadar kreatinin, dan
laju endap darah (LED) tergantung katabolisme (pemecahan
protein), perfusi renal, serta asupan protein, serum , kreatinin
meningkat pada kerusakan glomerulus.
b. Pada kasus yang datang terlambat gejala komplikasi GGA
ditemukan lebih menonjol yaitu gejala kelebihan cairan berupa
gagal jantung kongestif, edema paru, perdarahan gastrointestinal
berupa hematemesis, kejang-kejang dan kesadaran menurun
sampai koma.
c. Manisfestasi sistem saraf (lemah, sakit kepala, kedutan otot, dan
kejang).
d. Perubahan pengeluaran produksi urine (sedikit, dapat mengandung
darah, berat jenis sedikit rendah, yaitu 1.010 gr/ml)

7. Pemeriksaan Penunjang
ADHF
a. Laboratorium: hematologi (Hb, Ht, Leukosit), eritolit ( kalium, natrium,
magnesium), gula darah, analisa gas darah.
b. EKG (elektrokardiogram)
Mencatat aktivitas listrik jantung melalui elektroda menempel pada
kulit. Impuls dicatat sebagai gelombang dan ditampilkan pada monitor
atau dicetak di atas kertas. Tes ini membantu mendiagnosa masalah
irama jantung dan kerusakan jantung dari serangan jantung.
c. Ekokardiografi
Untuk mendiagnosis dan pemantauan pembesaran jantung
menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambar video
dari jantung. Dengan tes ini, empat bilik jantung dapat dievaluasi.
d. Foto rontgen dada
e. Tes darah BNP: untuk mengukur kadar hormon BNP (B-type
natriuretic peptide) yang pada gagal jantung akan meningkat.
AKI
a. Urinalisis : merupakan pemeriksaan paling penting dalam
mengevaluasi AKI :
1) Adanya granular cast, sel tubular, atau sel tubular cast sugestif suatu
nekrosis tubular akut.
2) Proteinuria dapat ditemukan pada glomerulonefritis, nefritis
interstisialis akut, nekrosis tubular, dan penyakit vaskuler
3) Hematuria, eritrosit cast menyokong suatu gangguan glomerulus.
4) Lekosituria, leukosit cast menyokong suatu pielonefritis atau nefritis
interstisial akut.
5) Adanya Kristal urat menunjukkan suatu NTA pada nefropati asam
urat, serdangkan kristal oksidat kalsium dapat tampak pada NTA
akibat keracunan etilen glikol.
6) Pada nefritis interstisial dapat ditemukan eosinofiluria.
b. Urin output : perubahan pada output urin biasanya tidak selalu
berhubungan dengan perubahan pada GFR, karena 50-60% kasus,
AKI adalah non-oliguri. ARF biasa dikategorikan sebagai AKI non-
oliguri, oliguri, dan anuri sebagai diagnosis banding :
1) Anuria (<0.5mL/kg/jam) - obstruksi saluran kencing, obstruksi arteri
renalis, RPGN, nekrosis korteks ginjal difus bilateral
2) .Oliguria (0.5-1mL/kg/jam) – Prerenal failure, hepatorenal syndrome
3) Non oliguria – nefritis interstisial akut, GNA, obstruktif nefropati
sebagian, nefrotoksik, iskemik ATN, rabdomilitis.
c. Indeks urin : untuk membedakan antara AKI prerenal dan renal. Pada
AKI prerenal fungsi reabsorbsi tubulus masih baik sehingga masih
bisa menyerap natrium dan air sehingga didapat urinnya yang pekat.
BJ tinggi (>1.020) dan osmolalitas tinggi (>400 mOsm/Kg),
sedangkan pada AKI renal karena sudah terjadi gangguan tubulus
dalam pemekatan urin maka didaopatkan BJ urin rendah (<1.020),
osmolalitas urin rendah (<400 mOsm/Kg). Cara lain yaitu
membandingkan osmolalitas urin/serum yaitu pada AKI prerenal >1,1
dan AKI renal <1,1. Pada AKI renal karena terdapat gangguan fungsi
reabsorbsi tubulus, maka kadar natrium dalam urin menjadi tinggi
yaitu >40 mEq/L, sedangkan AKI prerenal rendah <20mEq/L.
d. Elektolit urin : untuk menilai fungsi tubulus ginjal. Pemeriksaan fraksi
ekskresi natrium (FENa) yaitu fraksi filtrasi Na yang diekskresikan
dalam urin pada AKI prarenal rendah yaitu <1% menunjukkan bahwa
99% Na direabsorbsi di tubulus, sedangkan pada AKI renal tinggi
yaitu >2% menunjukkan kemampuan reabsorbsi Na berkurang. Cara
menghitung FENa adalah : FENa = (UNA/PNA)/(UCR/PCR)x100.
e. Blood Urea Nitrogen (BUN) dan kreatinin serum
Peningkatan kreatinin serum umumnya 1-2 mg/dl/hari. Peningkatan
hingga 5 mg/dl/hari dapat terjadi pada rabdomiolisis. Rasio BUN
terhadap kreatinin yang melebihi 20:1 dapat terjadi pada perdarahan
saluran cerna bagian atas, uropati obstruktif, masukan protein yang
tinggi, terapi kortikosteroid, dan kondisi hiperkatabolik.
f. Serum kreatinin berefleksi pada klirens kreatinin. Serum kreatinin
berfungsi untuk memperlihatkan gambaran produksi kreatinin dan
ukuran ekskresinya. Penilaian serum kreatinin bergantung dari berat
badan, usia, dan jenis kelamin. GFR dapat diperkirakan dengan
penghitungan sebagai berikut :
GFR mL/min = k x tinggi badan (cm) / kreatinin serum (mg/dL)
Dimana:
k = 0.33 pada bayi berat badan lahir rendah di bawah usia 1 tahun
k = 0.45 pada bayi aterm di bawah usia 1 tahun
k = 0.55 pada anak dan dewasa muda wanita
k = 0.70 pada dewasa muda pria
Perubahan serum kreatinin menggambarkan perubahan GFR.
Perubahan dari kreatinin serum berkolerasi dengan perubahan GFR
dengan gambaran sebagai berikut :
- Kreatinin 1,0 mg/dl-normal GFR
- Kreatinin 2,0 mg/dl-50% reduction in GFR
- Kreatinin 4,0 mg/dl-70-85% reduction in GFR
- Kreatinin 8,0 mg/dl-90-95% reduction in GFR
g. Darah rutin, hitung jenis leukosit, morfologi darah tepi. Dapat
ditemukan anemia akibat hemodilusi. Pansitopenia biasanya terjadi
pada Lupus Eritomatosus Sistemik.
h. Elektolit darah : dapat ditemukan hiponatremia (akibat dilusi),
hiperkalemia, hipokalsemia, hiperfosfatemia.
i. Analisi gas darah dapat ditemukan asidosis
j. Asam urat, fosfat : untuk mencari etiologi
k. Pada kecurigaan glomerulonephritis perlu diperiksa:
1) Komplemen C3 serum
2) Antibodi serum terhadap streptokokus
3) Antigen sitoplasma netrofil ( neutrophil cytoplasmic antigen, ANCA)
granulomatosis Wagner, pliarteritis mikroskopis, atau antigen
terhadap membran basalis (penyakit Good pasteur)
l. Pemeriksaan pencitraan
1) USG : untuk mengevaluasi adanya obstruktif saluran kemih. Bila
pada pemeriksaan USG didapatkan gambaran ukuran ginjal yang
mengecil menandakan adanya gagal ginjal kronis.
2) USG Doppler : untuk menilai aliran darah ginjal sehingga dapat
membantu menegakkan diagnosis adanya tromboemboli atau
penyakit renovaskuler.
3) Pencitraan radionuklir dengan technetium TC 99 m diethylentriamine
pentaacetic acid (DTPA), iodine I 131-hippuran : untuk menilai aliran
darah ginjal dan fungsi tubulus
4) Foto thoraks : untuk menilai adanya pembesaran jantung dan odema
paru sebagai tanda kelebihan cairan.
5) Bila dicurigai adanya gagal ginjal kronik dapat dilakukan foto tangan
untuk melihat tanda-tanda osteodistrofi ginjal. Pada gagal ginjal
kronik dapat terjadi kerusakan tulang yang disebut rikets ginjal atau
osteodistrofi ginjal. Hal ini disebabkan karena ginjal mempunyai
peranan metabolisme vitamin D. Vitamin D atau kolekalsiferol dirubah
dihati menjadi 25(OH)-kolkalsiferol (D3). Kemudiam baru setelah
dirubah kedua kalinya yaitu diginjal menjadi 1,25 (OH)2 D3 ia menjadi
metabolit aktif dan dapat menyerap kalsium di usus. Bila terjadi
kerusakan ginjal misal pada GGK, maka akan sedikit dibentuk
1,25(OH)2 D3 sehingga terjadi hipokalsemia. Hipokalsemia akan
merangsang kelenjar paratiroid untuk memproduksi parathormon
(PTH) dengan maksud untuk meninggikan kadar kalsium darah,
tetapi caranya dengan memobilisasi kalsium tulang sehingga terjadi
kerusakan tulang (osteodistrofi ginjal).
m. Biopsi ginjal
Dilakukan pada keadaan khusus yaitu bila dicurigai adanya
glomerulonefritis progresif cepat atau nefritis interstisial.
8. Komplikasi
a. Edema paru akut dapat terjadi pada gagal jantung kiri
b. Syok kardiogenik akibat penurunan curah jantung sehingga perfusi
jaringan ke organ vital tidak adekuat
c. Episode trombolitik, trombus terbentuk akibat immobilitas pasien dan
gangguan sirkulasi, trombus dapat menyebabkan penyumbatan
pembuluh darah
d. Efusi perikardial dan tamponade jantung dimana masuknya cairan
ke jantung perikardium, cairan dapat meregangkan pericardium
sampai ukuran maksimal. Cardiac output menurun dan aliran balik
vena ke jantung akan mengakibatkan tamponade jantung.
e. Efusi pleura
Efusi pleura merupakan hasil dari peningkatan tekanan pada
pembuluh kapiler pleura. Peningkatan tekanan menyebabkan cairan
transudate pada pembuluh kapiler pleura berpindah ke dalam pleura.
Efusi pleura menyebabkan pengembangan paru-paru tidak optimal
sehingga oksigen yang diperoleh tidak optimal.

9. Penatalaksanaan Medis
ADHF
a. Keperawatan
1) Tirah baring
Dimana akan mengurangi kerja jantung yang meningkat
sehingga tenaga jantung menurunkan tekanan darah melalui
induksi diuresis berbaring.
2) Oksigen
Pemenuhan oksigen ini akan mengurangi pada demand miokard
yang membantu memenuhi kebutuhan oksigen pada tubuh.
3) Diet
Pengaturan diet ini akan membuat ketegangan otot jantung
berkurang. Selain itu pembatasan natrium ditujukan untuk
mencegah, mengatur, atau mengurangi edema.
4) Pembatasan cairan
5) Menghindari alkohol
6) Mengurangi stress
b. Medis
1) Digitalis : untuk meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan
memperlambat frekuensi jantung misal: Digoxin
2) Diuretik : untuk memacu ekskresi natrium dan air melalui ginjal
serta mengurangi edema paru misal : Furosemide (lasix)
3) Vasodilator : untuk mengurani tekanan terhadap penyemburan
darah oleh ventrikel misal : Natriumnitrofusida, nitrogliserin
4) Angiotension Converting Enzyme Inhibitor (ACE INHIBITOR)
adalah agen yang menghambat pembentukan angiotensi II
sehingga menutunkan tekanan darah. Obat ini juga menurunkan
beban awal ( preload) dan beban akhir (afterload) misal: catropil,
ramipril, fosinopril
5) Inotropik (dopamin dan dobutamin)
Dopamin untuk meningkatkan tekanan darah, curah jantung dan
produksi urin pada syok kerdiogenik Dobutamin untuk
menstimulasi adrenoreseptor dijantung sehingga menigkatkan
penurunan tekanan darah
Pentalaksanaan AKI
Pada umumnya penatalaksanaan AKI terbagi atas terapi
konservatif, terapi suportif, dan hemodialisa / diuresis peritoneal.
a. Terapi Konservatif
Tujuan terapi konservatif untuk mencegah progresivitas overload
cairan, kelainan elektrolit, dan asam basa, penanggulangan gejala
uremia. Terapi agresif harus diberikan jika ditemukan tanda-tanda awal
disfungsi ginjal. Terapi dini tidak hanya mencegah kerusakan lebih
lanjut, tetapi dapat mengembalikan fungsi ginjal kembali jadi
normal.Untuk terapi konservatif dibagi atas beberapa tahap terapi :
1) Tahap Antisipatif
Merupakan tahap dimana dilakukan antisipasi keadaan
penyakit yang mempunyai risiko menimbulkan komplikasi AKI,
dengan syarat: tidak ada diuresis 48 jam pasca lahir pada
neonatus, adanya gambaran ostruksi saluran kemih pada USG
pranatal, dehidrasi, pemakaian obat nefrotoksik jangka panjang
atau kemoterapi, pasca bedah kardiovaskuler
2) Tahap AKI prarenal
Pada tahap ini terapi cairan dapat diberikan sesuai etiologi.
Jika pada gastroentitis dengan dehidrasi, diberikan cairan RL atau
Darrow glukosa sesuai protokol. Pada syok hemoragik diberi
tranfusi darah sedangkan pada sindrom nefrotik diberikan infus
albumin atau plasma. Jika penyebabnya tidak jelas dapat
diberikan RL 20mL/kgBB dalam waktu 1 jam, dan dapat diulang
sampai keadaan sirkulasi baik atau terjadi diuresis. Pada terapi ini
diperlukan pemantauan CVP. Jika hipovolemia diakibatkan oleh
karena kehilangan darah atau hipoproteinemia, maka cairan yang
dipakai adalah plasma ekspander (plasma fusin, polygeline,
darah). biasanya dieresis timbul setelah 2 jam.
3) Tahap AKI renal awal
Sedangkan pada tahap ini tidak responsif terhadap terapi
pemberian cairan pengganti akan tetapi responsif terhadap
diuretik. Ciri pada tahap ini terjadi rehidrasi akan tetapi oliguri.
Untuk itu dapat dilakukan diuresis paksa dengan syarat tidak
adanya obstruksi saluran kemih. Obat yang dipakai :
a) Mannitol 20% 0,5g/kgBB di infus dalam 10-20 menit, pada
satu kali pemberian
b) Furosemid 1mg/kg. Dinaikkan berganda setiap 6-8 jam
sampai 5mg/kg.
Tujuan terapi diuresis paksa ini adalah untuk merubah
keadaan AKI oligurik menjadi non-oligurik untuk memudahkan
pemberian cairan dan kalori , selain dari obat tersebut dapat
diberikan dopamin dosis rendah yaitu 5 mikrogram/kgBB untuk
meningkatkan peredaran darah ginjal. Penggunaan Fenoldopam
sebagai Dopamin alpha-1 agonis telah ditunjang dari beberapa
penelitian untuk pencegahan AKI lebih lanjut.
4) Tahap pemeliharaan
Pada fase ini terjadi AKI renal. Tujuan penanggulangan
adalah untuk menjaga homeostasis tubuh, sambil menunggu
fungsi ginjal membaik. Bila tidak berhasil maka terapi konservatif
dan dialisis harus dilanjutkan. Terapi pada tahap ini merupakan
suatu balans cairan dengan perhitungan: Jumlah cairan diberikan
= Insensible Water Loss (IWL) + jumlah urin 1 hari sebelumnya +
cairan lain yang keluar (muntah, feses, selang nasogastrik dll).
Diperlukan koreksi penambahan 12% pada setiap kenaikan suhu
1oC. Balans cairan yang dapat dikatakan baik bila hasil
pemeriksaan berat badan tiap hari turun 0,1%-0,2%. Jenis cairan
yang dipakai : Jika anuria total, hanya glukosa 10-20%. Pada
oliguria,diberikan cairan glukosa : NaCl 3:1.Jumlah protein
diberikan 0,5-1 g/kgBB/hari
b. Terapi Suportif Dan Simptomatik
Sirkulasi yang kurang baik dapat diberikan infus dopamin 5
mikrogram/kgBB/menit. Sedangkan pada hipovolemia diatasi dengan
pemberian larutan ringer laktat secara IV 20mL/kg selama 30 menit.
Pemberian cairan koloid tidak dianjurkan jika pada pasien tidak
ditemukan kehilangan darah atau hipoproteinemia. Pada penderita
oliguria yang gagal respon terhadap penambahan volume IV furosemid
dapat diberikan dosis tunggal intravena 1-2 mg/kg dengan kecepatan 4
mg/menit. Jika tak ada respon berikan dosis kedua 10mg/kg. Apabila
peningkatan urin tidak terjadi, pemberian furosemid lanjutkan
merupakan suatu kontraindikasi.
Tujuan utama dari terapi ini merupakan upaya pengurangan dari
gejala-gejala yang timbul dari AKI ini sendiri yang terdiri dari :
1) Hiperkalemia terjadi bila kadar kalium >6 mEq/L, pada keadaan
tersebut menyebabkan aritmia jantung dan kematian. Untuk terapi
dibatasi intake cairan, makanan atau obat-obatan yang
mengandung kalium sampai kondisi ginjal baik.
a) Kayeksalat (kation exchange resin) 1g/kgBB/rektal atau oral 4
kali sehari atau kalitake 3x2,5g/hari.
b) Kasium glukonas 10% 0,5mL/kgBB iv perlahan 10-15menit
c) Natrium bikarbonat 7,5% 2,5 mEq/kgBB iv dalam 10-15menit
d) Glukosa 0,5g/kgBB + insulin 0,1 U/kgBB per infus selama 30
menit
2) Hipokalsemia (tetani) : kasium glukonas 10% 0,5mL/kgBB iv
perlahan dan pantau bradikardi. Biasanya gejala ini diatasi dengan
cara menurunkan kadar fosfor serum dengan larutan Titralac dosis
awal 5-15 mL sebelum tidur, tablet Os-Cal 500 atau TUMS
kekuatan reguler dosis awal 1-3 tablet sebelum tidur
3) Hiperfosfatemia : diberikan pengikat fosfat yakni kalsium karbonat
oral 50mg/kgBB/hari
4) Asidosis terjadi akibat ekresi ion hidrogen yang tidak adekuat dan
ekresi amonia. Asidosis berat (pH arteri <7,15 bikarbonat serum <
8 mEq/L) dapat menambah iritabilitas miokardium dan
memerlukan penanganan. Asidosis dikoreksi secara parsial
melalui rute iv dengan memberikan bikarbonat yang cukup untuk
menaikkan kadar pH arteri sampai 7,2. Diberikan natrium
bikarbonat sesuai hasil analisa gas darah (ekses basa x BBx 0,3
mEq atau koreksi buta 2-3mEq/kgBB tiap 12 jam atau 0,6 x BBx
12-serum bikarbonat).
5) Kejang dapat terjadi akibat dari hiponatremia ataupun uremia
yang terjadi. Untuk tatalaksan diberi diazepam 0,3-0,5 mg
/kgBB/rektal atau iv dengan dosis rumatan luminal 4-8mg/kgBB
atau fenilhidantoin 8mg/kgBB.
6) Hipertensi terjadi akibat proses primer atau pengembangan
volume cairan ekstraseluler ataupun keduanya. Pada hipertensi
berat obat pilihan adalah diazoksid, diberikan dengan injeksi
cepat(< 10 detik) dosis 1-3 mg/kg (dosis maksimal 150 mg),
dengan cairan ini akan terlihat penurunan tekanan darah dalam
10-20 menit, jika pemberian pertama tidak mencukupi, dapat
diberikan pemberian kedua 30 menit kemudian. Sering pula
diberikan nifedipin secara cepat 0,25-0,5 mg/kg peroral. Pada
hipertensi krisis, diberikan natrium nitropruside atau labetalol.
Furosemid 1-2mg/kgBB iv juga dapat diberikan sebagai terapi dan
bila peru dikombinasikan dengan kaptopril 0,3 mg/kgBB diberi 2-3
kali sehari dll.
7) Hiponatremia terjadi bila kadar Na darah <120 mEq/L akibat
pemberian cairan hipotonis berlebihan pada penderita ARF
dengan oligoanuria. Koreksi dengan retriksi cairan. Kadar natrium
serum turun hingga dibawah 120mEq/L meningkatkan risiko
edema serebral dan perdarahan sistem saraf sentral. Infus iv NaCl
hipertonik 3% dilakukan dalam 1-4 jam untuk menaikkan kadar
natrium serum dengan rumus : 0,6 x BB(kg) x (125-natrium serum
[mEq/L].
8) Sepsis : antibiotik spektrum luas tanpa ada efek nefrotoksik
9) Edema paru : furosemid 1mg/kgBB disertai turniket dan flebotomi
dan morfin 0,1 mg/kgBB
10) Hiperurikemia: diberikan alupurinol, <8 tahun : 100-200 mg /kgBB,
>8 tahun : 200-300mg/kgBB
11) Anemia : indikasi tranfusi jika Hb <6g/dl atau Ht <20%, diberikan
PRC 10ml/kgBB dengan 10 tetes permenit agar terhindar dari
overload cairan
Untuk perbaikan AKI sendiri diet dibutuhkan yakni batasi lemak
dan karbohidrat, retriksi natrium kalium dan air. Penambahan asupan
oral kaya asam amino disarankan jika pada diet tersebut tidak
menunjukkan kemajuan.
c. Terapi Diet AKI
Prinsip utama pemberian nutrisi pada penderita AKI adalah
memberikan energy cukup dan pembatasan masukan protein, lemak,
natrium, kalium dan air. Masukan 400kkal/m2/hari sudah mencukupi
kebutuhan minimal (sesuai dengan 45-50 kkal/kgBB) dengan
komposisi karbohidrat >70% dan lemak <20%. Protein diberikan hanya
0,5-1 g/kgBB/hari. dan apabila penderita dilakukan peritoneal dialysis
protein ditingkatkan menjadi 2-2,5 g/kgBB/hari. pembatasan yang
paling utama bagi penderita AKI adalah makanan yang mengandung
banyak kalium seperti pisang, makanan banyak mengandung garam,
dan banyak mengandung fosfat seperti susu sapi.

10. Pengkajian Fokus Keperawatan


a. Pengkajian primer
1) airway
Kepatenan jalan nafas meliputi pemeriksaan obstruksi jalan
nafas, adanya benda asing, adanya suara nafas tambahan.
2) Breathing
Frekuensi nafas, apakah ada penggunaan otot bantu nafas,
retraksi dada, adanya sesak nafas, palpasi pengembangan
paru, auskultasi suara nafas, kaji adanya suara nafas tambahan.
3) Circulation
Pengkajian mengenai volume darah dan cardiac output
serta adanya perdarahan. pengkajian juga meliputi status
hemodinamik, warna kulit, nadi.

b. Pengkajian sekunder
1) Aktivitas/istirahat
a) Gejala : Keletihan/kelelahan terus menerus sepanjang hari,
insomnia, nyeri dada dengan aktivitas, dispnea pada saat
istirahat.
b) Tanda : Gelisah, perubahan status mental mis : letargi,
tanda vital berubah pada aktivitas.
2) Sirkulasi
a) Gejala : Riwayat HT, M baru/akut, episode GJK sebelumnya,
penyakit jantung, bedah jantung , endokarditis,
anemia, syok septik, bengkak pada kaki, telapak
kaki, abdomen.
b) Tanda : TD ; mungkin rendah (gagal pemompaan), Tekanan
Nadi ; mungkin sempit, Irama Jantung ;
Disritmia, Frekuensi jantung ; Takikardia , Nadi
apical ; PMI mungkin menyebar dan merubah, posisi
secara inferior ke kiri, Bunyi jantung ; S3 (gallop)
adalah diagnostik, S4 dapat, terjadi, S1 dan S2
mungkin melemah, Murmur sistolik dan diastolic,
Warna ; kebiruan, pucat abu-abu, sianotik, Punggung
kuku ; pucat atau sianotik dengan pengisian, kapiler
lambat, Hepar ; pembesaran/dapat teraba, Bunyi
napas ; krekels, ronkhi, Edema ; mungkin dependen,
umum atau pitting , khususnya pada ekstremitas
3) Integritas Ego
a) Gejala : Ansietas, kuatir dan takut. Stres yang
berhubungan dengan penyakit/keperihatinan finansial
(pekerjaan/biaya perawatan medis)
b) Tanda : Berbagai manifestasi perilaku, mis : ansietas,
marah, ketakutan dan mudah tersinggung.
4) Eliminasi
Gejala : Penurunan berkemih, urine berwana gelap, berkemih
malam hari (nokturia), diare/konstipasi.
5) Nutrisi
a) Gejala : Kehilangan nafsu makan, mual/muntah, penambhan
berat badan signifikan, pembengkakan pada ekstremitas
bawah, pakaian/sepatu terasa sesak, diet tinggi
garam/makanan yang telah diproses dan penggunaan
diuretic.
b) Tanda : Penambahan berat badan cepat dan distensi
abdomen (asites) serta edema (umum, dependen, tekanan
dn pitting).
6) Higiene
a) Gejala : Keletihan/kelemahan, kelelahan selama aktivitas
Perawatan diri.
b) Tanda : Penampilan menandakan kelalaian perawatan
personal.
7) Neurosensori
a) Gejala : Kelemahan, pening, episode pingsan.
b) Tanda : Letargi, kusut pikir, diorientasi, perubahan perilaku
dan mudah tersinggung.
8) Nyeri/Kenyamanan
a) Gejala : Nyeri dada, angina akut atau kronis, nyeri abdomen
kanan atas dan sakit pada otot.
b) Tanda : Tidak tenang, gelisah, focus menyempit danperilaku
melindungi diri.
9) Pernapasan
a) Gejala : Dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk atau
dengan beberapa bantal, batuk dengn/tanpa pembentukan
sputum, riwayat penyakit kronis, penggunaan bantuan
pernapasan.
b) Tanda :
 Pernapasan; takipnea, napas dangkal,
penggunaan otot asesori pernpasan.
 Batuk : Kering/nyaring/non produktif atau
mungkin batuk terus menerus dengan/tanpa
pemebentukan sputum.
 Sputum ; Mungkin bersemu darah, merah
muda/berbuih (edema pulmonal)
 Bunyi napas ; Mungkin tidak terdengar.
 Fungsi mental; Mungkin menurun, kegelisahan,
letargi.
 Warna kulit ; Pucat dan sianosis.
10) Interaksi sosial
Gejala : Penurunan keikutsertaan dalam aktivitas sosial yang
biasa dilakukan.
11. Diagnosa Keperawatan
a. Penurunan curah jantung
b. Pola nafas tidak efektif
c. Gangguan pertukaran gas
d. Intoleransi aktivitas
e. Nyeri akut
f. Hipervolemia
g. Defisit pengetahuan
12. Intervensi Keperawatan
DIAGNOSA
NO SLKI SIKI
KEPERAWATAN

1 Penurunan curah Curah Jantung (L.02008) Perawatan Jantung (1.02075)


jantung
Setelah dilakukan tindakan Observasi
keperawatan selama 1 x 24
1. Identifikasi tanda gejala
Jam diharapkan klien tidak
primer penurunan curah
mengalami penurunan curah
jantung
jantung dengan kriteria hasil :
2. Monitor tekanan darah
1. Gambaran EKG aritmia 3. Monitor saturasi oksigen
dari skala 3 (sedang) ke Terapeutik
skala 5 (menurun)
1. Posisikan pasien semi
2. Bradikardia dari skala 3
fowler atau fowler dengan
(sedang) ke skala 5
kaki kebawah atau posisi
(menurun)
nyaman
3. Lelah dari skala 3
2. Berikan diet jantung yang
(sedang) ke skala 5
sesuai
(menurun)
3. Fasiltasi pasien dan
keluarga untuk modifikasi
gaya hidup sehat
Edukasi

1. Anjurkan beraktivitas fisik


sesuai toleransi
2. Anjurkan berhenti merokok
2 Pola nafas tidak Pola Nafas (L.01004) Manajemen Jalan Nafas
efektif (I.01011)
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 x 24 Observasi :
Jam diharapkan eliminasi
1. Monitor pola nafas
urine pada klien membaik
(frekuensi, kedalaman,
dengan kriteria hasil :
usaha nafas)
1. Dispnea kandung kemih 2. Monitor bunyi nafas
dari skala 3 (sedang) ke tambahan
skala 5 (menurun) Terapeutik
2. Penggunaan otot bantu
1. Pertahankan kepatenan
nafas dari skala 3
jalan nafas
(sedang) ke skala 5
2. Berikan oksigen, jika perlu
(menurun)
3. Posisikan semi-Fowler atau
3. Frekuensi nafas dari
Fowler
skala 3 (sedang) ke
4. Berikan minum hangat
skala 5 (membaik)
Edukasi
4. Kedalaman nafas dari
skala 3 (sedang) ke Anjurkan asupan cairan 2000
skala 5 (membaik) ml/hari, jika tidak ada
kontraindikasi

3 Gangguan pertukaran Pertukaran Gas (L.01003) Terapi Oksigen (I.01026)


gas Setelah dilakukan tindakan Observasi
keperawatan selama 1 x 24 1. Monitor kecepatan aliran
Jam diharapkan gangguan oksigen
pertukaran gas menurun 2. Monitor posisi alat terapi
dengan kriteria hasil : oksigen
3. Monitor aliran oksigen
1. Dispnea dari skala 3
secara periodik
(sedang) ke skala 5
4. Monitor efektivitas terapi
(menurun)
oksigen

2. Bunyi nafas tambahan 5. Monitor tanda-tanda

dari skala 3 (sedang) ke hipoventilasi

skala 5 (menurun)
Terapeutik
3. Pola nafas dari skala 3 1. Pertahankan kepatenan
(sedang ke skala 5 jalan napas
(menurun) 2. Siapkan dan atur peralatan
pemberian oksigen
3. Berikan oksigen tambahan.
Jika perlu
4. Gunakan perangkat oksigen
yang sesuai dengan tingkat
mobilitas pasien
Edukasi
Ajarkan pasien dan keluarga
tentang cara menggunakan
oksigen di rumah
Kolaborasi
1. Kolaborasi penentuan dosis
oksigen
2. Kolaborasi penggunaan
oksigen saat aktivitas dan
atau tidur

4 Intoleransi aktivitas Mobilitas Fisik (L.05042) Dukungan mobilisasi (1.05173)

Setelah dilakukan tindakan Observasi :


keperawatan selama 1 x 24
3. Identifikasi adanya nyeri
Jam tingkat mobilitas klien
atau keluhan fisik lainnya
meningkat dengan kriteria
4. Monitor frekuensi jantung
hasil :
dan tekanan darah sebelum
1. Kekuatan otot dari skala 3 memulai mobilisasi
(sedang) ke 5 Terapeutik
(meningkat)
5. Fasilitasi klien dalam
2. Kelemahan fisik dari
melakukan mobilisasi
skala 4 (cukup menurun)
6. Libatkan keluarga dalam
menjadi 5 (menurun)
membantu mobilisasi klien
Edukasi

1. Jelaskan tujuan dan


prosedur mobilisasi
2. Ajarkan mobilisasi
sederhanan yang harus
dilakukan (mis; duduk
ditempat tidur, )
5 Nyeri akut Tingkat Nyeri (L.08066) Manajemen Nyeri (I.08238)

Setelah dilakukan tindakan Observasi


keperawatan selama 3 x 24
1. Identifikasi lokasi,
Jam diharapkan tingkat nyeri
karakteristrik, durasi,
klien menurun dengan kriteria
frekuensi, kualiats dan
hasil :
intensitas nyeri
1. Keluhan nyeri dari skala 2. Identitas skala nyeri
3 (sedang) ke skala 5 3. Identifikasi faktor yang
(menurun) memperberat nyeri
2. Meringis dari skala 3 Terapeutik
(sedang) menjadi 5
1. Berikan teknik non
(menurun)
farmakologis dalam
3. Gelisah dari skala 3
menangani nyeri
(sedang) menjadi 5
2. Kontrol lingkungan yang
(menurun)
memperberat rasa nyeri
4. Sikap protektif dari
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
skala 3 (sedang)
menjadi 5 (menurun)
Edukasi
1. Jelaskan strategi
mengurangi nyeri
2. Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
3. Ajarkan tehnik non
farmakologis untuk
mengurangi nyeri
Kolaborasi

Kolaboratif pemberian analgetik


sesuai order

6 Hipervolemia Keseimbangan Cairan Manajemen Jalan Nafas


(L.03020) (I.01011)

Setelah dilakukan tindakan Observasi


keperawatan selama 3 x 24
1. Periksa tanda dan gejala
Jam diharapkan tingkat nyeri
hipervolemia
klien menurun dengan kriteria
2. Identifikasi penyebab
hasil :
hipervolemia
1. Edema dari skala 3 3. Monitor status
(sedang) ke skala 5 hemodinamik
(menurun) 4. Monitor intake dan output
2. asites dari skala 3 cairan
(sedang) menjadi 5 Terapeutik
(menurun)
1. Timbang berat badan
3. Tekanan darah dari
setiap hari pada waktu
skala 3 (sedang)
yang sama
menjadi 5 (membaik)
2. Batasi asupan cairan dan
4. Berat badan dari skala
garam
3 (sedang) menjadi 5
Edukasi
(membaik)
1. Anjurkan melapor jika BB
bertambah > 1 kg dalam
sehari
2. Ajarkan cara membatasi
cairan

Kolaborasi

Kolaborasi pemberian diuretik

7 Defisit pengetahuan Tingkat Pengetahuan Edukasi Kesehatan (I.12383)


(L.12111) Observasi

Setelah dilakukan tindakan Identifikasi kesiapan dan


keperawatan selama 1 x 24
Jam diharapkan pengetahuan kemampuan menerima informasi
klien meningkat dengan
Terapeutik
kriteria hasil :
1. Sediakan materi dan
1. Verbalisasi minat dalam
media pendidikan
belajar dari skala 3
kesehatan
(sedang) ke skala 5
2. Jadwalkan pendidikan
(meningkat)
kesehatan sesuai
2. Kemampuan menjelaskan
kesepakatan
pengetahuan tentang
3. Berikan kesempatan untuk
suatu topik dari skala 3
bertanya
(sedang) ke skala 5
(meningkat) Edukasi
3. Perilaku sesuai dengan
Jelaskan faktor risiko yang dapat
pengetahuan dari skala 3
mempengaruhi kesehatan
(sedang) ke skala 5
(meningkat)
4. Pertanyaan tentang
masalah yang dihadapi
dari skala 3 (sedang) ke
skala 5 (menurun)

DAFTAR PUSTAKA
Asikin M, dkk. 2016. Keperawatan Medikal Bedah Sistem Kardiovaskuler.
Jakarta: Erlangga
Aspiani, Reny Yuli. 2015. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien
Gangguan Kardiovaskuler Aplikasi NIC & NOC. Jakarta: EGC
Black, J. M.,& Hawks, J. H. 2009. Medical surgical nursing (8ed.).
Canada: Elsevier Saubders.
Kasron. 2012. Buku Ajar Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Yogyakarta:
Nuha Medika
Nugroho T. 2011. Anatomi fisiologi Jantung dan Pembuluh Darah, ECG
Jakarta.
PPNI. 2016. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
PPNI
PPNI. 2016. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan
Tindakan Keperawatan Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
PPNI
PPNI. 2016. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan Kriteria
Hasil Keperawatan Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
PPNI
Syaifuddin. 2016. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan.
Jakarta: EGC.
Watson. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Volume 4.
Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai