Anda di halaman 1dari 58

1

PROPOSAL

PENYELENGGARAAN PEMILIHAN KEPALA KAMPUNG SERENTAK DI


KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN 2019 BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NO. 6 TAHUN 2014
TENTANG DESA

Oleh:
WINDY
NPM. ……………..

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO
2020/2021
2

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya berupa penulisan laporan
proposal penelitian ini. Penulisan ini bertujuan untuk memenuhi sebagian
persyaratan Mata Kuliah Metodologi Penelitian di Universitas Muhammadiyah
Metro Fakultas Hukum.

Proposal ini dapat terselesaikan karena petunjuk dan hidayah Allah SWT
dan bantuan dari semua pihak baik moril maupun spiritual, oleh karena itu penulis
menyampaikan rasa hormat dan terimakasih serta penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dan ikut andil dalam
penyelesaian proposal penelitian ini.

Kritikan dan saran sangat peneliti harapkan dan akan diterima dengan
lapang dada demi perbaikan proposal ini, akhirnya semoga penelitian yang
sederhana ini dapat bermanfaat untuk perkembangan ilmu pendidikan serta dapat
menjadi referensi bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Metro, Juli 2020


Penulis

Windy
NPM.

ii
3

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i


KATA PENGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Perumusan Masalah .................................................................. 7
C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian .................................................................... 8
E. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep ..................................... 9
F. Sistematika Penulisan ............................................................... 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Tinjauan Umum Tentang Pemerintah Daerah ........................... 18
B. Tinjauan Tentang Otonomi Daerah ........................................... 24
1. Pengertian Otonomi Daerah ................................................ 24
2. Prinsip-prinsip Otonomi Daerah ......................................... 26
3. Asas-asas Otonomi Daerah ................................................. 28
C. Demokrasi ................................................................................ 32
D. Penyelenggaraan Pemerintahan Kampung ................................ 38
E. Tata Cara Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Kampung .......... 42

BAB III METODE PENELITIAN


A. Jenis Penelitian ......................................................................... 50
B. Jenis dan Sumber Data ............................................................. 51
C. Teknik Pengumpulan Data ........................................................ 52
D. Teknik Pengolahan Data ........................................................... 53
E. Analisis Data ............................................................................ 53

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 55

iii
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara demokrasi telah menjadi arus utama bagi negara-negara modern.

Demokrasi berdiri berdasarkan prinsip persamaan, yaitu bahwa setiap warga

negara memiliki kesamaan hak dan kedudukan didalam pemerintahan, dalam

hal ini rakyat diberi kekuasaan untuk turut serta menentukan pemerintahaan

yakni kewenangan yang dimiliki oleh penguasa berasal dari legitimasi rakyat.1

Salah satu sarana untuk menyalurkan demokrasi adalah melalu pemilihan

umum. Secara umum pemilu merupakan media dan alat perwujudan kedaulatan

rakyat baik secara langsung (direct democracy) atau tidak langsung (indirect

democracy) untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahaan baik

ditingkat pusat, daerah, maupun di tingkat desa.

Demokrasi di desa diwujudkan dengan dilakukanya pemilihan kepala

desa secara langsung oleh masyarakat. Demokrasi dalam konteks pemilihan

kepala desa (Pilkades) dapat dipahami sebagai pengakuan keanekaragaman

serta sikap politik partisipasif dari masyarakat dalam bingkai demokratisasi

pada tingkat desa. Hal ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

tentang Desa yang mengakui dan menghormati pemerintahan desa untuk

melaksanakan hak dan kewenangan dalam mengurus rumah tangganya sesuai

dengan hak asal usul serta adat istiadat setempat.

1 Janedri M Gaffar, Demokrasi Dan Pemilu Di Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2013,
hlm. 1

1
2

Mekanisme pemilihan kepala desa saat ini diatur dalam Pasal 31

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 menentukan bahwa pemilihan kepala

desa dilaksanakan secara serentak diseluruh wilayah kabupaten/kota.

Pemerintahan daerah kabupaten/kota menetapkan kebijakan pelaksanaan

pemilihan kepala desa secara serentak dengan peraturan daerah kabupaten/kota.

Kemudian di dalam Pasal 40 PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan

Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, ditentukan bahwa pemilihan

kepala desa secara serentak dapat dilaksanakan bergelombang paling banyak 3

(tiga) kali dalam jangka waktu 6 (enam) tahun. Dalam hal terjadi kekosongan

jabatan kepala desa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala desa serentak,

bupati/walikota menunjuk penjabat kepala desa. Penjabat kepala desa berasal

dari pegawai negri sipil dilingkungan pemerintah daerah kabupaten/kota.

Pemilihan kepala desa secara serentak mempertimbangkan jumlah desa

dan kemampuan biaya pemilihan yang dibebankan pada anggaran pendapatan

dan belanja daerah kabupaten/kota, sehingga dimungkinkan pelaksanaannya

secara bergelombang sepanjang diatur dalam peraturan daerah kabupaten/kota.

Sebagai akibat dilaksanakannya kebijakan pemilihan kepala desa secara

serentak, dalam undang-undang diatur mengenai pengisian jabatan kepala desa

yang berhenti dan diberhentikan sebelum habis masa jabatan. Penyelenggaraan

pemerintahan desa mengalami perubahan mendasar melalui revisi UU No. 32

Tahun 2004 yang digantikan dengan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Perubahan tersebut dilandaskan pada argumen historis, filosofis, yuridis,

psikopolitik dan sosiologis. Argumen-argumen tersebut diorientasikan pada

upaya penataan desa. Salah satu isu penting dalam melakukan penataan desa

adalah pengisian jabatan kepala desa yang tidak dapat dilepaskan dari desain

kelembagaan pemerintahan desa.


3

Salah satu substansi UU No. 6 Tahun 2014 yang berkenaan dengan

penataan desa adalah pengaturan mengenai kelembagaan Desa, yaitu lembaga

Pemerintahan Desa yang terdiri atas Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan

Desa dan Lembaga Kemasyarakatan Desa. Pemerintah desa adalah Kepala Desa

yang berfungsi sebagai kepala Pemerintahan Desa yang memimpin

penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Kepala Desa mempunyai peran penting

dalam kedudukannya sebagai kepanjangan tangan negara yang dekat dengan

masyarakat dan sebagai pemimpin masyarakat. Dengan posisi yang demikian

itu, prinsip pengaturan tentang Kepala Desa adalah:2

1. Sebutan kepala desa disesuaikan dengan sebutan lokal;


2. Kepala desa berkedudukan sebagai kepala pemerintah desa dan sebagai
pemimpin masyarakat;
3. Kepala desa dipilih secara demokratis dan langsung oleh masyarakat
setempat;
4. Pencalonan kepala desa dalam pemilihan langsung tidak menggunakan
basis partai politik sehingga kepala desa dilarang menjadi pengurus partai
politik.

Maraknya sengketa Pemilihan Kepala Desa untuk mendapatkan

kekuasaan tidak legowo menerima kekalahan dengan melakukan perbuatan

tidak terpuji seperti penyelegelan kantor Desa, menjadikan pemerintahan

lumpuh, dan merugikan hak-hak masyarakat dalam mendapatkan pelayanan

hanya karena kepentingan dan ego segelintir orang. Panitia pelaksana Pilkades

adalah panitia khusus yang dibentuk oleh kepala daerah kabupaten/kota.

Berbeda dengan Pemilu yang panitianya dibentuk KPUD yang secara struktural

lebih netral dari pengaruh kekuasaan. Pada terpusatnya tahap pemungutan

2 Wasistiono, Sadu dan M. Irwan Tahir, Prosfek Pengembangan Desa, Bandung; Fokus
Media, 2006, hlm. 162
4

suara, dengan alasan terbatasnya dana harus mendapat perhatian, untuk

menghindari tersentralnya masa akan berpotensi konflik batin dan fisik, serta

menjadi faktor yang secara psikologis mengganggu pilihan yang murni

berdasarkan hati nurani. Pasca Pilkades dan pembuat peraturan mungkin terlalu

berpikir positif bahwa nilai musyawarah dianggap masih sangat melekat dalam

masyarakat desa sehingga apabila terdapat sengketa dapat diselesaikan dengan

musyawarah.

Pertimbangan mendasar pemilihan kepala desa secara serentak

berkaitan dengan aspek efisiensi dan efektifitas. Pertimbangan efisiensi

dimaksudkan bahwa proses pemilihan kepala desa akan menghemat anggaran,

waktu serta tenaga. Sedangkan efektifitas akan berkenaan dengan bahwa proses

pemilihan akan dapat mewujudkan demokrasi serta menghilangkan potensi-

potensi konflik yang selama ini terjadi seperti perjudian dan aspek negatif

lainnya yang selalu mengikuti proses pemilihan kepala kampung. Oleh karena

itu perlu dicermati dengan baik bahwa proses perubahan sistem, yang dalam hal

ini adalah proses menuju pemilihan secara serentak, perlu dipertimbangkan

aspek-aspek lokalitas sesuai dengan karakter masyarakat, situasi dan kondisi di

setiap kabupaten. Pelaksanaan pemilihan serentak menimbulkan resiko-resiko

yang lebih berat sehingga perlu dihitung dan diantisipasi/dicegah kemungkinan

yang dapat terjadi. Sehubungan dengan hal itu dibutuhkan kebijakan

transisional.

Sebuah realitas yang tidak dapat diingkari dalam pelaksanaan pemilihan

kepala desa secara serentak adalah bahwa berakhirnya masa jabatan kepala desa
5

pada umum tidak sama. Sehubungan dengan hal tersebut, sesuai dengan

ketentuan Pasal 40 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014, apabila

terjadi kekosongan jabatan kepala desa dalam pemilihan kepala desa secara

serentak maka bupati menunjuk penjabat kepala desa yang berasal dari pegawai

negeri sipil di lingkungan pemerintah daerah kabupaten/kota. Pelaksanaan

pemilihan kepala desa dilakukan secara bergelombang yang dilaksanakan

paling banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu 6 (enam) tahun dengan interval

waktu paling lama 2 (dua) tahun sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri

Dalam Negeri No. 112 Tahun 2014. Ketentuan tersebut mengharuskan

Pemerintah daerah untuk mempertimbangkan Pasal 4 ayat (1) Peremendagri

No. 112 Tahun 2014 yaitu:

a) Pengelompokan waktu berakhirnya masa jabatan kepala desa di wilayah


kabupaten/kota;
b) Kemampuan keuangan daerah;
c) Ketersediaan PNS di lingkungan kabupaten/kota yang memenuhi
persyaratan sebagai penjabat kepala desa.

Perubahan mendasar proses pemilihan kepala desa sebagai

konsekuaensi dari pengaturan UU Desa mengharuskan pemerintah daerah

Kabupaten Lampung Tengah untuk menerbitkan perda baru sebagai pengganti

Perda lama yang sudah tidak sesuai lagi dengan standar norma dari pemerintah

pusat. Sesuai dengan ketentuan Pasal 49 Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa, Kabupaten Lampung

Tengah perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pemilihan Kepala

Kampung (sebuatan desa di Kabupaten Lampung Tengah). Peraturan daerah

yang mengatur pemilihan kepala kampung merupakan landasan bagi

pelaksanaan pemilihan bagi 314 kampung yang tersebar di 28 Kecamatan.


6

Secara normatif, materi muatan peraturan daerah pemilihan kepala

kampung berisi tentang ketentuan yang meliputi 4 (empat) tahap, yaitu a)

persiapan; b) pencalonan; c) pemungutan suara; d) penetapan.3 Masing-masing

tahapan meliputi substansi yang sebagaimana diuraikan dalam Peraturan

Menteri Dalam Negeri No. 112 Tahun 2014. Dalam ketentuan normatif

tersebut harus disesuaikan dengan kondisi yang ada di Kabupaten Lampung

Tengah. Penyesuaian dimaksud ditujukan untuk mengakomodir karakteristik

dan kondisi riil yang berkembang sesuai dengan dinamika masyarakat

Lampung Tengah. Peraturan Daerah Pemilihan Kepala Kampung Kabupaten

Lampung Tengah harus mengatur secara komprehensif sehingga tidak terjadi

kekosongan hukum. Peraturan daerah harus dapat memberikan dan menjamin

kepastian hukum dan mencegah terjadinya sengketa serta menjamin

keberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan kampung secara kondusif.

Dalam pelaksanaan pemilihan kepala desa yang telah terlaksana

bersifat langsung umum, bebas, rahasia, jujur dan adil telah dipahami sebagai

pengakuan terhadap keanekaragaman sikap politik partisipasi masyarakat

dalam demokratisasi di tingkat desa. Timbulnya konflik pemilihan kepala desa

yang berkepanjangan akibat fanatisme dan kerasnya konfrontasi pendukung

calon kepala desa yang secara tatap muka saling memperjuangkan kemenangan

calon masing-masing. Bahkan kadang telah melupakan nilai dari demokrasi

dan melunturkan nilai etika yang selama ini tertanam dalam masyarakat desa.

Konflik diawali dengan ketidakpuasan, berbagai rasa curiga atas kemenangan

calon terpilih akan adanya kecurangan dan manipulasi sebagai akibat dari

3 Nurmayani, Hukum Administrasi Daerah, Bandar Lampung; Universitas Lampung,


2009, hlm. 138
7

perolehan suara yang sangat ketat, dan reaksi sejumlah pihak yang

berkepentingan atas kasus ini cenderung berlebihan. Fanatisme kelompok

penduduk saling hujat, curiga, hilangnya sikap saling menghormati dan

menghargai atas keunggulan lawan adalah sikap-sikap tidak terpuji yang pada

gilirannya menimbulkan konflik.

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis merasa tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul “Penyelenggaraan Pemilihan Kepala

Kampung Serentak di Kabupaten Lampung Tengah Tahun 2019

Berdasarkan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti merumuskan

permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana proses penyelenggaraan pemilihan kepala kampung serentak di

70 kampung di Kabupaten Lampung Tengah?

2. Apa saja faktor penghambat dan pendukung dalam penyelenggaraan

pemilihan kepala desa secara serentak di 70 kampung di Kabupaten

Lampung Tengah?

3. Bagaimanakah dampak yang ditimbulkan dari penyelenggaraan pemilihan

kepala desa secara serentak di 70 kampung di Kabupaten Lampung Tengah?

Ruang lingkup dalam penelitian ini akan dibatasi pada penyelenggaraan

pemilihan kepala kampung serentak di 70 (tujuh puluh kampung) di Kabupaten

Lampung Tengah Tahun 2019 berdasarkan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014

Tentang Desa.
8

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk menjelaskan proses penyelenggaraan pemilihan kepala kampung

serentak di 70 kampung di Kabupaten Lampung Tengah

b. Untuk mengetahui faktor penghambat dan pendukung dalam

penyelenggaraan pemilihan kepala desa secara serentak di 70 kampung di

Kabupaten Lampung Tengah

c. Dapat mencari solusi pemecahan dampak penyelenggaraan pemilihan

kepala desa secara serentak di 70 kampung di Kabupaten Lampung Tengah

D. Manfaat Penelitian

Kegunaan yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Kegunaan Teoritis

Hasil peneltian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian ilmu pengetahuan

hukum, dalam hal ini khususnya didalam hukum administrasi negara,

memberikan sumbangan pemikiran dan pengembangan ilmu hukum yaitu

hukum administrasi negara, khususnya dalam memahami proses

pelaksanaan pemilihan kepala desa serentak

2. Kegunaan Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi

pemerintah Kabupaten Lampung Tengah dalam rangka meningkatkan

pelaksanaan pemilihan kepala desa.


9

b. Bagi masyarakat, hasil penelitian dapat digunakan untuk menambah

pengetahuan di bidang pemerintahan dalam masalah pelaksanaan

pemilihan kepala desa.

c. Secara akademis hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai

bahan referensi dan pembendaharaan perpustakaan yang berguna bagi

mahasiswa yang ingin mengetahui dan meneliti lebih jauh tentang masalah

ini.

d. Bagi penulis, salah satu bentuk pembelajaran teoritis dan praktis yang

dapat bermanfaat untuk memperdalam pengetahuan dalam pendidikan

ilmu hukum khususnya untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis

menjadi pemilih yang cerdas.

E. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep

1. Kerangka Teori

Dalam penyusunan Peraturan Daerah Pemilihan Kepala Kampung

memperhatikan asas-asas dalam pembentukan sebagaimana diatur dalam UU

No. 12 Tahun 2011, UU No. 23 Tahun 2014 dan UU No. 6 Tahun 2014 serta

Permendagri No. 112 Tahun 2014. Asas-asas dimaksud sifatnya metanorma

tersebut akan sangat menentukan materi muatan dan arah pengaturan peraturan

daerah. A. Hamid S. Attamimi sebagaimana dikutip oleh Maria Farida4 yang

mengatakan bahwa pembentukan peraturan perundang–undangan Indonesia

dibagi dua asas yaitu asas formal dan asas material:

4 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan (Dasar-dasar dan


Pembentukkannya), Kanisius, Yogyakarta, 1998, hlm. 68
10

a. Asas-asas formal meliputi:


1) Asas tujuan jelas;
2) Asas lembaga yang tepat;
3) Asas perlunya pengaturan;
4) Asas materi muatan yang tepat; dan
5) Asas dapat dilaksanakan;
6) Asas dapat dikenali.
b. Asas-asas material meliputi:
1) Asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan Norma fundamental
Negara
2) Asas sesuai dengan dasar hukum negara
3) Asas sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasarkan atas hukum;
4) Asas sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan berdasarkan sistem
konstitusi

Norma-norma tersebut pada dasarnya ditempatkan sebagai sebuah filter.

Filter yang dimaksud yaitu menjadikan peraturan perundang-undangan sesuai

dengan kebutuhan masyarakat. Peraturan yang terbentuk tidak hanya berfungsi

sebagai alat legitimasi kekuasaan pemerintah, namun menjadi instrumen tatanan

sosial masyarakat. Peraturan yang dimaksud hal ini tidak hanya dipandang

dalam konsepsi undang-undang saja. Pada level daerah, peraturan daerah

menjadi instrumen dari perpanjangan peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi. Pasal 236 UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam

ayat (2) menyebutkan bahwa: Perda memuat materi muatan: a) penyelenggaraan

otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan b) penjabaran lebih lanjut ketentuan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Perda dalam pembentukan

tidak hanya harus memperhatikan hierarki peraturan perundang-undangan saja,

namun harus juga memperhatikan asas pembentukan dan materi muatannya. Hal

ini terdapat dalam Pasal 237 UU No 23 Tahun 2014 menyebutkan tentang asas

pembentukan dan materi muatan.


11

Peraturan daerah berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-

undangan dan asas hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat

sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Pembentukan Perda yang harus berkesesuaian dengan kondisi juga

ditegaskan dalam Pasal 14 UU No 12 Tahun 2011, disebutkan bahwa: Materi

muatan peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota berisi

materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas

pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih

lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Pembentukan peraturan daerah juga dalam hal ini juga harus

memperhatikan asas-asas yang berkenaan dengan pokok bahasan dan tujuan

dibentuknya perda tersebut, dalam hal ini perda yang dibentuk adalah Peraturan

Daerah Kabupaten Lampung Tengah tentang Pemilihan Kepala Kampung, maka

harus diperhatikan asas-asas yang ada dalam peraturan perundang-undangan

yang berkenan dengan desa. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagai

undang-undang sentral penyelenggaraan desa menyebutkan mengenai asas

pengaturan desa adalah sebagai berikut: a)rekognisi; b) subsidiaritas; c)

keberagaman; d) kebersamaan; e) kegotongroyongan; f) kekeluargaan; g)

musyawarah; h) demokrasi; i) kemandirian; j) partisipasi; k) kesetaraan; l)

pemberdayaan; dan m) keberlanjutan.

Asas-asas yang terdapat dalam UU Desa belum secara tegas

menggambarkan mengenai pemilihan kepala kampung, namun secara garis

besar menggambarkan pada pengaturan yang ada pada desa. Pasal 34 ayat (2)
12

UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, menyebutkan bahwa pemilihan kepala desa

bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Lebih lanjut harus

memperhatikan juga peraturan perundang-undangan yang secara khusus

membahas mengenai pemilihan kepala desa. Permendagri No 112 Tahun 2014

tentang Pemilihan Kepala Desa disebutkan dalam ketentuan umum permendagri

tersebut bahwa pemilihan kepala desa adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di

desa dalam rangka memilih kepala desa yang bersifat langsung, umum, bebas,

rahasia, jujur, dan adil. Pemilihan yang dilaksanakan selain merupakan

perwujudan kedaulatan rakyat dan demokrasi harus juga langsung, umum,

bebas, rahasia, jujur, dan adil. Berikut adalah penjabaran dari sifat-sifat

pemilihan kepala desa:5

1) Umum (berlaku untuk semua masyarakat yang berhak melakukan pemilihan


tanpa memandang suku, agama, ras, keterbatasan fisik),
2) Bebas (memilih calon kades tanpa paksaan pihak lain),
3) Rahasia (hak memilih calon kades nya terjamin agar tak diketahui oleh
pihak lain),
4) Jujur (semua pihak yang terlibat baik langsung ataupun tidak langsung harus
bertindak jujur dalam mengawasi dan melaksanakan kegiatan pemilihan),
5) Adil (pelaksanaan awal hingga akhir pemilihan diketahui secara jelas oleh
penduduk, terbuka, tidak ada pihak yang menyalahgunakan wewenang yang
mengakibatkan menguntungkan salah satu calon kades, semua pihak
mendapatkan perlakuan yang semestinya dan tanpa ada kecurangan).

Asas-asas dan materi muatan yang telah disebutkan dalam rangka

pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Tengah tentang

Pemilihan Kepala Desa, pada akhirnya merupakan sebuah landasan yang sangat

penting. Apabila pembentukan peraturan daerah telah sesuai dan berintegrasi

diantara seluruh asas-asas tersebut, maka peraturan daerah pemilihan kepala

5 Wasistiono, Sadu dan M. Irwan Tahir, Prosfek Pengembangan Desa, Fokus Media,
Bandung, 2006, hlm. 36
13

kampung yang ada tidak hanya memenuhi kebutuhan secara yuridis saja namun

memenuhi kebutuhan secara demokratis, dan juga sosial terhadap pemilihan

kepala desa yang ada di Kabupaten Lampung Tengah.

Desa sebagai entitas politik terkecil di wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI) memiliki andil yang cukup besar dalam

pematangan demokrasi ditingkat nasional, mengingat 70 persen rakyat

Indonesia tinggal di Desa. Salah satu bentuk nyata demokrasi di desa adalah

pemilihan kepala desa. Dalam pesta demokrasi ini, masyarakat desa dilibatkan

dalam memilih pemimpin mereka. Letak pembeda pilkades dengan pilkada

adalah para calon di desa tidak diusung oleh partai politik melainkan

perseorangan, hal ini memberikan ruang yang lebih bebas bagi para calon untuk

lebih dekat dengan pemilihnya tanpa perlu memikirkan maneuver kepartaian.

2. Kerangka Konsep

Pelaksanaan pilkades serentak di Kabupaten Lampung Tengah

membawa angin segar dalam pematangan berdemokrasi ditingkat desa.

Sebagaiamana yang diamanatkan UU Nomor 6 Tahun 2014 bahwa pelaksanaan

pilkades dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah kabupaten/kota.

Untuk itu kabupaten sebagai pelaksana juga dituntut untuk mampu mengawasi

jalannya pilkades dari berbagai faktor yang mempengaruhi, baik yang sifatnya

eksternal maupun internal, sehingga tercipta iklim berdemokrasi yang dicita-

citakan tanpa dikotori oleh praktik-praktik kecurangan.

Dalam penyusunan peraturan daerah pemilihan kepala desa serentak di

Kabupaten Lampung Tengah merupakan salah satu pelaksanaan dari ketentuan

Pasal 49 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 yang dibuat

oleh pejabat daerah atau pejabat publik, dimana didalam sistem demokrasi
14

pelaksanaan suatu kebijakan publik senantiasa melibatkan masyarakat sebagai

pemegang kedaulatan daerah. Thomas R. Dye dalam Subarsono (2009:2)

mendefinisikan kebijakan publik sebagai berikut: “Public Policy is whatever

the government choose to do or not to do”.6 (Kebijakan publik adalah apapun

pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu).

Menurut Dye, apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu, maka

tentunya ada tujuannya, karena kebijakan publik merupakan "tindakan"

pemerintah. Apabila pemerintah memilih untuk tidak melakukan sesuatu,

inipun merupakan kebijakan publik, yang tentunya ada tujuannya. Subarsono

mengartikan kebijakan menurut Thomas R. Dye tersebut bahwa (1) kebijakan

publik dibuat oleh pemerintah bukan organisasi swasta dan (2) kebijakan publik

menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh badan

pemerintah.

Selain dari bentuk pengawasan kabupaten, substansi dari pemilihan ini

adalah bagaimana kemudian masyarakat terlibat aktif dalam pemilihan baik itu

dalam partisipasi politik (hak memilih) maupun sebagai pengawas yang

mengawasi langsung jalannya pemilihan tanpa takut harus melaporkannya jika

ditemukan penyimpangan. Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa

efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem

hukum, yakni struktur hukum (struktur of law), substansi hukum (substance of

the law) dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum menyangkut aparat

penegak hukum, substansi hukum meliputi perangkat perundang-undangan dan

budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut dalam

suatu masyarakat. Dengan melihat pengertian dari teori M. Friedmen kita dapat

6 A.G. Subarsono, Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008


15

menarik kesimpulan bahwasanya ketiga unsur hukum itu harus berjalan

bersama agar hukum yang dibuat untuk menegakan keadilan itu dapat berjalan

efektif, dan keadilan yang dirasakan oleh masyarakat yang diatur oleh hukum

itu sendiri.

Pelaksanaan urusan pemerintah di bidang penyelenggaraan

pemerintahan desa oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah yang ada pada

penelitian hukum ini difokuskan pada penyelenggaraan pemilihan kepala

kampung serentak di Kabupaten Lampung Tengah berdasarkan UU No.6 Tahun

2014 dengan ditinjau melalui teori sistem hukum dari Lawrence Meir Friedman.

Teori sistem hukum dari Lawrence Meir Friedman menyatakan bahwa sebagai

suatu sistem hukum dari sistem kemasyarakatan, maka hukum harus mencakup

tiga komponen, antara lain subtansi hukum, struktur hukum, dan budaya

hukum.

a. Subtansi Hukum

Subtansi hukum antara lain meliputi aturan-aturan, norma-norma dan pola

perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu, termasuk produk yang

dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup

keputusan-keputusan yang dikeluarkan atau aturan baru yang disusun.

Subtansi hukum yang dimaksud dalam penelitian ini adalah aturan

perundang-undangan yang dibuat Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah

dalam rangka melaksanakan pemilihan Kepala Desa serentak berdasarkan

UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa.

b. Struktur Hukum

Komponen struktur dari suatu sistem hukum mencakup berbagai institusi

atau lembaga yang diciptakan oleh sistem hukum itu sendiri dengan

berbagai macam fungsinya dalam mendukung bekerjanya sistem hukum


16

tersebut. Struktur hukum yang dimaksud dalam penelitian ini adalah: 1)

Panitia pemilihan kepala desa tingkat kabupaten. 2) Panitia pemilihan

kepala desa tingkat desa. 3) Tim pengawas pemilihan tingkat kecamatan

c. Budaya Hukum

Budaya hukum adalah apa yang masyarakat rasakan terhadap hukum dan

sistem hukumnya. Tetapi kemudian Lawrence Meir Friedman memperluas

lagi bahwa budaya hukum bukan sekedar pemikiran saja, tetapi juga cara

pandang dan cara masyarakat menentukan bagaimana sebuah hukum itu

digunakan. Budaya hukum pada penelitian ini difokuskan terhadap

kesadaran hukum masyarakat serta partisipasi masyarakat di Kabupaten

Lampung Tengah dalam proses pelaksanaan pemilihan kepala desa serentak

dimulai dari tahapan persiapan hingga penetapan kepala desa terpilih

sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lampung

Tengah, beserta peraturan pelaksananya.

Kesadaran hukum masyarakat dalam penelitian ini dapat diketahui

melalui respon masyarakat Kabupaten Lampung Tengah terkait aturan-aturan

yang mendasari jalanya pelaksanaan pemilihan kepala desa serentak di

Kabupaten Lampung Tengah. Kesadaran hukum masyarakat tersebut dapat

dilihat dari faktor inisiatif dari lingkungan yang ada di masyarakat, serta melalui

usaha dari para pihak penyelenggara yang ditugaskan untuk melaksanakan

aturan dalam pemilihan kepala desa sebagaimana yang telah diatur dalam

undang-undang. Inisiatif masyarakat ditunjukkan melalui usaha dari tiap-tiap

lingkungan yang ada di masyarakat desa untuk saling memberitahu dan bertukar

pikiran mengenai proses pelaksanaan pemilihan kepala desa serentak di desanya

masing-masing.
17

F. Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri dari lima bab, dengan sistematika penulisan sebagai

berikut:

1. Bab I: Pendahuluan, pada bab ini menguraikan latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat/signifikansi penelitian,

kerangka teori dan kerangka konsep, sistematika penulisan.

2. Bab II: Tinjauan pustaka, pada bab ini akan dibahas masalah-masalah yang

berhubungan dengan objek penelitian melalui teori yang berisi tinjauan

umum tentang pemerintah daerah, otonomi daerah, demokrasi, tata cara

penyelenggaraan pemilihan kepala kampung.

3. Bab III: Metodologi penelitian, pada bab ini akan membahas hubungan

antara hal yang bersifat teoritis dan penelitian yang dilakukan di lapangan,

maka dibuatlah metode penelitian yang berisi jenis penelitian, sifat dan

lokasi penelitian yang digunakan untuk penulisan laporan, subjek dan objek

penelitian, data dan sumber data, metode pengumpulan data, teknik

pengolahan dan analisis data, serta tahapan penelitian.

4. Bab IV: Hasil penelitian dan pembahasan, bab ini merupakan laporan hasil

penelitian, meliputi deskripsi kasus berupa uraian tentang permasalahan

yang diteliti sesuai dengan kondisi objek dilokasi penelitian dalam bentuk

uraian kasus, rekapitulasi kasus dalam bentuk matriks dan analisis.

5. Bab V: Penutup, pada bab ini penulis membuat kesimpulan atas hasil

penelitian dan memberikan saran berdasarkan hasil penelitian.


18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Pemerintah Daerah

Pemerintah Daerah merupakan salah satu alat dalam sistem

penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah daerah ini merujuk pada otoritas

administratif di suatu daerah yang lebih kecil dari sebuah negara dimana negara

Indonesia merupakan sebuah negara yang wilayahnya terbagi atas daerah-

daerah Provinsi. Daerah provinsi itu dibagi lagi atas daerah kabupaten dan

daerah kota. Setiap daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota

mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah

Daerah, Pemerintah daerah merupakan kepala daerah sebagai unsur

penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. Sedangkan

Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh

pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas

otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam

sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Menurut The Liang Gie, Pemerintah Daerah adalah satuan-satuan

organisasi pemerintah yang berwenang untuk menyelenggarakan segenap

kepentingan setempat dari sekelompok yang mendiami suatu wilayah yang

dipimpin oleh kepala pemerintahan daerah. Setiap pemerintah daerah dipimpin

18
19

oleh kepala daerah yang dipilih secara demokratis. Gubernur, bupati, dan

walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten

dan kota. Kepala daerah dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah, untuk

provinsi disebut wakil gubernur, untuk kabupaten disebut wakil bupati dan

untuk kota disebut wakil wali kota. Kepala dan wakil kepala daerah memiliki

tugas, wewenang dan kewajiban serta larangan. Kepala daerah juga mempunyai

kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah

kepada Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban

kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), serta menginformasikan

laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.7

Urusan-urusan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka

pelaksanaan asas desentralisasi merupakan kewenangan dan tanggung jawab

daerah sepenuhnya. Dalam hal ini sepenuhnya diserahkan ke daerah, baik yang

menyangkut penentuan kebijaksanaan, pelaksanaan, maupun segi-segi

pembiayaan, demikian juga perangkat daerah itu sendiri, yaitu terutama dinas-

dinas daerah.8 Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai

wakil pemerintah pusat di wilayah provinsi yang bersangkutan, dalam

pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali

pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah termasuk dalam pembinaan dan

pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan pada strata

pemerintahan kabupaten dan kota. Dalam kedudukannya sebagai wakil

7 The Liang Gie, Pertumbuhan Daerah Pemerintahan Daerah di Negara Kesatuan

Republik Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, 2011, hlm. 44


8 Daan Suganda, Sistem Pemerintahan Republik Indonesia, Pemerintahan di Daerah,.

Sinar Baru, Bandung, 1992, hlm 87.


20

pemerintah pusat sebagaimana dimaksud, Gubernur bertanggung jawab kepada

Presiden.

Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Pasal 1 huruf b yang

dimaksud dengan pemerintahan daerah terdiri atas kepala daerah beserta

perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah. Pemerintah

daerah adalah penyelenggara pemerintahan daerah otonom oleh pemerintah

daerah dan DPRD menurut asas desentralisasi. Salah satu tugas DPRD dalam

pemerintahan adalah melakukan pengawasan, baik kepada Pemerintah daerah,

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Kebijakan Pemerintah Daerah dan

kerja sama Internasional Daerah.

Pemerintah daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa pemerintah daerah adalah

penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-

luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 yang dimaksud Pemerintah Pusat selanjutnya disebut

Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan

Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pembentukan

daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang
21

bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih

yang dipertegas dalam Pasal 5 bahwa pembentukan daerah harus memenuhi

syarat-syarat administrasi, teknis, dan fisik kewilayahan.

Selain itu, menurut Rianto Nugroho menyatakan bahwa peran

pemerintah daerah juga dimaksudkan dalam rangka melaksanakan

desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas perbantuan sebagai wakil pemerintah di

daerah otonom yaitu untuk melakukan:9

1. Desentralisasi yaitu melaksanakan semua urusan yang semula adalah


kewewenang pemerintahan menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
2. Dekonsentrasi yaitu menerima pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada
instansi vertikal di wilayah tertentu untuk dilaksanakan.
3. Tugas pembantuan yaitu melaksanakan semua penugasan dari pemerintah
kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada
kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada
desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

Berdasarkan bunyi Pasal 18 UUD 1945, bisa ditarik benang merah

bahwa “Indonesia adalah negara kesatuan yang didesentralisasikan” yang

berarti bahwa: Pertama, desentralisasi perlu dilaksanakan karena merupakan

tuntunan yuridis dan sistematis dari demokrasi Pancasila dan sistem politik

Indonesia. Kedua, desentralisasi merupakan kebutuhan bagi Orde Baru untuk

melanjutkan pembangunan nasional secara umum dan pembangunan jangka

panjang tahap kedua secara khusus. Ketiga, demokrasi kita tak juga lepas dari

isu yang sekarang menjadi trend di dunia internasional. Perihal demokrasi yang

9Rianto Nugroho D, Otonomi Daerah (Desentalisasi Tanpa Revolusi), Elekmedia


Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta, 2000, hlm. 90.
22

bagaimana yang paling dibutuhkan dewasa ini, tentu saja yang dibicarakan

bukan masalah ideal namun technical.

Dalam rangka melaksanakan peran desentralisasi, dekonsentrasi dan

tugas pembantuan maka pemerintah daerah menjalankan urusan pemerintah

konkuren, berbeda dengan pemerintah pusat yang melaksanakan urusan

pemerintahan absolut. Urusan pemerintahan konkuren dibagi antara pemerintah

pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Pembagian urusan

tersebut didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, daneksternalitas, serta

kepentingan strategis nasional. Urusan pemerintahan tersebutlah yang menjadi

dasar pelaksanaan Otonomi Daerah.10

Pelaksanaan pemerintahan daerah di Indonesia memiliki prinsip yaitu

dalam hal penerapannya. Prinsip pelaksanaan pemerintahan daerah secara

umum terdapat pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintah Daerah Pasal 1 ayat (2) yang menjelaskan bahwa: “Pemerintahan

daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah

dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Prinsip-prinsip yang

terkait pemerintah daerah merupakan tujuan serta cita-cita yang terkandung

dalam undang-undang yang terkait penyelenggaraan otonomi daerah harus

selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu

memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.

10J. Riwu Kaho, Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah, Bina Aksara, Jakarta,
2004, hlm.21
23

Konsekuensi logis dari komitmen para founding fathers yang memilih

sistem desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka melahirkan

pemerintahan daerah. Negara Kesatuan Republik Indonesia secara hirarkis

struktural terbagi atas pemerintah pusat disatu sisi dan pemerintahan daerah di

sisi lainnya. Pemerintah daerah diberi hak dan wewenang untuk mengurus

rumah tangga sendiri (local self government), hak dan kewenangan ini dikenal

dengan istilah otonomi daerah. Pemerintah daerah yang memiliki hak dan

kewenangan tersebut dikenal dengan sebutan daerah otonom.

Konsep teori dari pemerintahan lokal (local goverment) memiliki

peranan aplikatif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia.

Menurut Hanif Nurcholis bahwa “Local goverment bagian negara maka konsep

local goverment tidak dapat dilepaskan dari konsep-konsep tentang kedaulatan

negara dalam sistem unitary dan federal serta sentralisasi, desentralisasi,

dekonsentrasi dan juga tugas pembantuaan”.11

Konsep local goverment berasal dari barat untuk itu, konsep ini harus

dipahami sebagaimana orang barat memahaminya. Bhenyamin Hoessein dalam

Hanif Nurcholis (2007:1) menjelaskan bahwa local goverment memiliki tiga

arti. Pertama, berarti pemerintahan lokal. Kedua, pemerintahan lokal yang

dilakukan oleh pemerintahan lokal. Ketiga, berarti daerah otonom. Konteks

Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah lokal memiliki arti sebagai

daerah otonom. Prinsip pemerintah daerah sebagai daerah otonom diperkuat

untuk keutuhan negara kesatuan sebagai mana yang terdapat dalam Undang-

11 Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Grasindo,
Jakarta, 2007, hlm. 27
24

Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 1 ayat (6)

menjelaskan, “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah

otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik

Indonesia”.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa pemerintah

daerah merupakan penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah

daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah. Pemerintah daerah dengan kepala

daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan yang memimpin

pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom

berperan dalam rangka melaksanakan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas

perbantuan sebagai wakil pemerintah di daerah otonom. Pemerintah daerah

adalah penyelenggara pemerintahan daerah otonom menurut asas otonomi dan

tugas pembantuan. Pemerintah daerah diberi hak dan wewenang untuk

mengurus rumah tangga sendiri (local self government), hak dan kewenangan

ini dikenal dengan istilah otonomi daerah.

B. Tinjauan Tentang Otonomi Daerah

1. Pengertian Otonomi Daerah

Pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari

2001 telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah

merupakan fenomena politis yang menjadikan penyelenggaraan pemerintahan

yang sentralistik-birokratis ke arah desentralistik-partisipatoris. Paradigma baru

dalam pelaksanaan otonomi daerah, yang meletakkan otonomi penuh, luas dan

bertanggungjawab pada daerah kabupaten dan kota. Perubahan ini dimaksudkan


25

untuk meningkatkan efektivitas pelayanan masyarakat, menumbuhkan

semangat demokratisasi dan pelaksanaan pembangunan daerah secara

berkelanjutan, dan lebih jauh diharapkan akan menjamin tercapainya

keseimbangan kewenangan dan tanggung jawab antara pusat dan daerah.

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur

dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Definisi otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 1 ayat (6) menjelaskan, “Otonomi

daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur

dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Pengertian itu

tidak terlepas dari pengertian otonomi yang dalam konteks politik dan

pemerintahan mengandung makna pemerintahan sendiri. Kata “otonomi”

berasal dari kata “otonom” yang mempunyai dua pengertian. Pertama, berdiri

sendiri; dengan pemerintah sendiri; dan daerah otonom. Kedua, kelompok

sosial yang memiliki hak dan kekuasaan menentukan arah tindakannya sendiri.

Menurut Dharma Setyawan Salam menyatakan bahwa demokrasi di

Indonesia ditandai dengan pelaksanaan otonomi seluas-luasnya diberbagai

daerah. Pemerintah daerah menginginkan agar pemerintah pusat menyerahkan

sebesar-besarnya urusan yang selama ini ditangani oleh pemerintah pusat

kepada pemerintah daerah yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai daerah

otonomi atau otonomi daerah. Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu

“autos” yang artinya sendiri dan “nomos” yang artinya peraturan. Sehingga
26

otonomi berarti peraturan sendiri atau undang-undang sendiri, yang kemudian

berkembang pengertiannya menjadi menjalankan pemerintahan sendiri.12

Otonomi daerah adalah hak penduduk yang tinggal dalam suatu daerah

untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya

sendiri dengan menghormati peraturan perundangan yang berlaku. Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah juga

mendefenisikan daerah otonom, Pasal 1 ayat (12) menjelaskan, “Daerah otonom

yang selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang

mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus

urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa

sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan

Republik Indonesia”.

2. Prinsip-prinsip Otonomi Daerah

Otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam

arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan

pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam

undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah

untuk memberikan pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan

pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan

rakyat.13 Penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan otonomi yang luas, nyata,

dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional dan berkeadilan, jauh dari

12 Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan Nilai dan

Sumber Daya Alam, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm. 81


13 HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Indonesia, PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2007, hlm. 133


27

praktik-praktik korupsi, kolusi, nepotisme serta adanya perimbangan antara

keuangan pemerintah pusat dan daerah.

Rozali Abdullah menyatakan prinsip otonomi daerah adalah sebagai

berikut:14

a. Prinsip otonomi luas


Otonomi luas adalah kepala daerah diberikan tugas, wewenang, hak, dan
kewajiban untuk menangani urusan pemerintahan yang tidak ditangani oleh
pemerintah pusat sehingga isi otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah
memiliki banyak ragam dan jenisnya. Daerah diberikan keleluasaan untuk
menangani urusan pemerintahan yang diserahkan itu, dalam rangka
mewujudkan tujuan dibentuknya suatu daerah, dan tujuan pemberian
otonomi daerah itu sendiri terutama dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat, sesuai dengan potensi dan karakteristik masing-masing daerah.
b. Prinsip otonomi nyata
Prinsip otonomi nyata adalah suatu tugas, wewenang dan kewajiban untuk
menangani urusan pemerintahan yang senyatanya telah ada dan berpotensi
untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi dan karakteristik
daerah masing-masing. Potensi-potensi yang dimiliki daerah dapat
dikembangkan deaerah untuk kesejahteraan masyarakat daerah.
c. Prinsip otonomi yang bertanggungjawab
Prinsip otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam
penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan pemberian
otonomi yang pada dasarnya memberdayakan daerah, termasuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada

peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan

kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Penyelenggaraan

otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antar daerah dengan

daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antardaerah. Hal yang

tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin

hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah, artinya harus mampu

14Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langsung, PT Raja Grasindo, Jakarta, 2007, hlm. 5
28

memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara dan tetap tegaknya Negara

Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara. 15

Otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak

dicapai, pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian

pedoman seperti penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan.

Pemerintah Daerah harus memilki standar, arahan, bimbingan, pelatihan,

supervise, pengendalian koordinasi, pemantauan, dan evaluasi. Pemerintah

wajib memberikan fasilitas yang berupa pemberian peluang kemudahan,

bantuan dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat

dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

3. Asas-asas Otonomi Daerah

Asas otonomi daerah adalah dasar yang digunakan oleh pemerintah

pusat dalam memberikan wewenang kepada pemerintah daerah. Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, ada 3 asas otonomi daerah, yaitu asas

desentralisasi, asas dekonsentrasi dan asas tugas pembantuan. Berikut ini adalah

penjelasan mengenai asas-asas otonomi daerah tersebut.

a. Asas Desentralisasi

Asas desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintahan

oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonom dalam kerangka

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini sesuai dengan Pasal 2

15 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum, UII,
Yogyakarta, 2005, hlm. 24
29

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ada

beberapa tujuan diterapkannya asas desentralisasi dalam pelaksanaan

otonomi daerah. Tujuan diterapkannya asas desentralisasi antara lain :

1) Dalam rangka peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan


pemerintahan.
2) Sebagai wahana pendidikan politik masyarakat di daerah.
3) Dalam rangka memelihara keutuhan negara kesatuan atau integrasi
sosial.
4) Untuk mewujudkan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
yang dimulai dari daerah.
5) Guna memberikan peluang bagi masyarakat untuk membentuk karir
dalam bidang politik dan pemerintahan.
6) Sebagai wahana yang diperlukan untuk memberikan peluang bagi
masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan dan
pelaksanaan pemerintahan.
7) Sebagai sarana yang diperlukan untuk mempercepat pembangunan
daerah.
8) Guna mewujudkan pemerintahan daerah yang bersih dan terpelihara.

Ada beberapa kelebihan diterapkannya asas desentralisasi dalam

pelaksanaan otonomi daerah. Kelebihan-kelebihan tersebut antara lain:16

1) Mengurai bertumpuknya pekerjaan di pemerintahan pusat.


2) Dalam menghadapi masalah yang mendesak yang membutuhkan
tindakan yang cepat, daerah tidak perlu menunggu intruksi dari
pemerintah pusat.
3) Dapat mengurangi birokrasi dalam arti buruk karena setiap keputusa
dapat segera dilaksanakan.
4) Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan pemerintah pusat.
5) Dapat memberikan kepuasan daerah karena sifatnya lebih langsung.

Menurut Cheema dan Rondinelli, desentralisasi dapat dibedakan

menjadi empat tipe, yaitu:

1) Desentralisasi politik, bertujuan menyalurkan semangat demokrasi


secara positif dalam masyarakat.
2) Desentralisasi administrasi, memiliki 3 bentuk bagian utama, yaitu
dekonsentrasi, delegasi, dan devolusi. Desentralisasi administrasi

16 Affan Gaffar, Paradigma Baru Otonomi Daerah dan Implikasinya, Citra Aditya Bakti,
Jakarta, 2006, hlm.79
30

bertujuan agar penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan secara


efektif dan efisien.
3) Desentralisasi fiskal, bertujuan memberi kesempatan kepada daerah
untuk menggali berbagai sumber daya.
4) Desentralisasi ekonomi atau pasar, bertujuan untuk memberi tanggung
jawab yang berkaitan dengan sektor publik dan sektor privat.

b. Asas Dekonsentrasi

Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada

gubernur sebagai wakil pemerintah. Pemerintah pusat memiliki banyak

kegiatan yang dipegang sendiri, seperti politik luar negeri, pertahanan dan

keamanan, ideologi negara, kebijakan dalam negeri, peradilan, dan

perdagangan. Tujuan diterapkannya asas dekonsentrasi dalam pelaksanaan

otonomi daerah secara garis besar sama dengan tujuan dilaksanakannya asas

desentralisasi. Ada beberapa kelebihan dari diterapkannya asas dekonsentrasi

dalam pelaksanaan otonomi daerah antara lain sebagai berikut:17

1) Secara politis, eksistensi dekonsentrasi dapat mengurangi keluhan-


keluhan dan protes-protes daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat.
2) Secara ekonomis, asas dekonsentrasi dapat membantu pemerintah
dalam merumuskan perencanaan dan pelaksanaan melalui aliran
informasi yang intensif yang disampaikan dari daerah ke pusat.
3) Dekonsentrasi memungkinkan terjadinya kontak secara langsung antara
pemerintah dengan yang diperintah atau rakyat.
4) Kehadiran perangkat dekonsentrasi di daerah dapat mengamankan
pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat atau kebijakan nasional di
bidang politik, ekonomi, dan administrasi.
5) Dekonsentrasi dapat menjadi alat yang efektif untuk menjamin
persatuan dan kesatuan nasional.

c. Asas Tugas Pembantuan

Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah dan desa serya dari daerah ke desa untuk melaksanakan

17Philipus M Hadjon, Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah di Era Otonomi, 2005,
Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm.75-76
31

tugas tertentu. Tugas tersebut disertai pembiayaan, sarana dan prasarana,

serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya

dan mempertanggung jawabkannya kepada yang menugaskan. Dalam asas

tugas pembantuan, perumusan kebijakan, perencanaan, dan pembiayaan

dilakukan oleh pemerintah pusat. Akan tetapi, pelaksaaannya dilakukan

oleh pemerintah daerah. Oleh karena sifatnya membantu, pemeritah daerah

harus melapor dan bertanggung jawab kepada pemerintah pusat. Tujuan

diberikannya tugas pembantuan antara lain :

1) Lebih meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan

pembangunan serta pelayanan umum kepada masyarakat.

2) Memperlancar pelaksanaan tugas dan penyelesaian permasalahan serta

membantu mengembangkan pembanguan daerah dan desa sesuai

dengan potensi dan karakteristiknya.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa

otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur

dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat sendiri

terutama pada bidang politik dengan memegang prinsip bahwa otonomi sendiri

berkaitan sebagai bentuk keleluasaan untuk mengatur masalah internal tanpa

diintervensi oleh pihak lain dengan kata lain apabila dikaitkan dengan kata

daerah maka otonomi daerah sendiri berarti pemerintah daerah memiliki

keleluasaan untuk mengatur pemerintahannya sendiri dengan caranya sendiri.

Melaksanakan urusan pemerintah daerah dengan asas-asas otonomi bukan

berarti kebebasan seluas-luasnya untuk mengatur daerahnya sendiri, kebebasan


32

itu diartikan sebagai kebebasan yang bertanggung jawab mengingat pusat

berperan sebagai pemegang mekanisme kontrol atas implementasi otonomi

daerah tersebut agar norma-norma yang terkandung dalam otonomi tidak

berlawanan dengan kebijakan yang digariskan oleh pemerintah pusat.

C. Demokrasi

Dewasa ini hampir sebagian besar negara-negara di dunia menganut

sistem demokrasi. Sistem pemerintahan ini muncul untuk mengatasi kemelut

masyarakat di bawah kekuasaan pemerintahan yang bersifat otoriter. Tindakan

semena-mena kepada rakyat yang mendatangkan penderitaan dan kesengsaraan

bagi rakyat menimbulkan konflik yang berakhir dengan perang untuk membela

kedudukan, harkat dan martabat manusia yang pada hakikatnya sama bagi

semua makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Secara harfiah kata demokrasi tidak

asing lagi sebagian besar umat manusia di mana-mana. Demokrasi berasal dari

bahasa Yunani yaitu demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti

kekuasaan/berkuasa.18

Jadi demokrasi adalah rakyat yang berkuasa atau pemerintahan rakyat.

Makna demokrasi ini telah dikemukakan oleh R. Kranenburg di dalam bukunya

”Inleading in de vergelijkende staatsrechtwetenschap”, perkataan demokrasi

yang tebentuk dari dua pokok kata yunani di atas, maknanya adalah cara

memerintah oleh rakyat.19 Artinya suatu sistem pemerintahan negara dengan

semua orang adalah berhak memerintah dan diperintah.

18 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Poltik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010,
hlm. 105
19 Ni’matul Huda, Ilmu Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hlm. 200
33

Pada dasarnya banyak negara yang memilih sistem demokrasi, karena

demokrasi memiliki nilai (values) yang menjamin hak dan kewajiban warga

negaranya yang lebih humanistik. Demokrasi tumbuh berkembang subur di

dalam masyarakat madani, masyarakat yang mencintai kedamaian, ketenangan,

dan sejahtera. Demokrasi menjanjikan kehidupan politik yang menjamin

ketersediaan pemenuhan hak, sekurang-kurangnya menyampaikan pendapat

yang ada di dalam pikiran seseorang, dengan hal ini, membuat manusia berada

dalam tempat yang layak sebagai seorang manusia yang seutuhnya.

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu

negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara)

atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar

demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik

negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis

lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat

yang sejajar satu sama lain. Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya

pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan

prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga

harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Tujuan

demokrasi ialah meningkatkan kualitas masyarakat yang berdaulat dan

bermartabat. Demokrasi mencakup peningkatan secara prinsipil komitmen

seluruh elemen masyarakat demi kemajuan bersama. Demokrasi menguatkan

struktur-massa, pembangunan ekonomi, budaya politik, interaksi elite poltik.

Dan pendalaman demokrasi membuat struktur-struktur formal demokrasi


34

menjadi lebih liberal, akuntabel, representatif, dan aksesibel. Henry B. Mayo

telah merinci nilai-nilai yang terkandung dalam sistem demokrasi, yaitu:

1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara lembaga


(institutionalized peacefull settlement of conflict).
2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu
masyarakat yang sedang berubah (peaceful change in a changing society).
3. Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur (orderly succession
of rulers).
4. Membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum (minimum of coercion)
5. Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman (diversity)
dalam masyarakat yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat,
kepentingan, serta tingkah laku.
6. Menjamin tegaknya keadilan.

Untuk mengukur kadar demokratisasi suatu negara, Jack Lively

menyebutkan tiga Kriteria yang dapat menunjukkan demoratisasi suatu negara,

yaitu:

1. Sejauh mana semua kelompok utama terlibat dalam proses-proses


pengambilan keputusan.
2. Sejauh mana keputusan pemerintah berada di bawah kontrol masyarakat.
3. Sejauh mana warga negara biasa terlibat dalam proses pengambilan
keputusan administrasi umum.

Berbagai macam istilah demokrasi, ada yang dinamakan demokrasi

konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi rakyat, demokrasi terpimpin,

demokrasi soviet, dan demokrasi nasional. Tetapi diantara sekian banyak aliran

demokrasi dikenal dua kelompok aliran yang paling penting, yaitu demokrasi

konstitusional (pemerintah yang terbatas kekuasaannya, sehingga tidak

dibenarkan bertindak sewenang-wenang kepada rakyatnya/Rule of Law) dan

satu kelompok aliran lain yang menamakan dirinya demokrasi, tetapi pada

hakikatnya mendasarkan dirinya atas komunisme (selalu bersikap ambivalen

terhadap negara).
35

Sistem demokrasi yang dianut Indonesia merupakan demokrasi

konstitusional yang mempunyai ciri khas pemerintah yang terbatas

kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap

warga negaranya, di mana pembatasan kekuasaan pemerintah tercantum dalam

konstitusi atau biasa disebut dengan pemerintah berdasarkan konstitusi

(constutional government). Demokrasi konstitusional atau biasa disebut dengan

istilah rechtsstaat (negara hukum), menurut Friedrich Julius Stahl memberikan

cirri-ciri sebagai berikut:20

1. Hak-hak asasi manusia.


2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin ha-hak asasi
manusia itu yang biasa dikenal dengan Trias Politika.
3. Pemerintahan berdasarkan pada peraturan-peraturan (wetmatigheid van
bestuur).
4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.

Menurut Diamond sebagaimana yang dikutip Eny Boedi Orbawati,

dalam memahami demokrasi Desa, kita tidak boleh terjebak pada seremonial,

prosedur dan lembaga yang tampak di permukaan. Prosedur dan lembaga

memang sangat penting, tetapi tidak mencukupi, yang lebih penting dalam

demokrasi adalah proses dan hubungan antara rakyat secara substantik. Ada tiga

ranah utama yang digunakan untuk memandang dan memahami demokrasi di

desa, yaitu:

1. Pengelolaan kebijakan atau regulasi desa

Sebuah kebijakan (peraturan desa) dikatakan demokratis apabila berbasis

rnasyarakat; berasal dari partisipasi masyarakat, dikelola secara bertanggung

20 Mohammad Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi tentang


Interaksi Poltik dan Kehidupan Ketatanegaraan, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hlm. 27
36

jawab dan transparan oleh masyarakat dan digunakan untuk memberikan

manfaat kepada masyarakat. Dari sisi konteks, peraturan desa berbasis

masyarakat (demokratis) berarti setiap peraturan desa harus relevan dengan

konteks kebutuhan dan aspirasi masyarakal. Dengan kalimat lain, perdes yang

dibuat memang dimaksudkan untuk menjawab kebutuhan masyarakat, bukan

sekedar merumuskan keinginan elit desa atau hanya untuk menjalankan

instruksi dari pemerintahan supradesa. Dari sisi konteks (substansi), prinsip

dasarnya bahwa peraturan desa lebih bersifat membatasi yang berkuasa

sekaligus melindungi rakyat yang lemah. Paling tidak, peraturan desa harus

memberikan ketegasan tentang akuntabilitas pemerintahan desa dan BPD dalam

mengelola pemerintahan desa.

2. Kepemimpinan dan penyelenggaraan pemerintahan Desa

Pemerintahan di Indoensia telah lama tidak menumbuhkan kultur leadership.

Masalah ini menjadi tantangan serius bagi pembaharuan kepemimpinan dan

kepemerintahan desa. Kepemimpinan desa tidak bisa lagi dimaknai sebagai

kepemimpinan yang demokratis, melainkan harus digerakkan melalui

kepemimpinan yang transformatif. Yaitu pemimpin desa yang tidak hanya rajin

beranjangsana melainkan para pemimpin yang mampu mengarahkan visi

jangka panjang, menggerakkan komitmen warga desa, membangkitkan kreasi

dan potensi desa.

3. Partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan

Jika pandangan yang berpusat pada negara memahami demokrasi dari sisi

akuntabilitas, transparansi dan responsivitas penyelenggaraan pemerintahan,

maka pandangan dari masyarakat, memahami bahwa pilar utama demokrasi


37

adalah masyarakat sipil (civil society). Sebuah pandangan dari masyarakat

melihat demokratisasi bukan sekedar sebagai suatu periode transisi terbatas dari

satu set aturan-aturan rezim formal ke satu set lainnya, tetapi lebih sebagai

sebuah proses berkesinambungan, sebuah tantangan abadi, sebuah perjuangan

yang terus berulang. Proses inilah yang menjadi domain masyarakat sipil.

Masyarakat sipil adalah lingkup kehidupan sosial terorganisir yang terbuka,

sukarela, timbul dengan sendirinya (self- generating), setidaknya berswadaya

secara parsial, otonom dari negara dan terikat oleh suatu tatanan legal atau

seperangkat nilai-nilai bersama. Masyarakat sipil berbeda dari masyarakat

secara umum dan dalam hal ini ia melihatkan warga yang bertindak secara

kolektif dalam sebuah lingkup publik untuk mengekspresikan kepentingan-

kepentingan, hasrat. preferensi, dan ide-ide mereka, untuk bertukar informasi,

untuk mencapai sasaran secara kolektif, untuk mengajukan tuntutan pada

negara, untuk memperbaiki struktur dan perfungsian negara, dan untuk

menekan para pejabat negara agar lebih bersifat akuntabel.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa

demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara

sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara

untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut yang bertujuan untuk

meningkatkan kualitas masyarakat yang berdaulat dan bermartabat. Pemilihan

kepala desa merupakan sarana pembentukan demokrasi di desa untuk

menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat guna melahirkan pemerintah yang

baik dan aspiratif secara langsung sebagai pengakuan keanekaragaman serta sikap

politik partisipasif dari masyarakat dalam bingkai demokratisasi pada tingkat desa.
38

D. Penyelenggaraan Pemerintahan Kampung

Orientasi penting diterbitkannya UU Desa adalah sebagai langkah

penataan desa yang beragam bentuk dan budayanya. Sebagai kosekuensi pilihan

kepala desa yang beragam, maka pengaturan tentang kelembagaan dan

penyelenggaraan pemerintahan desa dibuat beragam juga pilihannya.UU Desa

merumuskan standar norma yang bisa dipakai sebagai acuan dalam

penyelenggaraan pemerintahan desa.

Pilihan tersebut ditujukan agar penyelenggaraan pemerintahan desa

dapat lebih peka dalam memahami aspirasi dan permasalahan yang dihadapi

masyarakat. Agar tujuan tersebut dapat diwujudkankan secara maksimal maka

dirumuskan 7 asas penyelenggaraan pemerintahan desa yang ditekankan,

yaitu:21


1. Asas Kepastian Hukum;


2. Asas Tertib Kepentingan Umum;
3. Asas Keterbukaan;
4. Asas Profesionalitas;
5. Asas Akuntabilitas;
6. Asas Efisiensi;
7. Asas Efektivitas.

Penyelenggaraan pemerintahan desa dilakukan oleh badan perwakilan/

permusyawaratan desa, pemerintah desa dan musyawarah desa. Pemerintah

desa dipimpin oleh kepala desa atau disebut dengan nama lain. Proses pengisian

kepala desa dapat dilakukan secara pemilihan langsung atau musyawarah warga

secara berjenjang sesuai dengan adat istiadat dan tradisi setempat. Kepala desa

21 Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Tengah, Naskah Akademik Raperda Pemilihan

Kepala Kampung, 2019, hlm. 6. (internet) http://www.jejamo.com/pilkakam-serentak-lampung-


tengah-diikuti-70-kampung.html. Diakses pada tanggal 24 Juli 2020, pukul 23.15 WIB.
39

yang dipilih secara langsung memiliki masa jabatan selama 6 tahun dan dapat

dipilih kembali.kepala desa hanya bisa menjabat 2 kali masa jabatan. UU Desa

mengatur secara jelas hak dan kewajiban kepala desa. Selain itu juga

merumuskan pengaturan mengenai mekanisme pemilihan kepala desa,

persyaratan menjadi kepala desa, pemberhentian kepala desa serta masa jabatan

kepala desa 6 tahun. Pemilihan kepala desa merupakan salah satu agenda

penyelenggaraan pemerintahan desa yang tidak dapat dilepaskan dari proses

musyawarah desa sebagai perwujudan demokrasi permusyawaratan

(deliberative democracy).

Musyawarah desa adalah model pengambilan keputusan dengan

menggunakan musyawarah untuk mencapai mufakat secara kolektif, seperti

halnya bentuk rembug desa atau musyawarah adat. Musyawarah desa

merupakan forum tertinggi dalam mengambil keputusan atas masalah-masalah

strategis di desa. Pemilihan kepala desa merupakan salah satu bentuk masalah

strategis baik bagi desa itu sendiri yang diawali dari proses musyawarah desa di

lembaga Badan Perwakilan Desa (BPD).

Hubungan kepala desa dengan BPD didasarkan prinsip check balances.

Kepala desa atau disebut dengan nama lain menyampaikan akuntabilitasnya

dalam bentuk laporan penyelenggaraan pemerintahan pada bupati; laporan

keterangan penyelenggaraan pemerintahan pada BPD dan warga dalam forum

musyawarah desa, serta menginformasikan secara terbuka pada masyarakat.

Aspek-aspek yang diuraikan tersebut akan senantiasa berkaitan dengan proses

pemilihan kepala desa. Dengan kata lain bahwa keberadaan BPD dan laporan

penyelenggaraan pemerintahan desa tidak dapat dilepaskan dengan proses

pemilihan kepala desa.


40

Pemilihan kepala desa selayaknya diletakan dalam kerangka demokrasi

substantive. Oleh karenanya proses pemilihan harus membuka ruang bagi

demokrasi substantif. Dimensi substantif demokrasi bekerja pada ranah sosial-

budaya maupun ranah politik dan kelembagaan. Pada ranah sosial budaya,

demokrasi menganjurkan kebersamaan, toleransi, antikekerasan, pluralisme,

inklusivisme, keseteraan gender dan lain-lain. Dalam ranah politik dan

kelembagaan, demokrasi substantif yang harus diatur secara eksplisit dalam

peraturan adalah akuntabilitas, transparansi, responsivitas dan partisipasi

masyarakat. Teori demokrasi mengajarkan bahwa demokratisasi membutuhkan

hadirnya masyarakat sipil yang terorganisir secara kuat, mandiri, semarak,

pluralis, beradab, dan partisipatif. Partisipasi merupakan kata kunci utama

dalam masyarakat sipil yang menghubungkan antara rakyat biasa (ordinary

people) dengan pemerintah. Partisipasi bukan sekadar keterlibatan masyarakat

dalam pemilihan kepala desa dan BPD, tetapi juga partisipasi dalam kehidupan

sehari-hari yang berurusan dengan pembangunan dan pemerintahan desa.

Secara teoretis, partisipasi adalah keterlibatan secara terbuka (inclusion)

dan keikutsertaan (involvement). Keduanya mengandung kesamaan tetapi

berbeda titik tekannya. Inclusion menyangkut siapa saja yang terlibat,

sedangkan involvement berbicara tentang bagaimana masyarakat terlibat.

Keterlibatan berarti memberi ruang bagi siapa saja untuk terlibat dalam proses

politik, terutama kelompok- kelompok masyarakat miskin, minoritas, rakyat

kecil, perempuan, dan kelompok- kelompok marginal lainnya.

Tata kelola pemerintahan desa dikerangkai dengan sistem demokrasi

modern: pemilihan dan perwakilan. Pemilihan dan perwakilan merupakan

indikator minimal demokrasi prosedural yang harus ada dalam pemerintahan


41

desa. Selain itu, konsep perwakilan dan permusyawaratan tidak bisa

dipertentangkan secara diametral, seperti mempertentangkan antara Badan

Perwakilan Desa (model perwakilan) dan Badan Permusyawaratan Desa (model

permusyawaratan), atau mempertentangkan antara konsep pemilihan (voting)

dengan permusyawaratan. Konsep permusyawaratan sebenarnya bukan sebuah

wadah atau institusi (seperti Badan Permusyawaratan Desa atau Lembaga

Musyawarah Desa), melainkan sebuah proses kolektif untuk mengambil

keputusan. Karena itu untuk membangun demokrasi deliberatif

(permusyawaratan) tidak bisa dilakukan dengan membentuk Badan

Permusyawaratan Desa yang jumlahnya sangat terbatas, melainkan bisa

membentuk institusi lain yang lebih besar (misalnya Majelis Permusyawaratan

Desa) atau semacam wadah yang cair seperti forum warga. Yang terpenting

dalam demokrasi deliberatif (permusyawaratan) adalah proses diskusi dan

perdebatan secara kolektif untuk mencari kebaikan bersama, yang melampui

proses pemilihan (voting).

Demokrasi desa akan membuka ruang bagi rakyat untuk menyampaikan

aspirasinya kepada pemerintah desa. Aspirasi adalah fondasi kedaulatan rakyat

yang sudah lama diamanatkan dalam konstitusi. Demokrasi juga menjadi arena

untuk mendidik mental dan kepribadian rakyat agar mereka lebih mampu,

mandiri, militan dan mempunyai kesadaran tentang pengelolaan barang-barang

publik yang mempengaruhi hidup mereka. Pendidikan dan pembelajaran ini

penting, mengingat masyarakat cenderung pragmatis secara ekonomi dan

konservatif secara politik, akibat dari perkembangan zaman yang

mengutamakan orientasi material.


42

Kepala desa dipilih secara langsung oleh dan dari penduduk desa Warga

Negara Republik Indonesia yang memenuhi persyaratan dengan masa jabatan 6

(enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. kepala desa dapat menjabat

paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara

berturut-turut. sedangkan pengisian jabatan dan masa jabatan kepala desa adat

berlaku ketentuan hukum adat di desa adat sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang ditetapkan dalam peraturan daerah kabupaten/kota dengan

berpedoman pada peraturan pemerintah. 


Khusus mengenai pemilihan kepala desa dalam undang-undang ini

diatur agar dilaksanakan serentak di seluruh wilayah kabupaten/kota dengan

maksud untuk menghindari hal negatif dalam pelaksanaannya.
pemilihan

kepala desa secara serentak mempertimbangkan jumlah desa dan kemampuan

biaya pemilihan yang dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah Kabupaten/Kota sehingga dimungkinkan pelaksanaannya secara

bergelombang sepanjang diatur dalam peraturan daerah kabupaten. sebagai

akibat dilaksanakannya kebijakan pemilihan kepala desa secara serentak, dalam

Undang-Undang Desa diatur mengenai pengisian jabatan kepala desa yang

berhenti dan diberhentikan sebelum habis masa jabatan.

E. Tata Cara Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Kampung

Praktik penyelenggaraan pemilihan kepala kampung di Kabupaten

Lampung Tengah merupakan sebuah proses dalam mewujudkan demokrasi

substanstif. Keberpihakan pemerintah melalui UU Desa yang terwujud dalam

bentuk penataan desa dan alokasi dana desa selayaknya diikuti dengan
43

kebijakan dan pengaturan di tingkat pemerintah daerah. Sehubungan dengan hal

tersebut, pembentukan peeraturan daerah yang mengatur tentang pemilihan

kepala kampung di Kabupaten Lampung Tengah selayaknya diorientasikan

untuk sebuah proses demokrasi kampung yang substantif sehingga jabatan

kepala kampung dapat diisi oleh sumber daya yang baik dan mumpuni. Oleh

sebab itu, peraturan daerah ini menjadi sangat strategis karena akan mengisi 70

(tujuh puluh) jabatan kepala kampung di Kabupaten Lampung Tengah yang

tersebar di 28 kecamatan.

Pelaksanaan pemilihan kepala kampung serentak untuk 314 kampung

tersebut dapat dibagi maksimal dalam 3 (tiga) gelombang selam kurun waktu 6

(enam) tahun. Pembagian gelombang didasarkan pada berakhirnya masa

jabatan kepala kampung. Sehubungan dengan hal tersebut satuan kerja yang

membidangi masalah kampung selayaknya memetakan secara konkrit

berakhirnya masa jabatan masing-masing kepala kampung dan kemudian

mengelompokannya dalam 3 gelombang dan untuk gelombang I diikuti 70

(tujuh puluh) kampung.

Pelaksanaan pemilihan kepala kampung secara serentak berimplikasi

pada penganggaran yang harus dialokasikan dalam APBD. Tidak dapat

pungkiri bahwa pelaksanaan secara serentak akan membutuhkan anggaran

yang cukup besar. Anggaran tersebut tidak hanya berkaitan dengan pelaksanaan

pemilihan saja tetapi juga pada aspek pengamanan dan pengawasan serta

penyelesaian sengketa. Pada pelaksanaan pemilihan akan dihadapkan pada

agenda pengadaan perangkat pemilihan (TPS, kotak suara, kertas suara,

distibusi, dan lain-lain). Selain itu juga ketersediaan honor panitia baik di

tingkat desa maupun di tingkat kabupaten. Oleh karena pemilihan dilakuan


44

serentak maka konsekuensinya adalah pengeluaran yang harus ditanggung oleh

pemerintah daerah dan pemerintah desa akan menumpuk menjadi satu jumlah

angka yang sangat besar. Oleh karenanya hal ini perlu dipertimbangkan dalam

kaitannya dengan ketersediaan dana yang harus dialokasikan dalam APBD dan

ABP Kampung.

Secara normatif, materi muatan peraturan daerah pemilihan kepala

kampung dapat berdasarkan pada ketentuan PP No. 43 tahun 2014 tentang

Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan

Permendagri No. 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa. Secara garis

besar ketentuan tersebut meliputi 4 (empat) tahap, yaitu a) persiapan; b)

pencalonan; c) pemungutan suara; d) penetapan. Pada tahap persiapan yang

dijelaskan dalam Pasal 41 PP 43/2014 dapat dicermati sebagai berikut:

1. Pemberitahuan Badan Permusyawaratan Desa kepada kepala desa tentang


akhir masa jabatan yang disampaikan 6 (enam) bulan sebelum berakhir
masa jabatan;
2. Pembentukan panitia pemilihan kepala desa oleh Badan Permusyawaratan
Desa ditetapkan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari setelah
pemberitahuan akhir masa jabatan;
3. Laporan akhir masa jabatan kepala desa kepada bupati/walikota
disampaikan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah pemberitahuan
akhir masa jabatan;
4. Perencanaan biaya pemilihan diajukan oleh panitia kepada bupati/walikota
melalui camat atau sebutan lain dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari
setelah terbentuknya panitia pemilihan; dan
5. Persetujuan biaya pemilihan dari bupati/walikota dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari sejak diajukan oleh panitia.

Terdapat dua hal penting yang mendasari tahap persiapan pemilihan

kepala desa, yang mana nantinya akan berimplikasi terhadap proses pemilihan

dan pemilihan secara serentak tidak dapat terealisasi. Dikarenakan banyaknya

tugas yang harus dilaksanakan oleh kepanitiaan dapat dilihat dalam Pasal 9
45

Permendagri No. 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa sebagai

berikut:

1. Merencanakan, mengkoordinasikan, menyelenggarakan, mengawasi dan


mengendalikan semua tahapan pelaksanaan pemilihan;
2. Merencanakan dan mengajukan biaya pemilihan kepada bupati/walikota
melalui camat;
3. Melakukan pendaftaran dan penetapan pemilih;
4. Mengadakan penjaringan dan penyaringan bakal calon;
5. Menetapkan calon yang telah memenuhi persyaratan;
6. Menetapkan tata cara pelaksanaan pemilihan;
7. Menetapkan tata cara pelaksanaan kampanye;
8. Memfasilitasi penyediaan peralatan, perlengkapan dan tempat pemungutan
suara;
9. Melaksanakan pemungutan suara;
10. Menetapkan hasil rekapitulasi penghitungan suara dan mengumumkan hasil
pemilihan;
11. Menetapkan calon kepala desa terpilih; dan
12. Melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemilihan.

Dua hal yang perlu digarisbawahi yaitu kepanitiaan dan jangka waktu

perencanaan pembiayaan. Pembentukan kepanitian pemilihan kepala desa harus

dilakukan oleh badan permusyawaratan desa secara kompeten. Dengan

notabene kondisi sumber daya manusia daerah perdesaan yang kurang

kompetitif, peran pemerintah daerah sebagai pembentuk kebijakan pemilihan

kepala desa harus memberikan arahan-arahan yang dianggap perlu agar panitia

terpilih dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Implikasi dari kepanitian

yang siap dan kompeten dapat memenuhi target sesuai jenjang hari yang

diberikan yaitu 30 hari untuk penyerahan laporan biaya pelaksanaan pemilihan

kepada bupati/walikota, serta adanya kejelasan waktu yang diberikan 30 hari

kepada bupati/walikota untuk menyetujui anggaran. Dilihat dari jumlah hari

yang tersedia cukup lama akan tetapi dengan adanya desa yang tidak memiliki
46

sumberdaya manusia untuk panitia yang kurang kompetitif maka keterlambatan

pemenuhan tugas akan menunda pelaksanaan pemilihan kepala desa secara

serentak. Penundaan atas keterlambatan dari beberapa desa tersebut akan

menyalahi tujuan awal mengapa dilaksanakan pemilihan secara serentak dilihat

dari aspek efisiensi dan efektifitas.

Proses dari tahapan pencalonan kepala desa yang diatur dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 sebagai berikut:

1. Pengumuman dan pendaftaran bakal calon dalam jangka waktu 9 (sembilan)


hari;
2. Penelitian kelengkapan persyaratan administrasi, klarifikasi, serta
penetapan dan pengumuman nama calon dalam jangka waktu 20 (dua
puluh) hari;
3. Penetapan calon kepala desa sebagaimana dimaksud pada huruf b paling
sedikit 2 (dua) orang dan paling banyak 5 (lima) orang calon;
4. Penetapan daftar pemilih tetap untuk pelaksanaan pemilihan kepala desa;
5. Pelaksanaan kampanye calon kepala desa dalam jangka waktu 3 (tiga) hari;
dan
6. Masa tenang dalam jangka waktu 3 (tiga) hari.

Praktik yang terjadi didalam masyarakat desa, adanya kemungkinan

dalam hal seseorang sebagai pemuka desa yang dianggap layak untuk

memimpin desa. Keadaan tersebut dapat menimbulkan potensi akan hanya

munculnya seorang calon dari kepala desa dan tidak memenuhi syarat

administratif dimulainya pemilihan sebagaimana diamanatkan dalam

pelaksanaan pencalonan dalam peraturan pelaksana UU Desa dengan minimal

calon kepala desa sebanyak dua (2) orang. Akibat dari keadaan diatas kembali

mengulur waktu akan pemilihan yang harusnya dijadwalkan serentak, dalam hal

ini perlunya kesiapan panitia untuk serta membantu para calon yang dianggap

memliki kemauan dalam mencalonkan diri dan panitia harus memberikan


47

pengarahan tentang syarat administratif sehingga mempercepat proses

pencalonan.

Pada tahap pencalonan perlu diperhatikan agar tidak menghilangkan

sifat demokrasi secara substantif yaitu pada pasal 30 ayat (2) Permendagri No.

112 Tahun 2014 menyatakan bahwa pelaksanaan Kampanye dilarang

mengikut-sertakan perangkat desa, mulai dari sekretaris desa, kepala dusun,

kepala RT dan kepala urusan desa. Ketika kepala desa berjalan mencalonkan

kembali dirinya menjadi kepala desa, kedekatan emosional kepala desa dengan

perangkat desa sangat berpengaruh dalam mensukseskan kembali terpilihnya

calon yang berasal dari kepala desa berjalan. Maka perlunya pengawasan secara

ketat oleh pihak pengawas pemilihan kepala desa dan segenap masyarakat agar

tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan sebagai implikasi dari pemilihan

yang tidak bersifat demokrasi secara substantif.

Salah satu agenda penting dalam penyusunan peraturan daerah

pemilihan kepala kampung adalah mengakomodir karakterisitik masyarakat

Kabupaten Lampung Tengah. Ketentuan normatif dalam standar norma dari

pemerintah, terutama Permendagri No. 112 Tahun 2014 harus disesuaikan

dengan kondisi yang ada di Kabupaten Lampung Tengah. Penyesuaian

dimaksud ditujukan untuk mengakomodir karakteristik dan kondisi riil yang

berkembang sesuai dengan dinamika masyarakat Lampung Tengah.

Selain itu, banyak aspek yang tidak diatur dan/atau belum diatur secara

konkrit oleh ketentuan peraturan perundangan sebagai merupakan standar

norma yang diterbitkan oleh pemerintah. Kondisi riil yang sering terjadi di

Kabupaten Lampung Tengah dalam proses pemilihan kampung adalah


48

kemungkinan terjadinya konflik horisontal. Konflik tersebut disebabkan oleh

berbagai faktor yang antara lain karena:

1. Rendahnya pemahaman terhadap peraturan perundangan;

2. Independensi panitia;

3. Konflik kepentingan;

4. Pemilihan kepala kampung sebagai obyek judi;

Faktor-faktor tersebut harus diantisipasi melalui ketentuan peraturan

perundangan yang tertuang dalam peraturan daerah. Proses pemilihan kepala

kampung pada dasar telah diatur dalam Permendagri No. 112 Tahun 2014,

namun banyak aspek yang tidak diatur dan/atau belum diatur secara konkrit,

sehingga perlu diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah. Aspek-aspek

dimaksud adalah:

1. Independesi panitia pemilihan;


2. Konkritisasi/penetuan periodisasi pemilihan kepala kampung dalam kurun
waktu 6 tahun;
3. Proses dan persyaratan pengisian penjabat kepala kampung;
4. Penyelesaian sengketa,
5. Pelantikan dan pengambilan sumpah;
6. Pembinaan dan pengawasan;

Peraturan daerah pemilihan kepala kampung Kabupaten Lampung

Tengah harus mengatur secara komprehensif sehingga tidak terjadi kekosongan

hukum. Peraturan daerah harus dapat memberikan dan menjamin kepastian

hukum dan mencegah terjadinya sengketa serta menjamin keberlangsungan

penyelenggaraan pemerintahan kampung secara kondusif. Kegiatan Pilkades

diatur dalam Pasal 32 UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang dalam

ketentuan ini peran BPD dan kepala desa yang sedang menjabat saling
49

berketerkaitan. Rangkaian kegiatan pemilihan kepala desa sebelum pemilihan

dimulai, BPD akan memberitahukan secara tertulis kepada kepala desa yang

sedang menjabat bahwa akan ada pemilihan kepala desa baru, pemberitahuan

tersebut disampaikan 6 bulan sebelum jabatan kepala desa yang sedang

menjabat berakhir masa jabatannya. BPD selanjutnya akan membentuk panitia

pemilihan yang terdiri atas unsur perangkat desa, lembaga kemasyarakatan, dan

tokoh masyarakat desa yang bersifat tidak memihak.

Berdasarkan hal tersebut menerangkan fungsi BPD yang turut serta

dalam pemerintahan desa yang ikut berperan aktif dalam pembangunan desa

berjalan dengan koordinatif. Telah disebutkan pada tahapan awal dari pemilihan

kepala desa, selanjutnya adalah mengenai persyaratan untuk dapat mencalonkan

diri sebagai kepala desa. Pasal 33 UU No. 6 Tahun 2014, khusus pada huruf (m)

pasal tersebut harus diperhatikan mengenai persyaratan tambahan untuk calon

kepala desa disesuaikan dengan masing-masing daerah kabupaten/kota, yang

ditetapkan dalam peraturan daerah. Persyaratan tersebut dalam hal ini harus

dipandang secara luas oleh pemerintah daerah, pasalnya persyaratan tersebut

merupakan peluang untuk menyesuaikan persyaratan supaya tepat dan sesuai

dengan kondisi secara sosial di masyarakat. Pemerintah daerah memegang

peranan penting untuk mewujudkan fungsi pemerintah daerah yang mengawasi

dan berperan serta dalam urusan pemerintahan desa dalam bidang pemilihan

kepala desa.
50

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Metode adalah suatu yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai

tujuan atau tata cara yang tersistem untuk memudahkan pelaksana suatu

kegiatan guna mencapai suatu tujuan. Penelitian merupakan suatu proses dan

sesuai rangkaian usaha yang dilakukan secara sistematis guna mendapatkan

jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tertentu. Jadi metode penelitian

adalah suatu cara yang digunakan untuk program dan kegiatan penelitian.

Mengingat terdapat aneka ragam sasaran kajian dan masalah penelitian,

metode sebagai jalan, alat, cara dan pendekatanya pun bermacam-macam. Jadi

pada dasarnya metode penelitian adalah suatu ilmu tentang metode-metode

ilmiah sebagai cari kerja yang digunakan dalam kegiatan penelitian untuk

menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu peristiwa atau

pengetahuan.

Pendekatan masalah dalam penelitian ini mengacu kepada pendapat

Soerjono Soekanto yang menyatakan bahwa pendekatan masalah dalam

penelitian hukum menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis

empiris.

1. Pendekatan yuridis normatif dilakukan melalui studi kepustakaan (library

research) dengan mempelajari dan menelaah ketentuan-ketentuan hukum

yang berlaku, dokumen atau literatur berkaitan permasalahan yang diteliti.

50
51

2. Pendekatan empiris dilakukan dengan melakukan penelitian langsung di

lokasi penelitian dengan cara melakukan pengamatan (observasi) dan

wawancara (interview) dengan pihak yang berkompeten guna memperoleh

gambaran dari data yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.

Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis

normatif dan pendekatan empiris yaitu pendekatan dilakukan dengan

mempelajari dan menelaah ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku,

dokumen atau literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti yaitu

kajian yuridis penyelenggaraan pemilihan kepala kampung serentak di 70 desa

di Kabupaten Lampung Tengah berdasarkan UU No.6 Tahun 2014 tentang

desa.

B. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini mengacu kepada pendapat

Soerjono Soekanto yang bersumber dari penelitian kepustakaan (library

research) dan Penelitian Lapangan (field research) yang terbagi menjadi:

1. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara studi kepustakaan

melalui membaca, mengutip, menyalin dan menelaah berbagai literatur,

teori-teori dan peraturan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

Data sekunder terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum, yaitu:

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat terdiri dari:

1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;

2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah


52

3) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Aturan

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

4) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 112 Tahun 2014 tentang

Pemilihan Kepala Desa.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan atau membahas bahan hukum primer, misalnya buku-buku,

referensi, literatur atau karya tulis yang terkait dengan materi penelitian

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

terhadap hukum primer dan sekunder seperti kamus Bahasa Inggris dan

Kamus Besar Bahasa Indonesia, majalah, surat kabar dan internet.

2. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh dengan cara penelitian langsung

terhadap obyek penelitian yaitu di wilayah penyelenggaraan pemilihan

kepala kampung serentak di 70 kampung di Kabupaten Lampung Tengah.

C. Teknik Pengumpulan Data

Prosedur Pengumpulan Data

1) Data sekunder diperoleh dengan cara studi kepustakaan melalui membaca,

mengutip, menyalin dan menelaah berbagai literatur, teori-teori maupun

berbagai peraturan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

2) Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung melalui kegiatan

penelitian di wilayah penyelenggaraan pemilihan kepala kampung serentak

di 70 kampung di Kabupaten Lampung Tengah yang terdiri dari:


53

a) Observasi yaitu teknik pengumpulan data dengan cara melakukan

pengamatan secara langsung pada lokasi dan obyek penelitian.

b) Wawancara yaitu dengan mengumpulkan data primer dengan jalan

mewawancarai sumber-sumber data dengan mengajukan beberapa

pertanyaan secara terbuka yang berkaitan dengan penyelenggaraan

pemilihan kepala kampung serentak di 70 kampung di Kabupaten

Lampung Tengah berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014.

D. Teknik Pengolahan Data

Data yang telah diperoleh selanjutnya akan diolah dengan cara:

1) Editing, yaitu meneliti kembali kelengkapan data yang diperoleh, apabila

masih belum lengkap maka diusahakan akan melengkapi kembali dengan

melakukan koreksi ulang ke sumber data yang bersangkutan. Selain itu juga

melakukan pemeriksaan bila ada kesalahan atau kekeliruan terhadap data

yang telah diperoleh.

2) Sistematisasi, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap

pokok bahasan secara sistematis sehingga memudahkan pembahasan.

3) Interpretasi yaitu memberikan penafsiran atau penjabaran dari tabel atau

perhitungan data untuk dicari makna yang lebih luas dengan

menghubungkan jawaban yang diperoleh dengan data lain.

E. Analisis Data

Analisis data dalam pelaksanaan penelitian ini akan dilakukan dengan

analisis kualitatif yaitu dengan mengkaji secara mendalam fenomena hukum

yang telah diperoleh untuk mendapatkan kualitas data yang berupa uraian

kalimat yang tersusun secara sistematis dan selanjutnya ditulis dengan


54

menggambarkan secara deskriptif yang kemudian ditarik kesimpulan melalui

cara berfikir yang induktif dan deduktif, sehingga merupakan jawaban

permasalahan berdasarkan hasil penelitian.

Hadari Nawawi mengemukakan bahwa analisis kualitatif adalah

prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/

melukiskan keadaan subjek/objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat

dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau

sebagaimana adanya. 22 Penelitian kualitatif adalah cara mengkaji dan melihat

gejala sosial dan kemanusiaan dengan memahaminya yaitu dengan cara

membangun suatu gambaran yang utuh atau holistik yang kompleks, dimana

gejala-gejala yang tercakup dalam kajian itu dilihat sebagai sesuatu yang terkait

satu dengan yang lainnya dalam hubungan-hubungan fungsional sebagai sebuah

sistem.

22 Hadari Nawawi, Metode Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hlm. 122
55

DAFTAR PUSTAKA

A.G. Subarsono, Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008

Affan Gaffar, Paradigma Baru Otonomi Daerah dan Implikasinya, Citra Aditya
Bakti, Jakarta, 2006

Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum, UII,
Yogyakarta, 2005

Janedri M Gaffar, Demokrasi Dan Pemilu Di Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press,


2013

HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Indonesia, PT Raja Grafindo


Persada, Jakarta, 2007

Hadari Nawawi, Metode Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta, 1992

Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Grasindo,
Jakarta, 2007

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Poltik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,


2010

Ni’matul Huda, Ilmu Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2011

Nurmayani, Hukum Administrasi Daerah, Bandar Lampung; Universitas Lampung,


2009

Rianto Nugroho D, Otonomi Daerah (Desentalisasi Tanpa Revolusi), Elekmedia


Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta, 2000

Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah


Secara Langsung, PT Raja Grasindo, Jakarta, 2007

The Liang Gie, Pertumbuhan Daerah Pemerintahan Daerah di Negara Kesatuan


Republik Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, 2011

Wasistiono, Sadu dan M. Irwan Tahir, Prosfek Pengembangan Desa, Fokus Media,
Bandung, 2006

Anda mungkin juga menyukai