Anda di halaman 1dari 27

RESUME BIDANG ILMU BEDAH MULUT

ODONTEKTOMI

Dosen Pembimbing:
drg. Helmi Hirawan Sp. BM

Disusun Oleh:
Ghina Nurul ‘Adilah
G4B019012

Komponen
Pembelajaran Resume Diskusi
Daring

Nilai & Tanggal

Tanda Tangan
DPJP

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER GIGI
PURWOKERTO
2021
A. TINJAUAN PUSTAKA
Gigi bungsu adalah gigi molar ketiga, terletak dirahang atas dan bawah,
yang terbentuk dan mengalami erupsi paling akhir. Umumnya erupsi terjadi pada
usia 16 -25 tahun (periode age of wisdom) sehingga gigi bungsu disebut sebagai
wisdom teeth. Proses erupsi gigi bungsu dalam rongga mulut sering mengalami
gangguan berupa impaksi (Rahayu, 2014).
Gigi impaksi paling banyak terjadi pada gigi bungsu atau molar ketiga.
Proses pembentukan benih gigi bungsu diawali sebelum usia 12 tahun dan
pertumbuhannya berakhir atau gigi bungsu akan terbentuk sempurna pada usia
sekitar 25 tahun (periode age of wisdom) sehingga gigi bungsu disebut sebagai
wisdom teeth. Selama proses pertumbuhan gigi ke dalam rongga mulut, benih gigi
akan menembus tulang alveolar dan mukosa gingiva di atas benih gigi. Hal itu
terjadi akibat dorongan ke arah permukaan karena pertumbuhan/ pertambahan
panjang akar gigi disertai retraksi operkulum/gingiva yang semula menutupinya
(Rahayu, 2014).

Gambar 1. Anatomi dan pertumbuhan gigi bungsu. Pada usia 12 tahun, sebagian
mahkota benih gigi bungsu mulai terbentuk: (1a); pada usia 14 tahun, mahkota
gigi sudah terbentuk lengkap (1b). Pada usia 17 tahun, mahkota gigi dan akar gigi
mulai terbentuk sebagian (1c) akhirnya pada usia 25 tahun, mahkota dan akar gigi
terbentuk sempurna (1d). Tampak benih gigi bungsu atas dan bawah dalam
keadaan impaksi (sumber: dimodifikasi dari American Association of Oral and
Maxillofacial Surgeon /AAOMS)

1. Etiologi dan Patogenesis Impaksi Gigi Bungsu


a. Genetik
Masalah genetik biasanya merupakan kondisi yang diwarisi dari orang
tua baik dari ayah maupun ibu. Seseorang biasanya dengan mudah diduga
memiliki gigi bungsu impaksi bila gigi di bagian anterior tampak berjejal
(Rahayu, 2014).
b. Nutrisi
Makanan yang dikonsumsi manusia modern cenderung lebih lunak
sehingga kurang merangsang pertumbuhan dan perkembangan lengkung
rahang. Proses mengunyah makanan yang keras dianggap dapat merangsang
pertumbuhan rahang karena terjadi aktivasi otot mastikasi sehingga rahang
terangsang untuk tumbuh maksimal (Rahayu, 2014).
c. Malposisi benih gigi
Benih gigi malposisi atau benih terbentuk dalam berbagai angulasi
yaitu mesial, distal, vertikal, dan horisontal yang mengakibatkan jalur erupsi
yang salah arah. Impaksi mesial merupakan malposisi yang paling sering
ditemukan, diikuti oleh impaksi vertikal, horisontal dan yang paling jarang
adalah impaksi distal (Rahayu, 2014).

Gambar 2. Angulasi gigi impaksi. Pada gambar di atas dapat dilihat arah pertumbuhan
berdasarkan angulasi gigi impaksi. Benih gigi dapat tumbuh sebagai gigi
impaksi mesial (2a), impaksi vertikal (2b), impaksi horisontal (2c) dan
impaksi distal (2d).

Angulasi benih gigi impaksi dapat erupsi sebagian atau hanya


sebagian mahkota gigi yang erupsi (partially/soft-tissue impacted). Gigi
telah menembus tulang tetapi tetap terletak dibawah mukosa gingiva. Gigi
bungsu juga dapat sama sekali tidak mengalami erupsi atau tetap terbenam
di dalam tulang rahang yang disebut impaksi totalis (totally/bony impacted).

Gambar 3. Erupsi gigi impaksi. Gigi bungsu dapat mengalami erupsi sebagian atau
disebut impaksi parsialis/partially/soft-tissue impacted (3a), namun benih
gigi dapat sama sekali tidak mengalami erupsi atau disebut impaksi totalis
atau totally/bony impacted (3b)
2. Komplikasi Impaksi Gigi Bungsu
Gigi bungsu impaksi, dapat terjadi tanpa gejala atau hanya menimbulkan
rasa nyeri tumpul pada rahang, yang menyebar sampai ke leher, telinga dan
daerah temporal (migrain). Hal itu terjadi akibat penekanan gigi pada nervus
alveolaris inferior yang terletak didekatnya. Gigi impaksi yang tidak ditangani
dengan baik, dapat menimbulkan komplikasi serius, seperti karies dentis,
infeksi dan pembentukan kista atau tumor (Rahayu, 2014).
a. Karies Dentis
Karies dentis terjadi karena pada daerah tersebut mudah terjadi retensi sisa
makanan dan sulit dibersihkan, sehingga menyebabkan dekalsifikasi enamel
dan dentin, kemudian menyebabkan kerusakan yang luas sehingga menembus
atap pulpa. Peradangan pulpa atau pulpitis dapat terjadi akut dengan keluhan
nyeri hebat berdenyut, namun dapat pula berlangsung kronis dan keluhan nyeri
hanya muncul bila terkena rangsang dingin atau saat kemasukan makanan.
Lambat laun, pulpa gigi menjadi non-vital yang disebut gangren pulpa.
Gangren gigi bungsu dapat menjadi sumber infeksi yang kronis dan menyebar
secara hematogen ke organ tubuh lain yang jauh letaknya. Kondisi tersebut
akan berlangsung terus menerus selama gigi gangren tidak ditangani dengan
baik (Rahayu, 2014).

a b

Gambar . Karies dentis pada molar ke-dua yang terjadi karena desakan gigi bungsu
yang impaksi (a). Karies dentis pada gigi bungsu (molar ke-tiga) yang
impaksi sebagian, akibat terbentuknya celah yang terisi sisa makanan dan
sulit dibersihkan (b).

a. Infeksi Perikoronal
Pada gigi bungsu yang mengalami impaksi parsialis, operkulum menetap
dan celah dibawah operkulum menjadi tempat akumulasi debris yang menjadi
media untuk pertumbuhan kuman anaerob. Operkulum juga dapat mengalami
trauma gigitan dari molar ketiga rahang atas yang sudah erupsi sehingga terjadi
ulkus. Ulkus dapat merupakan pintu masuk kuman sehingga terjadi operkulitis
yaitu infeksi operkulum seputar korona gigi. Infeksi dapat meluas ke daerah
perikoronal yaitu seluruh mukosa sekitar korona gigi, atau disebut
perikoronitis. Gejala khas abses perikoronal berupa nyeri hebat dan trismus
parsialis bahkan totalis yaitu penderita tidak bisa membuka mulut sama sekali
akibat spasme muskulus pembuka/penutup mulut. Penderita sulit
membersihkan gigi dan mulutnya, sehingga timbul halitosis. Keadaan umum
penderita diperburuk oleh kesulitan mengunyah dan menelan. Sering tampak
pembengkakan ringan sampai sedang pada pipi yang berdekatan dengan gigi
bungsu penyebab (Rahayu, 2014).

Gambar 5. Operkulitis. Operkulum yang tidak mengalami atrofi sempurna mudah


terinfeksi dan menjadi operkulitis (5a). Gigitan oleh molar ke-tiga rahang
atas memudahkan pembentukan ulkus yang menjadi pintu masuk infeksi
yang selanjutnya menjadi operkulitis. Bila infeksi meluas ke daerah
perikoronal akan terjadi perikoronitis (5b). Operkulitis atau perikoronitis
dapat berlanjut, menjadi abses perikoronal (5c dan 5d).

b. Abses
Keadaan umum penderita yang menurun dapat menyebabkan abses
perikoronal mudah menjalar ke daerah peritonsilar/ parafaringeal menjadi
abses peritonsilar atau abses parafaringeal yang dapat menyumbat jalan nafas.
Obstruksi total dapat terjadi bila terjadi infeksi bilateral dan hal itu merupakan
kegawat-daruratan medik yang mengancam jiwa. Infeksi juga dapat menjalar
menjadi abses fasialis dan abses submandibularis. Abses perikoronal
selanjutnya dapat meluas menjadi selulitis masif pada ruang submandibular,
submental, sublingual yang dapat terjadi bilateral sekaligus, dan disebut
disebut angina Ludwig. Keadaan itu sangat mengancam jiwa karena dapat
terjadi sepsis, jalan nafas tersumbat, trismus totalis, sulit makan, sulit menelan,
febris dan dehidrasi berat Infeksi perikoronal dapat berlangsung terus menerus,
kronik tanpa gejala akut, tetapi menjadi fokus infeksi. Secara hematogen,
bakteri menyebar secara progresif mengikuti aliran darah menimbulkan infeksi
sistemik atau menginfeksi bagian tubuh lain seperti jantung mengakibatkan
endokarditis, ke ginjal menyebabkan nefritis, bahkan ke intrakranial menjadi
trombosis sinus kavernosus yang dapat menimbulkan kematian (Rahayu,
2014).

Gambar 6. Skema penjalaran infeksi dari daerah perikoronal ke arah peritonsilar/


parafaringeal, menyebabkan abses peritonsilar (6a) atau abses parafaringeal
(6b). Skema penjalaran infeksi menjadi abses fasialis dan abses
submandibularis (6c). Skema penjalaran infeksi dari gigi secara hematogen
ke intrakranial (6d). Pasien dengan infeksi yang meluas menjadi abses
fasialis dan abses submandibularis (6e) atau angina Ludwig (6f)

c. Kista
Benih gigi yang tumbuh tak sempurna juga dapat menjadi tumor. Secara
fisiologis, setiap benih gigi diselubungi oleh kantung yang akan menghilang
apabila erupsi berlangsung normal. Pada gigi impaksi totalis, kantung tersebut
dapat mengalami degenerasi kistik, menjadi kantung patologis berisi cairan,
disebut kista dentigerous atau kista folikular. Pembesaran kista pada rahang
mengakibatkan destruksi tulang. Kista juga akan menghuni dan membuat
rongga luas dalam tulang. Hal itu akan menimbulkan asimetri wajah, dan dapat
pula menyebabkan fraktur rahang patologis. Kista dentigerous yang terbentuk
oleh impaksi totalis gigi bungsu atas, bahkan dapat dengan bebas mengisi sinus
maksilaris, menembus dinding lateral sinus sehingga menimbulkan benjolan
pada pipi. Pada gigi impaksi parsialis yang mengalami karies profunda dan
menjadi gangren pulpa, dapat pula terbentuk kista pada ujung akar gigi yaitu
kista radikular atau disebut pula kista periodontal (Rahayu, 2014).

Gambar 7. Kista dentigerous yang mengalami degenerasi kistik dari kantung benih
gigi yang tidak menghilang pada gigi impaksi totalis (7a, 7b). Kista
radikular/periodontal yang terbentuk di daerah akar gigi (7c).

d. Tumor
Kista dentigerous bahkan dapat berkembang menjadi tumor yaitu
ameloblastoma. Ameloblastoma dapat membesar, merupakan massa jaringan
fibrous yang padat dan mendesak gigi geligi di sekitarnya sehingga lengkung
rahang berubah. Mengingat sifat neoplasma tersebut yang secara klinis ganas
pada daerah yang terbatas, diperlukan perawatan radikal berupa reseksi rahang
(blok/parsial/total), sekaligus odontektomi gigi bungsu yang impaksi totalis
tersebut (Rahayu, 2014).

Gambar 8. Gambaran klinis ekstra-oral ameloblastoma mandibula sinistra, tampak


pembengkakan di daerah mandibula kiri (8a). Gambaran klinis intraoralnya,
lengkung rahang berubah dari bentuk U menjadi V (8b).
3. Klasifikasi Impaksi
Salah satu faktor penting dalam perencanaan dan penatalaksanaan klinis
odontektomi gigi molar ketiga adalah prediksi waktu pembedahan. Prediksi
waktu pembedahan dipengaruhi oleh tigkat kesulitan pembedahan yang dapat
dinilai dari klasifiasi impaksi gigi molar ketiga. Klasifiasi impaksi gigi molar
ketiga menggunakan parameter bentuk dan posisi gigi dan area sekitarnya
menggunakan pemeriksaan radiografi yaitu Winter, Pell dan Gregory,
Pederson, Wharfe, Maglione, sedangkan Mozzat yang mengkombinasikan
radiografi anatomi dan faktor sistemik (Lita dan Hadikrishna, 2020).
a. Winter (1926)
Winter menjelaskan tiga garis imajiner berupa WAR lines yang
digambarkan pada radiografi periapikal yaitu garis White, Amber dan Red.
White line ditarik sepanjang oklusal gigi molar kesatu dan molar kedua dan
berakhir di atas molar ketiga. Garis pertama ini digunakan untuk menilai
inklinasi aksial pada gigi impaksi. Garis kedua Amber line berjalan
sepanjang tulang alveolar crest di antara gigi molar kesatu dan kedua
memanjang hingga distal sepanjang linea oblik interna. Garis ini
mengindikasikan batas tulang alveolar yang meliputi gigi setelah dilakukan
flap. Garis terakhir atau red line ditarik tegak lurus dari white line melewat
red line hingga titik aplikasi penempatan elevator. Red line digunakan untuk
mengukur kedalaman gigi impaksi di dalam tulang rahang jika red line 5
mm atau lebih, pencabutan molar ketiga termasuk klasifikasi sulit dan
diindikasikan menggunakan anestesi umum (Lita dan Hadikrishna, 2020).

Angulasi sumbu panjang gigi impaksi molar terhadap sumbu panjang


gigi M2 menurut Winter meliputi impaksi mesioangular, horizontal,
distoangular dan vertikal (Fragiskos, 2007).
Gambar 1. Klasifikasi impaksi M3 berdasarkan angulasi gigi (1) mesioangular; (2)
distoangular; (3) vertikal; (4) horizontal; (5) bukoangular; (6) linguoangular;
(7) inverted

e. Pell dan Gregory (1933)


Klasifiasi Pell dan Gregory didasarkan atas dua faktor. Faktor pertama
adalah kedalaman relatif gigi molar ketiga yang terdiri dari sebagai berikut
(Eshghpour dkk., 2014).
- kelas A: bidang oklusal gigi impaksi dalam posisi sama dengan bidang
oklusal gigi molar kedua,
- kelas B: bidang oklusal gigi impaksi berada di antara bidang oklusal
dan garis servikal gigi molar kedua,
- kelas C: bidang oklusal gigi impaksi dalam posisi di bawah garis
servikal gigi molar kedua.
Faktor yang kedua adalah hubungan ramus dan ruangan yang tersedia
terdiri dari sebagai berikut (Eshghpour dkk., 2014).
- Kelas I jika antero-posterior gigi M3 = jarak dari anterior ramus ke
distal M2
- Kelas II jika jarak dari anterior ramus ke distal M2 lebih kecil dari
anterioposterior gigi M3, terdapat sejumlah tulang yang masih
menutupi bagian distal M3
- Kelas III jika tidak ada ruang sama sekali untuk erupsi gigi M3
f. WHARFE-Macgregor (1985)
WHARFE direkomendasikan oleh Macgregor merupakan sistem
penilaian untuk memprediksi tigkat kesulitan pencabutan gigi molar ketiga.
Penilaian Wharfe merupakan akronim yang terdiri dari klasifiasi Winter
(Winter Classifiatin), tinggi mandibula (Height of mandible), angulasi gigi
molar (Angulatin of second molar), bentuk dan morfologi akar (Root shape
and morphology, perkembangan folikel (Follicle development), jalur keluar
pencabutan gigi (Path of Exit of the toot during removal) (Lita dan
Hadikrishna, 2020).
Pederson mengajukan modifiasi skala Pell dan Gregory yang meliputi
tiga faktor yaitu, posisi gigi molar ketia (mesioangular, horizontal, vertikal
atau distoangular) dan klasifiasi Pell and Gregory kedalaman relatif (Kelas
A, B dan C) serta hubungan dengan ramus dan ruangan yang tersedia. Skala
Pederson diajukan untuk evaluasi pada radiografi panoramik. Detail
penghitungan skor klasifiasi Pederson ditunjukkan pada tabel berikut (Lita
dan Hadikrishna, 2020).
g. Rood dan Shebab (1990)
Indikator radiografi posisi gigi dengan risiko tinggi dengan kanalis
mandibularis diidentifikasikan oleh Rood dan Shebab menjadi 7 kategori
yaitu sebagai berikut (Lita dan Hadikrishna, 2020).
- Darkening of the root yaitu hilangnya densitas pada akar sehingga
akar tampak lebih radiolusen.
- Deflcted roots yaitu akar gigi defleksi di sekitar kanal, terlihat seperti
deviasi pada akar. Akar dapat defleksi ke arah bukal, lingual maupun
keduanya meliput area kanalis dan juga mesial atau distal.
- Narrowing of the root, jika terdapat penyempitan pada akar dan
melewat kanalis, hal tersebut menunjukkan bahwa bagian terbesar dari
diameter akar telah meliputi kanalis atau tedapat perforasi pada akar.
- Dark and bifid root merupakan tanda yang muncul ketika kanalis
mandibularis melewati akar dan diidentifiasi sebagai bayangan ganda
membran periodontal pada bifi apeks.
- Interuptin of the white line(s), yaitu dua garis radiopak yang mewakili
atap dan dinding kanalis mandibularis. Garis tersebut menghilang jika
mencapai struktur gigi.
- Diversion of the inferior alveolar canal, kanalis bergeser ketika
dilewat gigi molar ketiga.
- Narrowing of the inferior alveolar canal, kanalis mandibularis dapat
menyempit ketika dilewat oleh akar molar ketiga.

h. Juodzbalys dan Daugela (2013)


Juodzbalys dan Daugela mengajukan stratifiasi klasifikasi
komprehensif pada gigi impaksi yang dihitung berdasarkan skor global yang
mewakili kesulitan pembedahan. Penilaian berdasarkan empat posisi gigi
impaksi yaitu, posisi mesio-distal gigi molar ketiga dengan molar kedua dan
ramus mandibula, posisi apiko-koronal dengan puncak tulang alveolar dan
kanalis mandibularis (risiko trauma saraf alveolaris inferior), posisi buko-
lingual dengan lingual mandibularis dan dinding bukal (risiko trauma saraf
lingualis) dan posisi parsial. Penilaian dideskripsikan dalam skor 0-3 (0
konvensional, 1 sederhana 2 sedang, 3 sulit) pada 6 item (M, R, A, C, B, S)
d/ seperti yang tercantum pada tabel berikut (Lita dan Hadikrishna, 2020).
i. The New Performa Index
Zhang et al. mengajukan indeks baru untuk penilaian tigkat kesulitan
pencabutan gigi impaksi molar ketika dengan 6 kriteria yaitu derajat
impaksi gigi, bentuk akar, sudut impaksi, hubungan dengan kanalis
alveolaris inferior, jumlah akar, dan usia pada Tabel 3, dengan minimum
skor 15 dan maksimum skor 30.
4. Odontektomi
Odontektomi adalah pengeluaran gigi yang tidak dapat bertumbuh atau
bertumbuh sebagian (impaksi) dimana gigi tersebut tidak dapat dikeluarkan
dengan cara pencabutan tang biasa melainkan diawali dengan pembuatan flap
mukoperiostal, diikuti dengan pengambilan tulang undercut yang menghalangi
pengeluaran gigi tersebut, sehingga diperlukan persiapan yang baik dan rencana
operasi yang tepat dan benar dalam melakukan tindakan bedah pengangkatan
molar bawah yang terpendam, untuk menghindari terjadinya komplikasi-
komplikasi yang tidak diinginkan (Pedersen, 2012).
Odontektomi dilakukan dengan anestesi lokal, dapat dilakukan pada pasien
yang kooperatif, dan cukup dirawat jalan. Pada pasien dengan tingkat ansietas
tinggi, diberikan anestesi lokal ditambah sedasi sadar, atau dengan anestesi umum.
Anestesi umum khususnya diberikan pada kasus impaksi yang sangat sulit, atau
pada pasien yang tidak kooperatif, seperti penderita gangguan mental. Pasien
harus dirawat inap dan diberikan premedikasi seperlunya pada pra-bedah dan saat
pemulihan pasca bedah. Pada beberapa pasien ketika mengetahui memiliki gigi
bungsu impaksi, secara spontan menghendaki odontektomi walaupun tanpa
keluhan. Hal tersebut ditujukan untuk menghindari kemungkinan komplikasi yang
mungkin timbul kelak. Tindakan profilaksis tersebut dikenal dengan odontektomi
preventif. Tindakan odontektomi jauh lebih sulit dan berisiko lebih tinggi bila
dilakukan pada gigi impaksi totalis-vertikal dibandingkan dengan gigi impaksi
parsialis-horizontal (Rahayu, 2014).
Odontektomi lebih mudah dilakukan pada pasien usia muda saat mahkota
gigi baru saja terbentuk, sementara apeks gigi belum sempurna terbentuk.
Jaringan tulang sekitar juga masih cukup lunak sehingga trauma pembedahan
minimal, tidak mencederai nervus atau jaringan sekitar. Odontektomi pada pasien
berusia diatas 40 tahun, tulangnya sudah sangat kompak dan kurang elastis, juga
sudah terjadi ankilosis gigi pada soketnya, menyebabkan trauma pembedahan
lebih besar, dan proses penyembuhan lebih lambat. Odontektomi kadang-kadang
perlu dilakukan pada dewasa tua, misalnya bila gigi impaksi tersebut diperkirakan
akan mengganggu stabilisasi gigi tiru yang akan dipasang. Selain itu, spesialis
bedah mulut kadang-kadang menerima rujukan pasien dari spesialis ortodonsi
agar mencabut gigi bungsu yang impaksi. Tindakan itu dimaksudkan agar gigi
geligi yang akan ataupun yang sudah diatur posisinya tidak kembali malposisi
karena desakan gigi yang impaksi. Tindakan odontektomi harus dilakukan pada
gigi bungsu dan molar kedua yang gangren pulpa serta pada kasus infeksi
perikoronal yang berulang agar tidak timbul kedaruratan medik. Odontektomi
disertai enukleasi kista dan kuretase tulang sekitarnya dilakukan pada kasus kista
dentigerous dan kista radikular (Rahayu, 2014).
Odontektomi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dikeluarkan gigi
secara utuh dan secara separasi.
1. Indikasi dilakukan tindakan odontektomi gigi impaksi yaitu:
a. Sebagai tindakan pencegahan dari terjadinya infeksi  karena erupsi
yang terlambat dan abnormal (perikoronitis), dan mencegah
berkembangnya folikel menjadi keadaan patologis (kista odontegenik
dan neoplasia).
b. Golden age (panjang akar 1/3 atau 2/3) dan sebelum mineralisasi
tulang (15-25 tahun).
c. Bila terdapat kelainan patologis (odontegenik).
d. Sebelum dilakukan rencana perawatan orto (memperbaiki maloklusi)
e. Terdapat keluhan rasa sakit atau pernah merasa sakit berdenyut kadang
terasa sakit sampai kepala
f. Gigi impaksi terlihat mendesak gigi molar kedua.
g. Diperkirakan akan mengganggu perawatan orthodonsia dan pembuatan
protesa.
h. Akan mengganggu perawatan di bidang konservasi atau pembuatan
mahkota gigi pada gigi molar kedua
i. Terdapat keluhan neurologi, misalnya : cephalgia, migrain
j. Merupakan penyebab karies pada molar kedua karena retensi makanan
k. Terdapat karies yang tidak dapat dilakukan perawatan
l. Telah terjadi defek pada jaringan periodontal pada gigi molar kedua
(Peterson, 2004).
2. Kontra indikasi odontektomi gigi impaksi yaitu:
a. Apabila pasien tidak menghendaki giginya dicabut.
b. Bila tulang yang menutupi gigi yang tertanam terlalu banyak sehingga
struktur tulang yang dibuang banyak dan mengakibatkan lamanya
proses penyembuhan ataupun tulang menjadi rapuh atau rentan fraktur.
c. Pasien dengan riwayat penyakit yang berat, seperti diabetes mellitus,
penyakit jantung, dan hipertensi.
d. Kemungkinan timbulnya kerusakan yang parah pada jaringan yang
berdekatan, misal saraf dan gigi sebelahnya (Peterson, 2004).
Pada dasarnya desain flap untuk operasi gigi molar tiga dibagi menjadi
dua kategori:
a. Flap envelope
Insisi yang bisa diandalkan untuk pembedahan impaksi molar tiga
bawah adalah flap envelope (Gambar 4). Teknik ini biasanya dilakukan
dengan membuat insisi horizontal pada tepi gingiva. Flap dibuat
memanjang dari papilla mesial molar pertama rahang bawah dan
mengelilingi sekitar leher gigi ke sudut garis distobukal dari molar kedua,
kemudian garis insisi memanjang ke posterior dan lateral sampai ke
perbatasan anterior ramus mandibular (Riawan, 2007).
Flap envelope seringkali digunakan untuk membuka jaringan lunak
mandibula dalam pencabutan gigi impaksi molar tiga, perluasan insisi
posterior harus divergen kearah lateral untuk menghindari cedera pada
saraf lingual seperti ditunjukkan pada gambar. Insisi envelope dibuka
kearah lateral sehingga tulang yg menutupi gigi impaksi terbuka.
Keuntungan flap ini adalah kerusakan minimal dari suplai vaskular pada
jaringan flap, penutupan dan proses penyembuhan luka lebih cepat dan
baik. Akses bedah yang terbatas merupakan kelemahan utama desain flap
ini (Riawan, 2007).

Gambar 4. Desain flap envelope

b. Flap triangular
Flap triangular terdiri dari satu insisi vertikal dan 1 insisi horizontal. Pada
tahun (1940), Fischer mendeskripsikan suatu flap triangular submarginal
dengan satu insisi horizontal dan satu insisi vertikal. Insisi vertikal diletakkan
ke arah midline dan insisi horizontal berupa suatu insisi kurva sub marginal
yang diletakkan di sepanjang mahkota gigi pada gingiva cekat dengan
mempertahankan gingiva margin (Riawan, 2007)
Flap triangular merupakan bagian dari desain envelope dengan
membebaskan insisi vertikal (Gambar 5). Teknik ini biasanya dilakukan
dengan membuat insisi horizontal pada tepi gingiva, kemudian dimodifikasi
seperlunya dengan melakukan insisi serong kearah anterior. Saat flap jaringan
dibuka pada insisi  pembebas, akan diperoleh lapang pandang yang lebih luas,
terutama pada aspek apikal daerah pembedahan dapat dilihat  pada gambar.
Flap triangular menunjukkan kasus di mana gigi yang terkena dampak
tertanam dalam tulang dan membutuhkan pengangkatan tulang yang luas
(Riawan, 2007).
Flap ini memiliki dua keuntungan utama. Membuat insisi yang longgar
yaitu berupa suatu insisi pendek pada gingiva cekat dan margin yang akan
mempermudah operator untuk memperluas lapang pandang dan untuk
mendapatkan akses yang diperlukan. Hal ini juga mengurangi tekanan pada
flap. Flap triangular juga memacu penyembuhan luka yang sangat cepat. Flap
ini terutama diindikasikan untuk gigi-gigi posterior mandibular dan anterior
maksila. Flap ini merupakan flap yang dapat digunakan untuk gigi posterior
mandibular (Riawan, 2007).

Gambar 5. Desain flap triangular


B. LAPORAN KASUS
Inisial pasien : Tn. DM
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia pasien : 31 tahun

Pemeriksaan Subyektif
1. Chief complain: Pasien datang ingin mencabut gigi paling beakang
bawah kanan
2. Present illness: Pasien merasakan makanan sering terselip pada gigi
belakang bawah kanan
3. Past medical history: Pasien tidak memiliki riwayat penyakit dan tidak
sedang dalam melakukan pengobatan apapun
4. Past dental history: Pasien sebelumnya pernah menambal giginya
5. Family history: Tidak disebutkan dalam kasus
6. Social history: Tidak disebutkan dalam kasus

Pemeriksaan Objektif
1. Keadaan umum pasien baik
2. Inspeksi:
Ekstra Oral : Tidak ada kelainan
Intra Oral : Mahkota gigi 48 terlihat sebagian, hanya cusp disto-
buccal dan disto-lingual yang terlihat
Gigi 47 dan 48 terlihat karies
Gigi 46 terlihat tumpatan komposit klas 1
Gambaran Klinis Rongga Mulut Pasien Sebelum Dilakukan Perawatan

Pemeriksaan Penunjang
Gambaran radiologi panoramik menunjukkan gigi 48 impaksi dengan posisi
mesioangular dan terlihat dekat dengan kanalis mandibula. Ruang ligamen
periodontal pada gigi 48 tampak lebih luas karena gigi impaksi tidak pernah
mengalami gaya oklusal.

Gambaran panoramik pasien

Assessment
Gigi 48 impaksi tipe 2B

Planning
1. Odontektomi
Pengambilan gigi impaksi dengan cara separasi
2. Membuka jaringan lunak dengan membuat flap mukoperiosteal
3. Pencabutan Transalveolar
Metode pencabutan ini dilakukan terlebih dahulu dengan cara mengambil
sebagian tulang penyangga gigi. Metode ini juga sering disebut metode terbuka
atau metode surgical.

Penatalaksanaan Kasus
1. Pemeriksaan keadaan umum pasien dan pengisian informed consent.
2. Melakukan proses surgical asepsis (tindakan untuk menjaga kesterilan dengan
konsep bebas dari segala mikroorganisme yang menyebabkan infeksi).
Tindakannya berupa:
a) Tindakan tanpa singgung, kamar operasi disiapkan alat dan bahan steril.
Mempersiapkan instrumentasi steril untuk tindakan odontektomi. Alat yang
digunakan saat dilakukan odontektomi adalah diagnostic set, scalpel, scalpel
holder, rasparatorium, pinset anatomis, pinset cirurgis, mikromotor, round
diamond bur, bein, cryer, tang jockey forceps, tang radiks RB, bone file, dan
kuret. Bahan yang digunakan adalah spuit, pehakain injeksi, kasa steril, cotton
roll, cotton pelet, tampon, povidone iodine, alkohol, benang jahit, jarum jahit,
gelas kumur, suction bedah, masker, handscoon, nurse cap, dan slaber. Alat
dan bahan yang perlu disiapkan untuk kegawatdaruratan adalah epinefrin
(vasokonstriktor), alvogyl, spongostan, asam traneksamat, dan arteri clamp.
pengecekan tanggal kadaluarsa dan alat masih terbungkus dua duk dan tidak
dalam keadaan terbuka. Membuka penutup alat steril tanpa memegang area
steril (pegang bagian duk yang hanyak berkontak pada meja/ bagian bawah
duk), pertahankan duk kedua, pastikan steril dan perawat hanya berjarak 20
cm dari area steril. Selain itu menyiapkan cairan antiseptic pada kom steril.
b) Scrubbing, tindakan membebaskan tangan dari kuman yang bersifat
patogen menggunakan desinfektan dan air mengalir hingga ke siku. Lalu
keringkan dengan washlap steril.
c) Gowning, tindakan untuk menggunakan alat pelindung diri seperti nurse
cap, masker, sepatu/sandal operasi, baju kamar operasi atau baju steril.
d) Gloving, tindakan pemakaian sarung tangan steril.
3. Pembedahan dilakukan dengan teknik asepsis. Sangat dianjurkan untuk
memberikan antibiotika dan antiflogistik sehari sebelum dilakukan
odontektomi.
4. Asepsis dengan betadine, anastesi lokal dan mandibular blok. Pada kasus
dilakukan anestesi blok mandibula, dengan menganestesi nervus alveolaris
inferior dan nervus lingualis menggunakan teknik blok fisher (Purwanto dan
Juwono, 2012) dan nervus bukalis longus dengan infiltrasi. Bahan anestesi
yang digunakan adalah pehacain yang tiap ml berisi lidokain HCL 20 mg dan
adrenalin 0,0125 mg dengan dosis maksimal 7 mg/KgBB (Mims, 2014).
5. Dibuat garis insisi yang dimulai dari pertengahan bagian distal gigi molar 3
sampai distal gigi molar pertama (flap triangular). Insisi kearah anterior dibuat
tepat pada gingiva tepat dibawah distal molar pertama turun kearah kaudal dan
kembali ke arah anterior sejajar garis oklusal untuk menghindari kerusakan
pada gingival attachment gigi molar kedua.
6. Membuka flap yang telah dibuat dengan rasparatorium.
Membuat insisi tajam sampai tulang mandibula dengan pola insisi angular
atau sayatan yang bersudut, dimulai dengan ujung insisi marginal ke arah
(Muko-bukal/labialfold), membentuk sudut ±120o menggunakan blade no.15,
pembukaan flap menggunakan rasparatorium untuk membuka lapang pandang
yang cukup luas dan jaringan flap di tahan menggunakan minesota.
7. Pengambilan tulang yang menutupi gigi impaksi bagian bukal dan proksimal
dilakukan dengan menggunakan round bur putaran rendah dengan pendingin
air garam fisiologi 0,09% atau air steril. Dilakukan cara memotong tulang
selapis demi selapis sehingga bagian gigi yang tertutup tulang dapat terlihat.
Selanjutnya pembukaan tulang dapat diperluas dengan mengambil tulang
disekeliling gigi impaksi dan berpedoman pada bentuk gigi yang impaksi dari
foto rontgen.
8. Dalam melakukan pengambilan tulang yang meliputi gigi impaksi perlu
dipertimbangkan beberapa hal:
a. Pengambilan tulang harus cukup dan awal pengeboran dimulai dengan
menyesuaikan letak gigi sesuai dengan jenis klasifikasi gigi impaksinya.
b. Tidak melakukan pengambilan tulang secara berlebihan karena akan
menyebabkan trauma yang besar.
c. Pada kasus dimana membutuhkan pemotongan gigi menjadi bagian-bagian
yang lebih kecil, maka fisur bur tidak dapat dipakai. Dalam melakukan
tindakan pengeboran, baik untuk mengambil tulang atau memotong gigi
harus dilakukan on sight tidak blind artinya melakukan tindakan
pengeboran dengan melihat objek secara langsung bukan meraba-raba
obyek dengan bur, karena dapat membahayakan struktur jaringan sekitar
terhadap kemungkinan terkena bur.
d. Melepas gigi dari soket dengan elevator / bein.
e. Pengambilan gigi impaksi dengan menggunakan tang.
f. Pada kasus dilakukan pemotongan gigi untuk kasus mesioangular, dengan
terencana karena pemotongan tulang lebih sedikit dan mengakibatkan
trauma yang lebih kecil. Pemotongan gigi pada kasus impaksi
mesioangular diawali dengan memotong mahkota bagian distal atau
separuh bagian distal gigi bawah yang impaksi. Bur diletakan pada garis
servikal memotong gigi ke aksial 2/3 atau 3/4 menembus lingual dan
bukal. Dilanjukan dengan menggunakan elevator / bein untuk mematahkan
gigi menjadi dua bagian dari daerah bifurkasi. Sisa gigi impaksi didorong
kearah celah yang terbentuk menggunakan tang sisa akar dengan
menggunakan elevator lurus sebelumnya pada bagian mesiobukal (Gambar
6). Gaya ini akan melepaskan gigi dari lingir distal molar dua (Pedersen,
2012).
Gambar 6. Rencana pemotongan gigi pada kasus mesioangular

9. Melakukan debridement (pembersihan luka operasi, menghaluskan tulang


yang tajam, pembersihan soket gigi dari sisa fragmen tulang atau jaringan
nekrotik dengan melakukan irigasi dengan larutan antiseptik (povidone iodine
atau H2O2).

10. Menutup dan mengembalikan flap dengan suturing simple interrupted.


11. Membersihkan rongga mulut dan pipi.
12. Bekas operasi diberi tampon dan povidon iodine agar mengurangi perdarahan.
13. Manajemen perdarahan
Hal pertama harus kita lakukan adalah tetap bersikap tenang dan jangan
panik.Berikan penjelasan pada pasien bahwa segalanya akan dapat diatasi dan
tidak perlu dikhawatirkan. Penanganan awal yang kita lakukan adalah
melakukan penekanan langsung dengan tampon kapas atau kassa pada daerah
perdarahan supaya terbentuk bekuan darah yang stabil. Sering hanya dengan
melakukan penekanan, perdarahan dapat diatasi. Jika ternyata perdarahan
belum berhenti, dapat kita lakukan penekanan dengan tampon yang telah
diberi anestetik lokal yang mengandung vasokonstriktor (adrenalin). Lakukan
penekanan atau pasien diminta menggigit tampon selama 10 menit dan periksa
kembali apakah perdarahan sudah berhenti. Bila perlu, dapat ditambahkan
pemberian bahan absorbable gelatine sponge (alvolgyl  / spongostan) yang dil
etakkan di alveolus serta lakukan penjahitan. Bila perdarahan belum juga
berhenti, dapat kita lakukan penjahitan pada flap yang telah dibuat yang
mengalami perdarahan tersebut.
Perdarahan yang sangat deras misalnya pada terpotongnya arteri, maka kit
a lakukan klem dengan arteri clamp lalu lakukan ligasi, yaitu mengikat
pembuluh darah dengan benang atau dengan kauterisasi. Pada perdarahan
yang masif dan tidak berhenti, tetap bersikap tenang dan siapkan segera
hemostatic agent seperti asam traneksamat. Injeksikan asam traneksamat
secara intravena atau intramuskuler.
(Malamed, 2000)
14. Instruksi pasca operasi
Setelah menjalani proses odontektomi pasien perlu mendapatkankan
penjelasan bagaimana agar luka pasca odontektomi lekas sembuh dan
terhindar dari komplikasi. Meliputi perhatian seksama pada luka operasi
dimulai dari 24 jam pertama setelah operasi sampai 3 hari kemudian. Hal-hal
yang perlu diperhatikan:
a. Segera setelah odontektomi selesai, pasien diharuskan menggigit tampon
selama 30-60 menit, dan tampon dapat diganti dengan tampon steril
sampai beberapa kali.
b. Bagian luar daerah yang telah dilakukan odontektomi dikompres dengan
es selama 15 menit setiap setengah jam sampai 4 jam setelah odontektomi.
Hal ini akan mengurangi perdarahan dan pembengkakan.
c. Anjuran minum antibiotika, antiinflamasi dan analgesik secara teratur.
Antibiotik yang diresepkan berupa amoxicillin 500 mg dapat
diberikan sebanyak 15 kaplet untuk 5 hari kedepan dan harus dihabiskan.
Amoxicillin dinilai memiliki efek broad spectrum untuk segala jenis
bakteri. Apabila dinilai kurang efektif dan terdapat lesi seperti abses,
makan clindamycin 300 mg dapat diresepkan untuk 5 hari kedepan
sebanyak 10 kapsul karena memiliki penetrasi yang baik untuk bakteri
anaerobik hingga menembus tulang. Pemberian analgesik menggunakan
WHO 3 steps analgesics ladder dengan kategori nyeri moderate.
Analgesik yang diresepkan dapat berupa paracetamol 500 mg atau juga
dapat NSAID yaitu asam mefenamat 500 mg atau ibuprofen 400 mg
apabila rasa sakit yang di nilai cukup besar yang diresepkan sebanyak 10
kaplet untuk 3 hari kedepan dan apabila sakit. Dapat ditambahkan
adjuvant analgesic berupa muscle relaxant dan antiinflamasi
kortikosteroid. Deksametason 0,5 mg dapat diresepkan sebagai adjuvant
analgesic untuk mengurangi inflamasi dan pembengkakan yang
kemungkinan besar akan terjadi. Apabila dinilai terdapat pembukaan
mulut yang sulit atau trismus, maka adjuvant analgesic yang diberikan
berupa diazepam 2 mg (Mims, 2014).

d. Diperkenankan untuk makan dengan diet lunak.


e. Setelah makan, mulut dibersihkan dengan cara menggunakan obat kumur
antiseptik dan hanya boleh dipergunakan setelah 24 jam pasca
odontektomi.
f. Jahitan diangkat 8 hari setelah odontektomi.
g. Menjaga kebersihan mulut dengan tetap menggosok gigi dan dihindari
untuk berkumur keras, air hanya dialirkan kedalam rongga mulut dengan
menggunakan air matang, bukan air keran.
h. Hindari makan dan minum panas.
i. Tidak boleh merokok.
j. Tidak diperkenankan untuk kumur-kumur, pada keadaan perdarahan
ringan dianjurkan untuk menggigit tampon kembali.
DAFTAR PUSTAKA
Eshghpour, M., Nezadi, A., Moradi, A., Shamsabadi, R.M., Rezaei, N.M., A
Nejat, A., 2014, Pattern of mandibular third molar impaction: A
cross-sectional study in northeast of Iran, Nigerian Journal of Clinical
Practice, 17(6): 673-677.
Fragiskos, D., 2007, Oral surgery, Editor: Schroder GM, Heidelberg, Berlin,
Springer.
Lita, Y.A., Hadikrishna, I., 2020, Klasifikasi impaksi gigi molar ketiga melalui
pemeriksaan radiografi sebagai penunjang odontektomi, Jurnal Radiologi
Dentomaksilofasial Indonesia, 4(1); 1 -5
Pedersen, Gordon., 2012, Buku Ajar Praktis Bedah Mulut, Jakarta, EGC.
Rahayu, S., 2014, Odontektomi, Tatalaksana Gigi Bungsu Impaksi, E-Journal
WIDYA Kesehatan dan Lingkungan, 1(2): 81-89.
Riawan, Lucky. 2007. Materi Kuliah Bedah Dento Alveolar, Universitas
Padjadjaran Bandung.

Anda mungkin juga menyukai