Anda di halaman 1dari 29

REFORMASI BIROKRASI

PADA BALAI PEMASYARAKATAN

OLEH :

Dr. RACHMAYANTHY, SH, M.Si

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI


DIREKTORAT JENDERAL PEMASYARAKATAN

i
KATA PENGATAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb dan Salam Sejahtera...


Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan
rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga saya bisa menulis suatu analisis
Reformasi Birokrasi pada Balai Pemasyarakatan.
Merupakan suatu harapan dan cita-cita terciptanya unit pelaksana teknis
Balai Pemasyarakatan sebagai organisasi yang dapat diandalkan sebagai ujung
tombak dalam rangka pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan kedepan. Untuk itu
diperlukan dukungan dan persepsi yang sama serta komitmen semua pihak
utamanya jajaran Pemasyarakatan, dengan demikian insyaAllah akan terwujud
Balai Pemasyarakatan sebagai aparatur pemerintah yang ikut berperan didalam
reformasi, menciptakan perubahan, dalam rangka pelaksanaan tupoksi yaitu
membuat Litmas, pendampingan pada sidang pengadilan anak, pembimbingan,
mengikuti sidang TPP dan pengawasan kepada klien pemasyarakatan guna
mewujudkan kesatuan hubungan hidup klien dengan masyarakat (reintegrasi
sosial).
Juga terwujudnya Balai Pemasyarakatan yang baik, bersih dan bebas
KKN (good governance and clean governance) melalui proses kegiatan
pembimbingan terhadap Klien Pemasyarakatan dan Eks Narapidana
berdasarkan Sistem Pemasyarakatan. (Undang-Undang No.12 Tahun 1995
pasal 1).
Kiranya buah pikiran saya dapat bermanfaat sebagai bahan masukan
berguna yang nantinya akan digunakan oleh pimpinan dalam rangka perubahan
(change) pada UPT Bapas dan dalam rangka pemajuan Sistem
Pemasyarakatan serta dapat dijadikan sebagai referensi bagi kajian analisis
lebih lanjut, semoga Allah SWT senantiasa menuntun kita didalam bekerja dan
memberkahi disetiap langkah kehidupan kita, amin.
Demikian tiada gading yang tidak retak, dan saya haturkan terima kasih.
Wassalammu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.

Serang, 23 Maret 2009


Penulis

Dr.Rachmayanthy,SH,M.Si
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................i


DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
REFORMASI BIROKRASI .................................................................................. 3
TUNTUTAN REFORMASI BIROKRASI .............................................................. 7
REFORMASI BALAI PEMASYARAKATAN....................................................... 13
PENUTUP ......................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 26
PENDAHULUAN

Titik reformasi bergulir sejak Mei 1998, yang ditandai, sejumlah


perubahan yang cukup signifikan, perubahan dari gaya sampai proses
pengambilan keputusan kebijakan publik. Pemerintah tidak saja harus bisa
menerima kritik dan tugas untuk menyelesaikan tuntutan reformasi.
Pemangkasan wewenang dan penambahan tugas baru, pemerintahan harus
dibawa pada praktik good public governance (tata pemerintahan publik yang
baik) dan clean governance (pemerintah yang bersih). Ini berarti, harus
diadakan reformasi yang serius atas pemerintahan kita. Harus ada perubahan
mendasar yang mencakup kelembagaan, sistem kerja, dan bahkan mind- set
para pelakunya : dari pejabat tinggi sampai pegawai bawahan. Kritik terhadap
kinerja pemerintahan dan birokrasi kita semakin gencar, hal ini sebagai pemacu
perbaikan kinerja birokrasi kedepan.

Berpijak pada reformasi pemerintah, Unit Pelaksana Teknis Balai


Pemasyarakatan bagian dari birokrasi secara teknis merupakan kepanjangan
tangan dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dibawah Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia RI sebagai aparatur pemerintah juga ikut berperan
didalam reformasi, menciptakan perubahan, dalam rangka pelaksanaan tupoksi
yaitu membuat Litmas, pendampingan pada sidang pengadilan anak,
pembimbingan, mengikuti sidang TPP dan pengawasan kepada klien
pemasyarakatan guna mewujudkan kesatuan hubungan hidup klien dengan
masyarakat (reintegrasi sosial).

Prosedur pelayanan Balai Pemasyarakatan masih dianggap/diasumsikan


belum optimal sehingga mempengaruhi kinerja organisasi, adapun current issue
yang mempengaruhi kinerja Bapas antara lain : (1) Prosedur pelayanan
dianggap berbelit, misalnya jika membuat Litmas Admisi Orientasi oleh PK
Bapas dianggap repot, sehingga ada dua kemungkinan jawaban pertama Lapas
tidak membuat Litmas tersebut dan atau yang ke dua membuat Litmas tapi

1
dibuat oleh petugas Lapas sendiri, padahal dengan membuat Litmas sendiri
unsur netralitas dan objektifitas tidak terpenuhi, (2) Pelayanan yang diberikan
dianggap tidak effektif, efesien dan pemborosan biaya misalnya jika membuat
Litmas Assimilasi dan meminta pengawasan PK Bapas dianggap tidak efektif,
tidak efesien dan ada biayanya, (3) Bekerja di Bapas dianggap tidak populer
misalnya tanpa keterlibatan PK, penyusunan Litmas, pengawasan klien bisa
dilakukan oleh petugas Lapas sehingga peran-nya jadi tidak terlihat nyata, disisi
lain setiap kali Bapas meminta calon pegawai tidak diperhitungkan karena
dianggap belum terlalu penting dan selalu di nomor dua kan sehingga
mengakibatkan jumlah PK jadi semakin sedikit dan, (4) Bekerja di Bapas tidak
memiliki prospek karier bagus misalnya para pegawai pemasyarakatan lebih
memilih bekerja di Lapas karena dianggap memiliki prospek karier bagus lebih
mudah menduduki jabatan struktural, dan kesejahteraan lebih baik karena
dianggap kerja di Lapas banyak masukannya sedangkan jika bekerja di Bapas,
jenjang karier tidak jelas, tidak sejahtera, jabatan eselon sedikit sedangkan
persaingan sangat ketat.

Oleh karena itu bagaimana mengoptimalkan peran Bapas sehingga lebih


berfungsi secara efektif dan efesien, maka harus dilakukan turnaround (ganti
haluan) melalui perubahan manajemen (change management), hal ini dilakukan
manakala kondisi organisasi sudah mulai menghadapi persoalan dan
kemunduran sehingga perlu melakukan perbaikan. Robby Djohan mengatakan,
”Turnaround artinya membuang yang jelek-jelek dengan melakukan perubahan
yang mendasar. Kepemimpinan dan manajemen diubah. Proses operasionalnya
diubah. Pendekatan pasar diubah. Tujuannnya agar nilai pasarnya meningkat.” 1

Dengan adanya perubahan maka terbuka kesempatan untuk meniadakan


kecenderungan-kecenderungan atau setidaknya mengurangi kecenderungan-
kecenderungan timbulnya fragmentasi didalam Sistem Pembinaan

1
Kasali, Rhenald Change, hal. 175, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005.
(Pemasyarakatan) yang memiliki kekhususan pelayanan pemerintah didalam
perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan demi kepentingan
masyarakat. Sehingga jangan sampai timbul fenomena bahwa Pemasyarakatan
tanpa peran Bapas dapat berjalan baik namun bagaimana melakukan suatu
perubahan yang signifikan agar peran Bapas dapat lebih berfungsi didalam
Sistem Pemasyarakatan .

Didalam pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan tidak luput dari proses


yang memiliki satu kesatuan secara terpadu diantara organisasi
Pemasyarakatan seperti Lapas, Bapas, Rutan dan Rupbasan. Proses
pembinaan dalam Lapas sesuai standar pembinaan dapat melibatkan unsur
terkait yang memiliki tujuan bersama dalam satu kelompok/ tim yang terpadu
antara lain yaitu Bapas, hal tersebut didukung oleh pendapat dari orang
terkemuka dibidang Pemasyarakatan (corrections) yang menyebutkan bahwa : ”
As human resources agencies, corrections must make a special effort to
integrate various functional specialities into an organization team that holds
mutual objectives vis-a-vis the client not only among its members but also
between members and the organization”. (dikutip dari : ”Planning for the future
of Corrections”; Corrections : NACC JSQ : 1973). ( sebagai badan-badan
sumber daya kemanusiaan, usaha-usaha pemasyarakatan harus berikhtiar
secara khusus untuk mengintegrasikan kekhususan-kekhususan yang
fungsional dalam suatu team organisasi yang mempunyai tujuan bersama
terhadap kliennya, tidak hanya diantara anggota-anggotanya, melainkan juga
diantara anggota-anggota dan organisasi itu sendiri).

Bahwa pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan memiliki kekhususan jadi


sebenarnya peran antara Lapas dan Bapas merupakan bagian yang tidak bisa
dipisahkan satu sama lain sebagai satu kesatuan didalam proses pembinaan
terhadap WBP sejak dari hilir sampai ke hulu dapat diibaratkan seperti dua sisi
mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain yang bersinergi sehingga
pelayanan yang diberikan menjadi prima. Atas dasar hal tersebutlah, penulis
tergerak untuk menulis suatu konsep pemikiran khususnya pada domain Bapas
untuk dapat mengkaji bagaimana membuat strategi perubahan secara
signifikan dengan menggunakan pisau analisis manajemen sebagai langkah-
langkah konkrit agar bisa dipakai atau diimplementasikan bagi perkembangan
Pemasyarakatan kedepan, guna menjawab serta mengahadapai tantangan dari
perubahan lingkungan (environment) yang semakin maju agar tupoksi Bapas
tidak diambil alih oleh instansi lain.

REFORMASI BIROKRASI

Berbicara mengenai reformasi birokrasi, maka perlu diketahui terlebih


dahulu apa itu birokrasi. Definisi birokrasi menurut Max Weber sang pencetus
bahwa birokrasi dinyatakan : suatu hirarki yang ditetapkan secara jelas dimana
para pemegang kantor mempunyai fungsi yang sangat spesifik dan menerapkan
aturan universal dalam semangat impersonalitas yang formalistis2.

Sedangkan dalam sebuah kamus politik terbit pada tahun 2003, birokrasi
didefinisikan sebagai :

(1) Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah
berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan; (2) Cara bekerja dan susunan
pekerjaan yang serba lamban serta menurut tata aturan (adapt dan sebagainya)
yang banyak liku-likunya; (3) Birokrasi sering melupakan tujuan pemerintah yang
sejati, karena terlalu mementingkan cara dan bentuk. Ia menghalangi pekerjaan
yang cepat serta menimbulkan semangat menanti, menghilangkan inisiatif, terikat
dalam peraturan yang jelimet dan bergantung kepada perintah atasan, berjiwa
statis dan karena itu menghambat kemajuan.3

Birokrasi sudah bergeser seperti konsep awal Weber, kita tetap perlu
melakukan perubahan atau perbaikan, sesuai dengan tuntutan dan tantangan

2
Joyce Warham, An Open Case (London : Routledge & Kegen Paul, 1977, hal 67.
3
Warsito Utomo, Administrasi Publik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006
yang akan selalu muncul. Oleh karena itu perlu usulan perbaikan dari para
praktisi dan teoritis. Pada akhirnya, teori harus dapat dipraktikkan dibebarapa
tempat yang berbeda tetapi memiliki latar belakang yang sama.

Perkembangan di Abad ke 21 memang menuntut perubahan dalam


administrasi public atau birokrasi pemerintahan. Tuntutan itu akan tetap muncul
meskipun seandainya di Indonesia tidak terjadi reformasi pada tahun 1998.
Tuntutan itu adalah meninggalkan konsep birokrasi ala Weber yang berpangkal
pada otoritas untuk beralih dan berorientasi pada public sehingga disebut
sebagai administrasi public. Tuntutan perubahan seperti ini sebenarnya sudah
muncul sejak 1980-an dan awal 1990-an. Istilah baru juga muncul pada masa-
masa itu, seperti managerialism, new public management, dan entrepreneurial
government. Kemudian muncul sejumlah pendekatan new magerial disektor
public yang merupakan respon terhadap kelemahan atau kekurangan traditional
model of administration.4 Pendekatan itu antara lain managerialsm (Pollit, 1990),
New Public Management (NPM) (Hood, 1991), Entrepreneurial Government
(Osborne and Gaebler, 1992), dan Banishing Bureucracy (Osborne dan Plastrik,
1997). Meskipun menggunakan nama-nama yang berbeda untuk NPM, mereka
memiliki kesamaan konsep dan tujuan yaitu :

Pertama, lebih menitik beratkan kepada achievement of results dan the personal
responsibility. Kedua, pembuatan performance indicators sebagai ukuran baik
untuk organisasi maupun personel, sehingga diperoleh 3 E : economy, efficiency,
effectiveness. Ketiga, berusaha menghilangkan tendensi yang ada untuk lebih
fleksibel. Keempat, lebih membuat para pejabat committed terhadap politik/
keputusan-keputusan piltik, tidak sekedar pelaksanaan yang netral (neutral and
nonpartisan). Kelima, berusaha mengurangi fungsi-fungsi pemerintah melalui
privatisasi. Keenam, orientasi dari steering from rowing (lebih berperan
mengarahkan ketimbang mendayung)5

4
Warsito, Ibid
5
Warsito, Ibid
Bentuk NPM karya David Osborne dan Ted Gaebler (1992) : Reinventing
Government : How The entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector.
Intinya bahwa pemerintah kini dituntut untuk menjalankan tugasnya sebagai
wirausaha tepatnya mengelola birokrasi secara wirausaha antara lain 6 :

1. Pemerintahan katalisator : mengarahkan ketimbang mendayung


2. Pemerintahan milik masyarakat : memberi wewenang ketimbang
melayani
3. Pemerintahan yang kompetitif: menyuntikan persaingan kedalam
pemberian pelayanan
4. Pemerintahan yang digerakan oleh misi: mengubah organisasi yang
digerakan oleh peraturan
5. Pemerintahan yang berorientasi pada hasil
6. Pemerintahan yang berorientasi pada pelanggan: memenuhi pelanggan
bukan birokrasi
7. Pemerintahan wirausaha: menghasilkan ketimbang belanja
8. Pemerintahan antisipatif: mencegah dari pada mengobati
9. Pemerintahan desentralisasi: mempermudah pelanggan, mempercepat
pengambilan tindakan, mengabaikan tuntutan tanpa harus menunggu
proses panjang
10. Pemerintahan yang berorientasi pada pasar: mendongkrak perubahan
pada pasar

Lebih lanjut David Orbone dan Peter Plastrik (1997)7 dalam bukunya
Banishing Bureaucracy (pemangkasan birokrasi) : The Five Strategies for
Reinventing Government, menjelaskan lima strategi untuk menghidupkan
birokrasi yang harus dikelola dengan baik sehingga menjadi satu kekuatan.

6
David Osborne and Ted Gaebler, Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is
Transforming the Public Sector .1992 Edisi terjemahaan PPM Jakarta.
7
David Osborne abd Peter Plastrik, Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing
Government (New York: Addison-Wisely Publishing Company, Inc, 1997).
Kelima strategi itu adalah : (1) Strategi inti: menciptakan tujuan yang jelas; (2)
strategi konsekuensi; (3) strategi pelanggan; (4) strategi pengendalian; (5)
Strategi budaya.

Teori yang telah dipaparkan diatas dengan menerapkan pemerintahan


wirausaha akan berjalan dengan baik jika sistem birokrasi sudah jelas-jelas
memisahkan antara kekayaan pribadi dan kekayaan publik dan harta milik
publik tidak dapat digunakan untuk kepentingan pribadi dan kroninya. Oleh
karena itu harus ada keterbukaan dan pembelajaran, serta landasan moral dan
integritas pada birokrat kita, terutama pada jajaran Pemasyarakatan. Untuk
kearah reformasi pendekatan kajiannya mengenai tata pemerintahan yang baik
(good governance) yang sejalan dengan iklim keterbukaan (globalisasi).

TUNTUTAN REFORMASI BIROKRASI

Tuntutan reformasi secara keseluruhan tidak akan terwujud jika


penyangga utamanya belum terwujud. Penyangga utama itu adalah tata
pemerintahan yang baik (good public governance), yang salah satu dasar
utamanya adalah birokrasi yang baik dan didukung oleh birokrasi yang sesuai
dengan tuntutan abad ke-21 sehingga dapat diwujudkan pemerintahan yang
berkelanjutan (sustainable governance) untuk mengemban amanah rakyat.

Menurut pernyataan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2005


sebagaimana dimuat dalam harian kompas, jum’at 26 Mei 2006

Kemanapun dan siapa pun yang saya temui, pihak dalam dan luar negeri masih
terus mengeluhkan birokrasi kita. Saya mendapat kesan, dan saya harus terus
terang, bahwa birokrasi kita maíz bekerja seperti yang biasa dikerjakan selama
ini. Artinya, Belem berubah secara significan. Lamban bertindak dan lamban
memproses sesuatu dan akhirnya lamban mengambil keputusan. Boros waktu
dan tidak efisien.
Opini masyarakat tentang gambaran birokrasi di Pemasyarakatan,
menurut MaPPI (Masyarakat Pemantau Peradilan Fakultas Hukum Universitas
Indonesia) ada beberapa hak narapidana yang terabaikan antara lain : 1)
kalangan internal Lapas yang menjadikan ketenangan dan keamanan sebagai
ukuran/parameter keberhasilan dan kinerja Lapas; 2) kelebihan penghuni (over
capacity) yang disebabkan adanya kebiasaan memperlama napi dalam penjara
dengan menghambat proses pemberian PB, Assimilasi, CMB dan CB; 3)
lemahnya pengawasan baik pengawasan melekat oleh pejabat internal Lapas
dan pengawasan fungsional oleh Inspektur Jenderal; 4) kualitas dan kuantitas
Sumber Daya Manusia petugas Lembaga Pemasyarakatan; 5) Anggaran yang
minim.8

Pandangan pihak luar terhadap kinerja Pemasyarakatan masih dianggap


kurang, mereka beranggapan bahwa pihak Lapas memperlama proses
pemberian PB, Assimilasi, CMB dan CB. Terkait hal tersebut bukan semata
kesalahan pihak Lapas namun juga tanggung jawab bersama unsur terkait
termasuk Bapas. Jadi menurut hemat saya jika Pemerintah ingin menjadi
pelayan yang baik dan bersih, maka birokrasi harus direformasi. Begitu pula
pada domain Pemasyarakatan selama birokrasi belum direformasi, meskipun
presidennya telah berganti, pemerintahan yang baik dan bersih tidak akan
terwujud.

Salah satu elemen yang harus dipraktikan dalam rangka mewujudkan


good public governance adalah pemerintahan yang bersih (clean governance),
yakni bersih dari praktik penyimpangan, penyalahgunaan jabatan dan
sejenisnya, termasuk KKN.

UU No.28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan


Bebas dari KKN, dalam pasal 3 berbunyi : Asas-asas umum
penyelenggaraan negara meliputi :

8
Koran Harian Nasional Depok, halaman 2 tanggal 7 Januari 2008.
1. Asas Kepastian Hukum;

2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara


3. Asas Kepentingan Umum
4. Asas Keterbukaan
5. Asas Proporsionalitas
6. Asas Akuntabilitas

Lebih lanjut menurut Inpres No. 5/ 2004 Tentang Percepatan


Pemberantasan Korupsi, untuk memperkuat implementasi peraturan
perundangan yang sudah ada. Untuk mempermudah pengendalian untuk
membuat penetapan kinerja dengan pejabat dibawahnya secara berjenjang,
yang bertujuan untuk mewujudkan suatu capaian kinerja tertentu dengan
sumber daya tertentu, melalui penetapan target kinerja serta indikator kinerja
yang menggambarkan keberhasilan pencapaiannya baik berupa hasil maupun
manfaat.

Peraturan Presiden No.7/2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka


Menengah (RPJM) Nasional Pada bab 14 memuat “sasaran” yang mengarah
pada lima hal. Tiga diantaranya berkaitan langsung dengan birokrasi, yaitu :

1. Berkurangnya secara nyata praktik korupsi di birokrasi;


2. Terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintahan
yang bersih, efisien, efektif, transparan, profesional dan akuntabel;
3. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan
publik.

Untuk membahas reformasi secara mendalam perlu juga diketahui apa


sebenarnya reformasi birokrasi itu ? Menurut Fauziah Rasad (MTI) yang dikutip
dari internet, Reformasi Birokrasi adalah perubahan radikal dalam bidang
sistem pemerintahan.

Sedangkan menurut Menpan, Reformasi Birokrasi adalah


1. Perubahan mind-set
2. Perubahan penguasa? Jadi pelayan?
3. Mendahulukan peran? Dari wewenang?
4. Perubahan manajemen kinerja
5. Pemantauan percontohan keberhasilan (best practice): dalam
mewujudkan good govenance, clean government (pemerintah yang
bersih, transparan, akuntabel dan profesional) dan bebas KKN
6. Penerapan formula bermula dari akhir dan berakhir di awal.

Bahwa kelemahan mendasar dalam perbaikan birokrasi pemerintahan


adalah implementasi. Oleh karena itu birokrasi yang sedang mengalami krisis
harus menggunakan turnaround strategy dalam memberi terapi perbaikan yaitu
diperlukan manajemen perubahan “change management” yaitu proses
mendiagnosis, menginisialisasi, implementasi dan mengintegrasi perubahan
individu/ kelompok dalam rangka menyesuaikan diri dan mengantisipasi
perubahan lingkungannya agar tetap tumbuh, berkembang dan menghasilkan
keuntungan.

Menurut Business Harvard Essensial 2005 ada 7 langkah manajemen yang


harus dilakukan yaitu :

1. Memobilisasi energi dan komitmen para anggota organisasi melalui


penentuan cita-cita, tantangan dan solusinya oleh semua anggota
organisasi
2. Mengembangkan visi bersama,
3. Menentukan kepemimpinan: memastikan yang kompeten dan jujur
4. Fokus pada hasil kerja: buat mekanisme assessment yang dapat
mengukur hasil kerja tiap pegawai
5. Mulai mengubah unit-unit kecil di instansi kemudian mendorong agar
perubahan itu menyebar ke unit-unit lain di seluruh instansi
6. Membuat peraturan formal, sistem, maupun struktur untuk mengukuhkan
perubahan, termasuk cara untuk mengukur perubahan yang terjadi
7. Mengawasi dan menyesuaikan strategi untuk merespons permasalahan
yang timbul selama proses perubahan berlangsung.

Jeff Davidson menyebut emapat pendekatan change management 9 yaitu


(1) pendekatan rasional-empiris; (2) pendekatan normative-redukatif;(3)
pendekatan kekuasaan-koersif; dan (4) pendekatan lingkungan –adiftif.

Pendekatan rasional-empiris, asumsinya, orang-orang yang menjadi sasaran


pelaksanaan manajemen akan menerima perubahan ketika menerima
pertimbangan untuk merubah. Perlu dilakukan komunikasi yang baik dan efektif
mengenai insentif atau hasil yang akan menguntungkan mereka jika perubahan
itu berhasil, mereka akan melakukan perubahan bukan karena terpaksa, bukan
karena takut atau sekedar ikut-ikutan tanpa pertimbangan dan apatis.

Pendekatan normative-reedukatif, ide dasarnya adalah memberi pendidikan


ulang mengenai nilai dan norma dari perlunya perubahan. Proses redukasi
bahwa untuk survive, apalagi untuk berprestasi dan bisa memberi manfaat
kepada pihak lain, mereka harus mengikuti perubahan yang dituntut itu.
Pendekatan rasionalitas menempuh proses yang lebih cepat dari pada redukasi
yang memerlukan waktu panjang. Namun hasil reedukasi jelas akan jauh lebih
membekas karena pemahamannya lebih mendalam dari pada sekadar rasional.

Pendekatan kekuasaan-koersif, untuk manajemen perubahan mengasumsikan


bahwa orang-orang pada dasarnya patuh akan melakukan apa uang
diperintahkan dengan sedikit atau tanpa upaya untuk meyakinkan. Menjadikan
staf bertindak secara patuh didasarkan pada pelaksanaan kewenangan dan
ancaman atau pemberlakuan sanksi bagi kinerja buruk. Pendekatan kekuasaan
bisa lebih efektif ketika para target perubahan mengakui kepakaran dan

9
Jeff Davidson, Change Management. Edisi terjemahan Jakarta : Prenada, 2005.
keabsahan pihak yang menjalankan kekuasaan, bersikap adil, memberikan
arahan kepada staf hendaknya jelas, tepat waktu.

Pendekatan lingkungan-adiptif, bahwa setiap orang punya kemampuan untuk


menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan lingkungan atau situasi terbaru
sekalipun.

Selanjutnya menurut Tanri Abeng dalam bukunya (profesi manajemen,


2006) .10Pemerintahan setidak-tidaknya harus mempunyai :
1. Standar kinerja yaitu “peristiwa atau kriteria apa yang dapat memberikan
bukti yang menunjukan bahwa pekerjaan telah diselesaikan sesuai
dengan tingkat kepuasan yang diinginkan”
2. Pengukuran kinerja yaitu “ informasi apa yang dibutuhkan untuk
membandingkan kinerja aktual dengan standar yang ditetapkan”
3. Evaluasi kinerja yaitu: bagaimana kinerja aktual diukur dengan standar
yang menghasilkan perbedaan”
4. Koreksi dan perbaikan kinerja adalah “ apa yang harus dilakukan agar
hasil pekerjaan itu dapat ditingkatkan menjadi lebih baik”.

Setelah dilakukan perubahan secara signifikan dengan tahap-tahapan


yang telah dilalui, harus disadari bahwa kondisi baru itu- entah menyangkut
kedisiplinan, perilaku karyawan, aturan, sasaran dan lain sebagainya. Kondisi
baru masih sangat mudah berubah untuk kembali kekondisi semula. Pekerjaan
selanjutnya yang justru lebih sulit dan memerlukan konsistensi besar adalah
mempertahankan kondisi baru tersebut agar tidak kembali kekondisi lama.

Robert H.Schaffer dan Harvey A. Thomson Artikel “ Successful Change


Programs Begin with Result, yaitu Opportunities for change, menyebutkan 4 hal
yang harus dilakukan antara lain11 :

10
Tanri Abeng, Profesi Manajemen. Jakarta: Gramedia, 2006, 167-177
11
Robert H Schaffer dan Harvey A Thomson, “ Successful Change Program Begin with Result” dalam
Harvard Business Review on Change (1991), 210-213
1. Mintalah tiap-tiap unit untuk menetapkan dan mencapai beberapa
sasaran kinerja jangka pendek yang ambisius.
2. Secara periodik, lakukan kajian terhadap kemajuannya, tarik pelajaran
yang penting, dan merumuskan kembali startegi.
3. Lembagakan perubahan yang bisa berjalan dan buang yang tidak bisa
berjalan
4. Ciptakan kerangka acuan dan kenali tantangan bisnis yang amat
menentukan.

Perubahan yang telah dilakukan akan mudah kembali lagi keadaan


semula maka oleh Schaffer dan Thomson perlu dibuatkan rencana tindakan
(action plan) dalam keseharian, begitu perubahan itu telah dinyatakan selesai
dilakukan. Jadwal pengendalian pun harus ketat dan dilakukan secara
konsisten, dengan law enforcement yang adil dan sikap bertanggung jawab.
Intinya pengendalian mutu (quality control) dan penjaminan mutu (quality
assurance) menjadi sangat penting.

REFORMASI BALAI PEMASYARAKATAN

Jiwa entrepreneurship atas perubahan sangat penting dan mendesak


untuk segera diterapkan pada institusi Balai Pemasyarakatan agar pelayanan
bisa lebih baik dengan berpijak pada good governance dan clean governance
yang berbasis kinerja. Perubahan mendasar yang dimaksud mencakup antara
lain kelembagaan, sistem kerja, dan mind- set para pelakunya : dari pejabat
tinggi sampai pegawai bawahan.

Lebih lanjut bahwa Bapas (Balai Pemasyarakatan) merupakan pranata


untuk melaksanakan bimbingan klien Pemasyarakatan. Sedangkan yang
dimaksud bimbingan kemasyarakatan adalah suatu usaha atau cara
memberikan bimbingan (Personal Care) terhadap anak serta orang dewasa
dalam rangka Probation (pidana bersyarat) dan Parole (Pembebasan
bersyarat).

Adapun Fungsi Balai Pemasyarakatan yaitu :

Melaksanakan penelitian kemasyarakatan/ Litmas (case study) untuk :

1. Memperlancar tugas penyidikan, penuntutan dan persidangan Anak Nakal


( case report).
2. Menyusun program pembinaan Narapidana dan Anak Didik
Pemasyarakatan di Lapas.
3. Menyusun program bimbingan klien Pemasyarakatan di Bapas.
4. Melakukan registrasi klien Pemasyarakatan.
5. Melakukan bimbingan terhadap klien Pemasyarakatan.
6. Mengikuti sidang peradilan anak di PN, sidang TPP di Bapas, Lapas,
Rutan dan Kanwil Dep. Hukum dan HAM.
7. Memberi bantuan bimbingan kepada bekas narapidana, anak didik dank
lien Pemasyarakatan (after care)
8. Melakukan urusan tata usaha Bapas

Tugas Pokok dan Fungsi Balai Pemasyarakatan antara lain :

 Pembimbingan, meliputi :

Pendidikan agama
Pendidikan budi pekerti
Bimbingan dan penyuluhan perorangan maupun kelompok
Pendidikan formal
Kepramukaan
Pendidikan Keterampilan Kerja
Pendidikan kesejahteraan keluarga
Psikoterapi
Kepustakaan
Psikiatri terapi
Dan berbagai bentuk usaha penyembuhan klien lainnya
 Penelitian kemasyarakatan (Litmas), meliputi:

Penelitian Kemasyarakatan untuk Narapidana

 Litmas untuk Pembebasan Bersyarat


 Litmas untuk Cuti Menjelang Bebas
 Litmas untuk Asimilasi
 Litmas untuk Cuti Menungunjungi Keluarga

Penelitian Kemasyarakatan untuk Sidang Pengadilan Negeri

 Litmas untuk Sidang Pengadilan Anak bermasalah Hukum


 Litmas untuk Sidang Pengadilan Anak penetapan Anak Sipil
Penelitian Kemasyarakantan untuk permintaan instansi lain

 Pengawasan, Meliputi

Pengawasan Klien Pembebasan Bersyarat


Pengawsan Klien Cuti Menjelang Bebas
Pengawasan Klien CB
Pengawan Klien Asimilasi
Pengawasan Klien CMK
PengawasanKlien Pidana Bersyarat

Penjelasan TUPOKSI Bapas diatas merupakan hal yang normatif


sebagai suatu standar kerja yang wajib dijalankan dengan benar sehingga
diharapkan dapat tercipta suatu pelayanan birokrasi yang sesuai dan baik,
namun secara empiris terjadi gap antara kenyataan dengan harapan untuk itu
perlu ada reformasi Balai Pemasyarakatan.

Selanjutnya untuk mewujudkan reformasi Bapas, tidak hanya dibutuhkan


retorika belaka namun harus ada rencana tindakan (action plan) nyata yang
dibuat, oleh karena itu penulis mencoba membuat suatu konsep pemikiran
tentang rencana tindakan yang dapat lakukan antara lain yaitu : pertama
melakukan perubahan kelembagaan guna memotong birokrasi hal ini bisa
dilakukan dengan perubahan struktur organisasi Bapas agar tidak gemuk dan
lebih memungkinkan untuk di berikan jabatan fungsional bagi pegawai dikuatkan
dengan peraturan perundang-undangan. Kedua Sistem kerja dilakukan seluwes
mungkin tidak kaku, salah satu nya bisa dilakukan dengan menempatkan
petugas PK pada Lapas/ Rutan sehingga pekerjaan yang dilakukannya bisa
terjangkau, bisa lebih cepat, tepat dan tidak boros. Dan ketiga adalah
menempatkan petugas PK sebagai pejabat fungsional.

Tiga langkah rencana aksi yang penulis usulkan dapat


diimplementasikan, jika dilandasi adanya perubahan mind-set semua unsure
Pemasyarakatan dimulai dari lini atas hingga lini bawah, guna menyamakan
persepsi dan komitmen bersama demi terciptanya pelaksanaan Sistem
Pemasyarakatan bukan berdasarkan ego sektoral.

Mengacu kepada Standard Minimum Rules, ada beberapa pasal yang


mengatur tentang penugasan social worker (yang dimaksud bisa PK) didalam
Lapas, pasal - pasal tersebut antara lain :

- Pasal 47 SMR
Ayat (1) Sedapat mungkin, personil dilengkapi dengan para ahli dalam
jumlah yang mencukupi seperti psikiater, psikolog, pekerja sosial, guru dan
guru ketrampilan.
Ayat (2) Pelayanan yang diberikan oleh pekerja sosial, guru dan guru
ketrampilan harus dijamin berbasis permanen, tanpa mengecualikan pekerja
sukarela paro waktu.

- Pasal 59 SMR tentang pendampingan menurut kebutuhan pembinaan


perseorangan narapidana
- Pasal 60 SMR tentang pengawasan narapidana yang diusulkan PB
- Pasal 61 SMR tentang melakukan rehabilitasi narapidana

Lebih lanjut Benchmaking berkaitan dengan penempatan PK dalam


Lapas/Rutan sesungguhnya telah dijalankan juga oleh corrections di banyak
negara, misalnya negara Amerika Serikat sebagai negara adikuasa yang
merupakan barometer corrections dunia, penugasan social worker (PK) di
Lapas untuk melakukan tugas-tugas antara lain :

Menilai kemajuan narapidana

Mengevaluasi napi menggunakan kuesioner dan tes psikologis

Bekerja team work (napi, petugas dan lembaga lainnya seperti : guru,
psikolog)

Merencanakan program-program Diklat bagi napi seperti : manajemen


amarah, seksual dan penyalahgunaan narkoba, dan konseling secara
individu dan kelompok

Membuat ringkasan dan rencana perawatan untuk setiap narapidana.

Selanjutnya di Negara NSW dan Adelide di Australia, peran PK di Lapas


antara lain :

 Mengawasi Narapidana di Lapas


 Menyelesaikan risk assessment dan rencana kasus di dalam dan diluar
Lapas
 Melakukan home visit dan interview
 Mengukuhkan informasi dengan agen-agen masyarakat (community
agencies)
 Bertanggung jawab terhadap dokumentasi dan catatan-catatan yang
hubungan dengan narapidana

 Membuat Litmas untuk putusan PB dan cuti menjelang bebas

 Memfasilitasi program-program kelompok.


Diawali dengan mind- mapping terhadap keseluruhan organisasi Bapas saat ini,
pertama melihat kondisi pada struktur organisasi Bapas.

Gambar 1 Sturtur Organisasi Bapas Klas I

Bapas saat ini


Struktur Organisasi Bapas Kelas I
Kepala Bapas

Sub Bagian TU

Urusan Urusan
Urusan Umum
Kepegawaian Keuangan

Seksi Bimbingan Seksi Bimbingan


Klien Anak Klien Dewasa

Sub Seksi Sub Seksi


Registrasi Registrasi

Sub Seksi Bim. Sub Seksi Bim.


Kerja Kerja

Sub Seksi Bim. Sub Seksi Bim.


Kemasyarakatan Kemasyarakatan
Kepmen Kehakiman RI No. M.02-PR.07.03 Tahun 1987
Gambar 2. Struktur Organisasi Bapas Klas II

Struktur Organisasi Bapas Kelas II

Kepala Bapas

Sub Bagian TU

Seksi Bimbingan Seksi Bimbingan


Klien Anak Klien Dewasa

Kepmen Kehakiman RI No. M.02-PR.07.03 Tahun 1987

Jika melihat kondisi struktur organisasi terutama struktur organisasi pada


Bapas Klas 1, dimana pada prakteknya pelaksanaan kasubsi dibawah kasie
tidak berjalan efektif dan efesien serta terlihat jenjang pelayanan menjadi
panjang , karena pekerjaan tersebut terasa jadi berbelit padahal tupoksi bisa
dilakukan sendiri oleh kepala seksi yang berfungsi sebagai koordiator yang
mengkoordinasikan pekerjaan bagi petugas PK untuk menjalankan tugasnya
dan melakukan supervise terhadap PK. Sehingga sistem yang dijalankan oleh
pegawai jadi berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan yang kaku oleh
karena itu dapat menimbulkan gap antara kenyataan dan harapan. Jadi
sesungguhnya struktur organisasi bisa dirampingkan hal ini sesuai dengan
kebijakan Menpan yaitu merampingkan structural dan menggemukan
fungsional. Maka konsep yang dapat penulis ajukan yaitu memotong structur
organisasi Bapas menjadi seperti dibawah ini.

Gambar 3. Struktur Organisasi Bapas Yang Diinginkan

Struktur Bapas Yang Diinginkan


Struktur Organisasi Bapas

Kepala Bapas

Kasubbag TU

Seksi Bimbingan Seksi Bimbingan


Klien Anak Klien Dewasa

Dapat dijelaskan bahwa tidak ada lagi Bapas Klas I dan II namun yang
ada hanya UPT Bapas dengan jenjang eselon III/a untuk posisi seorang Kepala
Bapas dan dalam menjalankan tupoksi nya Kepala Bapas hanya dibantu oleh
Kasie BKA, Kasie BKD untuk bidang teknis dan Kasubag TU untuk bidang
pengelolaan keuangan, umum dan kepegawaian yang bersifat administrasi.
Sedangkan untuk jabatan structural dibawah kepala Bapas yaitu dengan jenjang
eselon IV/a. Hal ini untuk memutus birokrasi yang berbelit, lambat dan bersifat
kaku dalam cara bekerja yang dianggap banyak liku-likunya, sehingga dengan
demikian struktur baru yang sederhana dapat mengoptimalkan pekerjaan.
Selanjutnya bahwa birokrasi kita ketahui sering melupakan tujuan
pemerintah yang sejati, karena dianggap terlalu mementingkan cara dan bentuk
ia menghalangi pekerjaan yang cepat serta menimbulkan semangat menanti,
menghilangkan inisiatif, terikat dengan peraturan yang jelimet dan bergantung
kepada perintah atasan, berjiwa statis dan karena itu menghambat kemajuan.
Fenomena tersebut juga terjadi pada prosedur pelayanan Balai
Pemasyarakatan dianggap belum optimal sehingga mempengaruhi kinerja
organisasi, permasalahan yang terjadi antara lain :
 Penyerahan klien CB sering tidak diiukuti dengan penyerahan Litmas
yang bersangkutan sehingga mempersulit penyusunan program
pembimbingan.
 Sebagian besar Bapas tidak diikutkan pada sidang TPP
 Belum ada Lapas/Rutan yang meminta Litmas Admisi Orientasi
 Penyerahan klien PB sering tidak didampingi petugas Lapas.
 Eksistensi Bapas dalam sidang Pengadilan Anak masih kurang
mendapat perhatian dari penegak hukum lainnya.
 Kurangnya jumlah personil,
 Kurangnya kompetensi pegawai
 Kurangnya minat pegawai pemasyarakatan untuk ditempatkan di Bapas
 kurangnya anggaran home visit dan anggaran pembimbingan, (untuk
kunjungan rumah (home visit) dalam kota anggaran tidak bisa diserap)
 kurangnya sarana prasarana seperti komputer dan kendaraan roda dua,
 kurangnya anggaran untuk program pembimbingan
 Belum adanya persepsi yang sama di jajaran pemasyarakatan mengenai
program bagi napi/tahanan.
 Belum adanya persepsi yang sama diantara instansi penegak hukum
terhadap penanganan anak yang bermasalah dengan hukum
 Litmas digunakan sebatas menggugurkan kewajiban
 Kurangnya pemahaman mengenai peran BAPAS
 Belum adanya Standard Opration Procedur terkait pelayanan
pembimbingan terhadap klien BAPAS
 Tidak mempunyai kekuatan hukum untuk memberikan sanksi kepada
klien yang melanggar aturan

Terkait hal tersebut maka langkah reformasi Bapas ke dua yaitu dengan
menempatkan petugas PK pada Lapas/Rutan yang berada di wilayah kerja
Bapas, misalnya Bapas Serang, menempatkan PK nya di Lapas Klas I
Tanggerang, Lapas Pemuda Tanggerang, Lapas Anak Pria Tanggerang, Lapas
Anak Wanita Tangerang, Lapas Wanita Tangerang, Rutan Tangerang, Lapas
Klas II Serang, Rutan Serang, Rutan Rangkas Bitung dan Rutan Pandeglang.
Penempatan PK Bapas di Lapas/Rutan bertujuan antara lain :
 Mempermudah Rutan/Lapas dalam permintaan Litmas untuk Admisi
Orientasi dalam rangka Program pembinaan
 Mempercepat penyelesaian Litmas
 Menghemat waktu dan biaya
 Keikutsertaan pada kegiatan program pembinaan yang diselenggarakan
lapas/Rutan dalam bentuk team work Lapas/Rutan
 Memberikan konseling kepada Napi/tahanan yang bermasalah
 Melakukan pengawasan dan pengamatan
 Mengikuti sidang TPP
 Melakukan evaluasi dan penilaian program pembinaan diLapas/Rutan
Gambar 4. Penempatan PK Bapas di Lapas dan Rutan

.
Lapas/ Lapas
Rutan Anak

Bapas

Lapas/ Lapas
Rutan Wanita

Selanjutnya langkah ketiga yang penulis usulkan yaitu menempatkan pegawai


Bapas atau PK Bapas sebagai pejabatan fungsional. Bahwa dengan adanya
perampingan struktur organisasi Bapas maka yang dapat digemukan jabatan
fungsional nya, hal ini untuk memotivasi agar antara lain :
PK diharapkan dapat bekerja lebih fokus
PK dapat bekerja lebih profesional
Kenaikan pangkat dapat terus berjalan
Tingkat Kesejahteraan PK meningkat
PENUTUP

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kunci dari reformasi Balai
Pemasyarakatan sesungguhnya adalah kemauan untuk melakukan perubahan
mind-set Jajaran Pemasyarakatan ( sebagai abdi Negara, abdi masyarakat
bukan menjadi penguasa melainkan sebagai pelayan untuk melayani
masyarakat dan bukan untuk dilayani, mendahulukan perannya sebagai
petugas Pemasyarakatan bukan kewenangannya yang dapat merusak tugas
dan fungsinya) sehingga dengan demikian dapat tercipta persepsi yang sama
dan komitmen untuk melaksanakan tupoksi nya berdasarkan Sistem
Pemasyarakatan dengan mengedepankan good and clen governance (Bapas
yang bersih, transparan, akuntabel dan professional serta bebas KKN) yang
berbasis kinerja dan terwujudnya pelayanan prima.

Tindakan aksi (action plan) sebagai wujud dari reformasi Bapas yang dapat di
implementasikan ada tiga langkah antara lain :

1. Pemangkasan struktur organisasi Bapas


2. Penempatan Petugas PK di Lapas dan Rutan
3. Menempatkan Petugas PK sebagai pejabat fungsional

Agar langkah-langkah tersebut dapat terrealisasi tentu saja harus didukung oleh
sumber daya penunjang maka yang dapat penulis saran kan kepada pimpinan
adalah sebagai berikut :

 Penambahan jumlah personil pegawai/PK


 Peningkatan kompetensi SDM pegawai, memperbanyak Diklat teknis dan
non teknis
 Membuat Standar Opration Procedure
 Diperlukan sistem informasi (yang berbasis IT) seperti alat komunikasi,
komputer, alat monitor)
 Pengelolaan database berbasis online, realtime
 Kendaraan roda dua dan empat
 Sarana dan prasarana di Lapas/Rutan
 Membuat Etika profesi PK

SELESAI
DAFTAR PUSTAKA

Abeng, Tanri. 2006. Profesi Manajemen. Jakarta: Gramedia.

Davidson, Jeff. 2005. Change Management Edisi terjemahan. Jakarta : Prenada.

Kasali, Rhenald. 2005. Change. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Osborne, David dan Peter Plastrik. 1997. Banishing Bureaucracy: The Five Strategies
for Reinventing Governmen. New York: Addison-Wisely Publishing Company,
Inc.

Osborne, David dan Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government: “How the
Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector” Edisi terjemahaan
Jakarta: PPM.

Schaffer, Robert H dan Harvey A Thomson, “Successful Change Program Begin with
Result” Harvard Business Review on Change. 1991

Utomo, Warsito. 2006. Administrasi Publik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Warham, Joyce. 1977. An Open Case. London : Routledge & Kegen Paul.

Koran Harian Nasional Depok, halaman 2 tanggal 7 Januari 2008.

Anda mungkin juga menyukai