Warta Pas 44
Warta Pas 44
NOMOR 44 TAHUN XII - Januari 2011 Cover : Pelantikan Massal di Ditjen Pemasyarakatan Desain, Cetak, Tata Letak: INFOKOM DITJENPAS
Portir
Fokus
hal 03
Strategi
Menghadapi dan Mencegah Deradikalisasi
RESTRUKTURISASI
Menuju Era Baru Pemasyarakatan
Stakeholder Meeting Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan Search for Common Ground Indonesia
hal 20
Opini
PENJARA
Bukan Untuk Anak
hal 24
Profil UPT
Rutan Ternate
PELANTIKAN MASSAL DITJEN PEMASYARAKATAN
hal 12 Liputan
hal 16
Portir
Akhir 2010, merupakan momentum bersejarah dalam Kebangkitan Pemasyarakatan yang ke dua. Tepatnya pada hari Jumat tanggal 31 Desember 2010, Direktur Jenderal Pemasyarakatan, atas nama Menteri Hukum dan HAM RI, melantik dan mengambil sumpah jabatan untuk pejabat yang menempati posisi eselon II, III dan IV di lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Pelantikan sebanyak 115 orang (rekor pelantikan terbanyak, sepanjang sejarah Ditjen Pas) ini merupakan tindak lanjut dari restrukturisasi (perubahan struktur) Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, yang ditetapkan dalam Peraturan Mentri Hukum dan HAM RI Nomor:M.HH05.OT.01.01 Tahun 2010 tentang organisasi Tata Kerja Kementrian Hukum dan HAM RI. Restrukturisasi Ditjen Pas menjadi bagian penting dalam Reformasi Birokrasi Pemasyarakatan, yaitu sebagai cara meningkatkan peran dan fungsi kelembagaan yang tepat fungsi dan tepat ukuran (right sizing), juga sebagai langkah optimalisasi kinerja Pemasyarakatan dalam meningkatkan pelayanan publik. Oleh karenanya tidak salah jika kita pun menjadikan momentum pelantikan dan restrukturisasi Ditjen Pas ini sebagai momentum menuju Era Baru Pemasyarakatan. Era baru Pemasyarakatan, ditandai pula dengan tersusunnya Asesmen dan klasifikasi bagi narapidana, hasil kerja sama Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dengan New South Wales Corrective Service (Australia). Asesmen warga binaan merupakan proses mengumpulkan informasi yang digunakan sebagai dasar untuk menyusun case plan serta merencanakan program pembinaan yang tepat bagi warga binaan. Tersusunnya instrumen asesmen merupakan angin segar dalam proses pembinaan narapidana. Dengan mendasarkan diri pada hasil assessment dan pengklasifikasian narapidana, kegiatan pembinaan akan semakin terarah dan tepat sasaran. Reformasi Birokrasi Pemasyarakatan telah berjalan selama kurang lebih satu tahun dan akan terus bergulir sampai Instansi Pemasyarakatan memenuhi harapan masyarakat, yaitu terciptanya birokrasi yang bersih, efektif, efisien, transparan dan akuntabel dalam melayani dan memberdayakan masyarakat. Reformasi Birokrasi Identik dengan pembaharuan dan perubahan. Untuk mencapai tujuan itu, Pemasyarakatan akan terus melakukan pembaharuan dan perubahan yang mendasar pada sistem kelembagaannya, ketatalaksanaan dan pada sumber daya manusianya. Perlu ditekankan bahwa pembaharuan dan perubahan organisasi tidak akan berarti jika SDMnya tidak berubah dan memperbaharui diri. Meningkatkan kemampuan dan mengembangkan potensi diri adalah wujud kita mau merubah dan memperbaharui diri. Mari kita berubah, dari hal yang kecil, dari diri sendiri, dan mulai dari sekarang. Perubahan memang menimbulkan risiko yang besar, tetapi kita akan mendapatkan risiko yang lebih besar jika kita tidak berubah. Karena kita akan tergilas oleh perubahan.
s Redak
WARTA PEMASYARAKATAN 03
NOMOR: 44 TAHUN XII - Januari 2011
Fokus
RESTRUKTURISASI
langkah untuk merencanakan masa depan. Dalam perkembangannya, sebuah organisasi harus mampu beradaptasi dalam menghadapi perubahan lingkungan. Restrukturisasi organisasi dilakukan karena merasa organisasi yang ada sudah tidak match dengan tuntutan kebutuhan. Oleh karena itu dengan dilakukannya restrukturisasi organisasi tentunya diharapkan
dapat menghasilkan organisasi yang mampu mengelola perubahan dan membangun organisasi yang efisien, efektif dan fleksibel. Kompleksitas permasalahan yang dihadapi seluruh jajaran Pemasyarakatan dijadikan semangat untuk bangkit dan bereformasi. Seperti yang disampaikan Dirjen Pas sebelumnya bahwa reformasi birokrasi Pemasyarakatan mempunyai tujuan khusus untuk membentuk birokrasi Pemasyarakatan yang bekerja atas dasar aturan dan nilainilai,
04 WARTA PEMASYARAKATAN
NOMOR: 44 TAHUN XII - Januari 2011
Fokus
birokrasi yang efisien, efektif dan produktif yaitu birokrasi Pemasyarakatan yang mampu memberikan dampak kerja positif, birokrasi yang transparan dan birokrasi yang melayani masyarakat dan birokrasi yang akuntabel. Memang banyak pertanyaan atas usulan restrukturisasi ini, yang seolaholah baru ditiupkan saat injuritime. Apakah restrukturisasi ini dilakukan dengan melalui kajian yang mendalam. Lalu kemudian apakah restrukturisasi ini ada benang merahnya dengan tarik ulur remunerasi?
perhatian. Selain itu, departementalisasi fungsional Direktorat Jenderal Pemasyarakatan juga masih menimbulkan tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas. Sebut saja Direktorat Perawatan dengan Direktorat Bina Khusus Narkotika, fungsi dan kewenangan mengalami tumpang tindih. Tumpang tindih ini dinilai menciptakan suasana yang kurang kondusif dalam memajukan organisasi, karena dinilai mubazir dalam pengelolaan program yang kurang lebih sama, bahkan yang terjadi menambah kompleksitas koordinasi serta memunculkan ego sektoral di masingmasing direktorat.
Pada awalnya, Ditjen Pas mengembangkan organisasinya dengan pendekatan fungsi, yang terdiri dari 6 (enam) Direktorat, yakni (1) Direktorat Bina Bimbingan Kemasyarakatan, (2) Direktorat Bina Perawatan, (3) Direktorat Bina Latihan Kerja dan produksi, (4) Direktorat Bina Regsitrasi dan Statistik, (5) Direktorat Bina Keamanan dan Ketertiban dan yang terakhir lahir tahun 2002 yaitu (6) Direktorat Bina Khusus Narkotika. Pada perjalanannya struktur yang ada dinilai belum cukup menjawab kebutuhan secara internal Pemasyarakatan ataupun kebutuhan masyarakat pada umumnya. Ternyata, departementalisasi fungsional ini belum mampu mendudukkan secara seimbang (equal) fungsifungsi yang ada. Departementalisasi ini cenderung memberikan porsi yang lebih besar pada fungsifungsi Lapas dan Rutan, sedangkan fungsifungsi yang berkaitan dengan Bapas dan Rupbasan cenderung kurang mendapat
WARTA PEMASYARAKATAN 05
NOMOR: 44 TAHUN XII - Januari 2011
Fokus
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), pembimbingan klien pemasyarakatan yang dilaksanakan oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas), dan pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan negara yang dilaksanakan oleh Rumah Penyimpanan Benda Sitaan dan Barang Rampasan Negara (Rupbasan). Tentunya sangatlah penting untuk juga lebih memperkuat fungsi Bapas dan Rupbasan. Mengacu pada kondisi tersebut, perubahan struktur organisasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan merupakan satu langkah strategis untuk perubahan. Perubahan ini tentu saja dengan melakukan analisis secara menyuluruh terhadap faktorfaktor yang berpengaruh dalam pelaksanaan tugas Pemasyarakatan. Terdapat beberapa aspek dalam melakukan perubahan struktur organisasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, yaitu: (1) Perubahan dilakukan untuk memperjelas pertanggungjawaban kinerja UPT Pemasyarakatan. Ditjenpas tidak didudukkan sebagai pengambil kebijakan semata, akan tetapi juga mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan tersebut dan melakukan pengawasan, (2) memperhatikan keberagaman bidang pekerjaan dan tanggung jawab terhadap pelaksanaan tugas pada Lapas, Rutan, Bapas, dan Rupbasan, yaitu dengan memberikan perhatian lebih besar terhadap WBP anak, fungsi standarisasi sarana hunian, fungsi intelejen yang disatukan dengan pencegahan untuk efektifitas pelaksanaan pencegahan gangguan kamtib, (3) Penguatan fungsi Rupbasan dengan memperhatikan peran strategis Rupbasan dalam proses peradilan (4) Perhatian serius pada kelompok jabatan fungsional yang didalamnya mencakup beberapa fungsi yang mendukung pelaksanaan tugas pemasyarakatan, (5) Setiap Direktorat akan melakukan pengumpulan data dan informasi Pemasyarakatan. Data dan informasi Pemasyarakatan tersebut akan dihimpun oleh Direktorat Infokom melalui system data base , sehingga ke depannya fungsi kehumasan menjadi optimal. Struktur Baru Ditjenpas
Dengan memadukan dua pendekatan yakni sektor dan fungsi, diharapkan akan terbentuk struktur organisasi yang mampu memberikan perhatian yang seimbang di antara unit pelaksana teknis dan tidak terabaikannya fungsifungsi strategis yang dapat mendorong kinerja pemasyarakatan, dimana keseluruhan Direktorat dan Bagian direstruktur sesuai dengan kebutuhan masyarakat di masa transformasi ini. Tepatnya pada 30 Desember 2010, restrukturisasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mengalami Perubahan
06 WARTA PEMASYARAKATAN
NOMOR: 44 TAHUN XII - Januari 2011
Fokus
struktur yang didasari Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH 05.OT.01.01 Tahun 2010 tentang Organisasi Tata Kerja Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. Patut diberikan apresiasi bagi kinerja Jajaran Pemasyarakatan dalam mengagas struktur ini, karena hal ini merupakan proses tidak terpisah dari sistem organisasi secara keseluruhan terutama sub sistem operasi, sehingga dapat mengeliminir gap antara struktur organisasi yang dihasilkan dengan system operasi. Dengan kondisi ini diharapkan struktur organisasi yang ada mampu memberikan dukungan yang optimal terhadap operasionalisasi organisasi. Lebih jauh lagi ketika terdapat permasalahan, dapat dengan jelas unit organisasi mana yang harus menanganinya atau tidak adanya grey area. Langkah kongkrit dilaksanakan antara lain dengan melikuidasi ke enam Direktorat dan menggantikannya dengan yang baru. Struktur Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang baru memiliki 6 (enam) Direktorat dan Sekretaris Ditjen Pemasarakatan, yaitu (1) Direktorat Bina Narapidana dan Pelayanan Tahanan, (2) Direktorat Bina Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak, (3) Direktorat Informasi dan Komunikasi, (4) Direktorat Bina Pengelolaan Benda Sitaan dan Barang Rampasan Negara, dan (5) Direktorat Bina Kesehatan dan Perawatan Narapidana dan Tahanan, sementara hanya satu Direktorat yang tidak mengalami perubahan nama yaitu (6) Direktorat Bina Keamanan dan Ketertiban namun mengalami pengembangan fungsi intelejen di dalamnya. Dengan struktur tersebut diharapkan menjadi kendaraan untuk mencapai tujuan yang diharapkan dan menghasilkan peningkatan kinerja Jajaran Pemasyarakatan. Namun patut dicermati tugas selanjutnya adalah menjaga konsistensi dalam struktur baru tersebut, sehingga pembentukan yang telah melalui kajian yang matang dapat membawa organisasi dan Sumber Daya Manusia didalamnya ke arah yang lebih baik. Karena upaya melakukan koreksi dan perubahan perubahan mendasar perlu mencermati dampak risiko lebih besar, baik risiko adanya riel cost yang dikeluarkan, waktu, maupun tenaga. Te n t u n y a r e s t r u k t u r i s a s i D i t j e n Pemasyarakatan menjadi pilihan yang tepat untuk dilakukan, bukan sekedar berubah karena ingin berubah. Juga bukan berubah seperti di instansi tertentu ~Setiap ganti Menteri ganti Kurikulum~. Dan pastinya perubahan yang dilakukan adalah perubahan yang semakin baik. (ndru)***
WARTA PEMASYARAKATAN 07
NOMOR: 44 TAHUN XII - Januari 2011
Fokus
08 WARTA PEMASYARAKATAN
NOMOR: 44 TAHUN XII - Januari 2011
Fokus
nama yaitu (6) Direktorat Bina Keamanan dan Ketertiban namun mengalami pengembangan fungsi intelejen di dalamnya. Dengan struktur tersebut diharapkan menjadi kendaraan untuk mencapai tujuan yang diharapkan dan menghasilkan peningkatan kinerja Jajaran Pemasyarakatan. Namun patut dicermati tugas selanjutnya adalah menjaga konsistensi dalam struktur baru tersebut, sehingga pembentukan yang telah melalui kajian yang matang dapat membawa organisasi dan Sumber Daya Manusia didalamnya ke arah yang lebih baik. Karena upaya melakukan koreksi dan perubahan perubahan mendasar perlu mencermati dampak risiko lebih besar, baik risiko adanya riel cost yang dikeluarkan, waktu, maupun tenaga. Te n t u n y a r e s t r u k t u r i s a s i D i t j e n Pemasyarakatan menjadi pilihan yang tepat untuk dilakukan, bukan sekedar berubah karena ingin berubah. Juga bukan berubah seperti di instansi tertentu ~Setiap ganti Menteri ganti Kurikulum~ . Dan pastinya perubahan yang dilakukan adalah perubahan yang semakin baik. (ndru)***
WARTA PEMASYARAKATAN 09
NOMOR: 44 TAHUN XII - Januari 2011
Fokus
nama yaitu (6) Direktorat Bina Keamanan dan Ketertiban namun mengalami pengembangan fungsi intelejen di dalamnya. Dengan struktur tersebut diharapkan menjadi kendaraan untuk mencapai tujuan yang diharapkan dan menghasilkan peningkatan kinerja Jajaran Pemasyarakatan. Namun patut dicermati tugas selanjutnya adalah menjaga konsistensi dalam struktur baru tersebut, sehingga pembentukan yang telah melalui kajian yang matang dapat membawa organisasi dan Sumber Daya Manusia didalamnya ke arah yang lebih baik. Karena upaya melakukan koreksi dan perubahanperubahan mendasar perlu mencermati dampak risiko lebih besar, baik risiko adanya riel cost yang dikeluarkan, waktu, maupun tenaga. Te n t u n y a r e s t r u k t u r i s a s i D i t j e n Pemasyarakatan menjadi pilihan yang tepat untuk dilakukan, bukan sekedar berubah karena ingin berubah. Juga bukan berubah seperti di instansi tertentu ~Setiap ganti Menteri ganti Kurikulum~. Dan pastinya perubahan yang dilakukan adalah perubahan yang semakin baik. (ndru)***
10 WARTA PEMASYARAKATAN
NOMOR: 44 TAHUN XII - Januari 2011
Fokus
nama yaitu (6) Direktorat Bina Keamanan dan Ketertiban namun mengalami pengembangan fungsi intelejen di dalamnya. Dengan struktur tersebut diharapkan menjadi kendaraan untuk mencapai tujuan yang diharapkan dan menghasilkan peningkatan kinerja Jajaran Pemasyarakatan. Namun patut dicermati tugas selanjutnya adalah menjaga konsistensi dalam struktur baru tersebut, sehingga pembentukan yang telah melalui kajian yang matang dapat membawa organisasi dan Sumber Daya Manusia didalamnya ke arah yang lebih baik. Karena upaya melakukan koreksi dan perubahan perubahan mendasar perlu mencermati dampak risiko lebih besar, baik risiko adanya riel cost yang dikeluarkan, waktu, maupun tenaga. Te n t u n y a r e s t r u k t u r i s a s i D i t j e n Pemasyarakatan menjadi pilihan yang tepat untuk dilakukan, bukan sekedar berubah karena ingin berubah. Juga bukan berubah seperti di instansi tertentu ~Setiap ganti Menteri ganti Kurikulum~ . Dan pastinya perubahan yang dilakukan adalah perubahan yang semakin baik. (ndru)***
WARTA PEMASYARAKATAN 11
NOMOR: 44 TAHUN XII - Januari 2011
Cover Story
eselon II, III dan IV di lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Sebanyak 115 orangorang terpilih dan telah melalui uji seleksi yang kredibel dan akuntabel, dilantik dan dipercaya untuk mengemban tugas baru. Sebagian besar diangkat dalam jabatan baru yang setara atau jabatan setingkat diatasnya. Sebagian mereka lagi adalah yang mendapatkan
12 WARTA PEMASYARAKATAN
NOMOR: 44 TAHUN XII - Januari 2011
Cover Story
promosi karena dinilai memiliki kinerja baik selama mengabdi dan memiliki persyaratan dari noneselon untuk menempati posisi baru di eselon IV. Dalam sambutannya, Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Untung Sugiyono menyampaikan bahwa Pelantikan bersama saat ini dimaknai sebagai manifestasi dari semangat Kebangkitan Pemasyarakatan ke dua. Ditambah lagi dengan semakin tingginya ekspektasi masyarakat terhadap kinerja Pemasyarakatan dalam konteks penegakan hukum. Oleh karenanya Pemasyarakatan dituntut mampu menjawab segala t u n t u t a n d a n perkembangan aspirasi masyarakat. Pelantikan ini merupakan tindak lanjut dari restrukturisasi (perubahan struktur) Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang berkorelasi dengan Reformasi Birokrasi Pemasyarakatan yang sedang digulirkan saat ini. Restrukturisasi organisasi Ditjen Pemasyarakatan yang baru saja ditetapkan melalui Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH05.OT.01.01 Tahun 2010 Tanggal 30 Desember 2010 tentang Organisasi Tata Kerja Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. Restrukturisasi menjadi bagian penting dalam kemajuan organisasi. Selain sebagai cara untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas personil dalam mewujudkan akselerasi dan optimalisasi kinerja Pemasyarakatan, juga menjadi solusi tepat guna menjawab tantangan era globalisasi dan arus modernisasi dewasa ini. Mereka yang dilantik untuk menduduki posisi strategis (eselon II. red) dalam struktur Ditjen Pemasyarakatan baru adalah Murdiyanto sebagai Direktur Informasi dan Komunikasi, Ma'Mun sebagai Direktur Bina Keamanan dan Ketertiban, Muqowimul Aman sebagai Direktur Bina Kesehatan dan Perawatan Narapidana d a n Ta h a n a n , A m a l i a Abidin sebagai Direktur Bina Pengelolaan Benda Sitaan dan Barang Rampasan Negara, Ambeg Paramartha sebagai Direktur Bina Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak, Rahmat Priyo sebagai Direktur Bina Narapidana dan Pelayanan Tahanan.
Sejalan dengan tujuan reformasi birokrasi, dengan struktur baru ini diharapkan bisa mengubah pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set) serta sistem manajemen. Secara khusus,
WARTA PEMASYARAKATAN 13
NOMOR: 44 TAHUN XII - Januari 2011
Cover Story
sasaran yang ingin dicapai mencakup berbagai segi yaitu, kelembagaan (organisasi), dengan membentuk Organisasi Pemasyarakatan yang tepat fungsi dan tepat ukuran (right size), budaya organisasi, dengan membentuk Birokrasi Pemasyarakatan yang profesional dan memilki kinerja yang tinggi, Ketatalaksanaan, dengan membangun sistem, proses dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien, terukur, sesuai dengan prinsip prinsip good governance, regulasi dan deregulasi, dengan menciptakan birokrasi Pemasyarakatan yang menjalankan regulasi dan deregulasi secara lebih tertib, tidak tumpang tindih dan kondusif, sumber daya manusia, dengan menciptakan SDM Pemasyarakatan yang berintegritas, kompeten, profesional, berkinerja tinggi, sejahtera dan terhormat. Penempatan struktur baru ini juga upaya menjawab penilaian dan kritikan masyarakat terhadap kinerja Pemasyarakatan. Sebagai catatan, ada beberapa fakta antara lain hasil survei KPK yang menunjukkan tingkat pelayanan publik Pemasyarakatan masih rendah, over crowding di Lapas dan Rutan, serta berhubungan dengan manajemen organisasi kementerian Hukum dan HAM RI yang kurang memberikan ruang dan kewenangan Ditjen Pemasyarakatan kepada UPT Pemasyakaratan. Dalam acara pelantikan ini, Dirjen Pemasyarakatan menyampaikan bahwa jabatan baru ini selain sebagai apresiasi
14 WARTA PEMASYARAKATAN
NOMOR: 44 TAHUN XII - Januari 2011
Cover Story
hasil kerja namun juga sebuah amanah, sehingga berharap para pejabat baru bisa memberikan nilai tambah pada posisi tugas baru yang ditempatinya. Pelajari portofolio tugas dan lakukan berbagai inovasi di dalamnya, selama ide kreatif itu tidak dilarang dan sesuai dengan peraturan, terbuka untuk dikembangkan. Setiap kinerja terbaik selalu terpantau. Tidak tertutup kemungkinan, mereka yang terbaik bisa dipromosikan untuk eselon lebih tinggi lagi atau dikaryakan di jabatanjabatan bahkan di luar Ditjen Pemasyarakatan. Beberapa hal ditekankan Dirjen Pas yakni para pejabat harus senantiasa memberikan ketauladanan bagi seluruh jajaran yang ada di bawahnya, meningkatkan profesionalisme, membangun kepercayaan publik, berpegang teguh pada sumpah jabatan, pengawasan melekat terhadap jajarannya, sehingga setiap pelaksanaan tugas dan wewenang dapat berjalan sesuai dengan ketentuan dan berpedoman pada kebijakan yang telah ditetapkan pimpinan. Mengakhiri sambutannya, Dirjen mengatakan Titik awal semua keberhasilan adalah keinginan (Napoleon Hill). Jika menginginkan Pemasyarakatan menjadi Insititusi Pemerintah yang maju dan bermartabat, sebagai titik awal keberhasilan maka mulailah dengan niatan setulus hati. (ndru)***
WARTA PEMASYARAKATAN 15
NOMOR: 44 TAHUN XII - Januari 2011
Liputan
SOP PEMASYARAKATAN MENJADI REKOMENDASI KOMISI III
(Rapat Dengar Pendapat DPR)
apat Dengar Pendapat Komisi III DPR RI dengan Kementerian Hukum HAM pada Rabu, 26 Januari 2011 berlangsung cukup alot, mengingat rapat berlangsung dari pukul 11.00 s.d 23.30 WIB. Dalam kesempatan tersebut Menkumham Patrialis Akbar menyampaikan progres dan capaian kerja seluruh Eselon I dibawahnya dalam kurun waktu 3 bulan terakhir, disamping menyampaikan penanganan terhadap isu dan permasalahan yang belakangan cukup menjadi perhatian masyarakat seperti proses pembebasan bersyarat Arthalyta Suryani atau Ayin. Dalam rapat itu disimpulkan beberapa hal yang terkait dengan keimigrasian dan Pemasyarakatan. Dalam bidang Keimigrasian, Menkumham sepakat untuk mempercepat penyelesaian pembahasan RUU Keimigrasian dengan memperhatikan paradigma baru
keimigrasian Indonesia, paling lambat dalam masa sidang III tahun 20102011. Pada kesempatan itu, Dewan meminta Menkumham untuk mengajukan rencana tambahan anggaran dalam APBNP Tahun 2011 untuk menopang upaya reformasi keimigrasian. Hal ini sangat ditegaskan sebagai tindakan konkret guna memberantas penyelewengan dalam pelaksanaan tugas di bidang keimigrasian yaitu dengan melakukan pemeriksaan secara profesional dan menyeluruh. Sama halnya dengan Imigrasi, Komisi III DPR RI meminta Menkumham untuk menyempurnakan Standard Operating Procedures (SOP) pelaksanaan tugas di bidang Pemasyarakatan sesuai peraturan perundangundangan. Tujuannya untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan dalam pelaksanaan pelayanan di Lembaga
16 WARTA PEMASYARAKATAN
NOMOR: 44 TAHUN XII - Januari 2011
Liputan
Pemasyarakatan. Selanjutnya sebagai upaya mendukung peningkatan kapasitas dan kualitas programprogram pembinaan narapidana di Lapas, Menkumham diminta mengajukan rencana tambahan anggaran dalam APBNP Tahun 2011. Sementara itu hal yang sangat mendesak dilakukan adalah Menkumham melakukan tindakan konkret guna mencegah penyelewengan di bidang Pemasyarakatan khususnya dalam hal terjadinya kasus joki narapidana, jual beli narkoba serta pemberian fasilitas Remisi dan Pembebasan Bersyarat. (ndru)***
WARTA PEMASYARAKATAN 17
NOMOR: 44 TAHUN XII - Januari 2011
Liputan
Pembinaan Ideal Seorang dokter dapat menentukan pengobatan yang tepat terhadap orang yang sedang sakit setelah melakukan diagnose terhadap orang tersebut. Begitu pun penanganan terhadap narapidana, petugas harus terlebih dahulu mencari tahu apa yang salah dengan narapidana tersebut, baru kemudian ditentukan perlakuan apa yang paling tepat untuknya. Dengan demikian kegiatan pembinaan akan dapat terprogram dengan baik. Untuk mengetahui tentang 'apa yang salah' tersebut, setiap narapidana yang baru masuk harus melalui tahap yang disebut asesmen, dimana tahap ini belum ada dalam
proses pembinaan warga binaan pemasyarakatan di Indonesia. Asesmen adalah proses mengumpulkan informasi yang biasanya digunakan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan yang nantinya akan dikomunikasikan kepada pihakpihak terkait oleh asesor (Nietzel dkk,1998). Dari hasil asesmen inilah dasar pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan dimulai. Asesmen Resiko dan Faktorfaktor Crtiminogenic Direktorat Bina Bimkemas bekerjasama dengan New South Wales Corrective Service (Australia) telah berhasil menyusun
18 WARTA PEMASYARAKATAN
NOMOR: 44 TAHUN XII - Januari 2011
Liputan
instrumen asesmen, yang terdiri dari asesmen resiko dan asesmen kebutuhan. Asesmen resiko bertujuan untuk mengetahui sejauh m a n a s e o r a n g narapidana mempunyai kemungkinan untuk melakukan tindak pidana lagi setelah bebas nanti. S e t e l a h i t u mengklasifikasikan w a r g a b i n a a n pemasyarakatan ke dalam tiga kelompok (tinggi, sedang, dan rendah). Sedangkan asesmen kebutuhan, untuk mencari tahu faktor criminogenic mereka, yaitu bidangbidang apa saja dalam kehidupan warga binaan pemasyarakatan yang memerlukan perubahan agar tidak mengulangi tindak pidana. Tahap selanjutnya adalah menyusun case plan, tindakan program intervensi apa yang paling tepat untuk warga binaan pemasyarakatan, sesuai dengan kelompok yang sudah ada (semakin tinggi peluang melakukan tindak pidana lagi, maka treatment yang diberikan lebih mendalam), serta bidang apa saja yang yang harus diperhatikan. Penyusunan Instrumen Instrumen Asesmen yang mulai disusun pada bulan Oktober 2010 tersebut dibimbing oleh Ross Fenan, petugas pemasyarakatan dari New South Wales. Dalam proses tersebut, Tim melakukan kunjungan ke beberapa lembaga pemasyarakatan untuk melakukan penelitian, serta uji coba. Setelah beberapa kali revisi, akhirnya pada awal Januari yang lalu Instrumen tersebut siap digunakan. ToT Langkah pertama yang dilakukan oleh Tim
adalah melakukan Train of Trainer kepada tiga puluh lima orang petugas dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan serta dari Unit P e l a k s a n a Te k n i s d i Jakarta, dengan pelatih Ross Fenan sendiri. TOT telah dilaksanakan di Kantor Pusat Direktorat J e n d e r a l Pemasyarakatan selama lima hari dari tanggal 24 sampai dengan 28 Januari 2011. Ketiga puluh lima orang inilah yang nantinya diharapkan dapat melakukan sosialisasi serta melakukan pelatihan kepada petugas pemasyarakatan di seluruh wilayah Indonesia.
Penyempurnaan Tersusunnya instrument asesmen tersebut merupakan angin segar untuk proses pembinaan warga binaan pemasyarakatan. Dengan dasar alat ini, kegiatan pembinaan akan semakin terarah. Tugas selanjutnya adalah membuat program intervensi yang didasari teoriteori psikologis antara lain Teori Pembelajaran Sosial dan Teori Perilaku Kognitif. Ini merupakan tantangan bagi petugas pemasyarakatan untuk step by step melangkah lebih maju.(S)***
WARTA PEMASYARAKATAN 19
NOMOR: 44 TAHUN XII - Januari 2011
Liputan
Strategi
Menghadapi dan Mencegah Deradikalisasi
Stakeholder Meeting Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan Search for Common Ground Indonesia
eningkatnya jumlah Napi teroris di Lapas, akan menjadi persoalan yang patut dicermati dalam peri kehidupan di dalam Lapas. Dari data Densus 88, terdapat 600 orang yang telah ditangkap oleh Densus, 216 diantaranya telah di mendapatkan putusan pidana. Berarti terdapat ratusan lagi teroris yang akan masuk ke Lapas dan menjadi warga binaan di Lapas. Keberadaan napi teroris di dalam Lapas diyakini dapat mempengaruhi napi lain dengan menularkan ideologiideologinya dan juga pandanganpandangan politiknya. Lebih dari itu napi teroris juga dikuatirkan dapat melakukan perekrutan anggotaanggota baru untuk mendukung gerakannya. Persoalan lain yang menjadi perhatian adalah munculnya radikalisasi di dalam Lapas. Radikalisasi, tidak hanya sematamata disebabkan oleh keberadaan napi teroris,
tetapi bisa juga disebabkan karena terenggutnya kemerdekaan, keterbatasan daya upaya narapidana untuk memenuhi kebutuhan, adanya bayingbayang masa depan yang suram, menyebabkan hidup di Lapas menjadi keras, serta menuntut narapidana untuk kuat dan bisa survive dari tekanan hidup yang menghimpit. Kondisi seperti inilah yang memungkinkan munculnya radikalisasi di dalam Lapas. Adanya kebijakan dan pola pembinaan warga binaan adalah faktor penting yang mempengaruhi kesuksesan Lapas dalam menghadapi dan mencegah munculnya radikalisasi di Lapas. Lapas dituntut untuk memiliki startegi dalam melakukan pembinaan dan menyiapkan narapidana kembali ke masyarakat. Tugas yang lebih berat lagi adalah menemukan formula dan strategi pembinaan yang tepat untuk para
20 WARTA PEMASYARAKATAN
NOMOR: 44 TAHUN XII - Januari 2011
Liputan
Dalam rangka upaya menanggulangi persoalan narapidana teroris, Ditjen Pas difasilitasi oleh Search for Common Ground Indonesia, mengadakan Stakeholder Meeting, membahas tentang Strategi Menghadapi dan Mencegah Radikalisasi di Lapas, pada tanggal 20 januari 2011, bertempat di Hotel Nikko Jakarta. Stakeholder yang hadir dalam kegiatan itu adalah Dirjen Pas, para Kalapas yang di UPTnya terdapat narapidana teroris (Palembang, Cipinang, tangerang, Batu Nusakambangan, Permisan, Kedung Pane Semarang, Porong Suranaya, dan palu); Densus 88; Kementerian Agama RI; Badan Nasional Penanggulangan Teroris/BNPT; Yayasan Prasasti Perdamaian; LBH Jakarta; Kriminolog UI, Centre for Detention Studies (CDS); The Asia Foundation (TAF); RWI dan PBNU. Dalam pertemuan ini, para steakholder saling berbagi pengalaman dalam menangani napi teroris, juga mendiskusikan berbagai strategi kebijakan yang mendukung upaya mencegah radikalisasi di Lapas, serta mendiskusikan strategi pola pembinaan warga binaan guna menghadapi dan mencegah terjadinya radikalisasi. Hadir sebagai pembicara adalah : Asminan Mirza Zulkarnain (Kalapas Batu Nusakambangan) Topik : Pola pembinaan Napi teroris di Lapas Batu Nusakambangan Noorhuda Ismail (Yayasan Prasasti Perdamaian) Topik : Deradikalisasi Napi Teroris di dalam dan di luar Lapas Iqrak Sulhin (Kriminolog, Universitas Indonesia) Topik : Pola Kebijakan dan Pembinaan Warga Binaan di Lapas
Indonesia) Topik : Pola Kebijakan dan Pembinaan Warga Binaan di Lapas Agus Nahrowi/Laode Arham (Search For Common Ground) Topik : Lesson Learned SFCG dalam program deradikalisasi di Lapas Jangan Gunakan Kata 'Deradikalisasi' Tidaklah mudah melakukan pendekatan kepada napi teroris. Selain umumnya mereka memiliki pengetahuan agama yang lebih tinggi dari petugas Lapas, mereka juga cencerung resisten (menolak) terhadap pihakpihak yang mereka anggap tidak sepaham, sealiran atau tidak memiliki ideology atau pemahaman yang berbeda dengan mereka. Oleh karenanya, salah satu
WARTA PEMASYARAKATAN 21
NOMOR: 44 TAHUN XII - Januari 2011
Liputan
rekomendasi yang diberikan oleh Noorhuda Ismail dari YPP, tidak menamakan kebijakan ini dengan 'deradikalisasi. Mereka secara otomatis akan menolak program kita jika kita memberi nama dengan deradikalisasi. Karena nama ini, sangat menunjukkan bahwa program ini akan menghilangkan atau dakwah telekonfrence. Ketiga, sebisa mungkin mereka menjaga semangat jihad mereka tidak padam, yaitu dengan cara melakukan diskusi dengan topiktopik tertentu, melihat film dari VCD dakwah, film perang dan membaca buku buku tertentu yang membangkitkan semangat tentang jihad. Narapidana biasanya pandai bermain peran, ada napi teroris putih, ada napi teroris abu abu dan napi teroris hitam. Sementara biasanya petugas Lapas terlalu takut untuk berinteraksi, longgar dan cenderung kurang cermat terhadap perilaku napi teroris. Oleh karenanya, petugas Lapas diharapkan lebih cermat dalam beberapa hal, komunikasi baik melalui HP, surat, kunjungan, barang bawaan pengunjung, materi bacaan serta kitab kitabnya. Kurangnya Informasi Ketidakberhasilan Lapas dalam melakukan pembinaan salah satunya disebabkan karena pihak Lapas tidak memiliki informasi tentang kondisi obyektif narapidana. Lapas belum bisa mengklasifikasikan narapidana, berdasarkan karakteristik tertentu, seperti kelompok anak, perempuan, kelompok rentan dan narapidana yang memiliki resiko keamanan. Sehingga pola pembinaan di dalam Lapas masih bersifat masal, tidak individual, serta tidak ada perbedaan pembinaan terhadap kategori narapidana. Demikian hal ini disampaikan oleh Iqrak Sulhin, Kriminolog UI. Pembinaan Improvisasi Asminan Mirza Zulkarnain (Kalapas Batu Nusakambangan), mengutarakan, selama ini memang belum ada acuan dalam melaksanaan pembinaan bagi narapidana teroris. Masingmasing Lapas melakukan inprovisasi dalam melaksanaan pembinaan
menghapus pahampaham yang mereka miliki. Pegawai Lapas Harus Cermat Noorhuda Ismail yang telah melakukan penelitian terhadap napi teroris, baik yang masih di dalam Lapas, maupun yang sudah bebas, juga kepada keluarganya, dalam pertemuan itu memaparkan apa saja yang dilakukan oleh napi teroris selama berada di dalam sehingga muncul residivisme. Pertama, napi teroris selama di dalam lapas melakukan introspeksi menilai apa kesalahan tentang metode kerjanya dan meyakini bahwa pasti ada hikmah dibalik keberadaannya di penjara. Kedua , mereka melakukan konsolidasi. Penjara tidak boleh melemahkan semangat jihad mereka. Napi teroris seringkali secara terbuka atau diamdiam melakukan pengajian internal (majlis taklim), dan berkomunikasi dengan sesama ikhwan. Kemudahan akses komunikasi melalui handphone, memberikan peluang bagi mereka untuk melakukan
22 WARTA PEMASYARAKATAN
NOMOR: 44 TAHUN XII - Januari 2011
Liputan
di Lapasnya masingmasing. Seperti contoh pembinaan napi teroris di Lapas Batu diberikan dalam dua bentuk, yaitu pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian. Pembinaan kepribadian meliputi, pembinaan jasmani dan rohani, yaitu dalam bentuk kegiatan olah raga, kesadaran hukum/berbangsa dan bernegara, pembinaan rohani Islam dan konseling dengan psikolog. Semua itu dilaksanakan bekerja sama dengan MUI Kabupaten Cilacap, Pondok Pesantren Al Fatah Cilacap dan Densus 88. Sedangkan pembinaan kemandirian, dilakukan dengan cara memberikan pelatihan ketrampilan otomotif, potong rambut, pertukangan, sablon, budi daya ikan tawar, dan budi daya hidroponik, yang bekerja sama dengan BLK Kabupaten Cilacap, Pemda Kabupaten Cilacap, PT Pertamina RU IV dan PT HOLCIM Tbk Cilacap.
Satu langkah kemajuan yang telah di lakukan di Lapas Batu adalah telah mengklasifikasikan napi teroris untuk menghindari penularan radikalisme dengan penghuni lain. Napi teroris di Lapas batu dibagi dalam dua kelompok, yaitu napi teroris kategori A dan B. Napinapi teroris yang termasuk dalam kategori A ditempatkan dalam satu blok tersendiri. Bloknya dijaga oleh petugas khusus, keluar dan masuk blok harus dengan seijin petugas blok. Mereka tidak diperkenan bersoisalisasi dengan napi lainnya, namun di dalam bloknya mereka dapat melakukan pengajian, ceramah, diskusi dan lain sebagainya. Sementara napi teroris yang termasuk kategori B, ditempatkan bercampur dengan napi kasuskasus lain. Pembinaan terhadap mereka sama dan bersamasama dengan napi kasuskasus lainnya. Namun mereka tidak diperkenankan memimpin pengajian, diskusi, juga melakukan cerah atau
menjadi khotib.
Perlu disusun konsep pembinaan yang terkonsep dan terukur Pada dasarnya belum ada kebijakan tentang pola pembinaan yang khusus bagi napi teroris, karena pembinaan yang dilakukan masih sama dengan pembinaan terhadap napinapi lainnya. Masing, masing Lapas mengambil langkahlangkah sendiri, dengan berdasarkan kondisi serta potensi yang ada di Lapas. Stakeholder Meeting yang dijembatani oleh Search Common Ground for Indonesia ini diharapkan dapat dijadikan ajang berbagi pengalaman para Kalapas yang di UPT nya terdapat napi teroris, juga mendapat masukanmasukan dari instansi terkait lain terutama Densus 88 dan bekerja sama dengan BNPT (Badan nasional Penanggulangan Teroris), sehingga dapat menjadi bahan masukan bagi Ditjenpas dalam menyusun konsep pembinaan yang terprogram dan terukur dalam rangka deradikalisasi napi
WARTA PEMASYARAKATAN 23
NOMOR: 44 TAHUN XII - Januari 2011
Opini
PENJARA
Bukan Untuk Anak
Oleh: Lollong M. Awi
Dalam proses peradilan pidana (criminal justice process) serta dalam pelaksanaan pidana, Sistem Pemasyarakatan, khususnya Rumah Tahanan Negara, Balai Pemasyarakatan, dan Lembaga Pemasyarakatan memiliki tugas pokok untuk melakukan perawatan terhadap tahanan, pembimbingan terhadap klien, serta pembinaan terhadap warga binaan Pemasyarakatan. Oleh karenanya, Sistem Pemasyarakatan bukanlah bagian akhir dari Sistem Peradilan Pidana, namun telah berperan pada tahap pra adjudikasi, adjudikasi dan post adjudikasi. Salah satu kategori khusus tahanan, klien, atau warga binaan Pemasyarakatan adalah anak, yaitu seseorang yang berusia di bawah 18 tahun. Anak yang berhadapan dengan hukum atau anak yang berkonflik dengan hukum (ABH) untuk anak yang masih dalam proses peradilan pidana dan anak didik pemasyarakatan untuk anak yang diputus oleh lembaga pengadilan untuk menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan khusus anak. Kondisi faktual yang terjadi menegaskan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum dan Anak Didik Pemasyarakatan berada dalam situasi yang sangat tidak menguntungkan bagi diri dan masa depannya, sehingga penahanan dan terlebih lagi menempatkan anak ke dalam penjara bukanlah suatu hal yang berpihak pada kepentingan yang terbaik bagi anak (the best interest for the children). Argumentasi pernyataan di atas berdasarkan beberapa penelitian dan kajian yang dilakukan, dimana hasil kajian tersebut memetakan masalah yang dihadapi oleh anak pada tiga tahap yaitu pada tahap pra adjudikasi, adjudikasi dan post adjudikasi.
Pada tahap pra adjudikasi, masalah yang dihadapi oleh anak yang berhadapan dengan hukum berkisar pada lima masalah besar, pertama, minimnya upaya diversi bagi anak dalam tahapan awal proses peradilan pidana, yaitu pada saat penyidikan dan penahanan oleh Kepolisian. Kedua, tidak adanya Rumah Tahanan khusus anak yang mengakibatkan adanya percampuran antara tahanan anak dengan tahanan dewasa yang melahirkan efek turunan yang lebih buruk seperti: adanya kerentanan terhadap pelanggaran atas hak anak sebagai tahanan dan sekaligus haknya sebagai anak, adanya kekerasan penghuni lain yang lebih dewasa, juga tidak optimalnya proses perawatan dan pemenuhan hak bagi anak. Ketiga, adanya tahanan anak yang ditempatkan di dalam Lembaga Pemasyarakatan selama proses peradilan. Keempat, belum terpenuhinya dengan baik hakhak dasar bagi anak, seperti kualitas makanan, pendidikan, standar kesehatan, sanitasi, rekreasi dan lainnya. Dan kelima, minimnya fasilitas dan sarana prasarana yang menunjang perawatan anak selama proses penahanan. Pada tahap adjudikasi, anak yang berhadapan dengan hukum sering berhadapan dengan situasi seperti, anak dengan kasus ringan dan masa hukuman singkat banyak yang diproses hingga ke tingkat pengadilan, minimnya putusan non pemenjaraan bagi anak dalam tahapan pengadilan.
24 WARTA PEMASYARAKATAN
NOMOR: 44 TAHUN XII - Januari 2011
Opini
Pada tahap post adjudikasi, masalah yang dihadapi anak sesungguhnya kurang lebih sama pada tahap pra adjudikasi, namun secara lebih spesifik dapat diuraikan antara lain: Terjadinya percampuran antara anak didik dengan narapidana dewasa sehingga adanya kerentanan terhadap pelanggaran hak sebagai anak didik serta haknya sebagai anak, termasuk kekerasan oleh penghuni lain yang lebih dewasa serta petugas. Padatnya hunian Lembaga Pemasyarakatan (over crowded) yang menghambat proses pembinaan d an reintegrasi bagi anak didik. Belum terpenuhinya dengan baik hakhak anak didik pemasyarakatan seperti kualitas makanan, pendidikan, standar kesehatan, ibadah, rekreasi, kunjungan dan lainnya selaras dengan minimnya fasilitas dan sarana prasarana yang menunjang pembinaan bagi anak didik seperti fasilitas pendidikan, perpustakaan, fasilitas olah raga, fasilitas pelatihan keterampilan, sumber air serta fasilitas mandi dan cuci. Sulitnya anak memperoleh program asimilasi dan reintegrasi terkait dengan syarat administratif tertentu, seperti belum berpihaknya proses kepada kepentingan yang terbaik bagi anak dalam bentuk percepatan, kemudahan dan akuntabilitas. Dan Adanya pengabaian dari orang tua dan masyarakat pada umumnya.
Apa yang bisa dilakukan? Sebagaimana kita ketahui bahwa Sistem Pemasyarakatan tidak menjadikan pembalasan atau pemberian derita sebagai tujuan dari penghukuman. Secara filosofis, Sistem Pemasyarakatan adalah sistem koreksi yang bertujuan untuk mengintegrasikan kembali pelaku kejahatan kepada masyarakat. Untuk mencapai tujuan ini, Sistem Pemasyarakatan berupaya melakukan perubahan kondisi terpidana melalui proses pembinaan dan pembimbingan serta perlindungan terhadap hakhak terpidana. Proses pemasyarakatan juga didasarkan atas asas pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, p e n d i d i k a n , pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satu satunya penderitaan, dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orangorang tertentu.
Dalam konteks anak didik pemasyarakatan, perlindungan dan pemenuhan hak anak melalui perlakuan khusus, baik pada tahap pre adjudikasi, tahap adjudikasi, maupun tahap post adjudikasi oleh Sistem Pemasyarakatan adalah bagian dari upaya mencapai tujuan reintegrasi serta perlindungan terhadap hak asasi manusia. Perlakuan khusus diperlukan dengan mempertimbangkan kepentingan yang terbaik bagi anak, dimana anak adalah subjek dengan kebutuhan khusus dan berhak atas masa depan, sehingga menempatkan anak kembali kepada keluarga dan masyarakatnya adalah hal yang sejalan dengan filosofi Sistem Pemasyarakatan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah deinstitusionalisasi atau menjauhkan anak dari pemenjaraan.
Dari kompleksitas masalah yang tergambar pada tahap pra adjudikasi, adjudikasi dan post adjudikasi di atas, sepertinya kita semua sepakat bahwa pemenjaraan sesungguhnya bukanlah yang terbaik buat anak bagaimanapun kerasnya usaha yang dilakukan untuk menciptakan Lapas yang ramah anak atau Lapas yang layak anak.
WARTA PEMASYARAKATAN 25
NOMOR: 44 TAHUN XII - Januari 2011
Opini
Sebagaimana kita ketahui bahwa kewenangan deinstitusionalisasi sebenarnya lebih besar berada pada ranah lembaga Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Meskipun demikian, dalam setiap tahapan pengadilan, Sistem Pemasyarakatan juga memiliki kewenangan untuk melakukan upayaupaya deinstitusionalisasi, khususnya terhadap anak. Beberapa bentuk kebijakan yang dapat dilakukan oleh Sistem Pemasyarakatan terkait upaya deinstitusionalisasi yaitu, pertama , Kebijakan restoratif, Sistem Pemasyarakatan dapat menginisiasi dilakukannya upaya keadilan restoratif bersama penegak hukum lainnya pada tahap pre adjudikasi dan adjudikasi. Bila kemudian anak terpaksa dijatuhi pidana penjara, sebagai pilihan yang terakhir, maka Sistem Pemasyarakatan, khususnya Lembaga Pemasyarakatan beserta Balai Pemasyarakatan, tetap dapat mengambil inisiatif dengan memfasilitasi pertemuan antara pihakpihak yang terkait dengan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak, yaitu anak sebagai pelaku itu sendiri beserta keluarga, korban beserta keluarga, serta unsur masyarakat lain yang terkait. Upaya ini sejalan dan sekaligus mendukung tujuan dari Sistem Pemasyarakatan itu sendiri yaitu memulihkan hubungan antara pelaku pelanggar hukum dengan masyarakat serta mengurangi stigmatisasi atau penolakan. Kedua, Kebijakan pemberian remisi, Sistem Pemasyarakatan dapat mempertimbangkan untuk menambah besaran dan kategori remisi terhadap anak dengan mempertimbangkan upaya mempercepat anak keluar dari lembaga pemasyarakatan sebagai sebagai hal yang terbaik bagi anak. Termasuk dalam hal ini adalah menciptakan proses yang mudah dan akuntabel. Ketiga, Kebijakan asimilasi, Sistem Pemasyarakatan dapat mempertimbangkan untuk mempercepat proses asimilasi dengan memperpendek batas syarat minimal masa pidana yang sudah dijalani oleh anak. Selain itu, pada tahap asimilasi harus diupayakan terjadinya interaksi dengan intensitas cukup tinggi dengan pihak ketiga, khususnya masyarakat. Termasuk dalam hal ini adalah menciptakan proses yang mudah dan akuntabel. Keempat, Kebijakan pemberian pembebasan bersyarat, Sistem Pemasyarakatan dapat pula mempertimbangkan untuk mempercepat proses pemberian pembebasan bersyarat, dengan memperpendek batas syarat minimal masa pidana yang sudah dijalani oleh anak. Termasuk dalam hal ini adalah mempermudah persyaratan yang diperlukan untuk mendapatkan pembebasan bersyarat, serta menciptakan proses yang lebih akuntabel. Kelima, Kebijakan reintegrasi sosial lainnya, Sistem Pemasyarakatan, khususnya pada tahap post adjudikasi , perlu mengembangkan kebijakan yang murni dilakukan di luar lembaga selain pemberian pembebasan bersyarat. Bentukbentuk kebijakan yang dimaksud dapat berupa pembinaan yang murni berbasis di masyarakat, dimana pelibatan unsur masyarakat merupakan suatu hal yang sangat penting. Balai Pemasyarakatan dapat bertindak sebagai mediator. Meskipun lebih identik dengan program program asimilasi dan reintegrasi, kebijakan deinstitusionalisasi ini pada dasarnya juga dapat dilakukan dengan menetapkan model pemenjaraan yang lebih terbuka terhadap masyarakat, seperti konsep penjara terbuka yang telah dipraktekkan oleh Sistem Pemasyarakatan Indonesia sekarang ini. Termasuk menyelenggarakan program program di luar penjara dalam rentang waktu tertentu, dengan substansi rekreasi, pendidikan dan keterampilan, serta menyelenggarakan program after care sebagai transisi sebelum anak dibebaskan.***
26 WARTA PEMASYARAKATAN
NOMOR: 44 TAHUN XII - Januari 2011
Profil UPT
Rutan Ternate
ila kita mendengar nama Ternate, maka dengan cepat bayangan kita akan menuju provinsi Maluku dan Kota Ambon, dengan mayoritas penduduk berkulit hitam manis serta pandai bernyanyi. Ternate akan kita identikkan dengan Ambon, karena memang Ternate dulunya adalah bagian dari Provinsi Maluku. Tapi itu dulu. Sejak Propinsi Maluku dimekarkan tahun 1999, s e b a gi a n P ro p i ns i t e rs e b u t m e nj a d i bagiannya. Kota Ternate merupakan salah satu kota terbesar di Maluku Utara dan pernah berfungsi sebagai ibukota sementara provinsi Maluku Utara selama sebelas tahun. Hingga tahun 2010 ibukota provinsi tersebut dipindah ke Sofifi di Pulau Halmahera.
WARTA PEMASYARAKATAN 27
NOMOR: 44 TAHUN XII - Januari 2011
Profil UPT
sangat padat dengan perumahan dan kendaraan bermotor. Pulau kecil yang luasnya 547.736 km2 ini, dihuni oleh penduduk 163.467 jiwa. Untuk mengelilingi Pulau Ternate tidaklah memerlukan waktu yang lama, jarak tempuh hanya 42 kilometer. Secara geografis, pulau ini dikelilingi lautan serta dinaungi gunung berapi yang masih aktif yaitu Gunung Gamalama. Di pulau inilah terdapat 4 UPT Pemasyarakatan dibawah Kantor Wilayah Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia M a l u k u Utara, yaitu Rutan klas IIB Ternate, Lapas Klas IIA ternate, Bapas dan Rupbasan. Rutan Klas IIB Ternate merupakan UPT pertama y a n g dibentuk di Maluku Utara sejak Maluku Utara masih menjadi sebuah kabupaten, bagian dari Provinsi Maluku yang beribukota di Ambon. Rutan Sempit dan Terjepit Rutan Klas IIB Ternate menempati bangunan lama yang merupakan peninggalan Belanda, dimana bangunan utamanya dibangun pada tahun 1880an dan telah beberapa kali mengalami penambahan bangunan dan renovasi. Sebuah UPT yang sangat sempit dengan posisi terjepit antara bangunan bekas kantor Kejati Maluku Utara, bekas Kantor Gubernur, Kantor Lurah Muhajirin dan perumahan penduduk. Rutan Klas IIB Ternate memiliki kapasitas ideal 73 orang dan kapasitas tempat tidur 149 orang. Jumlah WBP yang menghuni Rutan Klas IIB Ternate per tanggal 28 Januari 2011 sebanyak 99 orang, terdiri dari tahanan 66 orang dan narapidana 33 orang, diantaranya terdapat 6(enam) tahanan wanita dan 3 ( t i g a ) narapidana w a n i t a . Menilik dari s t a t u s penghuni, R u t a n Ternate tidak h a n y a berfungsi memberikan pelayanan dan perawatan, namun juga memberikan pembinaan kepada penghuninya. Meskipun ratarata narapidana yang ada hanyalah narapidana dengan hukuman yang pendek, pelayanan dan pembinaan tetap harus diberikan kepada warga binaan. Kendala terbesar yang dihadapi Rutan Ternate dalam memberikan pelayanan dan
28 WARTA PEMASYARAKATAN
NOMOR: 44 TAHUN XII - Januari 2011
Profil UPT
perawatan serta pembinaan kepada penghuninya adalah keterbatasan sarana yang dimiliki. Struktur bangunannya sudah sangat tua dan tidak ada pagar steril area keliling, bangunannya pendek serta pagar pengamanan yang sudah rapuh. Rutan Ternate tidak memiliki fasilitas MCK di dalam kamar hunian WBP, tidak ada ruang belajar, tidak ada bangunan khusus tempat ibadah, tidak memiliki bengkel kerja yang memadai serta sarana ruang poliklinik tanpa fasilitas medis. Namun dengan segala keterbatasan yang ada, seluruh jajaran petugas Rutan Klas IIB Ternate, dibawah kepemimpinan Wahyu Prasetyo, Bc.IP, S.Sos , berusaha optimal dalam menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi pelayanan dan perawatan tahanan. Hakhak para tahanan diupayakan dapat diberikan secara optimal, seperti pelayanan makan dan minum, pelayanan kesehatan dilakukan oleh tenaga medis rutan bekerjasama dengan Puskesmas Ternate Kota, serta memberikan pelayanan kunjungan keluarga dan penasehat hukum. Untuk memberikan kepastian hukum selama dalam tahanan rutan, dokumen penahanan, peringatan 10 hari, 3 (tiga) hari akan habis masa tahanan kepada instansi yang menahan dilaksanakan secara tertib dan terpantau, disertai dengan jalinan kordinasi yang baik dengan instansi penegak hukum. Pembinaan bagi narapidana yang jumlahnya hanya 33 orang, diberikan melalui pembinaan mental spiritual dan pembinaan
ketrampilan/kemandirin Bagi WBP muslim menjalankan pembinaan rohani 3 (tiga) kali seminggu bekerjasama dengan Kandepag Kota Ternate dan Wahda Islamiah, sedangkan WBP Nasrani seminggu sekali melaksanakan kebaktian. Pembinaan keterampilan/kemandirian diberikan dalam bentuk bengkel kerja, pembuatan tela (batako), bois (goronggorong semen), serta kegiatan assimilasi berupa pembuatan perahu fibreglass dan cucian sepeda motor roda dua.
WARTA PEMASYARAKATAN 29
NOMOR: 44 TAHUN XII - Januari 2011
Profil UPT
Perahu fibreglass ini merupakan produk unggulan Rutan Klas IIB Ternate. Dalam memproduksi perahu tersebut, Rutan ternate menggandeng mitra pengusaha fibreglass yang telah berpengalaman sehingga memungkinkan untuk menerima pembuatan perahu tersebut dalam berbagai ukuran dan spesifikasi d e n g a n kualitas yang tinggi. Hingga saat ini te l ah d ibuat sebanyak 3(tiga) buah perahu dengan d i m e n s i panjang 9,5 m dan lebar 1,2 m, dengan harga jual Rp. 17.000.000,/perahu. Salah satu unit perahu dijadikan sample dan telah dioperasikan juga sebagai sarana refressing (memancing) bagi para petugas Rutan Klas IIB Ternate. Saat ini, kendala utama dalam produksi perahu tersebut adalah kurang memadainya lokasi pembuatan. Karena lahan yang sempit, pembuatan perahu ini terpaksa memanfaatkan garasi mobil dinas atau halaman depan kantor seluas + 100 m dengan pekerja dari WBP yang menjalani asimilasi. Dalam proses produksinya cukup mengganggu aktifitas kantor karena halaman kantor menjadi tidak rapi, kotor dan berdebu. Pada kesempatan peresmian Law Centre Kanwil Maluku Utara di Hotel Bella International pada tanggal 03 Oktober 2010, Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI, Bpk. Patrialis Akbar, berkenan meninjau hasil produksi p e r a h u fiberglass Rutan Ternate dan berkenan menyerahkan k e p a d a p e m b e l i p e r t a m a H.Sarlini S e l a n g s e h a r g a Rp.17.000.000 , serta diserahkan buku tabungan kepada 4 (empat) orang WBP yang berisikan upah atas pembuatan 1 (satu) unit perahu fiberglass tersebut sebesar masingmasing Rp.600.000,. Secara khusus, Menkumham memberikan apresiasi dan mengharapkan agar keterampilan pembuatan perahu ini dapat dijadikan percontohan bagi Rutan/Lapas di daerah pesisir atau kepulauan.
30 WARTA PEMASYARAKATAN
NOMOR: 44 TAHUN XII - Januari 2011
Profil UPT
hal yang terpenting bagi Kepala Rutan Klas IIB Ternate adalah membangun komitmen dan kinerja yang tinggi diantara para pejabat dan petugas sehingga tupoksi Rutan tersebut dapat dijalankan dengan sebaikbaiknya. Tidak lupa pula mengajak seluruh pejabat dan pegawainya untuk selalu meningkatkan pengetahuan dan kemampuan diri, agar tidak tertinggal dengan kemajuan jaman dan tidak tergilas dengan era transformasi yang cepat sekali berubah. Harapan lain dari Kepala Rutan Klas IIB Ternate adalah secepat mungkin bangunan baru Rutan Ternate dapat dioperasionalkan. Bangunan baru tersebut memiliki area yang lebih luas serta sarana pelayanan dan pembinaan yang lebih lengkap. Harapan ini ingin segera terwujud agar pelayanan dan pemenuhan hakhak para tahanan dapat dipenuhi secara layak dan pembinaan narapidana dapat dilakukan dengan maksimal. Mengenai program dan kegiatan pelayanan dan perawatan tahanan serta pembinaan narapidana di Rutan Klas IIB Ternate dapat kita lihat di blog Rutan ternate dengan alamat : ternaterutan.blogspot.com. PROFILE KEPALA RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS IIB TERNATE
Pangkat/Golongan
: SUZAN MEILIANA : APRILIA PRASTIANA PUTRI ( 21 April 2001) :FEBRIAN FAIQ PUTRA 25 Februari 2005) (
Hobby :Membaca, travelling, memancing. Perjalanan Karier 1. Kepala UPT 2. Kasi Binadik : Rutan Klas IIB Ternate (2009sekarang) : Lapas Klas IIA Batam (20042009) 3. Kasubsi Yantahlola : Cabang Rutan Bengkalis di Dumai (20012004) 4. Staf : Lapas Klas IIA Tanjung Pinang
(19922001)
WARTA PEMASYARAKATAN 31
NOMOR: 44 TAHUN XII - Januari 2011
Seputar Media
32 WARTA PEMASYARAKATAN
NOMOR: 44 TAHUN XII - Januari 2011
Seputar Media
kliping oleh INFOKOM Ditjen Pemasyarakatan selama bulan Januari ada 18 berita yang membahas topik ini. Topik keempat yang juga banyak dibahas media yaitu tentang peredaran narkoba yang diduga dikendalikan dari dalam Lembaga Pemasyarakatan. Berita yang membahas masalah ini ada 13 judul. Berita lain yang menyangkut Pemasyarakatan ada 12 judul, 3 (tiga) diantaranya menyangkut kasus Pelarian Narapidana di Lapas Klas IIA Metro, Lampung, Lapas Malabero, Bengkulu dan Lapas Klas IIA Jember. Berita lainnya misalnya tentang penambahan 17 CCTV di Lapas Paledang (Berita Kota 5/1), Kuliah Lapangan di Pulau Terlarang (Kompas 18/1) dan Napi Sidoarjo tertular HIV/AIDS (KT 20/1). ***
WARTA PEMASYARAKATAN 33
NOMOR: 44 TAHUN XII - Januari 2011
VOC
Voice of Corrections
34 WARTA PEMASYARAKATAN
NOMOR: 44 TAHUN XII - Januari 2011
Wawancara Wartawan dengan Dirjen Pemasyarakatan terkait kasus Ayin dan Joki Narapidana 27 & 28 Januari 2011
www.
ditjenpas.go.id