dalam bingkai formalistik dan birokratik rumah bersama karena tidak ada satupun
karena semangat jejaring antar-iman di antara mereka yang bisa hidup di luar
telah menjadi penanda identitas suatu bumi ini. Pijakan “realitas konkret” ini
masyarakat. Soalnya sekarang adalah bukannya tanpa masalah, karena setiap
apakah dalam habitus semacam itu masih mereka melihat, mengalami, menghayati,
diperlukan “teologi agama-agama”? dan mengekspresikan yang konkret itu
Jika masih, bagaimana mengelaborasi dengan cara yang berbeda. Pemaknaan
kemungkinan-kemungkinan teologis yang berbeda melahirkan ekspresi
dalam pengalaman sosial dan budaya? penghayatan yang berbeda pula; yang
Jalan masih panjang. Tapi setidaknya pada gilirannya melahirkan pengalaman-
langkah sudah mulai mengayun ke tahap pengalaman keberagamaan yang
berikutnya. berwarna-warni. Oleh karena itu, “realitas
konkret” itu sendiri kerap menjadi
Teologi agama-agama (TAA) itu masalah tersendiri yang ditanggapi
sendiri tidak punya perspektif tunggal berbeda pula oleh masing-masing.
dan definitif baku. Beberapa orang
melihatnya sebagai “teologi agama-agama Realitas konkret tersebut galibnya
dari perspektif Kristen”, “teologi agama- merupakan arena perjumpaan setiap
agama itu cuma omongan di awan-awan orang yang berbeda-beda tersebut.
tanpa sentuhan realitas konkret”, dan Itu menjadi ruang empiris yang
“teologi agama-agama keseharian”. menempatkan setiap mereka dalam aneka
relasi (simbiosis, negosiatif, konfliktual).
Perhatian di sini lebih kepada tiga Aneka relasi itu pun berlangsung setiap
konsep yang menyertai istilah TAA di hari, dalam bincang-bincang ringan, di
atas, yaitu “perspektif Kristen”, “realitas tengah kemacetan lalu-lintas, di tengah
konkret” dan “keseharian” atau “biasa- kepungan banjir, di tengah massa yang
biasa saja”. Ketiga konsep tersebut menonton aksi demonstrasi mahasiswa,
mencoba menyifatkan atau membentuk pun terselip di antara gosip siapa capres/
postur dari TAA yang dibincangkan. cawapres mendatang, dan lain-lain. Itu
“Perspektif Kristen” hendak memberi sifat mengalir dalam aktivitas dan dialog
(nature) Kristen pada TAA, yang berarti keseharian yang biasa-biasa saja. Sehingga
bagaimana si Kristen itu memikirkan, realitas konkret itu juga mewadahi aneka
membangun dan menghayati iman refleksi teologis keseharian yang biasa-
kristianinya (apapun arus teologinya) biasa saja dalam menanggapi masalah-
dalam tautan dengan kehadiran si Islam, masalah sehari-hari yang dialami sebagai
si Budha, si Hindu, si Konghucu, si komunitas manusia di bumi yang satu ini
Kaharingan, si Kakehan, si Aluk Todolo, (Amirtham and Pobee, 1986: 6).
si Marapu, dan sebagainya. Si Kristen
Memunculkan ketiga aspek itu
merasa Tuhan-imaniahnya [di]hidup[i]
serta-merta membawa penulis kembali
oleh yang lain-lain itu. Tanpa yang lain
pada isu metode penelitian teologi.
Tuhan-imaniahnya hanya sesuatu yang
Bagaimanakah “metode” atau “jalan”
abstrak nun jauh di antah-berantah.
menuju dan mencapai TAA itu? Dari
“Realitas konkret” menggambarkan ketiga aspek yang sengaja dipilih tersebut
bahwa si Kristen dan teman-temannya itu jelas bahwa TAA tidak dapat dibentuk
berpijak pada satu bumi yang menjadi (analogi tanah liat) tanpa campuran
HARMONI Juli - Desember 2019
Teologi Agama-agama di Indonesia; Menelisik Pengembangan dan Tantangannya 227
“tanah” sosial dan “air” budaya yang yang Isi percakapan bervariasi. Politik,
selama prosesnya turut merefleksikan ekonomi, banjir, pembangunan, longsor,
imajinasi sang penjunan (agen dan pemerkosaaan, hingga mega-korupsi,
struktur sosial). Refleksi penjunan adalah dibicarakan dengan lugas, mengalir
pemikiran dan pola-pola tindakan yang melalui ekspresi bahasa kerakyatan yang
tersusun melalui sejarah kehidupan dan bisa diterima semua yang ada di situ,
interaksi “biasa-biasa saja” dengan liyan. sambil sesekali diselingi guyonan yang
membuat semua “geerr” ramai-ramai.
Pada batasan tertentu, penulis
mencoba memahami kritik bahwa TAA Pengalaman angkringan adalah
tampaknya tidak terjadi dalam Seminar pengalaman ruang populis (publik). Jika
Agama-Agama (SAA) yang dicurigai demikian, maka dengan ketiga aspek itu,
mengawang-awang itu. Pengalaman saya condong menemukan TAA dalam
penulis pribadi lebih condong untuk AAA – perjumpaan si Kristen, si Islam,
menyatakan bahwa TAA bisa terjadi si Budha, dll., dalam ruang populis yang
dalam AAA alias Angkringan Agama- terekspresi melalui bahasa kerakyatan
Agama. “Angkringan” adalah istilah yang mungkin saja ganjil di telinga para
bahasa Jawa untuk gerobak penjual birokrat teologi. Mungkin saja format
penganan ringan (gorengan) yang juga berteologinya harus berani menempuh
tempat nongkrong bagi yang suka metode “blusukan” ala Jokowi (Presiden
begadang. Penampilan angkringan Joko Widodo) itu daripada hanya
tentu jauh berbeda dibandingkan café memandang masalah dari kejauhan tapi
Starbucks. Yang nongkrong di angkringan merasa mampu menyelesaikannya secara
pun selalu dianggap “tak berkelas” karena teoretis.1
hanya menjadi tempat mampir pengayuh
“Blusukan” bisa menjadi metode
becak, pengojek motor, mahasiswa
berteologi. Keluar dari protokoler narasi-
yang belum terima kiriman uang atau
narasi besar yang sepanjang sejarah
beasiswanya keburu ludes pertengahan
menggayuti kaki-tangan birokrat teologi.
bulan, juru parkir, pemulung, ataupun
Itu juga memungkinkan terbukanya ruang
para pengangguran.
populis yang berjumpa di tengah masalah
Angkringan selalu berlokasi bersama, yang tidak bisa tidak harus
di pinggir jalan (banyak juga yang diselesaikan bersama. “Blusukan” teman-
menduduki trotoar). Mudah disinggahi teman Jaringan Islam Liberal pada derajat
tapi tak jarang mengganggu lalu-lintas tertentu berhasil mengusik protokoler
karena banyaknya deretan kendaraan tafsir Al-Quran yang didominasi para
yang parkir di pinggir arus-utama jalan. Di birokrat teologi Islam di Indonesia
angkringan, setiap orang bertemu bukan
untuk berdebat atau merasa diri jagoan, 1 Blusukan, berasal dari kata blusuk atau blesek
(dalam bahasa Jawa) yang artinya “masuk”. Joko Widodo
melainkan bertemu untuk bersosialisasi yang kemudian mempopulerkan istilah ini dalam
melalui percakapan-percakapan ringan ruang-ruang pemberitaan yang terkait dengan program
kerjanya baik semasa menjadi walikota Solo, gubernur
dan renyah sembari menyeruput kopi
DKI Jakarta, hingga Presiden ke-7 Republik Indonesia.
hitam dan mengunyah gorengan, Blusukan (masuk) dari satu kampung ke kampung lainnya,
diselingi tarikan-tarikan rokok kretek inspeksi mendadak (sidak) melihat permasalahan yang
ada di lapangan dengan turun langsung, dan menemui
yang asapnya mengepul bebas berbaur
masyarakat dengan gaya kepemimpinan yang jauh dari
asap knalpot kendaraan yang melintas. formal dan pengawalan protokoler pemerintahan.
dengan metode hermeneutik yang kritis. Salah satu kekuatan program ini adalah
Sementara di pihak lain, soal tafsir liberal setiap orang - entah fasilitator dan
atas teks-teks keagamaan (Alkitab) partisipan - terlibat dalam pengalaman
itu sudah lama dilakukan di kalangan bersama dan merefleksikan berbagai
Kristen. Namun, mesti juga diakui bahwa pengalaman tersebut secara utuh. Yang
itu belum berhasil menerobos kejumudan menjadi fokus utama bukanlah soal
perlintasan teologis agama-agama dari kemampuan mengelaborasi teori-teori
sudut pandang Kristen (Gaspersz dalam besar dan abstrak (master narratives)
Lattu, 2019: 117-130). melainkan mengasah bersama-sama
karakter intelektual dan emosional
Metode berteologi “blusukan” itu
menyikapi pengalaman perjumpaan
baru merupakan salah satu kemungkinan
dengan berbagai komunitas yang “tak
dalam konstruksi teologi agama-agama
lazim” dalam pengalaman di konteks
di Indonesia. Religious Studies dan
hidupnya masing-masing. Pengalaman-
Comparative Religions sebenarnya dapat
pengalaman perjumpaan tersebut tidak
menjadi salah satu pintu memahami
hanya mengundang decak kagum tetapi
“bagaimana” tanah liat iman dibentuk
juga mengusik kenyamanan intelektual
(unsur pembentuknya, imajinasi sang
dan kultural, mengundang kegelisahan,
penjunan), bukan soal mempelajari “apa”
dan mencuatkan ketidaknyamanan
iman itu. Namun setidaknya, catatan yang
karena dianggap telah melanggar apa
pernah dibuat Stephen Bevans (1992)
yang selama ini dianggap sebagai “batas-
tentang model-model teologi kontekstual
batas” (borders) identitas primordial
(translasi, antropologis, praksis,
(etnisitas, seksualitas, religiositas,
sintesis dan transendental) membantu
intelektualitas) yang telah atau makin
memetakan beberapa ruas jalan (metode)
mapan.
yang bisa ditempuh, tergantung sasaran
dan/atau tujuan kita. Di Yogyakarta, partisipan
berkunjung ke dan berdialog dengan
Berteologi Agama-Agama: Eksperimen- komunitas pesantren Al-Qodir di kaki
tasi Berbasis Penelitian Partisipatoris di Gunung Merapi, Al-Muayyad di Solo, dan
Yogyak arta-Bali-Toraja Pesantren Waria di Yogyakarta. Pesantren
Berteologi dalam Irisan Multi-identitas: Al-Qodir menjadi titik perjumpaan
Yogyakarta dan Bali agama-agama yang sangat penting saat
Gunung Merapi meletus beberapa waktu
Ulasan berikut ini merupakan refleksi
lalu. Mengalirnya bantuan dari berbagai
partisipasi penulis saat mendapat
organisasi sosial maupun keagamaan
kesempatan terlibat dalam program
bagi korban Merapi ternyata memicu
International Summer School tahun 2012
kecurigaan di kalangan salah satu
selama dua minggu di Yogyakarta dan
kelompok agama akan kemungkinan
Bali. Program lintas budaya dan agama
terjadinya upaya mengonversi korban
ini digelar sebagai kerja sama antara
dengan alasan pemberian bantuan.
Boston University (Amerika Serikat) dan
Kecurigaan ini ditepis sedikit demi sedikit
Indonesian Consortium for Religious
oleh KH Masrur Ahmad dari Ponpes Al-
Studies (ICRS) Universitas Gadjah Mada
Qodir yang membuka diri bekerja sama
Yogyakarta dengan tema Negotiating
dengan berbagai organisasi keagamaan
Space in Diversity: Religions and Authorities.
HARMONI Juli - Desember 2019
Teologi Agama-agama di Indonesia; Menelisik Pengembangan dan Tantangannya 229
pada akar tradisi religiositas Hindu Sisi harmonis yang tampak dalam
yang dalamnya kekuasaan mereka tetap sebagian besar dialog kami ternyata
terjaga. Sementara itu, di lingkar luar justru mengundang rasa penasaran
kaum puri, berlangsung pemaknaan sebagian peserta dari kawasan Eropa
yang berbeda mengenai kebalian itu dan Amerika Serikat. Pemberitaan media
sendiri. Kalangan komunitas Bali-Katolik massa telah berhasil mengonstruksi
berpendapat bahwa identitas kebalian “realitas” bahwa selama 20 tahun terakhir
tidaklah menyatu secara perenial dengan Indonesia telah menjadi sarang teroris
“Hindu”. Identitas tersebut semata- dan arena kontestasi kekerasan massal
mata merupakan ekspresi budaya yang (antar-agama dan antar-kelompok etnis).
menghidupkan spiritualitas keagamaan “Realitas” itulah yang berusaha digali
yang jamak. Oleh karena itu, identitas melalui dialog-dialog kami, terutama dari
kebalian itu dapat termanifestasi melalui teman-teman Eropa dan Amerika Serikat.
beraneka ragam spiritualitas sejauh Beberapa rekan seakan-akan sulit keluar
batasan-batasan kebudayaan yang dari perspektif baku berbagai analisis
menandainya tetap tampak (bahasa, konflik sosial bahwa bisa ditemukan
ritual, kekerabatan). Kalangan Bali- pada konteks yang paling riel suatu
Katolik pun sibuk melahirkan ide-ide dan realitas yang berbeda dengan apa yang
praktik-praktik kontekstualisasi sebagai telah dikonstruksikan sejumlah pakar
upaya menemukan iman kristiani dalam Barat tentang Indonesia kontemporer.
konteks kebudayaan Bali dan sebagai Belum lagi kecurigaan bahwa dialog-
orang Bali. dialog tersebut tidak sepenuhnya tulus
Dengan akar sejarah dan dinamika dan masih menyembunyikan sisi-sisi
sosial-budaya yang berbeda, gerakan gelap realitas keindonesiaan yang tidak
kontekstualisasi dan dialog spiritualitas ingin dipaparkan oleh pihak lain. Jika sisi
juga ditemukan pada komunitas Muslim “konflik” yang ditampilkan maka muncul
Dusun Saren Jawa, Desa Budhakeling. kecemasan bahwa itu akan menjadi
Islam berakar dalam ingatan sejarah dan pemantik api “pertarungan identitas”
dihidupi sebagai matra identitas yang yang lebih parah dan karenanya selama
memperkaya makna kebalian dalam ini hanya tersembunyi di sudut gelap
komunitas ini. Dari generasi ke generasi kesadaran sosial masyarakat Indonesia.
selama ratusan tahun komunitas Muslim
Hanya Degung Santikarma, seorang
Saren Jawa hidup sebagai bagian integral
aktivis dan peneliti antropologi Bali,
masyarakat Hindu-Bali. Dialog antar-
yang pada hari terakhir dengan lantang
iman tampaknya bukan lagi materi
menjungkirbalikkan sisi harmonis itu
yang perlu didiskusikan tetapi telah
dan menelanjangi sisi lain Bali yang
menjadi karakteristik kebudayaan bagi
sarat warna-warni intrik politik dan
masyarakat Budhakeling. Negosiasi
kekerasan sosial. Degung sepenuhnya
identitas keagamaan semacam ini seakan
mendasarkan analisisnya pada konstruksi
meruntuhkan mitos-mitos bahwa Hindu
kekerasan struktural oleh negara yang
adalah Bali dan sebaliknya. Masyarakat
pada gilirannya melahirkan bentuk-
Budhakeling membuktikan bahwa mitos-
bentuk kekerasan massal yang dianggap
mitos semacam itu tidak sepenuhnya
“normal”. Rujukan historisnya dengan
menggambarkan wajah Bali sebagaimana
sengaja dipilih pada titik peristiwa
selama ini diterima oleh publik.
kekerasan massal kepada anggota atau Teologi Ujung Tanduk: Catatan dari
yang dicurigai sebagai anggota Partai Tana Toraja
Komunis Indonesia (PKI) pada tahun-
Ulasan reflektif ini berdasar pada
tahun 1965-1966 di Jawa dan Bali.
aktivitas penelitian teologi kontekstual
Sejarah itu, menurut Degung, yang penulis lakukan tahun 2005
telah menjadi catatan kelam dalam Tana Toraja. Aktivitas penelitian ini
ingatan sosial masyarakat Bali. memberikan tantangan tersendiri karena
Banyak orang menyadarinya namun pada saat itulah penulis pertama kali
enggan menceritakannya. Mereka menginjakkan kaki di Tana Toraja.
menyimpannya rapat-rapat di bilik-bilik Namun, beruntung karena sebelum
bawah sadar mereka, bahkan jika mungkin menuju Tana Toraja penulis sempat
melupakannya – kendati tidak pernah menginap di rumah Pdt. Dr. Zakaria
bisa. Degung pun berjuang memecahkan Ngelow di kompleks perumahan dosen
kebisuan mereka. Kebalian pun menjadi STT Intim Makassar. Selama dua hari
sesuatu yang kompleks karena berbagai itu banyak informasi awal yang penulis
kontestasi identitas terjadi di tengah dapatkan tentang kebudayaan Toraja dan
arena-arena politik, ekonomi, turisme, corak Kristianitas Toraja bersama Pdt.
agama, dan kebudayaan glokal. Zakaria Ngelow, melengkapi hal-ihwal
Toraja yang sempat dibaca pada beberapa
Program International Summer literatur. Di Toraja, penulis belajar
School 2012 memberi kesempatan kepada menyesuaikan diri dengan lingkungan
partisipan dari berbagai latar kebudayaan tinggal di rumah seorang anggota jemaat
dan nasionalitas untuk terus mengajukan Gereja Toraja di Buatalulolo.
pertanyaan dan ketidaknyamanan.
Perasaan dan penasaran yang terus Setelah melewati saat-saat
diusik serta memaksa untuk melangkah perkenalan dan adaptasi dengan
keluar dari batasan-batasan identitas lingkungan masyarakat Buatalulolo,
sendiri lantas berjumpa pada satu penulis mendapat momen untuk
titik untuk saling menegosiasikan mengikuti Rambu Solo’, upacara
berbagai identitas tersebut. Program ini kematian orang Toraja. Upacara adat ini
diakhiri bukan dengan suatu simpulan adalah upacara besar yang melibatkan
melainkan dengan kerumitan baru ratusan warga kampung (dari beberapa
bahwa menghidupi perbedaan adalah desa) yang masih punya hubungan
suatu pergulatan kemanusiaan yang kerabat dengan keluarga penyelenggara
hakiki untuk membangun peradaban. Rambu Solo’, serta dilakukan sekitar 7
Dua minggu adalah waktu yang singkat hari 7 malam. Pemandangan khas dari
untuk sebuah perjumpaan tetapi itu upacara Rambu Solo’ adalah iring-iringan
menjadi momen yang menentukan kerbau dengan tanduk yang panjangnya
pilihan: meneruskan spirit menghidupi melebihi tanduk kerbau umumnya. Ini
perbedaan dengan keberanian memang kerbau-kerbau pilihan yang
menegosiasikan ruang bagi diversitas harga per ekor bisa mencapai lebih dari
ataukah menutup lembaran cerita ini Rp 100 juta. Derajat kebangsawanan
untuk kembali ke zona nyaman identitas orang yang meninggal (dan keluarganya)
masing-masing? umumnya diukur dari berapa banyak
kerbau yang disertakan dan dikurbankan Orang Toraja tidak menguburkan jenazah
dalam upacara tersebut. Waktu itu tetapi menaruhnya di atas tanah dalam
jumlahnya cukup fantastis: ada sekitar 80 gua-gua alami maupun buatan karena
ekor kerbau pilihan. Percaya atau tidak tanah dipercaya sebagai “dunia jahat”.
percaya, seorang teman pendeta Gereja Tidak mungkin mengubur jenazah orang
Toraja pernah mengatakan bahwa ada yang dikasihi di dunia jahat (tanah); harus
upacara Rambu Solo’ yang menghabiskan di atasnya.
biaya sebesar Rp 30 miliar.
Sekelumit kisah penelitian di atas
Tanduk-tanduk kerbau yang bermaksud memperlihatkan betapa
dikurbankan kemudian dipajang bersusun berharganya tanduk kerbau dalam
pada bagian depan atas tongkonan (rumah kosmologi kebudayaan orang Toraja,
adat) keluarga. Makin banyak susunan yang pada gilirannya mempengaruhi
tanduk kerbau pilihan suatu tongkonan, cara mereka merefleksikan iman Kristen
makin tinggi derajat kebangsawanan secara kontekstual di Toraja. Mereka yang
keluarga orang yang meninggal itu. Dari tidak terhisab dalam kebudayaan Toraja
kenyataan itu maka orang Kristen Toraja bisa saja terperangah mendengar nominal
kerap merefleksikan teologi mereka rupiah yang dihabiskan untuk upacara
dengan mengacu pada realitas dan makna kematian Rambu Solo’; atau menjatuhkan
kematian, serta teologi tanduk kerbau. Di vonis bahwa kebudayaan itu hanya suatu
Toraja, kematian adalah sebuah perayaan pemborosan ekonomis dan berasumsi
di mana orang yang meninggal diantar bahwa lebih baik uangnya dipakai
menuju “surga” dengan sukacita dan pesta untuk membiayai hal-hal lain yang lebih
akbar. Kematian dipahami sebagai krisis positif menurut pikiran dan latar budaya
yang dipulihkan melalui upacara adat non-Toraja. Pengalaman penelitian
Rambu Solo’. Keluarga bahu-membahu tersebut membawa kesadaran pada hal
membiayai pelaksanaan upacara itu dan penting dalam berteologi kontekstual,
menjadi momentum untuk menegakkan yaitu pemahaman mendalam atau thick
martabat keluarga besar. description (Clifford Geertz) terhadap
fenomena kebudayaan suatu masyarakat
Sementara itu, susunan tanduk
(Geertz, 1977: 3-30). Fenomena
kerbau pada tongkonan menjadi acuan
kebudayaan ibarat jejaring makna-makna
refleksi teologis penghormatan pada
simbolik yang berkelindan membentuk
leluhur dan orangtua. Tanduk kerbau
wujud kebudayaan dan relasi-relasi sosial
terpahami sebagai instrumen kosmik
di dalamnya. Tanpa memahami jejaring
yang menyatukan kehidupan dan
makna-makna simbolik tersebut maka
martabat leluhur dengan kehidupan
orang tidak akan memahami praktik-
dan martabat anak-cucu pada masa kini.
praktik kebudayaan suatu masyarakat.
Ada wilayah “antara” yang terjembatani
dengan simbol tanduk kerbau sehingga Ungkapan “ujung tanduk”
dunia orang mati dan dunia orang hidup dipakai di sini dengan pemaknaan yang
dipahami sebagai dunia yang satu dan khas. Ini adalah kiasan yang berarti
tidak terpisahkan. Totalitas hidup adalah “sedang berada dalam situasi krisis,
kehidupan dan kematian. Bagi orang berbahaya, dan terancam”. Biasanya
Toraja, kematian bukanlah kembali ke orang mengatakan “hidupku di ujung
tanah, tetapi justru berada di atas tanah. tanduk” ketika sedang menghadapi saat-
HARMONI Juli - Desember 2019
Teologi Agama-agama di Indonesia; Menelisik Pengembangan dan Tantangannya 233
DAFTAR ACUAN
Adiprasetya, Joas. 2018. An Imaginative Glimpse: Trinitas dan Agama-Agama. Jakarta: BPK
Gunung Mulia.
Amirtham, Samuel and Pobee, John S. (eds.). 1986. Theology by the People: Reflections on
doing theology in community. Geneva: WCC.
Berger, Peter and Luckmann, Thomas. 1991. The Social Construction of Reality. London:
Penguin Books.
Bevans, Stephen B. 1992. Models of Contextual Theology. Maryknoll: Orbis Books.
Bourdieu, Pierre. 2002. Outline of A Theory of Practice. Cambridge: Cambridge University
Press.
Burke, Peter and Stets, Jan. 2009. Identity Theory. Oxford: Oxford University Press.
Fealy, Greg and Riccit, Ronni (eds.). 2019. Contentious Belonging: The Place of Minorities in
Indonesia. Singapore: ISEAS.
Gaspersz, Steve G. C. 2019. “Agama-Agama dalam Spiritualitas Mengindonesia:
Perspektif Sosio-Budaya Kristiani” dalam Izak Lattu dkk (eds.), Mozaik Moderasi
Beragama dalam Perspektif Kristen. Jakarta: Dirjen Bimas Kristen dan BPK Gunung
Mulia.
Gaspersz, Steve G. C. 2015. “Menakar ‘Keistimewaan’ di antara Tradisi dan Modernitas:
Sebuah Catatan Penelitian di Yogyakarta” dalam Zaki Habibi (Ed.), Membumikan
Transformasi Konflik. Yogyakarta: Penerbit Komunikasi UII.
Geertz, Clifford. 1977. The Interpretation of Culture. New York: Basic Books.
Habibi, Zaki (ed.). 2015. Membumikan Transformasi Konflik. Yogyakarta: Penerbit
Komunikasi UII.
Knitter, Paul F. (ed.). 2005. The Myth of Religious Superiority: A Multifaith Exploration.
Maryknoll: Orbis Books.
Knitter, Paul F. 2002. Introducing Theology of Religions. Maryknoll: Orbis Books.
Lattu, Izak dkk (eds.). 2019. Mozaik Moderasi Beragama dalam Perspektif Kristen. Jakarta:
Dirjen Bimas Kristen dan BPK Gunung Mulia.
Race, Alan. 1983. Christians and Religious Pluralism: Patterns in the Christian Theology of
Religions. London: SCM Press.
Schmidt-Leukel, Perry. 2005. “Exclusivism, Inclusivism, Pluralism: Tripolar Typology
- Clarified and Reaffirmed” dalam Paul F. Knitter (ed.), The Myth of Religious
Superiority: A Multifaith Exploration. Maryknoll: Orbis Books.