Anda di halaman 1dari 21

Penelitian

216 Steve Gerardo Christoffel Gaspersz, Nancy Novitra Souisa

TEOLOGI AGAMA-AGAMA DI INDONESIA:


MENELISIK PENGEMBANGAN DAN TANTANGANNYA
THEOLOGY OF RELIGIONS IN INDONESIA:
ASSESSING ITS DEVELOPMENT AND CHALLENGES
Steve Gerardo Christoffel Gaspersz
Universitas Kristen Indonesia Maluku
sgaspersz@yahoo.com
Nancy Novitra Souisa
Universitas Kristen Indonesia Maluku
nsouisa@yahoo.com
Artikel diterima 22 Agustus 2019, diseleksi 29 Oktober 2019, dan disetujui 27 Desember 2019
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

MODERASI BERAGAMA MASYARAKAT MENENGAH MUSLIM:


Abstract
STUDI TERHADAP MAJLIS TAKLIM PEREMPUAN DI Abstrak
YOGYAKARTA

This article discusses the socio-cultural


DOI: https://doi.org/10.32488/harmoni.v18i2.392 Artikel ini membahas konteks sosial-
context of Indonesia’s diverse society as budaya masyarakat Indonesia yang
a contextual theological arena. One of majemuk sebagai arena berteologi
the main problems in the socio-cultural kontekstual. Salah satu pokok masalah
pluralism of Indonesian people, especially dalam kemajemukan sosio-budaya
since the colonial to post-colonial periods, masyarakat Indonesia, terutama sejak masa
is the encounter of various religious kolonial hingga pascakolonial, adalah
traditions, both the local religiosity of the perjumpaan berbagai tradisi keagamaan
Nusantara (Archipelago) people and their baik religiusitas lokal masyarakat nusantara
interactions with, and/or conversion to maupun interaksi dengan dan/atau konversi
major religions from outside. This article menjadi agama-agama besar dari luar.
does not employ dogmatic studies but Artikel ini tidak melakukan kajian dogmatis
uses the dialectics of contextual theology tetapi menggunakan dialektika teologi
and theology of religions from Christian kontekstual dan teologi agama-agama
point of view. The theological perspective dari sudut pandang Kristianitas. Perspektif
of religions is used to dialectically teologi agama-agama digunakan untuk
examine the experimentation of Christian menguji secara dialektis eksperimentasi
contextual theology in Indonesia. Bevans’ teologi kontekstual Kristen di Indonesia.
“ ” model was chosen as the lens of Model “antropologis” Bevans dipilih
study, as well as criticism of the tri- sebagai lensa kajian sekaligus sebagai kritik
polar typology (exclusivism-inclusivism- terhadap tipologi tripolar (exclusivism-
pluralism) introduced by Alan Race. Three inclusivism-pluralism) yang diperkenalkan
regional and cultural contexts, namely oleh Alan Race. Tiga konteks kewilayahan
Yogyakarta (Central Java), Bali (Bali) and dan kebudayaan, yaitu Yogyakarta (Jawa
Tana Toraja (South Sulawesi), are used Tengah), Bali (Bali) dan Tana Toraja
as the basis for theological experience. (Sulawesi Selatan), digunakan sebagai
Qualitative research approach was carried basis pengalaman berteologi. Pendekatan
out through field research in the form of penelitian kualitatif dilakukan melalui
observing behavior and lifestyles, in-depth penelitian lapangan (field research) dalam
interviews to obtain perspective data bentuk pengamatan perilaku dan gaya
and phenomenological interpretations of hidup, wawancara mendalam untuk
views and beliefs, manifested through the memperoleh data perspektif dan interpretasi
attitudes and perspectives on the reality fenomenologis terhadap pandangan dan

HARMONI Juli - Desember 2019


Teologi Agama-agama di Indonesia; Menelisik Pengembangan dan Tantangannya 217

of the diversity of cultures, languages​​ keyakinan yang termanifestasi melalui


and religions that are practiced by the sikap dan cara pandang terhadap realitas
Indonesian people, especially in the three keanekaragaman budaya, bahasa dan
regions. The data obtained from the field agama yang dihidupi oleh masyarakat
research process was then interpreted in Indonesia, terutama pada ketiga wilayah
phenomenological perspective to examine tersebut. Data yang diperoleh dari
a Christian’s theological view on the proses penelitian lapangan kemudian
theology of religions. Experimentation diinterpretasi secara fenomenologis untuk
and theological elaboration based on mencermati pandangan teologis seorang
experience in the three contexts were raised Kristen terhadap teologi agama-agama.
as an initial process to find the theological Eksperimentasi dan elaborasi teologis
postures of religions that are typical in the berbasis pengalaman pada tiga konteks itu
plural culture of Indonesian society. dimunculkan sebagai proses awal untuk
menemukan postur teologi agama-agama
This article wants to show a model of yang khas dalam kebudayaan majemuk
theological construction of religions that masyarakat Indonesia. Artikel ini hendak
does not begin with theological academic memperlihatkan suatu model konstruksi
debates as they take place in formal teologi agama-agama yang tidak dimulai
seminars or lectures, but which starts from dengan perdebatan-perdebatan akademik
the narratives of the life experiences of teologis sebagaimana berlangsung dalam
various communities that live differences seminar-seminar atau kuliah-kuliah formal,
as a necessity in affirming one’s own melainkan yang dimulai dari narasi-narasi
identity, while building open, positive and pengalaman hidup berbagai komunitas
constructive relationships with others and yang menghidupi perbedaan sebagai suatu
the universe. keniscayaan dalam meneguhkan identitas
Keywords: theology of religions, socio- sendiri sekaligus membangun relasi-relasi
cultural plurality, social identity yang terbuka, positif dan konstruktif dengan
sesama serta alam semesta.
Kata kunci: teologi agama-agama, pluralitas
sosio-budaya, identitas sosial

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 18 No. 2


218 Steve Gerardo Christoffel Gaspersz, Nancy Novitra Souisa

PENDAHULUAN terhadap berbagai corak, ajaran dan


ritual keberagamaan lokal (indigenous
Banyak orang yang terkejut dengan
religions) masyarakat Nusantara yang
berbagai konflik sosial bernuansa
sudah eksis jauh sebelum masuknya
sektarian yang terjadi di berbagai wilayah
agama-agama impor yang diakui resmi
Indonesia sejak negeri ini memasuki
di Indonesia. Pada level horizontal,
suatu era keterbukaan dan demokratisasi
kelompok-kelompok agama resmi atas
dengan runtuhnya kekuasaan rezim
nama ajaran yang “benar dan resmi”
Orde Baru tahun 1998. Konflik kekerasan
pun kerap melakukan intimidasi dan
bernuansa sektarian primordial nyaris
persekusi terhadap kelompok-kelompok
tidak terdengar selama kurun waktu
lain yang dianggap “menyimpang” atau
tiga dekade. Pendekatan keamanan yang
“berbeda” dari apa yang dianggap “benar
diterapkan oleh pemerintahan Suharto,
dan resmi” oleh kelompok-kelompok
yang dikenal sebagai Orde Baru, berhasil
agama arus utama.
meredam potensi konflik sosial terbuka
sebagai konsekuensi sosiologis dari Pengakuan resmi negara hanya
kemajemukan masyarakatnya. Peranan pada enam agama tersebut makin
negara dan aparaturnya baik sipil maupun mengeringkan dimensi keberagamaan
polisi/militer sangat signifikan dalam sebagai bagian dari kebudayaan manusia.
mengelola kemungkinan-kemungkinan Agama seolah-olah dapat dikeluarkan
konflik horizontal antarkelompok dari kebudayaan dan diperlakukan
masyarakat. Namun demikian, banyak semata-mata sebagai wahyu dari langit.
pula fakta yang memperlihatkan Perspektif keberagamaan semacam ini
fenomena sebaliknya, yaitu ketika kemudian menimbulkan pembelahan
negara dan aparaturnya sangat dominan atau dikotomi imajinatif antara agama
dalam mengatur kehidupan warganya, dan kebudayaan. Akibatnya, ada ekspresi-
termasuk dalam kehidupan beragama ekspresi kebudayaan yang dinilai secara
dan relasi antaragama. subjektif dan cenderung diskriminatif
sebagai ajaran dan praktik-praktik
Kehidupan beragama berjalan
kebudayaan yang melanggar pagar-pagar
di bawah kendali ketat negara melalui
normatif keagamaan resmi. Dengan
pengakuan negara hanya terhadap lima
alasan itu maka kelompok-kelompok
agama “resmi”, yaitu Islam, Kristen
agama arus utama merasa berhak untuk
Protestan, Kristen Katolik, Hindu dan
meluruskan sesuai tafsir keagamaan yang
Budha. Sedangkan corak keberagamaan di
monolitik, yang muncul dalam berbagai
luar agama resmi tersebut dikategorikan
bentuk diskriminasi dan persekusi,
sebagai aliran kepercayaan dan dianggap
misalnya terhadap kelompok Ahmadiyah
berada dalam ranah kebudayaan sehingga
dan praktik-praktik keberagamaan lokal
tidak diurus oleh kementerian agama.
masyarakat Nusantara (Fealy and Riccit,
Pemerintahan Presiden Abdurrahman
2019).
Wahid (1999-2001) menambahkan
Konghucu sebagai agama ke-6 yang Realitas keberagamaan pasca
diakui negara. Pengakuan negara Orde Baru tersebut menimbulkan
terhadap agama-agama ini merupakan banyak pertanyaan seputar hubungan
pengakuan politis yang berimplikasi antaragama yang selalu digambarkan
pada perlakuan diskriminatif negara rukun dan harmonis selama tiga dekade
HARMONI Juli - Desember 2019
Teologi Agama-agama di Indonesia; Menelisik Pengembangan dan Tantangannya 219

hingga tahun 1998. Mengapa kerukunan unsur berkelindan membentuk identitas


dan keharmonisan antaragama bisa berbagai kelompok sosial sehingga untuk
secara drastis berubah menjadi relasi- memahami realitas keberagamaan itu
relasi keberagamaan yang sarat dengan sendiri tidak dapat dipilah secara tegas
nuansa permusuhan dan kebencian? dalam konteks kehidupan bersama
Citra masyarakat Indonesia yang ramah masyarakat Indonesia.
dan guyub pun seakan sirna ditelan
Selain itu, artikel ini juga sebuah
gemuruh konflik dan perseteruan. Belum
tahap awal eksperimentasi untuk
lagi kesan negara dan aparaturnya
mengombinasikan secara dialektis
seolah tidak berdaya menghadang
diskursus teologi agama-agama dengan
gelombang radikalisme keagamaan
perspektif teologi kontekstual, yang dalam
yang makin menguat dalam berbagai
hal ini menggunakan model antropologis
bidang kehidupan sosial, pendidikan,
oleh Stephen Bevans. Mengapa demikian?
fragmentasi politik, dan sebagainya.
Religiositas masyarakat Indonesia adalah
Diskursus dialog agama-agama yang
suatu fenomena kebudayaan berbagai
kerap bergaung dalam ruang-ruang
masyarakat lokal yang telah menjalani
seminar pun hanya menjadi ruang-
suatu fase kesejarahan yang panjang
ruang perjumpaan formalitas tanpa daya
perjumpaan dengan berbagai peradaban
fungsional untuk berhadapan dengan
dan kebudayaan bangsa-bangsa lain.
gempuran eksklusivitas dan ekstremitas
Difusi kebudayaan dan adaptasi dimensi-
keberagamaan. Di kalangan agama-
dimensi spiritualitas berbagai keyakinan
agama, seperti Kristianitas, diskursus
(agama) telah melahirkan bentuk-bentuk
teologi agama-agama mengalami
keberagamaan yang berbeda-beda dan
kemandegan karena dianggap tidak lagi
unik pada setiap wilayah dan institusi
relevan. Sebagai konsekuensinya, pada
agama. Itulah yang menjadi titik pijak
lingkup Kristianitas, proses pengerasan
utama artikel ini untuk mengeksplorasi
identitas Kristen pun terjadi dalam
kemungkinan-kemungkinan
wujud eksklusivitas Kristen yang hanya
mengonstruksi teologi agama-agama
berorientasi pada aspek keselamatan dan
yang pertama dan utama dibangun dari
kesalehan individu.
realitas pengalaman perjumpaan kelindan
Artikel ini merupakan salah satu agama dan kebudayaan di Indonesia.
bentuk eksplorasi terhadap konteks
kemajemukan sosial-budaya yang menjadi
METODE
basis untuk mengonstruksi perspektif
teologi agama-agama di Indonesia. Penyusunan artikel ini dilakukan dengan
Konteks kemajemukan sosial-budaya dan menggunakan kombinasi kritis-dialektis
tradisi-tradisi keagamaan yang dihidupi antara studi kepustakaan dan observasi
oleh masyarakat Indonesia bukanlah lapangan (fieldwork) pada tiga wilayah,
semata-mata sesuatu yang jatuh dari yaitu Yogyakarta, Bali, dan Tana Toraja.
langit atau diadopsi begitu saja dari luar. Studi kepustakaan dilakukan untuk
Ada proses sejarah dan kebudayaan yang menelusuri jejak-jejak pemikiran dan/
sangat panjang, yang membentuk postur atau penelitian baik yang terpublikasi
keberagamaan yang sangat kultural maupun yang tidak terpublikasi. Dari
pada masyarakat Indonesia. Semua studi kepustakaan itu penulis hendak

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 18 No. 2


220 Steve Gerardo Christoffel Gaspersz, Nancy Novitra Souisa

memastikan konstruksi analisis mengenai bentukan-bentukan perspektif dan


kajian keagamaan dan teologi agama- pengalaman keberagamaan. Istilah
agama oleh para peneliti lain. “teologi” mengasumsikan bahwa subjek
(individu) berpikir dan beriman dalam
Observasi lapangan dilakukan
sebuah sistem keagamaan tertentu
dalam jangka waktu (periode) dan
(Kristen); istilah “agama-agama”
momentum yang berbeda. Data dari
menandakan dengan tegas bahwa
observasi lapangan diakumulasi melalui
pantulan pengalaman keagamaan
proses-proses pengamatan yang luwes
itu tidak monolitik tetapi jamak dan
namun tetap dibingkai oleh kerangka
berwarna-warni. Keduanya bergerak
pemikiran teoretik yang ketat. Tujuan
secara dinamis dan kritis dalam ranah
utama dari seluruh proses observasi
pengalaman dan penghayatan beriman
lapangan adalah pada penemuan refleksi
pada konteks sosio-budaya yang
teologis Kristen mengenai perspektif
kompleks.
teologi agama-agama yang muncul dalam
bentuk pandangan, pernyataan, gaya Tipologi tripolar (exclusivism-
hidup, dan sikap beragama yang semuanya inclusivism-pluralism) yang diintroduksi
berlangsung dalam realitas keseharian oleh Alan Race dalam bukunya Christians
komunitas-komunitas yang diamati. and Religious Pluralism, membantu
Hasil observasi lapangan menjadi data memberikan pemetaan (vantage point)
yang kemudian diolah secara interpretatif untuk melihat sudah sejauh mana
dengan pendekatan fenomenologis dan percakapan mengenai pluralisme
hermeneutika sosial untuk menyusun isu- keagamaan berlangsung dan pada tataran
isu kajian dan menemukan pemaknaannya apa polemik (critical point) berlanjut (Race,
sesuai dengan tujuan penulisan artikel 1983). Meskipun disadari bahwa tipologi
ini. Proses pengolahan data secara tripolar Race telah mendapat kritik dari
interpretatif tersebut kemudian menjadi sejumlah sarjana, seperti Tilley, D’Costa,
asumsi-asumsi teologis kontekstual yang Knitter, Platinga, Ariarajah, Heim,
secara kualitatif terbuka bagi verifikasi Neuhaus, dan Fredericks (Schmit-Leukel
kritis yang sekaligus secara epistemologis in Knitter, 2005: 13-27). Kendati demikian,
menjadi tesis baru bagi pengembangan penulis mencoba mengikuti alur nalar
selanjutnya. Schmidt-Leukel merespons delapan
kritik terhadap tipologi tripolar. Menurut
penulis, tipologi tripolar Race baiknya
Diskursus Teoretik
diterima sebagai “modeling” atau teorisasi
Perspektif teologi agama-agama di sini realitas perjumpaan agama-agama yang
digunakan sebagai salah satu jendela telah terjadi sejauh ia amati. Realitas
perspektif pembebasan untuk melihat perjumpaan agama-agama itu sendiri
kemungkinan-kemungkinan membangun jauh melebihi apa yang dimodelkan oleh
suatu perspektif keberagamaan yang Race. Dengan perkataan lain, pada titik
egaliter dan tidak diskriminatif. Tajuk itu tipologi Race menjadi pijakan berlapis
“teologi agama-agama” serta-merta yang membantu kita memulai melangkah
menggiring kesadaran reflektif pada ke ranah perseptual dan eksperensial kita
lapisan-lapisan identitas diri sendiri, yang sendiri. Sebagaimana dinyatakan oleh
tidak terpungkiri sangat mempengaruhi Schmidt-Leukel (2005: 27),

HARMONI Juli - Desember 2019


Teologi Agama-agama di Indonesia; Menelisik Pengembangan dan Tantangannya 221

After all, the theology of religions, claims particular characteristics that


whether exlusivist, inclusivist, or identify him or her as a unique person.
pluralist, is still theology-a form of [Suatu identitas adalah seperangkat
human reasoning based on faith and not makna yang menentukan siapa
a form of absolute, infallible knowledge. seseorang ketika ia memainkan
suatu peran tertentu dalam
[Lebih dari itu, teologi agama-
masyarakat, seorang anggota dari
agama, entah eksklusivis, inklusivis,
suatu kelompok, atau mendaku
atau pluralis, tetap adalah teologi
karakteristik tertentu yang
– suatu bentuk penalaran manusia
mengidentifikasi dirinya sebagai
berdasarkan atas iman dan bukan
seorang pribadi yang unik.]
suatu bentuk pengetahuan yang
mutlak atau tak bisa salah.] Dalam batasan tersebut maka
identitas sebenarnya adalah pertautan
Frase “perjumpaan agama-agama”
dinamis antara agency and social structure.
pada dasarnya memantulkan presuposisi
Seperti dilanjutkan oleh Burke dan Stets
yang lebih bersifat praksis. Artinya,
(2009: 4):
konseptualisasi teologi agama-agama
yang diharapkan melalui perjumpaan it is our view that society (social
agama-agama itu tidak terhindarkan structure) is created by the actions of
melibatkan seluruh eksistensi individuals, though it is recognized that
pengalaman kemanusiaan orang atau these actions are produced in the context
kelompok sosial yang memilih sistem of the social structure they create and
beragama yang beraneka ragam itu. are influenced by this context. There
Pengalaman kemanusiaan itu pula yang is, thus, an elaborate system of mutual
mempengaruhi konstruksi identitas influences between characteristics of
“diri” dan “kelompok”, yang membuat the individual and characteristics of
realitas keberagamaan itu sebagai ruang society.
menegosiasikan identitas pada lokasi [Kita kerap mempunyai pandangan
budaya tertentu. Oleh karena itu, penulis bahwa masyarakat (struktur sosial)
memulai dari mengupas lapisan identitas dibentuk melalui tindakan-tindakan
itu untuk kemudian menelisik lebih jauh individu, dan beranggapan bahwa
bagaimana konstruksi identitas berlapis masyarakat dikenali melalui
itu mempengaruhi cara pandang tentang tindakan-tindakan yang diproduksi
diri, orang lain, dan masyarakat beserta dalam suatu konteks struktur
seluruh derivasi sosiokulturalnya. sosial yang mereka ciptakan dan
dipengaruhi oleh konteks ini.
Konstruksi teoretik mengenai
Jadi, terdapat suatu sistem saling
identitas di sini memanfaatkan elaborasi
mempengaruhi yang lebih besar
Peter Burke dan Jan Stets (Burke and
antara berbagai karakteristik
Stets, 2009: 3) sebagai berikut:
individu dan karakteristik
An identity is the set of meanings masyarakat.]
that define who one is when one is an
Pernyataan Burke dan Stets di
occupant of a particular role in society,
atas pada gilirannya membuka celah
a member of a particular group, or
interpretatif bahwa apa yang disebut

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 18 No. 2


222 Steve Gerardo Christoffel Gaspersz, Nancy Novitra Souisa

dengan “pengalaman” itu sendiri struktur pembentuk, yaitu sebagai


sebenarnya adalah ruang-ruang realitas prinsip-prinsip pendorong dan
yang mendorong terjadinya negosiasi praktik-praktik serta representasi-
budaya dan identitas dalam sebuah representasi pembentuk yang
arena kontekstual. Negosiasi tersebut secara objektif dapat “diregulasi”
berlangsung secara trialektik ala Bergerian dan menjadi “rutin” tanpa menjadi
yaitu “externalisasi – objektifikasi – sebentuk hasil kepatuhan terhadap
internalisasi” (Berger and Luckmann, berbagai aturan, diterima secara
1991: 149). Kemanakah arah negosiasi objektif untuk mencapai tujuan-
trialektis tersebut? Itu akan mengerucut tujuan mereka tanpa menuntut
pada sebuah tindakan yang disepakati suatu tujuan yang disadari pada
atau tidak disepakati bersama, yang muaranya atau mengungkapkan
oleh Pierre Bourdieu disebut “habitus” kepiawaian dalam melakukan
(Bourdieu, 2002: 72): sesuatu yang dibutuhkan untuk
mencapainya dan lebih dari itu,
disusun secara kolektif tanpa harus
The structures constitutive of a particular menjadi suatu produk tindakan-
type of environment (e.g. the material tindakan terarah dari seorang
conditions of existence characteristic pengarah.]
of a class condition) produce habitus,
systems of durable, transposable
dispositions/structured structures Pandangan-pandangan tersebut
predisposed to function as structuring digunakan sebagai lensa perspektif untuk
structures, that is, as principles of the melanjutkan pencarian kutub-kutub
generation and structuring of practices pengalaman keseharian yang semestinya
and representations which can be menjadi acuan untuk menapaki lebih
objectively “regulated” & “regular” jauh ranah percakapan teologi agama-
without in any way being the product of agama di Indonesia. Dengan perkataan
obedience to rules, objectively adapted lain, keduanya membantu membuka
to their goals without presupposing a cakrawala untuk merambah lebih
conscious aiming at ends or an express jauh kemungkinan-kemungkinan
mastery of the operations necessary bagi elaborasi teologi agama-agama
to attain them and, being all this, selanjutnya.
collectively orchestrated without being Di manakah kemungkinan-
the product of the orchestrating action kemungkinan tersebut bisa digali?
of a conductor. Penggunaan lensa Burke dan Bourdieu
[Struktur-struktur pembentuk dari menyoroti akseptabilitas masyarakat
suatu rupa lingkungan tertentu terhadap perubahan yang terjadi dalam
(misal: kondisi-kondisi material realitas sosial dan budayanya dan
dari karakteristik suatu klas yang interkoneksitas pengalaman keagamaan
ada) memproduksi habitus, sistem- atasnya. Akseptabilitas itu tidak sekadar
sistem berdaya tahan lama, watak- upaya menyesuaikan diri tapi juga
watak yang bisa diteruskan atau kapasitas untuk menempatkan perubahan
struktur-struktur yang terbentuk sebagai arena intertekstualitas atau
menyatakan fungsi sebagai struktur- interkoneksitas antara “diri” (agency) dan
HARMONI Juli - Desember 2019
Teologi Agama-agama di Indonesia; Menelisik Pengembangan dan Tantangannya 223

“masyarakat” (social structure); mengelola karenanya bisa saling menerima atas


relasi-relasi kuasa (power relations) dasar perbedaan itu. Di situ kemudian
sedemikian rupa sehingga perubahan pengalaman kehidupan sehari-hari
memicu pada terkonstruksinya identitas- menjadi arena permainan simbolik
identitas yang saling bernegosiasi identitas.
bagi kepentingan bersama. Hibriditas
(hibridity) adalah sebentuk puncak
PEMBAHASAN
negosiasi identitas yang berlangsung
dalam realitas sosiologis dan historis. Realitas Sosial-Budaya Keberagamaan
Sebagai Basis Teologi Agama-Agama
Di sini interkoneksitas pengalaman
keagamaan menjadi jembatan epistemik Bagaimana interkoneksitas pengalaman
antara kesadaran sosial dan realitas keagamaan bisa menjadi kemungkinan
kebudayaan sebagai titik pijak dari juga sangat tergantung bagaimana
proses berteologi (doing theology) itu permainan simbolik identitas pada
sendiri. Model ini mengarah pada “sang arena kehidupan sehari-hari terarahkan
manusia” (antropos) yang berada pada pada perjumpaan pengalaman budaya
pusaran interkoneksitas dengan spektrum yang mencairkan perbedaan melalui
identitasnya yang luas dan beragam. Pada kepentingan-kepentingan kemanusiaan
titik pijak itu maka model antropologi bersama. Contoh eksperimentasi
Bevans membuka kemungkinan bagi Lembaga Antar Iman Maluku (LAIM)
eksperimentasi tipologi tripolar secara selama periode konflik sosial-keagamaan
lebih leluasa untuk menemukan Ultimate di Maluku beberapa tahun silam dalam
Being atau trancendent reality dalam mengelola kepentingan-kepentingan
konstruksi kebudayaan dan teologi bersama melalui strategi budaya untuk
Kristen secara kontekstual (Bevans, 1992: mengolah “permainan” identitas yang
52-53). Dialektika teologi agama-agama kerap berlapis pada derajat tertentu
dan konstruksi teologi kontekstual memberikan secercah harapan untuk
melalui tipologi tripolar yang diperluas mewujudkannya. Sekarang hanya soal
sebagai bagian utama dari realitas bagaimana olah-identitas “keagamaan”
sosiologis dan antropologis kemanusiaan dan “etnisitas” dinegosiasikan sebagai
dan keberagamaan yang condong tawaran teologis agama-agama terutama
menciptakan tembok-tembok pemisah dari perspektif Kristen. Ini baru menjadi
identitas antara “aku” dan “liyan” (other). awal dari sebuah eksperimentasi
Ini persoalan agama-agama sepanjang panjang (Wawancara dengan Pdt. Jacky
sejarah peradaban manusia hingga Manuputty dan Ustadz Dr. Abidin
saat ini. Mengapa harus ada tembok- Wakano).
tembok doktriner yang memisahkan
Eksperimentasi dalam praksis
satu terhadap yang lain? Karena proses
berteologi lintas-agama tersebut,
identifikasi atau konstruksi identitas
misalnya, dapat dilihat pada upaya
yang lebih menitikberatkan pada
bersama membangun jejaring dialog dan
keunikan diri sendiri dan bukan pada
solidaritas para pemuda di Maluku Utara
penerimaan interkoneksi pengalaman
melalui pembentukan jaringan pemuda
keagamaan yang menandai bahwa setiap
antar-iman di Maluku Utara. Peristiwa
entitas adalah unik pada dirinya dan
ini dapat dijadikan sebagai momentum
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 18 No. 2
224 Steve Gerardo Christoffel Gaspersz, Nancy Novitra Souisa

penting membuka kembali simpul-simpul konflik sosial beberapa tahun silam,


sentimen dan prasangka yang selama ini masyarakat Malut tidak bisa begitu saja
mengendap di bawah struktur kesadaran menghapus memori kolektif tentangnya.
sosial masyarakat Maluku Utara. Tampak
Pelanggengan memori kolektif
tenang di permukaan tetapi dapat
mengenai konflik terjadi karena ruang-
sewaktu-waktu meledak karena simpul-
ruang perjumpaan sehari-hari turut
simpul sentimen dan prasangka tersebut
tersegregasi oleh sekat-sekat identitas
belum terurai melalui relasi-relasi yang
yang berlapis-lapis. Sehingga untuk
transparan dan tulus. Dalam konteks itu,
memulai dialog kehidupan tersebut
apresiasi harus diberikan kepada rekan-
diperlukan energi dan konsistensi tingkat
rekan pendeta muda yang dengan segala
tinggi, terutama untuk menahan tekanan-
cara mencari kemungkinan membangun
tekanan sosial-politik dari kubu-kubu
relasi-relasi kemanusiaan lintas-institusi
yang tetap ingin mengeruk keuntungan
agama serta menggali potensi-potensi
dari situasi konflik. Sejauh yang teramati,
kultural bagi penguatan perdamaian
salah satu upaya untuk tetap menebarkan
sosial di sana. semangat perdamaian dan persaudaraan
Peristiwa deklarasi jaringan adalah melalui penyebaran tulisan-
pemuda antar-iman Maluku Utara dan tulisan kritis mengenai persahabatan
penyelenggaraan diskusi publik “Agama semesta dan perdamaian. Kejelian untuk
Bukan Alat Politik” merupakan satu membentuk opini positif melalui media
titik kulminasi dari dialog panjang para (koran lokal dan internet) telah menjadi
pelaku perdamaian lintas-institusi agama salah satu kekuatan untuk melakukan
di Maluku Utara. Dialog panjang yang diseminasi ide-ide dan pengalaman-
dimaksud bukan sekadar perjumpaan- pengalaman konstruktif yang menjadi
perjumpaan formal dalam ruang-ruang milik bersama, terutama pada kelompok-
seminar dan/atau yang diprogramkan kelompok masyarakat yang terpapar
oleh institusi-institusi pemerintahan dampak konflik sosial. Peluang untuk
mendapatkan akses ke media cetak lokal
dan agama saja. Capaian hingga titik
dan penyebaran tulisan-tulisan ringkas
deklarasi antar-iman telah melalui dialog
tapi bernas melalui media jejaring
kehidupan sehari-hari yang panjang
sosial (facebook) secara gradual telah
dan melelahkan, serta perjumpaan-
memberikan efek kognitif yang signifikan
perjumpaan kultural yang berlangsung
bagi pembentukan opini publik mengenai
non-formal dalam konteks kemajemukan
situasi dan kondisi baik lokal maupun
di Maluku Utara, terutama Kota Ternate
nasional.
(Wawancara dengan Pdt. Max Takaria).
Jika melihatnya demikian, maka dapat Selain melalui tulisan, ada juga
dibayangkan bahwa perjumpaan- upaya-upaya strategis untuk menjalin
perjumpaan itu tidak selamanya lancar komunikasi dengan pihak pemerintah
dan mulus sebagaimana gambaran lokal (seperti yang dilakukan oleh
idealnya. Benturan dan ketegangan sudah Pdt. Max Takaria ketika memimpin
pasti terjadi selama proses membangun Jemaat Kota Ternate). Berdasarkan
dialog kehidupan tersebut. Sesuatu pengalamannya memimpin Jemaat Kota
yang wajar mengingat sebagai salah satu Ternate, Takaria menerapkan pendekatan
wilayah yang juga merasakan dampak kebudayaan lokal dalam membangun
HARMONI Juli - Desember 2019
Teologi Agama-agama di Indonesia; Menelisik Pengembangan dan Tantangannya 225

relasi-relasi lintas-agama pascakonflik di saling mengait. Jika identitas merupakan


Ternate. Secara intensif, dia membangun arena negosiasi antara agency and social
komunikasi dengan Sultan Ternate dalam structure maka proses-proses negosiasi
berbagai upaya memulihkan trauma tersebut adalah “kemungkinan”
bersama pascakonflik di Maluku Utara. (possibility) untuk berdialog.
Momentum yang fenomenal adalah
Lantas, apa yang harus didialogkan?
ketika Sultan memberikan sebidang
Diperlukan pemahaman bersama
tanah untuk dibangun gedung gereja di
mengenai struktur-struktur kesadaran
atasnya dan Sultan sendiri yang dimintai
semacam apa yang mempengaruhi power
pendapat mengenai nama gereja itu.
relations di antara manifestasi lapisan-
Sultan menamakan gereja tersebut
lapisan identitas individual dan komunal.
dengan bahasa lokal “Soa Tabanga”.
Pemahaman bersama itu hanya terbentuk
Dengan legitimasi politik dan budaya
melalui kesepakatan-kesepakatan sejarah
itulah relasi-relasi antara komunitas
dan budaya yang melandasi gerak sosial
Kristen dan komunitas Islam di Ternate
suatu masyarakat. Dengan demikian, apa
secara bertahap dapat dipulihkan
yang didialogkan adalah simpul-simpul
kembali. Pendekatan dialogis-kultural
identitas (agency and social structure)
Takaria ini dilanjutkan oleh para pendeta
yang mendorong terjadinya komunikasi
penggantinya hingga sekarang.
budaya di dalam masyarakat itu sendiri.
Dengan seluruh upaya itu, makin Penentuan titik-titik diskursus budaya itu
kuat keyakinan bahwa “teologi agama- pun berlangsung dalam proses “menjadi”
agama”, entah dalam perspektif Kristen sehingga memang yang dibutuhkan
atau Islam, terbentuk bukan lagi melalui adalah kejelian melihat peluang-peluang
pertemuan-pertemuan formal yang sosial untuk menghadirkan pengalaman
kerap teralienasi dari pengalaman- bersama sebagai tumpuan dialog
pengalaman keagamaan yang konkret kehidupan.
sebagaimana dihayati dan dialami oleh
Deklarasi Jaringan Pemuda
masyarakat umumnya. Teologi agama-
Antar-Iman dapat dipahami sebagai
agama itu justru tersusun, direkatkan
kemungkinan untuk melumerkan sekat-
bagian-bagiannya, dan terbangun
sekat identitas sosial-budaya yang
secara bertahap melalui pengalaman-
selama ini dilihat sebagai “ancaman”
pengalaman keseharian manusia dalam
bagi perdamaian. Namun kini sekat-
konteks partikular.
sekat itu baiknya menjadi simpul-simpul
Tetapi, pengalaman semacam identitas baru yang saling bertaut secara
apakah yang bisa menjadi model bagi kreatif dan dinamis dengan pengalaman-
terbentuknya teologi agama-agama dalam pengalaman baru menghadapi juggernaut
suatu konteks partikular masyarakat perubahan yang menggoncang dasar-
yang mengalami konflik dan ketegangan dasar sejarah dan budaya bersama dalam
antaragama? Di sinilah gagasan konteks Malut. Jejaring itu juga mesti
“identitas” Burke/Stets dan “habitus” menjadi “habitus”, dimensi-dimensi
Bourdieu memberikan spasi untuk kesadaran positif yang distrukturkan
mempertautkan “teks-teks” pengalaman sehingga terinternalisasi sebagai hakikat
tertentu kemanusiaan menjadi sebuah dari identitas sosial Malut. Ia tidak lagi
wacana intertekstualitas yang utuh dan memerlukan ruang-ruang pertemuan
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 18 No. 2
226 Steve Gerardo Christoffel Gaspersz, Nancy Novitra Souisa

dalam bingkai formalistik dan birokratik rumah bersama karena tidak ada satupun
karena semangat jejaring antar-iman di antara mereka yang bisa hidup di luar
telah menjadi penanda identitas suatu bumi ini. Pijakan “realitas konkret” ini
masyarakat. Soalnya sekarang adalah bukannya tanpa masalah, karena setiap
apakah dalam habitus semacam itu masih mereka melihat, mengalami, menghayati,
diperlukan “teologi agama-agama”? dan mengekspresikan yang konkret itu
Jika masih, bagaimana mengelaborasi dengan cara yang berbeda. Pemaknaan
kemungkinan-kemungkinan teologis yang berbeda melahirkan ekspresi
dalam pengalaman sosial dan budaya? penghayatan yang berbeda pula; yang
Jalan masih panjang. Tapi setidaknya pada gilirannya melahirkan pengalaman-
langkah sudah mulai mengayun ke tahap pengalaman keberagamaan yang
berikutnya. berwarna-warni. Oleh karena itu, “realitas
konkret” itu sendiri kerap menjadi
Teologi agama-agama (TAA) itu masalah tersendiri yang ditanggapi
sendiri tidak punya perspektif tunggal berbeda pula oleh masing-masing.
dan definitif baku. Beberapa orang
melihatnya sebagai “teologi agama-agama Realitas konkret tersebut galibnya
dari perspektif Kristen”, “teologi agama- merupakan arena perjumpaan setiap
agama itu cuma omongan di awan-awan orang yang berbeda-beda tersebut.
tanpa sentuhan realitas konkret”, dan Itu menjadi ruang empiris yang
“teologi agama-agama keseharian”. menempatkan setiap mereka dalam aneka
relasi (simbiosis, negosiatif, konfliktual).
Perhatian di sini lebih kepada tiga Aneka relasi itu pun berlangsung setiap
konsep yang menyertai istilah TAA di hari, dalam bincang-bincang ringan, di
atas, yaitu “perspektif Kristen”, “realitas tengah kemacetan lalu-lintas, di tengah
konkret” dan “keseharian” atau “biasa- kepungan banjir, di tengah massa yang
biasa saja”. Ketiga konsep tersebut menonton aksi demonstrasi mahasiswa,
mencoba menyifatkan atau membentuk pun terselip di antara gosip siapa capres/
postur dari TAA yang dibincangkan. cawapres mendatang, dan lain-lain. Itu
“Perspektif Kristen” hendak memberi sifat mengalir dalam aktivitas dan dialog
(nature) Kristen pada TAA, yang berarti keseharian yang biasa-biasa saja. Sehingga
bagaimana si Kristen itu memikirkan, realitas konkret itu juga mewadahi aneka
membangun dan menghayati iman refleksi teologis keseharian yang biasa-
kristianinya (apapun arus teologinya) biasa saja dalam menanggapi masalah-
dalam tautan dengan kehadiran si Islam, masalah sehari-hari yang dialami sebagai
si Budha, si Hindu, si Konghucu, si komunitas manusia di bumi yang satu ini
Kaharingan, si Kakehan, si Aluk Todolo, (Amirtham and Pobee, 1986: 6).
si Marapu, dan sebagainya. Si Kristen
Memunculkan ketiga aspek itu
merasa Tuhan-imaniahnya [di]hidup[i]
serta-merta membawa penulis kembali
oleh yang lain-lain itu. Tanpa yang lain
pada isu metode penelitian teologi.
Tuhan-imaniahnya hanya sesuatu yang
Bagaimanakah “metode” atau “jalan”
abstrak nun jauh di antah-berantah.
menuju dan mencapai TAA itu? Dari
“Realitas konkret” menggambarkan ketiga aspek yang sengaja dipilih tersebut
bahwa si Kristen dan teman-temannya itu jelas bahwa TAA tidak dapat dibentuk
berpijak pada satu bumi yang menjadi (analogi tanah liat) tanpa campuran
HARMONI Juli - Desember 2019
Teologi Agama-agama di Indonesia; Menelisik Pengembangan dan Tantangannya 227

“tanah” sosial dan “air” budaya yang yang Isi percakapan bervariasi. Politik,
selama prosesnya turut merefleksikan ekonomi, banjir, pembangunan, longsor,
imajinasi sang penjunan (agen dan pemerkosaaan, hingga mega-korupsi,
struktur sosial). Refleksi penjunan adalah dibicarakan dengan lugas, mengalir
pemikiran dan pola-pola tindakan yang melalui ekspresi bahasa kerakyatan yang
tersusun melalui sejarah kehidupan dan bisa diterima semua yang ada di situ,
interaksi “biasa-biasa saja” dengan liyan. sambil sesekali diselingi guyonan yang
membuat semua “geerr” ramai-ramai.
Pada batasan tertentu, penulis
mencoba memahami kritik bahwa TAA Pengalaman angkringan adalah
tampaknya tidak terjadi dalam Seminar pengalaman ruang populis (publik). Jika
Agama-Agama (SAA) yang dicurigai demikian, maka dengan ketiga aspek itu,
mengawang-awang itu. Pengalaman saya condong menemukan TAA dalam
penulis pribadi lebih condong untuk AAA – perjumpaan si Kristen, si Islam,
menyatakan bahwa TAA bisa terjadi si Budha, dll., dalam ruang populis yang
dalam AAA alias Angkringan Agama- terekspresi melalui bahasa kerakyatan
Agama. “Angkringan” adalah istilah yang mungkin saja ganjil di telinga para
bahasa Jawa untuk gerobak penjual birokrat teologi. Mungkin saja format
penganan ringan (gorengan) yang juga berteologinya harus berani menempuh
tempat nongkrong bagi yang suka metode “blusukan” ala Jokowi (Presiden
begadang. Penampilan angkringan Joko Widodo) itu daripada hanya
tentu jauh berbeda dibandingkan café memandang masalah dari kejauhan tapi
Starbucks. Yang nongkrong di angkringan merasa mampu menyelesaikannya secara
pun selalu dianggap “tak berkelas” karena teoretis.1
hanya menjadi tempat mampir pengayuh
“Blusukan” bisa menjadi metode
becak, pengojek motor, mahasiswa
berteologi. Keluar dari protokoler narasi-
yang belum terima kiriman uang atau
narasi besar yang sepanjang sejarah
beasiswanya keburu ludes pertengahan
menggayuti kaki-tangan birokrat teologi.
bulan, juru parkir, pemulung, ataupun
Itu juga memungkinkan terbukanya ruang
para pengangguran.
populis yang berjumpa di tengah masalah
Angkringan selalu berlokasi bersama, yang tidak bisa tidak harus
di pinggir jalan (banyak juga yang diselesaikan bersama. “Blusukan” teman-
menduduki trotoar). Mudah disinggahi teman Jaringan Islam Liberal pada derajat
tapi tak jarang mengganggu lalu-lintas tertentu berhasil mengusik protokoler
karena banyaknya deretan kendaraan tafsir Al-Quran yang didominasi para
yang parkir di pinggir arus-utama jalan. Di birokrat teologi Islam di Indonesia
angkringan, setiap orang bertemu bukan
untuk berdebat atau merasa diri jagoan, 1 Blusukan, berasal dari kata blusuk atau blesek
(dalam bahasa Jawa) yang artinya “masuk”. Joko Widodo
melainkan bertemu untuk bersosialisasi yang kemudian mempopulerkan istilah ini dalam
melalui percakapan-percakapan ringan ruang-ruang pemberitaan yang terkait dengan program
kerjanya baik semasa menjadi walikota Solo, gubernur
dan renyah sembari menyeruput kopi
DKI Jakarta, hingga Presiden ke-7 Republik Indonesia.
hitam dan mengunyah gorengan, Blusukan (masuk) dari satu kampung ke kampung lainnya,
diselingi tarikan-tarikan rokok kretek inspeksi mendadak (sidak) melihat permasalahan yang
ada di lapangan dengan turun langsung, dan menemui
yang asapnya mengepul bebas berbaur
masyarakat dengan gaya kepemimpinan yang jauh dari
asap knalpot kendaraan yang melintas. formal dan pengawalan protokoler pemerintahan.

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 18 No. 2


228 Steve Gerardo Christoffel Gaspersz, Nancy Novitra Souisa

dengan metode hermeneutik yang kritis. Salah satu kekuatan program ini adalah
Sementara di pihak lain, soal tafsir liberal setiap orang - entah fasilitator dan
atas teks-teks keagamaan (Alkitab) partisipan - terlibat dalam pengalaman
itu sudah lama dilakukan di kalangan bersama dan merefleksikan berbagai
Kristen. Namun, mesti juga diakui bahwa pengalaman tersebut secara utuh. Yang
itu belum berhasil menerobos kejumudan menjadi fokus utama bukanlah soal
perlintasan teologis agama-agama dari kemampuan mengelaborasi teori-teori
sudut pandang Kristen (Gaspersz dalam besar dan abstrak (master narratives)
Lattu, 2019: 117-130). melainkan mengasah bersama-sama
karakter intelektual dan emosional
Metode berteologi “blusukan” itu
menyikapi pengalaman perjumpaan
baru merupakan salah satu kemungkinan
dengan berbagai komunitas yang “tak
dalam konstruksi teologi agama-agama
lazim” dalam pengalaman di konteks
di Indonesia. Religious Studies dan
hidupnya masing-masing. Pengalaman-
Comparative Religions sebenarnya dapat
pengalaman perjumpaan tersebut tidak
menjadi salah satu pintu memahami
hanya mengundang decak kagum tetapi
“bagaimana” tanah liat iman dibentuk
juga mengusik kenyamanan intelektual
(unsur pembentuknya, imajinasi sang
dan kultural, mengundang kegelisahan,
penjunan), bukan soal mempelajari “apa”
dan mencuatkan ketidaknyamanan
iman itu. Namun setidaknya, catatan yang
karena dianggap telah melanggar apa
pernah dibuat Stephen Bevans (1992)
yang selama ini dianggap sebagai “batas-
tentang model-model teologi kontekstual
batas” (borders) identitas primordial
(translasi, antropologis, praksis,
(etnisitas, seksualitas, religiositas,
sintesis dan transendental) membantu
intelektualitas) yang telah atau makin
memetakan beberapa ruas jalan (metode)
mapan.
yang bisa ditempuh, tergantung sasaran
dan/atau tujuan kita. Di Yogyakarta, partisipan
berkunjung ke dan berdialog dengan
Berteologi Agama-Agama: Eksperimen- komunitas pesantren Al-Qodir di kaki
tasi Berbasis Penelitian Partisipatoris di Gunung Merapi, Al-Muayyad di Solo, dan
Yogyak arta-Bali-Toraja Pesantren Waria di Yogyakarta. Pesantren
Berteologi dalam Irisan Multi-identitas: Al-Qodir menjadi titik perjumpaan
Yogyakarta dan Bali agama-agama yang sangat penting saat
Gunung Merapi meletus beberapa waktu
Ulasan berikut ini merupakan refleksi
lalu. Mengalirnya bantuan dari berbagai
partisipasi penulis saat mendapat
organisasi sosial maupun keagamaan
kesempatan terlibat dalam program
bagi korban Merapi ternyata memicu
International Summer School tahun 2012
kecurigaan di kalangan salah satu
selama dua minggu di Yogyakarta dan
kelompok agama akan kemungkinan
Bali. Program lintas budaya dan agama
terjadinya upaya mengonversi korban
ini digelar sebagai kerja sama antara
dengan alasan pemberian bantuan.
Boston University (Amerika Serikat) dan
Kecurigaan ini ditepis sedikit demi sedikit
Indonesian Consortium for Religious
oleh KH Masrur Ahmad dari Ponpes Al-
Studies (ICRS) Universitas Gadjah Mada
Qodir yang membuka diri bekerja sama
Yogyakarta dengan tema Negotiating
dengan berbagai organisasi keagamaan
Space in Diversity: Religions and Authorities.
HARMONI Juli - Desember 2019
Teologi Agama-agama di Indonesia; Menelisik Pengembangan dan Tantangannya 229

dan menyediakan pesantrennya dengan para sahabat waria dalam


sebagai tempat penampungan bantuan kelompok-kelompok pun membuka
untuk kemudian bersama-sama perspektif mengenai perasaan mereka
menyalurkannya kepada korban Merapi. yang menjalani hidup sebagai waria,
Kerjasama itu ternyata berlanjut dalam alasan-alasan apa yang membuat
berbagai bentuk program pemberdayaan mereka bertahan dalam pilihan hidup
di kawasan pedesaan lereng Merapi semacam itu, dan bagaimana mereka
(Gaspersz, 2015: 35-53). menegosiasikan identitas kewariaan
mereka di tengah-tengah berbagai
Lain lagi cerita dari Ponpes Al-
stereotip dan stigma berdasarkan
Muayyad di Solo. Sejak serentetan
rujukan-rujukan keagamaan. Tentu saja
peristiwa bom di beberapa tempat di
keberadaan ponpes waria di tengah
Jawa dan Bali, nama Solo seolah identik
perkampungan padat penduduk di
dengan “sarang teroris”. Pemberitaan
Yogyakarta memercikkan kesadaran
media massa yang meliput KH Baasyir
akan daya akseptabilitas masyarakat sipil
dan Ponpes Ngruki Solo berhasil
terhadap pilihan-pilihan orientasi seksual
membentuk citra publik mengenai Solo
yang plural, serta kelenturan dalam
yang “beringas” dan “anti-Barat”. Citra
menghayati iman keagamaan dalam
ponpes semacam itu pun terkikis ketika
konteks pluralisme Yogyakarta.
kami melihat sisi lain aktivitas pesantren
yang berjihad dengan konsep dan metode Di Bali lain lagi ceritanya. Partisipan
yang sama sekali berbeda. Ponpes Al- tinggal di Ubud dan mengunjungi
Muayyad tidak hanya menepis pencitraan beberapa puri (keluarga raja) dan pura
pesantren yang buruk tetapi juga menjadi (kuil), serta Gereja Katolik dan komunitas
salah satu kekuatan pemberdayaan Muslim di Dusun Saren Jawa, Desa
masyarakat di bidang pertanian, Budhakeling, Bali. Dialog yang terjadi
pengairan, pendidikan, dan perdamaian. menguak matra-matra menarik yang
Di bawah kepemimpinan KH Dian selama ini tenggelam dalam hiruk-
Nafi, ponpes ini menawarkan gagasan- pikuk turisme di Bali. Gesekan dan
gagasan kontekstual dan praktik- negosiasi identitas “politik” terjadi
praktik pemberdayaan yang langsung antara kelompok-kelompok puri sembari
menyentuh kebutuhan masyarakat yang menyeret kaum pura (agama) ke dalam
menjadi sasaran pelayanan aktivitas pusaran arus utamanya. Identitas ke-
mereka tersebut. Prinsip-prinsip islami Bali-an menjadi pusat pertaruhan
diterjemahkan secara praktis dalam dalam berbagai negosiasi identitas yang
bidang-bidang kehidupan rakyat yang majemuk. Konsep dan implementasi Ajeg
konkret. Bali (kebangkitan Bali) pasca tragedi bom
Bali kemudian menjadi poros identitas
Pengalaman perjumpaan yang
yang menyatukan “etnisitas” (Bali) dan
paling mengguncang zona nyaman
“agama” (Hindu).
religiositas para partisipan adalah
saat berdialog dengan para waria di Untuk mempertahankan
Ponpes Waria Yogyakarta. Penyambutan pengaruh dan hegemoninya, kaum
ditampilkan secara “wah” dengan puri mempromosikan perpaduan
shalawat dan tarian tradisional, lengkap politik Bali-Hindu sebagai upaya
dengan susunan acara yang rapi. Dialog memurnikan kebalian dan kembali
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 18 No. 2
230 Steve Gerardo Christoffel Gaspersz, Nancy Novitra Souisa

pada akar tradisi religiositas Hindu Sisi harmonis yang tampak dalam
yang dalamnya kekuasaan mereka tetap sebagian besar dialog kami ternyata
terjaga. Sementara itu, di lingkar luar justru mengundang rasa penasaran
kaum puri, berlangsung pemaknaan sebagian peserta dari kawasan Eropa
yang berbeda mengenai kebalian itu dan Amerika Serikat. Pemberitaan media
sendiri. Kalangan komunitas Bali-Katolik massa telah berhasil mengonstruksi
berpendapat bahwa identitas kebalian “realitas” bahwa selama 20 tahun terakhir
tidaklah menyatu secara perenial dengan Indonesia telah menjadi sarang teroris
“Hindu”. Identitas tersebut semata- dan arena kontestasi kekerasan massal
mata merupakan ekspresi budaya yang (antar-agama dan antar-kelompok etnis).
menghidupkan spiritualitas keagamaan “Realitas” itulah yang berusaha digali
yang jamak. Oleh karena itu, identitas melalui dialog-dialog kami, terutama dari
kebalian itu dapat termanifestasi melalui teman-teman Eropa dan Amerika Serikat.
beraneka ragam spiritualitas sejauh Beberapa rekan seakan-akan sulit keluar
batasan-batasan kebudayaan yang dari perspektif baku berbagai analisis
menandainya tetap tampak (bahasa, konflik sosial bahwa bisa ditemukan
ritual, kekerabatan). Kalangan Bali- pada konteks yang paling riel suatu
Katolik pun sibuk melahirkan ide-ide dan realitas yang berbeda dengan apa yang
praktik-praktik kontekstualisasi sebagai telah dikonstruksikan sejumlah pakar
upaya menemukan iman kristiani dalam Barat tentang Indonesia kontemporer.
konteks kebudayaan Bali dan sebagai Belum lagi kecurigaan bahwa dialog-
orang Bali. dialog tersebut tidak sepenuhnya tulus
Dengan akar sejarah dan dinamika dan masih menyembunyikan sisi-sisi
sosial-budaya yang berbeda, gerakan gelap realitas keindonesiaan yang tidak
kontekstualisasi dan dialog spiritualitas ingin dipaparkan oleh pihak lain. Jika sisi
juga ditemukan pada komunitas Muslim “konflik” yang ditampilkan maka muncul
Dusun Saren Jawa, Desa Budhakeling. kecemasan bahwa itu akan menjadi
Islam berakar dalam ingatan sejarah dan pemantik api “pertarungan identitas”
dihidupi sebagai matra identitas yang yang lebih parah dan karenanya selama
memperkaya makna kebalian dalam ini hanya tersembunyi di sudut gelap
komunitas ini. Dari generasi ke generasi kesadaran sosial masyarakat Indonesia.
selama ratusan tahun komunitas Muslim
Hanya Degung Santikarma, seorang
Saren Jawa hidup sebagai bagian integral
aktivis dan peneliti antropologi Bali,
masyarakat Hindu-Bali. Dialog antar-
yang pada hari terakhir dengan lantang
iman tampaknya bukan lagi materi
menjungkirbalikkan sisi harmonis itu
yang perlu didiskusikan tetapi telah
dan menelanjangi sisi lain Bali yang
menjadi karakteristik kebudayaan bagi
sarat warna-warni intrik politik dan
masyarakat Budhakeling. Negosiasi
kekerasan sosial. Degung sepenuhnya
identitas keagamaan semacam ini seakan
mendasarkan analisisnya pada konstruksi
meruntuhkan mitos-mitos bahwa Hindu
kekerasan struktural oleh negara yang
adalah Bali dan sebaliknya. Masyarakat
pada gilirannya melahirkan bentuk-
Budhakeling membuktikan bahwa mitos-
bentuk kekerasan massal yang dianggap
mitos semacam itu tidak sepenuhnya
“normal”. Rujukan historisnya dengan
menggambarkan wajah Bali sebagaimana
sengaja dipilih pada titik peristiwa
selama ini diterima oleh publik.

HARMONI Juli - Desember 2019


Teologi Agama-agama di Indonesia; Menelisik Pengembangan dan Tantangannya 231

kekerasan massal kepada anggota atau Teologi Ujung Tanduk: Catatan dari
yang dicurigai sebagai anggota Partai Tana Toraja
Komunis Indonesia (PKI) pada tahun-
Ulasan reflektif ini berdasar pada
tahun 1965-1966 di Jawa dan Bali.
aktivitas penelitian teologi kontekstual
Sejarah itu, menurut Degung, yang penulis lakukan tahun 2005
telah menjadi catatan kelam dalam Tana Toraja. Aktivitas penelitian ini
ingatan sosial masyarakat Bali. memberikan tantangan tersendiri karena
Banyak orang menyadarinya namun pada saat itulah penulis pertama kali
enggan menceritakannya. Mereka menginjakkan kaki di Tana Toraja.
menyimpannya rapat-rapat di bilik-bilik Namun, beruntung karena sebelum
bawah sadar mereka, bahkan jika mungkin menuju Tana Toraja penulis sempat
melupakannya – kendati tidak pernah menginap di rumah Pdt. Dr. Zakaria
bisa. Degung pun berjuang memecahkan Ngelow di kompleks perumahan dosen
kebisuan mereka. Kebalian pun menjadi STT Intim Makassar. Selama dua hari
sesuatu yang kompleks karena berbagai itu banyak informasi awal yang penulis
kontestasi identitas terjadi di tengah dapatkan tentang kebudayaan Toraja dan
arena-arena politik, ekonomi, turisme, corak Kristianitas Toraja bersama Pdt.
agama, dan kebudayaan glokal. Zakaria Ngelow, melengkapi hal-ihwal
Toraja yang sempat dibaca pada beberapa
Program International Summer literatur. Di Toraja, penulis belajar
School 2012 memberi kesempatan kepada menyesuaikan diri dengan lingkungan
partisipan dari berbagai latar kebudayaan tinggal di rumah seorang anggota jemaat
dan nasionalitas untuk terus mengajukan Gereja Toraja di Buatalulolo.
pertanyaan dan ketidaknyamanan.
Perasaan dan penasaran yang terus Setelah melewati saat-saat
diusik serta memaksa untuk melangkah perkenalan dan adaptasi dengan
keluar dari batasan-batasan identitas lingkungan masyarakat Buatalulolo,
sendiri lantas berjumpa pada satu penulis mendapat momen untuk
titik untuk saling menegosiasikan mengikuti Rambu Solo’, upacara
berbagai identitas tersebut. Program ini kematian orang Toraja. Upacara adat ini
diakhiri bukan dengan suatu simpulan adalah upacara besar yang melibatkan
melainkan dengan kerumitan baru ratusan warga kampung (dari beberapa
bahwa menghidupi perbedaan adalah desa) yang masih punya hubungan
suatu pergulatan kemanusiaan yang kerabat dengan keluarga penyelenggara
hakiki untuk membangun peradaban. Rambu Solo’, serta dilakukan sekitar 7
Dua minggu adalah waktu yang singkat hari 7 malam. Pemandangan khas dari
untuk sebuah perjumpaan tetapi itu upacara Rambu Solo’ adalah iring-iringan
menjadi momen yang menentukan kerbau dengan tanduk yang panjangnya
pilihan: meneruskan spirit menghidupi melebihi tanduk kerbau umumnya. Ini
perbedaan dengan keberanian memang kerbau-kerbau pilihan yang
menegosiasikan ruang bagi diversitas harga per ekor bisa mencapai lebih dari
ataukah menutup lembaran cerita ini Rp 100 juta. Derajat kebangsawanan
untuk kembali ke zona nyaman identitas orang yang meninggal (dan keluarganya)
masing-masing? umumnya diukur dari berapa banyak

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 18 No. 2


232 Steve Gerardo Christoffel Gaspersz, Nancy Novitra Souisa

kerbau yang disertakan dan dikurbankan Orang Toraja tidak menguburkan jenazah
dalam upacara tersebut. Waktu itu tetapi menaruhnya di atas tanah dalam
jumlahnya cukup fantastis: ada sekitar 80 gua-gua alami maupun buatan karena
ekor kerbau pilihan. Percaya atau tidak tanah dipercaya sebagai “dunia jahat”.
percaya, seorang teman pendeta Gereja Tidak mungkin mengubur jenazah orang
Toraja pernah mengatakan bahwa ada yang dikasihi di dunia jahat (tanah); harus
upacara Rambu Solo’ yang menghabiskan di atasnya.
biaya sebesar Rp 30 miliar.
Sekelumit kisah penelitian di atas
Tanduk-tanduk kerbau yang bermaksud memperlihatkan betapa
dikurbankan kemudian dipajang bersusun berharganya tanduk kerbau dalam
pada bagian depan atas tongkonan (rumah kosmologi kebudayaan orang Toraja,
adat) keluarga. Makin banyak susunan yang pada gilirannya mempengaruhi
tanduk kerbau pilihan suatu tongkonan, cara mereka merefleksikan iman Kristen
makin tinggi derajat kebangsawanan secara kontekstual di Toraja. Mereka yang
keluarga orang yang meninggal itu. Dari tidak terhisab dalam kebudayaan Toraja
kenyataan itu maka orang Kristen Toraja bisa saja terperangah mendengar nominal
kerap merefleksikan teologi mereka rupiah yang dihabiskan untuk upacara
dengan mengacu pada realitas dan makna kematian Rambu Solo’; atau menjatuhkan
kematian, serta teologi tanduk kerbau. Di vonis bahwa kebudayaan itu hanya suatu
Toraja, kematian adalah sebuah perayaan pemborosan ekonomis dan berasumsi
di mana orang yang meninggal diantar bahwa lebih baik uangnya dipakai
menuju “surga” dengan sukacita dan pesta untuk membiayai hal-hal lain yang lebih
akbar. Kematian dipahami sebagai krisis positif menurut pikiran dan latar budaya
yang dipulihkan melalui upacara adat non-Toraja. Pengalaman penelitian
Rambu Solo’. Keluarga bahu-membahu tersebut membawa kesadaran pada hal
membiayai pelaksanaan upacara itu dan penting dalam berteologi kontekstual,
menjadi momentum untuk menegakkan yaitu pemahaman mendalam atau thick
martabat keluarga besar. description  (Clifford Geertz) terhadap
fenomena kebudayaan suatu masyarakat
Sementara itu, susunan tanduk
(Geertz, 1977: 3-30). Fenomena
kerbau pada tongkonan menjadi acuan
kebudayaan ibarat jejaring makna-makna
refleksi teologis penghormatan pada
simbolik yang berkelindan membentuk
leluhur dan orangtua. Tanduk kerbau
wujud kebudayaan dan relasi-relasi sosial
terpahami sebagai instrumen kosmik
di dalamnya. Tanpa memahami jejaring
yang menyatukan kehidupan dan
makna-makna simbolik tersebut maka
martabat leluhur dengan kehidupan
orang tidak akan memahami praktik-
dan martabat anak-cucu pada masa kini.
praktik kebudayaan suatu masyarakat.
Ada wilayah “antara” yang terjembatani
dengan simbol tanduk kerbau sehingga Ungkapan “ujung tanduk”
dunia orang mati dan dunia orang hidup dipakai di sini dengan pemaknaan yang
dipahami sebagai dunia yang satu dan khas. Ini adalah kiasan yang berarti
tidak terpisahkan. Totalitas hidup adalah “sedang berada dalam situasi krisis,
kehidupan dan kematian. Bagi orang berbahaya, dan terancam”. Biasanya
Toraja, kematian bukanlah kembali ke orang mengatakan “hidupku di ujung
tanah, tetapi justru berada di atas tanah. tanduk” ketika sedang menghadapi saat-
HARMONI Juli - Desember 2019
Teologi Agama-agama di Indonesia; Menelisik Pengembangan dan Tantangannya 233

saat genting yang mengancam eksistensi “refleksi” mengimajinasikan orang


hidupnya. Ancaman kehidupan itu melakukan sesuatu secara aktif, bukan
sangat serius karena bisa berakibat pasif. Yang dilakukannya adalah
hilangnya sesuatu paling berharga “memikirkan” dan “menghayati” dimensi
dalam hidupnya atau bahkan hilangnya keagamaannya (struktur kepercayaan,
kehidupan itu sendiri alias mati. Jadi, interpretasi teks-teks keagamaan,
“ujung tanduk” utamanya berkonotasi legitimasi doktriner, nilai yang dianut
krisis yang berujung kematian. Kematian sebagai fermentasi ajaran keagamaan
dilihat sebagai realitas yang menakutkan yang membentuk “iman”). Pemikiran dan
karena dapat meniadakan kehidupan. penghayatan tersebut secara konstruktif
Kalau kehidupan sudah tidak ada maka mempengaruhi tindakan praktis dan
berakhirlah eksistensi manusia. Manusia etika: melakukan yang benar, hidup
tidak ada lagi ketika kematian datang. saleh atau takut tuhan dengan indikator
Kehidupan setelah kematian tidak dapat empirik yang terlihat (pergi ke rumah
terbayangkan oleh manusia. Kematian ibadah, berdoa, memberi sumbangan
adalah titik. Oleh karena itu, kematian kepada orang miskin, kontestasi simbol-
adalah krisis ultim. Sedapat mungkin simbol keagamaan, dan lain-lain).
krisis ultim ini ditunda atau diperlambat
Dalam batasan definitif teologi
meskipun disadari sepenuhnya tidak
bukanlah sesuatu yang abstrak begitu
dapat dihentikan.
saja (given), tetapi merupakan sebuah
Lantas, apa hubungan “teologi” dan abstraksi dari realitas dan pengalaman
“ujung tanduk” sehingga harus disatukan konkret yang dihadapi manusia-
menjadi istilah “teologi ujung tanduk”? manusia konkret vis-à-vis realitas misteri
Secara etimologis, teologi merupakan yang menjadi pencarian sepanjang
kesatuan dua kata yang membentuk satu hidup manusia. Jadi, teologi adalah
pengertian:  theos dan logos yang secara “jawaban-jawaban sementara” orang
umum diartikan “pengetahuan atau beragama yang memadukan dimensi
percakapan tentang tuhan”. Istilah ini kenyataan dan misteri. Teologi bukan
kemudian berkembang makin canggih “jawaban final”. Oleh karena itu, pada
seiring dengan perkembangan diskursus setiap zaman orang-orang beragama
teologi pada pemahaman orang Kristen selalu merumuskan “jawaban” atau
(mulanya), lingkungan ajaran gereja, “tanggapan” mereka terhadap isu-isu
dan komunitas kesarjanaan (scholarship) kontekstual yang dihadapi. “Jawaban” itu
dalam ilmu teologi di seminari atau bersifat kontekstual. Artinya, itu hanya
sekolah/fakultas teologi. Kompleksitas berlaku pada suatu zaman dan belum
makna teologi itu sendiri dipengaruhi tentu berlaku pada zaman berikutnya.
oleh persentuhannya dengan cabang Dengan demikian, teologi adalah proses
ilmu-ilmu lain baik secara kolaboratif mencari dan merumuskan jawaban-
maupun distingtif. jawaban [sementara] yang diperlukan
untuk memahami persoalan kemanusiaan
Penulis mengartikannya secara
yang sedang dihadapi atau mengancam
sederhana: teologi adalah pantulan (refleksi)
eksistensi kemanusiaan.
pemikiran dan penghayatan keagamaannya
yang mempengaruhi cara orang bertindak Dengan pengertian semacam
secara praktis dalam kehidupannya. Kata itu maka “teologi ujung tanduk”
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 18 No. 2
234 Steve Gerardo Christoffel Gaspersz, Nancy Novitra Souisa

dipahami sebagai pantulan (refleksi) King, Jr. (Amerika Serikat), Bunda


pemikiran dan penghayatan keagamaannya Theresa (Calcutta), dan Mahatma Gandhi
yang mempengaruhi cara orang bertindak (India) adalah figur-figur utama yang
secara praktis menghadapi krisis dalam mendobrak situasi krisis teologi pada
kehidupannya. Sisipan kata “krisis” zamannya masing-masing. Bonhoeffer
menjadi signifikan karena menempatkan mengorbankan nyawanya di saat gereja-
proses berteologi dalam keadaan yang gereja pada zamannya mengalami krisis
tak menentu (uncertainty), khaos, dilema, teologi, lumpuh berhadapan dengan
ketimpangan, perubahan, ketidakadilan, otoritarianisme Nazi-Hitler; Martin
dan ancaman terhadap kehidupan. Dalam Luther King, Jr. gugur dalam perjuangan
kenyataan semacam itu maka proses mewujudkan mimpinya tentang
berteologi tidak pernah berhenti bergerak kesetaraan umat manusia di mana
untuk menentukan pijakan-pijakan Kristianitas Amerika Serikat mengalami
substansial yang menolong manusia krisis teologi menanggapi realitas
(orang beragama terutama orang Kristen) diskriminasi ras di negara itu; Bunda
bertahan di tengah krisis kehidupan. Theresa menggeluti realitas kemiskinan
Dengan perkataan lain, proses berteologi di Calcutta di saat Kristianitas dan gereja-
selalu disertai oleh kepekaan terhadap gereja mengalami krisis teologi untuk
krisis kemanusiaan (sense of crisis), menjawab masalah keberpihakan pada
sebagaimana ditampilkan dalam Alkitab kaum miskin; Mahatma Gandhi, seorang
melalui tindakan para nabi, Yesus, dan Hindu, yang beraskese dalam perjuangan
para murid yang kemudian disebut dan penderitaan melawan tirani kolonial
rasul-rasul, hingga ke periode-periode nirkekerasan dan mengangkat martabat
pembentukan dan perkembangan jemaat kemanusiaan di saat agama-agama
awal serta beraneka ragam denominasi bungkam menyikapi kolonialisme di
gereja masa kini. India.

Nama-nama besar itu menjadi


Teologi Krisis atau Krisis Teologi?
contoh bahwa krisis teologi dapat terjadi
Teologi Krisis yang dimaksud di sini ketika krisis kemanusiaan pada ruang
adalah teologi ujung tanduk seperti yang dan waktu tertentu tidak menggugah
telah diulas sebelumnya. Lantas, apakah kepekaan berteologi terhadapnya dan
bisa terjadi krisis teologi? Bisa saja. tidak menjadi keprihatinan utama
Krisis teologi terjadi ketika pada setiap yang mengarahkan proses berteologi
titian ruang dan waktu tidak muncul orang Kristen secara partikular. Dengan
refleksi pemikiran dan penghayatan begitu maka tidak muncul jawaban atau
iman sebagai bentuk jawaban sementara tanggapan teologis yang dapat menjadi
terhadap dinamika situasi problematik pijakan substansial orang Kristen
kemanusiaan. Refleksi teologis semacam menghadapi situasi krisis atau “ujung
ini harus muncul lantaran masyarakat tanduk” dalam hidupnya.
membutuhkan pijakan-pijakan substansial
untuk menghadapi tantangan zaman yang SIMPULAN
mengancam eksistensi kemanusiaannya.
Proses berteologi berlangsung dalam
Orang-orang seperti Dietrich kehidupan setiap orang Kristen tanpa
Bonhoeffer (Jerman), Martin Luther terkecuali. Setiap orang [Kristen] punya
HARMONI Juli - Desember 2019
Teologi Agama-agama di Indonesia; Menelisik Pengembangan dan Tantangannya 235

cara merefleksikan pemikiran dan ujung tanduk melainkan “teologi [saling]


penghayatan imannya secara khas. Semua tanduk”. Disiplin ilmu teologi menjadi
refleksi itu perlu didengar, diperhatikan, pongah tanpa mengakui bahwa dirinya
disimak dan dihayati agar orang lain sedang terengah-engah menapaki jalan
dapat belajar bagaimana kearifan terjal krisis yang kian mengganas dan
teologis setiap orang berfungsi menjadi menggerogoti kemanusiaan. Alhasil,
pijakan substansial mengatasi krisis teologi produk sekolah/fakultas teologi
hidupnya. Di sini keberadaan sekolah/ hanya menjadi realitas yang terbayangkan
fakultas teologi menjadi penting untuk (imagined reality) tanpa pernah menjadi
menangkap sinyal-sinyal kegelisahan realitas yang teralami (experienced reality)
suatu zaman lalu mematangkannya – teologi yang hanya mengawang tapi
melalui proses-proses diskursif keilmuan tidak menggawang.
yang disiplin agar “teologi kehidupan”
orang Kristen pada umumnya dapat
UCAPAN TERIMA KASIH
mendorong terbangunnya “kehidupan
[yang] teologis” yang dengannya orang Artikel ini lahir dari proses perjumpaan
Kristen [jemaat] menemukan jawaban keseharian dengan berbagai kelompok
sementara untuk bertahan dalam situasi agama dan budaya. Dengan seluruh
“ujung tanduk”. Kehidupan [yang] keunikan dan kekhasan identitas agama
teologis sebenarnya merupakan proses dan budayanya, mereka menyumbang
mengalami kehidupan sebagai suatu pada sebuah konstruksi refleksi teologis
totalitas yang dinamis, tidak statis. mengenai realitas keberagamaan dalam
Kehidupan diterima, bukan dinegasi. konteks masyarakat majemuk Indonesia.
Kematian pun disyukuri sebagai realitas Oleh karenanya penulis menyampaikan
kehidupan menyongsong misteri. terima kasih terutama kepada para kolega
pemikir teologi yang bergelut dalam
Dari perspektif pembelajaran
dinamika epistemologi seputar konstruksi
teologi terutama pada sekolah-sekolah
teologi agama-agama di Indonesia. Terima
teologi di Indonesia, kajian biblika,
kasih yang dalam pula ditujukan kepada
teologi sistematika, teologi praktika,
berbagai komunitas agama dan budaya
teologi kontekstual, teologi agama-
di Yogyakarta, Bali dan Toraja yang
agama dan teologi pastoral, semestinya
melalui pengalaman kehidupan mereka
memantulkan sense of crisis kemanusiaan
telah memberi muatan epistemologis dan
sehingga mampu menjadi pijakan
aksiologis bagi pembentukan wacana
substansial orang Kristen dan jemaat-
teologi agama-agama yang berbasis pada
jemaat. Kepekaan terhadap krisis
realitas keseharian komunitas Indonesia.
tersebut juga makin diperkuat oleh kajian
Dengannya wacana teologi agama-agama
interdisipliner sehingga teologi ujung
khas Indonesia memperlihatkan wajah
tanduk makin relevan. Tanpa keterbukaan
populis yang genuine, yang lahir dari
dan kesediaan saling melengkapi dalam
pergulatan hidup kerakyatan dan bukan
proses pembelajaran teologi di fakultas
semata-mata suatu produk wacana elitis
ini maka akan terjadi pengerasan batas-
yang hanya bergema di ruang-ruang
batas keilmuan yang jumud. Jika sudah
seminar.
demikian maka bisa terjadi bukan teologi

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 18 No. 2


236 Steve Gerardo Christoffel Gaspersz, Nancy Novitra Souisa

DAFTAR ACUAN

Adiprasetya, Joas. 2018. An Imaginative Glimpse: Trinitas dan Agama-Agama. Jakarta: BPK
Gunung Mulia.
Amirtham, Samuel and Pobee, John S. (eds.). 1986. Theology by the People: Reflections on
doing theology in community. Geneva: WCC.
Berger, Peter and Luckmann, Thomas. 1991. The Social Construction of Reality. London:
Penguin Books.
Bevans, Stephen B. 1992. Models of Contextual Theology. Maryknoll: Orbis Books.
Bourdieu, Pierre. 2002. Outline of A Theory of Practice. Cambridge: Cambridge University
Press.
Burke, Peter and Stets, Jan. 2009. Identity Theory. Oxford: Oxford University Press.
Fealy, Greg and Riccit, Ronni (eds.). 2019. Contentious Belonging: The Place of Minorities in
Indonesia. Singapore: ISEAS.
Gaspersz, Steve G. C. 2019. “Agama-Agama dalam Spiritualitas Mengindonesia:
Perspektif Sosio-Budaya Kristiani” dalam Izak Lattu dkk (eds.), Mozaik Moderasi
Beragama dalam Perspektif Kristen. Jakarta: Dirjen Bimas Kristen dan BPK Gunung
Mulia.
Gaspersz, Steve G. C. 2015. “Menakar ‘Keistimewaan’ di antara Tradisi dan Modernitas:
Sebuah Catatan Penelitian di Yogyakarta” dalam Zaki Habibi (Ed.), Membumikan
Transformasi Konflik. Yogyakarta: Penerbit Komunikasi UII.
Geertz, Clifford. 1977. The Interpretation of Culture. New York: Basic Books.
Habibi, Zaki (ed.). 2015. Membumikan Transformasi Konflik. Yogyakarta: Penerbit
Komunikasi UII.
Knitter, Paul F. (ed.). 2005. The Myth of Religious Superiority: A Multifaith Exploration.
Maryknoll: Orbis Books.
Knitter, Paul F. 2002. Introducing Theology of Religions. Maryknoll: Orbis Books.
Lattu, Izak dkk (eds.). 2019. Mozaik Moderasi Beragama dalam Perspektif Kristen. Jakarta:
Dirjen Bimas Kristen dan BPK Gunung Mulia.
Race, Alan. 1983. Christians and Religious Pluralism: Patterns in the Christian Theology of
Religions. London: SCM Press.
Schmidt-Leukel, Perry. 2005. “Exclusivism, Inclusivism, Pluralism: Tripolar Typology
- Clarified and Reaffirmed” dalam Paul F. Knitter (ed.), The Myth of Religious
Superiority: A Multifaith Exploration. Maryknoll: Orbis Books.

HARMONI Juli - Desember 2019

Anda mungkin juga menyukai