Anda di halaman 1dari 13

BAB II

FRAKTUR TULANG DAN SINUS FRONTALIS

2.1 Pendahuluan

Fraktur tulang frontal dengan keterlibatan terkait sinus frontal relatif jarang cedera pada

trauma maksilofasial, hanya sekitar 5% dari semua cedera maksilofasial. Mayoritas fraktur ini

terjadi pada pria muda (usia rata-rata 30 tahunan). Penyebab tersering adalah kecelakaan

kendaraan bermotor (52%), perkelahian (26%), dan kecelakaan industri (14%). Fraktur pada area

frontalis ini terjadi pada lebih dari 75% pasien yang mengalami fraktur pada wajah. Secara

anatomi letak tulang frontalis dan sinus frontalis yang dekat dengan struktur vital yaitu tulang

orbital dan intrakranial, cedera pada area ini dapat menimbulkan komplikasi yang serius jika

tidak ditangani dengan tepat atau tidak dikelola dengan benar.1,2

2.2 Anatomi

Sinus frontal tidak ada saat lahir. Bagian depan sinus dibentuk oleh pneumatisasi sel

udara ethmoid anterior ke tulang frontal. Bagian ini muncul pada kedua tahun kehidupan dan

memulai fase ekspansi utama dari usia 5 tahun sampai sinus frontalis mencapai ukuran akhirnya

pada akhir usia masa kanak-kanak. Sekitar 4% dari populasi orang dewasa salah satu sinus

frontal tidak terbentuk.2,3

Tulang frontal memberikan kontur cembung pada dahi, frontal bar, dan atap orbital

(Gambar 1a). Frontal bar adalah tulang tebal yang menjembatani sutura zygomaticofrontal

untuk membentuk buttress superior horizontal (transversal) yang memberi struktur dan kekuatan

ke daerah supraciliary dan glabellar, dan membentuk lapisan orbital tipis yang menonjol ke arah
superior dan posterior yang memisahkan fossa kranial anterior dari orbit dan sinus ethmoid

(Gambar 1b). Secara medial, dinding orbita mengelilingi crista galli dan cribriform plate tulang

ethmoid. pada bagian posterior, dinding orbita dan cribriform plate, berbatasan dengan prosesus

triangular anterior dan planum tulang sphenoid untuk membentuk dasar tengkorak anterior.4

Gambar 1. a. Bagian anterior tulang frontal, b. Dasar tengkorak bagian anterior tampak atas (A: ethmoid
anterior, P:ethmoid posterior, S:sinus sphenoid)

2.3 Diagnostik

Anamnesa dan pemeriksaan fisik pada kasus-kasus fraktur tulang maupun sinus frontalis

harus dilakukan secara benar dan komperhensif mengingat kasus fraktur pada area frontalis dapat

disertai dengan trauma pada area orbita maupun intrakranial. Presentasi klinis yang dapat

ditemukan diantaranya laserasi dahi, kontur tidak teratur, nyeri tekan, paraestesia, yang mungkin

disertai dengan bagian depan depresi, edema periorbital dan eksimosis. Seringkali,

pembengkakan dan edema menutupi deformitas pada dahi, dan cedera menjadi jelas setelah

pembengkakan mereda dan edema hilang. Kecurigaan kebocoran cairan serebrospinal (CSF) atau

cedera intrakranial memerlukan konsultasi bedah saraf. Diplopia, penurunan ketajaman

penglihatan, dan restriksi gerakan okuler memerlukan konsultasi dengan oftalmologi.2,3


Pemeriksaan maksilofasial dengan rekonstruksi tiga dimensi (3D) menggunakan

computed tomography (CT) scan merupakan standar emas untuk menunjang diagnosa fraktur

pada tulang dan sinus frontalis (Gambar 2). Potongan aksial dapat digunakan untuk mengamati

dinding anterior dan dinding posterior sinus frontal (gambar 3.1 dan 3.2). Dasar sinus lebih

bagus dievaluasi pada potongan koronal (gambar 3.3). saluran keluar sinus frontalis saluran

keluar lebih baik dievaluasi pada potongan sagital (gambar 3.4) dan koronal.3

Gambar 2. gambar CT tiga dimensi potongan oblik dari fraktur sinus frontal bersamaan dengan fraktur
naso-orbito-ethmoidal 3
Gambar 3.1 CT maksilofasial tanpa kontras potongan aksial menunjukkan fraktur pada dinding anterior
sinus frontalis 3

Gambar 3.2 CT maksilofasial tanpa kontras potongan aksial menunjukkan fraktur pada dinding anterior

dan dinding posterior sinus frontalis 3

Gambar 3.3 CT maksilofasial tanpa kontras potongan koronal menunjukkan fraktur pada dasar
sinus frontalis 3
Gambar 3.4 CT maksilofasial tanpa kontras potongan sagital menunjukkan menunjukkan
obstruksi reses frontonasal dengan jaringan lunak (mukosa edema bercampur
darah).3

2.4 Tatalaksana

Strategi penanganan yang tepat bagi manajemen fraktur sinus frontalis dapat dilakukan

dengan menilai empat parameter anatomis (gambar 4). Parameter ini termasuk adanya: fraktur

dinding anterior, fraktur dinding posterior, fraktur reses nasofrontal, robekan dural (kebocoran

cairan serebrospinal). Temuan ini bisa diterapkan sesuai algoritma terapi untuk menentukan

manajemen terapi selanjutnya pada kasus fraktur sinus frontalis (gambar 5). Jenis tindakan yang

dilakukan meliputi rekonstruksi fraktur melalui endoskopi, reduksi terbuka dan fiksasi internal

(ORIF), obliterasi sinus, kranialisasi sinus, dan yang jarang dilakukan yaitu ablasi sinus

(prosedur Reidel). 2
Gambar 4. Parameter anatomis yang harus diperhatikan dalam tatalaksan fraktur sinus frontalis. Dinding
anterior (kuning), dinding posterior (merah), resesus frontalis (biru), duramater (hijau). 2

Gambar 5. Alogaritma tatalaksana fraktur sinus frontalis3

2.4.1 Repair fraktur sinus frontalis melalui endoskopi


Pendekatan endoskopi diindikasikan jika dinding inferior fraktur menyebabkan

terhalangnya saluran aliran sinus frontal saluran tanpa atau dengan keterlibatan minimal dari

dinding anterior dan dinding sinus. Dalam kasus-kasus ini, dilakukan uncinectomy diikuti oleh

antrostomi rahang atas dan etmoidektomi anterior. Selanjutnya sinus frontal dibuka

menggunakan prosedur Draf I, II, atau III. Kadang-kadang, pendekatan endoskopi dapat

mengatasi kebocoran CSF yang berasal dari dinding posterior bagian bawah. Mukosa pada defek

tulang diangkat dan defek pada lapisan dura dipasang denagn freeze-dried dermis dengan

ketebalan sedang atau fascia lata yang diperoleh dari pasien. Robekan kecil pada lapisan dura

dapat diperbaiki dengan teknik bath plug menggunakan cangkok lemak cuping telinga. Teknik

endoskopi dapat menghindari pembuatan kranialisasi sinus, selama celah nasofrontal tetap

terbuka.3

2.4.2 Reduksi terbuka dan fiksasi internal (ORIF)

Reduksi terbuka dan fiksasi internal dengan miniplates diindikasikan ketika fraktur

melibatkan perpindahan bagian dinding posterior anterior sinus frontalis (gambar 6). Jika garis

fraktur tidak memanjang ke orbital rim, makan tindakan diseksis arcus marginalis atau

mengangkat nervus supraorbital tidak diperlukan. Jika tidak ada kecurigaan obstruksi pada

saluran keluar sinus frontalis, maka dilakukan tindakan reduksi pada tulang yang fraktur dan

difiksasi menggunakan beberapa miniplates atau titanium mesh (gambar 6). Kadang-kadang

potongan tulang harus dilepas dan diamankan secara ex vivo menggunakan titanium mesh

sebelum memasang mesh dan dilakukan rekonstruksi potongan tulang pada tulang frontalis. Pada

kasus dimana terdapat kecurigaan obstruksi pada reses nasofrontalis, maka setelah fragmen

tulang diangkat evaluasi reses nasofrontalis harus dilakukan, bila reses nasofrontalis ditemukan
obstruksi maka harus obstruksi tersebut harus diatasi terlebih dahulu sebelum dilakukan repair

fraktur.3

Gambar 6. (a-d) Bekas luka yang ada digunakan untuk mengekspos fraktur tulang frontal dan tepi
supraorbital kiri. (e-h) Fragmen yang dipindahkan diposisikan dan diperbaiki. fragmen tulang yang
hancur yang tidak dapat diselamatkan dihilangkan. (i-l) defek pada tulang frontalis direkonstruksi
menggunakan implan titanium mesh, diikuti dengan penutupan luka post operasi lapis demi lapis. 1

2.4.3 Obliterasi Sinus Frontal


Obliterasi sinus frontal atau Osteoplastic frontal-sinus obliteration dilakukan pada kasus

trauma berat tulang frontalis yang melibatkan dinding anterior dan posterior serta jalur drainase

sinus frontalis. Pada tehnik operasi ini dilakukan insisi koronal untuk mengekspos fraktur. Flap

perikranial harus dipertahankan untuk evaluasi cedera yang tak diinginkan yang mungkin

ditemukan saat operasi (kebocoran CSF, robekan pada dura,dll). Setelah lokasi fraktur tulang

frontalis terekspos, fragmen dinding anterior tulang frontalis diangkat kemudian letakkan pada

tempat yang sudah disediakan dan dijaga kelembapannya. Pada beberapa kasus perlu dilakukan

tindakan osteotomy pada sinus frontalis agar mendapatkan visualisasi ruang sinus frontalis

secara keseluruhan. Setelah rongga sinus frontalis tervisualisasi dengan baik, dilakukan

debridemen membran sinus dengan menggunakan kuret kemudian bur untuk kuretase rongga

tulang sinus bersama dengan pengangkatan korteks dalam dari dinding sinus untuk

menghilangkan invaginasi membran sinus dari foramina Breschet. Lalu dilakukan obliterasi

sinus dengan bahan autologus yang sudah disiapkan, dapat berupa abdominal fat, tulang

spongiosa, otot, pericranium atau dangan proses osteoneogenesis spontan dengan auto

obliteration.2,5

(A) (B)
(C) (D)

(E)

Gambar 7. Obliterasi sinus frontal. (a) Tampak samping marker insisi bicoronal pada lokasi insisi (b)
flap perikranial (c) Setelah pengangkatan dinding anterior, membran sinus frontal dan epitel
duktus nasofrontal diangkat dengan rotary bur (d) Pengambilan cangkok lemak abdominal
menggunakan sayatan sisi melintang sepanjang 4cm di bawah pusar lalu dilakukan obliterasi
rongga sisi kanan sinus frontal dengan cangkok lemak abdominal (e) Reduksi fragmen
dinding anterior dari sinus frontal yang retak dan di laukan fiksasi kaku menggunakan pelat
dan sekrup. 2,3,5
2.5 Komplikasi

2.5.1 Komplikasi dini

1. Hematoma / seroma: komplikasi ini jarang terjadi terutama jika dilakukan pemasangan

drain paska operasi. Hematoma sering terbentuk pada pendekatan koronal. Oleh sebab

itu penting untuk membiarkan drain tetap terpasang sampai produksinya turun menjadi

30 mL dalam 24 jam. Komplikasi yang lebih serius adalah hematoma intraorbital pada

kasus di mana dinding orbital terlibat dalam fraktur atau selama tindakan repair. Arteri

ethmoidal anterior bisa terluka selama tindakan dengan pendekatan endoskopi, yang

dapat menyebabkan hematoma intraorbital. Komplikasi ini dapat muncul dalam

beberapa menit. Kehilangan pandangan terhadap warna merah adalah tanda klinis yang

bila dibiarkan akan menyebabkan kebutaan dimasa yang akan datang. Jika ini dicurigai,

segera dilakukan kantotomi lateral dan cantolisis inferior oleh bagian oftalmologi.

2. Infeksi : Infeksi luka paska operasi jarang terjadi pada kasus tindakan repair dengan

pendekatan secara koronal mengingat vaskularisasi kulit kepala yang baik. Penggunakan

antibiotik dan drain selama perawatan paska operasi sangat dianjurkan.

2.5.2 KOMPLIKASI LANJUT

1. Mucoceles/mucopyoceles : Beberapa langkah dapat dilakukan untuk mencegah

terbentuknya mukosil. Pertama, dokter bedah harus mendrill mukosa sinus di antara

fragmen tulang pada saat melakukan ORIF, meskipun reses nasofrontal masih utuh.

Pada kasus obliterasi, seluruh mukosa sinus frontal harus didrill dengan perhatian ekstra

diarahkan ke dinding posterior tempat mukosa bisa mengikuti pembuluh darah ke kanal

Breschet, yang menghubungkan pleksus vena dura dan mukosa sinus frontalis. Juga,
nasofrontal recess harus menyatu dengan fasia pada saat tindakan obliterasi. Dalam hal

pendekatan endoskopi, ahli bedah harus berpengalaman dalam melakukan prosedur Draf

untuk memastikan bahwa drainase sinus frontalis akan mengalir ke intranasal.

2. Scar : bekas luka (scar) dapat terjadi apabila dilakukan insisi. Bekas luka yang

menguntungkan adalah bekas luka yang sempit, datar, tanpa hipo- atau hiperpigmentasi.

bekas luka yang tidak diinginkan dapat dicegah apabila pada saat penutupan jaringan

post insisi dilakukan dengan meminimalisasi tegangan pada jaringan. Revisi bekas luka

dan dermabrasi dapat dilakukan jika ada bekas luka yang secara estetika tidak dapat

diterima oleh pasien.

3. Alopesia : komplikasi ini terjadi pada tindakan operasi dengan pendekatan insisi

koronal.
REFERENSI

1. Jeyaraj P. Frontal Bone Fractures and Frontal Sinus Injuries: Treatment Paradigms.

Annals of Maxillofacial Surgery. 2019;9:261–82.

2. S. Bradley E. Frontal Sinus Fracture. In Bailey BJ. Head & Neck Surgery-

Otolaryngology. 5th ed. Lippincot Williams & Wilkins, Philadelphia.2014;84:1255-1271.

3. S Mahdi. Frontal Sinus Fracture. In Symptom Oriented Otolaryngology Head and Neck

Surgery Rhinology and Facial Plastics. Vol.2. Jaypee Brothers Medical

Publishers.2017;2(35):375-382.

4. Stanley B Robert, Kellman M Robert. Frontal sinus, frontal bone, and anterior skull base.

Principles of Internal Fixation of the Craniomaxillofacial Skeleton Trauma and

Orthognathic Surgery. Thieme New York. Stuttgart. 2012:261-268.

5. E. Abla, A. Mamdouh, H. Emad. Frontal Sinus Obliteration Utilizing Autogenous

Abdominal Fat Graft. Macedonian Journal of Medical Sciences. 2018; 6(8):1462-1467.

Anda mungkin juga menyukai