Anda di halaman 1dari 70

PENEGAKAN HUKUM

ATAS PERLINDUNGAN SATWA LIAR

Prosiding “Judicial Workshop”


Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
Cibodas, Jawa Barat, 27 – 29 September 2005
Kerjasama
WWF–Indonesia
TRAFFIC Southeast Asia
Mahkamah Agung Republik Indonesia

Penegakan Hukum
atas Perlindungan Satwa Liar

Prosiding “Judicial Workshop”


Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
Cibodas, Jawa Barat, 27 – 29 September 2005
Penyusun
Species Program WWF–Indonesia
1. Chairul Saleh
2. Imelda Hilaluddin
3. Desmarita Murni

Editor
1. Hanna Tobing
2. Fathi Hanif
3. Retno Setiyaningrum

Foto sampul muka


© WWF–Indonesia/2005

Tim kreatif
PALMedia Creative pro

Jakarta
Oktober 2005
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
inayah-NYA sehingga “Judicial Workshop” Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa
Liar dapat berjalan dengan baik dan lancar serta menghasilkan keluaran-keluaran pen-
ting yang berguna untuk mendukung upaya penegakan hukum perdagangan ilegal satwa
liar di Indonesia.
Judicial Workshop yang dilakukan dalam upaya peningkatan penegakan hukum ter-
hadap perdagangan ilegal satwa liar ini memperoleh tanggapan yang sangat positif dari
para peserta yang terdiri dari aparat penegak hukum (jaksa, hakim) dan instansi terkait
lainnya (PHKA, Bea Cukai dan Karantina). Pertemuan seperti ini dianggap merupakan
hal yang sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan tentang perdagangan ilegal
satwa serta seluk-beluknya, pengetahuan perundang-undangannya serta upaya pene-
gakan hukumnya. Sebagian besar peserta memberikan komitmen untuk mendukung
upaya penegakan hukum terhadap perdagangan ilegal satwa liar sesuai dengan kapasitas
dan kewenangan yang dimiliki serta turut membantu untuk menyebarluaskan pengeta-
huan yang diperoleh, khususnya kepada rekan-rekan kerja lainnya.
Dengan terselenggaranya judicial workshop ini, kami ingin menyampaikan ucapan
terima kasih kepada pihak Mahkamah Agung, khususnya Hakim Agung Susanti Adi
Nugroho, SH, MH dan TRAFFIC Southeast Asia atas dukungan dan kerjasamanya da-
lam penyelenggaraan judicial workshop tersebut. Ucapan terima kasih juga kami sampai-
kan kepada seluruh pemakalah dan seluruh peserta judicial workshop yang telah memberi-
kan kontribusi pengetahuan dan pengalaman yang sangat berharga selama judicial
workshop berlangsung, sehingga kegiatan ini dapat berjalan dengan baik dan sangat pro-
duktif. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih serta penghargaan tak terhingga ke-
pada rekan-rekan WWF yang telah bersusah-payah dengan sepenuh hati membantu
pelaksanaan judicial workshop ini mulai dari persiapan hingga pelaksanaan.
Upaya penegakan hukum terhadap perdagangan ilegal satwa liar memang harus
terus ditingkatkan mengingat bahwa perdagangan ilegal satwa liar ini, dengan modus
yang terus berkembang, merupakan suatu ancaman yang sangat serius terhadap kelesta-
rian berbagai jenis satwa, termasuk satwa langka, misalnya orangutan kalimantan dan

i
sumatera, harimau sumatera, badak sumatera, gajah sumatera, penyu dan sebagainya.
Prosiding Judicial Workshop Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar diharap-
kan dapat dimanfaatkan sebagai masukan untuk mendukung upaya penegakan hukum
terhadap perdagangan ilegal satwa liar. Semoga satwa liar dapat lestari di habitatnya, se-
hingga dapat memberikan manfaat secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan
manusia.
Hormat kami,

Chairul Saleh
Head of Policy and Trade
Species Program WWF–Indonesia

Prosiding “Judicial Workshop”


ii Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
Daftar Isi
Kata Pengantar — i
Daftar Isi — iii
1 Pendahuluan
1. Latar Belakang — 1
2. Tujuan — 2
3. Metodologi — 2
4. Peserta Judicial Workshop — 3
5. Tanggal dan Tempat Pelaksanaan — 3
6. Organisasi Pelaksana — 3

2 Poses Lokakarya
Hari Pertama Lokakarya
1. Sambutan dan Pembukaan
oleh Dr. Mubariq Ahmad, Direktur Eksekutif WWF–Indonesia — 5
2. “Convention on International Trade in Endangered Species/CITES”
disampaikan oleh Dra. Faustina Hardjanti MSc, Direktorat Jenderal Per-
lindungan Hutan dan Konservasi Alam/(PHKA) Departemen Kehutanan — 8
Intisari Sesi Tanya Jawab — 15
3. “Perspektif Illegal Wildlife Trade di Asia Tenggara”
disampaikan oleh Chris Shepherd, TRAFFIC Southeast Asia — 16
Intisari Sesi Tanya Jawab — 23
4. “Perdagangan Ilegal Hidupan Liar di Indonesia: Potret Penegakan Hukum”
disampaikan oleh Chairul Saleh, WWF–Indonesia — 25
Intisari Sesi Tanya Jawab — 27
Hari Kedua Lokakarya
1. Review Lokakarya Hari Pertama — 33
2. “Implementasi Peraturan Terkait Perlindungan Hidupan Liar”
disampaikan oleh Sulaiman N. Sembiring, Institut Hukum Sumber Daya
Alam/ IHSA — 36
3. Penegakan Hukum Lingkungan dalam Praktek Peradilan
oleh Herry Santoso, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan — 40
Intisari Sesi Tanya Jawab — 40

iii
4. Diskusi Kelompok — 42
a. Studi Kasus Kelompok 1 — 42
b. Studi Kasus Kelompok 2 — 45

3 Rumusan Hasil Lokakarya


Benang Merah — 49

4 Lampiran
1. Agenda Kegiatan Lokakarya — 51
2. Liputan Media — 53
2.1 RRI Online, Rabu 28 September 2005
“Enam Bandara Indonesia Dijadikan Pintu Keluar Penyelundupan Sat-
wa Liar” — 53
2.2 LKBN Antara, Rabu 28 September 2005
“WWF: Koordinasi Antar Penegak Hukum Perlu untuk Kurangi Perda-
gangan Satwa Liar Ilegal — 54
2.3 Koran Tempo, Kamis 29 September 2005
“Bandara, Pintu Penyelundupan Satwa Langka” — 56
3. Alamat dan Kontak Person Peserta — 58

Prosiding “Judicial Workshop”


iv Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
Pendahuluan
1. Latar Belakang
1
Perlindungan keanekaragaman hayati di Indonesia, termasuk satwa liar, memper-
oleh perhatian besar pemerintah, sebagaimana tertuang dalam naskah perundangan,
ataupun peraturan tingkat nasional dan daerah. Namun, kehadiran berbagai kebijakan
tersebut belum menjamin perlindungan atas satwa liar yang dimaksudkan. Perdagangan
ilegal satwa liar, baik yang dilindungi ataupun tidak dilindungi baik untuk perdagangan di
dalam negeri maupun perdagangan internasional, termasuk diekspor ke beberapa kota
besar di Asia Tenggara masih sering terjadi. Dalam sorotan media massa, sumber masa-
lah peredaran ilegal satwa liar dikupas dari berbagai segi, antara lain kebanggaan (presti-
gious) sebagai pemelihara satwa langka atau kolektor satwa awetan bagi kalangan mampu,
keleluasaan melakukan perburuan dan perdagangan tidak sah, keterlibatan oknum apa-
rat pemerintah, keterbatasan kemampuan petugas untuk melakukan pengawasan, serta
ancaman terhadap kelestarian dan rapuhnya perlindungan atas kekayaan alam. Menurut
analisis yang dilakukan oleh TRAFFIC Southeast Asia yang diterbitkan tahun ini1, satwa
langka orangutan dan owa, masih marak diperdagangkan di pulau Jawa, Bali, dan Kali-
mantan. Hasil pemantauan perdagangan satwa liar oleh WWF–Indonesia mengindikasi-
kan bahwa perdagangan ilegal satwa liar memiliki jaringan yang luas, hingga ke luar ne-
geri, serta melibatkan banyak pihak, serta jumlah uang yang sangat besar.
Untuk mendukung upaya mengurangi perburuan dan perdagangan ilegal satwa liar
termasuk satwa yang dilindungi, selama beberapa tahun terakhir WWF–Indonesia telah
melakukan berbagai kegiatan antara lain penelitian, program pemantauan perdagangan
ilegal satwa liar, memberi dukungan biaya operasional terhadap tim patroli pengamanan
yang dijalankan pemerintah dan kampanye anti perdagangan ilegal satwa liar, advokasi
kebijakan, pelatihan peningkatan kapasitas petugas, dan sebagainya.
Meskipun perdagangan atau pemilikan ilegal satwa liar, termasuk satwa yang di-
lindungi merupakan perbuatan melawan hukum, namun belum terlalu banyak kasus di-

1
(a) Nijman, Vincent: “In Full Swing: An Assessment of Trade in Orangutans and Gibbons on Java and Bali,
Indonesia”, A TRAFFIC Southeast Asia Report, 2005.
1
(b) Nijman, Vincent: “Hanging in the Balance: An Assesment of Trade in Orangutans and Gibbons on
Kalimantan, Indonesia”, TRAFFIC Southeast Asia, September 2005.

1
proses secara hukum dan banyak para pelaku yang dengan mudah dapat meloloskan diri
dari jerat hukum. Sejumlah kasus yang sempat berlanjut ke proses peradilan umumnya
ditutup dengan vonis ringan yang relatif tidak sebanding dengan nilai kerusakan ekologi
yang diakibatkan. Salah satu penyebab belum optimalnya upaya penegakan hukum ter-
hadap kasus perdagangan ilegal satwa liar, adalah terbatasnya pengetahuan aparat pene-
gak hukum terhadap masalah perdagangan ilegal tersebut, termasuk perundangan-
undangan yang relevan yang dapat digunakan dalam proses peradilan. Dalam kaitan ini,
diperlukan dukungan keahlian dan pertukaran informasi antara lembaga swadaya ma-
syarakat yang bergerak di bidang konservasi dengan lembaga-lembaga yang bergerak di
bidang peradilan dan penegakan hukum. Pemahaman tersebut merupakan landasan di-
laksanakannya Judicial Workshop ”Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar”,
yang diselenggarakan oleh WWF–Indonesia bekerja sama dengan TRAFFIC Southeast
Asia dan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

2. Tujuan
Sejalan dengan permasalahan yang dijabarkan sebelummya, judicial workshop ini di-
rancang untuk mencapai tujuan rangkap sebagai berikut:
1. Kalangan pejabat dan aparat lembaga peradilan serta lembaga penegak hukum
terkait paham akan kerawanan perdagangan ilegal satwa liar serta resiko ancaman-
nya terhadap kelestarian satwa yang diperdagangkan.
2. Kalangan pejabat dan aparat dari lembaga peradilan dan penegak hukum paham
tentang peraturan CITES (Convention on International Trade in Endangered of Wild Spe-
cies Flora and Fauna) dan peraturan perundangan nasional yang relevan, yang per-
lindungan melalui pengaturan perdagangan internasional satwa liar.
3. Kalangan pejabat/aparat peradilan dan penegak hukum dan LSM yang bergiat di
bidang pengurangan perdagangan ilegal satwa liar, bersama-sama mengupas faktor
pendukung dan penghambat peradilan kasus perdagangan ilegal satwa liar serta
mengkaji cara mendukung keberhasilan prosekusi kasus perdagangan tak sah satwa
liar.

3. Metodologi
Beberapa metoda yang diterapkan demi tercapainya tujuan judicial workshop seperti
tersebut di atas terdiri dari:
1. Presentasi oleh narasumber dan tanya-jawab dalam forum;

Prosiding “Judicial Workshop”


2 Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
2. Fasilitasi pembahasan contoh kasus peradilan dalam kelompok kecil dan pelaporan
kembali ke forum panel; dan
3. Perumusan kesimpulan dari hasil pembahasan kelompok
Narasumber utama di bidang hukum diwakili oleh Mahkamah Agung Republik In-
donesia dan Institut Hukum Sumberdaya Alam (IHSA), dan narasumber di bidang kon-
servasi jenis dan perdagangan ilegal satwa liar yang diwakili oleh WWF–Indonesia dan
TRAFFIC Southeast Asia.
Untuk melengkapi pembahasan oleh kelompok, peserta judicial workshop dibekali
dengan kertas paparan, buku acuan, contoh kasus peradilan, kompilasi dan hand-outs
tentang perundangan, peraturan, dan pengenalan jenis-jenis satwa liar yang dilindungi.

4. Peserta Judicial Workshop


Peserta utama judicial workshop mewakili lembaga atau badan pemerintahan yang
berwenang atas perlindungan dan penegakan hukum tentang perdagangan satwa liar,
yaitu: Departemen Kehutanan, jajaran Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam (PHKA), aparat Kejaksaan dan Pengadilan. Peserta lainnya mewakili
instansi terkait dengan peredaran satwa liar, yaitu Bea Cukai dan Karantina serta lem-
baga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang konservasi. Judicial workshop diikuti
oleh 34 peserta. Rincian peserta judicial workshop dapat dilihat pada lembar Lampiran.

5. Tanggal dan Tempat Pelaksanaan


Judicial Workshop dilaksanakan selama 3 hari, yaitu tanggal 27 – 29 September 2005
bertempat di:
Wisata Agro Inkarla
Jl. Singabarong, Cibodas, Jawa Barat

6. Organisasi Pelaksana
Judicial Workshop diselenggarakan oleh WWF–Indonesia, bekerja sama dengan
TRAFFIC Southeast Asia dan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Prosiding ”Judicial Workshop”


Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar 3
Prosiding “Judicial Workshop”
4 Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
Proses Lokakarya
Hari Pertama Lokakarya

1. Sambutan dan Pembukaan


2
oleh DR. Mubariq Ahmad,
Direktur Eksekutif WWF–Indonesia

Assalamualaikum Wr. Wb
Yang terhormat:
Ibu Susanti Adi Nugroho,
perwakilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, atau yang mewakili,
Bpk. Adi Susmianto,
Dir. Konservasi Keanekaragaman Hayati, Ditjen PHKA, atau yang mewakili,
Chris Shephard, TRAFFIC Southeast Asia, dan
Para Peserta dan Undangan Lokakarya.
Selamat datang dalam Workshop Penegakan Hukum Perlindungan Satwa Liar.
Penanggulangan masalah perburuan dan perdagangan satwa dilindungi hingga kini
masih menjadi hal yang sangat kompleks dan memerlukan kerjasama dan koordinasi an-
tar pihak yang terkait. Berbagai naskah perundangan ataupun peraturan ditingkat nasio-
nal dan daerah mengenai perlindungan satwa liar telah diterbitkan, namun belum men-
jamin perlindungan atas satwa liar yang dimaksudkan. Banyak kasus perdagangan satwa
liar yang masih terus ditemukan, baik yang dilakukan antar kota di Indonesia, maupun
antar negara di Asia Tenggara hingga ke beberapa negara Eropa. Menurut laporan
TRAFFIC yang dikeluarkan pertengahan Juni lalu, perdagangan orangutan di Jawa dan
Bali saja diperkirakan berkontribusi terhadap kepunahan orangutan sekitar 1000 ekor
rata-rata per tahunnya, atau sekitar satu sampai tiga ekor per harinya!
Kondisi yang sangat mengkhawatirkan!
Laporan yang dirilis awal September lalu juga menunjukkan satu fenomena yang
perlu mendapat perhatian serius dari banyak pihak. Bukan saja bahwa perdagangan
orangutan di Kalimantan tidak mengalami penurunan dalam 15 tahun terakhir, tetapi
juga bahwa meski banyak orangutan dan owa yang disita oleh aparat selama satu dekade
terakhir di Kalimantan, namun hingga saat ini tidak satupun pelakunya dihukum! Tam-
paknya, salah satu alasan lemahnya penegakan hukum adalah bahwa bagi aparat hukum,

5
termasuk hakim dan penuntut umum perdagangan dan pemeliharaan satwa dilindungi
ini belum dianggap sebagai kejahatan serius. Sementara di sisi lain tingginya permintaan
pasar; persepsi salah dalam hal “menyayangi” satwa liar; prestise atau kebanggaan
mengoleksi satwa awetan bagi kalangan mampu; kurangnya pemahaman fungsi ekologi
satwa; serta kebutuhan ekonomi menjadi alasan penyebab utama maraknya aktifitas per-
buruan dan perdagangan satwa liar.
Hadirin peserta lokakarya dan undangan yang saya hormati,
WWF–Indonesia menyadari bahwa program pendidikan dan penyadaran menjadi
komponen penting dalam upaya meningkatkan pemahaman terhadap status perlin-
dungan satwa liar, termasuk untuk mendukung efektifitas penegakan hukum di lapang-
an. Oleh karena itu, forum-forum yang memberikan kesempatan terjadinya pertukaran
informasi, pendidikan, dan peningkatan kapasitas, koordinasi, dan sinergi antara para
pihak, termasuk aparat penegak hukum dan lembaga peradilan perlu terus dilakukan.
Dukungan keahlian juga dibutuhkan untuk mendukung upaya peningkatan pemahaman
dan efektifitas penegakan hukum terhadap perdagangan satwa liar. Berangkat dari latar
belakang pemikiran itulah, maka WWF–Indonesia bekerjasama dengan TRAFFIC
Southeast Asia dan Mahkamah Agung Republik Indonesia menyelenggarakan loka-
karya bagi lembaga peradilan dan aparat penegak hukum ini.
Lokakarya ini dirancang sebagai forum untuk bertukar informasi guna mening-
katkan pemahaman peserta akan kerawanan perdagangan satwa liar, sekaligus untuk
mensosialisasikan peraturan CITES (internasional dan nasional) yang melindungi satwa
liar dari perburuan dan perdagangan ilegal. Melalui lokakarya ini diharapkan para peser-
ta yang merupakan wakil dari berbagai lembaga terkait (pejabat pemerintah, kejaksaan,
pengadilan, kepolisian, LSM, media, dan lembaga terkait lainnya) dapat bersama-sama
mengupas faktor pendukung dan penghambat peradilan kasus perdagangan ilegal satwa
liar serta mengkaji cara mendukung keberhasilan prosekusi kasus terkait.
Hadirin yang terhormat,
Sebagai upaya untuk mengurangi ancaman perburuan dan perdagangan satwa liar
yang dilindungi, selama beberapa tahun terakhir WWF–Indonesia telah melaksanakan
program pemantauan perdagangan satwa liar, selain juga memberi dukungan terhadap
tim patroli yang dijalankan pemerintah, melakukan program pendidikan dan penyadar-
an, dan terlibat secara aktif dalam forum-forum nasional dan internasional yang mem-
bahas kebijakan mengenai perlindungan satwa liar. Tak kalah pentingnya dari program-
program di atas WWF–Indonesia juga memfasilitasi berbagai kegiatan yang mendukung
pelestarian satwa liar di habitat aslinya.

Prosiding “Judicial Workshop”


6 Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
Saya yakin kita semua sepakat bahwa upaya penegakan hukum secara konsisten,
konsekuen dan kontinyu mutlak diperlukan untuk mengurangi ancaman perburuan dan
perdagangan satwa liar, sekaligus memberikan efek jera bagi pelakunya. Untuk itu, siner-
gi dan koordinasi diantara pemangku pihak, termasuk Badan Karantina Satwa, Bea Cu-
kai, LSM, dan lembaga-lembaga lainnya, dalam penanganan kasus-kasus tertentu juga
harus ditingkatkan. Koordinasi antar pihak sangat penting, karena modus perdagangan
dan penyelundupan satwa liar kini semakin canggih, misalnya melalui pembiusan, pe-
malsuan dokumen, pencampuran dengan spesies yang mirip, melalui rute ilegal, ataupun
disembunyikan di dalam container ke luar negeri. Contoh yang disebutkan terakhir ditun-
jukkan dengan kasus yang terjadi awal Juli lalu: petugas bea dan cukai Taiwan menemu-
kan 140 kilogram tulang dan tengkorak harimau sumatera yang diselundupkan di dalam
container dari Jakarta. Kasus penyelundupan tulang harimau terbesar selama lima tahun
terakhir di Asia ini membuktikan lemahnya pengawasan di pintu masuk dan keluar per-
batasan di Indonesia.
Hadirin yang terhormat,
Saya akhiri sambutan ini dengan mengucapkan selamat berlokakarya. Semoga loka-
karya ini akan menghasilkan masukan-masukan yang bermanfaat dalam upaya penegak-
an hukum terhadap pelaku perdagangan satwa liar di Indonesia.

Terima kasih.

Wassalammualaikum Wr. Wb
DR. Mubariq Ahmad

Prosiding ”Judicial Workshop”


Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar 7
2. “Convention on International Trade in Endangered Species/
CITES”
Disampaikan oleh Dra. Faustina Hardjanti MSc,
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam/(PHKA)
Departemen Kehutanan

Workshop diawali dengan sesi presentasi oleh PHKA yang disampaikan oleh Dra.
Faustina Hardjanti MSc, Kepala Seksi CITES Direktorat Jenderal PHKA Departemen
Kehutanan, mengenai Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna
and Flora (CITES) atau Konvensi Internasional tentang Perdagangan Spesies Flora dan
Fauna Liar yang Terancam Punah.
Sesi tersebut dimoderatori oleh Chairul Saleh, Head of Policy and Trade WWF–
Indonesia. Dalam pengantar sesi tersebut, Chairul menyampaikan beberapa gambaran
umum mengenai CITES diantaranya bahwa Indonesia telah meratifikasi ketentuan
CITES sejak tahun 1978. Namun demikian, dijelaskan pula munculnya sejumlah ken-
dala dalam implementasi peraturan CITES, sehingga Indonesia sempat beberapa kali
memperoleh ancaman 'total trade ban' dari sekretariat CITES, misalnya yang terjadi pada
tahun 1998, karena Indonesia tidak memiliki aturan nasional yang dapat mendukung
implementasi peraturan CITES. Pada tahun 2004 dalam Conference of Party (COP) ke-12
regulasi CITES di Indonesia masuk ke dalam kategori 3, artinya ada peraturan tapi tidak
terlalu kuat untuk mendukung pelaksanaan peraturan CITES, khususnya dalam hal pe-
negakan hukum. Namun saat ini regulasi di Indonesia telah kembali naik ke peringkat
satu terkait dengan dikeluarkannya SK No. 447 tahun 2003 tentang Tata Usaha Peng-
ambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar.

CITES
CITES dikenal juga sebagai Washington Convention, karena ditandatangi di Washing-
ton D.C. CITES ditandatangani pada tanggal 3 Maret 1973, dan berlaku secara resmi
pada 1 Juli 1975, yang artinya telah beroperasi selama 30 tahun lebih.
CITES adalah kesepakatan antar negara, dengan tujuan untuk menjamin bahwa hi-
dupan liar berupa flora dan fauna yang diperdagangkan secara internasional tidak dieks-
ploitasi secara tidak berkelanjutan yang pada akhirnya dapat menyebabkan punahnya
atau langkanya sumberdaya tersebut di habitat alam.

Prosiding “Judicial Workshop”


8 Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
Anggota CITES
Jumlah negara yang meratifikasi CITES hingga saat ini berjumlah 160 negara dan
jumlah ini cenderung terus mengalami peningkatan, karena semakin banyak negara yang
menginginkan untuk dapat memanfaatkan keanekaragaman hayatinya secara berke-
lanjutan. Penambahan jumlah anggota CITES pada setiap CoP (Convention of the Parties)
dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 – Skema Jumlah Negara Anggota CITES

160

140

120

100

80

60

40

20

0
1975 CoP1 CoP2 CoP3 CoP4 CoP5 CoP6 CoP7 CoP8 CoP9 CoP10 CoP11 Sep-02

Jumlah negara anggota meningkat setiap saat

Pemetaan Perdagangan dalam CITES


Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor utama bagi negara-negara
tujuan dengan jenis-jenis hidupan liar sebagai terlihat pada Tabel 2. berikut:

Tabel 2. Negara Tujuan dan Jenis Satwa Yang Diekspor Dari Indonesia
No. Negara Tujuan Jenis yang dieksport
1 USA Koral, anggrek, kulit reptil dan binatang peliharaan
2 Eropa Koral, kulit, binatang peliharaan, ramin dan burung
3 Jepang Arwana, anggrek, kulit dan pakis
4 China/Hongkong/Taiwan Kura-kura, ular hidup, kulit dan pakis

Negara-negara pengimpor dan pengekspor utama perdagangan jenis CITES lain


ialah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Spesies yang menjadi obyek perdagangannya di
antaranya meliputi gaharu, kulit, kura-kura, dan ramin.

Prosiding ”Judicial Workshop”


Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar 9
Sedangkan untuk skema perdagangan intenasional dalam CITES dapat dilihat pada
Gambar 2. di bawah ini:

Gambar 2 – Skema Pemetaan Perdagangan dalam CITES

Daerah pengekspor utama Daerah pengimpor utama


Amerika Selatan Amerika Utara
Amerika Tengah Eropa
Afrika Asia Timur
Asia

Daerah pengimpor dan pengekspor utama


Asia
Afrika bagian Selatan
Timur Tengah
Eropa Timur

Cara Kerja CITES


Jenis-jenis yang diatur CITES dibagi atas 3 apendiks, yaitu:
Apendiks I :
Termasuk jenis-jenis yang terancam punah. Perdagangan Internasional (komer-
sial) sangat dilarang.
Apendiks II :
– Termasuk jenis yang saat ini belum terancam punah namun perdagangannya
harus dikontrol agar tidak menjadi terancam.
– Termasuk jenis-jenis yang mirip dengan jenis-jenis yang telah masuk dalam
Apendiks II.
– Perdagangan Internasional diperbolehkan tetapi dengan kontrol, termasuk
dengan pemberian kuota.
Apendiks III :
Termasuk jenis-jenis yang diproteksi oleh suatu negara dan negara tersebut meng-
inginkan negara anggota lain untuk membantu mengawasi perdagangan internasional
jenis-jenis tersebut. Perdagangan Internasional diperbolehkan tetapi dengan kontrol
(umumnya tidak seketat Apendiks II).

Prosiding “Judicial Workshop”


10 Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
Legislasi Nasional Indonesia
Legislasi nasional untuk pelaksanaan CITES, sedikitnya harus dapat mengatur 4 hal
pokok, yaitu:
– Penetapan satu atau lebih Management Authority (Otoritas Pengelola) dan Scienti-
fic Authority (Otoritas Ilmiah).
– Melarang perdagangan spesimen yang melanggar ketentuan Konvensi.
– Memberikan hukuman/sanksi terhadap pelanggaran di atas.
– Memungkinkan penyitaan spesimen yang diperdagangkan atau dimiliki secara
ilegal.
CITES mengatur ekspor, re-ekspor dan impor tumbuhan dan satwa liar baik hidup
maupun mati dan bagian-bagian serta turunan-turunannya (untuk jenis yang termasuk
dalam Apendiks).
Pengaturan tersebut berdasarkan pada suatu sistem perizinan dan pemberian serti-
fikat yang hanya dapat diterbitkan apabila syarat tertentu telah dipenuhi dan izin tersebut
harus menyertai “barang” pada saat meninggalkan atau memasuki wilayah suatu negara.
Bagi jenis-jenis yang termasuk Apendiks I dan II persyaratan yang paling penting
adalah bahwa perdagangan internasional dari jenis tersebut tidak ”merusak” kelang-
sungan populasinya di habitat alam atau “Non detrimental finding” (Article IV CITES).

Keuntungan Adanya CITES


a. Adanya regulasi internasional mengenai perdagangan hidupan liar yang efektif dan
konsisten bagi konservasi dan pemanfaatan yang lestari, serta adanya kontrol di dua
pintu (ekspor dan impor).
b. Terjaminnya kerjasama Internasional tentang perdagangan dan konservasi,
pengembangan legislasi dan penegakannya, pengelolaan sumberdaya dan pening-
katan pengetahuan konservasi.
c. Terjaminnya partisipasi sebagai pelaku di tingkat global dalam mengelola dan me-
lestarikan hidupan liar di tingkat internasional.

Peraturan Perundangan dalam Pelaksanaan CITES di Indonesia


Aturan dalam konvensi CITES tidak menghalangi negara anggota untuk:
a. Menyusun legislasi nasional yang lebih ketat.
b. Menyusun legislasi nasional yang melarang perdagangan, pemilikan atau transpor-
tasi spesies yang tidak termasuk Apendiks CITES.

Prosiding ”Judicial Workshop”


Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar 11
Otorita CITES
a. Management Authority (Otoritas Pengelola), bertanggung jawab dalam aspek admi-
nistratif dari pelaksanaan CITES (legislasi, pelaksanaan legislasi, penegakan hu-
kum, izin, laporan tahunan dan dua tahunan, komunikasi dengan institusi CITES
lain).
b. Scientific Authority, (Otoritas Ilmiah) bertanggung jawab untuk memberikan saran
kepada Management Authority mengenai non-detriment findings dan aspek-aspek ilmiah
lainnya mengenai implementasi dan pemantauan perdagangan internasional, ter-
masuk memberikan usulan kuota.

Otorita CITES yang Ditunjuk


a. Article IX dari Konvensi memberikan mandat bagi setiap negara Pihak untuk me-
nunjuk satu atau lebih Management Authority (Otoritas Pengelola) yang berkompeten
untuk menerbitkan izin atau sertifikat atas nama negara Pihak, dan satu atau lebih
Scientific Authorities (Otoritas Ilmiah) untuk memberikan saran kepada Management
Authority.
b. Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 menunjuk Direktorat Jenderal Perlindung-
an Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) sebagai Management Authority CITES dan
LIPI sebagai Scientific Authority CITES.

Alasan Diperlukannya Legislasi Nasional


CITES merupakan kesepakatan internasional yang tidak dapat diterapkan secara
langsung di tingkat nasional.
a. Kesepakatan-kesepakatan masih berupa “mandat” kepada negara Pihak untuk me-
laksanakannya.
b. Karena perintah dalam CITES banyak menyangkut masalah penegakan hukum,
dan masalah lain yang terkait dengannya, maka diperlukan legislasi nasional untuk
melaksanakannya.

Perintah Konvensi untuk Mengembangkan Legislasi


Article VIII merupakan perintah CITES agar seluruh negara Pihak mengembang-
kan legislasi yang dapat memberikan hukuman terhadap pelanggaran-pelanggaran ke-
tentuan CITES.

Penyitaan yang Melibatkan Spesimen Hidup


Spesimen yang disita karena melanggar aturan Konvensi harus diserahkan urusan-
nya kepada Management Authority. Setelah konsultasi dengan Management Authority negara

Prosiding “Judicial Workshop”


12 Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
asal, spesimen hidup harus dikembalikan ke negara asal, atau ditempatkan di Rescue
Centre atau Pusat Penyelamatan Satwa (PPS).

Resolusi 9.9 dan 9.10: Confiscation (Penyitaan)


Resolusi 9.9 memerintahkan semua negara importir yang mendapati spesimen yang
diekspor dengan melanggar ketentuan CITES agar menolak impor tersebut dan mem-
beritahukan segera Management Authority negara eksportir, dan negara eksportir harus
mengambil tindakan agar spesimen tersebut tidak diperdagangkan lagi.
Resolusi 9.10, memungkinkan bahwa spesimen mati dari Apendiks II dapat di-
lelang untuk kepentingan penegakan hukum dan administrasi CITES. Bagi spesimen
hidup, sebaiknya dikembalikan ke negara eksportir.
Bagi Apendiks I, untuk spesimen hidup, dikembalikan ke negara eksportir, atau
untuk spesimen mati, ditempatkan di institusi ilmiah/pendidikan atau dimusnahkan.

CoP 13 Merevisi Resolusi 9.11


Tentang disposal (penanganan) spesimen hasil penyitaan dan akumulasi perdagang-
an ilegal bagi jenis Apendiks II dan III, revisi resolusi merekomendasikan bahwa spesi-
men sitaan dalam bentuk mati termasuk bagian-bagiannya, sebaiknya dimusnahkan.
Revisi resolusi ini juga memerintahkan negara pihak untuk tidak menjual hasil sitaan.
Untuk Apendiks I, revisi Resolusi merekomendasikan kepada negara para pihak untuk:
– Mengadopsi dalam legislasinya agar importir atau pembawa yang dinyatakan bersa-
lah menanggung semua biaya penyitaan, penyimpanan, penghancuran dan pemus-
nahan, termasuk pengembalian spesimen ke negara asalnya atau negara re-ekspor ;
dan
– Jika legislasi belum ada dan negara asal barang tersebut atau negera re-ekspor
menginginkan spesimen hidup dikembalikan, bantuan finansial harus didukung
untuk memfasilitasi pengembalian spesimen tersebut.

Penerapan CITES dalam Legislasi Nasional


Undang-undang No 5 tahun 1990 tentang konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekositemnya dijadikan sebagai legislasi dasar utama untuk pelaksanaan CITES di
Indonesia.
UU No.5/1990 mengandung kelemahan mendasar untuk pelaksanaan CITES,
yaitu:
a. Hanya mengkategorisasi jenis menjadi dilindungi dan tidak dilindungi.
b. Bagi jenis dilindungi ketentuan mengenai sanksi terhadap pelanggaran diatur jelas
dan cukup memadai.

Prosiding ”Judicial Workshop”


Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar 13
c. Bagi jenis tidak dilindungi, tidak ada ketentuan tentang sanksi apabila terjadi pe-
langgaran, padahal banyak jenis tidak dilindungi di Indonesia yang termasuk dalam
Apendiks CITES.
Jelas sekali di sini bahwa kebijakan kita tidak konsisten dengan ketentuan Pasal VIII
yang menyebutkan bahwa legislasi nasional harus dapat memberikan sanksi terhadap se-
luruh jenis yang termasuk dalam Apendiks CITES apabila dilanggar.
Karena kelemahan tersebut, legislasi Indonesia masuk dalam kategori: Tidak dapat
dipakai untuk pelaksanaan CITES (kategori III), sehingga Indonesia diancam untuk di-
embargo pada tahun 1999.

Proyek Legislasi Nasional


Indonesia mengadopsi Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1999 tentang Pe-
manfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar (dan PP No. 7 tahun 1999 tentang Pengawet-
an Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar).
Beberapa kekosongan aturan terhadap jenis tidak dilindungi diisi di dalam PP 8,
termasuk sanksi, yang mencoba mengkaitkan dengan berbagai Undang-undang untuk
sangsi pidana.
Ketentuan CITES secara makro diadopsi di dalam PP 8 tahun 1999. Ketentuan
CITES secara yang lebih teknis dan rinci diatur dalam Peraturan Menteri (atau apabila
perlu Keppres).
Dampak dirumuskannya kebijakan-kebijakan nasional tersebut ialah LEGISLASI
posisi Indonesia naik ke kategori II, walaupun belum sempurna dan masih terancam
embargo apabila hingga 31 Desember 2003 tidak diperbaiki. Dengan dikeluarkannya
Keputusan Menteri Kehutanan No. 447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambil-
an atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar, maka ancaman embar-
go bagi Indonesia dapat dihindari.

Ketentuan Teknis Setingkat Menteri


Ketentuan-ketentuan teknis yang harus diisi
– Peredaran dalam negeri dan luar negeri yang mengacu CITES yaitu diatur pada
Kepmenhut No. 447/Kpts-II/2003.
– Ketentuan yang mengatur mengenai Penangkaran, Lembaga Konservasi, Tukar
Menukar Spesimen, Disposal spesimen sitaan, telah ditandatangani oleh Menteri
Kehutanan (tetapi belum diterbitkan).

Prosiding “Judicial Workshop”


14 Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
Disamping itu direncanakan pula Revisi Undang-undang No. 5 tahun 1990 untuk
menyelaraskan dengan CITES secara mendasar.

Peraturan Perundang-undangan Indonesia


Dengan adanya satu set legislasi nasional yaitu: UU No. 5/1990, PP No.7/1999, PP
No. 8/1999, Kepmenhut No. 447/2003, dan Permenhut No.19/2005, telah menjadikan
legislasi Indonesia masuk sebagai kategori I CITES, yaitu kategori mampu secara kese-
luruhan untuk pelaksanaan CITES.
Perkembangan mengenai peraturan perundang-undangan atau legislasi di tingkat
nasional harus dilaporkan di dalam laporan dua tahunan kepada Sekretariat CITES.

Intisari Sesi Tanya Jawab:


Pengaturan CITES Mengenai Ekspor Satwa Apendiks II
Dalam SK Menhut No. 447 ditegaskan bahwa untuk mengirim satwa ke luar negeri
harus ada izin ekspor, baik itu untuk tumbuhan dan satwa liar yang termasuk dalam
Apendiks I maupun II. Untuk memperoleh informasi lebih lanjut mengenai izin ekspor
pengiriman satwa ke luar negeri juga dapat menghubungi BKSDA DKI. PHKA, sebe-
lumnya telah menyampaikan beberapa peraturan hukum/SK kepada instansi terkait
untuk dijadikan pedoman di lapangan. WWF dan Departemen Kehutanan telah mener-
bitkan buku identifikasi jenis satwa dilindungi sebagai tambahan pedoman, sebagaimana
dibagikan ke peserta.
Satwa dilindungi yang tergolong Apendiks II (contoh: ikan napoleon) dan Apen-
diks III (contoh: arwana irian) yang ingin diperdagangkan, harus ditangkarkan terlebih
dahulu untuk bisa diperdagangkan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Kepmenhut No.
447/ 2003 (diolah dari pertanyaan Suwardi dari Karantina Ikan Soekarno Hatta).

Prosiding ”Judicial Workshop”


Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar 15
3. “Perspektif Illegal Wildlife Trade di Asia Tenggara”
Disampaikan oleh Chris Shepherd,
TRAFFIC Southeast Asia

Presentasi Chris Shepherd, Program Officer TRAFFIC Southeast Asia, diawali deng-
an menjelaskan TRAFFIC dan kegiatan programnya kepada para peserta workshop. Sesi
ini dimoderatori oleh Hanna Tobing, Program Support Coordinator WWF–Indonesia.
TRAFFIC merupakan sebuah organisasi non-pemerintah yang didirikan oleh
WWF dan IUCN. Kegiatan TRAFFIC meliputi pengawasan perdagangan satwa liar di
tingkat regional dan sub-regional.
Fokus pekerjaan TRAFFIC meliputi pengawasan implementasi peraturan CITES.
Misi TRAFFIC yaitu memastikan bahwa perdagangan tumbuhan dan satwa liar tidak
akan menimbulkan ancaman kepunahan terhadap jenis yang diperdagangkan.
TRAFFIC Southeast Asia/TRAFFIC-SEA berkantor di Kuala Lumpur, Malaysia,
sedangkan kantor pusat TRAFFIC International berlokasi di Inggris.
Shepherd memaparkan bahwa kondisi orangutan saat ini tersebar di negara-negara
Asia Tenggara. Sebuah kenyataan yang ironis, mengingat orangutan sebenarnya hanya
berasal dari Indonesia dan sebelah timur Malaysia. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Ja-
wabannya ialah karena adanya perdagangan ilegal orangutan. Dijelaskan juga bahwa saat
ini Malaysia sedang melakukan penyelidikan DNA orangutan untuk mengetahui asal-
usul orangutan yang saat ini ada di semenanjung Malaysia.

Tujuan Perdagangan
Perdagangan satwa internasional dilakukan untuk memasok berbagai permintaan,
baik dalam lingkup domestik maupun internasional.
Shepherd melemparkan pertanyaan kepada peserta, “Apakah alasan perdagangan
tumbuhan dan satwa liar?”. Peserta merespon dengan berbagai jawaban, antara lain:
sebagai bahan obat tradisional, bahan makanan, binatang peliharaan, dekorasi, koleksi
dan kebun binatang, serta untuk mendapatkan uang. Satwa diperdagangkan, baik secara
sah maupun tidak sah, karena beragam alasan, dan alasan utamanya adalah untuk di-
makan, untuk obat tradisional, dijadikan hewan piaraan, untuk obyek pajangan dan
hiasan, dan untuk kebun binatang serta untuk dijadikan koleksi.
Sementara pada beberapa tingkat perdagangan, sebagian orang terlibat dalam
perdagangan tumbuhan dan satwa liar dalam upaya mempertahankan kelangsungan
penghasilannya. Di samping itu banyak pelaku yang sebenarnya sudah kaya raya dan,

Prosiding “Judicial Workshop”


16 Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
agar dapat bertahan hidup, sebenarnya mereka tidak perlu bergantung pada perdagang-
an tersebut.

Asal Mula dan Tujuan


Ada beberapa spesies yang ditangkarkan dengan pengawasan untuk tujuan komer-
sial, tetapi sebagian besar satwa yang diperdagangkan umumnya berasal dari alam.
Lokasi penangkaran walaupun diawasi seringkali digunakan sebagai mekanisme
untuk memasukkan hasil tangkapan dari alam ke dalam perdagangan yang sah.
Kurangnya kendali manajemen dan penegakan hukum dalam mengatur hal ini
membuat banyak spesies yang populasinya di habitat alami berada di ambang ke-
punahan.

Asia Tenggara Sebagai Sumber Perdagangan Satwa Internasional


Negara-negara di Asia Tenggara sangat kaya dengan keanekaragaman hayatinya se-
hingga menjadi sasaran pemasokan perdagangan beragam satwa dunia. Perdagangan
dilakukan untuk dijadikan hewan peliharaan, kebun binatang dan koleksi pribadi, mulai
dari burung hingga gajah.
Banyak barang-barang pajangan dan hiasan yang dibuat, dari berbagai spesies,
antara lain, gading, tanduk, tanduk rusa, cangkang penyu dan anggrek.
Daging dan obat tradisional diperdagangkan dalam lingkup domestik dan dengan
negara-negara tetangga yang seringkali berlangsung dalam volume besar, misalnya saja
ular, trenggiling dan penyu, dan pengirimannya mencapai hitungan ton, dan sebagian
besar ditujukan ke Cina. China saat ini terbuka dengan pasar global dan merupakan
pengimpor nomor 1 (satu) sisik penyu, labi-labi, ular, dsb.
Kayu, anggrek dan produk hutan bukan kayu (non timber forest product) lain yang
sangat berharga berasal dari Asia Tenggara seringkali dipanen dalam volume yang tidak
terkendali dan tidak menjaga faktor kelestariannya dalam upaya memenuhi permintaan
dalam skala internasional yang semakin bertumbuh pesat.

Asia Tenggara Juga Merupakan Konsumen Satwa dari Wilayah Lain yang Pesat
Pertumbuhannya
Meningkatnya pembelian berjalan seiring dengan meningkatnya pertumbuhan pa-
sar untuk barang-barang mewah, seperti hewan piaraan yang langka dari daerah luar, hi-
dangan satwa yang mahal di restoran-restoran dan kepemilikan atas kebun binatang
swasta dan koleksi hewan.

Prosiding ”Judicial Workshop”


Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar 17
Perdagangan burung dan reptil yang langka dan mahal yang berasal dari luar wi-
layah Asia Tenggara, yang eksport sebelumnya terbatas di Asia Tenggara terutama ke
Singapura, sekarang dengan mudah dijumpai di pusat-pusat penjualan utama seperti
Kuala Lumpur dan Bangkok dan, akhir-akhir ini, di Jakarta.

Peran Negara-negara di Asia Tenggara dalam Perdagangan


a. Indonesia
Indonesia adalah sumber berbagai satwa yang dihargai tinggi di lingkup perdagang-
an satwa piaraan (pets) skala internasional.
Dengan hanya memiliki 21 pelabuhan yang telah ditetapkan untuk keluar-masuk
spesimen yang dicatat oleh CITES, namun terdapat banyak pelabuhan lain di nega-
ra ini, (yang memiliki 17.000 pulau), sehingga memungkinkan satwa bebas keluar
masuk secara ilegal.
Dengan permintaan yang cukup besar dari dalam negeri akan hewan piaraan di In-
donesia, dan semakin menipisnya persediaan di alam, maka semakin banyak jumlah
spesies dari luar yang terlihat di pasar Indonesia, yang masuk melalui Singapura dan
Malaysia.
Produk macan dari provinsi Riau dan Sumatera Utara diselundupkan ke Malaysia
dan Singapura, dan seringkali juga ke tempat tujuan yang lebih jauh. Penyu ber-
leher ular dari Indonesia Timur dijual di pasar internasional sebagai hewan pelihara-
an baru.

b. Thailand
Thailand merupakan salah satu pusat perdagangan satwa yang berasal dari Indone-
sia. Begitu juga Singapura. Satwa asal Indonesia yang dijual antara lain jenis-jenis
burung seperti burung kakatua dan kulit reptil.
Spesies burung dan reptil dari luar yang diperdagangkan dalam skala-besar dijual se-
bagai hewan peliharaan di pasar Bangkok.
Kulit macan dan barang pajangan lain dibawa dari negara-negara tetangga dalam
upaya memenuhi permintaan setempat dan juga untuk diekspor kembali ke negara-
negara lain.
Obat tradisional yang berasal dari spesies yang berasal dari negara-negara tetangga
dijual di Bangkok.
Spesies dari Indonesia, seperti kakatua raja, berhasil disita dari kapal yang tengah
memasuki Thailand.

Prosiding “Judicial Workshop”


18 Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
Gading gajah dijual terang-terangan di seluruh Thailand, seringkali kepada para
pembeli dari luar negeri yang selanjutnya membawa secara ilegal keluar dari negara
tersebut melalui jalur udara.

c. Singapura
Mengekspor kembali hewan liar, tanaman, produknya serta turunannya yang ber-
asal dari negara-negara lain (semua ekspor spesies luar Singapura tidak diper-
bolehkan).
Memiliki permintaan akan burung dan reptil yang termasuk satwa yang sangat
mahal dalam skala-besar untuk industri, satwa peliharaan, dan sebagainya.
Mengimpor penyu dan kura-kura darat/air tawar dari Indonesia untuk konsumsi
dalam negeri dan untuk diekspor kembali.
Merupakan pusat perdagangan utama kulit reptil. Terdapat beragam kasus dimana
penyalur produk-produk ini menggunakan surat ijin palsu dan jenis penipuan lain-
nya.
Produk canggih, seperti shatoosh, kadang diselundupkan melalui jalur udara dalam
upaya memenuhi permintaan fashion orang-orang kaya.

d. Laos
Gading dan produk lain dijual di Vientiane kepada para turis, yang kebanyakan ber-
asal dari Cina. Hewan hidup diselundupkan ke Vietnam untuk dijual di restoran-
restoran.
Trenggiling dan kura-kura air tawar serta kura-kura darat dikirim ke Vietnam,
kemudian ke Cina. Banyak dari antaranya berasal dari Malaysia.

e. Kamboja
Hewan hidup diselundupkan ke Thailand dan Vietnam. Barang pajangan dijual
ke Thailand dari berbagai pasar skala-kecil di perbatasan. Obat tradisional, seperti
yang dibuat dari Slow Loris atau kukang (Nycticebus coucang), digunakan di dalam
negeri dan dijual ke negara-negara tetangga.

f. Vietnam
Vietnam juga menjadi salah satu pusat perdagangan satwa asal Indonesia, yaitu un-
tuk gading dan trenggiling yang diselundupkan ke China. Dengan kata lain, Viet-
nam merupakan pintu penyelundupan ke China. Di Vietnam juga diperdagangkan
penyu asal Indonesia (yang katanya diperoleh dari nelayan) yang selanjutnya akan
dibawa ke China.

Prosiding ”Judicial Workshop”


Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar 19
Obat tradisional digunakan di dalam negeri dan diekspor kembali ke negara-negara
lain seperti Cina. Daging dan obat tradisional dikonsumsi di dalam negeri atau
dibeli dari negara-negara tetangga.
Kura-kura air tawar dan kura-kura darat, disamping ular dan trenggiling, dikonsum-
si di dalam negeri atau diekspor ke Cina. Banyak di antaranya berasal dari bagian-
bagian lain di Asia Tenggara.
Produk penyu laut dijual di Vietnam. Produk penyu sisik dan penyu hijau yang di-
buat di Vietnam kemudian diekspor ke Cina, Korea Selatan, dan Jepang

g. Myanmar
Myanmar juga merupakan pintu perdagangan satwa asal Indonesia untuk tujuan
obat tradisional dan makanan untuk diekspor ke China. Sumber barang pajangan,
seperti tanduk, kulit, dan tanduk rusa, untuk Thailand dan Cina. Ekspor spesies se-
perti ular dalam skala-besar ke Cina melalui jalan darat. Kulit macan dan produk lain
diselundupkan melalui jalur udara dan diekspor kembali melalui pasar di perbatasan
seperti Tachileck. Barang pajangan yang berasal dari macan berasal dari India dan
dijual di Tachilek. Kepala burung enggang yang besar juga dijual sebagai benda
pajangan.

h. Filipina
Burung diselundupkan melalui kapal laut dari Indonesia Timur untuk memenuhi
permintaan dalam negeri dan untuk diekspor kembali. Ikan batu karang dikumpul-
kan dan diekspor ke tempat tujuan konsumen, seperti Hong Kong. Produk penyu
laut diekspor secara ilegal ke Malaysia.

i. Malaysia
Bandara Udara Internasional Kuala Lumpur merupakan pusat utama perdagangan
satwa dan pintu terbesar penyulundupan satwa asal Indonesia untuk diselundupkan
ke pasar Internasional setiap harinya. Bandara inilah yang menghubungkan para pe-
dagang dari Indonesia dan Malaysia dengan para pembeli di Cina, Hong Kong,
Jepang, Amerika Utara, Eropa, dan tempat lainnya. Bandara ini merupakan sumber
utama trenggiling, ular dan penyu. Banyak juga yang dikapalkan dari Malaysia tetapi
berasal dari Indonesia.
Jumlah koleksi dan kebun binatang skala-kecil terus bertambah, disamping me-
ningkatnya keterlibatan kebun binatang besar dan pusat-pusat hiburan dalam skala
internasional. Malaysia, misalnya, memiliki 45 kebun binatang. Sungguh merupa-

Prosiding “Judicial Workshop”


20 Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
kan jumlah yang sangat besar mengingat besar pula jumlah satwa yang dibutuhkan
sebagai koleksi.
Restoran menjual daging satwa, seperti macan tutul, beruang dan kambing hutan,
yang seringkali untuk melayani para pengunjung dari Singapura, disamping untuk
memenuhi permintaan yang signifikan di dalam negeri.
Omzet yang diterima pedagang orangutan di Malaysia perbulannya ialah
USD 20.000. Di Malaysia, sesekali pelaku perdagangan orangutan ditangkap dan
dikenakan sanksi oleh pengadilan Malaysia. Sanksi yang dijatuhkan biasanya denda
USD 100.
Satwa melintasi perbatasan Thailand/Malaysia dalam dua arah dan mencakup be-
ragam spesies.
Python curtus – banyak dieksploitasi untuk perdagangan kulit.

Rute Perdagangan
Satwa relatif dengan mudah melintas secara ilegal dari satu negara ke negara lain di
seluruh Asia Tenggara.
Hampir semua jalan yang melintasi perbatasan internasional digunakan oleh para
penyelundup, karena pemeriksaan di perbatasan seringkali tidak ketat.
Di Asia Tenggara, rute-rute terbesar perdagangan satwa ialah: Air Cargo Medan me-
nuju Kuala Lumpur International Airport kemudian menuju ke Pasar Cina Selatan.
Bandara udara dan pelabuhan laut utama banyak digunakan oleh para penyalur sat-
wa ilegal, yang seringkali menggunakan pernyataan palsu untuk muatan mereka, atau sa-
rana lain, agar dapat menembus pabean. Sebagian pihak bandara udara yang berwenang
tidak menyadari akan tanggungjawab mereka dalam menegakkan peraturan mengenai
perdagangan satwa dan para pedagang memanfaatkan kelemahan ini.
Sebagian rute perdagangan utama mencakup:
– Muatan udara dari Medan, Sumatera Utara ke Bandara Udara Internasional Kuala
Lumpur, kemudian ke pasar di Cina selatan.
– Produk satwa diambil melalui jalan darat dari Laos dan Kamboja ke Vietnam, di-
mana sebagian besar dikirim ke Cina.
– Telur penyu laut dari pulau penyu Filipina masuk ke Sabah, kemudian ke Kuala
Lumpur.
– Satwa dari India dibawa ke Myanmar melalui jalan darat dan udara, kemudian ke
Thailand, Cina, dan negara lain.

Prosiding ”Judicial Workshop”


Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar 21
– Burung liar dari Indonesia dijual di Singapura, Malaysia, dan Thailand, yang sering-
kali diduga dari penangkaran yang diawasi.

Metoda Pengangkutan
Satwa diperdagangkan melalui sejumlah sarana, termasuk jalur udara, laut, dan
darat. Perdagangan dalam volume besar ke Cina dari negara-negara yang jauh di Asia
Tenggara seringkali dilakukan melalui jalur udara, karena kecepatan dan efisiensi modus
angkutan ini dapat menurunkan angka kematian secara signifikan. Untuk spesimen mati,
lebih sering menggunakan jalur laut.
Muatan satwa lain dalam volume besar dibawa melalui jalur darat dengan meng-
gunakan truk, yang seringkali melintasi sejumlah negara.
Barang-barang yang lebih kecil dan jumlah yang lebih sedikit seringkali diselundup-
kan melalui barang bawaan atau secara pribadi. Di sini termasuk spesies seperti Indian
Star Tortoise (jenis kura-kura darat), yang seringkali diselundupkan ke Singapura dan
Kuala Lumpur.
Contoh bagaimana perdagangan ilegal satwa dapat terjadi, antara lain melalui:
• Edaran daftar harga
• Pameran
• Internet/e-mail
• Surat-menyurat
• Surat kabar
• Papan pengumuman
• Kelompok/klub spesialis
• Outlet eceran
• Majalah spesialist
• Telepon/faks yang dijadikan target
• Canvassing (perjalanan keliling)
• Pameran dagang
• Outlet perdagangan grosir
• Dari mulut ke mulut

Prosiding “Judicial Workshop”


22 Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
Teknik Penyulundupan
Karena di beberapa negara penegakan hukum terasa longgar, maka penjualan satwa
secara terbuka sudah lazim dan hampir tidak dibutuhkan teknik penyelundupan yang
cermat. Namun di negara-negara lain di mana penegakan hukum dipandang lebih ketat,
teknik yang diterapkan lebih canggih.
Sebagian mencakup:
• Ruang tersembunyi dalam container pengapalan
• Menyembunyikan barang yang dibawa langsung
• Menyembunyikan barang dalam barang bawaan
• Mencampurnya dengan spesies “yang terlihat serupa”
• “Pengepakan-ganda”
• Disembunyikan di antara muatan lain
• Pernyataan palsu
• Dokumen tidak akurat
• Rute ilegal

Ruang Tersembunyi untuk Penyelundupan


Sebagian besar upaya penyelundupan berhasil dilakukan dan satwa tetap berada di
pasar.

Intisari Sesi Tanya Jawab:


Praktek Perdagangan Ilegal Satwa Dilakukan Secara Terorganisir
Faktor yang menyebabkan praktek perdagangan ilegal satwa itu sangat terorganisir
ialah dikuasainya, secara umum, pasar perdagangan satwa oleh mafia dengan suatu ja-
ringan yang sangat ketat (rapid) dan kuat, di mana sebagian besar lahan mereka disedia-
kan oleh aparat TNI (diolah dari pertanyaan Bayu Pamungkas dari WWF–Indonesia).

Peran Serta Negara ASEAN dalam CITES


Negara-negara ASEAN telah ikut berperan serta meratifikasi CITES. Negara-
negara ASEAN tersebut juga telah mengadopsi ketentuan CITES tersebut ke dalam hu-
kum nasionalnya (diolah dari pertanyaan Sulaiman N. Sembiring dari IHSA).

Akses Keluar Penyelundupan bagi Perdagangan Ilegal Satwa dari Indonesia


Penyelundupan dari Jakarta dapat memiliki akses keluar karena didorong oleh akses
penjagaan di karantina dan Bea Cukai yang tidak ketat, baik di bandara maupun di pela-
buhan. Bea Cukai pada dasarnya tidak berani memeriksa paket ekspor karena bila tin-
dakan membuka paket tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan (terutama pada spe-

Prosiding ”Judicial Workshop”


Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar 23
simen hidup), maka Bea Cukai harus mengganti rugi kepada eksportir. Hal inilah yang
membuat Bea Cukai cenderung malas melakukan pemeriksaan ketat. Di sisi lain Bea Cu-
kai memiliki misi untuk mendukung ekspor, sehingga pemeriksaan secara ketat akan di-
lakukan apabila didahului dengan adanya laporan intelejen tentang upaya penyelundup-
an tumbuhan dan satwa (diolah dari pertanyaan N.R. Fajar dari LKBN Antara).

Tindakan Utama untuk Melindungi Tumbuhan dan Satwa Liar


Untuk menghentikan perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa liar, beberapa poin
penting yang harus dicermati, antara lain:
Pertama, ekspor dari 5 atau 6 titik pelabuhan utama, seperti: Medan, Surabaya,
Jakarta, Banjarmasin, Bali harus dijaga ketat.
Kedua, bila ada pelaku yang tertangkap, harus dihukum dengan tegas dan diberikan
sanksi yang besar, perlu diingat bahwa pedagang bisa mengantongi omzet USD 20,000
per bulannya (diolah dari pertanyaan Endah Detti Pertiwi, dari Pengadilan Negeri Bogor).
Terdapat banyak faktor yang melatarbelakangi mengapa isu perdagangan satwa
tidak “bonafit” di Indonesia, antara lain:
– Lemahnya sanksi
– Lemahnya kapasitas yang dimiliki aparat
– Trik transaksi yang makin hebat dan canggih
– Kemampuan hakim di pengadilan dalam menterjemahkan istilah masih lemah,
misalnya: istilah “pemeliharaan” diterjemahkan hakim dengan pemahaman yang
terbalik, sehingga malah dapat menyelematkan pelaku dari jerat hukum (diadopsi dari
Tanggapan Edi Sensudi dari BKSDA DKI).
Menyarankan kepada para hakim rasanya agar lebih jeli dalam membaca UU. Se-
hingga pengimplementasian peraturan perundang-undangan itu haruslah didasari atas
dedikasi yang tinggi (diolah dari Tanggapan Endang Mashudi dari PHKA Departemen
Kehutanan).

Prosiding “Judicial Workshop”


24 Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
4. “Perdagangan Ilegal Hidupan Liar di Indonesia: Potret Penegakan
Hukum”
Disampaikan oleh Chairul Saleh,
WWF–Indonesia

Presentasi dimulai dengan memberikan paparan gambaran umum dan definisi Per-
dagangan ilegal tumbuhan dan satwa liar. Sesi ini dimoderatori oleh Fathi Hanif dari
WWF– Indonesia.

Definisi Perdagangan Ilegal Tumbuhan dan Satwa Liar


Perdagangan Ilegal Tumbuhan dan satwa liar dibagi 2 kategori:
– Perdagangan secara ilegal tumbuhan dan satwa liar
– Perdagangan tumbuhan dan satwa liar dilindungi.

Perdagangan Ilegal Tumbuhan dan Satwa Liar di Indonesia


Perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa liar cenderung meningkat baik jenis mau-
pun jumlahnya (terjadi karena tingginya demand atau permintaan pasar). Perdagangan
ilegal ini memberi keuntungan besar bagi pelaku. Bisnis ini membentuk rantai per-
dagangan dari hutan hingga eksportir/importir. Bisnis ini melibatkan banyak pihak, ter-
masuk eksportir tumbuhan dan satwa, oknum petugas keamanan, oknum Departemen
Kehutanan, dsb. Melibatkan pengusaha asing, contohnya Malaysia. Hal ini merupakan
ancaman serius bagi kepunahan tumbuhan dan satwa.

Mengapa Hal ini Masih Terjadi?


Beberapa faktor yang menyebabkan hal ini terus berlangsung ialah sebagai berikut:
a. Masih tingginya permintaan (termasuk untuk kebutuhan obat tradisional Cina).
b. Belum menjadi agenda nasional.
c. Kemiskinan pada masyarakat pinggir hutan.
d. Paradigma yang salah menyayangi satwa.
e. Masih lemahnya penegakan hukum.

Modus Perdagangan Ilegal Tumbuhan dan Satwa Liar


Beberapa tindakan yang menjadi modus dalam perdagangan ilegal tumbuhan dan
satwa liar di Indonesia, antara lain:
a. Pemalsuan jenis, (yaitu misalnya dengan mencantumkan keterangan informasi yang
berbeda pada kemasan).
b. Bersamaan dengan penyelundupan kayu, terutama untuk kasus penyelundupan
orangutan dan gibbon.

Prosiding ”Judicial Workshop”


Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar 25
c. Mencampur jenis spesies ilegal dengan jenis yang legal.
d. Menggunakan kapal perang dan kapal penumpang.
e. Berlindung di balik “kepentingan adat”.
f. Menggunakan “nenek-nenek”. Beberapa kasus perdagangan ilegal satwa di Lam-
pung menggunakan orang lanjut usia untuk menjadi kurir perdagangan ilegal satwa.
g. Dicampur dengan barang antik.
h. Dijadikan perhiasan, seperti kuku dan taring harimau, “carapace” penyu, pipa gading
gajah dan sebagainya.

Upaya Penegakan Hukum


Penegakan hukum yang dilakukan aparat cenderung dirasakan belum optimal hasil-
nya. Beberapa faktor yang menjadi kendalanya di antaranya:
a. Upaya penegakan hukum telah dilakukan, namun masih belum memberikan “efek
jera”.
b. Terkesan masih “pandang bulu”.
c. Terkendala aturan hukum (mis. aturan hukuman maksimal).
d. Sosialisasi perundang-undangan yang kurang memadai.
e. Minimnya panduan idenifikasi tumbuhan dan satwa liar (terutama yang dilindungi).
f. Kewenangan PPNS yang belum “penuh”.
g. Dana untuk penegakan hukum terbatas.
h. Belum adanya mekanisme koordinasi yang jelas antara aparat penegak hukum.

Langkah-langkah yang Perlu Dilakukan


a. Revisi perundang-undangan (mis. UU No. 5 tahun 1990).
b. Menjadikan perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa liar menjadi agenda nasional
(didukung adanya “political statement”).
c. Mengembangkan dan melakukan pelatihan panduan penegakan hukum.
d. Kampanye dan program penyadartahuan secara terus menerus (termasuk kam-
panye penegakan hukum).
e. Membangun jaringan yang efektif di antara aparat penegak hukum.
f. Meningkatkan kerjasama antara aparat hukum dengan Lembaga Swadaya Masya-
rakat.
g. Mengembangkan informasi intelejen yang dapat diakses oleh aparat penegak
hukum.

Prosiding “Judicial Workshop”


26 Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
Intisari Sesi Tanya Jawab:
Putusan Pengadilan Kasus Wildlife Crime
a. Putusan Pengadilan Harus Mempertimbangkan Segi Sosiologis, Yuridis
dan Filosofis
Putusan pengadilan tidak dapat diukur secara matematis, karena juga harus mem-
pertimbangkan segi sosiologis, yuridis dan filosofis. Negara Indonesia menganut
sistem Eropa Kontinental yang berbeda dengan sistem Anglo Saxon. Pengadilan
Negeri tunduk pada yurisprudensi Mahkamah Agung. Terdapat 2 macam yurispru-
densi Mahkamah Agung, yaitu yurisprudensi biasa dan yurisprudensi tetap. Tiap-
tiap pengadilan memiliki standarisasi hukuman. Kewenangan PPNS dirasakan te-
lah bersifat cukup proaktif, khususnya di Sulawesi, Lampung, dan daerah-daerah
lainnya. Hal penting yang sebetulnya perlu dijaga ialah koordinasi antara POLRI
dan Penuntut Umum. Media juga hendaknya menyorotinya tidak hanya kelemah-
an-kelemahan pengadilan semata, tetapi juga hal-hal baik dan positif pengadilan
tersebut kepada publik (diolah dari tanggapan Frans Leimena dari Pengadilan Negeri
Jakarta Barat).
b. Aspek Ekologis Sebagai Suatu Landasan Pembuatan Keputusan
Para hakim hendaknya mempertimbangkan aspek ekologis sebagai landasan pem-
buatan keputusan. Perlu direnungkan bahwa apabila suatu hal tidak memiliki dam-
pak besar, maka mengapa harus dihukum tinggi. Para hakim dan jaksa harus me-
mahami dampak-dampak besar kerusakan/kerugian ekologi, sehingga apabila
kelak terdapat pelaku perusak ekologi, maka dapat dipertimbangkan untuk dijatuh-
kan sanksi yang memadai bagi mereka (diolah dari tanggapan Sulaiman N. Sembiring dari
IHSA).

Peran Saksi Ahli


Peran saksi ahli diharapkan dapat betul-betul professional. Ia diharapkan tidak saja
dapat memprediksikan secara ekologi dampak ke depan wildlife crime, tetapi juga dapat
memprediksikannya secara finansial. Disadari hingga saat ini, belum ada pakar yang me-
nulis kerugian dari hilangnya suatu spesies (diolah dari tanggapan Edi Sensudi dari PHKA).
Sekitar 3 tahun terakhir, Kementerian Lingkungan Hidup (LH) telah memberikan
terobosan dengan mengikutsertakan saksi ahli dalam isu pencemaran lingkungan, salah
satunya ialah dalam hal kebakaran hutan. LH pun mengidentifikasi para pakar di bidang-
nya. Terobosan mengenai peran saksi ahli seperti yang telah dilakukan LH ini rasanya da-
pat pula diadopsi oleh Direktorat Perlindungan Hutan Direktorat Jenderal PHKA
(diolah dari masukan Fathi Hanif dari WWF –Indonesia).

Prosiding ”Judicial Workshop”


Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar 27
Perlunya Koordinasi Antara WWF–TRAFFIC dengan Balai Besar Karantina
Ikan
Pada prakteknya, Balai Besar Karantina Ikan telah melakukan pengawasan secara
optimal. Pemeriksaan berulang-ulang juga kerap dilakukan. Walaupun disadari bahwa
para penyelundup juga tak kalah cerdik. Suwardi dari Balai Besar Karantina Ikan meng-
harapkan koordinasi yang lebih erat antara WWF dan TRAFFIC khususnya dalam hal
informasi. Ia juga mengemukakan bahwa saat ini Balai tidak memiliki ketercukupan da-
na untuk membantu penyelidikan.
Terhadap spesies ikan yang akan diekspor, re-ekspor dan diimpor, terlebih dahulu
harus dilakukan suatu tindakan karantina. Hal ini sesuai ketentuan UU 16/92 tentang
Karantina dan PP No 8/99 Tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar, khususnya
pada Pasal 25 (diolah dari tanggapan Suwardi dari Balai Besar Karantina Ikan Soekarno Hatta).

Bea Cukai Memiliki Kewenangan Penuh Melakukan Penyelidikan


Dalam hal melakukan pemeriksaan barang ekspor, bea cukai sangat rawan untuk di-
periksa. Bea Cukai sangat pasif dalam pemeriksaan, khususnya dalam hal pemeriksaan
barang-barang ekspor. Sehingga seringkali pemeriksaan intensif hanya akan dilakukan
bila ada pelaporan dari instansi berwenang terkait. Saat ini dari Bea Cukai memiliki MoU
dengan POLRI, sehingga Bea Cukai memiliki kewenangan penuh untuk melakukan
penyidikan (diolah dari tanggapan Imam Suhendro dari Direktorat Bea dan Cukai).

Peran Satwa Sebagai Penjaga Ekosistem


Satwa memiliki peranan yang penting dalam menjaga keutuhan ekosistem yang
menjadi habitatnya. Salah satu peran penting yang dilakukan satwa adalah berperan se-
bagai penyebar biji (seed dispersal). Dengan fungsi ini maka proses regenerasi hutan dapat
terus berlangsung secara lestari. Hutan yang lestari akan memberikan manfaat besar bagi
manusia sebagai sumber daya genetik (genetic resources), terjaminnya tersedianya air, men-
cegah bahaya longsor dan banjir, terjaganya iklim mikro (micro climate). Satwa memang
harus dilestarikan untuk melestarikan hutan dan menjaga tetap tersedianya sumber daya
genetik yang sangat dibutuhkan manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidup
(diolah dari paparan Chairul Saleh dari WWF–Indonesia).

PPNS Perlu Berperan Aktif dalam Kasus Illegal Wildlife Trade


PPNS hendaknya mengambil peran aktif dalam menangani kasus perdagangan
ilegal tumbuhan dan satwa liar dengan melaporkan kasus tersebut ke Kejaksaan. Dengan
demikian, maka pihak Kejaksaan akan langsung memproses dan menunjuk orang yang

Prosiding “Judicial Workshop”


28 Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
akan menindak lanjuti kasus tersebut. Kejaksaan juga akan membantu memperlancar
jalan koordinasi PPNS dengan POLRI. Setelah mendapatkan SPDP (Surat Perintah Di-
mulainya Penyidikan) dari Kepolisian, maka PPNS dapat langsung melanjutkan proses
ke Kejaksaan. Salah satu upaya yang perlu dilakukan PPNS agar berkas perkara yang di-
ajukan tidak ditolak oleh Jaksa Penuntut Umum ialah melakukan diskusi mengenai kasus
tersebut dengan Kejaksaan dan Pengadilan (diolah dari masukan Martha P. Berliana dari
Kejaksaan Negeri Bogor).

Peranan Kejaksaan
Proses P21 oleh Kejaksaan
Dalam P21, terdapat ketentuan bahwa dalam jangka waktu 14 hari, tersangka dan
barang bukti sudah harus diserahkan ke kejaksaan. Bila tidak diserahkan, maka
Kejaksaan akan mengeluarkan P21H untuk menagih tersangka dan barang bukti terse-
but di atas (misalnya ke Kapolres). Bila suatu berkas perkara belum di-P21, ke-
mungkinan berkas perkara tersebut memang belum lengkap, sehingga dikeluarkanlah
P18. Tahap selanjutnya, dikeluarkanlah P19 yang berisi lampiran yang menyatakan
berkas-berkas yang harus dilengkapi (diolah dari pertanyaan Drh. Yulianto dari Balai
Karantina Hewan). Di samping itu, Jaksa hendaknya merancang dakwaan dengan
memasukkan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perkara tersebut,
sehingga kasus-kasus illegal wildlife trade bisa dijerat dengan peraturan perundang-
undangan tersebut (diolah dari usulan Herry Sasongko dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan).
Pada akhirnya, menjadi suatu harapan ke depan agar berkas yang diajukan oleh Jaksa
Penuntut Umum dapat menemukan koridor yang sama dengan putusan majelis hakim
(diolah dari tanggapan Sulaiman N. Sembiring dari IHSA).

Dimungkinkan Koordinasi Langsung PPNS dengan Kejaksaan


Koordinasi langsung antara PPNS dengan Jaksa yang bersangkutan sangat dimung-
kinkan. Sebagai contoh yang telah ada saat ini ialah bea cukai (berdasarkan wewenang
dari Mahkamah Agung) dapat langsung berkoordinasi dengan Kejaksaan dan tidak lagi
melalui POLRI. Hal ini karena Dirjen. Bea Cukai memiliki MoU khusus dengan
Kepolisian (diolah dari pertanyaan Drh. Yulianto dari Balai Karantina Hewan, yang juga
ditanggapi oleh Imam Suhendro dari Bea Cukai).

PPS
Ketentuan mengenai PPS dan Peredaran Satwa dapat ditemui di SK Menhut No.
447/2003 tentang Tata Tertib Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar. PPS dibangun
untuk mendukung upaya penegakan hukum perlindungan tumbuhan dan satwa, teruta-

Prosiding ”Judicial Workshop”


Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar 29
ma dalam penanganan satwa hasil sitaan (diolah dari tanggapan Chairul Saleh dari WWF
Indonesia dan Edi Sensudi dari BKSDA DKI).

Pentingnya Sosialisasi Isu Wildlife Trade, CITES dan Hukum Nasional Terkait
Disadari bahwa tidak semua aparat kejaksaan dan aparat penegak hukum lainnya
mengerti dan memahami apa itu CITES. Informasi mengenai CITES yang disampaikan
oleh PHKA (Ibu Faustina) pada workshop ini cukup membuka horizon para aparat
penegak hukum. Sosialisasi akan CITES dan masalah perdagangan ilegal tumbuhan dan
satwa liar dirasakan perlu bagi aparat penegak hukum (yaitu ke: penyidik PPNS,
Pengacara, Jaksa dan Hakim).
Untuk mengupayakan hal tersebut, perlu diadakan kerjasama antara WWF dan Ke-
jaksaan untuk mengatasi masalah tersebut. Suatu harapan ke depan juga yaitu disampai-
kan dan didiskusikannya isu illegal wildlife trade ini di dalam pelatihan-pelatihan di kalang-
an Mahkamah Agung (diolah dari tawaran dari Martha P. Berliana dari Kejaksaan Negeri Bogor
dan ditanggapi oleh Endah Detti Pertiwi dari Pengadilan Negeri Bogor dan Fathi Hanif dari
WWF– Indonesia).
Untuk penerapan CITES ini, dirasakan bahwa di beberapa daerah telah banyak tin-
dak pidana terhadap perdagangan ilegal satwa liar. Menurut beliau peraturan per-
undang-undangan terkait dengan perlindungan tumbuhan dan satwa liar ini juga penting
untuk disosialisasikan ke masyarakat di sekitar daerah yang memiliki angka tinggi kasus
perdagangan ilegal satwa liarnya atau daerah yang rentan dengan masalah perburuan liar,
misalnya di Lampung. Dipertanyakan pula apakah dimungkinkan advokasi penegakan
hukum dapat berfungsi menjadi fungsi kontrol mulai dari tingkat penyelidikan hingga
penyidikan, seperti: advokasi perempuan, advokasi anak (diolah dari masukan Agung M.
Wibowo dari Kejaksaan Negeri Bekasi).
Brosur-brosur atau buku-buku yang bahasanya mudah dimengerti oleh masyarakat
dapat menjadi media sosialisasi sederhana tentang CITES. Kemudian disebarkan di ma-
syarakat-masyarakat sekitar hutan, sehingga timbul kesadaran sejak dini. Penyuluhan-
penyuluhan juga dirasakan perlu bagi para aparat bea cukai, balai karantina dan aparat
terkait lainnya.
Disadari bahwa pemahaman masyarakat awam akan definisi “melindungi satwa-
satwa dilindungi” tersebut masih rancu. Masyarakat awam menilai bahwa memelihara
satwa dilindungi bukanlah suatu hal yang salah. Mereka justru menganggap tindakan
memelihara tersebut merupakan tindakan melindungi satwa dilindungi (diolah dari
masukan Imam Suhendro dari Bea Cukai).

Prosiding “Judicial Workshop”


30 Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
Disamping sosialisasi, unsur penting lainnya yang harus diterapkan bagi para aparat
terkait ialah pendampingan (diolah dari tanggapan Sulaiman N. Sembiring dari IHSA).
Saat ini, petugas karantina ikan tidak memiliki buku acuan yang menginformasikan
identifikasi mana saja spesies ikan/koral yang dilindungi oleh CITES (yang memuat
gambar, nama ilmiah, maupun nama umum spesies tersebut). Adanya buku acuan sema-
cam ini akan disambut baik oleh Balai Karantina Ikan, karena akan sangat membantu
upaya pengawasan peredaran tumbuhan dan satwa liar, khususnya bagi petugas di
lapangan. Petugas di lapangan perlu dimodali dengan buku saku identifikasi jenis-jenis
satwa dilindungi yang disertai dengan gambar yang jelas serta informasi yang mudah
dimengerti (diolah dari masukan Suwardi dan Tri Wahyuni dari Balai Karantina Ikan).
Dirasakan perlu juga untuk dilakukan sosialisasi yang lebih intensif ke Kedutaan
Besar asing di Indonesia karena merupakan hal penting sebagai langkah ke depan terkait
dengan perdagangan ilegal satwa dilindungi ini. Selama ini Balai Karantina Hewan
banyak mendapat keluhan dari pihak Kedubes tentang sosialisasi satwa dilindungi, kare-
na mereka merasa tidak memperoleh informasi yang cukup tentang jenis-jenis satwa
yang dilindungi. Pengembangan suatu data base mengenai satwa yang dilindungi secara
akurat juga perlu dilakukan untuk mendukung upaya ini (diolah dari masukan Yulianto dari
Balai Karantina Hewan).

Perlunya Legislasi Nasional yang Memadai Mengenai Perlindungan


Tumbuhan dan Satwa Liar
Untuk mengimplementasikan CITES secara efektif, Indonesia harus mempunyai
legislasi nasional yang baik dan dipahami dengan baik oleh aparat dan masyarakat. UU
No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
masih dirasakan kurang memadai, sehingga ketentuan UU tersebut kemudian
dilengkapi dengan dikeluarkannya PP No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan
dan Satwa Liar dan PP No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa
Liar. Akan tetapi, keberadaan peraturan perundang-undangan tersebut dirasakan masih
kurang memadai, sehingga dikeluarkanlah SK Menhut No. 447/2003 tentang Tata Nia-
ga Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar. Saat ini, Departemen Kehutanan (Biro Hu-
kum) tengah melakukan revisi UU No. 5/1990 (diolah dari tanggapan Endang Mashudi dari
PHKA). Permasalahan terhadap legislasi nasional ternyata tidak berhenti di situ saja,
masih terdapat permasalahan mengenai pengadopsian CITES itu sendiri yaitu, sebagai
suatu konvensi Internasional, CITES tidak diadopsi ke dalam bentuk Undang-undang,
melainkan ke dalam bentuk Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978. Padahal, idealnya,

Prosiding ”Judicial Workshop”


Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar 31
suatu konvensi internasional diadopsi ke dalam bentuk Undang-undang, dan tidak
dengan Keputusan Presiden. Perlu diakui juga bahwa, LIPI sebagai scientific authority
tidak memiliki ketercukupan data (diolah dari tanggapan Chairul Saleh dari WWF-Indonesia).
Perbaikan terhadap peraturan perundang-undangan terkait perlindungan tumbuhan
dan satwa liar kian dirasakan perlu oleh segenap instansi terkait (diolah dari tanggapan
Suwardi dari Balai Karantina Ikan).

Penetapan Kuota yang Tidak Real Menjadi Isu CITES Saat Ini
Isu yang ada saat ini ialah penetapan kuota yang dirumuskan tidak secara real ber-
dasarkan kondisi populasi satwa di alam. Terhadap hal ini, perlu suatu usulan kuota oleh
scientific outhority yang dilakukan secara ilmiah oleh LIPI dan lembaga terkait lainnya,
untuk menghindari adanya perubahan kategori Apendiks-nya di CITES.
Salah satu penentuan kuota yang belum didukung oleh data ilmiah yang memadai
adalah perdagangan terumbu karang/koral yang masuk kedalam Apendiks II (diolah dari
tanggapan Edi sensudi dari BKSDA DKI). Penyelundupan terumbu karang/koral masih
terjadi dengan modus yang begitu rapi.

Perlunya Peningkatan Kapasitas Aparat Penegak Hukum


Untuk mendukung terjadinya upaya penegakan hukum yang optimal pada per-
dagangan ilegal tumbuhan dan satwa liar maka perlu dilakukan upaya peningkatan
kapasitas aparat penegak hukum. Sayangnya kebutuhan ini seringkali belum memper-
oleh perhatian dari aparat penegak hukum, misalnya aparat kejaksaan di Puttusibau,
Kalimantan Barat (diolah dari informasi Rudi Zapariza dari WWF-Indonesia).

Prosiding “Judicial Workshop”


32 Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
Hari Kedua Lokakarya

1. Review Lokakarya Hari I

Presentasi dan diskusi pada hari I Workshop secara garis besar memberikan paparan
mengenai perdagangan ilegal satwa liar, sebagai berikut:

Perdagangan Ilegal Satwa


Memiliki beberapa karakteristik, antara lain:
a. Perdagangan ilegal satwa liar bersifat kompleks, bisnis beromzet besar dan me-
miliki jaringan yang luas dan kuat.
b. Modus operandinya terus berkembang, berlangsung sangat rapi serta terorganisir
dengan baik.
c. Perdagangan ilegal satwa liar terus berlangsung disebabkan oleh beberapa alasan,
antara lain:
1) Perbedaan status perlindungan satwa tertentu di beberapa negara.
2) Petugas yang melakukan pengawasan lalu lintas perdagangan satwa (misalnya
bea cukai dan karantina) menemui kesulitan untuk melakukan identifikasi
satwa dilindungi.
3) Masih lemahnya koordinasi antara para pihak terkait, khususnya dalam me-
lakukan penegakan hukum.

Penegakan Hukum
Upaya penegakan hukum secara optimal untuk menghentikan perdagangan ilegal
satwa masih memiliki beberapa kendala, antara lain:
a. Masih terdapat kelemahan pada perangkat legislasi nasional (meskipun di tingkat
ASEAN, Indonesia termasuk negara yang mempunyai legislasi terbaik, selain
Singapura dan Vietnam). Dalam legislasi nasional yang terkait dengan konservasi
keanekaragaman hayati, sanksi hukum masih memfokuskan pada pelanggaran ter-
hadap satwa yang dilindungi, sementara perdagangan ilegal satwa yang tidak di-
lindungi belum diatur sanksi hukumnya.
b. Belum adanya mekanisme kerjasama yang memadai antar instansi penegak hukum
untuk mendukung upaya penegakan hukum yang efektif.

33
Untuk mendukung upaya penegakan hukum dan perlindungan hidupan liar dari an-
caman perdagangan ilegal, perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Diperlukan suatu preseden dalam penegakan hukum terhadap perdagangan ilegal
satwa liar untuk mencegah terus berlangsungnya kejahatan terhadap satwa liar ter-
sebut.
b. Harus dipastikan agar informasi terkait dengan kasus kejahatan terhadap satwa,
daftar jenis-jenis satwa yang dilindungi serta peraturan terkait dapat tersosialisasi
dan dipahami oleh berbagai pihak (baik masyarakat umum, masyarakat yang tinggal
di daerah rentan perdagangan ilegal satwa (“illegal wildlife trade”), maupun aparat pe-
negak hukum, seperti PPNS, Polisi, Jaksa, Pengacara dan Hakim.
c. Diperlukan pemahaman yang kuat dan komprehensif mengenai CITES (Convention
on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), konvensi tentang
perdagangan internasional satwa langka.
Sehubungan dengan upaya penegakan hukum tersebut, beberapa faktor penting
yang dapat dilakukan antara lain:
a. Sosialisasi/Penyebaran Informasi tentang CITES
1) Pemahaman seluk beluk tentang CITES, mulai dari fungsi, manfaat, mekanis-
me, implementasi dan sebagainya perlu disosialisasikan dan dijelaskan secara
lengkap kepada berbagai pihak yang terkait.
2) Diperlukan kerjasama yang baik dari seluruh pihak terkait, agar CITES yang
telah diratifikasi oleh RI dapat diimplementasikan secara efektif.
b. Komunikasi dan komitmen
Perlu dibangun komunikasi intensif dan komitmen yang sungguh-sungguh dari se-
luruh pihak yang terkait untuk secara bersama-sama mengatasi perdagangan ilegal
hidupan liar.
c. Pendampingan
Perlu dilakukan pendampingan oleh lembaga-lembaga/instansi-instansi terkait da-
lam proses penegakan hukum pada kejahatan terhadap satwa. Output dari pendam-
pingan kasus-kasus tersebut diharapkan munculnya preseden positif untuk pe-
nanganan kejahatan terhadap satwa (“wildlife crime”).
d. Penguatan kapasitas dan Informasi
1) Perlu ada SOP (Standart Operational Procedure) bagaimana menangani satwa
yang masuk ke Indonesia secara ilegal, terutama terhadap satwa yang termasuk
ke dalam Apendiks CITES.

Prosiding “Judicial Workshop”


34 Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
2) Perlu dilakukan penyuluhan-penyuluhan dan pertukaran informasi (“infor-
mation sharing”) kepada aparat penegak hukum dan instansi terkait hal-hal yang
berkaitan dengan perdagangan ilegal satwa, fungsi ekologi satwa, upaya pe-
negakkan hukum dan sebagainya.
e. Data base satwa dilindungi
Perlu dibangun pangkalan data (data base) yang akurat dan memadai mengenai satwa
yang dilindungi. Informasi mengenai satwa dilindungi serta peraturan perundang-
undangannya perlu disosialisasikan secara lebih intensif keseluruh kedubes asing di
Indonesia; terutama negara-negara yang terkait dengan perdagangan ilegal satwa.
f. Perlu perbaikan (revisi) terhadap peraturan perundang-undangan terkait
perlindungan satwa.
g. Fungsi dan eksistensi saksi ahli.
Saksi ahli ini harus betul-betul profesional, di mana ia bisa memprediksi dampak ke
depan baik secara ekologi maupun finansial.
h. Perlu adanya judicial activism di kalangan para hakim.
Putusan hakim harus menekankan juga pentingnya aspek ekologis (normatif dan
kondisi faktual), tidak hanya aspek yuridis, sosiologis, filosofis semata.

Prosiding ”Judicial Workshop”


Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar 35
2. “Implementasi Peraturan Terkait Perlindungan Hidupan Liar”
Disampaikan oleh Sulaiman N. Sembiring,
Institut Hukum Sumber Daya Alam/IHSA

Sulaiman N. Sembiring, di awal sesi, mencoba memberikan gambaran, bahwa pe-


rumusan UU No. 5 Tahun 1990 dilakukan pada periode pemerintahan Orde Baru.
Pemerintah saat itu tengah mencoba mengeksploitasi Sumber Daya Alam. Konsekuensi
dari kebijakan pemerintah pada saat itu ialah peraturan perundang-undangan yang
dirumuskan pada masa itu belum sepenuhnya mengakomodir perlindungan SDA.
Sulaiman kemudian memaparkan sejumlah peraturan-peraturan terkait dengan
perlindungan satwa antara lain terdapat:
– Sekitar 9 peraturan perundang-undangan tingkat Undang-undang (antara lain men-
cakup Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemya (UU No. 5/90); Pe-
nataan Ruang (UU No. 24/92); Pengesahan UN CBD (UU No. 5/94); Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UU No. 23/97); Kepabeanan (UU No. 10/95); Karantina He-
wan, Ikan dan Tumbuhan (UU No. 16/92); Kehutanan dan perubahannya (UU No.
41/99); Perikanan (UU No. 31/04); dan Pemerintahan Daerah (UU No. 32/04)).
– Minimal 9 peraturan perundang-undangan tingkat Peraturan Pemerintah antara
lain mencakup Perburuan Satwa Buru (PP No. 13/94); Penyerahan Urusan
Kehutanan kepada Pemerintah Daerah (PP No. 62/98); Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam (PP No. 68/98); Pengawetan Tumbuhan dan Satwa (PP
No. 7/99); Pemanfataan Tumbuhan dan Satwa Liar (PP No. 8/99); Kewenangan
Pusat dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (PP No. 25/00);
Karantina Hewan (PP No. 82/00); Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan (PP No.
34/02); Perencanaan Hutan (PP No. 44/04); dan Perlindungan Hutan (PP No.
45/99)).
– Sekitar 4 peraturan perundang-undangan tingkat Keputusan Presiden (antara lain
mencakup Pengesahan Ratifikasi CITES (Keppres No. 43/78); Pengelolaan
Kawasan Lindung (Keppres No. 32/90); Pembentukan Tim Pengamanan Hutan
Terpadu (Keppres No. 22/99); dan Penindakan Illegal Logging (Keppres No. 4/05).
– Sekitar 50 peraturan perundang-undangan tingkat Keputusan Menteri.
– Sejumlah peraturan pendukung (KUHP, KUHAP, SK Presiden Tentang Kemen-
terian Negara, SK Menhut Tentang Tata Organisasi Dephut, dan sejumlah SKB).

Prosiding “Judicial Workshop”


36 Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
Sulaiman juga menjelaskan beberapa persoalan pokok penegakan hukum, antara
lain:
a. Peraturan tidak dapat berdiri sendiri (the regulation can't stand alone).
b. Fakta bahwa kebijakan dan kelembagaan yang terkait erat dengan implementasi
suatu peraturan tidak mendukung dan atau belum memadai.
c. Pendekatan yang ada masih bersifat sangat sektoral.
d. Peraturan yang ada memiliki 4 kelemahan mendasar:
1) Penyusunan yang belum transparan dan partisipatif. Konsultasi publik masih
sangat minim.
2) Substansi belum memadai, karena tidak didukung oleh kajian akademik.
3) Sosialisasi yang lemah. Peraturan perundang-undangan serta isu yang terkait
dengannya tidak diketahui/dipahami oleh banyak orang.
4) Implementasi yang tidak sungguh-sungguh.
5) Ketersediaan sarana, prasarana dan SDM yang tidak memadai.
6) Budaya masyarakat yang berubah dan mudah merusak (termasuk karena
faktor ekonomi).
7) Sebaran wilayah yang luas.
Lebih lanjut dipaparkan beberapa fakta mengenai sifat-sifat atau karakterikstik-
karakteristik kebijakan yang dibuat pada zaman pemerintahan terdahulu/Orde Baru,
yaitu:
a. Eksploitatif. Ambil contoh Prayogo Pangestu yang memiliki lahan sangat luas,
padahal kita mengalami krisis lahan.
b. Tidak progresif. Dapat dilihat dari beberapa ordonansi terdahulu seperti ordonansi
perburuan (1931), perlindungan binatang liar (1931) dan perlindungan alam (1941)
baru digantikan oleh UU Konservasi pada Tahun 1990.
c. Sentralistik
d. Tidak transparan
e. Tidak partisipatif
f. Sektoral
g. Dukungan politik rendah
h. Eksklusif, yaitu hanya menjadi perhatian kalangan tertentu.
I. Mengabaikan hak-hak dan akses masyarakat
j. Represif
k. Tidak konsisten. Hal ini dapat dilihat dengan adanya kebijakan yang membolehkan
kawasan konservasi dapat ditambang yaitu SKB Menhut-Mentamben No. 969.K/

Prosiding ”Judicial Workshop”


Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar 37
M.PE/1989 No. 429/Kpts-II/1989 Tentang Pedoman-Pedoman Pengaturan Pelak-
sanaan Usaha Pertambangan dan Energi dalam Kawasan Hutan. Di dalam SKB,
pertambangan bahkan dapat dilaksanakan di kawasan cagar alam dan suaka margasatwa
taman buru, hutan lindung, serta hutan produksi terbatas dan hutan produksi tetap,
dengan pertimbangan Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Skema Kerangka Peraturan

KERANGKA PERATURAN
UUD 45

PERUNDANGAN
KONSERVASI

OTONOMI PERLINDUNGAN PERUNDANGAN


DAERAH SATWA TERKAIT
LIAR

PERANCANGAN
PERUNDANGAN-
UNDANGAN

Dalam presentasinya Sulaiman juga menjelaskan tentang karakterikstik-


karakteristik kebijakan yang dibuat pada beberapa tahun terakhir, yaitu:
a. Meningkatnya semangat konservasi
b. Kurang progresif
c. Mengarah ke pembagian kewenangan dan tanggungjawab
d. Lebih terbuka
e. Mulai melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan
f. Sektoral

Prosiding “Judicial Workshop”


38 Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
g. Dukungan lebih meningkat
h. Eksklusif, hanya menjadi perhatian kalangan tertentu
i. Hak-hak masyarakat mulai diakui secara terbatas
j. Lebih Dialogis.

Beberapa fakta penegakan hukum, antara lain:


a. Jumlah kasus selalu tinggi walau ada variasi penurunan (lihat tabel).
b. Proses pelibatan masyarakat yang terbatas (belum ada mekanisme pengaduan ma-
syarakat dan perlindungan saksi dan korban).
c. Hukum acara masih bersifat konvensional sementara kasus tindak pidana lingkung-
an, kehutanan (illegal logging) dan konservasi (illegal wildlife trade) bersifat spesifik, ber-
dimensi dan berdampak luas.
d. PPNS bidang kehutanan terbatas dalam jumlah dan sarana prasarana (Dephut,
Dishut, BKSDA, UPT).
Rekomendasi yang ditawarkan oleh Sulaiman:
a. Pendekatan penegakan hukum bersifat hulu-hilir (dalam penyiapan peraturan dan
penegakan hukum).
b. Pelibatan masyarakat secara konsisten (bandingkan dengan keterlibatan organisasi
konservasi seperti WWF, TNC, dsb).
c. Adanya putusan hakim yang dapat memunculkan efek jera (deterrant effect) atau land-
scape cases.
d. Masukkan pertimbangan ekologis berdasarkan nilai-nilai transendental, normatif,
moril dan juga kondisi yang ada.
e. Dikembangkannya program yang komprehensif dan terintegrasi dalam penegakan
hukum yang dapat dijalankan secara bertahap dan sistematis (seperti operasi sapu
jagad, wanalaga, wanabahari untuk kasus illegal logging).
f. Adanya penjangkauan dan pengomunikasian (outreach and communication) yang me-
luas dan dengan media/produk yang mudah dipahami oleh hakim, jaksa,
pengacara, masyarakat, kelompok profesi, dst.

Prosiding ”Judicial Workshop”


Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar 39
3. “Penegakan Hukum Lingkungan dalam Praktek Peradilan”
oleh Herry Santoso,
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

Sesi presentasi Susanti Adi dari Mahkamah Agung digantikan oleh Herry Santoso,
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan dimoderatori oleh Fathi Hanif, Legal and
Policy WWF–Indonesia. Herry Santoso membagikan pengalaman dan informasi kepada
peserta mengenai kasus-kasus Sumber Daya Alam, seperti pemboman ikan di TN Laut
Bunaken. Herry Santoso menghimbau aparat penegak hukum untuk turut berperan
serta menyadarkan masyarakat (khususnya masyarakat daerah terkait), baik dengan
penyuluhan maupun sosialisasi SDA.
Sesi ini selanjutnya memberikan kesempatan kepada para partisipan untuk melaku-
kan tanya jawab.

Intisari Sesi Tanya Jawab:


Kedudukan Barang Bukti
Dalam menghadirkan barang bukti di pengadilan perlu dicermati ketentuan
mengenai barang bukti bahwa yang sifatnya mudah rusak harus diselamatkan terlebih
dahulu. Terhadap barang bukti yang demikian, maka barang bukti tersebut dapat difoto
dengan ketentuan disaksikan oleh para saksi. Untuk penyampaian barang bukti, hal
terpenting yang harus dilakukan oleh Jaksa ialah meyakinkan hakim, bukan kuantitas
barang bukti tersebut semata (diolah dari tanggapan Herry Santoso dari Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan).
Perlu Dicermati Upaya Preventif Kasus Illegal Wildlife Trade
Penjabaran mengenai upaya-upaya preventif terjadinya pelanggaran baik illegal
wildlife trade maupun illegal logging selayaknya dilakukan, karena bagaimanapun juga
tindakan penanganan itu dirasakan jauh lebih sulit untuk diterapkan dibandingkan
dengan tindakan preventif (diolah dari masukan Musyaffaq Fauzi dari Balai Besar Karantina
Tumbuhan Tanjung Priok).
Urgensi PERMA Terhadap Kasus Illegal Wildlife Trade
Penting untuk diketahui bahwa PERMA itu sifatnya ialah melengkapi. Dalam arti,
PERMA haruslah berlandaskan oleh ketentuan pokoknya, yaitu Undang-undang.
Sehingga dalam hal ini jelaslah bahwa legislasi yang harus menjadi perhatian utama ialah
ketentuan pokoknya yaitu Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi SDA
dan ekosistemnya tersebut (diolah dari tanggapan Herry Santoso dari Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan).

Prosiding “Judicial Workshop”


40 Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
Kendala dalam Melakukan Pengembangan Kapasitas Aparat di Lingkungan
Peradilan
Dalam hal penyuluhan aparat, khususnya bagi hakim, kendala utama yang dihadapi
ialah keterbatasan dana, sehingga jangkauan penyuluhan-penyuluhan tersebut sering
kali tidak dapat mencapai tingkat daerah, khususnya untuk isu-isu yang sifatnya baru
seperti e-crime, dan sebagainya (diolah dari tanggapan Herry Santoso dari Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan).

Prosiding ”Judicial Workshop”


Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar 41
4. Diskusi Kelompok

Pada sesi Diskusi Kelompok ini, para partisipan dibagi menjadi 2 kelompok, di mana
tiap kelompok terdiri dari berbagai elemen. Masing-masing kelompok diberikan studi
kasus mengenai perdagangan ilegal satwa (satwa dilindungi). Setiap kelompok diminta
untuk membedah kasus tersebut dari aspek hukumnya dengan cara menjawab
pertanyaan yang telah disediakan. Simulasi kasus ini merupakan media latihan bagi
aparat penegak hukum dan instansi terkait lainnya untuk mencapai beberapa tujuan
antara lain:
1. Penyamaan persepsi terhadap suatu kasus perdagangan ilegal satwa
2. Menerapkan peraturan yang sesuai untuk kasus perdagangan ilegal satwa
3. Meningkatkan pengetahuan perundang-undangan terkait dengan perdagangan
ilegal satwa dan,
4. Mengembangkan mekanisme koordinasi antar aparat penegak hukum dan instansi
terkait lainnya.

Kedua kelompok tersebut terdiri dari sebagai berikut:


Kelompok I Kelompok II
No. Anggota: No. Anggota:
1 Imam Suhendro (Ditjen Bea Cukai) 1 Martha P. Berliana (Kejari Bekasi)
2 Bhayu Pamungkas (WWF-ID) 2 Endang Mashudi (PHKA)
3 Albertus (WWF-ID) 3 Zenwen Pador (IHSA)
4 Frans Leimena (PN Jakarta Barat) 4 David (IHSA)
5 Fazrin Rahmadani (IHSA) 5 Suwardi (Balai Besar Karantina Ikan)
6 Yulianto (Balai Besar Karantina 6 Musyaffak Fauzi (Balai Besar
Hewan ) Karantina Tumbuhan)
7 Tri Wahyuni (Badan Karantina 7 Herry Sasongko (PN Jakarta
Pertanian) Selatan)
8 Rudi Zapariza (WWF-ID)
Fasilitator: Fasilitator:
1 Chairul Saleh 1 Hanna Tobing
2 Retno Setiyaningrum 2 Imelda Hilaluddin

Studi Kasus Kelompok 1


Kasus Posisi
Bary dan Kadri, bersama-sama dengan rekannya Bahar dan Hamzah, beberapa
kali sejak tahun 2000 telah melakukan perburuan orangutan di kawasan Taman

Prosiding “Judicial Workshop”


42 Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
Nasional Kutai (TNK). Bary telah melakukan perburuan satwa sebanyak 2 kali, se-
dangkan Kadri telah melakukan perburuan satwa di lokasi yang sama sebanyak
3 lagi.
Tergiur harga jual orangutan yang sangat tinggi, sejak tahun 2000 mereka
melakukan perburuan satwa dilindungi tersebut. Selama tahun 2001 – 2002,
mereka berhasil mendapatkan 3 ekor orangutan. Perburuan dilakukan dengan
jerat dari kawat seling yang dipasang di daerah lintasan satwa oleh Bary,
sedangkan Kadri bertugas membantu dan membuatkan masakan selama
perburuan.
Pada akhir tahun 2002, mereka kembali melakukan perburuan di TNK dan men-
dapatkan 1 ekor orangutan dengan menggunakan senjata rakitan locok dan
seling untuk menjerat. Hasil buruan tersebut biasanya mereka jual pada
pedagang di Balikpapan yang telah memesan sebelumnya.
a. 1 ekor orangutan hidup
b. 1 ekor beruang madu hidup
Berdasarkan hasil pengembangan pemeriksaan, diketahui bahwa pemesan
satwa tersebut adalah Ricki, seorang pedagang satwa yang tinggal di Kota
Balikpapan. Ricki berjanji akan membayar Rp. 5.000.000,– untuk satu ekor
orangutan yang masih hidup.
Pertanyaan:
a. Mengapa Bary dan Kadri ditangkap oleh aparat penegak hukum? Apakah
kawannya yang lain dapat pula ditangkap?
b. Apa dasar hukum mereka ditangkap?
c. Bagaimana proses penanganan kasus ini khususnya terkait dengan barang
bukti?
d. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban masing-masing pelaku? Bagai-
mana pembuktiannya?
e. Apakah pelaku dapat dikenakan dakwaan tindak pidana berlapis? Berikan
alasannya?
f. Saksi-saksi apa yang dibutuhkan Kepolisian di dalam pemberkasan kasus
dan Jaksa Penuntut Umum di dalam pembuktian di pengadilan?
g. Di wilayah pengadilan mana pelaku dapat diproses?
h. Kendala apa yang kemungkinan dapat timbul sebagai faktor penghambat
dalam penyelesaian kasus ini?

Proses Diskusi:
Kelompok ini terlebih dahulu memaparkan keterangan kunci dari uraian kasus
posisi yang diberikan yaitu sebagai berikut:
a. Diidentifikasi pelaku utama kasus ini yaitu: Bary, Kadri, Bahar, Hamzah.
Pembelinya yaitu Ricki, dan supir bernama Tamin.

Prosiding ”Judicial Workshop”


Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar 43
b. Barang bukti yang berhasil diidentifikasi adalah:
1. 1 ekor orangutan hidup
2. 1 ekor beruang madu hidup
3. 1 buah kendaraan
4. Senjata locok
5. Kawat seling
c. Waktu Kejadian: tidak diketahui
d. Tempat kejadian (TKP) ruas jalan Samarinda–Balikpapan
e. Tempat berburu: TN Kutai, Kalimantan Timur
f. Waktu berburu
– Tahun 2000: (Bary: melakukan 2 kali perburuan dan Kadri melakukan 3 kali
perburuan)
– Tahun 2001 – 2002: diburu 3 ekor orangutan
– Akhir tahun 2002: diburu 1 ekor orangutan.
Jawaban:
a. Bary dan Kadri ditangkap karena melakukan tindak pidana :
– menangkap,
– mengangkut
– memperniagakan satwa dilindungi dalam keadaan hidup sesuai pasal 21 ayat 2
UU No 5/1990.
Kawan yang lain tidak dapat (Bahar, Hamzah), kecuali tahap penyidikan.
– Tamin juga dapat ditangkap.
– Ricki juga dapat ditangkap jika dapat dibuktikan sebagai pemesan.
b. Pasal 21 ayat 2 a UU no 5 tahun 1990 jo KUHP tentang turut serta, sudah
direncanakan: bentuk surat dakwaan subsider/berlapis (ditambahkan dengan
pelanggaran terhadap UU pemilikan senjata api).
c. Penanganan terhadap barang bukti:
Barang bukti orangutan dan beruang di bawah pengawasan BKSDA (atau
dititipkan di PPS atau lembaga konservasi) barang bukti mobil ditempatkan
tergantung penyidik
catatan: semua barang bukti harus dibuat berita acara.
d. Bary dan Kadri bertanggung jawab karena terbukti menangkap dan membawa
satwa di lindungi tanpa ijin.

Prosiding “Judicial Workshop”


44 Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
Tamin ditangkap karena turut serta membawa satwa dilindungi tanpa ijin.
Pembuktiannya:
– Bary, Kadri dan Tamin tertangkap tangan dengan barang bukti.
– Bary dan Kadri bisa dibuktikan dengan ditemukannya senjata locok dan seling
untuk berburu.
e. Dapat dikenakan dakwaan tindak pidana berlapis
Karena melanggar: UU No. 5 Tahun 1990, KUHP, UU Kepemilikan Senjata Api
(UU darurat).
f. Saksi-saksi :
– Saksi penangkap (polisi, BKSDA)
– Saksi ahli
– Masyarakat pelapor
g. Di wilayah pengadilan negeri tempat penangkapan (PN Balikpapan).
h. Kendala :
1) Pendanaan proses penyidikan yang dilakukan oleh PPNS
2) Pembuktian perburuan oleh pelaku
3) Pembuktian Ricki sebagai penadah/pembeli
4) Penggunaan peraturan perundang-undangan oleh hakim
5) Penanganan barang bukti orangutan dan beruang madu yang masih dalam
keadaan hidup.

Studi Kasus Kelompok 2


Kasus Posisi
Siman sehari-hari bekerja sebagai nelayan penangkap ikan di pantai Teluk Kaur
Kiloan Kelumbaian Lampung. Suatu hari ia ditawari sejumlah uang dalam jumlah
besar oleh seseorang apabila ia berhasil menangkap penyu hijau (Chelonia
mydas). Tergiur oleh tawaran tersebut, Siman mengajak kawannya Stevanus dan
Paul untuk menangkap penyu hijau di perairan pantai Teluk Kaur Kiloan
Kelumbaian Lampung. Stevanus dan Paul masing-masing akan mendapatkan
upah sebesar Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dari Siman.
Sesuai kesepakatan, dari tanggal 22 Maret 2003 sampai dengan 7 Oktober
2003, mereka melaut dengan tujuan menangkap penyu hijau untuk dijual
kembali. Sepanjang waktu tersebut mereka berhasil menangkap 40 ekor penyu
hijau, dengan perincian 35 penyu dalam keadaan hidup dan 5 ekor penyu sudah
mati, yaitu tinggal kulit bagian dada yang telah dikeringkan.
Mereka menangkap penyu hijau menggunakan jaring yang ditebarkan ke laut
dengan menggunakan perahu katir milik Siman. Jaring ini terbuat dari nilon
warna putih ukuran nomor 2000 dengan panjang jaring 100m dan lebar 3m.

Prosiding ”Judicial Workshop”


Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar 45
Penyu hijau yang tertangkap dibawa ke pinggir pantai dan dimasukkan ke dalam
tempat penampungan yang terbuat dari bambu yang ditancapkan di pinggir
pantai yang airnya dangkal. Senjata peluncur anak panah dipakai untuk
menangkap ikan di laut.
Pada tanggal 7 Oktober 2003 dalam suatu operasi pengamanan perairan,
mereka ditangkap oleh anggota Dit. Polairud Polda Lampung dan BKSDA
dengan barang bukti berupa:
a. 35 (tiga puluh lima) ekor penyu hijau (Chelonia mydas) yang dalam keadaan
hidup.
b. 5 (lima) lembar kulit penyu hijau bagian dada yang telah dikeringkan.
c. 1 (satu) unit jaring penangkap penyu

Pertanyaan:
a. Mengapa Siman, Stevanus dan Paul ditangkap oleh aparat penegak
hukum?
b. Apa dasar hukum mereka ditangkap?
c. Bagaimana proses penangkapan kasus ini khususnya terkait dengan hewan
yang masih hidup?
d. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban masing-masing pelaku?
Bagaimana pembuktiannya?
e. Apakah pelaku dapat dikenakan dakwaan tindak pidana berlapis?
f. Saksi-saksi apa yang dibutuhkan kepolisian dalam pemberkasan kasus dan
JPU di dalam pembuktian di pengadilan?
g. Kendala apa yang kemungkinan dapat timbul sebagai faktor penghambat
dalam penyelesaian kasus ini?

Jawaban:
a. Karena para pelaku telah melakukan tindak pidana melakukan penangkapan penyu
yang merupakan satwa dilindungi.
b. Pasal 21 ayat 2 huruf a jo. Pasal 40 ayat (2) dan ayat (4) UU No. 5/1990 tentang
Konservasi Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Pasal 12 ayat (1) jo. Pasal 86 UU
No. 31/ 2004 tentang Perikanan.
c. Hewan yang masih hidup statusnya sebagai barang bukti yang dititipkan (di balai
KSDA setempat), dapat dikembalikan ke habitatnya dan difoto (dasar hukum: Pasal
24 ayat (2) UU No. 5/1990 tentang Konservasi Alam Hayati dan Ekosistemnya).
Demikian juga untuk spesimen mati akan dimanfaatkan atau apabila tidak dapat di-
manfaatkan akan dimusnahkan.
d. Dasar hukum: mereka harus mempunyai kedudukan yang sama sebagai pelaku, ka-
rena ada kesepakatan bersama. Pembuktiannya ialah para pelaku bersama-sama
menangkap dan ada kesepakatan bersama.

Prosiding “Judicial Workshop”


46 Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
Dalam pembuktian, untuk meyakinkan hakim, hakim dapat melakukan “checking on
the spot”. Apabila nanti di dalam perkembangan persidangan terungkap siapa yang
menyuruh melakukan, maka hakim bisa meminta Jaksa untuk melakukan
penyidikan siapa yang menyuruh melakukan dan diajukan di persidangan dalam
perkara lain.
e. Dapat. Karena mereka dapat dikenakan pasal-pasal dengan ancaman sebagai
berikut: Pasal 12 ayat (1) jo. Pasal 86 yaitu dengan (pidana penjara max. 10 tahun dan
denda max. Rp. 2 milyar) UU No. 31/2004 tentang Perikanan jo. Pasal 55 ayat (1)
kesatu KUHP.
f. Saksi yang menangkap tersangka atau saksi yang mungkin melihat tindakan pelaku
tersebut.
– Saksi ahli
– Apabila tidak ada saksi lain yang melihat perbuatan mereka selain yang
menangkap, untuk mereka dibuatkan berkas perkara yang terpisah supaya
tersangka yang menjadi tersangka di satu perkara dapat menjadi saksi di
perkara yang lain.
g. – Kurangnya pengetahuan para penegak hukum tentang UU yang berkaitan
dengan perlindungan hukum satwa liar.
– Kurangnya koordinasi antar penyidik dan JPU (antar instansi terkait).
– Sulitnya menjerat aktor-aktor intelektual/cukong.

Prosiding ”Judicial Workshop”


Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar 47
Prosiding “Judicial Workshop”
48 Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
Rumusan Hasil Lokakarya
Benang Merah
3
Diskusi hasil kelompok menghasilkan beberapa usulan dan rekomendasi penting
mengenai upaya penegakan hukum illegal wildlife crime. Hasil tersebut terampung ke
dalam suatu benang merah sebagai berikut:
1. Dalam proses penanganan suatu kasus kejahatan terhadap satwa, sangat penting
untuk mengetahui dan menghormati kewenangan masing-masing pihak terkait
serta adanya kerjasama yang baik antar instansi antara lain PPNS, Penyidik dan
Hakim.
2. Pentingnya penyebaran informasi secara lengkap oleh instansi atau lembaga terkait
(termasuk WWF dan TRAFFIC) kepada aparat penegak hukum (PPNS, Polisi,
Jaksa dan Hakim) sehubungan dengan perdagangan ilegal satwa liar untuk
mendukung upaya penegakan hukum.
3. Mengingat pentingnya memberikan pemahaman dan pengalaman hakim serta
jaksa atas kasus-kasus sejenis kepada seluruh hakim dan jaksa, maka diusulkan
dilakukan upaya mendorong MA mengeluarkan SEMA (Surat Edaran Mahkamah
Agung), yang akan diedarkan ke seluruh hakim-hakim melalui KPT (Kantor
Pengadilan Tinggi) dan KPN (Kantor Pengadilan Negeri) dan mendorong
Kejaksaan Agung untuk mengeluarkan SEJA (Surat Edaran Jaksa Agung) akan
diedarkan kepada seluruh Jaksa melalui Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri.
4. Komunikasi antar lembaga maupun perorangan dalam upaya untuk mendukung
proses penegakan hukum dapat dikembangkan dengan menggunakan berbagai
media yang tersedia seperti surat, telepon, SMS dan sebagainya.
5. Perlu dibangun kolaborasi (dan komunikasi) antar berbagai pihak di tingkat daerah,
baik di tingkat lembaga ataupun perorangan untuk mendukung upaya penegakan
hukum. Diharapkan ada dukungan dari hakim dan jaksa yang ada di Jakarta (pusat)
kepada hakim dan jaksa di daerah.
6. Sosialisasi berbagai peraturan terkait dengan penegakan hukum terhadap kejahatan
satwa liar kepada aparat penegak hukum harus segera dilakukan.

49
Prosiding “Judicial Workshop”
50 Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
Lampiran
1. Agenda Kegiatan Lokakarya
JUDICIAL WORKSHOP
4
PENEGAKAN HUKUM PERLINDUNGAN
SATWA LIAR
CIBODAS, 27 – 29 SEPTEMBER 2005

Selasa, 27 September 2005 10.50 – 11.20 Tanya Jawab


18.00 – selesai Registrasi Fasilitator: Hanna Tobing
Makan malam dan pendaftar- 10.20 – 11.00 Presentasi
an ulang peserta Perspektif Ilegal Wildlife Trade di
People in charge: Dian T, Indonesia
Rini A., Desmarita Presenter: Chairul Saleh
Moderator: Fathi Hanif
Rabu, 28 September 2005
11.00 – 11.30 Rehat Kopi
08.30 – 08.45 Kata Sambutan
Rehat kopi dan Brief untuk
Sambutan dari Direktur
Media
Eksekutif WWF-Indonesia:
People in charge: Dian T,
Dr. Mubariq Ahmad
Rini A., Desmarita
People in charge: Prima, Saiful
11.30 – 12.00 Tanya Jawab
08.45 – 09.00 Pembukaan
Fasilitator: Chairul Saleh
Pembukaan lokakarya dari
PHKA* 12.00 – 13.30 ISHOMA
People in charge: Prima, Saiful 13.30 – 15.00 Diskusi Kelompok
09.00 – 09.40 Presentasi KKH-PHKA Fasilitator: Fathi Hanif, Chairul
Dep. Hut Saleh, Retno S., Imelda
Konvensi CITES mengenai 15.00 – 15.30 Rehat Kopi
Perlindungan Hidupan Liar People in charge: Dian T.,
Presenter: Samedi/Faustina Desmarita, Rini A.
Moderator: Chairul Saleh
15.30 – 16.30 Laporan Kelompok
09.40 – 10.10 Tanya Jawab Fasilitator: Hanna Tobing
Fasilitator: Chairul Saleh
16.30 – 16.40 Pemutaran Film
10.10 – 10.50 Presentasi TRAFFIC South- “Jangan Biarkan Mereka
east Asia Punah”
Perspektif Illegal Wildlife Trade People in charge: Prima, Saiful
di Asia Tenggara
Presenter: Chris Sheperd 19.00 – 20.00 Makan Malam
Moderator: Hanna Tobing People in charge: Dian T.,
Desmarita, Rini A.

51
Kamis, 29 September 2005 15.00 – 16.00 Resume hasil diskusi:
09.00 – 09.15 Review Hari I – Benang merah dari hasil
diskusi
Fasilitator: Sulaiman N.
Sembiring – Tantangan ke depan
dengan menawarkan
09.15 – 09.30 Presentasi Foto monitoring scheme dan
Tampilan slide dan foto koordinator sistem yang
perdagangan satwa efektif
Presenter: Desmarita Fasilitator: Fathi Hanif,
09.30 – 10.00 Presentasi IHSA Sulaiman N. Sembiring
Implementasi Peraturan 16.00 – 16.10 Kesimpulan/diskusi penutup
Perundang-undangan terkait Fasilitator: Fathi Hanif
Perlindungan Hidupan
16.10 – 16.20 Penutupan
Hidupan Liar di Indonesia
Penutupan Lokakarya oleh
Presenter: Sulaiman N.
Herry Sasongko
Sembiring
People in charge: Hanna Tobing,
Moderator: Fathi Hanif
Fathi Hanif, Chairul Saleh,
10.00 – 10.30 Presentasi Retno Setiyaningrum, Imelda,
Penegakan Hukum Lingkung- Desmarita, Dian T.
an pada Praktek Peradilan
16.20 – 17.00 Kembali ke Jakarta
Presenter: Herry Sasongko
People in charge: Dian T., Imelda,
Moderator: Fathi Hanif
Rini A.
10.30 – 10.40 Rehat Kopi
People in charge: Dian T.,
Desmarita, Rini A.
10.40 – 12.00 Diskusi Kelompok
Fasilitator: Fathi Hanif,
Chairul Saleh, Hanna Tobing,
Retno Setiyaningrum, Imelda
12.00 – 13.30 ISHOMA
13.30 – 14.30 Diskusi panel
Hasil dari diskusi kelompok
Fasilitator: Fathi Hanif,
Chairul Saleh, Hanna Tobing,
Retno Setiyaningrum, Imelda
14.30 – 15.00 Rehat Kopi
People in charge: Dian T.,
Desmarita, Rini A.

Prosiding “Judicial Workshop”


52 Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
2. Liputan Media

2.1 RRI ONLINE, Rabu, 28 September 2005, 19:49 WIB


ENAM BANDARA INDONESIA DIJADIKAN PINTU KELUAR PENYELUNDUPAN
SATWA LIAR
Cibodas, Jawa Barat–RRI-Online, Regional Programme Officer TRAFFIC Southeast
Asia, Chris Shepherd mengatakan ada enam bandara di Indonesia yang dijadikan pintu
keluar ekspor satwa liar ilegal (illegal wildlife trade) ke luar negeri.
“Ada enam bandara di Indonesia yang penting untuk penyelundupan hewan liar
yaitu bandara Polonia Medan, bandara Soekarno Hatta Jakarta, bandara di Banjarmasin,
bandara di Surabaya, bandara di Manado dan Bandara di Bali”, kata Chris dalam Work-
shop Penegakan Hukum Perlindungan Satwa Liar di Cibodas, Jawa Barat, Rabu (28/9).
Chris mencontohkan pada 2000, pernah ditemukan labi-labi (semacam kura-kura
yang dilindungi) diselundupkan lewat bandara Polonia Medan sekitar 25 ton per ming-
gunya.
Dia mengatakan banyak satwa liar yang langka dan dilindungi dari Indonesia yang
merupakan megabiodiversity diselundupkan ke luar negari seperti ke Malaysia, Singapura,
Thailand, Cina, bahkan sampai ke Eropa dan Amerika.
“Sebagian besar satwa-satwa itu ditujukan ke Cina untuk digunakan sebagai bahan
obat tradisional, selain untuk koleksi dan mengisi kebun binatang”, kata Chris.
Chris mengatakan satwa liar relatif dengan mudah melintas secara ilegal dari satu
negara ke negara lain di seluruh Asia Tenggara.
”Hampir semua jalan yang melintasi perbatasan internasional digunakan oleh para
penyelundup, karena pemeriksaan di perbatasan seringkali tidak ketat,” ujar peneliti yang
telah bertahun-tahun menyelidiki perdagangan ilegal hidupan liar di Asia Tenggara itu.
Dia mengatakan pelabuhan udara dan pelabuhan laut utama banyak digunakan oleh
penyalur satwa ilegal, yang seringkali menggunakan pernyataan palsu untuk muatan me-
reka, atau sarana lain, agar dapat menembus pabean.
Peneliti TRAFFIC yang dapat berbahasa Indonesia itu mengatakan para penyelun-
dup menggunakan berbagai cara untuk menyelundupkan hewan-hewan langka, misal-
nya dengan membuat ruang tersembunyi dalam kontainer pengapalan, menyembunyi-
kan barang yang dibawa langsung atau menyembunyikan barang dalam barang bawaan.

Prosiding ”Judicial Workshop”


Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar 53
“Mereka juga bisa mencampurkan spesies langka yang mirip dengan spesies serupa
yang tidak dilarang. Atau dengan pengepakan ganda, misalnya akuarium ikan mas yang
di bawahnya ada ikan Arwana,” lanjut Chris.
Penyelundup, kata dia, juga menyelundupkan dengan menggunakan pernyataan
palsu atau dokumen perjalanan yang tidak lengkap.
Sementara itu, Edi Sansudi, Kepala Seksi II BKSDA (Balai Konservasi Sumber
Daya Alam) DKI Jakarta mengatakan pihaknya mengakui ada kendala untuk mengawasi
perdagangan satwa langka dan dilindungi, baik yang resmi maupun yang ilegal.
Kami ada kendala di lapangan berupa kurangnya personil dan peralatan untuk men-
deteksi. Deteksi di lapangan juga agak susah, karena kita harus mengawasi 24 jam, kata
Edi.
Dia mengharapkan adanya satu kesatuan pemahaman dan tindak dari aparat
penegak hukum seperti dari pihak Kepolisian, Kejaksaan, Kantor Bea Cukai dan dari
pihaknya untuk dapat memberantas perdagangan satwa liar di Indonesia.

2.2 LKBN Antara, Rabu 28 September 2005, 20:52:42 WIB


Nasional
WWF : KOORDINASI ANTAR PENEGAK HUKUM PERLU UNTUK KURANGI
PERDAGANGAN SATWA LIAR ILEGAL
Jakarta, 28/9 (ANTARA)–Direktur Eksekutif WWF–Indonesia, Mubariq Ahmad
mengatakan perlunya koordinasi yang lebih baik antar penegak hukum untuk
mengurangi perdagangan satwa liar ilegal di Indonesia. Koordinasi antar penegak
hukum seperti antara Balai Karantina Satwa, BKSDA (Balai Konvervasi Sumber Daya
Alam), Bea Cukai dan Kepolisian diperlukan untuk mengantisipasi modus perdagangan
dan penyelundupan yang semakin canggih melewati pintu perbatasan Indonesia.
“Koordinasi antar pihak sangat penting, karena modus perdagangan dan penye-
lundupan satwa liar kini semakin canggih, misalnya melalui pembiusan, pemalsuan do-
kumen, pencampuran dengan species yang mirip, melalui rute ilegal, ataupun disem-
bunyikan di dalam kontainer ke luar negeri", kata Mubariq dalam sambutan acara
Lokakarya Penegakan Hukum Perlindungan Satwa Liar di Cibodas, Jawa Barat, Rabu
yang digelar oleh WWF–Indonesia bekerjasama dengan TRAFFIC Southeast Asia dan
Mahkamah Agung.
Dia mencontohkan kasus yang terjadi awal Juli lalu dimana petugas bea dan cukai
Taiwan menemukan 140 kilogram tulang dan tengkorak harimau sumatera yang

Prosiding “Judicial Workshop”


54 Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
diselundupkan di dalam container dari Jakarta. "Kasus penyelundupan tulang harimau
terbesar selama 5 tahun terakhir di Asia ini membuktikan lemahnya pengawasan di pintu
masuk dan keluar perbatasan di Indonesia", kata Mubariq.
Dia melihat upaya penegakan hukum secara konsisten, konsekuen dan kontinyu
mutlak diperlukan untuk mengurangi ancaman perburuan dan perdagangan satwa liar,
sekaligus memberikan efek jera bagi pelakunya.
“Tampaknya, salah satu alasan lemahnya penegakan hukum adalah bahwa bagi
aparat hukum, termasuk hakim dan penuntut umum perdagangan dan pemeliharaan
satwa dilindungi ini belum dianggap sebagai pelanggaran serius," kata Mubariq.
Sementara di sisi lain, lanjut dia, tingginya permintaan pasar, persepsi salah “me-
nyayangi” satwa liar, prestise atau kebanggaan mengkoleksi satwa awetan bagi kalangan
mampu, kurangnya pemahaman ekologi satwa, serta kebutuhan ekonomi menjadi
alasan penyebab utama maraknya aktifitas perburuan dan perdagangan satwa liar.
Sedangkan Pejabat Program Regional Asia Tenggara TRAFFIC, Chris Shepherd
mengatakan, penegakkan hukum mengenai perdagangan ilegal hidupan liar tersebut
masih sangat kurang bahkan tidak tegas, meskipun perangkat hukum di Indonesia sudah
lengkap dan baik. TRAFFIC adalah program kerjasama antara WWF dan Badan
Konservasi Dunia (IUCN).
"Sistem hukum harus memandang perdagangan satwa langka sebagai perbuatan
kriminal yang serius dan hukumannya harus berat, karena pada akhirnya masyarakat
Indonesia akan kehilangan semuanya", kata Chris di sela-sela acara Workshop Penegakan
Hukum Perlindungan Satwa Liar di Cibodas, Jawa Barat, Rabu yang digelar oleh WWF–
Indonesia bekerjasama dengan Mahkamah Agung.
Sama seperti di negara lain di kawasan ASEAN, Chris melihat ada beberapa kendala
penegakan hukum perdagangan hidupan liar ilegal di Indonesia antara lain karena
kurangnya keahlian dan kemampuan penegakan hukum, kurangnya dana dan kurangnya
jumlah aparat penegak hukum.
"Semua staf penegak hukum perlu diberi pelatihan tentang peraturan-peraturan,
tentang CITES (Konvensi Perdagangan Internasional untuk spesies langka dari satwa
dan tumbuhan liar), dan bagaimana mengidentifikasi satwa langka dan dilindungi," ujar
Chris yang telah meneliti dan menyelidiki perdagangan satwa langka di kawasan ASEAN
di bawah TRAFFIC yang merupakan program kerjasama WWF dan IUCN (Badan
Konservasi Dunia).

Prosiding ”Judicial Workshop”


Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar 55
Mubariq mengatakan WWF–Indonesia menyadari bahwa program pendidikan dan
pemahaman terhadap status perlindungan satwa liar, termasuk untuk mendukung
efektifitas penegakan hukum di lapangan.
Penyadaran menjadi komponen penting dalam upaya meningkatkan pemahaman
terhadap status perlindungan satwa liar, termasuk untuk mendukung efektifitas
penegakan hukum di lapangan.
"Oleh karena itu, forum-forum yang memberikan kesempatan terjadinya per-
tukaran informasi, pendidikan, dan peningkatan kapasitas, koordinasi, dan sinergi antara
para pihak, termasuk aparat penegak hukum dan lembaga peradilan perlu terus dilaku-
kan” katanya. “Dukungan keahlian juga dibutuhkan untuk mendukung upaya pening-
katan pemahaman dan efektifitas penegakan hukum terhadap perdagangan satwa liar",
lanjut dia.
Berangkat dari latar belakang pemikiran itulah, maka WWF–Indonesia bekerja-
sama dengan TRAFFIC Southeast Asia menyelenggarakan lokakarya bagi lembaga
peradilan dan aparat penegak hukum yang dirancang untuk meningkatkan pemahaman
peserta akan kerawanan perdagangan satwa liar, sekaligus untuk mensosialisasikan
peraturan CITES (internasional dan nasional) yang melindungi satwa liar dari perburuan
dan perdagangan ilegal.
Lokakarya yang digelar selama tiga hari itu diikuti oleh 26 peserta antara lain dari
Direktorat Jenderal PHKA (perlindungan hutan dan konservasi alam) Dephut,
Departemen Pertanian, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan
HAM, dan aparat penegak hukum seperti dari Kejaksaan, Pengadilan dan Kepolisian.

2.3 KORAN TEMPO, Kamis 29 September 2005


BANDARA, PINTU PENYELUNDUPAN SATWA LANGKA
Cibodas–Lima bandar udara di Indonesia menjadi pintu penyelundupan satwa liar
yang dilindungi, kebanyakan jenis burung dan reptil. ”Hampir setiap hari terjadi penye-
lundupan ratusan satwa di bandara itu,” kata Regional Program Officer Lembaga
Monitoring Perdagangan Ilegal Satwa Liar, TRAFFIC Asia Tenggara, Chris Shepherd,
di sela-sela acara workshop ”Penegakan Hukum Perlindungan Satwa Liar” di Cibodas
kemarin.
Kelima bandar udara itu adalah Soekarno-Hatta, Jakarta; Polonia, Medan; Sam
Ratulangi, Manado; Juanda, Surabaya; dan Syamsuddin Noor, Banjarmasin. Chris juga
mengatakan Bandara Ngurah Rai di Bali kini mulai digunakan untuk menyelundukan
satwa juga.

Prosiding “Judicial Workshop”


56 Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
Penyelundupan di bandara-bandara tersebut terjadi, kata Chris, karena lemahnya
inspeksi oleh petugas karantina dan bea cukai.
Modus yang biasa dipakai penyelundup, Chris menjelaskan, membuat ruang ter-
sembunyi di dalam kontainer atau dalam kopor barang bawaan. Penyelundup juga sering
mencampurkan satwa yang dilindungi dengan yang tidak dilindungi. Modus lainnya
adalah pemalsuan dokumen yang menyebutkan satwa itu adalah hasil penangkaran.
Kepala seksi CITES (Konvensi Internasional tentang Perdagangan Species Flora
dan Fauna Liar yang Terancam Punah) Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati
Departemen Kehutanan Faustina Hardjanti mengakui kelemahan petugas di bandara
dan melakukan inspeksi bersama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam
(BKSDA) setempat dan petugas karantina dan bea-cukai.
”Kami juga tengah menyusun nota kesepaham dengan bandara agar kami bisa ikut
ada di bandara untuk memeriksa kargo,” kata Faustina.
Kepala Seksi Wilayah II Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Tanggerang, BKSDA
DKI Jakarta, Edi Sensudi, juga mengakui kesulitan yang dihadapi untuk meng-
identifikasi satwa langka yang masuk bandara. Kesulitan yang lain, kata dia, modus
penyelundupan semakin canggih dan bervariasi. (Oktamandjaya)

Prosiding ”Judicial Workshop”


Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar 57
3. Alamat dan Kontak Person Peserta

Endah Detty Pertiwi Imam Suhendro


Hakim Pengadilan Negeri Bogor, Direktorat Jenderal Bea Cukai
Jawa Barat Cukai Direktorat P2 Kantor Pusat
Jl. Pengadilan No. 10 Bogor, Ditjend. Bea dan Cukai
Tel: 0251-323190/Fax: 0251-323121 Jl. A. Yani (By Pass) Jakarta Timur
Tel: 021-4890308 ext 521
Frans Liemena, SH
Hp: 0811894898
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat
Jl. S. Parman No. 71, Jakarta Barat Drh. Tri Wahyuni, Msi
Tel: 021-535983/Fax: 021-5322312 Badan Karantina Departemen
Pertanian Gd. E Lt. V Kanpus
Heri Sasongko
Departemen Pertanian
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Jl. Harsono RM No. 3 Ragunan Jakarta
Jl. Ampera Raya No. 133 Jakarta Selatan
Selatan
Tel: 021-78836778/Hp: 081315490235
Tel: 021-7865035(-6)/780561(-2)/
Martha P. Berliana 7816480
Jaksa Kejaksaan Negeri Bogor, Jawa Fax: 021-7816483
Barat Jl. Ir. Juanda No. 6 Bogor
Drh. Yulianto Setiawan
Tel: 0251-321665/Hp: 08129997831
Balai Besar Karantina Hewan
Agung M.W Soekarno–Hatta
Jaksa Kejaksaan Negeri Bekasi Gd. Karantina Pertanian Bandara
Jl. Pramuka No. 83 Bekasi Internasional Jakarta Soekarno Hatta,
Tel: 021-8841450 Jakarta 19210
Tel: 021-5507931/Hp: 081316601318
Endang Mashudi
Ditjen PHKA–Dephut Suwardi, S.Pi, MMA
Gedung Manggala Wanabhakti Balai Besar Karantina Ikan
Blok 7 Lt. 12 Jakarta Selatan Soekarno–Hatta
Tel: 0251-78836778/Hp: 081315490235 Gd. Karantina Pertanian Bandara
Internasional Jakarta Soekarno Hatta,
Edi Sensudi
Jakarta 19210
Balai Konservasi Sumber Daya Alam/
Tel: 021-5507932/Fax: 021-5506783
BKSDA DKI Jakarta
Jl. Salemba Raya No. 9 Ir. M. Musyaffak Fauzi, SH, CN,
Jakarta Pusat 10440 Msi
Tel: 021-3157917/3158142 Balai Besar Karantina Tumbuhan
Tanjung Priok
Dra Faustina Hardjanti
Gd. Kantor BBKT Tanjung Priok
Ditjen PHKA–Departemen Kehutanan
Jl. Padamarang No. 6 Tanjung Priok
Gd. Manggala Wanabhakti
Jakarta Utara 14310
Blok 7 Lt. 7 Jakarta Selatan
Tel: 021-491511/4301080
Hp: 08129788552
Fax: 021-4367269
Hp: 081586334935/081319254126

Prosiding “Judicial Workshop”


58 Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
Sulaiman N. Sembiring Albertus Tjiu
Institut Hukum Sumberdaya Alam (IHSA) WWF (Forest Program) – Betung Kerihun
Jl. Keruong No. 1 RT 15 Gn. Bahagia WWF Indonesia Kalimantan Barat
Balikpapan – Kalimantan Timur Jl. Kom. Yos Sudarso No. 98 Putussibau
Hp: 08129404341 Kalimantan Barat
Tel: 0567-22258/Fax: 0567-22258
Zenwen Pador
Institut Hukum Sumberdaya Alam (IHSA) Oktamandjaya
Jl. Keruong No. 1 RT 15 Gn. Bahagia Tempo News Room
Balikpapan – Kalimantan Timur Hp: 081513601706
David N.R. Fajar
Institut Hukum Sumberdaya Alam (IHSA) LKBN Antara
Jl. Keruong No. 1 RT 15 Gn. Bahagia
Julia Ng
Balikpapan – Kalimantan Timur
TRAFFIC Southeast Asia
Fazrin Rahmadani Unit 9-3A, 3rd Floor
Institut Hukum Sumberdaya Alam (IHSA) Jalan SS23/11, Taman SEA Petaling Jaya,
Jl. Keruong No. 1 RT 15 Gn. Bahagia Selangor, Malaysia
Balikpapan – Kalimantan Timur Tel: (603) 78803940/Fax: 78820171
Windya Adnyana Chris Shepherd
WWF (Seaturtle Program) - Bali TRAFFIC Southeast Asia
Jl. Hayam Wuruk No. 69 Denpasar 80228 Unit 9-3A, 3rd Floor
Tel/Fax: 0361-7449851 Jalan SS23/11, Taman SEA Petaling Jaya,
Email: wadnyana@wwf.or.id Selangor, Malaysia
Tel: (603) 78803940/Fax: 78820171
Bhayu Pamungkas
WWF (Orangutan Program) – Sebangau Dr. Mubariq Ahmad
WWF Palangkaraya WWF (Executive Director) – Jakarta
Jl. Agung No. 15A Palangkaraya Kantor Taman A9 Unit A1
Kalimantan Tengah 73112 Jalan Kawasan Mega Kuningan,
Tel: 0536-28370/Fax: 0536-39404 Kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan
Email: bpamungkas@wwf.or.id Tel: 021-5761070 ext 300
Email: mubariqa@wwf.or.id
Rudi Zapariza
WWF (Forest Program) – Betung Kerihun Nazir Foead
WWF Indonesia Kalimantan Barat WWF (Species Programme Director) –
Jl. Kom. Yos Sudarso No. 98 Putussibau Jakarta
Kalimantan Barat Kantor Taman A9 Unit A1
Tel: 0567-22258/Fax: 0567-22258 Jalan Kawasan Mega Kuningan,
Email: rzapariza@wwf.or.id Kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan
Tel: 021-5761070 ext 200
Email: nfoead@wwf.or.id

Prosiding ”Judicial Workshop”


Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar 59
Hanna Tobing Retno Setiyaningrum
WWF (Programme Support) – Jakarta WWF (Legal Unit) – Jakarta
Kantor Taman A9 Unit A1 Kantor Taman A9 Unit A1
Jalan Kawasan Mega Kuningan, Jalan Kawasan Mega Kuningan,
Kawasan Mega Kuningan, Jakarta Kawasan Mega Kuningan, Jakarta
Selatan Tel: 021-5761070 ext 308 Selatan Tel: 021-5761070 ext 511
Email: htobing@wwf.or.id Email: rsetiyaningrum@wwf.or.id
.
Desmarita Murni
WWF (Communications/Species) –
Jakarta
Kantor Taman A9 Unit A1
Jalan Kawasan Mega Kuningan,
Kawasan Mega Kuningan, Jakarta
Selatan Tel: 021-5761070 ext 203
Email: dmurni@wwf.or.id
Chairul Saleh
WWF (Species Unit) – Jakarta
Kantor Taman A9 Unit A1
Jalan Kawasan Mega Kuningan,
Kawasan Mega Kuningan, Jakarta
Selatan Tel: 021-5761070 ext 210
Email: csaleh@wwf.or.id
Imelda Hilaluddin
WWF (Species Unit) – Jakarta
Kantor Taman A9 Unit A1
Jalan Kawasan Mega Kuningan,
Kawasan Mega Kuningan, Jakarta
Selatan Tel: 021-5761070 ext 210
Email: ihilaluddin@wwf.or.id
Fathi Hanif
WWF (Legal Unit) – Jakarta Kantor
Taman A9 Unit A1
Jalan Kawasan Mega Kuningan,
Kawasan Mega Kuningan, Jakarta
Selatan Tel: 021-5761070 ext 511
Email: fhanif@wwf.or.id

Prosiding “Judicial Workshop”


60 Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
Catatan
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
Catatan
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
Kerjasama
WWF Indonesia
TRAFFIC Southeast Asia
dan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Anda mungkin juga menyukai