Penegakan Hukum Atas Perlindungan Satwa Liar
Penegakan Hukum Atas Perlindungan Satwa Liar
Penegakan Hukum
atas Perlindungan Satwa Liar
Editor
1. Hanna Tobing
2. Fathi Hanif
3. Retno Setiyaningrum
Tim kreatif
PALMedia Creative pro
Jakarta
Oktober 2005
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
inayah-NYA sehingga “Judicial Workshop” Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa
Liar dapat berjalan dengan baik dan lancar serta menghasilkan keluaran-keluaran pen-
ting yang berguna untuk mendukung upaya penegakan hukum perdagangan ilegal satwa
liar di Indonesia.
Judicial Workshop yang dilakukan dalam upaya peningkatan penegakan hukum ter-
hadap perdagangan ilegal satwa liar ini memperoleh tanggapan yang sangat positif dari
para peserta yang terdiri dari aparat penegak hukum (jaksa, hakim) dan instansi terkait
lainnya (PHKA, Bea Cukai dan Karantina). Pertemuan seperti ini dianggap merupakan
hal yang sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan tentang perdagangan ilegal
satwa serta seluk-beluknya, pengetahuan perundang-undangannya serta upaya pene-
gakan hukumnya. Sebagian besar peserta memberikan komitmen untuk mendukung
upaya penegakan hukum terhadap perdagangan ilegal satwa liar sesuai dengan kapasitas
dan kewenangan yang dimiliki serta turut membantu untuk menyebarluaskan pengeta-
huan yang diperoleh, khususnya kepada rekan-rekan kerja lainnya.
Dengan terselenggaranya judicial workshop ini, kami ingin menyampaikan ucapan
terima kasih kepada pihak Mahkamah Agung, khususnya Hakim Agung Susanti Adi
Nugroho, SH, MH dan TRAFFIC Southeast Asia atas dukungan dan kerjasamanya da-
lam penyelenggaraan judicial workshop tersebut. Ucapan terima kasih juga kami sampai-
kan kepada seluruh pemakalah dan seluruh peserta judicial workshop yang telah memberi-
kan kontribusi pengetahuan dan pengalaman yang sangat berharga selama judicial
workshop berlangsung, sehingga kegiatan ini dapat berjalan dengan baik dan sangat pro-
duktif. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih serta penghargaan tak terhingga ke-
pada rekan-rekan WWF yang telah bersusah-payah dengan sepenuh hati membantu
pelaksanaan judicial workshop ini mulai dari persiapan hingga pelaksanaan.
Upaya penegakan hukum terhadap perdagangan ilegal satwa liar memang harus
terus ditingkatkan mengingat bahwa perdagangan ilegal satwa liar ini, dengan modus
yang terus berkembang, merupakan suatu ancaman yang sangat serius terhadap kelesta-
rian berbagai jenis satwa, termasuk satwa langka, misalnya orangutan kalimantan dan
i
sumatera, harimau sumatera, badak sumatera, gajah sumatera, penyu dan sebagainya.
Prosiding Judicial Workshop Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar diharap-
kan dapat dimanfaatkan sebagai masukan untuk mendukung upaya penegakan hukum
terhadap perdagangan ilegal satwa liar. Semoga satwa liar dapat lestari di habitatnya, se-
hingga dapat memberikan manfaat secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan
manusia.
Hormat kami,
Chairul Saleh
Head of Policy and Trade
Species Program WWF–Indonesia
2 Poses Lokakarya
Hari Pertama Lokakarya
1. Sambutan dan Pembukaan
oleh Dr. Mubariq Ahmad, Direktur Eksekutif WWF–Indonesia — 5
2. “Convention on International Trade in Endangered Species/CITES”
disampaikan oleh Dra. Faustina Hardjanti MSc, Direktorat Jenderal Per-
lindungan Hutan dan Konservasi Alam/(PHKA) Departemen Kehutanan — 8
Intisari Sesi Tanya Jawab — 15
3. “Perspektif Illegal Wildlife Trade di Asia Tenggara”
disampaikan oleh Chris Shepherd, TRAFFIC Southeast Asia — 16
Intisari Sesi Tanya Jawab — 23
4. “Perdagangan Ilegal Hidupan Liar di Indonesia: Potret Penegakan Hukum”
disampaikan oleh Chairul Saleh, WWF–Indonesia — 25
Intisari Sesi Tanya Jawab — 27
Hari Kedua Lokakarya
1. Review Lokakarya Hari Pertama — 33
2. “Implementasi Peraturan Terkait Perlindungan Hidupan Liar”
disampaikan oleh Sulaiman N. Sembiring, Institut Hukum Sumber Daya
Alam/ IHSA — 36
3. Penegakan Hukum Lingkungan dalam Praktek Peradilan
oleh Herry Santoso, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan — 40
Intisari Sesi Tanya Jawab — 40
iii
4. Diskusi Kelompok — 42
a. Studi Kasus Kelompok 1 — 42
b. Studi Kasus Kelompok 2 — 45
4 Lampiran
1. Agenda Kegiatan Lokakarya — 51
2. Liputan Media — 53
2.1 RRI Online, Rabu 28 September 2005
“Enam Bandara Indonesia Dijadikan Pintu Keluar Penyelundupan Sat-
wa Liar” — 53
2.2 LKBN Antara, Rabu 28 September 2005
“WWF: Koordinasi Antar Penegak Hukum Perlu untuk Kurangi Perda-
gangan Satwa Liar Ilegal — 54
2.3 Koran Tempo, Kamis 29 September 2005
“Bandara, Pintu Penyelundupan Satwa Langka” — 56
3. Alamat dan Kontak Person Peserta — 58
1
(a) Nijman, Vincent: “In Full Swing: An Assessment of Trade in Orangutans and Gibbons on Java and Bali,
Indonesia”, A TRAFFIC Southeast Asia Report, 2005.
1
(b) Nijman, Vincent: “Hanging in the Balance: An Assesment of Trade in Orangutans and Gibbons on
Kalimantan, Indonesia”, TRAFFIC Southeast Asia, September 2005.
1
proses secara hukum dan banyak para pelaku yang dengan mudah dapat meloloskan diri
dari jerat hukum. Sejumlah kasus yang sempat berlanjut ke proses peradilan umumnya
ditutup dengan vonis ringan yang relatif tidak sebanding dengan nilai kerusakan ekologi
yang diakibatkan. Salah satu penyebab belum optimalnya upaya penegakan hukum ter-
hadap kasus perdagangan ilegal satwa liar, adalah terbatasnya pengetahuan aparat pene-
gak hukum terhadap masalah perdagangan ilegal tersebut, termasuk perundangan-
undangan yang relevan yang dapat digunakan dalam proses peradilan. Dalam kaitan ini,
diperlukan dukungan keahlian dan pertukaran informasi antara lembaga swadaya ma-
syarakat yang bergerak di bidang konservasi dengan lembaga-lembaga yang bergerak di
bidang peradilan dan penegakan hukum. Pemahaman tersebut merupakan landasan di-
laksanakannya Judicial Workshop ”Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar”,
yang diselenggarakan oleh WWF–Indonesia bekerja sama dengan TRAFFIC Southeast
Asia dan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
2. Tujuan
Sejalan dengan permasalahan yang dijabarkan sebelummya, judicial workshop ini di-
rancang untuk mencapai tujuan rangkap sebagai berikut:
1. Kalangan pejabat dan aparat lembaga peradilan serta lembaga penegak hukum
terkait paham akan kerawanan perdagangan ilegal satwa liar serta resiko ancaman-
nya terhadap kelestarian satwa yang diperdagangkan.
2. Kalangan pejabat dan aparat dari lembaga peradilan dan penegak hukum paham
tentang peraturan CITES (Convention on International Trade in Endangered of Wild Spe-
cies Flora and Fauna) dan peraturan perundangan nasional yang relevan, yang per-
lindungan melalui pengaturan perdagangan internasional satwa liar.
3. Kalangan pejabat/aparat peradilan dan penegak hukum dan LSM yang bergiat di
bidang pengurangan perdagangan ilegal satwa liar, bersama-sama mengupas faktor
pendukung dan penghambat peradilan kasus perdagangan ilegal satwa liar serta
mengkaji cara mendukung keberhasilan prosekusi kasus perdagangan tak sah satwa
liar.
3. Metodologi
Beberapa metoda yang diterapkan demi tercapainya tujuan judicial workshop seperti
tersebut di atas terdiri dari:
1. Presentasi oleh narasumber dan tanya-jawab dalam forum;
6. Organisasi Pelaksana
Judicial Workshop diselenggarakan oleh WWF–Indonesia, bekerja sama dengan
TRAFFIC Southeast Asia dan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Assalamualaikum Wr. Wb
Yang terhormat:
Ibu Susanti Adi Nugroho,
perwakilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, atau yang mewakili,
Bpk. Adi Susmianto,
Dir. Konservasi Keanekaragaman Hayati, Ditjen PHKA, atau yang mewakili,
Chris Shephard, TRAFFIC Southeast Asia, dan
Para Peserta dan Undangan Lokakarya.
Selamat datang dalam Workshop Penegakan Hukum Perlindungan Satwa Liar.
Penanggulangan masalah perburuan dan perdagangan satwa dilindungi hingga kini
masih menjadi hal yang sangat kompleks dan memerlukan kerjasama dan koordinasi an-
tar pihak yang terkait. Berbagai naskah perundangan ataupun peraturan ditingkat nasio-
nal dan daerah mengenai perlindungan satwa liar telah diterbitkan, namun belum men-
jamin perlindungan atas satwa liar yang dimaksudkan. Banyak kasus perdagangan satwa
liar yang masih terus ditemukan, baik yang dilakukan antar kota di Indonesia, maupun
antar negara di Asia Tenggara hingga ke beberapa negara Eropa. Menurut laporan
TRAFFIC yang dikeluarkan pertengahan Juni lalu, perdagangan orangutan di Jawa dan
Bali saja diperkirakan berkontribusi terhadap kepunahan orangutan sekitar 1000 ekor
rata-rata per tahunnya, atau sekitar satu sampai tiga ekor per harinya!
Kondisi yang sangat mengkhawatirkan!
Laporan yang dirilis awal September lalu juga menunjukkan satu fenomena yang
perlu mendapat perhatian serius dari banyak pihak. Bukan saja bahwa perdagangan
orangutan di Kalimantan tidak mengalami penurunan dalam 15 tahun terakhir, tetapi
juga bahwa meski banyak orangutan dan owa yang disita oleh aparat selama satu dekade
terakhir di Kalimantan, namun hingga saat ini tidak satupun pelakunya dihukum! Tam-
paknya, salah satu alasan lemahnya penegakan hukum adalah bahwa bagi aparat hukum,
5
termasuk hakim dan penuntut umum perdagangan dan pemeliharaan satwa dilindungi
ini belum dianggap sebagai kejahatan serius. Sementara di sisi lain tingginya permintaan
pasar; persepsi salah dalam hal “menyayangi” satwa liar; prestise atau kebanggaan
mengoleksi satwa awetan bagi kalangan mampu; kurangnya pemahaman fungsi ekologi
satwa; serta kebutuhan ekonomi menjadi alasan penyebab utama maraknya aktifitas per-
buruan dan perdagangan satwa liar.
Hadirin peserta lokakarya dan undangan yang saya hormati,
WWF–Indonesia menyadari bahwa program pendidikan dan penyadaran menjadi
komponen penting dalam upaya meningkatkan pemahaman terhadap status perlin-
dungan satwa liar, termasuk untuk mendukung efektifitas penegakan hukum di lapang-
an. Oleh karena itu, forum-forum yang memberikan kesempatan terjadinya pertukaran
informasi, pendidikan, dan peningkatan kapasitas, koordinasi, dan sinergi antara para
pihak, termasuk aparat penegak hukum dan lembaga peradilan perlu terus dilakukan.
Dukungan keahlian juga dibutuhkan untuk mendukung upaya peningkatan pemahaman
dan efektifitas penegakan hukum terhadap perdagangan satwa liar. Berangkat dari latar
belakang pemikiran itulah, maka WWF–Indonesia bekerjasama dengan TRAFFIC
Southeast Asia dan Mahkamah Agung Republik Indonesia menyelenggarakan loka-
karya bagi lembaga peradilan dan aparat penegak hukum ini.
Lokakarya ini dirancang sebagai forum untuk bertukar informasi guna mening-
katkan pemahaman peserta akan kerawanan perdagangan satwa liar, sekaligus untuk
mensosialisasikan peraturan CITES (internasional dan nasional) yang melindungi satwa
liar dari perburuan dan perdagangan ilegal. Melalui lokakarya ini diharapkan para peser-
ta yang merupakan wakil dari berbagai lembaga terkait (pejabat pemerintah, kejaksaan,
pengadilan, kepolisian, LSM, media, dan lembaga terkait lainnya) dapat bersama-sama
mengupas faktor pendukung dan penghambat peradilan kasus perdagangan ilegal satwa
liar serta mengkaji cara mendukung keberhasilan prosekusi kasus terkait.
Hadirin yang terhormat,
Sebagai upaya untuk mengurangi ancaman perburuan dan perdagangan satwa liar
yang dilindungi, selama beberapa tahun terakhir WWF–Indonesia telah melaksanakan
program pemantauan perdagangan satwa liar, selain juga memberi dukungan terhadap
tim patroli yang dijalankan pemerintah, melakukan program pendidikan dan penyadar-
an, dan terlibat secara aktif dalam forum-forum nasional dan internasional yang mem-
bahas kebijakan mengenai perlindungan satwa liar. Tak kalah pentingnya dari program-
program di atas WWF–Indonesia juga memfasilitasi berbagai kegiatan yang mendukung
pelestarian satwa liar di habitat aslinya.
Terima kasih.
Wassalammualaikum Wr. Wb
DR. Mubariq Ahmad
Workshop diawali dengan sesi presentasi oleh PHKA yang disampaikan oleh Dra.
Faustina Hardjanti MSc, Kepala Seksi CITES Direktorat Jenderal PHKA Departemen
Kehutanan, mengenai Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna
and Flora (CITES) atau Konvensi Internasional tentang Perdagangan Spesies Flora dan
Fauna Liar yang Terancam Punah.
Sesi tersebut dimoderatori oleh Chairul Saleh, Head of Policy and Trade WWF–
Indonesia. Dalam pengantar sesi tersebut, Chairul menyampaikan beberapa gambaran
umum mengenai CITES diantaranya bahwa Indonesia telah meratifikasi ketentuan
CITES sejak tahun 1978. Namun demikian, dijelaskan pula munculnya sejumlah ken-
dala dalam implementasi peraturan CITES, sehingga Indonesia sempat beberapa kali
memperoleh ancaman 'total trade ban' dari sekretariat CITES, misalnya yang terjadi pada
tahun 1998, karena Indonesia tidak memiliki aturan nasional yang dapat mendukung
implementasi peraturan CITES. Pada tahun 2004 dalam Conference of Party (COP) ke-12
regulasi CITES di Indonesia masuk ke dalam kategori 3, artinya ada peraturan tapi tidak
terlalu kuat untuk mendukung pelaksanaan peraturan CITES, khususnya dalam hal pe-
negakan hukum. Namun saat ini regulasi di Indonesia telah kembali naik ke peringkat
satu terkait dengan dikeluarkannya SK No. 447 tahun 2003 tentang Tata Usaha Peng-
ambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar.
CITES
CITES dikenal juga sebagai Washington Convention, karena ditandatangi di Washing-
ton D.C. CITES ditandatangani pada tanggal 3 Maret 1973, dan berlaku secara resmi
pada 1 Juli 1975, yang artinya telah beroperasi selama 30 tahun lebih.
CITES adalah kesepakatan antar negara, dengan tujuan untuk menjamin bahwa hi-
dupan liar berupa flora dan fauna yang diperdagangkan secara internasional tidak dieks-
ploitasi secara tidak berkelanjutan yang pada akhirnya dapat menyebabkan punahnya
atau langkanya sumberdaya tersebut di habitat alam.
160
140
120
100
80
60
40
20
0
1975 CoP1 CoP2 CoP3 CoP4 CoP5 CoP6 CoP7 CoP8 CoP9 CoP10 CoP11 Sep-02
Tabel 2. Negara Tujuan dan Jenis Satwa Yang Diekspor Dari Indonesia
No. Negara Tujuan Jenis yang dieksport
1 USA Koral, anggrek, kulit reptil dan binatang peliharaan
2 Eropa Koral, kulit, binatang peliharaan, ramin dan burung
3 Jepang Arwana, anggrek, kulit dan pakis
4 China/Hongkong/Taiwan Kura-kura, ular hidup, kulit dan pakis
Presentasi Chris Shepherd, Program Officer TRAFFIC Southeast Asia, diawali deng-
an menjelaskan TRAFFIC dan kegiatan programnya kepada para peserta workshop. Sesi
ini dimoderatori oleh Hanna Tobing, Program Support Coordinator WWF–Indonesia.
TRAFFIC merupakan sebuah organisasi non-pemerintah yang didirikan oleh
WWF dan IUCN. Kegiatan TRAFFIC meliputi pengawasan perdagangan satwa liar di
tingkat regional dan sub-regional.
Fokus pekerjaan TRAFFIC meliputi pengawasan implementasi peraturan CITES.
Misi TRAFFIC yaitu memastikan bahwa perdagangan tumbuhan dan satwa liar tidak
akan menimbulkan ancaman kepunahan terhadap jenis yang diperdagangkan.
TRAFFIC Southeast Asia/TRAFFIC-SEA berkantor di Kuala Lumpur, Malaysia,
sedangkan kantor pusat TRAFFIC International berlokasi di Inggris.
Shepherd memaparkan bahwa kondisi orangutan saat ini tersebar di negara-negara
Asia Tenggara. Sebuah kenyataan yang ironis, mengingat orangutan sebenarnya hanya
berasal dari Indonesia dan sebelah timur Malaysia. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Ja-
wabannya ialah karena adanya perdagangan ilegal orangutan. Dijelaskan juga bahwa saat
ini Malaysia sedang melakukan penyelidikan DNA orangutan untuk mengetahui asal-
usul orangutan yang saat ini ada di semenanjung Malaysia.
Tujuan Perdagangan
Perdagangan satwa internasional dilakukan untuk memasok berbagai permintaan,
baik dalam lingkup domestik maupun internasional.
Shepherd melemparkan pertanyaan kepada peserta, “Apakah alasan perdagangan
tumbuhan dan satwa liar?”. Peserta merespon dengan berbagai jawaban, antara lain:
sebagai bahan obat tradisional, bahan makanan, binatang peliharaan, dekorasi, koleksi
dan kebun binatang, serta untuk mendapatkan uang. Satwa diperdagangkan, baik secara
sah maupun tidak sah, karena beragam alasan, dan alasan utamanya adalah untuk di-
makan, untuk obat tradisional, dijadikan hewan piaraan, untuk obyek pajangan dan
hiasan, dan untuk kebun binatang serta untuk dijadikan koleksi.
Sementara pada beberapa tingkat perdagangan, sebagian orang terlibat dalam
perdagangan tumbuhan dan satwa liar dalam upaya mempertahankan kelangsungan
penghasilannya. Di samping itu banyak pelaku yang sebenarnya sudah kaya raya dan,
Asia Tenggara Juga Merupakan Konsumen Satwa dari Wilayah Lain yang Pesat
Pertumbuhannya
Meningkatnya pembelian berjalan seiring dengan meningkatnya pertumbuhan pa-
sar untuk barang-barang mewah, seperti hewan piaraan yang langka dari daerah luar, hi-
dangan satwa yang mahal di restoran-restoran dan kepemilikan atas kebun binatang
swasta dan koleksi hewan.
b. Thailand
Thailand merupakan salah satu pusat perdagangan satwa yang berasal dari Indone-
sia. Begitu juga Singapura. Satwa asal Indonesia yang dijual antara lain jenis-jenis
burung seperti burung kakatua dan kulit reptil.
Spesies burung dan reptil dari luar yang diperdagangkan dalam skala-besar dijual se-
bagai hewan peliharaan di pasar Bangkok.
Kulit macan dan barang pajangan lain dibawa dari negara-negara tetangga dalam
upaya memenuhi permintaan setempat dan juga untuk diekspor kembali ke negara-
negara lain.
Obat tradisional yang berasal dari spesies yang berasal dari negara-negara tetangga
dijual di Bangkok.
Spesies dari Indonesia, seperti kakatua raja, berhasil disita dari kapal yang tengah
memasuki Thailand.
c. Singapura
Mengekspor kembali hewan liar, tanaman, produknya serta turunannya yang ber-
asal dari negara-negara lain (semua ekspor spesies luar Singapura tidak diper-
bolehkan).
Memiliki permintaan akan burung dan reptil yang termasuk satwa yang sangat
mahal dalam skala-besar untuk industri, satwa peliharaan, dan sebagainya.
Mengimpor penyu dan kura-kura darat/air tawar dari Indonesia untuk konsumsi
dalam negeri dan untuk diekspor kembali.
Merupakan pusat perdagangan utama kulit reptil. Terdapat beragam kasus dimana
penyalur produk-produk ini menggunakan surat ijin palsu dan jenis penipuan lain-
nya.
Produk canggih, seperti shatoosh, kadang diselundupkan melalui jalur udara dalam
upaya memenuhi permintaan fashion orang-orang kaya.
d. Laos
Gading dan produk lain dijual di Vientiane kepada para turis, yang kebanyakan ber-
asal dari Cina. Hewan hidup diselundupkan ke Vietnam untuk dijual di restoran-
restoran.
Trenggiling dan kura-kura air tawar serta kura-kura darat dikirim ke Vietnam,
kemudian ke Cina. Banyak dari antaranya berasal dari Malaysia.
e. Kamboja
Hewan hidup diselundupkan ke Thailand dan Vietnam. Barang pajangan dijual
ke Thailand dari berbagai pasar skala-kecil di perbatasan. Obat tradisional, seperti
yang dibuat dari Slow Loris atau kukang (Nycticebus coucang), digunakan di dalam
negeri dan dijual ke negara-negara tetangga.
f. Vietnam
Vietnam juga menjadi salah satu pusat perdagangan satwa asal Indonesia, yaitu un-
tuk gading dan trenggiling yang diselundupkan ke China. Dengan kata lain, Viet-
nam merupakan pintu penyelundupan ke China. Di Vietnam juga diperdagangkan
penyu asal Indonesia (yang katanya diperoleh dari nelayan) yang selanjutnya akan
dibawa ke China.
g. Myanmar
Myanmar juga merupakan pintu perdagangan satwa asal Indonesia untuk tujuan
obat tradisional dan makanan untuk diekspor ke China. Sumber barang pajangan,
seperti tanduk, kulit, dan tanduk rusa, untuk Thailand dan Cina. Ekspor spesies se-
perti ular dalam skala-besar ke Cina melalui jalan darat. Kulit macan dan produk lain
diselundupkan melalui jalur udara dan diekspor kembali melalui pasar di perbatasan
seperti Tachileck. Barang pajangan yang berasal dari macan berasal dari India dan
dijual di Tachilek. Kepala burung enggang yang besar juga dijual sebagai benda
pajangan.
h. Filipina
Burung diselundupkan melalui kapal laut dari Indonesia Timur untuk memenuhi
permintaan dalam negeri dan untuk diekspor kembali. Ikan batu karang dikumpul-
kan dan diekspor ke tempat tujuan konsumen, seperti Hong Kong. Produk penyu
laut diekspor secara ilegal ke Malaysia.
i. Malaysia
Bandara Udara Internasional Kuala Lumpur merupakan pusat utama perdagangan
satwa dan pintu terbesar penyulundupan satwa asal Indonesia untuk diselundupkan
ke pasar Internasional setiap harinya. Bandara inilah yang menghubungkan para pe-
dagang dari Indonesia dan Malaysia dengan para pembeli di Cina, Hong Kong,
Jepang, Amerika Utara, Eropa, dan tempat lainnya. Bandara ini merupakan sumber
utama trenggiling, ular dan penyu. Banyak juga yang dikapalkan dari Malaysia tetapi
berasal dari Indonesia.
Jumlah koleksi dan kebun binatang skala-kecil terus bertambah, disamping me-
ningkatnya keterlibatan kebun binatang besar dan pusat-pusat hiburan dalam skala
internasional. Malaysia, misalnya, memiliki 45 kebun binatang. Sungguh merupa-
Rute Perdagangan
Satwa relatif dengan mudah melintas secara ilegal dari satu negara ke negara lain di
seluruh Asia Tenggara.
Hampir semua jalan yang melintasi perbatasan internasional digunakan oleh para
penyelundup, karena pemeriksaan di perbatasan seringkali tidak ketat.
Di Asia Tenggara, rute-rute terbesar perdagangan satwa ialah: Air Cargo Medan me-
nuju Kuala Lumpur International Airport kemudian menuju ke Pasar Cina Selatan.
Bandara udara dan pelabuhan laut utama banyak digunakan oleh para penyalur sat-
wa ilegal, yang seringkali menggunakan pernyataan palsu untuk muatan mereka, atau sa-
rana lain, agar dapat menembus pabean. Sebagian pihak bandara udara yang berwenang
tidak menyadari akan tanggungjawab mereka dalam menegakkan peraturan mengenai
perdagangan satwa dan para pedagang memanfaatkan kelemahan ini.
Sebagian rute perdagangan utama mencakup:
– Muatan udara dari Medan, Sumatera Utara ke Bandara Udara Internasional Kuala
Lumpur, kemudian ke pasar di Cina selatan.
– Produk satwa diambil melalui jalan darat dari Laos dan Kamboja ke Vietnam, di-
mana sebagian besar dikirim ke Cina.
– Telur penyu laut dari pulau penyu Filipina masuk ke Sabah, kemudian ke Kuala
Lumpur.
– Satwa dari India dibawa ke Myanmar melalui jalan darat dan udara, kemudian ke
Thailand, Cina, dan negara lain.
Metoda Pengangkutan
Satwa diperdagangkan melalui sejumlah sarana, termasuk jalur udara, laut, dan
darat. Perdagangan dalam volume besar ke Cina dari negara-negara yang jauh di Asia
Tenggara seringkali dilakukan melalui jalur udara, karena kecepatan dan efisiensi modus
angkutan ini dapat menurunkan angka kematian secara signifikan. Untuk spesimen mati,
lebih sering menggunakan jalur laut.
Muatan satwa lain dalam volume besar dibawa melalui jalur darat dengan meng-
gunakan truk, yang seringkali melintasi sejumlah negara.
Barang-barang yang lebih kecil dan jumlah yang lebih sedikit seringkali diselundup-
kan melalui barang bawaan atau secara pribadi. Di sini termasuk spesies seperti Indian
Star Tortoise (jenis kura-kura darat), yang seringkali diselundupkan ke Singapura dan
Kuala Lumpur.
Contoh bagaimana perdagangan ilegal satwa dapat terjadi, antara lain melalui:
• Edaran daftar harga
• Pameran
• Internet/e-mail
• Surat-menyurat
• Surat kabar
• Papan pengumuman
• Kelompok/klub spesialis
• Outlet eceran
• Majalah spesialist
• Telepon/faks yang dijadikan target
• Canvassing (perjalanan keliling)
• Pameran dagang
• Outlet perdagangan grosir
• Dari mulut ke mulut
Presentasi dimulai dengan memberikan paparan gambaran umum dan definisi Per-
dagangan ilegal tumbuhan dan satwa liar. Sesi ini dimoderatori oleh Fathi Hanif dari
WWF– Indonesia.
Peranan Kejaksaan
Proses P21 oleh Kejaksaan
Dalam P21, terdapat ketentuan bahwa dalam jangka waktu 14 hari, tersangka dan
barang bukti sudah harus diserahkan ke kejaksaan. Bila tidak diserahkan, maka
Kejaksaan akan mengeluarkan P21H untuk menagih tersangka dan barang bukti terse-
but di atas (misalnya ke Kapolres). Bila suatu berkas perkara belum di-P21, ke-
mungkinan berkas perkara tersebut memang belum lengkap, sehingga dikeluarkanlah
P18. Tahap selanjutnya, dikeluarkanlah P19 yang berisi lampiran yang menyatakan
berkas-berkas yang harus dilengkapi (diolah dari pertanyaan Drh. Yulianto dari Balai
Karantina Hewan). Di samping itu, Jaksa hendaknya merancang dakwaan dengan
memasukkan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perkara tersebut,
sehingga kasus-kasus illegal wildlife trade bisa dijerat dengan peraturan perundang-
undangan tersebut (diolah dari usulan Herry Sasongko dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan).
Pada akhirnya, menjadi suatu harapan ke depan agar berkas yang diajukan oleh Jaksa
Penuntut Umum dapat menemukan koridor yang sama dengan putusan majelis hakim
(diolah dari tanggapan Sulaiman N. Sembiring dari IHSA).
PPS
Ketentuan mengenai PPS dan Peredaran Satwa dapat ditemui di SK Menhut No.
447/2003 tentang Tata Tertib Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar. PPS dibangun
untuk mendukung upaya penegakan hukum perlindungan tumbuhan dan satwa, teruta-
Pentingnya Sosialisasi Isu Wildlife Trade, CITES dan Hukum Nasional Terkait
Disadari bahwa tidak semua aparat kejaksaan dan aparat penegak hukum lainnya
mengerti dan memahami apa itu CITES. Informasi mengenai CITES yang disampaikan
oleh PHKA (Ibu Faustina) pada workshop ini cukup membuka horizon para aparat
penegak hukum. Sosialisasi akan CITES dan masalah perdagangan ilegal tumbuhan dan
satwa liar dirasakan perlu bagi aparat penegak hukum (yaitu ke: penyidik PPNS,
Pengacara, Jaksa dan Hakim).
Untuk mengupayakan hal tersebut, perlu diadakan kerjasama antara WWF dan Ke-
jaksaan untuk mengatasi masalah tersebut. Suatu harapan ke depan juga yaitu disampai-
kan dan didiskusikannya isu illegal wildlife trade ini di dalam pelatihan-pelatihan di kalang-
an Mahkamah Agung (diolah dari tawaran dari Martha P. Berliana dari Kejaksaan Negeri Bogor
dan ditanggapi oleh Endah Detti Pertiwi dari Pengadilan Negeri Bogor dan Fathi Hanif dari
WWF– Indonesia).
Untuk penerapan CITES ini, dirasakan bahwa di beberapa daerah telah banyak tin-
dak pidana terhadap perdagangan ilegal satwa liar. Menurut beliau peraturan per-
undang-undangan terkait dengan perlindungan tumbuhan dan satwa liar ini juga penting
untuk disosialisasikan ke masyarakat di sekitar daerah yang memiliki angka tinggi kasus
perdagangan ilegal satwa liarnya atau daerah yang rentan dengan masalah perburuan liar,
misalnya di Lampung. Dipertanyakan pula apakah dimungkinkan advokasi penegakan
hukum dapat berfungsi menjadi fungsi kontrol mulai dari tingkat penyelidikan hingga
penyidikan, seperti: advokasi perempuan, advokasi anak (diolah dari masukan Agung M.
Wibowo dari Kejaksaan Negeri Bekasi).
Brosur-brosur atau buku-buku yang bahasanya mudah dimengerti oleh masyarakat
dapat menjadi media sosialisasi sederhana tentang CITES. Kemudian disebarkan di ma-
syarakat-masyarakat sekitar hutan, sehingga timbul kesadaran sejak dini. Penyuluhan-
penyuluhan juga dirasakan perlu bagi para aparat bea cukai, balai karantina dan aparat
terkait lainnya.
Disadari bahwa pemahaman masyarakat awam akan definisi “melindungi satwa-
satwa dilindungi” tersebut masih rancu. Masyarakat awam menilai bahwa memelihara
satwa dilindungi bukanlah suatu hal yang salah. Mereka justru menganggap tindakan
memelihara tersebut merupakan tindakan melindungi satwa dilindungi (diolah dari
masukan Imam Suhendro dari Bea Cukai).
Penetapan Kuota yang Tidak Real Menjadi Isu CITES Saat Ini
Isu yang ada saat ini ialah penetapan kuota yang dirumuskan tidak secara real ber-
dasarkan kondisi populasi satwa di alam. Terhadap hal ini, perlu suatu usulan kuota oleh
scientific outhority yang dilakukan secara ilmiah oleh LIPI dan lembaga terkait lainnya,
untuk menghindari adanya perubahan kategori Apendiks-nya di CITES.
Salah satu penentuan kuota yang belum didukung oleh data ilmiah yang memadai
adalah perdagangan terumbu karang/koral yang masuk kedalam Apendiks II (diolah dari
tanggapan Edi sensudi dari BKSDA DKI). Penyelundupan terumbu karang/koral masih
terjadi dengan modus yang begitu rapi.
Presentasi dan diskusi pada hari I Workshop secara garis besar memberikan paparan
mengenai perdagangan ilegal satwa liar, sebagai berikut:
Penegakan Hukum
Upaya penegakan hukum secara optimal untuk menghentikan perdagangan ilegal
satwa masih memiliki beberapa kendala, antara lain:
a. Masih terdapat kelemahan pada perangkat legislasi nasional (meskipun di tingkat
ASEAN, Indonesia termasuk negara yang mempunyai legislasi terbaik, selain
Singapura dan Vietnam). Dalam legislasi nasional yang terkait dengan konservasi
keanekaragaman hayati, sanksi hukum masih memfokuskan pada pelanggaran ter-
hadap satwa yang dilindungi, sementara perdagangan ilegal satwa yang tidak di-
lindungi belum diatur sanksi hukumnya.
b. Belum adanya mekanisme kerjasama yang memadai antar instansi penegak hukum
untuk mendukung upaya penegakan hukum yang efektif.
33
Untuk mendukung upaya penegakan hukum dan perlindungan hidupan liar dari an-
caman perdagangan ilegal, perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Diperlukan suatu preseden dalam penegakan hukum terhadap perdagangan ilegal
satwa liar untuk mencegah terus berlangsungnya kejahatan terhadap satwa liar ter-
sebut.
b. Harus dipastikan agar informasi terkait dengan kasus kejahatan terhadap satwa,
daftar jenis-jenis satwa yang dilindungi serta peraturan terkait dapat tersosialisasi
dan dipahami oleh berbagai pihak (baik masyarakat umum, masyarakat yang tinggal
di daerah rentan perdagangan ilegal satwa (“illegal wildlife trade”), maupun aparat pe-
negak hukum, seperti PPNS, Polisi, Jaksa, Pengacara dan Hakim.
c. Diperlukan pemahaman yang kuat dan komprehensif mengenai CITES (Convention
on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), konvensi tentang
perdagangan internasional satwa langka.
Sehubungan dengan upaya penegakan hukum tersebut, beberapa faktor penting
yang dapat dilakukan antara lain:
a. Sosialisasi/Penyebaran Informasi tentang CITES
1) Pemahaman seluk beluk tentang CITES, mulai dari fungsi, manfaat, mekanis-
me, implementasi dan sebagainya perlu disosialisasikan dan dijelaskan secara
lengkap kepada berbagai pihak yang terkait.
2) Diperlukan kerjasama yang baik dari seluruh pihak terkait, agar CITES yang
telah diratifikasi oleh RI dapat diimplementasikan secara efektif.
b. Komunikasi dan komitmen
Perlu dibangun komunikasi intensif dan komitmen yang sungguh-sungguh dari se-
luruh pihak yang terkait untuk secara bersama-sama mengatasi perdagangan ilegal
hidupan liar.
c. Pendampingan
Perlu dilakukan pendampingan oleh lembaga-lembaga/instansi-instansi terkait da-
lam proses penegakan hukum pada kejahatan terhadap satwa. Output dari pendam-
pingan kasus-kasus tersebut diharapkan munculnya preseden positif untuk pe-
nanganan kejahatan terhadap satwa (“wildlife crime”).
d. Penguatan kapasitas dan Informasi
1) Perlu ada SOP (Standart Operational Procedure) bagaimana menangani satwa
yang masuk ke Indonesia secara ilegal, terutama terhadap satwa yang termasuk
ke dalam Apendiks CITES.
KERANGKA PERATURAN
UUD 45
PERUNDANGAN
KONSERVASI
PERANCANGAN
PERUNDANGAN-
UNDANGAN
Sesi presentasi Susanti Adi dari Mahkamah Agung digantikan oleh Herry Santoso,
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan dimoderatori oleh Fathi Hanif, Legal and
Policy WWF–Indonesia. Herry Santoso membagikan pengalaman dan informasi kepada
peserta mengenai kasus-kasus Sumber Daya Alam, seperti pemboman ikan di TN Laut
Bunaken. Herry Santoso menghimbau aparat penegak hukum untuk turut berperan
serta menyadarkan masyarakat (khususnya masyarakat daerah terkait), baik dengan
penyuluhan maupun sosialisasi SDA.
Sesi ini selanjutnya memberikan kesempatan kepada para partisipan untuk melaku-
kan tanya jawab.
Pada sesi Diskusi Kelompok ini, para partisipan dibagi menjadi 2 kelompok, di mana
tiap kelompok terdiri dari berbagai elemen. Masing-masing kelompok diberikan studi
kasus mengenai perdagangan ilegal satwa (satwa dilindungi). Setiap kelompok diminta
untuk membedah kasus tersebut dari aspek hukumnya dengan cara menjawab
pertanyaan yang telah disediakan. Simulasi kasus ini merupakan media latihan bagi
aparat penegak hukum dan instansi terkait lainnya untuk mencapai beberapa tujuan
antara lain:
1. Penyamaan persepsi terhadap suatu kasus perdagangan ilegal satwa
2. Menerapkan peraturan yang sesuai untuk kasus perdagangan ilegal satwa
3. Meningkatkan pengetahuan perundang-undangan terkait dengan perdagangan
ilegal satwa dan,
4. Mengembangkan mekanisme koordinasi antar aparat penegak hukum dan instansi
terkait lainnya.
Proses Diskusi:
Kelompok ini terlebih dahulu memaparkan keterangan kunci dari uraian kasus
posisi yang diberikan yaitu sebagai berikut:
a. Diidentifikasi pelaku utama kasus ini yaitu: Bary, Kadri, Bahar, Hamzah.
Pembelinya yaitu Ricki, dan supir bernama Tamin.
Pertanyaan:
a. Mengapa Siman, Stevanus dan Paul ditangkap oleh aparat penegak
hukum?
b. Apa dasar hukum mereka ditangkap?
c. Bagaimana proses penangkapan kasus ini khususnya terkait dengan hewan
yang masih hidup?
d. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban masing-masing pelaku?
Bagaimana pembuktiannya?
e. Apakah pelaku dapat dikenakan dakwaan tindak pidana berlapis?
f. Saksi-saksi apa yang dibutuhkan kepolisian dalam pemberkasan kasus dan
JPU di dalam pembuktian di pengadilan?
g. Kendala apa yang kemungkinan dapat timbul sebagai faktor penghambat
dalam penyelesaian kasus ini?
Jawaban:
a. Karena para pelaku telah melakukan tindak pidana melakukan penangkapan penyu
yang merupakan satwa dilindungi.
b. Pasal 21 ayat 2 huruf a jo. Pasal 40 ayat (2) dan ayat (4) UU No. 5/1990 tentang
Konservasi Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Pasal 12 ayat (1) jo. Pasal 86 UU
No. 31/ 2004 tentang Perikanan.
c. Hewan yang masih hidup statusnya sebagai barang bukti yang dititipkan (di balai
KSDA setempat), dapat dikembalikan ke habitatnya dan difoto (dasar hukum: Pasal
24 ayat (2) UU No. 5/1990 tentang Konservasi Alam Hayati dan Ekosistemnya).
Demikian juga untuk spesimen mati akan dimanfaatkan atau apabila tidak dapat di-
manfaatkan akan dimusnahkan.
d. Dasar hukum: mereka harus mempunyai kedudukan yang sama sebagai pelaku, ka-
rena ada kesepakatan bersama. Pembuktiannya ialah para pelaku bersama-sama
menangkap dan ada kesepakatan bersama.
49
Prosiding “Judicial Workshop”
50 Penegakan Hukum atas Perlindungan Satwa Liar
Lampiran
1. Agenda Kegiatan Lokakarya
JUDICIAL WORKSHOP
4
PENEGAKAN HUKUM PERLINDUNGAN
SATWA LIAR
CIBODAS, 27 – 29 SEPTEMBER 2005
51
Kamis, 29 September 2005 15.00 – 16.00 Resume hasil diskusi:
09.00 – 09.15 Review Hari I – Benang merah dari hasil
diskusi
Fasilitator: Sulaiman N.
Sembiring – Tantangan ke depan
dengan menawarkan
09.15 – 09.30 Presentasi Foto monitoring scheme dan
Tampilan slide dan foto koordinator sistem yang
perdagangan satwa efektif
Presenter: Desmarita Fasilitator: Fathi Hanif,
09.30 – 10.00 Presentasi IHSA Sulaiman N. Sembiring
Implementasi Peraturan 16.00 – 16.10 Kesimpulan/diskusi penutup
Perundang-undangan terkait Fasilitator: Fathi Hanif
Perlindungan Hidupan
16.10 – 16.20 Penutupan
Hidupan Liar di Indonesia
Penutupan Lokakarya oleh
Presenter: Sulaiman N.
Herry Sasongko
Sembiring
People in charge: Hanna Tobing,
Moderator: Fathi Hanif
Fathi Hanif, Chairul Saleh,
10.00 – 10.30 Presentasi Retno Setiyaningrum, Imelda,
Penegakan Hukum Lingkung- Desmarita, Dian T.
an pada Praktek Peradilan
16.20 – 17.00 Kembali ke Jakarta
Presenter: Herry Sasongko
People in charge: Dian T., Imelda,
Moderator: Fathi Hanif
Rini A.
10.30 – 10.40 Rehat Kopi
People in charge: Dian T.,
Desmarita, Rini A.
10.40 – 12.00 Diskusi Kelompok
Fasilitator: Fathi Hanif,
Chairul Saleh, Hanna Tobing,
Retno Setiyaningrum, Imelda
12.00 – 13.30 ISHOMA
13.30 – 14.30 Diskusi panel
Hasil dari diskusi kelompok
Fasilitator: Fathi Hanif,
Chairul Saleh, Hanna Tobing,
Retno Setiyaningrum, Imelda
14.30 – 15.00 Rehat Kopi
People in charge: Dian T.,
Desmarita, Rini A.