DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3
ANGGOTA:
1. Putri Amalia Haruna (19100) 9. Dirwan Hariman (19039)
2. Fitra Faradilla Ladjama (19060) 10. Syamsul Aditya (19022)
3. Hendri Kuruba (19113) 11. Ma'rifatul serin aulia (19012)
4. Alifia Ramadhani Emily (19047) 12. Donna Meliya Putri (17157)
5.Indar Dwi Putri (19140) 13. Desty Rossalia Rituwaya (1708)
6.Sandra Dwi Juliana (19138) 14. Arwinda Alitsia Hasyim (17214)
7. Zuhairah J Juni (19046) 15. Vanda kezia kambodji (17119)
8. I Wayan Purnama Agustino (19067)
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadiran Tuhan yang maha kuasa karena telah memberikan
kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas berkat dan
rahmat hidayahnya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul "Hukum
Informed Consent" tepat waktu, Makalah ini disusun guna memenuhi tugas dari
ibu dosen pada mata kuliah "Undang-Undang Etika Kefarmasian" di Universitas
Tadulako. Kami berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi
pembaca, Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
oleh karena itu kritik dan saran yang membangun akan kami terima demi
kesempurnaan makalah ini. Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya
kepada ibu dosen mata kuliah Undang – Undang Etika Kefarmasian.
DAFTAR ISI
SAMPUL...................................................................................................................
KATA PENGANTAR..............................................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................
1.3 TUJUAN
..........................................................................................................................
BAB IV PENUTUP..................................................................................................
4.1 KESIMPULAN...................................................................................................
4.2 SARAN................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu tujuan dari hukum adalah untuk melindungi kepentingan pasien
disamping mengembangkan kualitas profesi dokter atau tenaga kesehatan.
Keserasian antara kepentingan pasien dan kepentingan tenaga kesehatan,
merupakan salah satu penunjang keberhasilan pembangunan sistem
kesehatan. Oleh karena itu perlindungan hukum terhadap kepentingan-
kepentingan itu harus diutamakan. Disalah satu pihak pasien menaruh
kepercayaan terhadap kemampuan profesional tenaga kesehatan. Di lain
pihak karena adanya kepercayaan tersebut tenaga kesehatan memberikan
pelayanan kesehatan menurut standar profesi dan berpegang teguh pada
kerahasiaan profesi.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Sejarah Hukum Informed Consent
2. Untuk mengetahui Pengertian dari Informed consent
3. Untuk mengetahui Aspek Hukum Informed Consent Di Indonesia
4. Untuk mengetahui Dasar Hukum Informed Consent
5. Untuk Mengetahui Permasalahan Informed Consent
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Informed consent terdiri dari dua kata yaitu informed yang berarti telah mendapat
penjelasan atau keterangan (informasi), dan consent yang berarti persetujuan atau
memberi izin. Jadi informed consent mengandung pengertian suatu persetujuan
yang diberikan setelah mendapat informasi. (Kartono muhammad, 1991). Dengan
demikian informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien dan
atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan
dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.
Dasar hukum informed consent, Secara yuridis doktrin informed consent telah
diterima dan bersatu di indonesia sejak tahun 1981, sebagaimana termuat dalam
peraturan pemerintah No 18 tahun 1981 tentang bedah mayat klinis dan bedah
mayat anatomis serta transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia. Dalam
bab VII, pasal 15 ayat (1) PP No. 18 tahun 1981 dinyatakan bahwa: “ sebelum
persetujuan tentang transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia diberikan
oleh calon donor hidup, calon donor yang bersangkutan terlebih dahulu diberitahu
oleh dokter yang merawatnya, termasuk dokter konsultan mengenai sifat operasi,
akibat-akibatnya dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi”. (Veronika
komalawati, 2002).
Selanjutnya dalam pasal 15 ayat (2) disebutkan pula: bahwa: “dokter sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus yakin benar bahwa calon donor yang bersangkutan
telah menyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan tersebut”. Pelanggaran
terhadap ketentuan tersebut sebagaimana disebutkan dalam BAB IX Pasal 20 ayat
(1), diancam pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-
tingginya 7.500 (tujuh ribu lima ratus rupiah). Disamping ancaman pidana
tersebut menurut pasal 20 ayat (2) dapat diambil tindakan administratif. Informed
consent sebagaimana diatur dalam PP No.18 tahun 1981 tersebut selain bersifat
khusus yaitu hanya untuk tindakan transplatasi yang tidak memuat persyaratan
lain untuk sahnya perjanjian misalnya batas umur pemberi persetujuan.
Barangkali karena menyadari kekurangan tersebut serta menghangatnya
pembicaraan di tengah-tengah masyarakat tentang berbagai kasus yang terjadi
(kasus muhidin, kasus andrian, dll) yang cukup menguncangkan dunia
kedokteran. Sehingga pada tahun 1989 mentri kesehatan republik indonesia
mengeluarkan peraturan nomor 585/Menkes/Per/IX/1989 tanggal 4 september
1989 tentang persyaratan tindakan medik. Peraturan mentri ini mengatur secara
agak detil tentang bentuk dan syarat informed consent termasuk siapa yang
bertanggung jawab atas pelaksanaannya. Di samping itu adanya, surat keputusan
PB IDI No 319/PB/A4/BB pernyataan IDI (ikatan dokter indonesia), tentang
informed consent tersebut adalah:
Pada sebuah contoh gugatan yang terjadi akibat informed consent dalam
tindakan kegawatdaruratan dinyatakan bahwa “di dalam suatu operasi
hernia ternyata oleh tenaga medis ditemukan bahwa testikel kiri dari
pasien sudah terinfeksi berat. Untuk berhasilnya operasi hernia, maka
testikel yang terinfeksi berat (mau atau tidak mau) harus diangkat.
Tenaga medis digugat dipengadilan karena tidak ada persetujuan yang
nyata tersirat untuk dilakukan perluasan operasi. Pembela tenaga medis
mengatakan bahwa perluasan operasi tersebut sangat diperlukan untuk
kesehatan pasien dan secara wajar dilakukan demi kelangsungan
hidupnya. Pembuangan testis itu, hanya dilakukan untuk kepentingan
pasien itu sendiri dan adalah tindakan logis untuk menunda-nunda
operasi. Didalam kasus tersebut, hakim membenarkan tindakan tenaga
medis tersebut, karena keputusan untuk mengangkat testikel adalah demi
kepentingan pasien. Adalah tidak benar jika tenaga medis tersebut tidak
melakukan apa-apa dalam situasi dan kondisi tersebut.
A. Kesimpulan
Informed Consent adalah suatu “proses komunikasi” , bukan suatu formulir.
Bentuk formulir hanya merupakan suatu dokumentasi yang membuktikan
terjadi interaksi antara pasien dan dokternya. Hukum membebankan pada
praktisi kesehatan, kewajiban untuk mengungkapkan dan menginformasikan
tiga aspek mendasar pengobatan/ perawatan. Informed consent dalam hal
keadaan darurat yang membutuhkan pembedahan adalah keadaan dimana
pasien yang berada dalam kondisi gawat darurat yang harus segera ditangani
oleh dokter dalam hal tindakan medis besar atau beresiko seperti dalam kasus
operasi/pembedahan, namun dikarenakan adanya resiko yang mungkin
terjadi, maka harus dilakukan persetujuan terlebih dahulu berupa
penandatanganan Informed consent. Dalam proses ini, pasien sebenarnya
memiliki beberapa hak sebelum menyatakan persetujuannya, yaitu pasien
berhak mendapat informasi yang cukup mengenai rencana tindakan medis
yang akan dialaminya.
DAFTAR PUSTAKA
Tohari,Hamim.
(n.d).InformedConsent.Diaksesmelaluihttp://jurnaleprints.undip.ac.id/4465
0/3/Hamim_Tohari_22010110110013_Bab2KTI.pdf