Anda di halaman 1dari 16

Nama : Andika Indra Purwantoro

Kelas : 3 Harmoni

Al-Ikhtilafu wa Adabuhu
(Perbedaan Pendapat dan Adab-adabnya)

Makna Ikhtilaf
ِ ‫ َع َد ُم التَّ َس‬tidak sama, tidak
ِ َ‫اوي و َع َد ُم ا ِالتِّف‬
Secara etimologis, ikhtilaf  berarti: ‫اق‬
sepakat.1 Sedangkan dalam istilah para ulama, ikhtilaf atau khilaf memiliki dua pengertian.
Pengertian ikhtilaf atau khilaf yang pertama adalah,
‫ضا ِء‬ ُ ‫ث لِ ْل ُخ‬
َ ‫صو َم ِة والبَ ْغ‬ ُ ‫ق ال ُمو ِر‬
ُ ‫شقَا‬
ِّ ‫والج َد ُل وال‬
َ ُ‫ال ُمنَا َز َعةُ والفُ ْرقَة‬
“Perlawanan, perpecahan, perdebatan dan benturan yang menimbulkan permusuhan dan
kebencian.”
Dalam makna seperti ini Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
‫ش ٌّر‬
َ ُ‫ال ِخالف‬
  “Khilaf itu buruk.”
Pengertian ikhtilaf atau khilaf yang kedua adalah,
ِ ‫ت النَّظَ ِر نَتِ ْي َجةَ تَفَا ُو‬
‫ت ال ُعقُول وال َمدَا ِر ِك‬ ِ ‫التَّ َغايُ ُر فِي ال َّر ْا‬.
ِ ‫ي َو ِو ْج َها‬
“Perbedaan pendapat dan sudut pandang yang disebabkan oleh perbedaan tingkat
kecerdasan dan informasi.”2

Jenis-jenis Ikhtilaf
Ada dua jenis perbedaan pendapat, yang boleh dan yang tidak boleh ( ‫ْال َج َوا ُز‬
‫)و ْال َم ْن ُع‬. Ikhtilaf yang
َ ِ ‫)االختالفُ فِي الفُر‬. Yang
boleh adalah ikhtilaf  dalam perkara furu’ (‫ُوع‬
dimaksud dengan perkara furu’ adalah: ‫( الظَّنِّيَّةُ ال َخفِيَّةُ ال ُم ْختَلَفُ فِ ْيهَا‬hal-hal yang zhanni—
mengandung dugaan, multi interpretatif—tersembunyi, dan diperselisihkan oleh para ulama.3
Sedangkan ikhtilaf yang tidak boleh adalah ikhtilaf dalam perkara ushul (‫)االختِالفُ فِي األُصُو ِل‬.
ْ
ْ َ‫( الق‬hal-hal yang qath’i,
Yang dimaksud dengan perkara ushul  adalah: ‫ط ِعيَّةُ ال َجلِيَّةُ ال ُمجْ َم ُع َعلَيهَا‬
jelas, dan disepakati oleh para ulama).
Yang menjadi acuan penentu ushul dan furu’ adalah Ilmu Ushul Fiqih dan kaidah bahasa
Arab.
Sebab-sebab Ikhtilaf dalam Perkara Furu’
Terjadinya ikhtilaf  dalam perkara furu’ adalah sebuah keniscayaan karena faktor-faktor
berikut,
Pertama, perbedaan kemampuan akal para ulama dalam menyimpulkan ayat atau hadits yang
َ ْ‫)اختِالَفُ ال ُعقُو ِل فِي قُ َّو ِة اال ْستِ ْنبَا ِط أَو‬.
multi interpretatif ( ‫ض ْعفِ ِه‬ ْ
ِ ‫) َس َعةُ ال ِع ْل ِم َو‬. Maka
Kedua, perbedaan informasi dan ilmu yang dimiliki para ulama ( ُ‫ض ْيقُه‬
sangat mungkin ada suatu hadits atau ilmu tertentu yang sampai kepada beberapa ulama
tertentu dan belum sampai kepada ulama yang lain. Sehingga Imam Malik berkata kepada
Abu Ja’far: “Sesungguhnya para sahabat Rasulullah telah mendatangi berbagai kota, dan
setiap kaum itu memiliki ilmu tertentu. Maka jika seseorang ingin menggiring mereka
kepada satu pendapat, niscaya upaya ituhanya akan menimbulkan kekacauan.”
ْ ). Itulah sebabnya Imam
ِ ‫اختِالَفُ البِيئَا‬
Ketiga, perbedaan lingkungan, situasi dan kondisi (‫ت‬
Syafi’i memberikan fatwa lama (qaul qadim) di Irak, kemudian memunculkan fatwa baru
(qaul jadid) ketika beliau berada di Mesir.
Keempat, perbedaan ketentraman hati dalam menilai suatu riwayat hadits ( ‫ط ِم ْئنَا ِن‬ ْ ‫اختِالَفُ ا ِال‬
ْ
‫) القَ ْلبِي إِلَى ال ِّر َوايَ ِة‬. Maka terkadang kita melihat perawi tertentu dianggap tsiqah oleh Imam
Fulan sementara tidak demikian menurut Imam yang lain, karena informasi tertentu yang
mungkin tidak diketahui oleh yang pertama.
ْ
Kelima, perbedaan dalam menempatkan dalil yang harus didahulukan dari yang lain ( ُ‫اختِالَف‬
ِ َ‫تَ ْق ِدي ِْر ال َّدالَال‬. ). Maka mungkin ada ulama yang mendahulukan perbuatan sahabat atas khabar
‫ت‬
ahad, sementara yang lain tidak melihatnya demikian.4
Point-point di atas akan lebih jelas jika kita cermati contoh-contoh perbedaan pendapat di
kalangan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini.
Ikhtilaf di Kalangan Sahabat
Berikut ini contoh perbedaan pendapat yang terjadi di antara mereka:
Pertama, ikhtilaf  dalam masalah pelaksanaan perintah shalat Ashar di benteng Bani
Quraidhah sebagaimana tergambar dalam hadits dari Ibnu Umar berikut ini,
‫ص ُر فِي‬ ْ ‫ض ُه ْم ا ْل َع‬َ ‫ص َر إِاَّل فِي بَنِي قُ َر ْيظَةَ فَأَد َْركَ بَ ْع‬ ْ ‫صلِّيَنَّ أَ َح ٌد ا ْل َع‬
َ ُ‫ب اَل ي‬ ِ ‫سلَّ َم لَنَا لَ َّما َر َج َع ِمنْ اأْل َ ْح َزا‬ َ ‫قَا َل النَّبِ ُّي‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
‫سلَّ َم فَلَ ْم‬ َ ‫صلِّي لَ ْم يُ َر ْد ِمنَّا َذلِكَ فَ ُذ ِك َر لِلنَّبِ ِّي‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ُ‫ض ُه ْم بَ ْل ن‬ُ ‫صلِّي َحتَّى نَأْتِيَ َها َوقَا َل بَ ْع‬ َ ُ‫ض ُه ْم اَل ن‬ ُ ‫يق فَقَا َل بَ ْع‬
ِ ‫الطَّ ِر‬
‫يُ َعنِّفْ َوا ِحدًا ِم ْن ُه ْم‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi w sallam berpesan kepada kami ketika kami pulang dari perang
Ahzab, ‘Janganlah sekali-kali kalian shalat Ashar kecuali ketika sudah sampai di kampung
Bani Quraidhah,’ kemudian sebagian di antara mereka mengetahui bahwa sudah masuk
waktu Ashar saat di perjalanan, sebagian yang lain berkata, ‘Kami tidak akan shalat Ashar
sebelum sampai di kampung Bani Quraidhah’ sementara sebagian yang lain berkata,  ‘Kami
akan shalat di perjalanan dan tidak akan mengulangi’. Kemudian kami ceritakan peristiwa
tersebut kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan nabi tidak mencela salah satu di
antara kami.” (Sahih Bukhari juz 3 hlm. 499)
Kedua, ikhtilaf  tentang musafir yang shalat dengan tayammum kemudian menemukan air,
sebagaimana disebutkan hadits berikut ini,
‫ فَأَعَا َد‬،‫ت‬
ِ ‫ ثُ َّم َو َجدَا ا ْل َما َء فِي ا ْل َو ْق‬،‫صلَّيَا‬ َ َ‫ص ِعيدًا طَيِّبًا ف‬ َ ‫ فَتَيَ َّم َما‬،‫س َم َع ُه َما َما ٌء‬
َ ‫صاَل ةُ َولَ ْي‬ َّ ‫ت ال‬ ِ ‫ض َر‬ َ ‫ فَ َح‬،‫سفَ ٍر‬
َ ‫َخ َر َج َر ُجاَل ِن فِي‬
َ‫صبْت‬ َ َ‫ أ‬:ْ‫سلَّ َم فَ َذ َك َرا َذلِ َك لَهُ فَقَا َل لِلَّ ِذي لَ ْم يُ ِعد‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ ‫سو َل هَّللا‬ُ ‫ ثُ َّم أَتَيَا َر‬،‫ضو َء َولَ ْم يُ ِع ِد اآْل َخ ُر‬ َّ ‫أَ َح ُد ُه َما ال‬
ُ ‫صاَل ةَ َوا ْل ُو‬
‫ لَكَ اأْل َ ْج ُر َم َّرتَ ْي ِن‬:َ‫ضأ َ َوأَعَاد‬ َ َ‫ َوأَ ْج َزأَ ْتك‬،َ‫سنَّة‬
َّ ‫ َوقَا َل لِلَّ ِذي تَ َو‬. َ‫صاَل تُك‬ ُّ ‫ال‬
“Ada dua orang lelaki yang bersafar. Kemudian tibalah waktu shalat, sementara tidak ada
air di sekitar mereka. Kemudian keduanya bertayammum dengan permukaan tanah yang
suci, lalu keduanya shalat. Setelah itu keduanya menemukan air, sementara waktu shalat
masih ada. Lalu salah satu dari keduanya berwudhu dan mengulangi shalatnya, sedangkan
satunya tidak mengulangi shalatnya. Keduanya lalu menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan menceritakan yang mereka alami. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan kepada orang yang tidak mengulangi shalatnya, “Apa yang kamu lakukan telah
sesuai dengan sunnah dan shalatmu sah”. Kemudian Beliau mengatakan kepada yang
mengulangi shalatnya, “Untukmu dua pahala” (Sunan Abu Dawud, no.338, Sunan Ad-
Daromi, no.771, Sunan Baihaqi, no.1094, Mustadrok Hakim, no.632, Sunan Ad-Daruquthni,
no.727 dan Mushonnaf  Ibnu Abi Syaibah, no.10800)
Ketiga, ikhtilaf  apakah melakukan raml (lari-lari kecil) ketika thawaf itu qurbah (ibadah)
ataukah ibahah (kebolehan). Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat raml ketika thawaf
adalah sunnah. Tapi Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu  berpendapat bahwa raml dilakukan
untuk menanggapi perkataan orang musyrikin yang mengatakan bahwa kaum muslimin
tubuhnya lemah karena terhinggapi penyakit panas Yatsrib (Madinah).
‫ إِنَّهُ َي ْق َد ُم َعلَ ْي ُك ْم َغدًا قَ ْو ٌم َق ْد‬: َ‫ش ِر ُك ْون‬ ْ َ‫س ْو ُل هللاِ َوأ‬
ْ ‫ قَا َل ا ْل ُم‬،‫ص َحابُهُ َم َّكةَ َوقَ ْد َو َهنَ ْت ُه ْم ُح َمى َي ْث ِر َب‬ ُ ‫ قَ ِد َم َر‬:‫س قَا َل‬
ٍ ‫َع ِن ا ْب ِن َعبَّا‬
ُّ َ‫ َوأَ َم َر ُه ُم النَّبِ ُّي أَنْ يَ ْر ُملُ ْوا ثَالَثَةَ أَش َْوا ٍط َويَ ْمش ُْوا َما بَيْن‬،‫س ْوا ِم َّما يَلِ ْي ا ْل ِح ْج َر‬
‫الر ْكنَ ْي ِن‬ ُ َ‫ فَ َجل‬.ً‫ش َّدة‬ ِ ‫ َولَقُ ْوا ِم ْن َها‬،‫َو َهنَ ْت ُه ُم ا ْل ُح َمى‬
ُ‫ قَا َل ابْن‬.‫ َه ُؤالَ ِء أَ ْجلَ َد ِمنْ َك َذا َو َك َذا‬،‫ َه ُؤالَ ِء الَّ ِذيْنَ َز َع ْمتُ ْم أَنَّ ا ْل ُح َمى قَ ْد َو َهنَ ْت ُه ْم‬: َ‫ش ِر ُك ْون‬
ْ ‫ فَقَا َل ا ْل ُم‬،‫ش ِر ُك ْونَ َجلَ َد ُه ْم‬
ْ ‫لِيَ َرى ا ْل ُم‬
ْ َ‫ َولَ ْم يَ ْمنَ ْعهُ أَنْ يَأْ ُم َر ُه ْم أَنْ يَ ْر َملُ ْوا ْاأل‬:‫س‬
‫ش َواطَ ُكلَّ َها إِالَّ ْا ِإل ْبقَا َء َعلَ ْي ِه ْم‬ ٍ ‫ َعبَّا‬.
Dari Ibnu Abbas ra ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya mendatangi kota Makah (untuk menunaikan Umrah) dan penyakit demam
Madinah telah melemahkan mereka. Musyrikin Makah berkata: ‘ Besok akan datang kepada
kalian satu kaum yang telah dilemahkan oleh demam dan mereka banyak menemukan
kesulitan (di Madinah).’ Mereka (musyrikin Makah) duduk di sekitar Hijir Isma’il, maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk raml (berlari-
lari kecil) pada tiga putaran pertama dan berjalan biasa pada empat putaran terakhir agar
musyrikin Makah dapat melihat ketangguhan mereka. Musyrikin Makah berkata: ‘Mereka
itu orang-orang yang kalian sangka telah dilemahkan oleh demam Madinah, ternyata
mereka lebih tangguh. ‘ Ibnu Abbas ra berkata: ‘ Tidak ada yang menghalangi Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memerintah mereka agar berlari-lari kecil di seluruh
tiga putaran melainkan rasa kasihan atas mereka.’” (Muslim, No: 3048)
Keempat, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah berpendapat bahwa orang yang junub
pada pagi hari di bulan Ramadhan tidak wajib berpuasa. Pendapat itu kemudian diralatnya
setelah Aisyah radhiyallahu ‘anha memberitahukan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam  menyatakan hal yang sebaliknya.
Kelima, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berpendapat bahwa tayamum itu tidak
mencukupi bagi orang junub yang tidak menemukan air. Disampaikan oleh
Ammar radhiyallahu ‘anhu kepada beliau hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menyatakan bahwa tayamum sudah mencukupi. Tapi Umar tidak menerima hadits itu sebagai
hujjah sampai hadits itu menjadi masyhur dari beberapa jalur sanad, lalu orang pun banyak
menggunakannya.
Keenam, Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam  pernah mengerjakan ibadah umrah pada bulan Rajab. Aisyah radhiyallahu
‘anha  mendengar itu, lalu mengatakan bahwa Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu lupa.
Ketujuh, Rasulullah memberi dispensasi kawin mut’ah pada Perang Khaibar, kemudian
melarangnya, dan memperbolehkannya lagi pada Perang Authas, kemudian melarangnya lagi.
Ibnu Abbas berkata: “Dispensasi itu karena adanya darurat, dan larangan itu karena
hilangnya darurat.  Sedangkan jumhur berpendapat bahwa dispensasi itu adalah sebagai
kebolehan dan larangan itu sebagai penghapusan.5
Prinsip-prinsip dalam Ikhtilaf
Pertama, ikhtilaf dalam masalah furu’ pasti terjadi (‫ي‬
ٌّ ‫ضرُوْ ِر‬ ِ ‫)ال ِخالَفُ فِي الفُر‬.
َ ‫ُوع‬
Kemestian itu terjadi karena tabiat agama Islam sendiri memang memberi peluang terjadinya
perbedaan pendapat. Dalam kitab al-Arbain, Imam An-Nawawi meriwayatkan hadits dari
Daruquthni, “Sesungguhnya Allah SWT telah membuat ketentuan-ketentuan, janganlah kamu
melanggarnya; telah mewajibkan sejumlah kebaikan, janganlah kamu abaikan; telah
mengharamkan banyak hal, janganlah kamu melanggarnya; telah mendiamkan banyak
masalah sebagai rahmat bagimu, bukan karena lupa, janganlah kamu mencarinya.”
Meminjam istilah Syaikh Al-Qaradhawi, ada ‘kawasan kosong syariat’ yang sengaja
Allah Ta’ala sediakan.

ِ ‫)ال ِخالَفُ فِي الفُر‬


Kedua, ikhtilaf dalam masalah furu’ tidak memecah belah (ُ‫ُوع الَ يُفَ ِّرق‬
Perbedaan pendapat dalam masalah-masalah  furu’ tidak seharusnya menimbulkan
perpecahan, perdebatan dan benturan yang menimbulkan permusuhan dan kebencian. Sikap
dan ungkapan  para ulama yang akan dikemukakan berikutnya nanti menjadi  bukti kuat
tentang hal ini.
ِ ُّ‫)ال َعيْبُ فِي التَّ َعص‬
ِ َ‫ب الَ ال ِخال‬
Ketiga, aib itu pada ta’ashub bukan ikhtilaf  (‫ف‬
Di lapangan dakwah Islam kita saksikan adanya orang-orang yang tidak punya perhatian
kecuali perbantahan dalam segala hal. Mereka tidak punya kesiapan untuk menarik
pendapatnya sedikitpun. Mereka hanya menginginkan agar orang lain mengikuti
pendapatnya. Mereka merasa selalu benar sedangkan orang lain senantiasa salah.
Diantara mereka ada yang mengecam fanatisme kepada madzhab tetapi mereka sendiri
membuat madzhab baru dan menyerang orang lain yang tidak sepaham dan tidak mau
mengikutinya. Mereka mengaharamkan taqlid tetapi mereka sendiri menuntut orang lain agar
mengikutinya. Atau melarang taqlid kepada ulama terdahulu, sementara mereka sendiri
bertaqlid kepada ulama sekarang. Mereka melakukan konfrontasi demi masalah-
masalah furu’iyah (cabang) dan sektoral. Padahal para salaf sendiri pernah
memperselisihkannya, tetapi tidak sampai menimbulkan keruhnya hubungan sesama
saudaranya.
Melihat fenomena tersebut, jelaslah bagi kita bahwa yang menjadi aib dan musykilah adalah
sikap ta’ashub dan bukan perkara-perkara ikhtilaf-nya itu sendiri.
Keempat, tidak ada paksaan dalam masalah ijtihad (‫)الَ إِ ْل َزا َم فِي َم َسائِ ِل ا ِالجْ تِهَا ِد‬.
Syaikhul Islam Ibnu Tayimiyah pernah ditanya tentang orang yang mengikuti sebagian ulama
dalam masalah ijtihadiyah, apakah ia harus dihindari atau diingkari? Beliau
menjawab, “Segala puji milik Allah. Orang yang dalam masalah-masalah ijtihadiyah
mengamalkan sebagian pendapat ulama, tidak boleh diingkari dan dihindari. Demikian pula
orang yang mengamalkan salah satu dari dua pendapat, tidak boleh dikecam. Jika dalam
suatu masalah terdapat dua pendapat, maka bagi orang yang telah nampak mana yang lebih
kuat boleh beramal sesuai dengannya. Tapi jika tidak, ia boleh mengikuti sebagian ulama
yang dapat dipercaya dalam menjelaskan mana yang lebih kuat (rajih) di antara dua
pendapat.”
Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi hafizhahullah  mengatakan bahwa dalam masalah ijtihad tidak
ada kepastian tentang kebenaran salah satu dari kedua pendapat yang diperselisihkan. Dalam
hal ini yang bisa dilakukan adalah tarjih. Sedangkan tarjih itu sendiri tidak berarti sebuah
kepastian. Selanjutnya, tegas beliau, orang yang keliru dalam masalah-masalah ijtihadiyah
juga tidak boleh dicela sama sekali. Kesalahannya harus dimaafkan bahkan mungkin saja dia
memperoleh pahala dari Allah sebagaimana ditegaskan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Bagaimana mungkin kita mencela dan menyakiti orang yang melakukan ijtihad
yang telah diberi pahala oleh Allah, sekalipun hanya satu pahala?
Demikianlah manhaj para salaf dalam berbeda pendapat menyangkut masalah ijtihadiyah.
Mereka tidak saling mencela atau menyakiti, tetapi saling memuji, sekalipun tetap berbeda
pendapat.
ِ َّ‫)ا ِال ْختِالَفُ َرحْ َمةٌ أَوْ تَوْ ِس ْي ٌع َعلَى ْال ُم َكل‬.
Kelima, ikhtilaf itu rahmat atau keluasan bagi mukallaf (‫ف‬
Ada hadits yang begitu masyhur namun dhaif dan bahkan palsu berkaitan dengan point ini,
yaitu,
‫اختِالَفُ أُ َّمتِ ْي َر ْح َمة‬
ْ
“Perbedaan pendapat pada umatku adalah rahmat.” 6
Namun, secara makna perkataan bahwa “Perbedaan pendapat umatku adalah rahmat”  tidak
mutlak salah. Sebab, dalam tataran tertentu, perbedaan memang membawa kebaikan, minimal
masih bisa ditolerir. Oleh karena itu, banyak ulama yang membela esensi ucapan ini seperti
Imam Al Khathabi, Imam An-Nawawi, dan lain-lain.7
Imam Al Munawi mengatakan maksud  ‘perbedaan  yang membawa rahmat’ adalah
‘perbedaan ijtihad dalam menentukan hukum’ sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Shalah
dari Imam Malik. (Faidhul  Qadir, 1/271)
Imam As Suyuthi pun berkata: “Maksud perbedaan pendapat ini adalah perbedaan dalam
menentukan hukum.”
Sebagian orang ada yang tetap menolak makna ucapan ini menurut mereka jika perbedaan
adalah rahmat, maka persatuan adalah  azab.  Hal ini diisyaratkan oleh Imam Al-
Khathabi , “Hadits ini telah ditentang oleh dua orang, yang satu orang yang suka bersenda
gurau, dan yang lain adalah seorang ateis (mulhid), mereka adalah Ishaq Al Maushili dan
Amru bin Bahr Al Jahizh, mereka berkata: “Jika perbedaan adalah rahmat, maka persatuan
adalah azab.”8
Imam An Nawawi rahimahullah juga mengutip dari Imam Al Khathabi lebih legkap lagi, ia
berkata,
‫ فَبَيَّنَ لَ ُه ْم‬، ُ‫سأَلُوه‬
َ ‫صة ؛ فَإ ِ َذا اِ ْختَلَفُوا‬َّ ‫سلَّ َم َخا‬ َ ‫ثُ َّم َز َع َم أَنَّهُ إِنَّ َما َكانَ اِ ْختِاَل ف اأْل ُ َّمة َر ْح َمة فِي َز َمن النَّبِ ّي‬
َ ‫صلَّى هَّللا َعلَ ْي ِه َو‬
‫ َواَل َي ْلتَ ِزم َه َذا َويَ ْذ ُكرهُ إِاَّل‬، ‫ضدّه َع َذابًا‬ِ ‫ أَنَّهُ اَل يَ ْلزَم ِمنْ َك ْون الش َّْيء َر ْح َمة أَنْ يَ ُكون‬: ‫سد‬ ِ ‫َوا ْل َج َواب عَنْ َه َذا ااِل ْعتِ َراض ا ْلفَا‬
‫ َولَ ْم يَ ْلزَم‬، ‫س َّمى اللَّ ْيل َر ْح َمة‬ ْ َ‫ { َو ِمنْ َر ْح َمته َج َع َل لَ ُك ْم اللَّ ْيل َوالنَّ َهار لِت‬: ‫ َوقَ ْد قَا َل هَّللا تَ َعالَى‬. ‫َجا ِهل أَ ْو ُمت ََجا ِهل‬
َ َ‫س ُكنُوا فِي ِه } ف‬
‫ فِي‬: ‫ أَ َحدهَا‬: ‫سام‬ َ ‫ َوااِل ْختِاَل ف فِي الدِّين ثَاَل ثَة أَ ْق‬: ‫ قَا َل ا ْل َخطَّابِ ُّي‬. ‫ش َّك فِي ِه‬ َ ‫ َو ُه َو ظَا ِهر اَل‬، ‫ِمنْ َذلِ َك أَنْ يَ ُكون النَّ َهار َع َذابًا‬
‫ َوإِ ْن َكار َذلِ َك ُك ْفر‬، ‫صانِع َو َو ْحدَانِيّته‬
َّ ‫ إِ ْثبَات ال‬.
ِ ‫ فِي‬: ‫ َوالثَّانِي‬.
ِ ‫صفَاته َو َم‬
‫ َوإِ ْن َكارهَا بِ ْدعَة‬، ‫شيئَته‬
ِ ‫ َو ُه َو ا ْل ُم َراد ِب َح ِدي‬، ‫ فَ َه َذا َج َعلَهُ هَّللا تَ َعالَى َر ْح َمة َو َك َرا َمة لِ ْل ُعلَ َما ِء‬، ‫َوالثَّالِث فِي أَ ْح َكام ا ْلفُ ُروع ا ْل ُم ْحتَ َملَة ُو ُجوهًا‬
‫ اِ ْختِاَل ف‬: ‫ث‬
ِ ‫ َه َذا‬، ‫أُ َّمتِي َر ْح َمة‬
‫آخر كَاَل م ا ْل َخطَّابِي‬
“Lalu, mereka mengira bahwa perbedaan pada umat yang mendatangkan rahmat itu hanya
khusus pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika para sahabat berbeda pendapat,
maka beliau memberikan penjelasan. Jawaban dari penolakan yang buruk ini adalah tidak
selalu dalam berbagai hal bahwa lawan dari rahmat adalah azab, tidaklah yang mengatakan
hal itu melainkan orang bodoh atau belagak bodoh.  Allah Ta’ala telah berfirman: “ .. dan
karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada
malam itu ..”  malam dinamakan rahmat, dan tidaklah patut dikatakan lantas siang adalah
azab, dan ini sangat jelas dan tak ada keraguan di dalamnya. Al Khathabi berkata
perbedaan dalam agama ada tiga macam: Pertama, menetapkan perbuatan dan keesaanNya,
maka mengingkarinya adalah kufur. Kedua, perbedaan pendapat tentang sifat dan
kehendakNya, mengingkarinya adalah bid’ah. Ketiga, tentang hukum-hukum cabang yang
multi tafsir, maka inilah yang Allah jadikan rahmat dan kemuliaan bagi ulama. Inilah
maksud  “Perbedaan pendapat umatku adalah rahmat.” Selesai ucapan Al Khathabi.”9 
Telah diriwayatkan dari Qatadah, bahwa Umar bin Abdul Aziz berkata,
َ ‫اب ُم َح َّم ٍد صلى هللا عليه وسلم لَ ْم يَ ْختَلِفُ ْوا ألَنَّ ُه ْم لَ ْو لَ ْم يَ ْختَلِفُ ْوا لَ ْم تَ ُكنْ ُر ْخ‬
ٌ ‫صة‬ ْ َ‫س َّرنِ ْي لَ ْو أَنَّ أ‬
َ ‫ص َح‬ َ ‫َما‬
“Tidaklah aku suka jika para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berbeda
pendapat, seandainya mereka tidak berbeda, niscaya tidak akan terjadi rukhshah
(keringanan bagi umat- pen).”10
ِ ‫الع ْب َرةُ بِال ُم َس َّميَا‬
Keenam, penilaian itu terletak pada subtansi isinya, buka pada sebuah nama ( َ‫ت ال‬ ِ
‫)بِاألَ ْس َما ِء‬
Penilaian dalam perkara-perkara ikhtilaf hendaknya tidak terjebak kepada penilaian terhadap
nama/sebutan, melainkan harus fokus pada esensi atau substansi perkaranya.
Adab Ikhtilaf
Pertama, ikhlas dalam mencapai dan mencari kebenaran (ِّ‫)ا ِإل ْخالَصُ لِ ْل َحق‬.
Diantara tanda  ikhlas dalam kebenaran adalah sebagai berikut.
1. Mengaktualisasikan prinsip ‫( ال ِع ْب َرةُ بِالقَوْ ِل الَ بالقَائِ ِل‬menjadikan ucapan sebagai patokan
bukan siapa yang mengucapkan). Artinya adalah ‫يض‬ ِ ‫ق ِمنَ الَ َحبِي‬
ِ ‫ب والبَ ِغ‬ ِّ ‫( قَبُو ُل ال َح‬menerima
kebenaran baik dari orang yang dicintai maupun yang dibenci).
Sikap seperti ini dicontohkan langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam  sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih  bahwa ada seorang laki-laki Yahudi
mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata,
‫شئْتَ َوتَقُولُونَ َوا ْل َك ْعبَ ِة‬
ِ ‫ش ِر ُكونَ تَقُولُونَ َما شَا َء هَّللا ُ َو‬
ْ ُ‫إِنَّ ُك ْم تُنَ ِّددُونَ َوإِنَّ ُك ْم ت‬
“Sesungguhnya kamu menjadikan tandingan (bagi Allah). Sesungguhnya kamu
menyekutukan (Allah). Kamu mengatakan ‘Apa yang Allah kehendaki dan apa yang engkau
kehendaki’. Kamu juga mengatakan ‘Demi Ka’bah’.”
ِ ‫سلَّ َم إِ َذا أَ َرادُوا أَنْ يَ ْحلِفُوا أَنْ يَقُولُوا َو َر ِّب ا ْل َك ْعبَ ِة َويَقُولُونَ َما شَا َء هَّللا ُ ثُ َّم‬
َ‫شئْت‬ َ ‫فَأ َ َم َر ُه ْم النَّبِ ُّي‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kaum Muslimin, jika hendak
bersumpah untuk mengatakan “Demi Rabb Ka’bah”, dan agar mereka mengatakan “Apa
yang Allah kehendaki kemudian apa yang engkau kehendaki”. (HR.Nasa’I no.3773).
Berkenaan dengan hadits ini Syaikh Muhammad bin Shalih al
‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Pertama: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak
mengingkari orang Yahudi tersebut, padahal yang nampak dari niat orang Yahudi itu adalah
mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat beliau. Karena yang dia
katakan memang benar. Kedua: Disyari’atkan kembali menuju kebenaran walaupun yang
mengingatkan hal itu adalah bukan pengikut kebenaran. Ketiga: Sepantasnya ketika
merubah sesuatu hendaknya merubahnya kepada sesuatu yang dekat dengannya. Karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengatakan ‘Demi Rabb Ka’bah’,
dan beliau tidak mengatakan ‘Bersumpahlah dengan nama Allah azza wa jalla’. Dan beliau
memerintahkan mereka agar mengatakan ‘Apa yang Allah azza wa jalla kehendaki,
kemudian apa yang engkau kehendaki.’”11
Para salafu shalih berkata tentang sikap ikhlash terhadap kebenaran ini.
Muadz bin Jabal radhiallahu ‘anhu berkata,
ِ َ‫ َوإِنْ َكانَ َكافِراً – أَ ْو قَا َل ف‬،‫ق ِمنْ ُك ِّل َمنْ َجا َء بِ ِه‬
ً‫اجرا‬ َّ ‫اِ ْقبَلُوا ا ْل َح‬.
“Terimalah kebenaran dari siapa saja yang membawanya, walaupun dia adalah orang kafir
atau beliau berkata : Orang fasik.” (Riwayat Al-Baihaqi).
Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata,
ُ‫س لَ ِز َمكَ أَنْ تَ ْقبَلَهُ ِم ْنه‬
ِ ‫س ِم ْعتَهُ َولَ ْو َكانَ أَ ْج َه َل النَّا‬ َ ‫أَنْ ت َْخ‬
ِّ ‫ض َع لِ ْل َح‬
َ ْ‫ق َوتَ ْنقَا َد لَهُ ِم َّمن‬
“Yaitu dengan engkau tunduk kepada kebenaran dan menerimanya dari siapa saja yang
engkau dengar, walaupun dia adalah manusia yang paling bodoh maka kebenaran itu wajib
engkau terima darinya.”12
Sementara itu, orang yang bersikap menolak kebenaran dikategorikan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang sombong.
َ ‫سنَةً قَا َل إِنَّ هَّللا‬ َ ‫اَل َيد ُْخ ُل ا ْل َجنَّةَ َمنْ َكانَ ِفي قَ ْلبِ ِه ِم ْثقَا ُل َذ َّر ٍة ِمنْ ِك ْب ٍر قَا َل َر ُج ٌل إِنَّ ال َّر ُج َل يُ ِح ُّب أَنْ يَ ُكونَ ثَ ْوبُهُ َح‬
َ ‫سنًا َونَ ْعلُهُ َح‬
‫س‬ِ ‫ق َو َغ ْمطُ النَّا‬ ِّ ‫َج ِمي ٌل يُ ِح ُّب ا ْل َج َما َل ا ْل ِك ْب ُر بَطَ ُر ا ْل َح‬
“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar
biji sawi”. Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai
baju dan sandal yang bagus ?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan
menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang
lain”. (HR. Muslim no. 91).
2. Menginginkan kebenaran keluar dari mulut pihak lain yang berbeda pendapat ( ‫تَ َمنِّي‬
‫ب‬
ِ ‫ف لِلص ََّوا‬
ِ ِ‫) ُوصُو ِل ال ُمخَال‬.
Sikap seperti ini diantaranya tercermin dari ucapan Hatim Al-Asham, “Aku punya tiga hal
untuk mengalahkan lawan bicaraku: aku senang jika ia benar, sedih jika ia salah, dan aku
jaga diriku agar tidak menzaliminya.”
Imam Ahmad berkomentar tentangnya: “Subhanallah, sungguh beliau laki-laki yang amat
berakal.”
3. Siap meninggalkan pendapat sendiri dan kembali kepada kebenaran (‫ُوع إِلَى‬
ِ ‫اال ْستِ ْعدَا ُد لِلرُّ ج‬
ِ
‫ب‬
ِ ‫الص ََّوا‬.).
Abu Yusuf (murid Imam Abu Hanifah) pernah berbeda pendapat dengan Imam Malik tentang
sebuah masalah fiqih. Ketika Imam Malik mengutarakan riwayat mutawatir dari penduduk
Madinah sebagai dalil pendapatnya, Abu Yusuf mengoreksi pendapatnya, sambil
berkata: “Jika guruku Abu Hanifah menyaksikan ini, pastilah ia mengoreksi pendapatnya
juga.”
Kedua, keinginan kuat untuk bersatu, berukhuwwah dan berjama’ah ( ‫ال ِحرْ صُ َعلَى ال َوحْ َد ِة َواألُ ُخ َّو ِة‬
‫)والج َما َع ِة‬
َ
Renungkanlah riwayat berikut ini.
‫ صليت‬: ‫ فقال عبد هللا بن مسعود منكرا عليه‬، ‫ ) أن عثمان رضي هللا عنه صلى بمنى أربعا‬307 / 1 ( ‫فروى أبو داود‬
‫ و مع عثمان صدرا من إمارته ثم‬، ‫ و مع عمر ركعتين‬، ‫ و مع أبي بكر ركعتين‬، ‫مع النبي صلى هللا عليه وسلم ركعتين‬
: ‫ ثم إن ابن مسعود صلى أربعا ! فقيل له‬، ‫ ثم تفرقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين متقبلتين‬، ‫أتمها‬
‫ ) نحو هذا عن أبي‬155 / 5 ( ‫ و روى أحمد‬. ‫ و سنده صحيح‬. ‫ الخالف شر‬: ‫عبت على عثمان ثم صليت أربعا ؟ ! قال‬
‫ذر رضي هللا عنهم أجمعين‬
Diriwayatkan oleh  Imam Abu Daud (1/307), bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin
‘Affan radhiallahu ‘anhu shalat di Mina empat rakaat. Maka sahabat nabi, yaitu Abdullah bin
Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengingkarinya seraya berkata: “Aku dulu shalat bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar dan di awal pemerintahan ‘Utsman
sebanyak dua rakaat, dan setelah itu ‘Utsman shalat empat rakaat. Kemudian terjadilah
perbedaan diantara kalian, dan harapanku dari empat rakaat shalat itu yang diterima
adalah yang dua rakaat darinya.” Namun ketika di Mina,  Abdullah bin Mas’ud justru juga
shalat empat rakaat. Maka ditanyakanlah kepada beliau: “Engkau dulu telah mengingkari
‘Utsman atas shalatnya yang empat rakaat, kemudian engkau shalat empat rakaat
pula?” Abdullah bin Mas’ud menjawab: “Perselisihan itu jelek.” (Sanadnya shahih.
Diriwayatkan pula oleh Al Imam Ahmad [5/155] seperti riwayat di atas dari shahabat Abu
Dzar radhiallahu ‘anhum Ajma’in).13
Imam Al Qasim bin Muhammad rahimahullah adalah salah satu tujuh fuqaha Madinah di
zaman tabi’in, dan merupakan cucu dari Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu ‘anhu.
Seseorang bercerita tentang Al-Qasim, “Aku bertanya kepada Al Qasim bin Muhammad
tentang membaca (Al Fatihah) dibelakang imam yang dia tidak mengeraskan
bacaannya. Beliau menjawab: ‘Jika kamu membaca maka kamu memiliki contoh dari para
sahabat nabi, dan jika kamu tidak membaca maka kamu juga memiliki contoh dari para
sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”14
Imam Ahmad rahimahullah mengatakan wajib berwudhu setelah berbekam. Ketika beliau
ditanya: “Kalau seorang imam tidak berwudhu setelah berbekam, apakah kita shalat di
belakangnya?” Beliau menjawab beliau, “Subhanallah! Apakah kita tidak mau menjadi
ma’mum Sa’id bin Musayyib dan Imam Malik bin Anas?”
Sultan Muhammad bin Malik Al-Manshur Qalawun pernah meminta fatwa kepada Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah  untuk menghukum mati beberapa qadhi. Mereka telah
berfatwa untuk menggulingkan Sultan dan membai’at Jasyankir, serta memprovokasi massa
untuk memusuhi Ibnu Taimiyah rahimahullah. Namun Ibnu Taimiyah rahimahullah menolak
pembunuhan itu, dan meminta Sultan membebaskan mereka, padahal mereka telah menzalimi
Ibnu Taimiyah rahimahullah akibat perbedaan pendapat sengit dalam masalah cabang
aqidah. Bahkan beliau malah menghormati mereka.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Jika engkau bunuh mereka, tak akan engkau
dapatkan ulama seperti mereka lagi.”
Sultan berkata, “Mereka telah menyakitimu dan mencoba membunuhmu.”
Ibnu Taimiyah rahimahullah menjawab: “Siapa yang telah menyakitiku aku telah
memaafkannya, aku tidak ingin menang untuk diriku sendiri.”
Ibnu Makhluf, salah satu qadhi berkata: “Belum pernah kami menemui orang seperti Ibnu
Taimiyah, kami coba menyakitinya tapi kami tidak mampu. Sedang ia dapat membalas kami,
tapi ia memaafkan bahkan membela kami.”
َ ‫)اإل ْن‬.
Ketiga, bersikap objektif dan adil terhadap pihak yang berbeda ( َ‫صافُ وال َع ْد ُل َم َع ال ُمخَالِفِين‬ ِ
Syaikh Hasan Al-Banna rahimahullah berkata,
َ‫ت َوالَ ت َْح ِملُك‬ ِ ‫سيِّئَا‬
َّ ‫ضا َع ِن ال‬َ ‫الر‬
ِّ ُ‫ضي َعيْن‬ ِ ‫ت َوالَ تُ ْغ‬
ِ ‫سنَا‬َ ‫الح‬
َ ‫ب‬ َ ‫سي َك ال َغ‬
ُ ‫ض‬ ِ ‫األح َوا ِل الَ يُ ْن‬
ْ ‫يع‬ ِ ‫الح ْك ِم فِي َج ِم‬
ُ ‫يح‬ َ ‫ص ِح‬َ ً‫أنْ تَ ُكونَ عَا ِدال‬
‫س إلَ ْي َك َوإنْ َكانَ ُم ًّرا‬
ِ ‫ب النَّا‬ِ ‫س َك أَ ْو َعلَى أ ْق َر‬ِ ‫ق َولَ ْو َكانَ َعلَى نَ ْف‬ َ ‫الج ِمي ِل َوتَقُو ُل‬
َّ ‫الح‬ َ ‫سيَا ِن‬ْ ِ‫صو َمةُ َعلَى ن‬ ُ
ُ ‫الخ‬.
“Berlakulah adil dan benar dalam menghukum dalam segala hal. Kemarahanmu (kepada
orang lain) jangan membuatmu melupakan kebaikannya, dan rasa sukamu kepada seseorang
jangan menutup matamu dari keburukannya. Permusuhan jangan membawamu melupakan
kebaikan. Katakan yang haq meskipun pahit atas dirimu atau orang terdekat bagimu
sekalipun” 15
Abdur Razzaq bin Hammam rahimahullah, penyusun hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, pernah berkomentar buruk terhadap Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu yang
dianggapnya kurang sopan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Imam Dzahabi rahimahullah mengkritik Abd Razzaq, “Ini adalah suatu yang besar, jika
engkau (wahai Abd Razzaq) diam, tentu itu lebih baik. Umar lebih tahu adab terhadap
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam…Meskipun demikian, kita mohon ampun kepada
Allah untuk kita dan Abd Razzaq, beliau orang yang terpercaya dan jujur dalam
meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”
Keempat, berdiskusi di bawah naungan ukhuwwah (‫)ال ُمنَاقَ َشةُ تَحْ تَ ِظالَ ِل األ ُخ َّو ِة‬
Syaikh Hasan Al-Banna rahimahullah berkata,
‫والخالف الفقهي في الفروع ال يكون سببا للتفرق في الدين وال يؤدي إلى خصومة وال بغضاء ولكل مجتهد أجره وال‬
‫مانع من التحقيق العلمي النزيه في مسائل الخالف في ظل الحب في هللا والتعاون على الوصول إلى الحقيقة من غير أن‬
‫يجر ذلك إلى المراء المذموم والتعصب‬.
“Dan khilaf fiqih dalam masalah cabang janganlah menjadi penyebab perpecahan dalam
agama, permusuhan dan kebencian. Setiap mujtahid mendapat pahala. Dan tidak mengapa
jika dilakukan kajian dan diskusi ilmiah dalam masalah khilaf dalam naungan cinta karena
Allah dan saling membantu untuk  mencapai hakikat kebenaran tanpa mengakibatkan
perdebatan tercela dan fanatisme.”16
Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,
َ ‫َو َجا ِد ْل ُه ْم بِالَّتِي ِه َي أَ ْح‬
ُ‫سن‬
“Dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang terbaik” (QS. An-Nahl, 16: 125)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,
)‫الجنَّ ِة لِ َمنْ تَ َركَ ال ِم َرا َء َوإِنْ َكانَ ُم ِحقًّا (رواه أبو داود‬ ٍ ‫أنَا زَ ِعي ٌم بِبَ ْي‬.
َ ‫ت فِي‬
“Aku menjamin rumah di surga bagi siapa yang meninggalkan debat kusir meskipun ia
berada di pihak yang benar” (HR. Abu Dawud)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berbeda pendapat dengan Zaid bin Tsabit tentang ‘apakah
saudara mendapat warisan jika ada kakek?’ Ibnu Abbas berpendapat ‘ya’ sedangkan Zaid
‘tidak’. Ketika Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu  melihat Zaid radhiyallahu
‘anhu   menunggang kudanya, ia segera berjalan menuntun kuda Zaid radhiyallahu
‘anhu   sambil berkata: “Beginilah kita diperintahkan menghormati ulama.”
Zaid radhiyallahu ‘anhu   berkata: “Kemarikan tanganmu!” Lalu diciumnya tangan Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhu  sambil berkata: “Beginilah kami diperintahkan terhadap ahli bait
Nabi kami.”
ِ ُّ‫)اجْ تِنَابُ التَّ َعص‬.
Kelima, menjauhi ta’ashub (‫ب‬
Syaikh Hasan Al-Banna rahimahullah berkata,
‫وكل أحد يؤخذ من كالمه ويترك إال المعصوم صلى هللا عليه وسلم وكل ما جاء عن السلف رضوان هللا عليهم موافقا‬
‫ ولكنا ال نعرض لألشخاص ـ فيما اختلف فيه ـ بطعن أو‬،‫للكتاب والسنة قبلناه و إال فكتاب هللا وسنة رسوله أولى باإلتباع‬
‫تجريح ونكلهم إلى نياتهم وقد أفضوا إلى ما قدموا‬.
“Setiap orang dapat diambil ucapannya dan ditinggalkan kecuali Rasulullah  shallallahu
‘alaihi wa sallam   yang ma’shum. Kita menerima semua yang berasal dari
salaf ridhwanullah ‘alaihim dan sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah, jika tidak sesuai
maka Al-Quran dan Sunnah lah yang harus diikuti, tetapi kita tidak akan menodai
kehormatan seseorang diantara mereka dengan tuduhan atau celaan karena perbedaan
pendapat di antara mereka, kita serahkan mereka kepada niat mereka masing-masing, dan
mereka sudah  mendapatkan balasan apa yang telah mereka lakukan.”  17
Menjauhi sikap ta’ashub diantaranya terlihat dari ucapan Abu Yusuf ketika telah datang
padanya dalil yang kuat yang berbeda dengan pendapatnya, dia berkata: “Jika guruku Abu
Hanifah menyaksikan ini, pastilah ia mengoreksi pendapatnya juga.”
Syaikh Yusuf Qaradhawi hafizhahullah  berkata, “Saya pribadi telah berijtihad dalam
berbagai hal tanpa mengikuti sepenuhnya pendapat Imam Al-Banna. Dan saya yakin beliau
akan rela dengan sikap saya itu, karena beliau amat senang melihat pengikutnya berpikir
merdeka dan sungguh-sungguh, tidak menjadi tawanan atau hamba yang selalu terbelenggu
taqlid.”18
Di dalam bukunya Fiqhul Ikhtilaf, Syaikh Al-Qaradhawi hafizhahullah juga menegaskan
bahwa seseorang bisa berlaku ikhlas sepenuhnya kepada Allah dan berpihak hanya kepada
kebenaran jika ia dapat membebaskan dirinya dari fanatisme terhadap pendapat orang,
madzhab, dan golongan. Dengan kata lain, ia tidak mengikat dirinya kecuali dengan dalil.
Jika dilihatnya ada dalil yang menguatkan maka ia segera mengikutinya, sekalipun
bertentangan dengan madzhab yang dianutnya atau perkataan seorang Imam yang
dikaguminya atau golongan yang diikutinya. Sebab, kebenaran lebih berhak untuk diikuti
daripada pendapat si Zaid atau si Umar. Allah tidak memerintahkan kita beribadah mengikuti
perkataan seorang ulama atau Imam tertentu, tetapi Allah memerintahkan kita agar beribadah
sesuai dengan apa yang terdapat di dalam kitab-Nya dan sunnah Nabi-Nya.
ِ ‫َع َد ُم ا ِإل ْن َك‬
ِ َ‫ار فِي ال ِخال‬
Keenam, tidak mengingkari ikhtilaf yang mu’tabar dan diperbolehkan ( ‫ف‬
‫)ال ُم ْعتَبَ ِر السَّائِ ِغ‬
Imam Sufyan Ats Tsauri rahimahullah  berkata,
‫إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فال تنهه‬.
“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal
engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.”19
Tentang merutinkan qunut shubuh, Imam At Tirmidzi berkata:
َ ‫سنٌ َوإِنْ لَ ْم يَ ْقنُتْ فَ َح‬
ٌ‫سن‬ ُّ ‫س ْفيَانُ الثَّ ْو ِر‬
َ ‫ي إِنْ قَنَتَ فِي ا ْلفَ ْج ِر فَ َح‬ ُ ‫قَا َل‬
“Berkata Sufyan Ats Tsauri: ‘Jika berqunut pada shalat shubuh, maka itu  bagus, dan jika
tidak berqunut itu juga bagus.’”20
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
،‫الع ْل ِميَّ ِة‬
ِ ‫ج‬ َ َّ‫س أِل َ َح ٍد أَن يُ ْل ِز َم الن‬
ُ ِ‫ َول ِكنْ يَتَ َكلَّ ُم فِ ْي َها ب‬،‫اس بِاتِّبَا ِع ِه فِ ْي َها‬
ِ ‫الح َج‬ َ ‫إنَّ ِم ْث َل َه ِذ ِه ال َم‬
َ ‫ َولَ ْي‬،‫سائِ ِل ا ِال ْجتِ َها ِديَّ ِة الَ تُ ْن َك ُر بِاليَ ِد‬
َ ‫ َو َمنْ قَلَّ َد أَ ْه َل القَ ْو ِل‬،ُ‫أح ِد القَ ْولَ ْي ِن تَبِ َعه‬
‫اآلخ ِر َفالَ إِ ْن َكا َر َعلَ ْي ِه‬ َ ُ‫ص َّجة‬ ِ ُ‫فَ َمنْ تَبَيَّنَ لَه‬
“Sesungguhnya masalah ijtihadiyyah seperti ini   tidak boleh diingkari dengan tangan,
siapapun tidak boleh memaksa orang lain mengikuti pendapatnya. Yang bisa dilakukan
adalah berbicara dengan argumentasi ilmiah. Siapa yang telah jelas baginya kebenaran
suatu pendapat dia dapat mengikutinya, dan siapa yang mengikuti pendapat lain maka ia
tidak boleh diingkari.”
Ketujuh, meninggalkan yang mustahab demi menyatukan hati (‫ب‬ ِ ِ‫ت لِتَأْل‬
ِ ‫يف القُلُو‬ ُ ْ‫)تَر‬.
ِ ‫ك الم ْست ََحبَّا‬
Imam Asy Syafi’i (juga Imam Malik) berpendapat sunnahnya qunut shubuh. Berbeda dengan
Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal yang memandang tidak ada qunut shubuh.
Diceritakan dalam Al Mausu’ah sebagai berikut:
‫ فَقَال‬. ‫ض َوا ِحي بَ ْغدَا َد‬ ْ ‫صلَّى َم َع َج َما َع ٍة ِمنَ ا ْل َحنَفِيَّ ِة فِي َم‬
َ ِ‫س ِج ِد ِه ْم ب‬ َ ‫ح لَ َّما‬ ُّ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ تَ َر َك ا ْلقُنُوتَ فِي‬
ِ ‫الص ْب‬ ِ ‫الشَّافِ ِع ُّي َر‬
ْ ‫ َوقَال الشَّافِ ِعيَّةُ بَل تَ َغيَّ َر‬، ‫ فَ َعل َذلِ َك أَ َدبًا َم َع ا ْإل َم ِام‬: ُ‫ ا ْل َحنَفِيَّة‬.
ِ ‫اجتِ َها ُدهُ فِي َذلِكَ ا ْل َو ْق‬
‫ت‬
“Asy Syafi’i radhiallahu ‘anhu meninggalkan qunut dalam subuh ketika beliau shalat
berjamaah bersama kalangan Hanafiyah (pengikut Abu Hanifah) di Masjid mereka,
pinggiran kota Baghdad. Berkata Hanafiyah: ‘Itu merupakan adab bersama imam.’ Berkata
Asy Syafi’iyyah (pengikut Asy Syafi’i): ‘Bahkan beliau telah merubah ijtihadnya pada waktu
itu.’”21
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah mengomentari orang yang shalat dua rakaat setelah
Ashar:
‫ال نفعله وال نعيب فاعله‬
“Kami tidak melakukannya tapi kami tidak juga menilai aib orang yang melakukannya.”22
Tentang qunut shubuh, diceritakan sebagai berikut:
،‫ إذا كنت َخ ْلفَ إمام يقنت فتابعه على قُنُوتِ ِه‬:‫ ويقول‬،‫فقد كان اإلمام أحم ُد رحمه هللا يرى أنَّ القُنُوتَ في صالة الفجر بِدْعة‬
‫ وعدم كراهة بعضنا لبعض‬،‫ واتِّفاق القلوب‬،‫ ُك ُّل ذلك ِمن أجل اتِّحاد الكلمة‬،‫وأ ِّمنْ على دُعائه‬.
“Imam Ahmad rahimahullah berpendapat bahwa qunut dalam shalat fajar (subuh) adalah
bid’ah. Akan tetapi dia mengatakan: ‘Jika aku shalat di belakang imam yang berqunut, maka
aku akan mengikuti qunutnya itu, dan aku aminkan doanya, semua ini lantaran demi
menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghilangkan kebencian antara satu dengan
yang lainnya.’”  23
Guna menuju tercapainya saling pengertian dalam menyikapi ikhtilaf yang terjadi di antara
umat Islam, Syaikh Yusuf Al-Qaradawi hafizhahullah mengatakan bahwa penting bagi kita
untuk menelaah perbedaan pendapat para ulama. Dengan penelaahan yang jernih akan
nampak dalil-dalil yang melandasi perbedaan itu. Kemudian akan diketahui bahwa lautan
syariah itu amat dalam dan luas. Akan Nampak kebenaran ungkapan, “Siapa yang tidak
mengetahui ikhtilaf ulama, maka dia bukan ulama. Siapa yang tidak mengetahui ikhtilaf para
fuqaha, maka hidungnya belum mencium bau fiqh.”
َ ‫ض فِ ْي َما لَي‬
Kedelapan, meninggalkan perkara yang tidak membuahkan amal ( ُ‫ْس َو َرا َءه‬ ِ ْ‫َع َد ُم ال َخو‬
‫) َع َم ٌل‬
Syaikh Hasan Al-Banna rahimahullah  berkata,
‫ف الَّ ِذي نُ ِه ْينَا َع ْنهُ ش َْرعًا‬ ُ ‫سأَلَ ٍة الَ يَ ْنبَنِي َعلَ ْي َها َع َم ٌل فَا ْل َخ ْو‬
ِ ُّ‫ض فِ ْي َها ِمنَ التَّ َكل‬ ْ ‫َو ُك ُّل َم‬
“Semua masalah yang tidak terbangun di atasnya amal, maka menggelutinya terlalu dalam
adalah perbuatan berlebihan yang dilarang oleh syariat…”24
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang kapan hari kiamat, beliau
berkata: “Apa yang telah engkau siapkan untuk menghadapinya?”
Umar radhiyallahu ‘anhu menginkari dan menghukum Shabigh karena banyak bertanya
tentang sesuatu yang tidak bermanfaat secara amaliah.
Ali radhiyallahu ‘anhu mengingkari Ibnul Kuwa yang banyak bertanya tentang hal yang
tidak bermanfaat.
Begitu juga Imam Malik rahimahullah membenci ucapan yang tidak membuahkan amal.
Wallahu A’lam…
Catatan Kaki:
[1] Al-Mu’jam Al-Wasith: 1/251
[2] Ma’an ‘ala Thariq ad-Da’wah: 102
[3] Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah: 6/57
[4] Risalah Da’watuna, Majmu’ah Rasail , Hasan Al-Banna, hal. 23 – 24
[5] Contoh-contoh ikhtilaf ini sebagian besar diambil dari buku Lahirnya Mazhab-mazhab
Fiqh, Syah Waliyullah Al-Dahlawy
[6] As Suyuthi mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh Nashr Al Maqdisi dalam kitab Al
Hajjah secara marfu’ dan Al Baihaqi dalam Al Madkhal  dari Al Qasim bin Muhammad dan
ini adalah ucapan beliau. (Lihat Ad Durar Mutanatsirah, Hal. 1).
[7] Lihat: “Perbedaan di Antara Umatku adalah Rahmat.”, Farid Nu’man Hasan.
[8] Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 15
[9] Imam An Nawawi, Syarh Shahih Muslim, No. 3090. Mauqi’ Ruh Al Islam
[10] Jazil al-Mawahib, 22
[11] Setelah penjelasan ini, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah
menyampaikan suatu masalah dan jawabannya. Yaitu ketika ditanya, “Kenapa tidak ada
yang mengingatkan (kesalahan) perbuatan ini kecuali seorang Yahudi?” Jawabannya
adalah, “Kemungkinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mendengarnya dan
tidak mengetahuinya.” Jika ditanya lagi, “Allah Maha mengetahui, kenapa mendiamkan
mereka?” maka dijawab, “Sesungguhnya itu adalah syirik asghar (kecil), bukan syirik akbar
(besar). Hikmahnya adalah ujian bagi orang-orang Yahudi. Mereka mengkritik umat Islam
atas kata tersebut, padahal mereka menyekutukan Allah azza wa jalla dengan syirik yang
besar, namun mereka tidak melihat aib mereka.” (Al-Qaulul Mufid hal.522-523; Penerbit
Abu Bakar ash Shiddiq, Mesir, Cet.1, Th.2007M/1428H; Tahqiq: Muhammad Sayyid ‘Abdur
Rabbir Rasul), dikutip dari Wajib Menerima Kebenaran dari Siapapun Datangnya, Agus
Santosa Somantri.
[12] Jaami’ Bayaaninil ‘Ilmi wa Fadhlih, hal. 226
[13] As Silsilah Ash Shahihah, 1/389
[14] Imam Ibnu Abdil Bar, Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, 2/161
[15] Imam Syahid Hasan Al-Banna dalam Wajibat al-akh – Risalah Ta’alim
[16] Prinsip ke-8 dari 20 prinsip Ikhwan (Rukun Al-Fahm – Risalah Ta’alim
[17] Prinsip ke-6 dari 20 prinsip Ikhwan – Rukun Al-Fahm Risalah Ta’alim
[18] Yusuf Al-Qaradhawi: Al-Ikhwan Al-Muslimun: 246
[19] Imam Abu Nu’aim Al Asbahany, Hilaytul Auliya, 3/133
[20] Lihat Sunan At Tirmidzi, keterangan hadits No. 401
[21] Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/302. Wizarah Al Awqaf Asy Syu’un Al
Islamiyah
[22] Al Mughni, 2/87, Syarhul Kabir, 1/802
[23] Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Syarhul Mumti’, 4/25. Mawqi’ Ruh Al Islam
[24] Prinsip ke-9 dari 20 Prinsip Ikhwan – Rukun Al-Fahm Risalah ta’alim

Anda mungkin juga menyukai