Kelas : 3 Harmoni
Al-Ikhtilafu wa Adabuhu
(Perbedaan Pendapat dan Adab-adabnya)
Makna Ikhtilaf
ِ َع َد ُم التَّ َسtidak sama, tidak
ِ َاوي و َع َد ُم ا ِالتِّف
Secara etimologis, ikhtilaf berarti: اق
sepakat.1 Sedangkan dalam istilah para ulama, ikhtilaf atau khilaf memiliki dua pengertian.
Pengertian ikhtilaf atau khilaf yang pertama adalah,
ضا ِء ُ ث لِ ْل ُخ
َ صو َم ِة والبَ ْغ ُ ق ال ُمو ِر
ُ شقَا
ِّ والج َد ُل وال
َ ُال ُمنَا َز َعةُ والفُ ْرقَة
“Perlawanan, perpecahan, perdebatan dan benturan yang menimbulkan permusuhan dan
kebencian.”
Dalam makna seperti ini Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
ش ٌّر
َ ُال ِخالف
“Khilaf itu buruk.”
Pengertian ikhtilaf atau khilaf yang kedua adalah,
ِ ت النَّظَ ِر نَتِ ْي َجةَ تَفَا ُو
ت ال ُعقُول وال َمدَا ِر ِك ِ التَّ َغايُ ُر فِي ال َّر ْا.
ِ ي َو ِو ْج َها
“Perbedaan pendapat dan sudut pandang yang disebabkan oleh perbedaan tingkat
kecerdasan dan informasi.”2
Jenis-jenis Ikhtilaf
Ada dua jenis perbedaan pendapat, yang boleh dan yang tidak boleh ( ْال َج َوا ُز
)و ْال َم ْن ُع. Ikhtilaf yang
َ ِ )االختالفُ فِي الفُر. Yang
boleh adalah ikhtilaf dalam perkara furu’ (ُوع
dimaksud dengan perkara furu’ adalah: ( الظَّنِّيَّةُ ال َخفِيَّةُ ال ُم ْختَلَفُ فِ ْيهَاhal-hal yang zhanni—
mengandung dugaan, multi interpretatif—tersembunyi, dan diperselisihkan oleh para ulama.3
Sedangkan ikhtilaf yang tidak boleh adalah ikhtilaf dalam perkara ushul ()االختِالفُ فِي األُصُو ِل.
ْ
ْ َ( القhal-hal yang qath’i,
Yang dimaksud dengan perkara ushul adalah: ط ِعيَّةُ ال َجلِيَّةُ ال ُمجْ َم ُع َعلَيهَا
jelas, dan disepakati oleh para ulama).
Yang menjadi acuan penentu ushul dan furu’ adalah Ilmu Ushul Fiqih dan kaidah bahasa
Arab.
Sebab-sebab Ikhtilaf dalam Perkara Furu’
Terjadinya ikhtilaf dalam perkara furu’ adalah sebuah keniscayaan karena faktor-faktor
berikut,
Pertama, perbedaan kemampuan akal para ulama dalam menyimpulkan ayat atau hadits yang
َ ْ)اختِالَفُ ال ُعقُو ِل فِي قُ َّو ِة اال ْستِ ْنبَا ِط أَو.
multi interpretatif ( ض ْعفِ ِه ْ
ِ ) َس َعةُ ال ِع ْل ِم َو. Maka
Kedua, perbedaan informasi dan ilmu yang dimiliki para ulama ( ُض ْيقُه
sangat mungkin ada suatu hadits atau ilmu tertentu yang sampai kepada beberapa ulama
tertentu dan belum sampai kepada ulama yang lain. Sehingga Imam Malik berkata kepada
Abu Ja’far: “Sesungguhnya para sahabat Rasulullah telah mendatangi berbagai kota, dan
setiap kaum itu memiliki ilmu tertentu. Maka jika seseorang ingin menggiring mereka
kepada satu pendapat, niscaya upaya ituhanya akan menimbulkan kekacauan.”
ْ ). Itulah sebabnya Imam
ِ اختِالَفُ البِيئَا
Ketiga, perbedaan lingkungan, situasi dan kondisi (ت
Syafi’i memberikan fatwa lama (qaul qadim) di Irak, kemudian memunculkan fatwa baru
(qaul jadid) ketika beliau berada di Mesir.
Keempat, perbedaan ketentraman hati dalam menilai suatu riwayat hadits ( ط ِم ْئنَا ِن ْ اختِالَفُ ا ِال
ْ
) القَ ْلبِي إِلَى ال ِّر َوايَ ِة. Maka terkadang kita melihat perawi tertentu dianggap tsiqah oleh Imam
Fulan sementara tidak demikian menurut Imam yang lain, karena informasi tertentu yang
mungkin tidak diketahui oleh yang pertama.
ْ
Kelima, perbedaan dalam menempatkan dalil yang harus didahulukan dari yang lain ( ُاختِالَف
ِ َتَ ْق ِدي ِْر ال َّدالَال. ). Maka mungkin ada ulama yang mendahulukan perbuatan sahabat atas khabar
ت
ahad, sementara yang lain tidak melihatnya demikian.4
Point-point di atas akan lebih jelas jika kita cermati contoh-contoh perbedaan pendapat di
kalangan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini.
Ikhtilaf di Kalangan Sahabat
Berikut ini contoh perbedaan pendapat yang terjadi di antara mereka:
Pertama, ikhtilaf dalam masalah pelaksanaan perintah shalat Ashar di benteng Bani
Quraidhah sebagaimana tergambar dalam hadits dari Ibnu Umar berikut ini,
ص ُر فِي ْ ض ُه ْم ا ْل َعَ ص َر إِاَّل فِي بَنِي قُ َر ْيظَةَ فَأَد َْركَ بَ ْع ْ صلِّيَنَّ أَ َح ٌد ا ْل َع
َ ُب اَل ي ِ سلَّ َم لَنَا لَ َّما َر َج َع ِمنْ اأْل َ ْح َزا َ قَا َل النَّبِ ُّي
َ صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو
سلَّ َم فَلَ ْم َ صلِّي لَ ْم يُ َر ْد ِمنَّا َذلِكَ فَ ُذ ِك َر لِلنَّبِ ِّي
َ صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َ ُض ُه ْم بَ ْل نُ صلِّي َحتَّى نَأْتِيَ َها َوقَا َل بَ ْع َ ُض ُه ْم اَل ن ُ يق فَقَا َل بَ ْع
ِ الطَّ ِر
يُ َعنِّفْ َوا ِحدًا ِم ْن ُه ْم
“Nabi shallallahu ‘alaihi w sallam berpesan kepada kami ketika kami pulang dari perang
Ahzab, ‘Janganlah sekali-kali kalian shalat Ashar kecuali ketika sudah sampai di kampung
Bani Quraidhah,’ kemudian sebagian di antara mereka mengetahui bahwa sudah masuk
waktu Ashar saat di perjalanan, sebagian yang lain berkata, ‘Kami tidak akan shalat Ashar
sebelum sampai di kampung Bani Quraidhah’ sementara sebagian yang lain berkata, ‘Kami
akan shalat di perjalanan dan tidak akan mengulangi’. Kemudian kami ceritakan peristiwa
tersebut kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan nabi tidak mencela salah satu di
antara kami.” (Sahih Bukhari juz 3 hlm. 499)
Kedua, ikhtilaf tentang musafir yang shalat dengan tayammum kemudian menemukan air,
sebagaimana disebutkan hadits berikut ini,
فَأَعَا َد،ت
ِ ثُ َّم َو َجدَا ا ْل َما َء فِي ا ْل َو ْق،صلَّيَا َ َص ِعيدًا طَيِّبًا ف َ فَتَيَ َّم َما،س َم َع ُه َما َما ٌء
َ صاَل ةُ َولَ ْي َّ ت ال ِ ض َر َ فَ َح،سفَ ٍر
َ َخ َر َج َر ُجاَل ِن فِي
َصبْت َ َ أ:ْسلَّ َم فَ َذ َك َرا َذلِ َك لَهُ فَقَا َل لِلَّ ِذي لَ ْم يُ ِعد
َ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َ ِ سو َل هَّللاُ ثُ َّم أَتَيَا َر،ضو َء َولَ ْم يُ ِع ِد اآْل َخ ُر َّ أَ َح ُد ُه َما ال
ُ صاَل ةَ َوا ْل ُو
لَكَ اأْل َ ْج ُر َم َّرتَ ْي ِن:َضأ َ َوأَعَاد َ َ َوأَ ْج َزأَ ْتك،َسنَّة
َّ َوقَا َل لِلَّ ِذي تَ َو. َصاَل تُك ُّ ال
“Ada dua orang lelaki yang bersafar. Kemudian tibalah waktu shalat, sementara tidak ada
air di sekitar mereka. Kemudian keduanya bertayammum dengan permukaan tanah yang
suci, lalu keduanya shalat. Setelah itu keduanya menemukan air, sementara waktu shalat
masih ada. Lalu salah satu dari keduanya berwudhu dan mengulangi shalatnya, sedangkan
satunya tidak mengulangi shalatnya. Keduanya lalu menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan menceritakan yang mereka alami. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan kepada orang yang tidak mengulangi shalatnya, “Apa yang kamu lakukan telah
sesuai dengan sunnah dan shalatmu sah”. Kemudian Beliau mengatakan kepada yang
mengulangi shalatnya, “Untukmu dua pahala” (Sunan Abu Dawud, no.338, Sunan Ad-
Daromi, no.771, Sunan Baihaqi, no.1094, Mustadrok Hakim, no.632, Sunan Ad-Daruquthni,
no.727 dan Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, no.10800)
Ketiga, ikhtilaf apakah melakukan raml (lari-lari kecil) ketika thawaf itu qurbah (ibadah)
ataukah ibahah (kebolehan). Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat raml ketika thawaf
adalah sunnah. Tapi Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berpendapat bahwa raml dilakukan
untuk menanggapi perkataan orang musyrikin yang mengatakan bahwa kaum muslimin
tubuhnya lemah karena terhinggapi penyakit panas Yatsrib (Madinah).
إِنَّهُ َي ْق َد ُم َعلَ ْي ُك ْم َغدًا قَ ْو ٌم َق ْد: َش ِر ُك ْون ْ َس ْو ُل هللاِ َوأ
ْ قَا َل ا ْل ُم،ص َحابُهُ َم َّكةَ َوقَ ْد َو َهنَ ْت ُه ْم ُح َمى َي ْث ِر َب ُ قَ ِد َم َر:س قَا َل
ٍ َع ِن ا ْب ِن َعبَّا
ُّ َ َوأَ َم َر ُه ُم النَّبِ ُّي أَنْ يَ ْر ُملُ ْوا ثَالَثَةَ أَش َْوا ٍط َويَ ْمش ُْوا َما بَيْن،س ْوا ِم َّما يَلِ ْي ا ْل ِح ْج َر
الر ْكنَ ْي ِن ُ َ فَ َجل.ًش َّدة ِ َولَقُ ْوا ِم ْن َها،َو َهنَ ْت ُه ُم ا ْل ُح َمى
ُ قَا َل ابْن. َه ُؤالَ ِء أَ ْجلَ َد ِمنْ َك َذا َو َك َذا، َه ُؤالَ ِء الَّ ِذيْنَ َز َع ْمتُ ْم أَنَّ ا ْل ُح َمى قَ ْد َو َهنَ ْت ُه ْم: َش ِر ُك ْون
ْ فَقَا َل ا ْل ُم،ش ِر ُك ْونَ َجلَ َد ُه ْم
ْ لِيَ َرى ا ْل ُم
ْ َ َولَ ْم يَ ْمنَ ْعهُ أَنْ يَأْ ُم َر ُه ْم أَنْ يَ ْر َملُ ْوا ْاأل:س
ش َواطَ ُكلَّ َها إِالَّ ْا ِإل ْبقَا َء َعلَ ْي ِه ْم ٍ َعبَّا.
Dari Ibnu Abbas ra ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya mendatangi kota Makah (untuk menunaikan Umrah) dan penyakit demam
Madinah telah melemahkan mereka. Musyrikin Makah berkata: ‘ Besok akan datang kepada
kalian satu kaum yang telah dilemahkan oleh demam dan mereka banyak menemukan
kesulitan (di Madinah).’ Mereka (musyrikin Makah) duduk di sekitar Hijir Isma’il, maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk raml (berlari-
lari kecil) pada tiga putaran pertama dan berjalan biasa pada empat putaran terakhir agar
musyrikin Makah dapat melihat ketangguhan mereka. Musyrikin Makah berkata: ‘Mereka
itu orang-orang yang kalian sangka telah dilemahkan oleh demam Madinah, ternyata
mereka lebih tangguh. ‘ Ibnu Abbas ra berkata: ‘ Tidak ada yang menghalangi Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memerintah mereka agar berlari-lari kecil di seluruh
tiga putaran melainkan rasa kasihan atas mereka.’” (Muslim, No: 3048)
Keempat, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah berpendapat bahwa orang yang junub
pada pagi hari di bulan Ramadhan tidak wajib berpuasa. Pendapat itu kemudian diralatnya
setelah Aisyah radhiyallahu ‘anha memberitahukan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyatakan hal yang sebaliknya.
Kelima, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berpendapat bahwa tayamum itu tidak
mencukupi bagi orang junub yang tidak menemukan air. Disampaikan oleh
Ammar radhiyallahu ‘anhu kepada beliau hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menyatakan bahwa tayamum sudah mencukupi. Tapi Umar tidak menerima hadits itu sebagai
hujjah sampai hadits itu menjadi masyhur dari beberapa jalur sanad, lalu orang pun banyak
menggunakannya.
Keenam, Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah mengerjakan ibadah umrah pada bulan Rajab. Aisyah radhiyallahu
‘anha mendengar itu, lalu mengatakan bahwa Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu lupa.
Ketujuh, Rasulullah memberi dispensasi kawin mut’ah pada Perang Khaibar, kemudian
melarangnya, dan memperbolehkannya lagi pada Perang Authas, kemudian melarangnya lagi.
Ibnu Abbas berkata: “Dispensasi itu karena adanya darurat, dan larangan itu karena
hilangnya darurat. Sedangkan jumhur berpendapat bahwa dispensasi itu adalah sebagai
kebolehan dan larangan itu sebagai penghapusan.5
Prinsip-prinsip dalam Ikhtilaf
Pertama, ikhtilaf dalam masalah furu’ pasti terjadi (ي
ٌّ ضرُوْ ِر ِ )ال ِخالَفُ فِي الفُر.
َ ُوع
Kemestian itu terjadi karena tabiat agama Islam sendiri memang memberi peluang terjadinya
perbedaan pendapat. Dalam kitab al-Arbain, Imam An-Nawawi meriwayatkan hadits dari
Daruquthni, “Sesungguhnya Allah SWT telah membuat ketentuan-ketentuan, janganlah kamu
melanggarnya; telah mewajibkan sejumlah kebaikan, janganlah kamu abaikan; telah
mengharamkan banyak hal, janganlah kamu melanggarnya; telah mendiamkan banyak
masalah sebagai rahmat bagimu, bukan karena lupa, janganlah kamu mencarinya.”
Meminjam istilah Syaikh Al-Qaradhawi, ada ‘kawasan kosong syariat’ yang sengaja
Allah Ta’ala sediakan.