Anda di halaman 1dari 14

vol. 6 no. 1, pp.

13–26
Jurnal Penelitian Pendidikan dan Pengajaran Matematika terbit: 31 Maret 2020

Etnomatematika: Eksplorasi Candi Borobudur

Rahmi Nur Fitria Utami, Dedi Muhtadi, Nani Ratnaningsih


Program Studi Pendidikan Matematika, FKIP, Universitas Siliwangi, Tasikmalaya, Indonesia
E-mail: dedimuhtadi@unsil.ac.id
Sukirwan
Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang, Indonesia
Hasan Hamid
Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Khairun, Indonesia

ABSTRAK

Matematika merupakan ilmu tentang pola, struktur dan bentuk yang terintegrasi dalam
budaya masyarakat. Konsep-konsep matematika yang diaplikasikan, merujuk pada
aktivitas, kebiasaan, ataupun adat kehidupan masyarakat dalam menyelesaikan masalah
disebut etnomatematika. Salah satu aplikasi etnomatematika ini terdapat pada Candi
Borobudur. Candi Borobudur adalah megastruktur konseptual matematika yang dibangun
sejak berabad-abad tahun yang lalu, dimana pada masa itu belum berkembang teknologi
modern. Penelitian ini bertujuan untuk membahas tentang ajaran, filosofi, dan konsep
matematika yang terdapat dalam Candi Borobudur, serta hubungan dari ketiganya.
Penelitian ini menggunakan metode eksploratif dengan pendekatan historis dan kultural.
Simpulan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Candi borobudur sebagai produk
etnomatematika menyajikan berbagai konsep agama, moral, budaya, dan matematika,
(2) Secara keseluruhan, konsep-konsep tersebut memiliki hubungan dan keterkaitan
diantara satu sama lain, (3) Konsep-konsep yang disepakati dan diterapkan dalam
realita kehidupan, telah membawa matematika sebagai produk budaya yang tertanam
sejak zaman dahulu meskipun mereka tidak menyadarinya, dan (4) Candi borobudur
merupakan contoh monumen dari orkesta matematika dalam bentuk etnomatematika.

Kata Kunci: Candi Borobudur; Etnomatematika; Konsep Matematika

ABSTRACT

Math is the science about the patterns, structures, and shape, integrated into the
culture of the life of the community. Mathematical concepts which applicated in the
cultural community, refer to activities or customs, habits, life incomplete the problem is
called ethnomathematics. One of these ethnomathematics application is present on the
Borobudur Temple. Borobudur Temple is a conceptual mathematical megastructure that
was built centuries years ago, which at the time was not yet developing modern technology.
The purpose of this study is to discuss the form of teaching, philosophy and mathematical
patterns of the structure of the building of the temple, as well as the relationship of the
third focus of the study. This research method using exploratory with historical and
cultural approaches. The conclusions of this research are as follows: (1) Borobudur temple
as ethnomatematics product presents various religious, moral, cultural, and mathematical
concepts, (2) Overall, these concepts have a relationship and interrelationships with each
other, (3) Concepts which are agreed upon and applied in the reality of life, have brought
mathematics as a cultural product that has been embedded since ancient times even
though they were not aware of it, and (4) Borobudur temple is an example of a monument
of a mathematical orchestra in the form of ethnomatatics.

Keywords: Borobudur Temple; Ethnomathematics, Mathematical Concepts

PENDAHULUAN

Matematika merupakan pengetahuan yang bersifat universal dan menjadi dasar dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta berperan penting dalam memajukan
daya pikir manusia untuk menyelesaikan berbagai persoalan dan telah menjadi bagian
dari kehidupan manusia. Dengan demikian, matematika menjadi suatu hal yang melekat
dan tidak terlepas dari kehidupan manusia, baik di rumah, di lingkungan kerja, di sawah,
di kebun, di hutan, di ladang, di gunung, dan dimanapun mereka berada. Namun, terkadang

p-ISSN: 2460-8599 e-ISSN: 2581-2807 jurnal.unsil.ac.id/index.php/jp3m


14 • Etnomatematika: Eksplorasi Candi Borobudur

masyarakat tidak menyadari bahwa mereka telah melakukan sebuah aktivitas matematika,
karena matematika berkembang dari proses berpikir. Hal ini menunjukkan bahwa logika
dijadikan sebagai dasar berkembangnya matematika yang membantu manusia dalam
memahami dan menyelesaikan permasalahan, baik ekonomi, sosial, maupun alam. Oleh
karena itu, matematika tidak hanya bersifat teoritis yang tertuang dalam secarik kertas,
tetapi sejatinya telah tertanam dalam akal dan diolah oleh pikiran manusia sebagai anugerah
Tuhan dan dipraktekkan dengan indera manusia dalam aktivitas kehidupan nyata.

Secara historis, perkembangan matematika memiliki catatan sejarah panjang. Banyak


konsep matematika dikontribusi oleh budaya dalam kehidupan manusia. Budaya merupakan
sesuatu yang kompleks, mengacu pada unsur keyakinan, pengetahuan, kesenian, moral,
hukum, adat, kemampuan, dan kebiasaan lain yang dimiliki manusia sebagai bagian dari
masyarakat (Tylor, 2016). Matematika lahir, tumbuh, dan berkembang dari budaya, dimana
budaya tersebut menjadi bagian dari kehidupan manusia yang tidak terlepas dari satu
zaman ke zaman berikutnya. Sehingga muncullah pengertian bahwa matematika merupakan
produk budaya yang menyatu dalam kehidupan masyarakat yang disebut dengan istilah
etnomatematika (Muhtadi, Sukirwan, & Warsito, 2019). Etnomatematika adalah aktivitas
matematika yang dilakukan oleh sekelompok budaya masyarakat tertentu, seperti kelompok
buruh, tani, nelayan, anak-anak dari masyarakat kelas tertentu, kelas professional, dan
lain-lain (D’Ambrosio, 1985; Gerdes, 1994). Oleh karena itu matematika merupakan suatu
bentuk budaya yang terintegrasi dalam kehidupan masyarakat, kapanpun dan dimanapun
mereka berada (Muhtadi, Sukirwan, Warsito, & Prahmana, 2017; Hermanto, Wahyudin, &
Nurlaelah, 2019).

Pengertian “kapanpun dan dimanapun”, mengindikasi bahwa matematika tidak hanya


diterapkan pada masa modern, tetapi sesungguhnya telah tertanam sejak zaman nenek
moyang tanpa mereka sadari. Pada zaman prasejarah, mereka telah menerapkan beberapa
konsep matematika sederhana. Sebagai bukti, ditemukannya tulang lelombo di Pegunungan
Lelombo, Swaziland, sebagai benda matematika tertua yang dimungkinkan berasal dari
tahun 35.000 SM. Tulang ini berisi 29 goresan berbeda pada tulang fibula baboon, yang
menjelaskan dan membuktikan bahwa kaum wanita pada masa itu telah menerapkan
kebiasaan menghitung untuk mengingat siklus haid mereka, yaitu 28 sampai 30 goresan.
Penemuan ini membuktikan bahwa ketika belum ada teknologi, nenek moyang sudah
dapat menggunakan akal dan pikiran mereka untuk menyelesaikan suatu permasalahan
dengan menggunakan peralatan yang sederhana, dan hal tersebut merupakan esensi
dari matematika. Mungkin tidak disadari bahwa mereka telah dapat menerapkan konsep
matematika walaupun dalam tingkat yang sederhana.

Indonesia adalah negeri yang kaya akan ragam budayanya dan produk etnomatematika
telah banyak ditemukan di berbagai suku dan etnis, di seluruh penjuru tanah air (Fitriani,
Somatanaya, Muhtadi, & Sukirwan, 2019; Nisa, Nurjamil, Muhtadi, & Sukirwan, 2019). Tetapi
masih banyak etnomatematika yang belum terkupas dan masih perlu digali, salah satunya
adalah etnomatematika Candi Borobudur. Candi Borobudur adalah candi yang diperkirakan
dibangun sekitar abad ke-8 Masehi pada zaman wangsa Syailendra dan menjadi salah satu
warisan dunia milik Indonesia (Soekmono, 1976, p.9; United Nations Educational, Scientific
and Cultural Organization [UNESCO], 2014). Perkiraan pembangunan Candi Borobudur
ini berlangsung selama 75 - 100 tahun, dan selesai pada masa Raja Samaratungga, dimana
tulisan pada relief candi borobudur ini secara paleografis sangat mirip dengan tulisan pada
Prasasti Kayumwungan, bertanggalkan tahun 746 Saka atau 824 Masehi (Sundberg, 2008;
Munoz, 2007; Panyadewa, 2014, p.26).
Rahmi Nur Fitria Utami, Dedi Muhtadi, Nani Ratnaningsih, Sukirwan, Hasan Hamid • 15

Dilihat dari struktur bangunan Candi Borobudur yang megah, dengan bentuk dan pola
bangunan yang unik, memberikan makna tersendiri tentang bagaimana masyarakat pada
zaman dahulu menghasilkan sebuah karya besar berupa candi yang sangat megah dan sarat
dengan konsep matematika. Padahal diketahui bahwa pada masa itu belum ada teknologi
yang berkembang seperti saat ini. Konsep matematika tanpa disadari telah diaplikasikan
dan menjadi aktivitas dalam kehidupan masyarakat zaman dahulu.

Penelitian-penelitian mengenai Candi Borobudur yang telah dilakukan dewasa ini, lebih
menitikberatkan pada konsep matematika sebagai hasil merancang bangunan, mengukur,
membuat pola, serta bagaimana mengaitkan konsep-konsep matematika tersebut
dalam pembelajaran matematika (Danoebroto, 2017; Pardimin, 2018). Penelitian yang
menitikberatkan pada kajian tentang ajaran, filosofi, dan konsep matematika belum banyak
dikaji. Terutama dari segi matematis, yaitu struktur bangunan berupa relief, arca, dan
stupa. Ditinjau dari segi filosofis, ada pesan moral dan budaya, dan dari segi spiritual, ada
ajaran agama yang disampaikan oleh Candi Borobudur. Oleh karena itu, penulisan artikel ini
bertujuan untuk membahas tentang ajaran, filosofi, dan konsep matematika yang terdapat
dalam Candi Borobudur, serta hubungan dari ketiganya.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode eksploratif dengan pendekatan historis dan kultural.
Metode eksploratif bertujuan untuk menggali secara luas tentang sebab-sebab atau hal-hal
yang mempengaruhi terjadinya sesuatu, bersifat terbuka, mencari unsur-unsur, ciri-ciri
dan sifat-sifat dari objek penelitian (Arikunto, 2010, p.7). Pendekatan historis bertujuan
untuk merekonstruksi fenomena masa lampau secara sistematis dan objektif, dengan
mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi, dan mensintesiskan bukti-bukti untuk
menegakkan fakta guna memperoleh kesimpulan yang akurat (Sjamsuddin, 2012; Priyadi,
2012; Daliman, 2015). Dan pendekatan kultural dilakukan pada sebuah objek berupa unsur
atau gejala budaya dengan menggunakan perangkat metodologis yang tercakup dalam ilmu
pengetahuan budaya (Denzin & Lincoln (Eds.), 2009).

Fokus penelitian ini berkaitan dengan ajaran agama, pesan moral, budaya, dan pola matematis
yang terdapat dalam Candi Borobudur. Secara geografis, Candi Borobudur berlokasi di Jalan
Badrawati, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia.

Ajaran, pesan, dan pola matematis diperoleh dari penelitian-penelitian sebelumnya


berdasarkan catatan sejarah dari berbagai sumber, sehingga diperoleh data-data yang
kemudian dikumpulkan dan dievaluasi untuk melihat keteraturan pola, esensi dan substansi
yang terdapat pada Candi Borobudur. Selanjutnya, data-data tersebut dianalisis untuk
mengungkap ajaran agama, filosofi dan konsep matematika, serta hubungan dari ketiganya
dalam etnomatematika Candi Borobudur.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ajaran Agama yang Terdapat dalam Candi Borobudur. Temuan arkeologis menyatakan
bahwa pada tahun 700-900 Masehi, Jawa Tengah merupakan pusat kerajaan Hindu dan
Buddha. Hal ini sesuai dengan kesepakatan para ahli yang menyatakan bahwa pembangunan
Candi Borobudur terjadi sekitar tahun 700-900 Masehi. Oleh karena itu candi ini identik
dengan ajaran agama Hindu-Budha (Utomo, 2011).
16 • Etnomatematika: Eksplorasi Candi Borobudur

Candi adalah bangunan kuno terbuat dari batu sebagai tempat pemujaan, penyimpanan
abu jenazah raja-raja dan pendeta Hindu-Buddha pada zaman dahulu. Pada masa modern,
pengertian candi merujuk kepada tempat beribadah peninggalan peradaban Hindu-Buddha
dan biasa difungsikan sebagai tempat memuliakan Buddha (Dumarcay, 2007). Bangunan
Candi Borobudur terdiri dari enam platform persegi dan di atasnya terdapat tiga platform
melingkar yang dihiasi dengan 2.672 panel relief dan 504 patung Buddha (Soekmono, 1976,
pp.35-36). Candi Borobudur tidak hanya memiliki luas struktur bangunan secara fisik,
tetapi juga menyimpan ajaran Budha yang disampaikan melalui simbol-simbol pada arca,
relief, dan stupa.

Struktur bangunan Candi Borobudur terdiri dari tiga bagian, yaitu: kepala, badan, dan
kaki. Bagian-bagian Candi Borobudur ini memiliki makna berbeda dan berhubungan
secara tersirat berdasarkan konsep Buddhisme, yaitu fase perkembangan jiwa dan episode
kehidupan Sang Buddha (UNESCO, 2005; UNESCO, 2014; Nagaoka, 2016; Suamba, 2016).

Gambar 1. Tingkatan bangunan Candi Borobudur


(Puspitasari, Setyawan, & Rini., 2010, p.4)
Kaki candi disebut Kamadhatu, sebagai dasar bangunan candi dan berisi 160 panel. Bagian
ini menggambarkan alam pertama dari ketiga lapis tingkat kesadaran spiritual manusia
menurut konsep Buddhisme yang disebut Kamadhatu atau alam hawa nafsu, dimana
karakter binatang mendominasi kepribadian yang dimiliki manusia (Larisa, 2011, p.18).
Pada bagian ini terdapat relief yang memuat kisah Karmavibhangga, menggambarkan
perjalanan hidup manusia di dunia, dimana manusia masih dikuasai oleh hawa nafsu dan
persiapan mental yang harus diraih sebelum mencapai tujuan akhir, yaitu terbebas dari
ikatan duniawi (UNESCO, 2005).

Badan candi disebut Rupadhatu, berisi 1.300 panel yang menyiratkan “alam antara”, yaitu
tahap dimana manusia dapat mengalahkan keinginannya dan muncul kecenderungan
mulia, namun mereka masih terpengaruh oleh karakteristik manusia yang khas (Larisa,
2011, p.19). Di badan candi terdapat empat lorong. Pada lorong pertama dinding candi
berisi 740 panel, mengisahkan cerita: (1) Lalitavistara, penggambaran kisah hidup Sidharta
Gautama sebagai pendiri Agama Buddha, dari beliau lahir hingga mencapai tempat dimana
Sang Buddha melakukan semedi dan memperoleh pencerahan yang disebut Boddhi, (2)
Jataka, menggambarkan Sang Buddha sebelum terlahir sebagai Siddharta Gautama, dan (3)
Avadana, menggambarkan tentang orang-orang suci (UNESCO, 2005). Pada lorong kedua
dinding candi berisi 228 panel, mengisahkan Sudhana yang ingin mengetahui tentang boddhi.
Pada lorong ketiga dinding candi berisi 176 panel, menggambarkan kisah Gandavyuha, yaitu
tentang ketekunan dan usaha yang tak kenal lelah untuk mencapai tujuan akhir (UNESCO,
2005). Dan pada lorong keempat dinding candi berisi 156 panel, juga mengisahkan cerita
Gandavyuha.

Kepala candi disebut Arupadhatu (alam atas), merupakan alam para dewa atau tingkatan
tertinggi yang melambangkan kekosongan, kedamaian dan ketentraman, alam spiritual
tanpa hawa nafsu dan keinginan (Larisa, 2011, p.20). Tingkatan ini menggambarkan
seseorang dalam perjalanan hidupnya jika melakukan kebajikan selangkah demi selangkah
akan mencapai puncak, yaitu boddhi atau tingkat tertinggi.
Rahmi Nur Fitria Utami, Dedi Muhtadi, Nani Ratnaningsih, Sukirwan, Hasan Hamid • 17

Ajaran agama Buddha yang terdapat dalam Candi Borobudur tidak hanya ditemukan pada
tingkatan bangunannya saja, tetapi juga tersimpan dalam simbol-simbol yang terdapat pada
relief, arca, dan stupa. Relief pada Candi Borobudur mengisahkan ajaran yang disampaikan
oleh Sang Buddha bahwa Candi Borobudur sebagai tempat belajar tentang kehidupan
manusia. Seperti terlihat pada dinding Kamadhatu terdapat relief yang menggambarkan
bagaimana Buddha mengajarkan perihal hukum sebab akibat dari perbuatan baik dan jahat
(Suamba, 2016).

Gambar 2. (a) Relief Budha, (b) Relief Sudhana (Fointen, 2012)


Arca pada Candi Borobudur menyimpan ajaran tentang karakteristik Sang Buddha yang
menunjukkan keluhuran, kehormatan, dan keagungan (Panyadewa, 2014, p.84). Salah
satu karakter fisik, yaitu: (1) Kepala bagian ubun-ubun menonjol menandakan pencapaian
spiritual Buddha dan simbol pencerahan, (2) Urna adalah bulu halus yang tumbuh diantara
kedua alis, melambangkan kebijaksanaan spiritual yang dikaitkan dengan mata ketiga, yaitu
mata batin untuk melihat sifat alami dunia sebagaimana adanya, (3) Daun telinga panjang,
menggambarkan kemajuan spiritual Buddha (McArthur, 2002, p.93), (4) Mata Buddha
setengah terpejam, melambangkan konsentrasi, (5) Mulut tertutup dan senyum tipis,
menandakan kebenaran hidup, tenang, damai, dan membawa kesejukan hati, dan (6) Baju
kain, melambangkan Buddha telah meninggalkan hal-hal duniawi (Panyadewa, 2014).

Gambar 3. Arca Budha (UNESCO, 2005)


Pada arca Buddha terdapat mudra, yaitu sikap tubuh berupa sikap tangan yang bersifat
simbolis dalam ritual Buddhisme untuk melambangkan makna spiritual khusus (Panyadewa,
2014, p.93; Larisa, 2011, p.28). Dalam Ajaran Buddha terdapat istilah Dhyani Buddha,
yang melambangkan lima aspek kebenaran (Dharmakaya) dari sikap seorang Buddha
(Panyadewa, 2014, pp.102-103).

Tabel 1. Enam Mudra Arca Buddha (Hidayat, Sunarto, & Guntur, 2014)
Arca Dhyani Buddha Letak Makna
Aksobhya Timur Sikap tangan menghadap ke bawah, tangan
kiri terbuka dan menengadah di pangkuan,
tangan kanan menempel pada lutut kanan
dengan jari-jari menunjuk ke bawah.
Melambangkan Sang Buddha memanggil
Dewi Bumi sebagai saksi ketika dia
Bhumisparsa mudra menangkis serangan iblis Mara.
18 • Etnomatematika: Eksplorasi Candi Borobudur

Arca Dhyani Buddha Letak Makna


Ratnasambhawa Selatan Telapak tangan kanan menghadap ke atas
dengan jari-jarinya terletak di lutut kanan.
Melambangkan pemberian amal.

Wara Mudra
Amitabha Barat Menggambarkan sikap semedi, kedua
tangan diletakkan di pangkuan, tangan
kanan di atas tangan kiri dengan telapaknya
menengadah dan kedua jempolnya saling
bertemu.
Dhyana Mudra
Amoghasiddhi Utara Tangan kiri terbuka dan menengadah di
pangkuan, tangan kanan diangkat sedikit di
atas lutut kanan dengan telapak menghadap
muka. Menggambarkan sikap tangan
sedang menenangkan dan menyatakan
ketidakgentaran.
Abhaya Mudra
Wairocana Tengah Tangan kiri terbuka dan menengadah di
pangkuan, tangan kanan diangkat sedikit
di atas lutut kanan dengan telapak tangan
menghadap muka, jari telunjuk dan ibu jari
bersatu. Menggambarkan akal budi.
Vitarka Mudra
Wairocana Tengah Kedua tangan diangkat sampai ke depan
dada, tangan kiri di bawah tangan kanan
menghadap ke atas dengan jari manisnya,
serupa dengan gerakan memutar roda.
Melambangkan gerak memutar roda
dharma.
Dharmacakra Mudra
Stupa adalah bangunan yang terbuat dari batu berbentuk menyerupai genta, sebagai
bangunan suci agama Buddha dan tempat menyimpan relik atau benda-benda suci sang
Buddha yang telah ada sejak zaman pra-Buddhis di India (Panyadewa, 2014, p.174). Stupa
didirikan sebagai tempat menyimpan relik, simbol pemikiran Sang Buddha dan pencerahan
tertinggi. Tujuan menyimpan relik berhubungan dengan keyakinan bahwa adanya
hubungan yang tidak terpisahkan antara ruh orang yang sudah meninggal dengan bagian
tubuhnya (Panyadewa, 2014, p.175). Stupa pada Candi Borobudur memiliki makna sebagai
wujud pengakuan terhadap Buddhisme di wilayah Borobudur (Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan [Kemendikbud], 2001). Selain itu, keberadaan stupa ini menjadi petunjuk
seberapa luas ajaran Buddhisme tersebar di wilayah tersebut.

Gambar 4. Stupa (UNESCO, 2005)


Rahmi Nur Fitria Utami, Dedi Muhtadi, Nani Ratnaningsih, Sukirwan, Hasan Hamid • 19

Pesan Moral dan Budaya dalam Candi Borobudur. Secara filosofi, pemahaman ajaran
Budha sebagai petunjuk pesan moral terdapat pada pahatan tentang cerita-cerita yang
memuat kisah Karmavibhangga, Lalitavistara, Avadana, Jataka, dan Gandavyuha pada seluruh
relief Candi Borobudur (Magetsari, 1997, p.11; Panyadewa, 2014, p.111). Apabila ditelusuri
cerita pada relief secara keseluruhan searah jarum jam, akan diperoleh kesatuan cerita yang
berisi pesan mengenai kehidupan manusia. Secara tersirat cerita tersebut menggambarkan
tentang kehidupan manusia, jika berbuat baik akan mendapat imbalan yang baik di akhirat,
dan sebaliknya, perbuatan buruk akan mendapat imbalan yang buruk pula (Panyadewa,
2014, p.145). Begitu pula relief pada dinding Kamadhatu, menjelaskan hukum karma dari
perbuatan manusia yang dilakukan pada masa hidupnya (Suamba, 2016).

Ditinjau dari segi budaya, keberadaan Candi Borobudur menyiratkan makna bahwa
etnomatematika telah berkembang pada masa itu, dimana konsep matematika digunakan
untuk membangun Candi Borobudur dan menjadi budaya berupa aktivitas dalam kehidupan
manusia. Selain itu, terdapat pesan bahwa Candi Borobudur sebagai wujud budaya klasik
Jawa dalam bentuk struktur bangunan candi. Bahkan dunia telah menetapkan Candi
Borobudur sebagai warisan dunia (World Cultural Heritage) dalam kategori budaya tahun
1990.

Konsep Matematika Berupa Pola Matematis pada Candi Borobudur. Konsep matematika
pada Candi Borobudur ditunjukkan oleh bentuk struktur bangunan menyerupai konsep
bangun datar dan bangun ruang dalam matematika. Hakikat Candi Borobudur adalah
sebuah stupa. Jika dilihat dari atas berbentuk pola mandala besar, yaitu susunan pola yang
terdiri atas bujur sangkar dan lingkaran konsentris yang melambangkan alam semesta
(Wayman, 1981).

Gambar 5. (a) Diagram Mandala (Miksic, 2017),


(b) Aerial Photography Candi Borobudur (UNESCO, 2005)
Konsep desain Candi Borobudur dapat dikaitkan dengan Euclidean Geometry. Struktur
bangunan Candi Borobudur terdiri dari dua bentuk utama, yaitu lingkaran dan persegi.
Merujuk pada bentuk utama tersebut dapat diperoleh beberapa konsep dasar bangunan
Candi Borobudur berkaitan dengan geometri, yaitu bangun datar, bangun ruang, dan fraktal.
Selain itu, dilihat dari keterpaduan antar bagian bangunan, dapat diperoleh beberapa
konsep matematika lainnya, yaitu bilangan, perbandingan, penjumlahan, dan teselasi.

Konsep bangun datar dapat dilihat dari bentuk bangunan dasarnya, yaitu Candi Borobudur
terdiri dari 10 tingkat, dimana tingkat 1 hingga 6 berbentuk persegi dan sisanya berbentuk
lingkaran (Lihat gambar 1). Pada relief yang terdapat pada dinding candi, ada yang
menyajikan bentuk bangun datar, seperti lingkaran, persegi panjang, segitiga, persegi, dan
jajargenjang.
20 • Etnomatematika: Eksplorasi Candi Borobudur

Gambar 6. Relief yang memuat bangun datar lingkaran, persegi panjang,


segitiga, persegi, dan jajargenjang (Fointen, 2012)
Konsep bangun ruang ditemukan pada relief dan stupa Candi Borobudur. Bentuk stupa
Candi Borobudur menyerupai bangun ruang kerucut dalam matematika, ditandai oleh
bagian dasar lingkaran dan semakin ke atas semakin mengerucut hingga puncak. Selain itu,
terdapat bangun ruang balok dan kubus pada relief dinding Candi Borobudur.

Gambar 7. (a) Relief berbentuk balok (Fointen, 2012), (b) Relief berbentuk kubus, dan (c) Stupa
berbentuk kerucut (Suwardhi, Menna, Remondino, Hanke, & Akmalia, 2015).
Konsep geometri fraktal juga terdapat pada Candi Borobudur. Fraktal adalah bentuk
geometris dengan detail tak terbatas dan strukturnya sangat kompleks, memiliki beberapa
ukuran kesamaan diri, dimana setiap bagian di dalamnya merupakan skala kecil dari
keseluruhan bagian (Licker, 2003, p.90; Downing, 2009, p.134; Clapham & Nicholson, 2009,
p.327). Candi Borobudur terlihat berupa sebuah stupa yang sangat besar dan dikelilingi
oleh stupa-stupa kecil, inilah yang dinamakan geometri fraktal (Lihat gambar 9).

Untuk menghitung dimensi fraktal pada Candi Borobudur dapat menggunakan metode box-
counting (Barnsley, 1988; Falconer, 2003). Metode box-counting dilakukan dengan membagi
denah menjadi kotak-kotak dengan berbagai variasi ukuran. Sehingga diperoleh dimensi
Candi Borobudur, yaitu (D) = 2,3252. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, 2<D<3,
sehingga struktur bangunan Candi Borobudur bukan bangun ruang 3 dimensi maupun 2
dimensi, melainkan Candi Borobudur berada diantara dimensi 2 dan 3 (Situngkir, 2010).
Rahmi Nur Fitria Utami, Dedi Muhtadi, Nani Ratnaningsih, Sukirwan, Hasan Hamid • 21

Apabila dilihat dari atas maupun dari samping, Candi Borobudur berbentuk geometri
dimensi satu maupun dimensi dua yang berulang-ulang. Dilihat dari atas, bangunan ini
terdiri dari persegi yang didalamnya terdapat persegi yang lebih kecil (rekursif). Pada tiga
lantai teratas, terdiri dari lingkaran yang didalamnya juga terdapat lingkaran yang lebih
kecil. Sedangkan jika dilihat dari samping, bangunan ini tersusun dari balok dan tabung
yang menumpuk. Balok dan tabung dengan ukuran terbesar berada dibagian terbawah dan
diatasnya terdapat balok atau tabung lain yang lebih kecil.

Gambar 8. Konsep bangun ruang pada Candi Borobudur jika dilihat dari atas dan samping
(Situngkir, 2010)
Konsep matematika mengenai perbandingan dengan pola teratur juga terdapat pada Candi
Borobudur. Hal ini terlihat dari jumlah stupa pada tingkat Arupadhatu, yaitu pada lantai 7
berjumlah 16 stupa, lantai 8 berjumlah 24 stupa, dan lantai 9 berjumlah 32 stupa (Larisa,
2011, p.20). Sehingga diperoleh perbandingan 16:24:32. Apabila semua nilai ini dibagi 8,
maka nilai perbandingannya menjadi 2:3:4 yang tergolong perbandingan dengan pola yang
teratur.

Konsep perbandingan lainnya pada Candi Borobudur, ditemukan pada ukuran tinggi dan
diameter stupa, yaitu pada lantai 7 berukuran 1,7 meter, lantai 8 berukuran 1,8 meter,
dan lantai 9 berukuran 1,9 meter. Sehingga diperoleh perbandingan 1,7:1,8:1,9 yang juga
merupakan perbandingan yang teratur.

Selain itu, jika dilihat secara vertikal dan horizontal, bangunan Candi Borobudur memiliki
perbandingan tertentu berdasarkan rasio kepala, badan, dan kaki, yaitu kaki berjumlah 4,
badan berjumlah 6, dan kepala berjumlah 9. Sehingga diperoleh rasio 4:6:9. Rasio ini sesuai
dengan konsep Hindu-Buddha dalam membangun kuil yang dihubungkan dengan bagian
tubuh manusia (Situngkir, 2010; Panyadewa, 2014, p.193).

Gambar 9. (a) Borobudur secara horizontal, (b) Borobudur secara vertikal (Situngkir, 2010)
22 • Etnomatematika: Eksplorasi Candi Borobudur

Konsep matematika mengenai bilangan dan penjumlahan juga ditemukan pada Candi
Borobudur. Secara matematis, arsitektur dari Candi Borobudur memiliki keunikan, yaitu
jika angka-angka terkait Candi Borobudur dijumlahkan, maka akan menghasilkan angka 1,
yaitu: (1) Jumlah tingkatan Candi Borobudur adalah 10, apabila angka-angka pada bilangan
10 ini dijumlahkan, hasilnya adalah 1 + 0 = 1, (2) Jumlah stupa pada Candi Borobudur adalah
32 + 24 + 16 + 1 = 73, jika angka-angka pada bilangan 73 ini dijumlahkan maka hasilnya 7 +
3 = 10, kemudian jika angka-angka pada bilangan 10 ini dijumlahkan hasilnya adalah 1 + 0 =
1, dan (3) Jumlah patung dalam Candi Borobudur berjumlah 505 buah, apabila angka-angka
pada bilangan ini dijumlahkan maka hasilnya adalah 5 + 0 + 5 = 10, dan apabila angka-angka
pada bilangan 10 dijumlahkan hasilnya adalah 1 + 0 = 1.

Konsep bilangan lainnya pada Candi Borobudur adalah bilangan 432. Dikatakan bahwa
seorang Bodhisattva tingkat ke-7 menguasai 37 faktor pencerahan, 3 pintu kebebasan, 4 cara
penyelamatan, 4 kekuatan, dan 6 kesempurnaan. Semuanya berjumlah 54 aspek pencerahan.
Jika bilangan 54 dikalikan dengan 8 penjuru mata angin, maka akan didapatkan angka 432.
Hal ini sesuai dengan 432 jumlah arca Buddha yang mengelilingi Candi Borobudur di tingkat
persegi ke-2 sampai ke-6 sebagai simbol aspek yang harus dikuasai seorang bodhisattva
sebelum mencapai tingkat ke-7 (Kandahjaya, 2011, p.47; Panyadewa, 2014, p.198).

Apabila bilangan 432 dibagi dengan 4 penjuru, maka didapatkan angka 108 yang merupakan
jumlah arca Buddha untuk masing-masing arah timur, barat, utara, dan selatan pada tingkat
ke-2 hingga ke-6. Jumlah lubang masing-masing stupa teras melingkar di tingkat ke-8 dan
ke-9 adalah 44, dan di tingkat ke-7 adalah 64. Apabila keduanya dijumlahkan 44 + 64 =
108. Jumlah seluruh arca Buddha adalah 504, jika peziarah berjalan dengan pradaksina
mengelilingi Borobudur lalu turun kembali dengan berkeliling lagi, maka akan melewati
arca Buddha sebanyak 2 kali, yaitu 504 × 2 = 1008. Angka ini bermakna sama dengan 108
karena salah satu angka 0 tidak dihitung. Dalam agama Buddha, angka 108 melambangkan
kesempurnaan yang dalam bahasa sansekerta “jaya” yang bermakna kemenangan atau
keberhasilan (Panyadewa, 2014, p.199).

Dalam salah satu versi Vajradhatu Mandala terdapat 37 figur suci, yaitu 1 figur Mahavairocana
di tengah dan 36 figur lain yang mengelilinginya. Jika bilangan 36 dikalikan 2, bilangan 36
pertama melambangkan Vajradhatu Mandala sebagai fenomena absolut dan 36 selanjutnya
melambangkan Garbhadhatu Mandala sebagai cerminan dari fenomena relatif. Semua
berjumlah 72 yang dilambangkan dengan 72 stupa berlubang di teras melingkar dan
Mahavairocana dilambangkan dengan stupa induk. Dalam fisiologi Hindu-Buddha terdapat
101 arteri dan 72 vena dalam tubuh manusia. Arteri ke 101 adalah tulang belakang. Candi
Borobudur memiliki 100 saluran air berbentuk makara yang dapat dilihat sebagai arteri
Borobudur dan poros tengah bangunan sebagai arteri ke-101 (Panyadewa, 2014, p.200).

Angka 9 pada Candi Borobudur memiliki keunikan yang ditemukan dengan perhitungan
matematika pada komponen yang terdapat dalam Candi Borobudur. Dalam agama Buddha,
angka 9 memiliki beberapa arti, yaitu; (1) Dianggap sebagai angka dengan kekuatan
spiritual tertinggi, (2) Buddha memiliki 9 kualitas yaitu yang Mahasuci (Araham), yang
telah mencapai penerangan sempurna (Sammasambuddho), sempurna pengetahuan serta
tindak tanduk-Nya (Vijjacaranaasampanno), sempurna menempuh Sang Jalan (Sugata),
pengenal segenap alam (Lokavidu), pembimbing manusia yang tiada taranya (Anuttaro
purisadammasarathi), guru para dewa dan manusia (Sattha Devamanussaman), yang sadar
(Buddho), dan yang patut dimuliakan (Bhagava), (3) Latihan meditasi dalam agama Buddha
Mahayana melewati 9 tahap melatih pikiran, 9 penghentian setelah bermeditasi, dan (4)
Alam murni Buddha Amitabha bernama Sukhavati mempunyai 9 tingkat yang terbagi
berdasarkan perkembangan spiritual penghuninya (Panyadewa, 2014, p.203).
Rahmi Nur Fitria Utami, Dedi Muhtadi, Nani Ratnaningsih, Sukirwan, Hasan Hamid • 23

Tabel 2. Keunikan angka 9 pada Candi Borobudur (Panyadewa, 2014, p.203)

Deskripsi Bilangan Bilangan Hubungan dengan Angka 9


Jumlah semua arca Borobudur 504 5+0+4=9
Jumlah arca di atas pagar langkan 432 4+3+2=9
Jumlah arca di atas pagar langkan setiap arah 108 1+0+8=9
Jumlah anak tangga di semua arah 360 3+6+0=9
Jumlah arca di semua teras melingkar 72 7+2=9
Jumlah arca Buddha dibagi 8 63 6+3=9

Konsep matematika terakhir yang terdapat pada Candi Borobudur adalah teselasi. Teselasi
adalah penyusunan berlapis oleh suatu bentuk poligon dimana seluruhnya memiliki bentuk
dan ukuran yang sama (Licker, 2003, p.247). Sebagai contoh pada stupa Candi Borobudur
terdapat kubus dengan ukuran 15 cm × 15 cm sebanyak 36 buah yang diatur sedemikian
rupa hingga memenuhi sebuah stupa. Dengan itu dapat diketahui luas permukaan seluruh
kubus tersebut, yaitu 36 × luas permukaan balok persegi = 36 × (15×15) = 36 × 225 = 8.100
cm2.

Gambar 10. Konsep teselasi pada Stupa (UNESCO, 2005)


Hubungan antara Ajaran, Filosofi, dan Konsep Matematika pada Candi Borobudur.
Matematika adalah ilmu tentang pola, bentuk, dan struktur, yang diolah melalui proses
berpikir, diorganisasikan, dan dibuktikan secara logis dengan menggunakan istilah bahasa
yang cermat, jelas, dan akurat. Matematika bukan mengenai kepastian atau ketidakpastian,
melainkan matematika berbicara tentang kesepakatan. Dalam matematika kepastian
belum bisa diperoleh, kecuali berhubungan dengan angka 0 hingga 9. Sebuah kesepakatan
membicarakan bahwa sebuah pernyataan adalah benar, jika apa yang dibicarakan itu
memiliki nilai kebenaran. Inilah yang dimaksud dengan kesepakatan. Kesepakatan
merupakan hasil olah matematika, dimana kesepakatan itu sebagai hasil berpikir dan olah
logika yang diproses oleh akal dan pikiran. Hasil olah logika tersebut diperoleh melalui
persamaan-persamaan untuk menghasilkan sebuah rumus kesepakatan yang ditulis dengan
bahasa matematika. Sehingga dapat disimpulkan bahwa matematika tidak hanya berkaitan
dengan hitungan, tetapi matematika merupakan bahasa yang mempengaruhi logika untuk
menghasilkan sebuah kesepakatan.

Kesepakatan sebagai hasil berpikir matematik, ditemukan dalam ajaran dan filosofi yang
terdapat pada Candi Borobudur. Ajaran Buddha yang telah dibahas sebelumnya merupakan
hasil proses perjalanan hidup yang diterima Sang Budha dan merupakan kebenaran yang
diyakini oleh para penganutnya. Filosofi merupakan hasil olah logika yang berhubungan
dengan adat kebiasaan kehidupan manusia yang disampaikan melalui bahasa tersirat
dalam bentuk simbol dan pola yang terstruktur, sehingga matematika merupakan sebuah
bahasa yang mengkomunikasikan pesan moral dan budaya. Pesan moral dan budaya ini
24 • Etnomatematika: Eksplorasi Candi Borobudur

disepakati oleh masyarakat sebagai sebuah kebenaran dan merupakan pedoman hidup
dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari.

Penelitian pada Candi Borobudur menyatakan bahwa ternyata terdapat hubungan antara
ajaran, filosofi, dan konsep matematika yang membentuk bangunan Candi Borobodur
menjadi sebuah megastruktur yang fenomenal. Bangunan Candi Borobudur merupakan
realisasi konsep-konsep matematika yang terstruktur, unik, dan indah. Di setiap bagian dari
struktur candi tersebut tersimpan pesan moral dan filosofi yang menggambarkan ajaran,
budaya dan realita kehidupan pada masa pembangunannya. Konsep matematika, ajaran,
dan filosofi ini menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari Candi Borobudur.
Hubungan ini menginspirasi pemahaman tentang matematika sebagai orkestra dari
kehidupan, dimana seluruh konsep itu bersatu dalam etnomatematika.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian mengenai etnomatematika: eksplorasi candi borobudur, dapat


disampaikan beberapa kesimpulan sebagai berikut: (1) Candi borobudur sebagai produk
etnomatematika menyajikan berbagai konsep agama, moral, budaya, dan matematika, (2)
Secara keseluruhan, konsep-konsep tersebut memiliki hubungan dan keterkaitan diantara
satu sama lain, (3) Konsep-konsep yang disepakati dan diterapkan dalam realita kehidupan,
telah membawa matematika sebagai produk budaya yang tertanam sejak zaman dahulu
meskipun mereka tidak menyadarinya, dan (4) Candi borobudur merupakan contoh
monumen dari orkesta matematika dalam bentuk etnomatematika.

DAFTAR RUJUKAN

Arikunto, S. (2010). Prosedur penelitian: Suatu pendekatan praktik (Rev. ed.). Jakarta,
Indonesia: Rineka Cipta.
Barnsley, M.F. (1993). Fractals Everywhere (2nd Ed.). Cambridge, MA: Academic Press. doi:
10.1016/C2013-0-10335-2
Clapham, C. & Nicholson, J. (2009). The Concise Oxford Dictionary of Mathematics (4th
Edition). New York, NY: OUP Oxford.
Daliman, A. (2015). Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta, Indonesia: Ombak.
D’Ambrosio, U. (1985). Ethnomathematics and its Place in the History and Pedagogy of
Mathematics. For the learning of Mathematics, 5(1), 44-48. Retrieved from https://
www.jstor.org/stable/40247876.
Danoebroto, S. W. (2017). Student’s Perception on Borobudur Temple as Mathematic
Learning Resource. Southeast Asian Mathematics Education Journal, 7(1), 77-87.
Retrieved from https://www.qitepinmath.org/en/publications/journal/seamej-vol-
7-number-1-2017
Denzin, N. K. & Lincoln, Y. S. (Eds.) (2009). Handbook of Qualitative Research. (Dariyatno,
Trans.) Yogyakarta, Indonesia: Pustaka Pelajar.
Downing, D. (2009). Dictionary of Mathematics Term (3rd Ed.). New York, NY: Barron’s
Educational Series.
Dumarçay, J. (2007) Candi Sewu and Buddhist Architecture of Central Java. (W. Arifin &
H. Chambert-Loir ,Trans.). Jakarta Selatan, Indonesia: KPG (Kepustakaan Populer
Gramedia).
Falconer, K. (2014). Fractal Geometry: Mathematical Foundations and Applications (3rd Ed).
Hoboken, NJ: John Willey & Sons.
Rahmi Nur Fitria Utami, Dedi Muhtadi, Nani Ratnaningsih, Sukirwan, Hasan Hamid • 25

Fitriani, I. A., Somatanaya, A.A. G., Muhtadi, D., & Sukirwan (2019). Etnomatematika: Sistem
Operasi Bilangan Pada Aktivitas Masyarakat Jawa. Journal of Authentic Research on
Mathematics Education (JARME), 1(2), 1–11. Retrieved from http://jurnal.unsil.ac.id/
index.php/jarme.
Fontein, J. (2012). Entering the Dharmadhatu: A Study of the Gandavyuha Reliefs of Borobudur.
Leiden, The Netherlands: Brill.
Gerdes, P. (1994). Reflection on Ethnomathematics. For the Learning of Mathematics, 14(2),
19-22. Retrieved from https://www.jstor.org/stable/40248110.
Hermanto, R., Wahyudin., & Nurlaelah, E. (2019). Exploration of ethnomathematics on
the kampung naga indigenous peoples. Journal of Physics: Conference Series. doi:
10.1088/1742-6596/1315/1/012072.
Hidayat, I.K., Sunarto, P., & Guntur, T. (2014). Mengenal Relief, Mudra dan Stupa Candi
Borobudur untuk Anak-Anak Usia 9-12 Tahun melalui Edugame. Jurnal Visual, Seni,
dan Desain, 6(1), 58-68. doi: 10.5614%2Fitbj.vad.2014.6.1.6.
Kandahjaya, H. (2011). Kunci Induk untuk Membaca Simbolisme Borobudur. Jakarta Barat,
Indonesia: Karaniya.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. (2001). Saving Chandi Borobudur for 1000 Years
more – Final Report on The Restoration of Borobudur 1969–1982, Project Report.
Jakarta, Indonesia: Ministry of Education and Culture of Indonesia.
Larisa. (2011). The Magnificence of Borobudur. Jakarta, Indonesia: Gramedia Pustaka Utama.
Licker, M.D. (2003). McGraw-Hill Dictionary of Scientific and Technical Terms, (6th Ed.). New
York, NY: McGraw-Hill Education.
Magetsari, N. (1997). Candi Borobudur: Rekonstruksi Agama dan Filsafatnya. Jakarta,
Indonesia: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
McArthur, M. (2002). Reading Buddhist Art: An Illustrated Guide to Buddhist Signs and
Symbols. London, United Kingdom: Thames & Hudson.
Miksic, J.N. (2017). Borobudur: Golden Tales of the Buddhas. North Clarendon, VT: Tuttle
Publishing.
Muhtadi, D., Sukirwan, Warsito, & Prahmana, R.C.I. (2017). Sundanese Ethnomathematics:
Mathematical Activities in Estimating, Measuring, and Making Patterns. Journal on
Mathematics Education, 8(2), 185-198. doi: 10.22342/jme.8.2.4055.185-198.
Muhtadi, D., Sukirwan, & Warsito (2019). Ethnomathematics on Sundanese belief symbol.
International Journal of Innovation, Creativity, and Change, 10(2), 44-55. Retrieved
from https://www.ijicc.net/images/vol10iss2/10207_Muhtadi_2019_E_R.pdf
Munoz, P. M. (2007). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula.
Kuala Lumpur, Malaysia: Didier Millet.
Nagaoka, M. (2016). Cultural Landscape Management at Borobudur, Indonesia. In Springer
Brief in Archaeology. Switzerland, AG: Springer Nature. doi: 10.1007/978-3-319-
42046-2.
Nisa, F. F., Nurjamil, D., Muhtadi, D., dan Sukirwan (2019). Studi etnomatematika pada
aktivitas urang sunda dalam menentukan pernikahan, pertanian dan mencari benda
hilang. JP3M (Jurnal Penelitian Pendidikan dan Pengajaran Matematika), 5(2), 63–74.
Retrieved from http://jurnal.unsil.ac.id/index.php/jp3m
Panyadewa, S. (2014). Misteri Borobudur: Candi Borobudur Bukan Peninggalan Nabi
Sulaiman (E. Sulwesi, & Shalahuddin Gh, Eds.). Jakarta, Indonesia: Dolphin.
Pardimin. (2018). Etnomatematika dalam Budaya Masyarakat Yogyakarta. Prosiding
Seminar Nasional Pendidikan Matematika Etnomatesia. Retrieved from http://www.
jurnal.ustjogja.ac.id/index.php/etnomatnesia
Priyadi, S. (2012). Metodologi Penelitian Pendidikan Sejarah. Yogyakarta, Indonesia: Penerbit
Ombak.
26 • Etnomatematika: Eksplorasi Candi Borobudur

Puspitasari, D.E., Setyawan, H., & Rini, W.D.P. (2010). Kearsitekturan Candi Borobudur.
Kerjasama Antara Pusat Pengembangan Sumberdaya Manusia, Badan Pengembangan
Sumberdaya Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dengan Balai Konservasi
Peninggalan Borobudur, Magelang.
Situngkir, H. (2010). Borobudur was Built Algorithmically. SSRN. doi: 10.2139/ssrn.1672522
Sjamsuddin, H. (2012). Metodologi Sejarah. Yogyakarta, Indonesia: Ombak.
Soekmono. (1976). Chandi Borobudur: A Monument of Mindkind. Paris, France: The Unesco
Press.
Suamba, I.B.P. (2016). Cosmology and Cultural Ecology as Reflected in Borobudur Buddhist
Temple. Journal of International Buddhist Studies, 6(1), 18-34. doi: 10.14456/
jibs.2015.2
Sundberg, J.R. (2008). Considerations on the Dating of Barabudur Stupa. Journal of the
Humanities & Social Science of Southeast Asia and Oceania, 162(1), 95–132. doi:
10.1163/22134379-90003675
Suwardhi, D., Menna, F., Remondino, F., Hanke, K., & Akmalia, R. (2015). Digital 3d Borobodur:
Integration Of 3d Surveying And Modeling Techniques. ISPRS - International Archives
of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, XL-5/W7.
doi: 10.5194/isprsarchives-XL-5-W7-417-2015
Tylor, E. B. (2016). Primitive Culture Volume I (Dover Thrift Editions). New York, NY: Dover
Publications.
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. (2005) The Restoration of
Borobudur. Paris, France: Author.
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. (2014). Final Report of
Revitalization of Community Livelihoods Through Creative Industries and Heritage
Tourism. Jakarta, Indonesia: UNESCO Office, Jakarta.
Utomo, B.B. (2011). Buddha di Nusantara. Jakarta, Indonesia: Buddhist Education Centre.
Wayman, A. (1981). Reflections on the Theory of Borobudur as a Mandala. In (L.O. Gomez &
H.W. Woodward, Eds.), Borobudur: History and Significance of a Buddhist Monument.
Berkeley: Asian Humanities Press.

Anda mungkin juga menyukai