Anda di halaman 1dari 8

EKSPLORASI ETNOMATEMATIKA BUDAYA KALO SARA DALAM

PERNIKAHAN SUKU TOLAKI


Hasdi1, Mega Teguh Budiarto2

Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya


1
Hasdi20009@mhs.unesa.ac.id
2
Megatbudiarto@unesa.ac.id

Abstrak
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan konsep-konsep matematika apa saja yang
terdapat pada adat Kalo Sara suku tolaki dalam pernikahan serta bagaimana pemanfaatan konsep-
konsep matematikanya dalam pembelajaran matematika. Dalam penelitian ini, penulis
menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi. Etnografi digunakan untuk
menggambarkan, menjelaskan dan menganalisis unsur kebudayaan suatu masyarakat atau suku
bangsa. Hasil yang ditemukan yaitu bahwa konsep-konsep matematikayang terdapat pada adat
Kalo Sara dalam pernikahan suku Tolaki adalah mengukur (panjang, lebar diameter, dll) dan
membilang. Konsep-konsep matematika tersebut dapat dimanfaatkan untuk memperkenalkan
matematika melalui budaya lokal. Dengan demikian pembelajaran akan menjadi lebih menarik dan
bermakna karena hal ini sudah tidak asing lagi bagi siswa, sudah dikenal dan terdapat dalam
lingkungan budaya mereka sendiri.
Kata Kunci: Suku Tolaki, Kalo Sara, Etnomatematika, Etnomodeling
Pendahuluan pada konsep lingkaran. Hal ini menandakan
bahwa konsep-konsep matematika terutama
Pernikahan merupakan suatu hal yang konsep-konsep lingkaran, secara tidak
sakral dan mulia bagi kehidupan seseorang, langsung telah mengakar pada masyarakat
menjadikan hidupnya bahagia dan tentram suku Tolaki. Konsep matematika yang
dalam perwujudan cinta kasih antara dua diperoleh dari lingkungan sosial budaya dan
insan. Karena pernikahan bukan hanya tertanam secara turun temurun ini tentu
pemuasan kebutuhan fisik, tetapi juga menjadi salah satu modal awal dalam
“sumber” kebahagiaan keluarga “Sakinah mempelajari matematika sehingga
Mawadah Warrahmah”. matematika dapat dipelajari lebih mudah oleh
Ciri khas perkawinan Suku Tolaki masyarakat. Hanya saja pengetahuan awal
memiliki tahapan adat menurut tradisi tersebut harus diasimilasikan,
leluhurnya dengan menggunakan benda adat dikonstruksikan dan dikembangkan pada
Kalo Sara dalam setiap prosesi upacara adat proses belajar matematika sehingga nantinya
perkawinan. Perkawinan adat Tolaki akan menghasilkan pengetahuan matematika
memiliki istilah, medulu yang artinya yang utuh, tertanam dan lebih bermakna.
berkumpul, bersatu, dan mesanggina yang Kehadiran matematika yang
berarti bersama dalam satu piring, sedangkan bernuansa budaya (etnomatematika) akan
istilah yang paling umum dalam masyarakat memberikan konstribusi yang sangat besar
adat Tolaki adalah merapu atau perapu’a terhadap pembelajaran matematika, karena
yang berarti keberadaan suami, istri, anak, pendidikan formal merupakan institusi sosial
mertua, paman, bibi, ipar, sepupu, kakek, yang berbeda dengan yang lain sehingga
nenek, dan cucu adalah merupakan suatu memungkinkan terjadinya sosialisasi antar
pohon yang rimbun dan rindang, (Tarimana budaya. Dikatakan pula bahwa semua
1984). Bentuk Kalo Sara kadang pendidikan matematika formal adalah suatu
menunjukkan konsep matematika khususnya
proses interaksi budaya dan setiap siswa berkaitan dengan budaya yang berbeda dan
mengalami berbagai konflik budaya dalam yang mengacu pada pengalaman siswa
proses tersebut. Ide-ide matematika yang sendiri dalam kurikulum matematika
muncul secara alami, melalui pengetahuan instruksional. Aplikasi matematika dapat
dan pandangan suku atau kelompok dibuat dalam konteks budaya. Masalah sosial
masyarakat tertentu ataupun individu tertentu dapat diatasi melalui aplikasi matematika.
tanpa melalui suatu pendidikan formal.
Etnomatematika dipopulerkan
Rosa dan Orey (2011) melakukan D’Ambrosio dalam tulisannya
riset tentang ethomatematics. Tujuan dari “ethnomathematics” yang kemudian
riset mereka adalah bagaimana pembalajaran dikembangkan oleh Barton (1996) dalam
matematika di sekolah lebih tulisannya “Ethnomathematics: Exploring
mempertimbangan latar belakang Cultural Diversity in Mathematics” dan
sosiokultural peserta didiknya. Hasil Gerdes (1996) dengan tulisannya
penelitiannya menunjukkan bahwa ternyata “Ethnomathematics and Mathematics
pembelajaran menggunakan pendekatan Education”. Hasil-hasil penelitian
sosiokultural membantu peserta didik etnomatematika secara cepat berkembang
mengembangkanintelektual, pembelajaran dengan beragam pendekatan yang salah
sosial, emosional, dan politiksiswadengan satunya secara intens diteliti oleh Rosa &
menggunakanacuanbudaya mereka sendiri Orey (2013).
yang unik yang menghasilkan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang lebih baik. Matematika dan budaya merupakan
dua hal yang berhubungan erat dan bisa
Berdasarkan latar belakang masalah saling menjelaskan (Barta & Shockey, 2006).
di atas, penulis bertujuan untuk Hubungan tersebut bisa berupa upaya
mendeskripsikan konsep- konsep matematika pengungkapan gagasan matematis dari
apa saja yang terdapat pada adat Kalo Sara budaya masyarakat maupun pengaplikasian
suku tolaki dalam pernikahan serta matematika dalam menyelesaikan masalah-
bagaimana pemanfaatan konsep-konsep masalah sehari-hari, atau dalam perspektif
matematikanya dalam pembelajaran yang lebih luas seperti yang dikemukakan
matematika. oleh Skovsmose (2006), kita bisa mengamati
bagaimana matematika, pendidikan
Etnomatematika matematika dan risetnya telah memberi-kan
Etnomatematika adalah penerapan dampak sosial. Bahkan dengan tegas
ide dan praktik matematika untuk masalah Clements (Clements, et al., 2013)
yang dihadapi orang di masa lalu atau yang mengatakan bahwa matematika memiliki
dihadapi dalam budaya saat ini. Banyak dari fungsi sosial.
apa yang kita sebut matematika modern Keterlibatan matematika dalam
muncul ketika kelompok budaya yang aktivitas keseharian manusia tidak hanya
beragam berusaha menyelesaikan masalah terdapat di budaya masyarakat modern yang
unik seperti perdagangan, seni, agama, telah menerapkan matematika dalam
eksplorasi, kolonisasi dan komunikasi, matematika terapan atau dunia akademik
bersama dengan pembangunan rel kereta api, yang dengan sengaja dan formal mempelajari
data sensus, perjalanan ruang angkasa, dan matematika sebagai sebuah pelajaran formal,
pemecahan masalah lainnya. teknik yang tetapi matematika juga hadir dalam
muncul dari komunitas tertentu. Variabel kehidupan masyarakat tradisional atau
budaya sangat mempengaruhi bagaimana masyarakat adat.
siswa memahami dunia mereka dan
menafsirkan pengalaman mereka sendiri dan Etnomodeling
orang lain. Dalam upaya untuk membuat dan
mengintegrasikan materi matematika yang
Etnomodeling adalah proses siswa menjadi kontainer untuk diisi dengan
penjabaran masalah dan pertanyaan yang informasi (Freire, 1970).
berkembang dari situasi nyatayang
membentuk gambar atau rasa versi ideal dari Studi yang dilakukan oleh Urton
mathema. The fokus perspektif ini pada (1997) dan Orey (2000) telah menunjukkan
dasarnya membentuk analisis kritis terhadap kepada kita “ide dan praktik matematika
generasi dan pengetahuan (kreativitas), dan canggih yang mencakup prinsip geometris
membentuk proses intelektual untuk dalam karya kriya, konsep arsitektur, dan
produksinya, mekanisme sosial pelembagaan praktik dalam aktivitas dan artefak dari
pengetahuan (akademisi), dan transmisi banyak budaya asli, lokal, dan vernakular”
(pendidikan). Menurut D'Ambrosio (2000), ( Eglash dkk, 2006, hal 347). Konsep
"proses ini adalah pemodelan". Dalam matematika yang terkait dengan berbagai
perspektif ini, dengan menganalisis peran prosedur matematika dan artefak budaya
mereka dalam realitas secara keseluruhan, merupakan bagian dari hubungan numerik
konteks memungkinkan mereka yang terlibat yang ditemukan dalam tindakan universal dari
dalam proses pemodelan untuk mempelajari pengukuran, penghitungan, permainan,
sistem realitas di mana ada upaya yang sama ramalan, navigasi, astronomi, dan pemodelan
yang dilakukan oleh mereka untuk (Eglash et. Al, 2006).
menciptakan pemahaman tentang semua Metode
komponen sistem serta keterkaitan di
antaranya (D'Ambrosio, 1993; Bassanezi, Dalam penelitian ini, penulis
2002). menggunakan penelitian kualitatif dengan
pendekatan etnografi. Etnografi digunakan
Penggunaan pemodelan sebagai untuk menggambarkan, menjelaskan dan
tindakan pedagogis untuk nilai program menganalisis unsur kebudayaan suatu
matematika etno pengetahuan sebelumnya masyarakat atau suku bangsa. Dalam
tentang masyarakat dengan mengembangkan menetapkan informan, penulis
kapasitas siswa untuk menilai proses memperhatikan syarat-syarat yang harus
menguraikan model matematika dalam dipenuhi untuk menjadi informan sehingga
berbagai aplikasi dan konteksnya dengan diperoleh seorang informan yang mampu
dimulai dengan konteks sosial, realitas dan bekerja sama dengan baik. Pemenuhan
kepentingan siswa dan bukan kriteria atau syarat bagi informan dalam
olehmenginforasi sekumpulan nilai eksternal penelitian ini sangat penting karena tidak
dan kurikulum tanpa konteks atau arti untuk semua orang di lokasi dapat ditetapkan
Pelajar. Bassanezi (2002) mencirikan proses sebagai informan. Instrumen yang digunakan
ini sebagai "ethno-modeling", dan dalam penelitian adalah human instrument,
mendefinisikan etno matematika sebagai yaitu penulis berperan sebagai instrumen
"matematika yang dipraktekkan dan diuraikan utama yang tidak dapat diganti/diwakilkan
oleh budaya, dan melibatkan praktik kepada orang lain. Dalam hal ini, penulis
matematika yang ada dalam beragam situasi berperan sebagai pengumpul data melalui
dalam kehidupan sehari-hari anggota pengumpulan data pustaka, wawancara,
kelompok-kelompok yang beragam ini" observasi dan dokumentasi.
Dalam mempertimbangkan Hasil Dan Pembahasan
etnmodeling, pengajaran jauh lebih dari
sekadar pengalihan pengetahuan karena Adat perkawinan Suku Tolaki
pengajaran menjadi kegiatan yang merupakan bagian integral dari kebudayaan
memperkenalkan penciptaan pengetahuan masyarakat pendukungnya, dimana
(Freire, 1998). Pendekatan dalam pendidikan pelaksanaannya sangat penting, artinya bagi
matematika ini adalah antitesis dari mengubah pembinaan sosial budaya masyarakat yang
bersangkutan. Norma-norma dan nilai-nilai
yang berlaku dalam pelaksanaan adat perkawinan Suku Tolaki dapat melangkah
perkawinan Suku Tolaki secara simbolis pada tahapan mondutudu atau pelamaran
dapat ditampilkan melalui bentuk upacara penjajakan.
yang dilakukan oleh seluruh masyarakat
pendukungnya. Adapun simbol yang digunakan pada
tahap ini adalah:
a. Kalo Sara sebagai alat yang
digunakan juru bicara dari pihak
laki-laki (Tolea) untuk
menyampaikan maksud
kedatanganya.
b. Di dalam wadah Kalo Sara ada
daun sirih 1 lembar yang berarti di
pihak perempuan dan 1 biji pinang
muda yang berarti di pihak laki-
laki.

Gambar 1. Kalo Sara Tahap Melamar Sesungguhnya /


Tahap Metiro/Monggolupe Meminang (Mondongo Niwule)

Tahapan-tahapan ritual pelaksanaan Tahap selanjutnya dalam proses


adat perkawinan Suku Tolaki melalui tahap perkawinan Suku Tolaki adalah tahapan
metiro/monggolupe (mengintip, meninjau pelamaran sesungguhnya/meminang
calon istri). Metiro adalah tahap awal dari (mondongo niwule). Tahapan ini merupakan
rangkaian pelaksanaan ritual upacara adat tahap peminangan secara resmi yang juga
yang menuju pada perkawinan seorang laki- dilakukan dalam upacara kalo. Dalam
laki dan perempuan yang akan hidup dalam tahapan ini, mulai membicarakan mengenai
sebuah rumah tangga baru. waktu, tanggal dan tempat pelaksanaan
perkawinan serta maskawin atau popolo.
Adapun makna simbol yang di gunakan Menurut salah seorang informan bahwa ada
dalam tahap ini adalah: benda-benda yang harus dipersiapkan oleh
pihak laki-laki dalam tahapan adat ini.
a. Sirih-pinang yang bermakna dari pihak
laki-laki mempunyai maksud kepada Adapun benda-benda yang harus
pihak perempuan untuk melamarnya. dipersiapkan dan menjadi wajib diadakan
b. Uang logam yang bermakna bahwa yakni:
pihak laki-laki sudah merasa siap
1. Karandu (gong),
untuk membangun rumah tangga
dengan perempuan yang di maksud.
c. Perhiasan yang bermakna pihak laki-
laki sudah siap untuk menjalin
hubungan berrumah tangga dengan
perempuan tersebut.

Tahap Persiapan/Lamaran Pendahuluan


(Monduutudu)
Setelah kedua belah pihak memiliki Gambar 2. Karandu (Gong)
pengertian bersama atas simbol-simbol 2. Kiniku (kerbau),
tersebut maka tahapan selanjutnya dalam adat
1. Kesiapan benda-benda mas kawin
dari pihak laki-laki untuk segera
diserahkan kepada pihak
perempuan.
2. Permohonan pihak laki-laki kepada
pihak perempuan untuk menerima
mas kawin yang telah
Gambar 3. Kiniku (Kerbau) diperhadapkan dengan rasa
3. O eno (emas) kekeluargaan yang dalam.
3. Pernyataan pihak perempuan akan
kesungguhan pihak laki-laki dalam
usahanya menyambung tali
persaudaraan dan memperluas
hubungan kekeluargaan
4. Serangkaian ungkapan-ungkapan
Gambar 4. O Eno (Emas) yang menggambarkan suasana
4. Aso ndumbu o kasa (1 pis kain gembira sebagai rasa syukur atas
kaci). lancarnya proses pelaksanaan acara.
Etnomatematika Dan Aktivitas
Membilang
Membilang berkaitan dengan
pertanyaan “berapa banyak”. Beberapa jenis
alat yang masih digunakan oleh masyarakat
Tolaki khususnya di daerah Konawe Selatan,
untuk membilang meliputi jari tangan, batu
kerikil, potongan kayu atau bambu, tali rapia,
dan rotan. Proses membilang dapat di lihat,
seperti aso, ruo, tolu, omba, o limo, dan
seterusnya. Kata-kata membilang yang
Gambar 5. Aso Ndumbu o kasa digunakan dalam upacara adat, tingkatan
(Kain Kaci) adat, kebiasaan sehari-hari yang digunakan
tersebut dapat dinyatakan sebagai bilangan
Benda-benda tersebut merupakan
asli, genap, ganjil bahkan membilang jumlah
perlengkapan maskawin bagi seorang
“bentuk bulan” merupakan konsep bilangan
perempuan, (Wawancara, dengan Bapak
yang didasarkan pada pengalaman dan
Supriadin).
kebutuhan hidup masyarakat Tolaki.
Tahap Penyerahan Pokok
Pada upacara pepokolapasia terdapat
Adat/Penyelesaian Adat (Mowindahako)
ungkapan kata-kata membilang yang
Tahapan ini merupakan tahap akhir ditunjukkan dengan banyaknya lafalan do’a
dari penyelenggaraan upacara perkawinan tahlil sebanyak 1000 kali dan ditandai dengan
secara adat yang disusul dengan pengucapan batu kerikil. Aktivitas ini dapat juga dijumpai
“akad nikah” sesuai dengan agama pada saat penentuan besarnya mahar atau
(keyakinan) masing-masingIsi dialog antara mas kawin yang ditentukan berdasarkan
kedua juru bicara tersebut adalah seputar strata sosial seseorang. Strata sosial dapat
pada beberapa hal, yaitu; dilihat padaukuran diameter Kalo Sara yang
memiliki 3 jenin ukuran, yaitu jenis pertama,
kalo yang memiliki diameter lebar bahu
orang dewasa (lingkaran kalo atau rotan wawono, tawano, atau ihino berupa sarung
melewati bahu orang dewasa dengan leluasa) yang jumahnya bervariasi mulai dari 20, 40,
diperuntukkan bagi golongan bangsawan atau dan 80 lembar sarung.
anakia, jenis kedua adalah kalo yang
berukuran tepat lebar bahu orang dewasa Nilai mas kawin untuk pu’uno
yang diperuntukkan untuk golongan sebanyak 9 kasu dan juga berlaku samauntuk
menengah (rakyat biasa) atau tonomotuo, syarat wawono, tawano, atau ihino,
kalo seukuran diameter kepala orang dewasa sedangkan yang tidak memiliki jabatan syarat
yang diperuntukkan bagi golongan pokok sebanyak 4 kasu, 160, 80, dan 40
bawah/budak atau o ata. mata. Golongan tonomotuo (masyarakat
biasa) jumlah mahar bagi yang memiliki
Penentuan besarnya mas kawin juga jabatan sebanyak 4 kasu dan 2 kasu bagi
memiliki tiga tingkatan berdasarkan status yang tidak memiliki jabatan. Golongan yang
sosial seseorang, yaitu: (1) pu’uno (dasar terakhiryaitu o ata tidak ada permintaan
atau pokok) yang dinilai dengan satuan o untuk syarat pokok tetapi pada syarat
kasu (pohon atau batang), (2) wawono yang wawono, tewano, ihino 10, 8, 4 mata atau 1-2
dinilai dengan satuan o mata (harta yang mata. Syarat sara pe’ana terdiri atas 1 buah
dinyatakan dengan sebuah, sepotong, seutas, baskom (wadah tempat memandikan), 1 buah
selembar, dan seterusnya), (3) sara pe’ena lampu tembok, sebuah uang logam
yaitu seperangkat benda yang diperuntukkan yangdimaknai dengan sebuah sendok dari
bagi seseorang yang telah mengasuh logam, 1 buah tempat cuci tangan, 2 lembar
mempelai wanita semenjak bayi, yang dinilai sarung yang diserahkan kepada seseorang
dengan seperangkat alat mandi bayi, yang pernah menjadi pengasuh mempelai
selembar sarung, sebuah lampu tembok, dan wanita ketika masih kecil. Syarat pe’ena ini
sebuah uang logam yang setara dengan berlaku untuk semua tingkatan strata sosial.
sendok makan. Nilai mas kawin tersebut masih berlaku
hingga saat ini, walaupun nilai mas kawin
Aktivitas matematika dari kegiatan tersebut terkadang hanya sebatas dimaknai
tersebut di atas terlihat saat pengucapan do’a terutama untuk syarat pokok wawono,
tahlil sebanyak 1000 kali yang ditandai dimana jumlah sarung yang seharusnya
dengan banyaknya batu kerikil, hal ini berkisar dari 20, 40, dan 80 lembar kain
merupakan abstarksi dari perkawanan satu- sarung dimaknai dengan 16 lembar sarung.
satu ini akhirnya menjadi bilangan yang
digunakan untuk keperluan praktis. Demikian Penetapan nilai mas kawin
pula halnya penentuan jumlah mahar bagi berdasarkan strata seseornag merupakan
golongan anakia dan jumlah ini berlaku aktivitas etnomatematika yang dimiliki oleh
untuk syarat pokok adat (pu’uno), syarat masyarakat suku Tolaki dalam kehidupan
wawono, tawano, atau ihino sebanyak 800, sehari-hari yang menopang pemahaman
400, dan 300 mata yang ditunjukkan bagi mengenai perbandingan atau rasio yang
kalangan raja dan penguasa daerah. Satuan terlihat pada nilai mas kawin yang didasarkan
kasu yang berarti pohon atau batang tigkatan strata seseorang, hal ini
dikonotasikan sebagai standar dasar/pokok menunjukkan bahwa etnomatematika
dalam penentuan mas kawin berdasarkan merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari.
tingkatan strata yang dapat dikenali dari
ukuran diameter Kalo Sara yang digunakan. Kesimpulan
Adat pokok (pu’uno) terdiri atas: 1 pis kain Konsep-konsep matematika yang
kaci, 1 ekor kerbau, 1 buah gong, dan seuntai terdapat pada adat Kalo Sara dalam
kalung emas yang akan dipersembahkan pernikahan suku Tolaki adalah mengukur
kepada mempelai wanita. Sedangkan satuan (panjang, lebar diameter, dll) dan membilang.
mata bermakna harta yang dinyatakan Konsep-konsep matematika tersebut dapat
sebuah, setengah, seutas, selembar. Adat dimanfaatkan untuk memperkenalkan
matematika melalui budaya lokal. Dengan to classroom. American
demikian pembelajaran akan menjadi lebih Anthropologist, 108(2), 347-362.
menarik dan bermakna karena hal ini sudah
tidak asing lagi bagi siswa, sudah dikenal dan Freire, P. (1970). Pedagogia do Oprimido
terdapat dalam lingkungan budayamereka [Pedagogy of the oppressed]. Rio
sendiri. Konsep matematika yang abstrak de Janeiro, Brazil: Paz e Terra.
akan menjadi konkret apabila mereka sudah
Freire, P. (1998). Pedagogy of freedom:
mengetahui konsep matematika tersebut.
Ethics, democracy, and civic
Pemanfaatannya dalam hal ini kita dapat
courage. New York: Rowman and
belajar konsep membilang, geometri, dan
Litttlefield.
mengukur.
Gerdes, P. (1996). Ethnomathematics and
Daftar Pustaka
Mathematics Education. In A. J.
Barta, J., & Shockey, T. (2006). The Bishop, ed. International Handbook
Mathematical Ways of an of Mathematics Education.
Aboriginal People: The Northern Netherlands: Springer
Ute. Journal of Mathematics and Netherlands, 909–943.
Culture, 1(1), 79-89.
Orey, D. C. (2000). The
Barton, B. (1996). Ethnomathematics:
Exploring Cultural Diversity in ethnomathematics of the Sioux
Mathematics (Doctoral tipi and cone. In Selin, H. (Ed.).
Dissertation, Mathematics across culture: the
ResearchSpace@Auckland) history of non-western
Bassanezi, R. C. (2002). Ensino- mathematics (pp. 239- 252).
aprendizagem com modelagem
matemática [Teaching and Rosa, M., & Clark Orey, D. (2011).
learning with mathematical Ethnomathematics: the Cultural
modeling]. São Paulo, SP: Editora Aspects of Mathematics. Revista
Contexto. Latino americana de
Clements, M. (Ken). 2013. From the Few to Etnomatemática, 4(2).
the Many: Historical Perspective Rosa, M. & Orey, .C., (2013).
on Who Should Learn Mathematics. Ethnomodeling as a Research
In The International Handbook of Theoretical Framework on
Mathematics Education. New Ethnomathematics and
York: Springer Science+Business Mathematical Modeling. Journal of
Media New York,7–40. Urban Mathematics Education,
D’Ambrosio, U (1993). Etnomatemática: Um 6(2), 62–80
Programa [Ethomathematics: A
program]. A Educação Matemática Skovsmose, O. (2006). Reflections as a
em Revista, 1(1), 5-11 challenge. Zentralblatt für Didaktik
D’Ambrosio, U. (2000). Etnomatemática e der Mathematik 38, 323–332.
modelagem [Ethnomathematics and
Tarimana, Abdurrauf. 1984. Kebudayaan
modeling]. In. Domite, M. C. (Ed.).
Tolaki. Jakarta: Balai Pustaka.
Anais do Primeiro Congresso
Brasileiro de Etnomatemática – Urton, G. (1997). The social life of
CBEm-1. São Paulo: FE-USP, 142. numbers: a Quechua ontology of
Eglash, R., dkk. (2006). Culturally numbers and philosophy of
situated designed tools: arithmetic. Austin, TX:
ethnocomputing from field site University of Texas Press.

Anda mungkin juga menyukai