Anda di halaman 1dari 22

BAHAN AJAR

DUKUNGAN NUTRISI PADA PENYAKIT KRITIS


(Nutrition Support In Critically Ill)

By. Eva Yuniritha

Keywords: nutrition therapy, critically ill patients, intensive care unit.

I. PENDAHULUAN
Malnutrisi adalah masalah umum yang dijumpai pada kebanyakan pasien yang masuk
ke rumah sakit. Malnutrisi mencakup kelainan yang disebabkan oleh defisiensi asupan
nutrien, gangguan metabolisme nutrien, atau kelebihan nutrisi. Sebanyak 40% pasien dewasa
menderita malnutrisi yang cukup serius yang dijumpai pada saat mereka tiba di rumah sakit
dan dua pertiga dari semua pasien mengalami perburukan status nutrisi selama mereka
dirawat di rumah sakit, sampai penyakit pasien mengalami keadaan kritis.
Keadaan atau penyakit kritis dapat terjadi pada berbagai kasus akut seperti trauma,
luka bakar, operasi, atau infeksi berat. Proses terjadinya sangat cepat, berfluktuasi dan
menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Keadaan ini memerlukan penanganan yang cepat
dan tepat serta pengawasan yang ketat.. Kegagalan multi organ sering terjadi pada keadaan
ini dan tidak jarang membutuhkan dukungan sementara sebelum organ yang terganggu pulih
seperti penggunaan ventilator sebagai alat bantu napas pada kasus gagal napas atau alat
hemodialisis sebagai alat pengganti fungsi ginjal pada kasus gagal ginjal akut. Dukungan
lainnya yang tak kalah pentingnya adalah dukungan nutrisi. Untuk pasien kritis yang dirawat
di Intensive Care Unit (ICU) sering kali menerima nutrisi yang tidak adekuat akibat dokter
salah memperkirakan kebutuhan nutrisi dari pasien dan juga akibat keterlambatan memulai
pemberian nutrisi.1 Pasien-pasien yang masuk ke ICU umumnya bervariasi, yaitu pasien
elektif pasca operasi mayor, pasien emergensi akibat trauma mayor, sepsis atau gagal napas.
Kebanyakan dari pasien-pasien tersebut ditemukan malnutrisi sebelum dimasukkan ke ICU.2.
Keparahan penyakit dan terapinya dapat mengganggu asupan makanan normal
dalam jangka waktu yang lama. Selanjutnya, lamanya tinggal di ICU dan kondisi kelainan
sebelumnya, seperti alkoholisme dan kanker dapat memperburuk status nutrisi. Respon
hipermetabolik komplek terhadap trauma akan mengubah metabolisme tubuh, hormonal,
imunologis dan homeostasis nutrisi. Efek cedera atau penyakit berat terhadap metabolisme
energi, protein, karbohidrat dan lemak akan mempengaruhi kebutuhan nutrisi pada pasien
sakit kritis.3
Malnutrisi sering dikaitkan dengan peningkatan morbiditas, mortalitas akibat
perburukan pertahanan tubuh, ketergantungan dengan ventilator, tingginya angka infeksi dan

1
penyembuhan luka yang lama, sehingga menyebabkan lama rawat pasien memanjang dan
peningkatan biaya perawatan. Malnutrisi juga dikaitkan dengan meningkatnya jumlah pasien
yang dirawat kembali.1,3,4 Pentingnya nutrisi terutama pada perawatan pasien-pasien kritis
mengharuskan para klinisi mengetahui informasi yang benar tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi manajemen pemberian nutrisi dan pengaruh pemberian nutrisi yang adekuat
terhadap outcome penderita kritis yang dirawat di ICU.5

II. RE-FEEDING SYNDROME

Re-feeding Syndrome adalah kondisi dimana terjadinya pergeseran cairan dan


elektrolit (terlebih fosfat) yang berhubungan dengan penderita malnutrisi yang tengah
mendapat makanan enteral maupun parental. Re-feeding Syndrome ini menggangu
metabolisme, akibatnya justru dapat menyebabkan kematian bagi pasien yang kelaparan atau
sangat kurang gizi apabila salah penanganan.
Re-feeding Syndrome terjadi ketika pasien kurang gizi di beri makan dengan beban
karbohidrat yang tinggi, sehingga terjadi penurunan fosfat, magnesium dan kalium,
serta akan menyebabkan berbagai komplikasi. Pada saat lapar, sekresi insulin akan
berkurang seiring asupan karbohidrat yang rendah. Sehingga cadangan lemak dan protein
akan dipecah untuk menghasilkan energi. Pemacahan ini menyebabkan elektrolit intrasel
terkuras, terutama fosfat.
Beberapa efek yang disebabkan antara lain: penurunan selera makan (anorexia),
gangguan fungsi jantung (ardiac Insuffiency), frekuensi nadi meningkat (tachardia), komplikasi
neuorologis (kejang), gangguan penyerapan makanan (mal absorption) dan keradangan
(active inflammation). Re-feeding Syndrome banyak ditemukan pada anak gizi buruk, Lansia
dengan asupan gizi kurang (MBI < 14), penderita Kanker yang mendapat kemoterapi & post
operative, penderita obesitas dengan diet sangat rendah kalori dan mereka yang tak makan
selama lebih dari 7 hingga 10 hari. Re-feeding Syndrome bisa sangat fatal apabila tidak
ditangani dengan benar.
Re-feeding Syndrome sangat rawan di minggu-minggu pertama sejak dimulai
pemberian dukungan nutrisi. Sebelum melakukan pemberian makanan (refeeding) perlu
pemantauan selama 3 hingga 5 hari, kemudian memantau status gizi dan status dehidrasi.
Asupan kalori diawali 1200 – 1500 kcal/hari setiap 2 sampai 3 hari dan bila pemberian awal
jumlah makanan dapat ditoleransi, maka dapat ditambah 500 kcl setiap 3 sampai 5 hari,
tergantung dari kebutuhan pasien itu sendiri.

2
III. RESPON METABOLIK PADA PENDERITA SAKIT KRITIS

Trauma, luka bakar, operasi, infeksi berat merupakan stres bagi tubuh. Tubuh akan
memberikan respon metabolik yang menyebabkan hipermetabolisme, hiperkatabolisme.
Pada awal adanya stres terjadi fase ebb (fase syok, fase resusitasi) dan diikuti fase flow (fase
akut).
1. Fase ebb.
Terjadi ketidakstabilan hemodinamik, tekanan darah menurun, curah jantung menurun,
penggunaan O2 menurun, suhu tubuh rendah, serta terjadi peningkatan kadar glukagon,
katekolamin, asam lemak bebas.
Fase ini dapat terjadi hingga 12-24 jam dan terapi ditujukan untuk resuitasi cairan hingga
hemodinamik stabil.

2. Fase flow
Terjadi hipermetabolisme, katabolisme, dan peningkatan penggunaan O2. hal ini
terjadi akibat pelepasan sitokin dan sinyal saraf aferen dan jaringan yang rusak. Fase ini
merupakan fase respon metabolik yang mengubah penggunaan energi dan protein untuk
menyelamatkan fungsi organ penting dan memperbaiki kerusakan jaringan. Substrat endogen
secara aktif dilepas seperti glukosa dari glikogen, asam amino dari otot rangka, asam lemak
dari jaringan adiposa. Pada fase inillah dukungan nutrisi diberikan.

Tabel 1. Perubahan Metabolik pada Awal Keadaan Krisis


Fase Ebb Fase Flow
Glukosa darah Meningkat Normal atau sedikit meningkat
Asam lemak bebas Meningkat Normal atau sedikit meningkat
dalam sirkulasi
Insulin Menurun Normal atau sedikit meningkat
Katekolamin Meningkat Meningkat
Curah jantung Menurun Meningkat
Konsumsi oksigen Menurun Meningkat
Suhu tubuh Menurun Meningkat

IV. PENGKAJIAN STATUS NUTRISI PENDERITA PENYAKIT KRITIS

Pengkajian status nutrisi merupakan hal yang penting selain pengkajian kondisi medis
pasien. Tujuan dari pengkajian nutrisi adalah mengidentifikasi pasien yang mengalami atau

3
memiliki risiko terjadinya malnutrisi, menentukan derajat malnutrisi pasien, dan memantau
hasil dukungan nutrisi yang diberikan. Langkah awal pengkajian nutrisi adalah anamnesis,
pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Pada pasien kritis seringkali perlu dilakukan
allo-anamnesis pada keluarga atau kerabat dekat. Hal yang perlu digali adalah riwayat
penyakit saat ini dan sebelumnya, lama sakit, asupan nutrisi, dan adanya gejala
gastrointesitanl seperti mual, muntah, atau diare. Perlu dipertanyakan pula adanya riwayat
penurunan berat badan yang sering menjadi penyebab malnutrisi.
Malnutrisi adalah gangguan status nutrisi akibat kurangnya asupan nutrisi,
terganggunya metabolisme nutrien, atau nutrisi berlebih.
Faktor yang mengarahkan adanya malnutrisi adalah:
1. Penurunan 10% atau lebih berat badan selama 6 bulan,
2. Penurunan 5% atau lebih berat badan selama 1 bulan
3. Berat badan lebih atau kurang 20% dari berat badan ideal.

Pemeriksaan fisik yang penting adalah berat badan (BB), tinggi badan (TB), dan pemeriksaan
antropometrik lain. Berdasarkan BB dan TB dapat ditentukan indeks massa tubuh (IMT), yaitu:
IMT = Pada pasien kritis sukar untuk melakukan pemeriksaan BB, TB, atau pemeriksaaan
antopemetrik sehingga data BB dan TB sering didapatkan dari menaksir atau menanyakan
pada keluarga atau kerabat dekat. Kadar albumin, transferin, dan prealbumin yang diproduksi
oleh hati merupakan penanda cadangan protein viseral dan juga merupakan indikator status
gizi.
Status nutrisi adalah fenomena multidimensional yang memerlukan beberapa metode
dalam penilaian, termasuk indikator-indikator yang berhubungan dengan nutrisi, asupan
nutrisi dan pemakaian energi, seperti Body Mass Index (BMI), serum albumin, prealbumin,
hemoglobin, magnesium dan lapisan kulit (skin fold) permukaan daerah trisep (triceps skin
fold, TSF) dan pengukuran lingkar otot lengan atas (midarm muscle circumference, MAMC),
tidak berguna banyak pada pasien sakit kritis karena ukuran berat badan cenderung untuk
berubah.3,6

V. PENGKAJIAN MASALAH NUTRISI PENDERITA PENYAKIT KRITIS

Pada setiap pasien ditentukan dahulu permasalahan asupan nutrisi. Apakah pasien
tidak dapat makan, tidak boleh makan, atau makan tidak adekuat sehingga tidak mencukupi
kebutuhan.

4
Apakah terdapat indikasi

Pemeriksaan (satuan) Waktu paru (t½) Status Nutrisi


Normal Deplesi ringan Sedang Berat
Albumin (g/dL) 20 hari > 3,5 2,8 – 3,5 2,2 – 2,8 < 2,2
Transferin (mg/dL) 9 hari > 200 150 – 200 100 – 150 < 100
Pre albumin (mg/dL) 1-2 hari > 18 10 – 18 5 – 10 < 5 atau

terdapat kontraindikasi pemberian nutrisi oral, enteral, atau parenteral. Kesadaran menurun
pada pasien dengan dengan penyakit gratis merupakan indikasi pemberian terapi
nutrisI.
Metoda yang dipilih adalah pemberian nutrisi enteral bila fungsi absorpsi saluran
gastrointestinal baik. Namun bila saluran gastrointestinal tidak berfungsi, atau terdapat
peritonistis difus, obstruksi usus, muntah-muntah, ileus paralitik, dan iskemia gastrointestinal,
maka dipilih metode pemberian nutrisi parenteral. Perlu pula ditentukan perkiraan lamanya
pasien akan membutuhkan dukungan nutrisi. Apakah keadaan kritis ini merupakan keadaan
akut saja atau merupakan keadaan akut dari suatu penyakit kronik seperti keganasan. Apakah
keadaan akut tersebut dapat menyebabkan gangguan proses pencernaan yang permanen
Pada penderita sakit kritis ditemukan peningkatan pelepasan mediator-mediator
inflamasi atau sitokin (misalnya IL-1, IL-6, dan TNF) dan peningkatan produksi “counter
regulatory hormone” (misalnya katekolamin, kortisol, glukagon, hormon pertumbuhan),
sehingga menimbulkan efek pada status metabolik dan nutrisi pasien.
Jenis protein yang paling sering diukur adalah albumin serum. Level albumin
yang rendah merefleksikan status nutrisi penderita yang dihubungkan dengan proses
penyakit dan atau proses pemulihan. Pada pasien kritis terjadi penurunan síntesa
albumin, pergeseran distribusi dari ruangan intravaskular ke interstitial,dan pelepasan
hormon yang meningkatkan dekstruksi metabolisme albumin.9,10 Level serum pre-
albumin juga dapat menjadi petunjuk yang lebih cepat adanya suatu stres fisiologik
dan sebagai indikator status nutrisi.10 Level serum hemoglobin dan trace elements
seperti magnesium dan fosfor merupakan tiga indikator biokimia tambahan.
Hemoglobin digunakan sebagai indikator kapasitas angkut oksigen, sedangkan
magnesium atau fosfor sebagai indikator gangguan pada jantung, saraf dan
neuromuskular.11,12 Selain itu Delayed hypersensitivity dan Total Lymphocyte Count
(TLC) adalah dua pengukuran yang dapat digunakan untuk mengukur fungsi imun
sekaligus berfungsi sebagai screening.
Penilaian global subyektif (Subjective global assessment/SGA) juga merupakan alat
penilai status nutrisi, karena mempertimbangkan kebiasaan makan, kehilangan berat badan

5
yang baru ataupun kronis, gangguan gastrointestinal, penurunan kapasitas fungsional dan
diagnosis yang dihubungkan dengan asupan yang buruk. Penilaian jaringan lemak subkutan
dan penyimpanannya dalam otot skelet juga merupakan bagian dari SGA, dan bersama
dengan evaluasi edema dan ascites, membantu untuk menegakkan kemungkinan malnutrisi
sebelumnya. Level stres pada pasien sakit kritis juga harus dinilai karena bisa memperburuk
status nutrisi penderita secara keseluruhan.13

VI. PENENTUAN TERAPI NUTRISI PADA PASIEN PENYAKIT KRITIS

Tujuan pemberian nutrisi adalah menjamin kecukupan energi dan nitrogen, tapi
menghindari masalah-masalah yang disebabkan overfeeding atau refeeding syndrome
seperti uremia, dehidrasi hipertonik, steatosis hati, gagal napas hiperkarbia, hiperglisemia,
koma non-ketotik hiperosmolar dan hiperlipidemia.3,6,15
Pemberian protein yang adekuat adalah penting untuk membantu proses
penyembuhan luka, sintesis protein, sel kekebalan aktif, dan paracrine messenger. Disamping
itu, serum glukosa dijaga antara 100 – 200 mg/dL.3,15 Hiperglisemia tak terkontrol dapat
menyebabkan koma hiperosmolar non ketotik dan resiko terjadinya sepsis, yang mempunyai
angka mortalitas sebesar 40%.3 Hipofosfatemia merupakan satu dari kebanyakan komplikasi
metabolik yang serius akibat Refeeding Syndrome. Hipofosfatemia yang berat dihubungkan
dengan komplikasi yang mengancam nyawa, termasuk insufisiensi respirasi, abnormalitas
jantung, disfungsi SSP, disfungsi eritrosit, disfungsi leukosit dan kesulitan untuk
menghentikan penggunaan respirator.3,5
Keseimbangan nitrogen dapat digunakan untuk menegakkan keefektifan terapi nutrisi.
Nitrogen secara kontinyu terakumulasi dan hilang melalui pertukaran yang bersifat
homeostatik pada jaringan protein tubuh. Keseimbangan nitrogen dapat dihitung dengan
menggunakan formula yang mempertimbangkan nitrogen urin 24 jam, dalam bentuk nitrogen
urea urin (urine urea nitrogen/UUN), dan nitrogen dari protein dalam makanan:

Keseimbangan Nitrogen = ((dietary protein/6,25) - (UUN/0,8) + 4)

Karena umumnya protein mengandung 16% nitrogen, maka jumlah nitrogen dalam makanan
bisa dihitung dengan membagi jumlah protein terukur dengan 6,25. Faktor koreksi 4
ditambahkan untuk mengkompensasi kehilangan nitrogen pada feses, air liur dan kulit.
Keseimbangan nitrogen positif adalah kondisi dimana asupan nitrogen melebihi ekskresi
nitrogen, dan menggambarkan bahwa asupan nutrisi cukup untuk terjadinya anabolisme dan
dapat mempertahankan lean body mass. Sebaliknya keseimbangan nitrogen negatif ditandai
dengan ekskresi nitrogen yang melebihi asupan.3,13-15

6
Pemberian nutrisi pada pasien kritis, hendaknya diberikan dini 24-48 jam pertama
dan tidak saat pasien masih berada dalam fase ebb/syok/resusitasi. Kebutuhan kalori
diberikan bertahap untuk menjaga toleransi penerimaan usus pada pemberian nutrisi enteral
dan untuk menjaga agar keseimbangan nitrogen tidak terlalu negatif pada pemberian nutrisi
parenteral. Pada hari pertama dapat diberikan 1/3 kebutuhan kalori, hari kedua ½ - 2/3 kalori,
dan pada hari ketiga dapat diberikan dukungan nutrisi penuh.

1. KEBUTUHAN ENERGI PADA PENDERITA SAKIT KRITIS

Kebutuhan energi dapat diperkirakan dengan formula persamaan Harris-Bennedict


(tabel 1), atau kalorimetri indirek. Persamaan Harris-Bennedict pada pasien hipermetabolik
harus ditambahkan faktor stres.3,5 Penelitian menunjukkan bahwa rumus perkiraan kebutuhan
energi dengan menggunakan prosedur ini cenderung berlebih dalam perhitungan energi
expenditure pada pasien dengan sakit kritis hingga 15%.3,15 Sejumlah ahli menggunakan
perumusan yang sederhana (Rule of Thumb) dalam menghitung kebutuhan kalori, yaitu 25-
30 kkal/kgbb/hari. Level yang terbaik untuk memulai pemberian nutrisi pada pasien sakit
kritis adalah 25 kkal/kgbb dari berat badan ideal per hari.19 Harus diperhatikan bahwa
pemberian nutrisi yang kurang atau lebih dari kebutuhan, akan merugikan buat pasien. REE
dapat bervariasi antara meningkat sampai 40% dan menurun sampai 30%, tergantung dari
kondisi pasien (tabel 1).
Tabel 1. Rumus untuk memperkirakan kebutuhan energi.16

7
Selain itu penetapan Resting Energy Expenditue (REE) harus dilakukan sebelum
memberikan nutrisi. REE adalah pengukuran jumlah energi yang dikeluarkan untuk
mempertahankan kehidupan pada kondisi istirahat dan 12 - 18 jam setelah makan. REE
sering juga disebut BMR (Basal Metabolic Rate), BER (Basal Energy Requirement), atau BEE
(Basal Energy Expenditure). Perkiraan REE yang akurat dapat membantu mengurangi
komplikasi akibat kelebihan pemberian nutrisi (overfeeding) seperti infiltrasi lemak ke hati dan
pulmonary compromise.16 Banyak metode yang tersedia untuk memperkirakan REE, salah
satunya adalah kalorimetri yang dapat dipertimbangkan sebagai gold standard dan
direkomendasi sebagai metode pengukuran REE pada pasien-pasien sakit kritis.5,17,18

Contoh perhitungan kebutuhan kalori dengan rumus Harris Bennedict yang ditentukan
berdasarkan jenis kelamin, umur (U), berat badan (BB), dan tinggi badan (TB), yaitu

Laki-laki : BEE = 66,47 + (13,75 x BB) + (5,00 x TB) – (6,76 x U)

Perempuan : BEE = 655,2 + (9,56 x BB) + (1,7 x TB) – (4,77 x U).

Langkah selanjutnya adalah menentukan kebutuhan energi total (total energy expenditure,
TEE). Faktor-faktor seperti bedah, infeksi, trauma, atau stres lain menambah kebutuhan
energi. Untuk menghitungnya digunakan rumus Rumus Harris Benedict dan faktor-faktornya
pada literatur sangat bervariasi dan tidak praktis.

TEE = BEE x faktor stres x faktor aktivitas.

Karbohidrat, protein, dan lemak merupakan sumber kalori. Satu gram karbohidrat
menghasilkan 4 kkal, 1 gram protein 4 kkal, dan 1 gram lemak 9 kkal. Pada terapi nutrisi
kebutuhan kalori didapat dari karbohidrat dan lemak.

Karbohidrat diberikan 60 – 70% dari kebutuhan kalori total sedangkan lemak 30 – 40%
dari kebutuhan kalori total.

Pemberian karbohidrat meningkatkan produksi CO2. Hal ini dinilai dengan Respiratory
Quetient (RQ) yaitu rasio produksi karbohidrat (VCO2) dan penggunaan O2 (VO2). Nilai
ini bermanfaat dalam perencanaan pemberian nutrisi.

Nilai normal RQ (0,7–1,2) dipengaruhi asupan lemak, protein, dan karbohidrat.


Nilai RQ lemak 0,7, protein 0,8, dan karbohidrat 1,0.

8
Nilai RQ > 1,0 menggambarkan pemberian karbohidrat atau kalori yang berlebih sehingga
produksi CO2 meningkat dan menyebabkan kesulitan penyapihan (weaning) dari ventilator.
Berdasarkan hal tersebut, maka pada kelainan paru persentase pemberian karbohidrat
dikurangi sedangkan persentase lemak dinaikkan hingga 50%.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dan dapat menyebabkan tidak tercapainya estimasi
kebutuhan kalori adalah restriksi asupan cairan, intoleransi glukosa, gangguan fungsi
ginjal, pengosongan lambung melambat atau berkurangnya absorpsi makanan di
lambung, diare, atau puasa untuk persiapan tindakan.

2. KEBUTUHAN MAKRO DAN MIKRO NUTRIEN PADA PASIEN PENYAKIT KRITIS

a) Kebutuhan Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber energi yang penting. Setiap gram karbohidrat
menghasilkan kurang lebih 4 kalori. Asupan karbohidrat di dalam diet sebaiknya berkisar 50%
- 60% dari kebutuhan kalori. Dalam diet, karbohidrat tersedia dalam 2 bentuk: pertama
karbohidrat yang dapat dicerna, diabsorbsi dan digunakan oleh tubuh (monosakarida seperti
glukosa dan fruktosa; disakarida seperti sukrosa, laktosa dan maltosa; polisakarida seperti
tepung, dekstrin, glikogen) dan yang kedua karbohidrat yang tidak dapat dicerna seperti serat.
Glukosa digunakan oleh sebagian besar sel tubuh termasuk susunan saraf pusat, saraf tepi
dan sel-sel darah. Glukosa disimpan di hati dan otot skeletal sebagai glikogen. Cadangan hati
terbatas dan habis dalam 24 -36 jam melakukan puasa. Saat cadangan glikogen hati habis,
glukosa diproduksi lewat glukoneogenesis dari asam amino (terutama alanin), gliserol dan
laktat.
Oksidasi glukosa berhubungan dengan produksi CO2 yang lebih tinggi, yang
ditunjukkan oleh RQ (Respiratory Quotient) glukosa lebih besar dari pada asam lemak rantai
panjang. Sebagian besar glukosa didaur ulang setelah mengalami glikolisis anaerob menjadi
laktat kemudian digunakan untuk glukoneogenesis hati. Kelebihan glukosa pada pasien
keadaan hipermetabolik menyebabkan akumulasi glukosa dihati berupa glikogen dan lemak.
Meskipun turnover glukosa meningkat pada kondisi stres, metabolisme oksidatif tidak
meningkat dalam proporsi yang sama. Oleh karena itu kecepatan pemberian glukosa pada
pasien dewasa maksimal 5 mg/kgbb/menit.15

b) Kebutuhan Lemak
Komponen lemak dapat diberikan dalam bentuk nutrisi enteral ataupun parenteral
sebagai emulsi lemak. Pemberian lemak dapat mencapai 30% - 50% dari total kebutuhan.

9
Satu gram lemak menghasilkan 9 kalori. Lemak memiliki fungsi antara lain sebagai sumber
energi, membantu absorbsi vitamin yang larut dalam lemak, menyediakan asam lemak
esensial, membantu dan melindungi organ-organ internal, membantu regulasi suhu tubuh dan
melumasi jaringan-jaringan tubuh.15
Pemberian kalori dalam bentuk lemak akan memberikan keseimbangan energi dan
menurunkan insiden dan beratnya efek samping akibat pemberian glukosa dalam jumlah
besar. Penting juga bagi kita untuk memperkirakan komposisi pemberian lemak yang
berhubungan dengan proporsi dari asam lemak jenuh (SFA), asam lemak tidak jenuh tunggal
(MUFA), asam lemak tidak jenuh ganda (PUFA) dan rasio antara asam lemak esensial omega
6 dan omega 3 dan komponen antioksidan. Selama hari-hari pertama pemberian emulsi
lemak khususnya pada pasien yang mengalami stres, dianjurkan pemberian infus
selambat mungkin, yaitu untuk pemberian emulsi Long Chain Triglyseride (LCT) kurang dari
0,1 gram/kgbb/jam dan emulsi campuran Medium Chain Triglyseride (MCT)/Long Chain
Triglyseride (LCT) kecepatan pemberiannya kurang dari 0,15 gram/kgbb/jam. Kadar
trigliserida plasma sebaiknya dimonitor dan kecepatan infus selalu disesuaikan dengan hasil
pengukuran.15

c) Kebutuhan Protein (Asam-Asam Amino)


Recommended Dietary Allowance (RDA) untuk protein adalah 0,8 g/kgbb/hari atau
kurang lebih 10% dari total kebutuhan kalori. Para ahli merekomendasikan pemberian 150
kkal untuk setiap gram nitrogen (6,25 gram protein setara dengan 1 gram nitrogen).
Kebutuhan ini didasarkan pada kebutuhan minimal yang dibutuhkan untuk mempertahankan
keseimbangan nitrogen. Dalam sehari kebutuhan nitrogen untuk kebanyakan populasi pasien
di ICU direkomendasikan sebesar 0,15 - 0,2 gram/ kgbb/hari. Ini sebanding dengan 1 - 1,25
gram protein/ kgbb/hari. Beratnya gradasi hiperkatabolik yang dialami pasien seperti luka
bakar luas, dapat diberikan nitrogen sampai dengan 0,3 gram/kgbb/hari.6 Kepustakaan lain
menyebutkan rata-rata kebutuhan protein pada dewasa muda sebesar 0,75 gram
protein/kgbb/hari. Namun selama sakit kritis kebutuhan protein meningkat menjadi 1,2 -
1,5 gram/kgbb/hari1, atau berkisar 1,2 – 2,0 g/kgBB/hari2.
Pada beberapa penyakit tertentu, asupan protein harus dikontrol, misalnya kegagalan
hati akut dan pasien uremia, asupan protein dibatasi sebesar 0,5 gram/kgbb/hari.15 Kebutuhan
protein pada pasien sakit kritis bisa mencapai 1,5 - 2 gram protein/kgbb/hari, seperti pada
keadaan kehilangan protein dari fistula pencernaan, luka bakar, dan inflamasi yang tidak
terkontrol.3 Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Elwyn21 yang hanya menggunakan dekstrosa
5% nutrisi, menunjukkan bahwa perbedaan kecepatan kehilangan nitrogen berhubungan
dengan tingkat keparahan penyakit. Disamping itu, keseimbangan nitrogen negatif lebih tinggi
8 kali pada pasien dengan luka bakar, dan 3 kali lipat pada sepsis berat apabila dibandingkan

10
dengan individu normal. Data ini dengan jelas mengindikasikan pertimbangan kondisi
penyakit ketika mencoba untuk mengembalikan keseimbangan nitrogen.

 Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik (chronic kidney disease, CKD) yang tidak
dilakukan dialisis kebutuhan protein 0,6 – 0,8 g/kgBB/hari, sedangkan dialysis 1,2 – 1,3
g/kgBB/hari, atau hemofiltrasi kontinu, 1,0 g/kgBB/hari.
 Pada pasien Gagal Ginjal Akut atau Acute Renal Failure (ARF) dengan malnutrisi berat
atau keadaan hiperkatabolik kebutuhan protein meningkat menjadi 1,5 – 1,8 g/kgBB/hari.
Pemberian asam amino esensial dan non-esensial harus seimbang.
 Pada pasien Sirosis Hati Terkompensasi diberikan protein 1,0 – 1,2 g/kgBB/hari,
sedangkan bila disertai malnutrisi dengan asupan tidak adekuat diberikan 1,5 g/kgBB/hari.
Pada keadaan kronis tersebut tidak dilakukan pembatasan pemberian protein.
 Pada keadaan akut, yaitu ensefalopati hepatik pemberian protein dibatasi.
 Ensefalopati hepatik derajat I-II diberikan 0,5 g/kgBB/hari, selanjutnya dinaikkan
menjadi 1,0-1,5 g/kgBB/hari. Jika terdapat intoleransi, pada pasien dapat diberikan
protein nabati atau suplemen asam amino rantai cabang (branch-chain amino acid,
BCAA) yaitu isoleusin, leusin, valin.
 Ensefalopati hepatik derajat III-IV diberikan protein 0,5 – 1,2 g/kgBB/hari berupa asam
amino yang terutama BCAA. Pada keadaan ensefalopati hepatik terjadi
ketidakseimbangan BCAA dan asam amino aromatik dalam plasma maupun sistem
saraf pusat yang bermanifestasi gangguan kesadaran.
 Pada pasien kritis ada penelitian yang memberikan tambahan asam amino tertentu seperti
glutamin, arginin, dll untuk meningkatkan imun. Pemberian imunonutrisi ini dapat
dipertimbangkan. Pemberian asam amino seimbang untuk mencegah katabolisme pasien
kritis juga telah dilaporkan.

d) Kebutuhan Mikronutrien (Vitamin dan Mineral)

Pasien sakit kritis membutuhkan vitamin-vitamin A, E, K, B1 (tiamin), B3 (niasin), B6


(piridoksin), vitamin C, asam pantotenat dan asam folat yang lebih banyak dibandingkan
kebutuhan normal sehari-harinya. Khusus tiamin, asam folat dan vitamin K mudah terjadi
defisiensi pada TPN. Dialisis ginjal bisa menyebabkan kehilangan vitamin-vitamin yang larut
dalam air. Selain defisiensi besi yang sering terjadi pada pasien sakit kritis dapat juga terjadi
defisiensi selenium, zinc, mangan dan copper.6
Vitamin dan mineral merupakan nutrien esensial yang berperan sebagai koenzim dan
kofaktor dalam proses metabolisme. Defisiensi vitamin yang larut dalam air cepat terjadi. Pada

11
pemberian nutrisi parenteral total selama beberapa minggu hingga 3 bulan sering terjadi
defisiensi asam folat berupa pansitopenia, defisiensi tiamin berupa ensefalopati, dan
defisiensi vitamin K berupa hipoprotrombinemia. Kebutuhan vitamin yang diberi secara
intravena lebih besar dibanding dengan pemberian enteral.
Krominum (Cr) diperlukan untuk metabolisme glukosa normal. Tembaga (Cu) sangat
penting untuk pematangan eritrosit dan metabolisme lemak. Iodin (I) dibutuhkan untuk sitensis
tiroksin. Besi (Fe) penting untuk sintesis hemoglobin. Mangan (Mg) digunakan pada
metabolisme kalsium/fosfor, proses reproduksi dan pertumbuhan. Molibdenum merupakan
komponen pada oksidasi, sedangkan selenium pada glutation perosidase. Zink merupakan
bahan yang penting dalam pembuatan enzim. Defisiensi Zn dapat terjadi dalam beberapa
minggu dengan manifestasi dermatitiks dan luka yang lama sembuh.
Contoh:
Pada pasien kritis laki-laki 30 tahun dengan berat badan 50 kg diberikan dukungan nutrisi
dasar, yaitu: Kalori/total = 30 kkal/kg x 50 kg = 1500 kkal Glukosa = 60 % x 1500 kkal = 900
kkal Lemak = 40 % x 1500 kkal = 600 kkal Protein = 1,2 g/kg BB x 50 kg = 60 gram.

Tabel 5. Kebutuhan Vitamin Harian

Vitamin Pemberian Enteral Pemberian Parenteral


Tiamin 1,2 mg 3 mg
Riboflavin 1,3 mg 3,6 mg
Niasin 16 mg 40 mg
Asam folat 400 μg 400 μg
Asam pantotenat 5 mg 15 mg
Vitamin B-6 1,7 mg 4 mg
Vitamin B-12 2,4 μg 5 μg
Biotin 30 μg 60 μg
Kolin 550 mg Belum diketahui benar
Asam askorbat 90 mg 100 mg
Vitamin A 900 μg 1000 μg
Vitamin B 15 μg 5 μg
Vitamin E 15 mg 10 mg
Vitamin K 120 μg 1 mg

e) Kebutuhan Cairan dan Elektrolit


Pasien kritis membutuhkan cairan yang berbeda-beda baik jumlah maupun kandungannya.
Secara umum kebutuhan cairan adalah 30-40 ml/kgBB/hari atau 1-1,5 ml/kkal dari kalori yang

12
diberikan. Kebutuhan elektrolit bervariasi tergantung keadaan klinis. Natrium, dalam tubuh
manusia, merupakan kation utama pada cairan ekstraselular dan berperan dalam osmolalitas
cairan. Kalium dibutuhkan dalam sintesis protein, yaitu sebanyak 6 mmol/g nitrogen
dibutuhkan untuk metabolisme asam amino secara optimal. Kebutuhan kalium meningkat
pada hari-hari pertama pemberian nutrisi parenteral total. Hal ini terjadi diduga karena
penyimpangan awal dalam hati dan perpindahan ke dalam sel. Kebutuhan kalium meningkat
saat terjadi masukan glukosa, sehingga perlu dilakukan pemantauan kalium pada
peningkatan jumlah glukosa yang masuk agar tidak terjadi hipokalemia.

Tabel 4. Kebutuhan Elektrolit Harian

Elektrolit Pemberian Enteral Pemberian Parenteral


Natrium (Na) 500 mg (22 mEq/kg) 1 – 2 mEq/kg
Kalium (K) 2 g (51 mEq/kg) 1 – 2 mEq/kg
Klorida (Cl) 750 mg (21 mEq/kg) Diberikan sesuai kebutuhan untuk
mempertahankan asam basa bersama
dengan asetat.
Kalsium (Ca) 1200 mg (30 mEq/kg) 5 – 7,5 mEq/kg
Magnesium (Mg) 420 mg (17 mEq/kg) 4 – 10 mEq/kg
Fospor (P) 700 mg (23 mEq/kg) 20 – 40 mEq/kg

Suplemen kalsium diperlukan pada nutrisi parenteral jangka panjang karena kalsium
endogen sering hilang akibat imobilisasi. Kalsium dibutuhkan pula pada kondisi lain seperti
pankreatitis. Fosfat dibutuhkan untuk metabolisme tulang, sintesis jaringan, dan fosforilasi
ikatan ATP. Hipofosfatemia terjadi pada awal pemberian nutrisi parenteral yang tidak
mengandung nutrisi fosfat. Hal yang berbahaya adalah penurunan kadar eritrosit sehingga
terjadi penurunan suplai oksigen ke jaringan, kelemahan otot, dan dapat mengganggu
respirasi. Magnesium penting pada proses anabolisme dan pada sistem enzim, khususnya
yang melibatkan aktivitas metabolik otak dan hati. Kebutuhan magnesium meningkat pada
keadaan diare, poliuria, pankreatitis, dan keadaan hipermetabolik.
Kebutuhan Vitamin dan Mineral Vitamin dan mineral merupakan nutrien esensial yang
berperan sebagai koenzim dan kofaktor dalam proses metabolisme. Defisiensi vitamin yang
larut dalam air cepat terjadi. Pada pemberian nutrisi parenteral total selama beberapa minggu
hingga 3 bulan sering terjadi defisiensi asam folat berupa pansitopenia, defisiensi tiamin
berupa ensefalopati, dan defisiensi vitamin K berupa hipoprotrombinemia. Kebutuhan vitamin
yang diberi secara intravena lebih besar dibanding dengan pemberian enteral. Krominum (Cr)
diperlukan untuk metabolisme glukosa normal. Tembaga (Cu) sangat penting untuk

13
pematangan eritrosit dan metabolisme lemak. Iodin (I) dibutuhkan untuk sitensis tiroksin. Besi
(Fe) penting untuk sintesis hemoglobin. Mangan (Mg) digunakan pada metabolisme
kalsium/fosfor, proses reproduksi dan pertumbuhan. Molibdenum merupakan komponen pada
oksidasi, sedangkan selenium pada glutation perosidase. Zink merupakan bahan yang
penting dalam pembuatan enzim. Defisiensi Zn dapat terjadi dalam beberapa minggu dengan
manifestasi dermatitiks dan luka yang lama sembuh. Contoh: Pada pasien kritis laki-laki 30
tahun dengan berat badan 50 kg diberikan dukungan nutrisi dasar, yaitu: Kalori/total = 30
kkal/kg x 50 kg = 1500 kkal Glukosa = 60 % x 1500 kkal = 900 kkal Lemak = 40 % x 1500 kkal
= 600 kkal Protein = 1,2 g/kg BB x 50 kg = 60 gram Tabel 5. Kebutuhan Vitamin Harian Vitamin
Pemberian Enteral Pemberian Parenteral Tiamin 1,2 mg 3 mg Riboflavin 1,3 3,6 mg Niasin
16 40 mg Asam folat 400 μg 400 μg Asam pantotenat 5 mg 15 mg Vitamin B-6 1,7 mg 4 mg
Vitamin B-12 2,4 μg 5 μg Biotin 30 μg 60 μg Kolin 550 mg Belum diketahui benar Asam
askorbat 90 mg 100 mg Vitamin A 900 μg 1000 μg Vitamin B 15 μg 5 μg Vitamin E 15 mg 10
mg Vitamin K 120 μg 1 mg Pada perhitungan di atas protein tidak diperhitungkan sebagai
sumber kalori. Ada pula pendapat yang masih kontroversi untuk memasukkan protein dalam
perhitungan jumlah total kalori.

f) Nutrisi Tambahan
Nutrisi tambahan adalah beberapa komponen sebagai tambahan pada larutan nutrisi
untuk memodulasi respon metabolik dan sistim imun, walaupun signifikansinya belum bisa
disimpulkan. Komponen tersebut termasuk growth hormone, glutamine,branched chain amino
acids (asam amino rantai panjang), novel lipids, omega-3 fatty acids, arginine,
nucleotides.2,6,13Namun perlu di waspadai khususnya L-arginine yang sering disebut sebagai
immune-enhancing diets, dapat memperburuk sepsis, karena L-arginine akan meningkatkan
NO yang dapat meningkatkan reaksi inflamasi, vasodilatasi, gangguan motilitas usus dan
gangguan integritas mukosa, serta gangguan respirasi.6,13,15 Heyland DK dkk.4 menyimpulkan
bahwan imunonutrisi dapat menurunkan komplikasi infeksi, tapi tidak berhubungan dengan
mortalitas secara umum.

VII. RUTE PEMBERIAN NUTRISI : ENTERAL ATAU PARENTERAL?

Di Inggris sejak 15 tahun terakhir, penggunaan nutrisi parenteral sudah mulai


dikurangi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa terjadi perubahan sistim imun dan
gangguan pada usus lewat jalur GALT (Gut Associated Lymfatic System), yang merupakan
stimulasi proinflamasi selama kelaparan usus. Abnormalitas sekunder lainnya adalah
perubahan permeabilitas atau bahkan translokasi kuman. Kegagalan pertahanan imun

14
dihubungkan dengan kurangnya nutrisi enteral atau luminal.2,13,15 Idealnya rute pemberian
nutrisi adalah yang mampu menyalurkan nutrisi dengan morbiditas minimal.
Masing-masing rute mempunyai keuntungan dan kerugian tersendiri (tabel 2 dan 3),
dan pemilihan harus tergantung pada penegakkan klinis dari pasien.3Meskipun rute
pemberian nutrisi secara enteral selalu lebih dipilih dibandingkan parenteral, namun nutrisi
enteral tidak selalu tersedia, dan untuk kasus tertentu kurang dapat diandalkan atau kurang
aman. Nutrisi parenteral mungkin lebih efektif pada kasus-kasus tertentu, asal diberikan
dengan cara yang benar. Dalam perawatan terhadap penderita sakit kritis, nutrisi enteral
selalu menjadi pilihan pertama dan nutrisi parenteral menjadi alternatif berikutnya.2,13

1. Nutrisi Enteral
Pada pemberian nutrisi enteral, pipa nasal lebih dianjurkan daripada oral, kecuali pada
keadaan fraktur basis cranii dimana bisa terjadi resiko penetrasi ke intrakranial. Pipa naso
jejunal dapat digunakan jika terjadi kelainan pengosongan lambung yang menetap dengan
pemberian obat prokinetik atau pada pankreatitis. Alternatif lain untuk akses nutrisi enteral
jangka panjang adalah dengan gastrostomi dan jejunum perkutaneus.6
Larutan nutrisi enteral yang tersedia dipasaran memiliki komposisi yang bervariasi.
Nutrisi polimer mengandung protein utuh (berasal dari whey, daging, isolat kedelai dan
kasein), karbohidrat dalam bentuk oligosakarida atau polisakarida. Formula demikian
memerlukan enzim pankreas saat absorbsinya. Nutrisi elemental dengan sumber nitrogen
(asam amino maupun peptida) tidaklah menguntungkan bila digunakan secara rutin, namun
dapat membantu bila absorbsi usus halus terganggu, contohnya pada insufisiensi pankreas
atau setelah kelaparan dalam jangka panjang. Lipid biasanya berasal dari minyak nabati yang
mengandung banyak trigliserida rantai panjang, tapi juga berisi trigliserida rantai sedang yang
lebih mudah diserap. Proporsi kalori dari non protein seperti karbohidrat biasanya dua pertiga
dari total kebutuhan kalori.6 Serat diberikan untuk menurunkan insiden diare. Serat
dimetabolisme oleh bakteri menjadi asam lemak rantai pendek, yang digunakan oleh koloni
untuk pengambilan air dan elektrolit. Elektrolit, vitamin dan trace mineral ditambahkan sampai
volume yang mengandung 2000 kkal.6 Nutrisi enteral adalah faktor resiko independen
pneumonia nosokomial yang berhubungan dengan ventilasi mekanik. Cara pemberian sedini
mungkin dan benar nutrisi enteral akan menurunkan kejadian pneumonia, sebab bila nutrisi
enteral yang diberikan secara dini akan membantu memelihara epitel pencernaan, mencegah
translokasi kuman, mencegah peningkatan distensi gaster, kolonisasi kuman, dan
regurgitasi.6,22 Posisi pasien setengah duduk dapat mengurangi resiko regurgitasi aspirasi.22
Diare sering terjadi pada pasien di ICU yang mendapat nutrisi enteral, penyebabnya
multifaktorial, termasuk terapi antibiotik, infeksi Clostridium difficile, impaksi feses, dan efek

15
tidak spesifik akibat penyakit kritis. Komplikasi metabolik paling sering berupa abnormalitas
elektrolit dan hiperglikemia.6

Tabel 2. Nutrisi enteral3

2. Nutrisi Parenteral

Tunjangan nutrisi parenteral diindikasikan bila asupan enteral tidak dapat dipenuhi
dengan baik. Terdapat kecenderungan untuk tetap memberikan nutrisi enteral walaupun
parsial dan tidak adekuat dengan suplemen nutrisi parenteral. Pemberian nutrisi parenteral
pada setiap pasien dilakukan dengan tujuan untuk dapat beralih ke nutrisi enteral secepat
mungkin. Pada pasien ICU, kebutuhan dalam sehari diberikan lewat infus secara kontinu
dalam 24 jam. Monitoring terhadap faktor biokimia dan klinis harus dilakukan secara ketat.
Hal yang paling ditakutkan pada pemberian nutrisi parenteral total (TPN/Total Parenteral
Nutrition) melalui vena sentral adalah infeksi. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:6
1. Insersi subklavia: infeksi lebih jarang dibanding jugular interna dan femoral.
2. Keahlian operator dan staf perawat di ICU mempengaruhi tingkat infeksi.
3. Disenfektan kulit klorheksidin 2% dalam alkohol adalah sangat efektif.
4. Teknik yang steril akan mengurangi resiko infeksi.
5. Penutup tempat insersi kateter dengan bahan transparan lebih baik.
6. Kateter sekitar tempat insersi sering-sering diolesi dengan salep antimikroba.
7. Penjadwalan penggantian kateter tidak terbukti menurunkan sepsis.

16
Tabel 3. Nutrisi parenteral3

VIII. KAPAN SEBAIKNYA MEMULAI TERAPI NUTRISI


Pada pasien sakit kritis yang menderita kurang gizi dan tidak menerima makanan
melalui oral, enteral atau parenteral, maka nutrisi harus dimulai sedini mungkin. Keuntungan
pemberian dini, menyebabkan hemodinamik pasien menjadi stabil, yang telah ditunjukkan
dengan penurunan permeabilitas intestinal dan penurunan disfungsi organ multipel. Pada
praktek klinis, pemberian makanan enteral dini dimulai dalam 24 hingga 48 jam setelah
trauma.23 Moore dkk.24 mengamati adanya penurunan pada komplikasi klinis pasien dengan
cedera abdomen yang menerima makanan melalui NGT dibandingkan grup kontrol yang
menerima TPN yang dimulai pada hari ke-6 setelah operasi. Peneliti yang lain juga
mengkonfirmasikan hasil yang sama yang mendukung keuntungan pemberian nutrisi secara
dini. Tinjauan literatur baru-baru ini menemukan bahwa TPN yang diberikan pada penderita
kurang gizi pada periode preoperatif akan menurunkan komplikasi post operasi hampir 10%.
Namun jika diberikan ketika periode post operasi, maka resiko komplikasi post operasi,
terutama komplikasi infeksi akan meningkat.24

IX. NUTRISI PADA BERBAGAI KONDISI DAN PENYAKIT

1. Nutrisi Pada Keadaan Trauma


Pasien trauma cenderung mengalami malnutrisi protein akut karena hipermetabolisme
yang persisten, yang mana akan menekan respon imun dan peningkatan terjadinya
kegagalan multi organ (MOF) yang berhubungan dengan infeksi nosokomial.
Pemberiansubstrat tambahan dari luar lebih awal akan dapatmemenuhi kebutuhan akibat
peningkatan kebutuhan metabolik yang dapat mencegah atau memperlambatmalnutrisi
protein akut dan menjamin outcome pasien. Nutrisi enteral total (TEN/Total Enteral Nutrition)

17
lebih dipilih dari pada TPN karena alasan keamanan, murah, fisiologis dan tidak membuat
hiperglisemia. Intoleransi TEN dapat terjadi, yaitu muntah, distensi atau cramping abdomen,
diare, keluarnya makanan dari selang nasogastrik. Pemberian TPN secara dini tidak
diindikasikan kecuali pasien mengalami malnutisi berat.

2. Nutrisi pada Pasien Sepsis


Pada pasien sepsis, Total Energy Expenditure (TEE) pada minggu pertama kurang
lebih 25 kcal/kg/hari, tetapi pada minggu kedua TEE akan meningkat secara signifikan.
Kalorimetri indirek merupakan cara terbaik untuk menghitung kebutuhan kalori, proporsi serta
kuantitas zat nutrisi yang digunakan. Pemberian glukosa sebagai sumber energi utama dapat
mencapai 4 - 5 mg/kg/menit dan memenuhi 50 - 60% dari kebutuhan kalori total atau 60-70%
dari kalori non protein.
Pemberian glukosa yang berlebihan dapat mengakibatkan hipertrigliseridemia,
hiperglikemia, diuresis osmotik, dehidrasi, peningkatan produksi CO2 yang dapat
memperburuk insufisiensi pernafasan dan ketergantungan terhadap ventilator, steatosis
hepatis, dan kolestasis. Pemberian lemak sebaiknya memenuhi 25 - 30% dari kebutuhan total
kalori dan 30 - 40% dari kalori non protein. Kelebihan lemak dapat mengakibatkan disfungsi
neutrofil dan limfosit, menghalangi sistem fagositik mononuklear, merangsang hipoksemia
yang dikarenakan oleh gangguan perfusi-ventilasi dan cedera membran alveolokapiler,
merangsang steatosis hepatik, dan meningkatkan sintesis PGE2. Dalam keadaan katabolik,
protein otot dan viseral dipergunakan sebagai energi di dalam otot dan untuk glukoneogenesis
hepatik (alanin dan glutamin). Kebutuhan protein melebihi kebutuhan protein normal yaitu 1,2
g/kg/protein/hari. Kuantitas protein sebaiknya memenuhi 15-20% dari kebutuhan kalori total
dengan rasio kalori non protein/ nitrogen adalah 80:1 sampai dengan 110:1.15,25

3. Nutrisi pada Penyakit Ginjal Akut (Acute Renal Failure)


ARF secara umum tidak berhubungan dengan peningkatan kebutuhan energi. Meski
demikian kondisi traumatik akut yang menetap dapat meningkatkan REE (misalnya pada
sepsis meningkat hingga 30%). Adanya penurunan toleransi terhadap glukosa dan resistensi
insulin menyebabkan uremia akut, asidosis atau peningkatan glukoneogenesis. Pada pasien
ARF membutuhkan perhatian yang hati-hati terhadap kadar glukosa darah dan penggunaan
insulin dimungkinkan dalam larutan glukosa untuk mencapai kadar euglikemik. Pemberian
lipid harus dibatasi hingga 20 - 25% dari energi total. Meski demikian lipid sangatlah penting
karena osmolaritasnya yang rendah, sebagai sumber energi, produksi CO2 yang rendah dan
asam lemak essensial. Protein atau asamamino diberikan 1,0 - 1,5 g/kg/hari tergantung dari
beratnya penyakit, dan dapat diberikan lebih tinggi (1,5 … 2,5 g/kg/hari) pada pasien ARF

18
yang lebih berat dan mendapat terapi menggunakan CVVH, CVVHD, CVVHDF, yang memiliki
klirens urea mingguan yang lebih besar.6,15

4. Nutrisi pada Pankreatitis Akut


Nutrisi enteral dapat diberikan, namun ada beberapa bukti bahwa pemberian nutrisi
enteral dapat meningkatkan keparahan penyakit. Nutrisi parenteral pada pankreatitis akut
berguna sebagai tambahan pada pemeliharaan nutrisi. Mortalitas dilaporkan menurun seiring
dengan peningkatan status nutrisi, terutama pada pasien-pasien pankreatitis akut derajat
sedang dan berat. Pada pasien dengan penyakit berat pemberian nutrisi isokalorik maupun
hiperkalorik dapat mencegah katabolisme protein. Oleh karena itu, pemberian energi
hipokalorik sebesar 15 … 20 kkal/kg/hari lebih sesuai pada keadaan katabolik awal pada
pasien-pasien non bedah dengan MOF. Pemberian protein sebesar 1,2 - 1,5 g/kg/hari optimal
untuk sebagian besar pasien pankreatitis akut. Pemberian nutrisi peroral dapat mulai
diberikan apabila nyeri sudah teratasi dan enzim pankreas telah kembali normal. Pasien
awalnya diberikan diet karbohidrat dan protein dalam jumlah kecil, kemudian kalorinya
ditingkatkan perlahan dan diberikan lemak dengan hati-hati setelah 3 - 6 hari.6,15

5. Nutrisi pada Penyakit Hati


Pada penyakit hati terjadi peningkatan lipolisis, sehingga lipid harus diberikan dengan
hati-hati untuk mencegah hipertrigliseridemia, yaitu tidak lebih dari 1 g/kg perhari.
Pembatasan protein diperlukan pada ensefalopati hepatik kronis, mulai dari 0,5 g/kg perhari,
dosis ini dapat ditingkatkan dengan hati-hati menuju ke arah pemberian normal. Ensefalopati
hepatik menyebabkan hilangnya Branched Chain Amino Acids (BCAAs) mengakibatkan
peningkatan pengambilan asam amino aromatik serebral, yang dapat menghambat
neurotransmiter. Pada pasien dengan intoleransi protein, pemberian nutrisi yang diperkaya
dengan BCAAs dapat meningkatkan pemberian protein tanpa memperburuk ensefalopati
yang sudah ada. Kegagalan fungsi hati fulminan dapat menurunkan glukoneogenesis
sehingga terjadi hipoglikemia yang memerlukan pemberian infus glukosa. Lipid dapat
diberikan, karena masih dapat ditoleransi dengan baik.6

X. KESIMPULAN
Kebutuhan nutrisi pada pasien sakit kritis tergantung dari tingkat keparahan cedera
atau penyakitnya, dan status nutrisi sebelumnya. Pasien sakit kritis memperlihatkan respon
metabolik yang khas terhadap kondisi sakitnya. Pada sakit kritis terjadi pelepasan mediator
inflamasi (misalnya IL-1, IL-6, dan TNF) dan peningkatan produksi – counter regulatory
hormone (misalnya katekolamin, kortisol, glukagon, GH), yang dapat menyebabkan

19
serangkaian proses yang mempengaruhi seluruh sistem tubuh dan menimbulkan efek yang
jelas pada status metabolik dan nutrisi pasien.
Penilaian secara objektif status nutrisi pasien di ICU adalah sulit, karena proses dari
penyakit mengacaukan metode penilaian yang kita gunakan. Status nutrisi adalah fenomena
multi dimensional yang memerlukan beberapa metode dalam penilaian, termasuk indikator-
indikator nutrisi, intake nutrisi, dan pemakaian / pengeluaran energi.
Pemberian nutrisi pada kondisi sakit kritis bisa menjamin kecukupan energi dan
nitrogen, namun harus dihindari overfeeding seperti uremia, dehidrasi hipertonik, steatosis
hati, gagal napas hiperkarbia, hiperglisemia, koma non-ketotik hiperosmolar dan
hiperlipidemia. Pada pasien sakit kritis tujuan pemberian nutrisi adalah menunjang metabolik,
bukan untuk pemenuhan kebutuhannya saat itu. Bahkan pemberian total kalori mungkin dapat
merugikan karena menyebabkan hiperglisemia, steatosis dan peningkatan CO2 yang
menyebabkan ketergantungan terhadap ventilator dan imunosupresi. Secara umum dapat
diuraikan tujuan pemberian dukungan nutrisi pada kondisi kritis adalah meminimalkan
keseimbangan negatif kalori dan protein dan kehilangan protein dengan cara menghindari
kondisi starvasi, mempertahankan fungsi jaringan khususnya hati, sistem imun, sistem otot
dan otot-otot pernapasan, dan memodifikasi perubahan metabolik dan fungsi metabolik
dengan menggunakan substrat khusus.

DAFTAR RUJUKAN
1. Barr J et al. Outcomes in critically ill patients before and after the implementation of an
evidencebased nutritional management protocol. Chest 2004;125:1446-57.
2. Griffiths RD, Bongers T. Nutrition support for patients in the intensive care unit. Diunduh
dari http:/ /www.pmj.bmj.com/ pada tanggal 12 September 2008.
3. Escallon J et al. Nutrition in critical care. In: McCarnish M et al, editors. An integrated
approach to patient care total nutritional therapy. 2 nd ed. Pennsylvania: Elsevier;
2003.p.117-28.
4. Heyland DK et al. Should immunonutrition become routine in critically ill patients?: a
systematic review of the evidence. JAMA 2001;286(8):944-53.
5. Higgins PA et al. Assesing nutritional status in chronically critically ill adult patients.
American Journal of Critical Care 2006;15:2
6. Leonard R. Enteral and parenteral nutrition. In: Bersten AD, editor. Oh•s Intensive Care
Manual. 5th ed. New York: Elsevier; 2004.p.903-12.
7. Mechanick JL, Brett EM. Nutrition support of the chronically ill patient. Crit Care Clin
2002;18:597-

20
8. Escallon J et al. Assessing nutritional status in the critically-ill patient. In: McCarnish M et
al, editors. An integrated approach to patient care total nutritional therapy. 2 nd ed.
Pennsylvania: Elsevier; 2003.p.117-8.
9. Clochesy JM et al. Use of serum albumin level in studying clinical. Outcomes Manag Nurs
Pract 1999;3:61-6.
10. Rothschild MA, Oratz M, Schreiber SS. Serum albumin. Hepatology 1988;8:385-401.
11. Olerich MA, Rude RK. Should we suplement magnesium in critical ill patients? New Horiz
1994;2:186-92.
12. Koch SM, Waters RD, Mehlhorn U. The stimultaneous measurement of ionized and total
calcium and ionized and total magnesium in intensive care unit patients. J Crit Care
2002;17:203-5.
13. McClave SA, Heyland DK. Critical care nutrition. In: Fink MP, editor. Texbook of critical
care. 5th ed. Philadelphia: Elsevier; 2005.p.939-59.
14. Escallon J et al. Carbohydrates, proteins and lipids. In: McCarnish M et al, editors. An
integrated approach to patient care total nutritional therapy. 2 nd ed. Pennsylvania:
Elsevier; 2003.p.51-61.
15. Mustafa Iqbal, Xavier ML. Nutrition in the intensive care unit. In: Papadakos PJ, editor.
Critical carethe requisites in anaesthesiology. Volume 15. 15th ed. Philadelphia: Elsevier;
2005.p.106-16.
16. Escallon J et al. Body composition in health and disease. In: McCarnish M et al, editors.
In an integrated approach to patient care total nutritional therapy. 2 nd ed. Pennsylvania:
Elsevier; 2003.p.27-50.
17. Forbes GB et al. Deliberate overfeeding in women and men: energy cost and composition
of the weight gain. Br J Nutr 1986;56:1-9.
18. Makk LJ et al. Clinical aplication of the metabolic card in the delivery of total parenteral
nutrition. Crit Care Med 1990;18:1320-7.
19. Burke JF et al. Glukose requirements following burn injury. Ann Surg 1979;190:274-85.
20. Kinney JM. The application of indirect calorimetry to clinical studies. In: Kinney JM, editor.
Assessment of energy metabolism in health and disease. Columbus: Ross Laboratories;
1980.p.42.
21. Elwyn DH. Protein metabolism and requitments in the criticall ill patient. Crit Care Clin
1987;3:57-69.
22. Dahlan Z. Tinjauan ulang masalah pneumonia yang didapat di rumah sakit. Cermin Dunia
Kedokteran 1998;121:25.
23. Kompan L et al. Effects of early enteral nutrition on intestinal permeability and the
development of multiple organ failure after multiple organ injury. Intensive Care Medicine
1999;25:157-61.

21
24. Klein S et al. Nutrition support in clinical practice: review of published data and
recommendations for future research directions. JPEN J Parenteral Enteral Nutr
1997;21:133-56.
25. Zauner C, Schuster BI, Schneeweiss B. Similar metabolic responses to standardized total
parenteral nutrition of septic and nonspesific critically ill patients. Am J Clin Nutr
2001;74:265-70.

22

Anda mungkin juga menyukai