Kajian Lingkungan Omnibus Law RUU Cipta Kerja

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 47

BADAN EKSEKUTIF

MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

LUMPUHNYA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN


HIDUP DALAM RUU OMNIBUS LAW CIPTA KERJA

Oleh Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FH UI dan BEM FMIPA UI

Hak Atas Lingkungan Hidup Yang Baik dan Sehat

Konstitusi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) didalamnya mengatur mengenai lingkungan
hidup. Lingkungan hidup dalam perspektif teoritis dipandang sebagai bagian
mutlak dari kehidupan manusia, tidak terlepas dari kehidupan manusia itu sendiri.1
Menurut Michael Allaby, lingkungan hidup sebagai “the physical, chemical and
biotic condition surrounding and organism” (lingkungan fisik, kimia, kondisi
masyarakat sekelilingnya dan organisme hidup). Dalam kamus hukum, lingkungan
hidup diartikan sebagai:
the totally of physical, economic, cultural, aesthetic and social
circumstances and factors which surround and affect the desirability
and value at property and which also effect the quality of peoples lives,
(Keseluruhan lingkungan fisik, ekonomi, budaya, kesenian dan
lingkungan sosial serta beberapa faktor di sekeliling yang memengaruhi
nilai kepemilikan dan kualitas kehidupan masyarakat).2
Lingkungan hidup diatur dalam dua aspek yaitu sebagai bagian dari hak
asasi manusia (HAM), yang diatur pada Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945. Dimana
menyebutkan bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan.”3 Aspek lainnya adalah mengenai prinsip

1
Siahaan N.H.T., Hukum Lingkungan, Pancuran Alam, (Jakarta: [s.n] 2009, hlm. 2.
2
Champbell, Hendri, Black’s Law Dictionary, (USA: St. Paul, Minn, West Publishing Co,
1991), hlm 369.
3
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 28H ayat (1).
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

penyelenggaraan perekonomian yang berwawasan lingkungan, yang diatur pada


Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945. Pasal tersebut menyebutkan bahwa:

Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi


dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.4
Menurut Jimly Asshiddiqie, pengaturan ini tidak hanya mengakui kedaulatan rakyat
dan paham negara hukum, melainkan juga mengakui keberadaan kedaulatan
lingkungan hidup.5 Kedua Pasal tersebut merupakan bukti akan diterimanya prinsip
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dalam UUD 1945.6 Selain
itu menurutnya juga, hak atas lingkungan hidup yang sehat termasuk ke dalam salah
satu hak yang ada di dalam empat generasi hak asasi manusia. Dimana generasi
ketiganya adalah suatu hak yang berkaitan dengan hak-hak dalam pembangunan.
Hak-hak dalam bidang pembangunan tersebut antara lain mencakup:7

1. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat;

2. hak untuk memperoleh perumahan yang layak; dan

3. hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai.

Edith mengartikan hak atas lingkungan hidup sebagai hak asasi manusia untuk
hidup dalam lingkungan hidup dengan kualitas minimal yang memungkinkan
terwujudnya kehidupan yang bermartabat dan sejahtera.8 Dari pengertian tersebut,

4
Ibid., Ps. 33 ayat (4).
5
Jimly Asshiddiqie, Green Constitution: Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hlm. 130.
6
Henri Subagiyo, ed., Anotasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Jakarta: Indonesian Center for Environmental
Law, 2014), hlm. 15.
7
Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, cet. 2,
(Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm. 623.
8
Margaretha Quina, Pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia atas Lingkungan Hidup
oleh Perusahaan Transnasional dalam Hukum Internasional, (Skripsi Sarjana Universitas
Indonesia, Jakarta, 2012), hlm, 21.
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

kita bisa melihat bahwa kata sifat dari “baik dan sehat” dalam frase hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat dapat dikaitkan dengan syarat kualitas
minimal lingkungan hidup agar manusia bisa hidup dengan baik dan sehat.
Sebagai bentuk jaminan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
wawasan lingkungan dalam penyelenggaraan perekonomian, maka dibuatlah
peraturan perundang-undangannya, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Dalam
landasan filosofis UU PPLH terdapat pandangan bahwa hak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat merupakan HAM yang wajib dihormati dipenuhi, dan
dilindungi oleh negara.9 Hal tersebut tentunya berangkat dari konstitusi bahwa hak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian hak asasi manusia. UU
PPLH melihat bahwa hak atas lingkungan hidup ini sebagai hak subyektif, dimana
pengakuan atas hak tersebut merupakan kewajiban negara khususnya pemerintah
untuk menghormati, memenuhi dan melindunginya.10 Selain dijamin dalam
konstitusi, hak atas lingkungan hidup juga dipertegas dalam Pasal 65 Ayat (1) UU
PPLH.11 Untuk mewujudkan hal tersebut negara wajib untuk melakukan beberapa
hal antara lain:12

1. Menerjemahkan prinsip perlindungan lingkungan sebagai bagian


dari perlindungan hak asasi manusia dalam peraturan perundang-
undangan;
2. berupaya melindungi dan melakukan upaya yang layak untuk
melindungi hak asasi tersebut;
3. mematuhi hukum yang sudah dibuat oleh negara itu sendiri;

9
Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
UU No. 32 Tahun 2009, Naskah Akademis, hlm. 1-8.
10
Henri Subagiyo, ed., Anotasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, hlm. 24.
11
Pasal 65 Ayat (1) UU PPLH menyebutkan bahwa “setiap orang berhak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.”
12
Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Naskah Akademis, hlm. 22-23.
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

4. memastikan bahwa kepentingan warga negara untuk mendapatkan


hak atas lingkungan hidup yang sehat diperhatikan dan diperlakukan
seimbang dengan kepentingan publik, termasuk memastikan
dijaminnya hak-hak prosedural dan mendapat kompensasi apabila
haknya terlanggar;dan
5. memastikan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan secara
transparan dan setiap warga negara dapat berpartisipasi dalam setiap
pengambilan keputusan yang mempengaruhi hajat hidupnya.
Selain itu Mengutip pasal 2 UU No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup, dalam melakukan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas:13

a. tanggung jawab negara;


b. kelestarian dan keberlanjutan;
c. keserasian dan keseimbangan;
d. keterpaduan;
e. manfaat;
f. kehati-hatian;
g. keadilan;
h. ekoregion;
i. keanekaragaman hayati;
j. pencemar membayar;
k. partisipatif;
l. kearifan lokal;
m. tata kelola pemerintahan yang baik; dan
n. otonomi daerah.

13
Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Ps 2
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

Asas tersebut berperan sebagai prinsip atau pondasi dilaksanakannya


perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Berdasarkan asas kelestarian dan
keberlanjutan, setiap orang berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap generasi
mendatang dan terhadap sesamanya dengan melakukan upaya pelestarian daya
dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup.14 Asas tanggung
jawab negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat
maksimal bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat baik generasi masa kini
maupun generasi masa depan.15 Cukup dengan kedua asas itu saja pemerintah sudah
seharusnya menjalankan amanah pembangunan yang sifatnya berkelanjutan, dalam
artian turut bertanggung jawab terhadap generasi mendatang. Omnibus Law RUU
Cipta Kerja disusun untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dalam rangka
menciptakan pembangunan ekonomi di Indonesia,16 dengan agenda itu maka
pemerintah harus memastikan semangat pembangunan berkelanjutan agar dapat
tetap memenuhi hak atas lingkungan hidup lintas generasi.

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


Lingkungan yang baik dan sehat sebagai Asas Tanggung Jawab, Asas kelestarian
hak dasar dan keberlanjutan, dan Asas Keadilan

Kewajiban Pembangunan Berkelanjutan

Gambar 1. Arah perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup Indonesia

14
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Penjelasan Ps. 2 huruf b.
15
Ibid, Ps. 2 huruf a.
16
Lihat Naskah Akademis RUU Cipta Kerja, hlm. 6.
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

Keberlanjutan adalah kemampuan berbagai macam sistem alam bumi dan


sistem budaya manusia dan ekonomi untuk bertahan dan berdapatasi terhadap
kondisi lingkungan yang berubah tanpa batas.17 Komponen kritis keberlanjutan
adalah natural capital (kekayaan alam), aktivitas manusia yang merendahkan
kualitas lingkungan, solusi politik, kompromi kepentingan, dan individual matter
(masalah individu).18 Komponen kekayaan alam didefinisikan sebagai sumber daya
alam (material dan energi di alam yang penting untuk manusia) dan fungsi alam. 19
Peran serta manusia sebagai bagian dari alam adalah alasan utama mengapa
aktivitas menusia dapat berdampak pada lingkungan hidup dan turut serta
memegang tanggung jawab menjaga keberlanjutan dengan menjadi masyarakat
ramah lingkungan.20
Masyarakat ramah lingkungan adalah masyarakat yang memenuhi
kebutuhan dasar akan sumber daya untuk masyarakat sekarang dan yang akan
datang dengan cara yang adil dan merata tanpa mengkompromikan kemampuan
generasi selanjutnya untuk memenuhi kebutuhan dasar itu.21 Masyarakat seperti ini
melindungi kekayaan alam dan hidup dari sumber daya terbarukan yang disediakan
kekayaan alam.22 Sifat melindungi kekayaan alam dapat diartikan sebagai upaya
perlindungan yang dilakukan pemerintah, sementara sifat hidup dari sumber daya
terbarukan dari kekayaan alam dapat dikaitkan dengan upaya pengelolaan
lingkungan hidup oleh pemerintah agar tidak mengalami defisit ekologi karena
penggunaan sumber daya alam yang melampaui kemampuan alam untuk
memproduksi kembali.
Dengan berbagai jaminan atas hak lingkungan hidup yang baik dan sehat
yang ada baik pada konstitusi maupun UU PPLH, memberikan suatu legitimasi

17
G. Tyler Miller dan Scott E. Spoolman. Essential of Ecology 5th ed. (Belmont: Cengage
Learning, 2009) hlm, 8.
18
Ibid, hlm. 9.
19
Ibid.
20
Ibid, hlm. 10.
21
Ibid.
22
Ibid.
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

bahwa lingkungan seharusnya dilindungi dan dikelola dengan baik. Namun hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat ini terancam dengan adanya Omnibus Law
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Dimana dalam RUU Cipta Kerja tersebut
terdapat banyak permasalahan terkait lingkungan. Permasalahan tersebut antara lain
dalam hal pencegahan kerusakan lingkungan, melemahkan penindakannya, dan
mengabaikan sifat site specific dalam pengelolaan lingkungan hidup. Lalu terdapat
masalah lain yaitu perizinan berusaha, perizinan lingkungan, analisis mengenai
dampak lingkungan (AMDAL), pelemahan upaya pengelolaan lingkungan hidup
dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL), pertanggung jawaban
mutlak, dan hilangnya partisipasi masyarakat serta kearifan lokal dalam hal
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Sebagai warga negara Indonesia,
memperjuangkan hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
menjadi alasan mengapa Omnibus Law RUU Cipta Kerja perlu untuk ditolak.

Berubahnya Perizinan Berusaha Menjadi Berbasis Risiko Dengan Tidak


Jelasnya Indikator Risiko.

Manusia dan lingkungan hidup merupakan satu kesatuan, yang mana


manusia ada di dalam lingkungan hidup dan tidak dapat dipisahkan. Kerusakan
lingkungan hidup tentu akan berdampak pada kegiatan manusia. Seiring dengan
perubahan peradaban, kebutuhan manusia pun semakin meningkat. Hal tersebut
tidak sebanding dengan jumlah sumber daya alam yang tersedia sehingga
eksploitasi yang berlebihan akan mengakibatkan merosotnya daya dukung
lingkungan.23 Kondisi yang demikian menjadi latar belakang dalam tujuan dan
sasaran utama dari ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), yang mengatur
upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan
hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

23
Adji Samekto, Studi Sanksi Kritis: Kritik terhadap Sanksi Modern, (Semarang: Badan
penerbit Universitas Diponegoro, 2003), hlm. 24.
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

Untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, maka


diperlukan adanya suatu sistem yang mampu mendorong konservasi lingkungan
hidup. Salah satu wujud dari upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
ialah dengan sistem perizinan khususnya perizinan yang berkaitan dengan
lingkungan hidup. Perizinan sendiri merupakan salah satu instrumen pencegahan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.24 Perizinan berarti pemberian
legalitas kepada seseorang atau pelaku usaha/kegiatan tertentu, baik dalam bentuk
izin maupun tanda daftar usaha. Izin ialah salah satu instrumen yang paling banyak
digunakan dalam hukum administrasi, untuk mengemudikan tingkah laku para
warga.25 Selain itu izin juga dapat diartikan sebagai dispensasi atau
pelepasan/pembebasan dari suatu larangan.26
Secara umum, tujuan dan fungsi dari perizinan adalah untuk pengendalian
dari aktivitas-aktivitas masyarakat terkait ketentuan-ketentuan yang berisi pedoman
yang harus dilaksanakan baik oleh yang berkepentingan ataupun oleh pejabat yang
diberi kewenangan. Pengendalian aktivitas ini dilakukan dalam rangka
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Oleh karena itu, izin dianggap
sebagai salah satu usaha perindungan dan pengelolaan lingkungan hidup karena
melalui izin, pemerintah berusaha mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup.
Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009, terdapat dua instrumen
perizinan yakni izin lingkungan dan izin usaha. Izin lingkungan adalah izin yang
diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib
amdal atau UKL/UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.27 Izin

24
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.
32 Tahun 2009, LN. No. 140 Tahun 2009, TLN. No. 5059, Ps. 14.
25
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Perizinan, (Surabaya: Yuridika, 1993), hlm.2.
26
Ibid, hlm. 2-3.
27
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Ps. 1
angka 35.
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

usaha adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan usaha
dan/atau kegiatan.28 Izin lingkungan dan izin usaha merupakan instrumen yang
saling terkait dikarenakan izin lingkungan merupakan persyaratan untuk
memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.29 Dengan demikian, jika izin lingkungan
dicabut maka izin usaha dan/atau kegiatan dapat dibatalkan. Begitu pun halnya jika
terdapat perubahan dalam izin lingkungan, maka penanggungjawab usaha harus
memperbaharui izin lingkungan. Hal ini juga menunjukkan bahwa Undang-Undang
No. 32 Tahun 2009 menempatkan perizinan sebagai bentuk kewajiban yang harus
dipenuhi oleh pelaku usaha untuk dapat melakukan kegiatan usaha secara sah
(license based approach).
Paradigma kewajiban perizinan ini kemudian diubah dalam Omnibus Law
RUU Cipta Kerja, yang mana Omnibus Law RUU Cipta Kerja hendak
mengimplementasikan pendekatan perizinan berbasis risiko (risk-based approach)
dalam perizinan berusaha, yang digadang-gadang dapat menyederhanakan
mekanisme perizinan berusaha dan memberikan manfaat bagi perekonomian, sosial
dan lingkungan.30 Pendekatan berbasis risiko (risk-based approach) adalah sebuah
pendekatan dimana tingkat risiko menjadi sebuah pertimbangan atas setiap tindakan
atau usaha yang dilakukan.31 Semakin tinggi potensi risiko yang ditimbulkan oleh
kegiatan tertentu, maka semakin ketat kontrol yang akan dilakukan pemerintah serta
semakin tinggi kebutuhan akan perizinan dan semakin tinggi pula inspeksi yang
dilakukan. Untuk kegiatan usaha yang berisiko rendah, maka perizinan dan inspeksi
pada umumnya tidak diperlukan.
Maksud dari risiko dalam pendekatan berbasis risiko harus diartikan sebagai
kombinasi dari kemungkinan terjadinya peristiwa yang merugikan (seperti bahaya,
kerugian) dan potensi besarnya kerusakan yang disebabkan oleh kegiatan tersebut

28
Ibid, Ps. 1 angka 36.
29
Ibid, Ps. 40.
30
Lihat RUU Cipta Kerja, Ps. 7 huruf a.
31
Lihat Naskah Akademis RUU Cipta Kerja, hlm. 83.
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

(merupakan kombinasi dari jumlah orang yang terdampak serta keseriusan dari
masing-masing kerusakan). Dalam pendekatan ini, risiko tidak dapat hanya
diartikan sebagai kemungkinan akan terjadinya suatu pelanggaran atau
permasalahan dalam kegiatan berusaha karena meskipun dalam beberapa jenis
kegiatan, pelanggaran tertentu sangat mungkin akan sering terjadi namun dianggap
memiliki sedikit efek samping. Pendekatan berbasis risiko ini juga tidak dapat
diterjemahkan identik dengan tingkat bahaya atau diterjemahkan hanya melihat
pada tingkat potensi keseriusan dampak.32
Omnibus Law RUU Cipta Kerja berusaha mengimplementasikan penerapan
perizinan berusaha berbasis risiko yang dilakukan berdasarkan penetapan tingkat
risiko kegiatan usaha. Penetapan tingkat risiko dalam Omnibus Law RUU Cipta
Kerja ditetapkan berdasarkan perhitungan nilai tingkat bahaya dan nilai potensi
terjadinya bahaya. Dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja, potensi terjadinya
bahaya terbagi menjadi tidak pernah terjadi, jarang terjadi, pernah terjadi dan sering
terjadi.33 Berangkat dari parameter tersebut, maka tingkat risiko kegiatan usaha
kemudian ditetapkan menjadi kegiatan usaha berisiko rendah, kegiatan usaha
berisiko menengah dan kegiatan usaha berisiko tinggi.34 Masing-masing risiko
memiliki bentuk perizinan yang berbeda. Untuk usaha berisiko rendah, bentuk
perizinan yang dikeluarkan ialah nomor induk berasal dari registrasi.35 Untuk usaha
berisiko menengah, bentuk perizinan yang dikeluarkan ialah nomor induk dan
standar.36 Sedangkan untuk risiko tinggi harus memenuhi syarat izin usaha dengan
bentuk perizinan yang dikeluarkan berupa nomor induk dan izin usaha.37

32
Florentin Blanc dan Ernesto Franco-Temple, “Introducing a Risk-Based Approach to
Regulate Businesses to Build a Risk Matrix to Classify Enterprises or Activities”, (Worldbank,
2014), hlm. 1
33
Lihat Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, Ps. 8 ayat (6)
34
Ibid., Ps. 8 ayat (7).
35
Ibid., Ps. 9.
36
Ibid., Ps. 10 ayat (1).
37
Ibid., Ps. 11 ayat (1).
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

Penerapan perizinan berbasis risiko yang dicanangkan dalam Omnibus Law


RUU Cipta Kerja ini kemudian tentunya akan berdampak pada upaya perlindungan
lingkungan hidup di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan dalam penerapan
perizinan berusaha berbasis risiko, diperlukan antara lain pendefinisian dengan
jelas tujuan dari regulasi dan mendefinisikan risiko-risiko apa saja yang dihadapi
dalam mencapai tujuan tersebut, menentukan risiko yang dapat diterima dan yang
tidak (risk appetite), membuat pemeringkatan risiko berdasarkan kemungkinan dan
dampak dari suatu risiko dan mengalokasikan sumberdaya sesuai dengan peringkat
risikonya.38
Mengacu pada hal tersebut, dapat dikatakan bahwa pendekatan berbasis
risiko sebagaimana yang diatur dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja tidak dapat
diterapkan dengan baik di Indonesia. Penerapan perizinan berusaha berbasis risiko
memerlukan sangat banyak data karena harus dilakukan dalam dua dimensi yakni
risiko inheren yakni terkait lokasi dan risiko manajerial yakni terkait dengan histori
ketaatan.39 Untuk merumuskan standar pemeringkatan diperlukan data yang akurat.
Pemeringkatan risiko atas suatu kegiatan usaha akan sulit dilakukan jika belum ada
data inventarisasi dan Kajian Lingkungan Hidup Strategisnya (KLHS). Dalam
kondisi aktual, data-data terkait yang akan digunakan sebagai dasar pemeringkatan
risiko belum tersedia dengan baik. Permasalahan berikutnya dari penerapan
pendekatan perizinan berusaha berbasis risiko ialah terkait dengan pemeringkatan
risiko yang cenderung subjektif dan ditentukan secara sepihak karena akan diatur
oleh Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah. Hal itu berhubungan dengan
penentuan risiko yang dapat diterima dan risiko yang tidak dapat diterima. Selain
itu, politik RUU Cipta Kerja yang mengatur hal-hal yang bersifat detil dalam
Peraturan Pemerintah guna memberikan fleksibilitas bagi Pemerintah Pusat dalam
mengambil kebijakan mengikuti dinamika masyarakat dan global.

38
Indonesia Center for Environmental Law, “Hukum dan Kebijakan Lingkungan dalam
Poros Percepatan Investasi: Catatan terhadap Wacana Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja”, Seri
Kertas Kebijakan, hlm. 5.
39
Ibid.
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

Namun kemudian hal tersebut menjadi permasalahan karena standar


pemeringkatan risiko secara umum tidak tercantum dalam Undang-Undang. Tidak
adanya penentuan standar/guideline terkait dengan standar pemeringkatan risiko
dalam Undang-Undang berpotensi membiarkan pemerintah secara sepihak
menentukan pemeringkatan risiko suatu usaha/kegiatan tanpa melibatkan
partisipasi publik. Permasalahan lain yang kemudian timbul ialah terkait
pengawasan terhadap kegiatan usaha.
Dalam Naskah Akademis Omnibus Law RUU Cipta Kerja dijabarkan bahwa
dalam perizinan berbasis risiko, pemerintah akan fokus melakukan pengawasan
terhadap kegiatan usaha yang memiliki risiko tinggi dengan perizinan dan inspeksi
yang ketat.40 Pada praktiknya, terdapat beberapa kegagalan pendekatan berbasis
risiko ketika kegiatan usaha yang risikonya dianggap kecil kemudian berubah
menjadi besar karena tidak pernah diawasi. Hampton dalam laporannya terkait
dengan pengawasan risiko di Inggris mengatakan bahwa “penilaian risiko, harus
dikatakan, harus selalu mencakup elemen kecil dari inspeksi acak. Hal tersebut
penting untuk menguji validitas penilaian risiko dan untuk memastikan bahwa
bisnis yang mencoba untuk melakukan pelanggaran selalu tahu bahwa mereka
diawasi dan dapat diperiksa”.41 Meskipun dengan pendekatan berbasis risiko
pemerintah dapat melakukan kontrol terhadap segala risiko dengan menerapkan
pengaturan standar, pada prakteknya hal tersebut akan sulit diterapkan karena
dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja standar tersebut tidak diatur dengan jelas.
Kendala tersebut akan ditambah dengan parameter intensitas pelaksanaan
berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha yang juga tidak secara jelas diatur dalam
undang-undang sehingga sangat memungkinkan terjadinya pengabaian terhadap
pelanggaran dan eskalasi risiko. Potensi terjadinya bahaya dikelompokan menjadi

40
Lihat Naskah Akademis RUU Cipta Kerja, hlm. 83.
41
P. Hampton, “Reducing Administrative Burdens: Effective Inspection and
Enforcement”, (Her Majesty’’s Stationary Office, 2005).
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

tidak pernah terjadi, jarang terjadi, pernah terjadi, sering terjadi. Hal ini berpotensi
mengabaikan risiko-risiko yang belum atau tidak teridentifikasi sebelumnya.42

Penghapusan Izin Lingkungan Menjadi Persetujuan Lingkungan

Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009, salah satu instrumen


perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup ialah perizinan dalam bentuk izin
lingkungan. Hal tersebut berangkat dari pemikiran bahwa diperlukan adanya suatu
dasar hukum yang komprehensif dan terpadu untuk seluruh sistem perlindungan
dan pengelolaan lingkungan. Hal ini dikarenakan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup merupakan upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadi pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup.
Kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun kemudian mendorong
para pembuat kebijakan untuk membentuk suatu instrumen hukum yang dapat
menjadi alat untuk mengontrol kegiatan/usaha agar tidak menimbulkan kerugian
pada lingkungan hidup. Hukum diperlukan untuk mendorong dan memaksa adanya
pembangunan yang berjalan harmonis dengan perlindungan lingkungan dan
kepentingan publik. Hal tersebut juga memperlihatkan bahwa pada dasarnya
regulasi lingkungan hidup, termasuk izin lingkungan di dalamnya, bertujuan untuk
mencegah terjadinya eksternalitas.43 Instrumen itu ialah izin lingkungan. Izin
lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha
dan/atau kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup yang merupakan prasyarat untuk memperoleh
izin usaha dan/atau kegiatan.44

42
Indonesian Center for Environmental Law, “Catatan Atas RUU Cipta Kerja”,
https://icel.or.id/wp-content/uploads/CATATAN-ATAS-RUU-CIPTA-KERJA-ICEL-
13.02.20.pdf, diakses pada 4 Maret 2020.
43
Andri G. Wibisana, “Campur Tangan Pemerintah dalam Pengelolaan Lingkungan:
Sebuah Penelusuran Teoritis Berdasarkan Analisa Ekonomi atas Hukum (Economic Analysis of
Law)”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 47 (2), 2017.
44
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Ps. 1
angka 35.
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

Berdasarkan pandangan di atas, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya izin


lingkungan berfungsi sebagai alat bagi pemerintah untuk menentukan persyaratan
yang mengikat secara hukum terhadap setiap sumber yang berpotensi memiliki
dampak penting bagi lingkungan dalam rangka melindungi manusia dan lingkungan
hidup. Izin lingkungan merupakan prasyarat untuk memperoleh izin
usaha/kegiatan.45 Dengan demikian, izin usaha tidak dapat diterbitkan jika tidak
dilengkapi dengan izin lingkungan. Dalam hal izin lingkungannya dicabut, maka
izin usaha/kegiatan dibatalkan. Begitu pun jika terjadi perubahan, maka pelaku
usaha wajib memperbaharui izin lingkungan.46
Izin lingkungan berdasarkan UU PPLH merupakan persetujuan dari
penguasa untuk dalam keadaan tertentu memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan,
oleh karena usaha dan/atau kegiatan tersebut (berdasarkan kajian mengenai dampak
penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup
atau pengelolaan dan pemantauan terhadap kegiatan usaha dan/atau kegiatan yang
tidak berdampak penting terhadap lingkungan) layak lingkungan.
Dalam izin lingkungan, terdapat dokumen yang menjadi syarat
diterbitkannya suatu izin lingkungan. Dokumen tersebut terbagi menjadi tiga jenis
yakni: Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup untuk jenis kegiatan wajib
amdal dan Rekomendasi UKL-UPL untuk jenis kegiatan tidak wajib amdal tetapi
wajib UKL-UPL47 serta Surat Pernyataan kesanggupan Pengelolaan Lingkungan
Hidup untuk jenis usaha/kegiatan yang tidak wajib amdal dan UKL-UPL.48 Dengan
demikian, saat ini izin lingkungan berfungsi selaku ujung tombak instrumen hukum
sebagai pengarah, perekayasa, dan perancang pelaku usaha dan/atau kegiatan untuk
mencapai tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dan untuk
menanggulangi masalah lingkungan disebabkan aktivitas manusia yang melekat

45
Ibid, Ps. 40.
46
Syamsul Arifin, Sanksi Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia,
(Jakarta: PT. Sofmedia, 2012), hlm. 107-108.
47
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Ps. 36
ayat (2).
48
Ibid., Ps. 35.
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

dengan dasar izin dan juga dapat berfungsi sebagai sarana yuridis untuk mencegah
serta menanggulangi pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Di samping berfungsi sebagai suatu instrumen penting dalam pengelolaan
lingkungan, izin lingkungan juga mengintegrasikan izin pengelolaan lingkungan
yang ada. Dalam pengaturan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009, hanya dikenal
satu izin terkait pengelolaan lingkungan yakni izin lingkungan. Izin pengelolaan
lingkungan yang ada sebelum disahkannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
harus diintegrasikan ke dalam izin lingkungan.49 Namun, birokrasi perizinan yang
panjang dan berbelit-belit ini dianggap menghambat investasi, sehingga pemerintah
berencana untuk menyederhanakan birokrasi perizinan salah satunya izin
lingkungan.
Dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja, istilah izin lingkungan dihapus dan
diperkenalkan istilah baru yang disebut dengan persetujuan lingkungan.
Persetujuan lingkungan adalah Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau
Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup.50 Dalam Omnibus Law
RUU Cipta Kerja, persetujuan lingkungan yang berupa Keputusan Kelayakan
Lingkungan Hidup atau Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup
menjadi syarat untuk memperoleh perizinan berusaha. Sekilas pengaturan tersebut
sama dengan pengaturan terkait dengan izin lingkungan dalam UU No. 32 Tahun
2009 yang menjadi syarat untuk memperoleh izin usaha. Namun, persetujuan
lingkungan dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja pada dasarnya menimbulkan
masalah. Masalah pertama terletak pada definisi persetujuan lingkungan yang
berbentuk Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Pernyataan Kesanggupan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Merujuk kepada Putusan Pengadilan Negeri Manado No.
284/Pid.B/2005/PN.Mdo terkait kasus Newmont Minahasa Raya, persetujuan
dianggap sama dengan izin. Sehingga, dengan demikian dapat dikatakan bahwa

49
Ibid., Ps. 123.
50
Lihat RUU Cipta Kerja, Ps. 23.
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

persetujuan lingkungan merupakan suatu bentuk keputusan tata usaha negara.51


Dikarenakan persetujuan dipersamakan dengan izin dan merupakan suatu
keputusan tata usaha negara, masalah kemudian muncul ketika Surat Pernyataan
Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup dianggap sebagai suatu persetujuan
lingkungan. Menurut Ogus, campur tangan pemerintah dalam penentuan kegiatan
individu dapat diuraikan ke dalam beberapa bentuk, dengan spektrum mulai dari
campur tangan paling ringan hingga bentuk yang paling intervensionis.52 Bentuk
campur tangan pemerintah yang paling besar ialah dalam bentuk prior approval
atau izin. Berangkat dari hal tersebut, masyarakat dilarang untuk melakukan suatu
kegiatan kecuali mereka telah memperoleh izin atau persetujuan dari pemerintah.
Untuk memperoleh izin atau persetujuan pemerintah tersebut, harus dipenuhi
berbagai persyaratan. Bentuk persetujuan ini dapat berupa izin, lisensi atau
sertifikasi.53 Selain ketiga bentuk tersebut, bentuk lainnya yang dikenal dalam
hukum administrasi negara adalah konsesi dan dispensasi.54 Perlu juga dinyatakan
bahwa persetujuan tertulis dari aparat pemerintah yang berwenang dapat dianggap
sebagai sebuah izin.55
Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan
suatu pernyataan kesanggupan yang dibuat oleh pelaku usaha/kegiatan untuk
menjamin bahwa usaha/kegiatan yang akan dilakukan tidak akan menimbulkan
dampak terhadap lingkungan. Dokumen ini bersifat self-declaration dan bukan
merupakan suatu keputusan tata usaha negara karena tidak dikeluarkan oleh pejabat

51
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan
final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Lihat Indonesia,
Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 51 Tahun 2009, Ps. 1 angka 9.
52
Anthony Ogus, Regulation: Legal Form and Economic Theory (Hart Publishing, 2004),
hlm. 150-151.
53
Alexander Kiss dan Dinah Shelton, International Environmental Law Transnational,
(Pub Inc, 1991), hlm. 119-127.
54
Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, (Ghalia Indonesia, 1981)
55
Lihat Putusan PN Manado No. 284/Pid.B/2005/PN.Mdo, hlm. 190-191 dan 264-265
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

tata usaha negara. Perubahan izin lingkungan yang berbentuk izin menjadi
persetujuan lingkungan dalam bentuk Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup
atau Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup tentu saja tidak
sesuai dengan pengertian keputusan yang dikenal dalam Hukum Administrasi
Negara.
Pemerintah tidak memiliki wewenang untuk membuat Surat Pernyataan
Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup ataupun mengesahkannya karena
dokumen tersebut merupakan suatu bentuk pernyataan dari pelaku usaha/kegiatan
sedangkan persetujuan lingkungan merupakan suatu keputusan. Maka dari itu, tidak
tepat untuk menempatkan Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan
Hidup ke dalam persetujuan lingkungan. Selain tidak sesuai dengan pengertian
persetujuan lingkungan yang merupakan keputusan, masalah juga akan timbul
ketika terdapat gugatan yang diajukan terhadap persetujuan lingkungan, maka Surat
Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak dapat digugat
karena dokumen tersebut bukan merupakan keputusan tata usaha negara sehingga
tidak dapat digugat melalui pengadilan tata usaha negara.
Selain itu, permasalahan lain terkait persetujuan lingkungan yaitu mengenai
pengintegrasian izin-izin pengelolaan lingkungan. Karena yang dianggap sebagai
persetujuan lingkungan dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja hanya Keputusan
Kelayakan Lingkungan Hidup atau Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan
Lingkungan Hidup maka izin-izin pengelolaan lingkungan seperti izin dumping,
izin emisi tidak termasuk ke dalam persetujuan lingkungan. Berangkat dari tujuan
Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang hendak memangkas birokrasi dengan
menghapus izin lingkungan kemudian mengubahnya menjadi persetujuan
lingkungan guna menciptakan efisiensi dalam berinvestasi, maka tujuan tersebut
tidak akan tercapai. Hal ini disebabkan para pelaku usaha/kegiatan tetap harus
mengurus izin-izin pengelolaan lingkungan yang sebelumnya telah terintegrasi
dalam satu izin yakni izin lingkungan.
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

Maka dari itu, berbicara mengenai efisiensi jelas penghapusan izin


lingkungan ini kemudian menimbulkan polemik dan semakin memperpanjang
rantai birokrasi perizinan. Hal itu disebabkan karena pelaku usaha/kegiatan harus
mengurus kembali izin-izin pengelolaan lingkungan. Sehingga dalam Omnibus
Law RUU Cipta Kerja dikenal adanya tiga bentuk izin yaitu perizinan berusaha,
persetujuan lingkungan dan persetujuan atau izin pengelolaan lingkungan.
Persetujuan lingkungan juga secara sempit kemudian mengurangi partisipasi publik
dalam menganulir atau mengoreksi keputusan yang melanggar hukum yang
berkaitan dengan lingkungan hidup. Hal ini juga dapat dilihat pada pengaturan
dalam draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang menghapus ketentuan Pasal 38
UU PPLH, yang menyatakan izin lingkungan dapat dibatalkan melalui keputusan
pengadilan tata usaha negara. Padahal, dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-
luasnya untuk berperan aktif.56 Persetujuan lingkungan yang merupakan salah satu
bentuk izin, seharusnya memberi peluang kepada masyarakat untuk berpartisipasi
dengan memberikan saran, tanggapan dan/atau pendapat.
Hakikatnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup memerlukan
sistem pengaturan yang menyeluruh, termasuk di dalamnya pilihan instrumen
pengelolaan lingkungan hidup yang tepat dan komprehensif.57 Dalam pengelolaan
lingkungan hidup, aspek pencegahan menjadi penting agar tidak terjadi dampak
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan. Oleh karena itu, pengaturan
lingkungan hidup mengandalkan standar yang terukur. Standar ditentukan oleh
pemerintah sebagai pedoman pengelolaan lingkungan hidup atau alat untuk
menentukan apa yang boleh dilakukan oleh individu dan pelaku usaha. 58 Untuk

56
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Ps. 70
ayat (1).
57
Alexander Kiss dan Dinah Shelton, International Environmental Law Transnational,
(Pub Inc, 1991), hlm. 91.
58
S. Bell and McGillivray. D, Environmental Law, (Oxford University Press, 2005), hlm.
239.
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

mencapai standar tersebut, salah satu bentuk instrumen yang dapat digunakan
adalah izin.
Izin memberikan diskresi tertentu kepada masyarakat yang akan melakukan
usaha/kegiatan sesuai dengan kondisi setempat. Secara tradisional izin dianggap
sebagai instrumen penting dalam rangka pengendalian kegiatan atau usaha. Sutedi
dalam bukunya menguraikan beberapa fungsi izin, di antaranya sebagai berikut.
Pertama, fungsi penertib. Dalam hal ini izin berguna untuk memastikan bahwa
tempat dan bentuk kegiatan/usaha masyarakat tidak saling bertentangan. Kedua,
fungsi pengatur, yaitu untuk memastikan bahwa izin dilaksanakan sesuai dengan
peruntukannya dan tidak terdapat penyalahgunaan peruntukkan tersebut. Dalam hal
ini, izin merupakan instrumen hukum yang dimiliki pemerintah untuk mengatur dan
mendorong agar warganya mau bertindak sesuai dengan tujuan konkret tertentu
yang diinginkan pemerintah. Ketiga, izin juga dapat memiliki fungsi pembinaan,
dalam arti bahwa izin sebenarnya menunjukkan pengakuan dari pemerintah bahwa
pemegang izin telah memenuhi syarat dan kompetensi untuk melakukan
kegiatan/usaha yang diizinkan. Keempat, izin juga dapat berfungsi sebagai
instrumen rekayasa pembangunan. Dalam hal ini, izin merupakan bagian dari
regulasi yang dibuat oleh pemerintah dalam rangka memberikan insentif bagi
pembangunan. Kelima, izin dapat memiliki fungsi pendapatan (budgetary), yaitu
sebagai sumber pendapatan negara.59
Dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup, perizinan lingkungan di
Indonesia memiliki arti yang penting di dalam pengelolaan lingkungan. Pada satu
sisi, perizinan lingkungan dapat berbentuk pemberian persetujuan/izin bagi
pembuangan limbah ke media lingkungan.60 Dari perubahan mekanisme izin
lingkungan tersebut, sistem perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
menjadi semakin tidak pasti mengingat proses politik yang sering kali menghambat

59
Adrian Sutedi, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik (Jakarta: Sinar Grafika,
2015), hlm. 193-200.
60
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, cet. 17 (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2002), hlm. 295.
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

pemerintahan yang berdasarkan sains. Sebagai contoh dapat kita lihat bagaimana
pemerintah melindungi potensi dampak negatif PLTU batu bara.
Dalam pengelolaan limbah PLTU batu bara, harus mematuhi ketetapan
pemerintah yang menentukan baku mutu air laut melalui Kepmen LH No. 51 Tahun
2004, baku mutu air limbah pada Permen LH No. 8 Tahun 2009, dan baku mutu air
lindi pada Permen LH No. 63 Tahun 2016. Permen LH No. 8 Tahun 2009 ditujukan
untuk pengendalian kegiatan yang menghasilkan pencemaran dan perusakan
lingkungan, namun ketika limbah yang dimaksud dibuang ke laut, baku mutu
Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 adalah baku mutu yang digunakan, dimana baku
mutu suhu air laut adalah standar yang sesuai kondisi normal suatu lingkungan,
sehingga perubahan suhu yang diperbolehkan <2ºC dan dengan rata-rata suhu air
laut di Indonesia sebesar 29,5ºC maka suhu maksimal yang tidak mengganggu
ekosistem laut adalah 31,5 ºC.61 Permen LH No.8 Tahun 2009 menentukan baku
mutu yang tidak sesuai dengan kriteria itu, pada kebijakan itu suhu maksimal adalah
40 ºC. Kenaikan suhu yang tidak normal dapat mengganggu biota laut. Pada
penelitian yang dilakukan pantai Desa Punagaya, perubahan suhu dari 28ºC-29 ºC
menjadi 29,7 ºC-33,4ºC menurunkan indeks keanekaragaman menjadi 0,83 yang
tergolong tecemar berat karena tekanan lingkungan yang tinggi.62 Kasus itu
membuktikan bahwa masih ada kebijakan yang tidak sesuai dengan sains, sehingga
perizinan dengan pelaksanaan usaha yang hanya perlu mematuhi standar
dikhawatirkan menimbulkan kesalahan baku mutu.
Dengan adanya kewajiban untuk memenuhi hak atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat, maka upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan melalui
instrumen perizinan lingkungan mendorong pemerintah untuk menjaga,
memelihara, memulihkan dan melindungi lingkungan. Selain itu, izin lingkungan

61
Angela Rustandi dan Ohiongyl Pandapotan, “Urgensi Peraturan Khusus Mengenai Baku
Mutu Pembuangan Air Limbah PLTU Batubara ke Laut,” (Kertas Kebijakan,Indonesian Center for
Environmental Law (2018), hlm. 17-18.
62
Wardoyo, Kriteria Kualitas Air Untuk Keperluan Pertanian dan Perikanan (Bogor:
Institut Pertanian Bogor, 2009).
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

juga telah membentuk suatu efisiensi perizinan yang mengintegrasikan kewajiban


dan izin pengelolaan lingkungan dalam satu izin saja sekaligus membuka partisipasi
masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sehingga dapat
mencegah kasus-kasus seperti PLTU batu bara yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Kriteria AMDAL Dihilangkan dan AMDAL Harus Berdampak Penting Bagi


Banyak Sektor

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa sistem perizinan


merupakan salah satu sarana yuridis administratif yang digunakan untuk mencegah
pencemaran dan kerusakan lingkungan, sehingga perlu diketahui bahwa dalam
proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan kegiatan,
diperlukan suatu kajian mengenai dampak suatu usaha dan kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup bernama analisis mengenai dampak
lingkungan hidup atau Amdal.63 Dokumen Amdal merupakan suatu instrumen
penting dalam hukum lingkungan di Indonesia. Secara definitif, Amdal adalah
dokumen yang bertujuan sebagai alat untuk merencanakan tindakan preventif
terhadap kerusakan lingkungan yang mungkin timbul oleh suatu aktivitas
pembangunan, sebagaimana pertama kali tertera pada National Environmental
Policy Act (NEPA) 1969.64 Definisi tersebut kemudian diadaptasi dalam Undang-
Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang
mengatakan bahwa Amdal dibutuhkan oleh usaha dan kegiatan yang dianggap
berdampak penting pada lingkungan sendiri.
Diksi “dampak penting” pada Pasal 22 UU PPLH tersebut memiliki
parameter tertentu yaitu: besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak
rencana usaha dan/atau kegiatan; luas wilayah penyebaran dampak, intensitas dan
lamanya dampak berlangsung; banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang

63
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Ps. 1
Angka 11.
64
Otto Soemarwoto, Analisis Dampak Lingkungan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1994), hlm. 43.
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

akan terkena dampak; sifat kumulatif dampak; berbalik atau tidak berbaliknya
dampak; dan/atau kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.65 Tidak hanya kriteria “dampak penting”, Undang-Undang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 23 juga mengatur kriteria usaha dan
kegiatan yang dianggap berdampak besar dan diwajibkan untuk memiliki Amdal
yaitu:66

a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;


b. eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang
tidak terbarukan;
c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan
dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya;
d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan
alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;
e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian
Kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar
budaya;
f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik;
g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati;
h. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi
pertahanan negara; dan/atau
i. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar
untuk mempengaruhi lingkungan hidup.

Dengan adanya kriteria terhadap usaha dan kegiatan yang wajib Amdal, maka
terdapat parameter yang jelas dalam penerapan pencegahan kerusakan lingkungan
secara yuridis. Hal ini penting agar tiap-tiap usaha yang melakukan suatu aktivitas

65
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan, Ps. 22.
66
Ibid, Ps. 23 ayat (1).
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

yang berpotensi merusak lingkungan, sebagaimana UU PPLH Pasal 22 mengatur


dampak dan Pasal 23 mengatur kriteria kegiatan, untuk ditinjau dari aspek
lingkungan sebelum melakukan usahanya agar dapat mencegah kerusakan yang
kemungkinan besar terjadi ketika usaha atau kegiatan hendak dilaksanakan.
Amdal yang diterapkan UU PPLH merupakan perangkat penting dalam
pencegahan pencemaran dan kerusakan lingkungan, akan tetapi Omnibus Law RUU
Cipta Kerja secara jelas tidak memprioritaskan hal tersebut. Dalam RUU Cipta
Kerja, Pasal 22 dan Pasal 23 dari UU PPLH digantikan oleh Pasal 23 angka 3, yang
mana parameter diksi “dampak penting” serta kriteria usaha dan kegiatan yang
wajib Amdal dihapuskan.67 Pasal 23 angka 3 RUU tersebut juga hanya
menggunakan kata hubung “dan” sehingga menimbulkan potensi untuk semakin
memangkas kegiatan-kegiatan yang wajib Amdal tanpa mempertimbangkan aspek
lingkungan hidup. Selain itu, penambahan frasa “lingkungan hidup, sosial,
ekonomi, dan budaya” dapat berimplikasi pada penurunan kepentingan lingkungan
hidup karena harus berkompromi dengan aspek lainnya: ekonomi, sosial, dan
budaya.68
Perubahan yang terjadi antara UU PPLH dimana parameter “dampak
penting” dan kriteria Amdal yang awalnya jelas menjadi suatu kriteria yang abstrak
pada Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Amdal sebagai instrumen penting dalam
pencegahan kerusakan lingkungan yang dilemahkan pada RUU Cipta Kerja ini
menunjukan bagaimana pemerintah tidak lagi mempertimbangkan lingkungan
sebagai suatu aspek penting yang harus dijaga dan dikelola olehnya.

Dihapusnya Kewajiban Untuk Membuat AMDAL Bagi Perkebunan

Permasalahan lain mengenai amdal selain dihapuskannya kriteria dampak


penting pada Omnibus Law RUU Cipta Kerja adalah, ketentuan tentang kewajiban

67
Lihat Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, Ps. 23 angka 3.
68
Indonesian Center for Environmental Law, “Catatan Atas RUU Cipta Kerja”,
https://icel.or.id/wp-content/uploads/CATATAN-ATAS-RUU-CIPTA-KERJA-ICEL-
13.02.20.pdf, diakses pada 4 Maret 2020.
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

membuat amdal yang ada dalam Pasal 68 Undang-Undang Perkebunan dihapus.69


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa amdal merupakan tindakan
preventif terhadap kerusakan lingkungan yang mungkin timbul oleh suatu aktivitas
pembangunan.70 Karena merupakan suatu tindakan preventif terhadap kerusakan
lingkungan, maka amdal diperlukan dalam menjalankan usaha perkebunan. Muatan
yang ada pada amdal sesuai dengan Pasal 25 UU PPLH salah satunya adalah
pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau kegiatan. Hal tersebut senada
dengan definisi dari amdal sendiri yang menandakan bahwa segala usaha dan/atau
kegiatan yang memiliki dampak maka wajib untuk membuat amdal.
Amdal ini merupakan hal yang penting bagi perkebunan, karena seringkali
perkebunan mengeluarkan limbah yang dapat mencemari lingkungan. Salah satu
contoh adalah kasus yang terjadi di perkebunan kelapa sawit yang berada di
Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan. Dalam kasus tersebut, meskipun
perkebunan kelapa sawit sudah memiliki amdal, namun tetap saja banyak laporan
dan keluhan masyarakat yang datang terkait limbah perkebunan kelapa sawit dan
dampak lingkungannya.71 Perkebunan kelapa sawit tersebut memberikan masalah
berupa gagal tanam akibat saluran irigasi perusahaan perkebunan yang tidak sesuai
amdal. Permasalahan lain mengapa perkebunan memerlukan amdal adalah karena
perkebunan menggunakan pestisida yang notabene dapat menimbulkan
pencemaran lingkungan.72 Di lingkungan perairan, pencemaran air oleh pestisida
terjadi melalui aliran air dari tempat kegiatan manusia yang menggunakan pestisida
dalam usaha menaikkan produksi pertanian.73 Penggunaan pestisida juga dapat
mematikan fauna tanah sehingga menurunkan kesuburan tanah. Penggunaan pupuk

69
Ibid.
70
Otto Soemarwoto, Analisis Dampak Lingkungan, hlm. 43.
71
Romi Maradona, “AMDAL Perusahaan Perkebunan Sawit di OKI Bakal Dikaji Ulang”,
https://www.mongabay.co.id/2015/01/16/amdal-perusahaan-perkebunan-sawit-di-oki-bakal-dikaji-
ulang/, diakses 5 Maret 2020.
72
Retno Adriyani, “Usaha Pengendalian Pencemaran Lingkungan Akibat Penggunaan
Pestisida Pertanian” Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol. 3, No. 1 (JULI, 2006), hlm. 97.
73
Ibid.
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

pestisida terus-menerus dapat menyebabkan tanah menjadi lebih asam. Selain itu,
pemakaian pestisida secara nyata akan berakibat dampak buruk bagi tanah sekitar.74
Dengan tidak adanya kewajiban untuk membuat amdal, Omnibus Law RUU
Cipta Kerja juga mencabut Pasal 109 UU Perkebunan mengenai sanksi pidana bagi
perusahaan yang tidak membuat amdal. Padahal berdasarkan UU Perkebunan Pasal
2 huruf j dikatakan bahwa “perkebunan diselenggarakan dengan asas kelestarian
fungsi lingkungan hidup”.75 Penjelasan akan asas tersebut adalah penyelenggaraan
perkebunan harus menggunakan sarana, prasarana, tata cara, dan teknologi yang
tidak mengganggu fungsi lingkungan hidup, baik secara biologis, mekanis,
geologis, maupun kimiawi.76 Namun bagaimana cara untuk menjaga kelestarian
fungsi lingkungan hidup, jika tidak ada analisis mengenai dampak lingkungan yang
berfungsi sebagai tindakan preventif. Oleh karena itu penghapusan kewajiban untuk
membuat amdal dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja, sangat berpotensi untuk
memberikan dampak pencemaran bagi lingkungan yang mengurangi hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat hanya demi kemudahan berinvestasi.

Pelemahan Terhadap Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya


Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL)

Dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja, selain izin lingkungan dihapus dan
ketentuan Amdal dirubah, hal mengenai UKL-UPL juga mengalami pelemahan.
Hal ini dikarenakan pengaturan UKL-UPL dalam RUU Cipta Kerja berubah dari
yang ada di UU PPLH. Pelemahan ini terlihat dari naskah akademis RUU Cipta
Kerja yang menyebutkan dengan jelas bahwa dalam praktik pelaksanaannya,
usaha/kegiatan yang wajib amdal ataupun UKL-UPL membutuhkan waktu maupun

74
Dinas Pertanian Kabupaten Buleleng, “Pengaruh Penggunaan Pestisida Pada Tanah“,
https://bulelengkab.go.id/detail/artikel/pengaruh-penggunaan-pestisida-pada-tanah-45, diakses 5
Maret 2020.
75
Indonesia, Undang-Undang Perkebunan, UU No. 39 Tahun 2014, LN No. 308 Tahun
2014, TLN No. 5613, Ps. 2 huruf j.
76
Indonesia, Undang-Undang Perkebunan, Penjelasan Ps. 2 huruf j.
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

biaya yang cukup besar untuk menyelesaikan dokumen lingkungan tersebut.77


Sehingga memang tujuannya adalah untuk memudahkan penyelesaian izin
lingkungan.78
Definisi UKL-UPL sendiri dalam UU PPLH adalah pengelolaan dan
pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting
terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan
tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.79 Dalam UU PPLH, UKL-UPL
diatur dalam Pasal 34 yang menyebutkan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan
yang tidak termasuk dalam kriteria wajib amdal wajib memiliki UKL-UPL. Sesuai
dengan UU PPLH, terdapat tiga kategori dokumen berdasarkan jenis usaha, yaitu
usaha yang wajib amdal80, usaha yang tidak wajib amdal tapi wajib UKL-UPL81
dan tidak wajib amdal dan UKL-UPL.82 Usaha yang wajib amdal jika dipenuhi akan
mengeluarkan/menghasilkan surat keputusan kelayakan lingkungan hidup
(SKKLH). Sedangkan yang tidak wajib amdal tetapi wajib UKL-UPL akan
menghasilkan surat rekomendasi UKL-UPL. Lalu usaha yang tidak wajib amdal
dan tidak wajib UKL-UPL, wajib membuat surat pernyataan kesanggupan
pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (SPPLH).
Namun dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja pengaturan mengenai UKL-
UPL ini dibedakan. Dari segi definisi saja, UKL-UPL mengalami perubahan
dimana menjadi standar dalam pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha
dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup.83
Selain itu kategori dokumen berdasarkan jenis usaha dipangkas menjadi dua saja
yaitu yang wajib amdal dan tidak wajib amdal. Dalam kategori dokumen

77
Lihat Naskah Akademis RUU Cipta Kerja, hlm. 154.
78
Ibid., hlm. 157.
79
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Ps. 1
angka (12).
80
Ibid., Ps. 22 ayat (1).
81
Ibid., Ps. 34 ayat (1).
82
Ibid., Ps. 35 ayat (1).
83
Lihat Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, Ps. 1 angka (12).
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

berdasarkan jenis usaha yang tidak wajib amdal membuat surat pernyataan
kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (SPPLH). 84 Dengan
kata lain UKL-UPL yang nantinya akan mengeluarkan surat rekomendasi UKL-
UPL pada UU PPLH dihilangkan dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja diganti
dengan membuat SPPLH saja. Hal ini menunjukan bahwa terdapat suatu pelemahan
dalam dokumen perizinan lingkungan, yaitu dihilangkannya surat rekomendasi
UKL-UPL. Padahal bentuk surat rekomendasi UKL-UPL ini merupakan suatu
dokumen kajian lingkungan atas suatu rencana kegiatan dan/atau usaha yang
digunakan sebagai syarat dalam proses pengambilan keputusan.85 Surat
rekomendasi UKL-UPL ini diubah menjadi SPPLH, dimana SPPLH seperti yang
dijelaskan sebelumnya merupakan suatu surat yang dikeluarkan sendiri oleh
perusahaan terkait yang berbentuk (self declaration), bukan oleh tim teknis instansi
lingkungan hidup yang seharusnya menilai UKL-UPL.86 Oleh karena itu
pengeluaran SPPLH ini rawan dipermainkan oleh pengusaha demi kelancaran
usahanya.
Sejatinya surat rekomendasi UKL-UPL ini berfungsi sebagai suatu
pertimbangan dan arahan dalam rangka pengambilan keputusan perizinan atas
rencana usaha dan atau kegiatan. Usaha-usaha yang membutuhkan UKL-UPL
antara lain dalam bidang pertambangan, industri, perhubungan, peternakan,
pertanian dan sebagainya, dimana memang bisa menghasilkan dampak terhadap
lingkungan yang signifikan.87 Maka rekomendasi UKL-UPL yang diterbitkan oleh

84
Ibid., Ps. 23 angka (3).
85
Laode M. Syarif dan Andri G. Wibisana, eds., Hukum Lingkungan Teori, Legislasi dan
Studi Kasus, (Jakarta: USAID., s.a), hlm 139.
86
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Penjelasan Ps. 36 ayat (2).
87
Lihat Pedoman Pengisian Formulir UKL-UPL Dalam Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penyusunan
Dokumen Lingkungan Hidup
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup terutama


berisi pernyataan bahwa:88

1. Formulir isian UKL-UPL terlampir dapat digunakan sebagai acuan


dalam teknis pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup;
2. kewajiban pemrakarsa untuk melaporkan hasil pemantauan
pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan UKL-UPL secara
periodik (misalnya 6 bulan sekali);dan
3. rekomendasi ini menjadi syarat untuk memperoleh izin usaha dan
atau kegiatan.
Dengan hilangnya surat rekomendasi UKL-UPL dalam Omnibus Law RUU Cipta
Kerja, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pelemahan yang terjadi pada UKL-
UPL. Karena berkurangnya kategori dokumen usaha, dan output dari UKL-UPL
yang berubah.

Strict Liability Kebakaran Hutan Dihilangkan

Dalam penerapan hukum lingkungan di Indonesia, dikenal istilah strict


liability. Konsep dari strict liability atau “tanggung jawab mutlak” diadaptasi dari
konvensi internasional mengenai Civil Liability Convention for Oil Pollution
Damage pada tahun 1969 yang kemudian diratifikasi melalui Keputusan Presiden
No. 18 Tahun 1978.89 Secara definitif, strict liability dijelaskan melalui Pasal 88
UU No. 32 tahun 2009 atau Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang menyatakan:

Setiap orang yang tindakannya, usahanya dan/atau kegiatannya


menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau
yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung

88
Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat, “Apa isi Rekomendasi yang dikeluarkan oleh
instansi penanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup?”
http://dlh.jabarprov.go.id/index.php/faq/120-ukl-upl/193-apa-isi-rekomendasi-yang-dikeluarkan-
oleh-instansi-penanggung-jawab-di-bidang-pengelolaan-lingkungan-hidup, diakses 5 Maret 2020.
89
1969 Brussels Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage, 9 ILM 45 (1970).
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur
kesalahan.90
Berkaca pada pasal tersebut, dan kemudian dipertegas pada Penjelasan Pasal
88 di UU yang sama, bahwa strict liability menekankan bahwa unsur kesalahan
tidak perlu dibuktikan, tetapi yang dilihat secara otomatis adalah kerugian atau
kausalitasnya. Penjelasan pasal tersebut juga mengedepankan bahwa strict liability
yang diterapkan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang ini merupakan lex
specialis91 dari perbuatan melanggar hukum (PMH) pada umumnya.92
Perbuatan melanggar hukum, atau biasa disebut PMH, yang dimaksud
dalam penjelasan pasal terkait strict liability, merupakan salah satu dasar
pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan. Aturan PMH secara definitif adalah
setiap tindakan apapun dari manusia yang menyebabkan kerusakan pada orang lain,
mewajibkan dia atas kesalahan untuk memperbaikinya.93 Di Indonesia, PMH tertera
pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek Pasal 1365
yang berbunyi:

Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang


lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.94

Perbuatan melawan hukum menjadi salah satu dasar dari menggugat dalam kasus
perdata yang berlaku di Indonesia. Doktrin inilah yang mengakibatkan konsep strict
liability dianggap sebagai bagian dari PMH, walau pada kenyataannya perlu
dipahami bahwa konsep strict liability dan PMH merupakan dua hal yang berbeda.

90
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Ps. 88.
91
Bunyi Pasal 63 ayat (2) KUHP yang berbunyi “Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu
aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus
itulah yang diterapkan” menjadi basis dari asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu aturan
hukum yang lebih khusus mengesampingkan aturan hukum yang lebih umum.
92
Ibid, Penjelasan Ps. 88.
93
Andre Tunc, “Fault: A Common Name for Different Misdeeds”, Tulane Law Review,
Vol 49 (1975), hlm. 279.
94
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diterjemahkan oleh R. Subekti dan R.
Tjitrosudibio, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1982), Ps. 1365.
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

Jika dibandingkan dengan Indonesia, penerapan dari strict liability di negara


lain sangat berbeda dengan apa yang ditegakkan di negara ini. Mengambil contoh
di Amerika Serikat, hal tersebut terlihat dengan bagaimana dalam kasus-kasus
perdata terdapat upaya untuk membedakan strict liability dari negligence.95 Dalam
beberapa kasus apabila dilihat dari presedennya, tergugat bertanggung jawab atas
kerugian yang ditimbulkan dari perbuatannya walaupun ia tidak melakukan
negligence dan karenanya tidaklah bersalah.96 Akan tetapi, perbuatan tergugat tetap
digugat berdasarkan kausalitas yang diakibatkan dibanding dengan negligence-nya
karena unsur kesalahan atau kelalaian tersebut tidak perlu lagi untuk dibuktikan.
Maka dari itu, jika dilihat berdasarkan penerapan sebagaimana benarnya yang
terjadi di luar Indonesia, strict liability seharusnya terpisahkan oleh PMH. Undang-
Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengatakan bahwa
strict liability menjadi hukum yang lebih khusus daripada PMH adalah penjelasan
yang cacat dan menyesatkan. Penjelasan Pasal 88 UU PPLH No. 32 Tahun 2009
sendiri sudah menciptakan polemik yang mengakibatkan banyaknya kekeliruan
dalam penerapan strict liability di Indonesia, terlebih lagi dengan keberadaan
Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang hendak disahkan saat ini.
Strict liability didefinisikan ulang melalui Pasal 23 angka 35 di Omnibus
Law RUU Cipta Kerja menjadi:

Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya


menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau
yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung
jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.97

95
Negligence merupakan konsep yang dikaitkan dengan common law. Terdapat beberapa
unsur dari negligence yaitu kewajiban, pelanggaran kewajiban, kerugian pada diri penggugat, dan
hubungan kausalitas antara perbuatan negligence dari tergugat. Terdapat kemiripan antara konsep
negligence dengan PMH pada civil law.
96
Andri G. Wibisana, Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Pertanggungjawaban
Perdata, (Depok: BP-FHUI, 2017).
97
Lihat Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, Ps. 23 angka 35.
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

Perbedaan yang dapat dilihat adalah bagaimana kata “tanpa perlu pembuktian unsur
kesalahan” yang sebelumnya ada pada Pasal 88 UU PPLH dihapuskan. Perubahan
yang dilakukan pada pasal tersebut berpotensi besar mengaburkan pengertian
pertanggungjawaban mutlak atau strict liability sendiri sebab kalimat “tanpa perlu
pembuktian unsur kesalahan” merupakan penjelasan yang penting terhadap apa itu
konsep pertanggungjawaban mutlak. Terlebih lagi, jika melihat penjelasan pasal
dari Pasal 23 angka 35 Omnibus Law RUU Cipta Kerja, segala pengertian mengenai
strict liability dihapuskan menjadi “cukup jelas”. Tanpa pengertian apapun dalam
penjelasan pasal, konsep strict liability atau tanggung jawab mutlak tidak lagi
didefinisikan secara jelas dan eksplisit.
Selain Pasal 23 angka 35, RUU Cipta kerja juga merubah Undang-Undang
Kehutanan Pasal 49 yang berbunyi, “Pemegang hak atau izin bertanggung jawab
atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya.”98 menjadi Pasal 37 angka 16
pada RUU Cipta Kerja yaitu, “Pemegang hak atau Perizinan Berusaha wajib
melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan di areal
kerjanya.”99 Pada pasal yang diganti tersebut, pemegang izin tidak lagi diwajibkan
untuk memiliki tanggung jawab atas kebakaran hutan yang terjadi di area kerjanya
dan hanya diwajibkan melakukan suatu upaya pencegahan dan pengendalian
kebakaran hutan di area kerjanya saja.100 Perubahan signifikan antara frasa
“bertanggung jawab” pada Pasal 49 dan diubah menjadi “melakukan upaya
pencegahan dan pengendalian” secara jelas menghilangkan beban bagi pemegang
izin kegiatan yang notabenenya berpotensi menimbulkan kebakaran atas kausalitas
yang diakibatkannya.
Hal ini mengacu kembali pada Pasal 88 UU PPLH terkait strict liability
yang dikenakan pada kegiatan atau usaha yang menimbulkan ancaman serius

98
Indonesia, Undang-Undang Kehutanan, UU No.41 Tahun 1999, LN No.167 Tahun
1999, TLN No. 3888, Ps. 49.
99
Lihat Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, Ps. 37 angka 16.
100
Indonesian Center for Environmental Law, “Catatan Atas RUU Cipta Kerja”,
https://icel.or.id/wp-content/uploads/CATATAN-ATAS-RUU-CIPTA-KERJA-ICEL-
13.02.20.pdf, diakses pada 2 Maret 2020.
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

terhadap lingkungan hidup, yang mana dalam konteks ini merupakan kebakaran
hutan. RUU Cipta Kerja yang menghilangkan makna dari strict liability serta
menghapuskan kewajiban pemegang izin usaha untuk bertanggung jawab atas
kebakaran hutan justru berpotensi meningkatkan kesewenang-wenangan dari
pelaku usaha. Kerusakan lingkungan menjadi suatu posibilitas yang tinggi dengan
tidak adanya kewajiban dari pemegang izin usaha untuk bertanggung jawab atas
kausalitas yang diakibatkannya. RUU Cipta Kerja seolah mengesampingkan
pentingnya lingkungan hidup dibanding dengan pengusaha-pengusaha yang
merusaknya.

Kembalinya Sentralisasi Oleh Pemerintah Pusat dan Berkurangnya


Partisipasi Masyarakat dan Kearifan Lokal.

Sistem pemerintahan Indonesia terdiri atas pemerintahan pusat dan


pemerintah daerah yang diatur dalam Pasal 18 UUD 1945 mengenai Pemerintah
Daerah.101 Lahirnya bentuk pemerintahan pusat-daerah di Indonesia secara filosofis
dikarenakan beberapa hal diantaranya: Pertama, wilayah negara yang terlalu luas
sehingga sangat tidak memungkinkan adanya kontrol yang baik, pelayanan publik,
dan lain-lain secara merata ke seluruh wilayah negara. Kedua, cita-cita
kesejahteraan terhadap seluruh rakyat secara demokratis sangat susah untuk
dicapai.102
Dalam Pasal 18A UUD 1945 disebutkan secara jelas tentang hubungan
wewenang dan keuangan antara pusat dan daerah adalah sebagai berikut:

1. Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah


daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antara provinsi dan

101
Lihat Pasal 18 UUD 1945.
102
Abdul Rauf Alauddin Said, “Pembagian Kewenangan Pemerintah Pusat-Pemerintah
Daerah Dalam Otonomi Seluas-Luasnya Menurut UUD 1945,” Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum 9
(Oktober-November 2015). Hlm. 579.
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan


memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah; dan
2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya
alam lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur
dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-
undang.

Berdasarkan aturan diatas, maka dapat dikatakan bahwa secara garis besar
hubungan antara pusat dan daerah, baik yang menyangkut hubungan kewenangan
maupun keuangan harus dilaksanakan secara adil, selaras, dan memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah serta harus diatur dengan undang-undang.103
Terkait kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, di dalam Pasal
63 UU PPLH diatur mengenai tugas dan wewenang dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah.104
Namun pada Omnibus Law RUU Cipta Kerja seluruh kewenangan bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sepenuhnya menjadi kewenangan
dari Pemerintah Pusat. Dihilangkannya kewenangan Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota diatas berpotensi memberikan dampak buruk bagi
lingkungan hidup, mencederai otonomi daerah, partisipasi masyarakat dan kearifan
lokal.
Desentralisasi kewenangan yang diusung di dalam UU PPLH mulanya
diharapkan dapat mendekatkan proses pengambilan kebijakan kepada masyarakat
sehingga akuntabilitas dapat lebih terjamin dan memberikan manfaat sebesar-
besarnya untuk masyarakat di daerah. Selain itu, dengan desentralisasi diharapkan
agar pengambilan keputusan terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dapat diintegrasikan ke dalam pengambilan keputusan
pembangunan di daerah yang kewenangannya semakin menguat seiring dengan

103
Ibid.
104
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Ps. 63.
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

pergeseran sistem pemerintahan. Pemerintah daerah juga diasumsikan lebih


memahami karakteristik lingkungan hidup maupun masyarakatnya. Oleh karena
itu, di dalam UU PPLH fungsi utama pemerintah ialah sebatas merumuskan
kebijakan serta melakukan pengawasan dan penegakan hukum, sedangkan untuk
pelaksanaan kebijakan diserahkan kepada pemerintah daerah sesuai dengan
ketentuan otonomi daerah dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan peraturan pelaksanaannya.105
Dengan dihilangkannya tugas dan wewenang dari pemerintahan daerah
tersebut juga akan menggugurkan kearifan lokal dari masing-masing daerah dalam
pembangunan. Pencantuman asas kearifan lokal di dalam UU PPLH memiliki
implikasi bahwa kearifan lokal yang berkembang perlu senantiasa digali dan
dijadikan sebagai pertimbangan dalam kebijakan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan. Secara tidak langsung, Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini tidak
menghormati hukum lokal yang berkembang dalam rangka pengambilan kebijakan
untuk tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.106

Perencanaan Tata Ruang Wilayah Mengenyampingkan KLHS

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup menggunakan tata ruang sebagai instrumen pencegahan
pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Di dalam Pasal 19 ayat (1) UU PPLH
disebutkan: “Untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan
masyarakat, setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan pada
KLHS.”107 Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) adalah rangkaian analisis
yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan prinsip
pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam

105
Raynaldo Sembiring, et al., Anotasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Jakarta: Indonesian Center for Enviromental
Law (ICEL), 2014), hlm. 70.
106
Ibid, hlm.64.
107
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Ps. 19
Ayat (1).
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.108


Instansi yang berwenang menyusun KLHS adalah Pemerintah, Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan wilayah administratifnya. Namun
dalam kewenangan penyusunan harus saling berkaitan dan saling mendukung agar
terjadi keserasian dan keharmonisan kondisi dan wilayahnya.109
KLHS sebagai rangkaian analisis yang sistematis tentang potensi
lingkungan hidup berisi tentang:110

1. Kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk


pembangunan;
2. Perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup;
3. Kinerja layanan/jasa ekosistem;
4. Efisiensi pemanfaatan sumber daya alam
5. Tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan
iklim; dan
6. Tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.

Penyusunan KLHS didasarkan untuk pemerintah dan/atau pemerintah daerah dalam


menyusun program pembangunan. Apabila KLHS menyatakan bahwa daya dukung
dan daya tampung sudah terlampaui, maka pemerintah dan/atau pemerintah daerah
wajib memperbaiki sesuai dengan rekomendasi KLHS dan menghentikan segala
usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung dan daya tampung.111
Di dalam UU PPLH, pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota wajib menyusun KLHS sebagai bentuk pencegahan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang selama ini upaya pencegahan kerusakan

108
Ibid, Ps. 1.
109
Ibid, Ps. 15 Ayat (1).
110
Ibid, Ps. 16.
111
Ibid, Ps. 17 Ayat (2).
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

lingkungan akibat pembangunan hanya didasarkan pada Analisis Mengenai


Dampak Lingkungan (AMDAL).112
Prof. Soedarto di dalam sidang pembahasan RUU PLH agenda RDPU pada
tanggal 15 Juli 2009 menuturkan bahwa KLHS di luar negeri adalah sebuah kajian
tahap awal kebijakan, yaitu tahapan awal dari perencanaan. Tahapan ini merupakan
tahap dimana desain proyek pertama kali disusun. Berkaitan dengan itu, AMDAL
sebagai instrumen pencegahan yang telah lebih dahulu diberlakukan dirasa tidak
dapat mencegah terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan pada tahapan
perencanaan tersebut. Beliau berpendapat bahwa AMDAL tidak dapat
mempengaruhi desain proyek, sehingga dalam konteks ini AMDAL adalah
instrumen yang “terlambat”. Oleh karena itu, diperlukan instrumen baru yang
menempatkan KLHS lebih dahulu daripada AMDAL.113
Seperti yang telah disebutkan di atas, Undang-Undang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup mewajibkan pemerintah dan pemerintah daerah
untuk membuat KLHS yang bertujuan untuk memastikan bahwa prinsip
pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam
pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.
Dengan kata lain, dapat terlihat bahwa KLHS merupakan “dokumen kelayakan
lingkungan” yang disusun dan dimiliki oleh pemerintah, untuk selanjutnya menjadi
pedoman dalam pengelolaan lingkungan hidup.114
Terkait dengan perencanaan pembangunan yang sesuai dengan peruntukan
ruang dan wilayah yang sudah ditetapkan, posisi KLHS yang strategis tersebut
mengharuskan perlunya integrasi dari KLHS ke dalam penyusunan atau evaluasi:

a. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), beserta rencana rincinya,


Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), dan Rencana

112
Laode M. Syarif dan Andri G. Wibisana, Hukum Lingkungan Teori, Legislasi, dan Studi
Kasus,
113
Ibid
114
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Ps. 15
dan 18 Ayat (1).
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) nasional, provinsi, dan


kabupaten/kota; dan
b. Kebijakan, rencana dan/atau program yang berpotensi menimbulkan
dampak dan/atau risiko lingkungan hidup.115
Dari penjelasan di atas dapat ditarik sebuah keterkaitan antara KLHS
dengan penataan ruang sebagai suatu sistem proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Di dalam Undang-
Undang Penataan Ruang sendiri telah ditegaskan bahwa penyusunan Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota wajib
memperhatikan daya dukung dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Dalam
UU PPLH sendiri ditegaskan setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib
didasarkan pada KLHS, untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan
keselamatan masyarakat. Ketersinggungan yang erat ini sekaligus menjadi dasar
kebijakan saat ini, dimana posisi produk RTRW dapat dijadikan substitusi produk
KLHS, sehingga suatu daerah yang sudah memiliki Perda RTRW tidak harus
mengeluarkan Perda khusus tentang KLHS.116
Di dalam Pasal 18 angka 9 mengenai penambahan Pasal 14A dalam UU
Penataan Ruang pada Omnibus Law RUU Cipta Kerja diatur bahwa dalam
penyusunan Tata Ruang, KLHS hanya menjadi bahan pertimbangan dengan adanya
kata “memperhatikan” dalam pasal. Dengan redaksional pasal tersebut berpotensi

115
Ibid, Ps. 15 Ayat (2).
116
Hal ini dilakukan mengingat bahwa banyak pemerintah daerah yang mengalami kendala
dan kesulitan dalam penyusunan KLHS mengingat tidak adanya acuan format baku produk kajian
tersebut. Pemerintah Pusat sendiri mendasarkan pada arah kebijakan bahwa KLHS semestinya
menjadi suatu dokumen “refleksi” dari rencana strategis kondisi lingkungan dan sumber daya alam
daerah serta rencana pengelolaan yang akan diterapkan. Sehingga daerah diberikan “kebebasan”
untuk menyusun KLHS sesuai dengan karakteristik wilayah (berbasis ekoregion) yang ada.
Sementara di sisi lain, pemerintah daerah mengharapkan pemerintah pusat mengeluarkan suatu
acuan resmi mengenai susunan, dan format baku dari KLHS itu sendiri, sehingga ada kesamaan
bentuk. Hal ini berujung pada minimnya pencapaian KLHS oleh daerah. Sinergi juga terlihat di
dalam pengaturan teknis KLHS yang dituangkan di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 67
Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan KLHS dalam Penyusunan atau Evaluasi Rencana
Pembangunan Daerah yang sekaligus memperjelas pedoman umum KLHS yang tertuang dalam
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 06 Tahun 2011.
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

KLHS dan RTRW disusun secara paralel sehingga KLHS tidak menjadi dokumen
acuan dalam penyusunan RTRW atau bahkan tidak menjadi pertimbangan.117 Pasal
18 angka 9 di dalam Omnibus Law tersebut telah bertentangan dengan semangat
yang dibawa oleh UU PPLH yang menjadikan tata ruang sebagai instrumen
pencegahan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dimana setiap
perencanaan tata ruang wilayah harus didasarkan oleh KLHS yang berisikan
Kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan.
Daya dukung dan daya tampung lingkungan memiliki fungsi strategis dalam
mengkaji suatu ekosistem bahkan kawasan secara mikro. Hasil perhitungan daya
dukung dan daya tampung lingkungan memegang peran penting seperti:

a. Memberikan rekomendasi dalam rangka perbaikan lingkungan dan


memberi gambaran kesesuaian lahan yang akan dicapai apabila
dilakukan usaha-usaha perbaikan.
b. Evaluasi terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
c. Alat perencanaan pembangunan. Hasil analisa daya dukung
lingkungan merupakan salah satu instrumen perencanaan
pembangunan yang memberikan gambaran terhadap hubungan
antara penduduk, lingkungan, dan penggunaan lahan.118
Dengan tidak lagi menjadikan KLHS sebagai dasar acuan dalam perencanaan tata
ruang wilayah maka berpotensi untuk mereduksi integrasi KLHS dalam
perencanaan tata ruang sehingga dapat mengancam prinsip pembangunan
berkelanjutan dalam penyusunan tata ruang dan mengesampingkan daya dukung
dan daya tampung lingkungan dalam perencanaan tata ruang.

117
Indonesian Center for Environmental Law, “Catatan Atas RUU Cipta Kerja”,
https://icel.or.id/wp-content/uploads/CATATAN-ATAS-RUU-CIPTA-KERJA-ICEL-
13.02.20.pdf, diakses pada 2 Maret 2020.
118
Widodo Brontowijoyo, KLHS untuk RTRW dengan Pendekatan Daya Dukung
Lingkungan
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

Dampak Lingkungan Jika RUU Cipta Kerja Disahkan

Selain itu RUU Cipta Kerja juga memberikan dampak pada bidang
keanekaragaman hayati. Pasal 66 angka 8 RUU Cipta Kerja mengubah Pasal 77 UU
tentang pangan. Pasal tersebut berubah menjadi “Setiap Orang dilarang
memproduksi Pangan yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.” Permasalahan yang ada
pada perubahan ini adalah produksi pangan yang dihasilkan dari rekayasa genetik
hanya perlu memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. Sebelumnya
pangan hasil rekayasa genetik perlu persetujuan keamanan pangan dari pemerintah,
perubahan ini melonggarkan pencegahan masalah lingkungan yang disebabkan
oleh organisme hasil rekayasa genetik. Dibalik keunggulan yang diperoleh dari
pemanfaatan Genetically Modified Organism (GMO), terdapat konsekuensi negatif
yang perlu diperhatikan. Pangan hasil rekayasa genetik dapat mencemari
lingkungan, kebocoran gen, dan hibridisasi liar119 dan karena itu pemerintah perlu
menjaga keamanan setiap produknya.

119
Yunus Emre Arvas dan Yilmaz Kaya, “Potential Impact of Genetically Modified Plants
on Biodiversity,” Yuzuncu Yil University Journal of Agricultural Sciences, (2009), hlm. 168-177.
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

Gambar 2. Dampak aktivitas manusia terhadap daerah aliran sungai

RUU Cipta Kerja juga menghilangkan batas minimum 30% luas kawasan
hutan yang harus dipertahankan untuk setiap Daerah Aliran Sungai (DAS) dan/atau
pulau. Hal itu tertuang pada Pasal 37 angka 3. Pada pasal tersebut hanya tertulis
pemerintah pusat lah yang berhak menetapkan dan mempertahankan kecukupan
luas. Pengaturan luas kawasan yang harus dipertahankan akan disesuaikan kondisi
fisik dan geografis DAS dan/atau pulau. Kebijakan tersebut sudah tepat namun
tidak ada kepastian bahwa informasi kondisi fisik dan geografis yang diterima oleh
pemerintah sudah sesuai dan menyeluruh, mengingat DAS adalah sebuah sistem
hidrologi yang dimulai dari turunnya hujan dan prosesnya terjadi dari hulu ke hilir.
DAS merupakan sistem terbuka, dalam artian kondisi suatu DAS akan berdampak
pada DAS sekitarnya. Melonggarnya kehati-hatian dengan menetapkan batas
minimum 30% sama saja menghilangkan kehati-hatian akan masalah kekeringan
hidrologis akibat penggundulan hutan. Dinamika perubahan penggunaan dan
tutupan lahan dipengaruhi oleh faktor sosioekonomi dan kebijakan penggunaan
lahan oleh pemerintah.120 Dinamika itu akan mengurangi kelembaban tanah dan
mendorong kekeringan sebab hasil air akan meningkat dan habis dengan cepat.121
Akomodasi kawasan lindung sumber daya alam sebagai upaya konservasi
tertuang pada rencana tata ruang wilayah (RTRW). Konteks pengelolaan sumber
daya alam yang berkelanjutan pada proses perencanaannya membutuhkan kerangka
jangka panjang, mengintegrasikan lintas sektor, mengintegrasikan lintas batas, dan
kelestarian serta neraca sumber daya alam.122 Upaya pengelolaan ini akan
dilemahkan dengan RUU Cipta Kerja pasal 30 angka 1 yang tidak
mempertimbangkan kesesuaian ruang, ketersedian lahan, dan kondisi geografis;

120
Abubaker Omer et al., “Natural and anthropogenic influences on the recent droughts in
Yellow River Basin, China”, Science of the Total Environment 704, (2020): 135428.
121
C Asdak, “DAS sebagai Satuan Monitoring dan Evaluasi Lingkungan: Air sebagai
Indikator Sentral”, (makalah disampaikan pada Seminar Sehari PERSAKI DAS sebagai Satuan
perencanaan Terpadu dalam Pengelolaan Sumber Daya Air, Jakarta, 21 Desember 1999).
122
Indra B Syawmil, “Peran Perencanaan Tata Ruang Dalam Pengelolaan Sumber Daya
Alam”, Capacity Building for decentralization natural resources management. (2003), hlm. 2-6.
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

pasal 30 angka 14 yang menghapus kewajiban kesesuaian RTRW.123 RTRW yang


sudah ada memiliki potensi ketidaksesuaian dalam pelaksanaannya karena
ketersediaan fasilitas, tingkat keamanan lokasi, tingginya tingkat pendapatan
daerah, kesempatan kerja yang besar, dan kedekatan tempat bekerja.124 Hilangnya
kewajiban RTRW akan membiarkan ketidaksesuaian yang berujung pada buruknya
pengelolaan lingkungan hidup.

Penindakan Permasalahan Lingkungan yang Melemah pada RUU Cipta


Kerja

Dalam mengupayakan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup,


masyarakat memiliki hak untuk mengawasi dan melakukan penegakan hukum di
sektor lingkungan hidup. Untuk mendukungnya pemerintah bertanggungjawab
menyediakan transparansi pengawasan berupa akses dampak lingkungan hidup dari
kegiatan perusahaan.
Selain akses pengawasan, pengenaan sanksi juga merupakan hal krusial.
Ketentuan mengenai sanksi menjadi gambaran seberapa serius dan ketat
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Omnibus Law RUU Cipta Kerja
melemahkan penindakan masalah lingkungan melalui perubahan beberapa pasal.
Pada Omnibus Law RUU Cipta Kerja, kewenangan pengawasan dan penjatuhan
sanksi menjadi kabur karena Omnibus Law RUU Cipta Kerja hanya memberikan
wewenang kepada Pemerintah Pusat tanpa secara jelas mengatur Lembaga mana
yang berwenang.125 Pelemahan itu dapat dilihat melalui pasal 23 angka 27-31, pada
angka 31 ketentuan sanksi diatur dengan Peraturan Pemerintah:

123
Indonesian Center for Environmental Law, “Catatan Atas RUU Cipta Kerja”,
https://icel.or.id/wp-content/uploads/CATATAN-ATAS-RUU-CIPTA-KERJA-ICEL-
13.02.20.pdf, diakses pada 4 Maret 2020.
124
Ananda Ferianda dan Bakti Setiawan. “Identifikasi Ketidaksesuaian Peruntukan Ruang
Kawasan Lindung Sempadan Sungai Penindang di Kota Pangkalpinang”, Majalah Geografi
Indonesia, (2016), hlm. 114-119.
125
Indonesian Center for Environmental Law, “Catatan Atas RUU Cipta Kerja”,
https://icel.or.id/wp-content/uploads/CATATAN-ATAS-RUU-CIPTA-KERJA-ICEL-
13.02.20.pdf, diakses pada 4 Maret 2020.
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

Ketentuan Pasal 76 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


(1) Pemerintah Pusat menerapkan sanksi administratif kepada penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan
pelanggaran terhadap Persetujuan Lingkungan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pada bagian pasal yang sama, pengertian mengenai pertanggungjawaban
mutlak atas kerugian yang disebabkan usaha dan/atau kegiatan terkait pengelolaan
limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) menjadi rancu. Kerancuan itu
disebabkan angka 35 yang mengapus unsur “tanpa perlu pembuktian unsur
kesalahan” pada pasal 88 UU Lingkungan Hidup. Limbah B3 adalah setiap limbah
yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan /atau
konsentrasinya dan /atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung
dapat merusak dan /atau mencemarkan lingkungan hidup dan/atau
membahayakan.126
Dihapusnya frasa “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” dapat
menyebabkan kerancuan dalam penerapan strict liability sebagai dasar
pertanggungjawaban dalam suatu gugatan lingkungan hidup. Hal ini dikarenakan
hakim-hakim di Indonesia seringkali menafsirkan strict liability sebagai Perbuatan
Melawan Hukum (PMH) tanpa membuktikan unsur kesalahan. Jika kebijakan yang
ada demikian, pada kasus dimana perusahaan sudah memilki insinerator untuk
mengurangi limbah, terdapat syarat untuk memenuhi pesyaratan efisiensi
penghancuran (Destruction Removal Efficiency) sebesar 99,99% yang
memungkinkan perusahaan memanipulasi data pengelolaan limbah B3 agar
terhindar dari tanggung jawab. Jika menggunakan Perbuatan Melawan Hukum
(PMH) sebagai dasar pertanggungjawaban maka penegak hukum setidaknya perlu
membuktikan bahwa terduga tidak memenuhi syarat tersebut,dengan cara
melakukan uji bakar (Trial Burn Test) dengan sebelumnya menentukan

Setiyono, “DASAR HUKUM PENGELOLAAN LIMBAH B3”, Jurnal Teknologi


126

Lingkungan Vol 2. (2001), hlm. 72-77.


BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

hidrokarbon organik utama (Principal Organic Hydrocarbons) yang paling sulit


dibakar sebagai bahan yang akan diuji. Selanjutnya emisi partikulat, logam berat,
asam klorida, dan gas emisi lainnya diukur sehingga menyulitkan penegak hukum
untuk membuktikan bahwa pelaku usaha telah melakukan kesalahan.127

Gambar 3. Peta keterkaitan sebaran risiko bencana dengan sebaran terumbu karang terancam

Gambar 4 Keterangan peta risiko bencana dengan terumbu karang yang terancam

127
Kardono, “ANALISIS KIMIA LIMBAH B3 UNTUK MENENTUKAN EFISIENSI
PENGHANCURAN DALAM UJI BAKAR DI INSINERATOR”, Jurnal Teknik Lingkungan,
(2012), hlm. 166-177.
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

Masalah lain terjadi jika pada kasus pencemaran/kerusakan yang langsung


menimbulkan bencana besar, pertanggungjawaban pelaku pencemaran/kerusakan
untuk ditindak pidana materiil diubah menjadi peningkatan dari sanksi administra
denda dengan batas maksimum. Perubahan tindak pidana materiil menjadi
peningkatan sanksi administratif denda tertuang pada pasal 23 angka 37 yang
mengubah pasal 98 dan 99 UU Lingkungan Hidup.128 Delik materiil (generic crime)
pada UU PPLH adalah perbuatan melawan hukum yang menyebabkan pencemaran
atau perusakan lingkungan hidup dan tidak perlu dibuktikan pelanggaran
administrasinya seperti izin dan baku mutu.129 Dengan digantikannya tindak pidana
materiil maka pemberian sanksi dapat dilakukan jika kerusakan yang terjadi adalah
akibat tidak adanya izin atau tidak dipatuhinya baku mutu. Padahal kerusakan
lingkungan dapat menyebabkan bencana dan dampak yang sangat serius bagi
manusia dan lingkungan,130 dan kerusakan lingkungan juga dapat terjadi meskipun
baku mutu ditaati.131
Sifat site specific dalam permasalahan lingkungan muncul karena izin
lingkungan yang diterbitkan tidak akan mengenai sasaran perlindungan lingkungan
jika tidak spesifik. 132 Sifat spesifik perlu diperhatikan karena pada setiap wilayah
terdapat pengelolaan yang berbeda dengan adanya perbedaan daya dukung dan
daya tampung. Sifat site specific menjadi dasar asas ekoregion pada pengelolaan
dan perlindungan lingkungan hidup sebagai satuan unit analisis. Keunikan
kehidupan manusia di dalam suatu ruang memiliki ciri khas yang membedakannya

128
Indonesian Center for Environmental Law, “Catatan Atas RUU Cipta Kerja”,
https://icel.or.id/wp-content/uploads/CATATAN-ATAS-RUU-CIPTA-KERJA-ICEL-
13.02.20.pdf, diakses pada 4 Maret 2020.
129
Al-Khawarizmi, D.A., “Tindak Pidana Lingkungan Hidup”,
https://www.negarahukum.com/hukum/tindak-pidana-lingkungan-hidup.html. diakses pada 5 Maret
2020.
130
Alliance Development Works, World Risk Report 2012 (Berlin: Bündnis Entwicklung
Hilft, 2012)
131
Wardoyo, “Kriteria Kualitas Air Untuk Keperluan Pertanian dan Perikanan”, Hasil
Kerjasama PPLH_UNDIP PSL-Training Amdal (Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2009).
132
Suparto Wijayo, “PERSYARATAN PERIZINAN LINGKUNGAN DAN ARTI
PENTINGNYA BAGI UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN DI INDONESIA”, Yuridika,
(2012).
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

dengan ruang lain. Dinamika yang terjadi pada aktivitas manusia akan berdampak
terhadap keruangan di tempat aktivitas itu terjadi, seperti ketidaksesuaian antara
permintaan dan penawaran lahan mendorong berkurangnya peruntukkan lahan
untuk pertanian atau perkebunan.133 Omnibus Law RUU Cipta Kerja pasal 30 angka
1 malah menetapkan batas luas minimum tanpa perlu pertimbangan kesesuaian
ruang, ketersediaan lahan, dan kondisi geografis setelah menghapus ayat 2 pasal 14
UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang berisi:
Penetapan batasan luas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mempertimbangkan:

a) jenis tanaman;
b) ketersediaan lahan yang sesuai secara agroklimat;
c) modal;
d) kapasitas pabrik;
e) tingkat kepadatan penduduk;
f) pola pengembangan usaha;
g) kondisi geografis;
h) perkembangan teknologi; dan
i) pemanfaatan lahan berdasarkan fungsi ruang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan di bidang tata ruang.

Penghapusan pasal itu menghilangkan beberapa pertimbangan seperti


pemanfaatan lahan yang berdasarkan fungsi ruang. Ketidaksesuaian pemanfaatan
ruang dapat memiliki dampak peningkatan jumlah timbulan air limbah, penin-
gkatan timbulan sampah, dan perubahan debit banjir.134

133
Trigus Eko dan Sri Rahayu, “Perubahan Penggunaan Lahan dan Kesesuaiannya
terhadap RDTR di Wilayah Peri-Urban Studi Kasus: Kecamatan Mlati.”, Jurnal Pembangunan
Wilayah dan Kota, (2012), hlm. 114-119.
134
Lina Wahyuni, “POTENSI DAMPAK LINGKUNGAN DALAM AUDIT
KETIDAKSESUAIAN PEMANFAATAN RUANG (KASUS KECAMATAN KASIHAN
KABUPATEN BANTUL)”, Jurnal Rekayasa Lingkungan, (2019), hlm. 1-10.
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

Gambar 5. Diagram batang perbandingan kondisi total timbulan air limbah eksisting dan rencana pola
ruang

Pada gambar di atas dapat dilihat bagaimana kondisi teramati memiliki total
timbulan air limbah yang lebih besar terhadap timbulan air limbah yang dirancang
pada rencana pola ruang. Perbedaan itu terjadi karena jumlah penghasil limbah
yang lebih besar dari pada yang direncanakan. Jumlah penghasil limbah meningkat
dengan bertambahnya jumlah bangunan yang tidak sesuai dengan rencana pola
ruang. Masalah ini dapat dimaknai sebagai dampak dari tidak sesuainya ruang
dengan perencanaan yang telah disusun.
Masalah lain ada ketika perencanaannya itu sendiri, yaitu Rancangan Tata
Ruang dan Wilayah menjadi mudah disesuaikan dengan kebutuhan pasar oleh
pemerintah pusat. Hal itu terjadi sebagai dampak dari Pasal 19 angka 13 Omnibus
Law RUU Cipta Kerja yang mengubah pasal 17A UU Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil (WP-3-K). Kasus PLTU Cirebon dan Teluk Sepang dapat
menjadi contoh kejadian yang akan terjadi jika kebijakan itu berlaku. 135
Asas ekoregion yang memiliki sifat site specific semakin diabaikan dengan
dihilangkannya kewenangan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
pada Pasal 23 angka 24 RUU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 63 UU 32 Tahun

135
Indonesian Center for Environmental Law, “Catatan Atas RUU Cipta Kerja”,
https://icel.or.id/wp-content/uploads/CATATAN-ATAS-RUU-CIPTA-KERJA-ICEL-
13.02.20.pdf, diakses pada 4 Maret 2020.
BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

2009. Pasal yang sebelumnya memuat tugas dan wewenang pemerintah dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sekarang hanya memuat tugas dan
wewenang untuk pemerintah pusat saja.136 Omnibus Law RUU Cipta Kerja akan
menggunakan perizinan berbasis risiko. Mekansime seperti itu membutuhkan
penilaian risiko yang spesifik, pemerintah pusat perlu meminta bantuan pemerintah
daerah untuk melakukan penilaian itu. Selain itu kegiatan usaha dengan risiko tidak
tinggi akan melakukan usahanya dengan menyesuaikan standar baku mutu.
Generalisasi standar akan berdampak buruk bagi lingkungan dan karenanya
diperlukan tugas dan wewenang pemerintah daerah. Dihapusnya tugas dan
wewenang pemerintah daerah akan mengacaukan mekansime perizinan yang
Omnibus Law RUU Cipta Kerja ajukan dan tidak sesuai dengan asas ekoregion.

Kesimpulan
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sudah tertera pada konstitusi
maupun UU PPLH. Hak tersebut memberikan suatu legitimasi bahwa lingkungan
seharusnya dilindungi dan dikelola dengan baik demi terpenuhinya hak asasi warga
negara. Hak atas lingkungan hidup ini merupakan hak antar dan intra generasi.
Namun jika Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja benar-benar
disahkan, maka hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat akan sulit terpenuhi.
Karena seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa Omnibus Law RUU Cipta Kerja,
memiliki banyak permasalahan terkait lingkungan dan hal ini akan memberikan
dampak buruk pada lingkungan. Selain itu Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini tidak
melanggengkan prinsip sustainable development dan mengancam keberlangsungan
lingkungan hidup untuk generasi saat ini dan generasi di masa depan. Karena
Omnibus Law RUU Cipta Kerja masih jauh dari kata memuaskan baik segi formil
maupun materiil, menolaknya untuk saat ini adalah keputusan terbaik, hingga
keterbukaan yang dapat menampung aspirasi rakyat tercipta dan diterima.

136
Ibid.

Anda mungkin juga menyukai