Anda di halaman 1dari 4

PERTEMUAN 5 RESUME WEBINAR

Nama : Herdien Raka Moch Isya


NIM : 28820012
Mata Kuliah : PL6251 Teknologi Informasi dan Geo-Spasial dalam Manajeman Kebencanaan
Dosen : Dr. Saut Aritua Hasiholan Sagala, S.T., M.Sc. 
Intellectual labor and the capitalist production of nature

Melihat kembali peristiwa terjadinya krisis kabut asap di Indonesia pada tahun
2015 lalu, Setahun sering menuduh penduduk lokal membakar untuk membuka lahan
baru, hingga Indonesia disorot oleh media Internasional dan dikritik oleh negara
tetangganya atas kegagalan dalam mengatasi peristiwa kebakaran yang terjadi.
Selanjutnya setelah sekian bulan hasil dari Pasris Agreement yaitu COP21 yang
diselenggarakan di Paris, Indonesia mengajukan Nationally Determined Contribution,
dalam hal ini bagaimana Indonesia dapat memposisikan kebijakan-kebijakan mitigasi
bencana dalam kondisi pada saat itu. Dan kemudian awal 2016 Badan Restorasi
Gambut didirikan.
Kabut Asap yang terjadi di Kalimantan yang mejadi hotspot peristiwa bencana
kebakaran tersebut berdampak meluas ke Pulau Sumatera. Dampak kabut asap pun
dirasakan hingga ke beberapa negara di Asia tenggara, yaitu Malaysia, Singapura,
Brunai, dan Thailand. Kondisi di Kalimantan sendiri sangat memprihatinkan, kabutnya
berwarna oren dan hanya dapat dilihat dengan jarak empat meter Di Indonesia sendiri,
terdapat sekitar 14.000 orang terdampak gangguan pernafasan karena kabut asap.
Indonesia juga mengistimasi kerugian diperkirakan mencapai 300 hingga 475 triliun
rupiah.
Dalam peristiwa bencana, masalah-masalah awalnya ditangani oleh para pakar
dalam bidangnya yang kemudian dikerjakan dan ditarnsformasikan terkait isu-isu yang
ada dan dijadikan sebuah dokumen tertulis yaitu sebuah dokumen kebijakan untuk
mengatasi kebakaran hutan dan lahan. Dan dari dokumen inilah berkaitan dengan
produksi alam agar nantinya berhasil dalam proyek fisik yakni proyek infasturktur,
seperti misalnya proyek restorasi gambut dan mitigasi kebakaran hutan.
Konsep produksi alam menjelaskan bagaimana pemerintah dan pengembang
pemerintah dapat mengatasi kebakaran hutan ini. Konsep produksi alam ini pertama
kali dicetuskan oleh Neil Smith seorang ahli geografi dalam bukunya “Uneven
Development: Nature, Capital, and the Production of Space (1982)”, Neil mencoba
menteorisasikan bagaimana kapital menimbulkan bangunan yang tidak merata karena
dalam kegiatan produksi alam, kapital selalu berpindah dari satu lokasi ke lokasi yang
lain untuk mencari kondisi yang optimal untuk mengakomodasi kapital. Ini lebih seperti
sebuah pendekatan untuk memahami bagaimana manusia hidup dengan
lingkungannya dan mengubahnya yaitu dengan cara memproduksinya. Arti produksi
dalam hal ini yaitu kerja (labour) untuk menciptakan alam, jadi berarti bahwa manusia
bekerja itu untuk menciptakan alam, seperti seorang petani yang bekerja menanam
padi dan kegiatannya menggambarkan sesuatu lanskap alam yang khusus
mencerminkan hasil kerja petani. Kemudian juga seperti seorang pekerja tambang
bekerja ditambang.dan menciptakan suatu lanskap tertentu yang mencerminkan buah
kerjanya.
Socioecological fix ini merupakan salah suatu bentuk konsep lanjutan dari
produksi alami. Jadi socioecological fix adalah lanjutan konsep Spatial fix (David
Harvey, 1982) yang menyatakan bahwa dalam konsekuensi tertentu untuk mencari
lokasi-lokasi baru mengakomodasi kapital secara maksimal, para kapitalis misalnya
melakukan kegiatan spatial fix yang berarti biasanya infrastruktur yang berbentuk fisik
pabrik atau tempat tinggal atau perumahan para pekerja. Fix dalam hal ini memiliki
beberapa arti, arti yang pertama itu adalah memperbaiki suatu masalah dimana suatu
respon dari masalah yang ada, misalnya ingin membangun suatu pabrik itu karena
memang pabrik yang pertama sudah maksimum kapasitasnya. Arti yang kedua itu
adalah tetap, misalnya suatu pabrik itu tetap lokasinya tidak bisa berpindah-pindah tidak
seperti misalnya kapital fungsial. Dan fix juga berarti candu, yang artinya mencari
lokasi-lokasi baru dimana akomodasi kapitalis bisa terus melanjutkan sirkulasi kapital
atau modal. Namun fix ini bersifat sementara karena hanya memindahkan (offset)
masalah ke lokasi lain atau ke frame waktu yang lain misalnya masa depan, dan fix ini
memiliki sifat materiil dan ideologis menimbulkan beberapa gagasan tertentu yang
sangat menentukan dan mempertahankan hegemoni. Hegemoni yang dimaksud ini
biasanya adalah hegemoni negara misalnya akan membangun bendungan dimana
menimbulkan suatu estetika bahwa negara ini suatu bentuk upaya untuk
masyarakatnya dalam menyediakan air dan energi. Dalam kasus ini digunakanlah
program restorasi gambut dan pencegahan karhutla sebagai socioecological fix, karena
socioecological ini berkaitan dengan sikap masalahnya, dan fix disini berkaitan dengan
upaya dalam memperbaiki suatu masalah dan dapat menetapkan suatu infrastruktur.
Peran trasnformatif dokumen, dalam hal ini dokumen yang dimaksud adalah
dokumen dalam proyek pembangunan namun dalam literatur lain dokumen bisa dalam
surat resmi atau dari memo yang ada di kantor. Disini dokumen berisikan konten yang
tidak lebih penting dari proses dan gaya penulisan dokumen itu sendiri karena adanya
pembentukan dan modifikasi isu. Penulisan dokumen sebagai bentuk kerja dalam
produksi alam, dan isu sebagai sesuatu yang tidak tetap artiya berubah pada setiap
tahap penulisannya.
Latar belakang dalam isu kebakaran hutan secara umum yaitu dari sektor
kehutanan berkembang pada orde baru, tahun 1990an pada liberasasi ekonomi
perkebunan sawit mulai naik daun, dan akhirnya pada sistem pemerintahan
desentralisasi Indonesia menjadi produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Dengan
meningkatkan permintaan, juga berdampak pada meningkatnya kegiatan kebutuhan
ekstratif.
Pada analisis dokumen, terdapat tiga jenis dokumen dimana tiap kontennya
berisikan beberapa hal diantaranya yaitu:

Analisis Dokumen Teks Proses Konteks

Rensta BRG Restorasi gambut sebagai Ditulis dalam waktu cepat Urgensi konservasi lahan
narasi pembangunan gambut
berkelanjutan bagian dari BRG dibubarkan tahun 2020,
infrastruktur dialihkan ke Tanggung jawab komunal
program RPJMN 2015-2019
masyarakat lokal
Citra positif negara karena
Detil restorasi gambut dalam RUU Masyarakat Adat tetap mencetuskan kebijakan pro-
lahan konsesi tidak ada belum sah lingkungan

Aspek masyarakat adat Pentingnya sektor publik


dalam melawan karhutla

Grand Design Framing pemerintah sebagai Diterbitkan setela adanya Mitigasi karhutla tidak
pengatur yang mendisplin Resntra BRG melibatkan perusahaan
perusahaan dan petani nakal maupun masyarakat adat
Diadakan sebagai upaya
terpadu menhadapi karhutla;
Keterlibatan perusahaan Grand Design fokus terhadap
sawit dalam terjadinya mitigasi
karhutla tidak dibahas
Paska 2020 akan fokus
Tidak ada strategi untuk terhadap penyebab
mengatasi jaringan petronase kebakaran tidak langsung

NDC Land use, land use change, 29% penurunan emisi pada Urgensi penurunan emisi
and forestry (LULUCF) tahun 2030 (tanpa syarat),
sebagia kontributor utama 41% pada tahun 2030 Perubahan guna lahan
(besyarat) sebagai sumber utama emisi
emisi GRK Indonesia
GRK
termasuk karhutla Komitmen Indonesia dalam
Paris Agreement, melatar
Industri sawit/argobisnis belakangi kebijakan
sebagai pendorong utama pembangunan secara umum
deforestasi tidak dibahas

ATHP Pentingnya kedaulatan Indonesia negara terakhir Pentingnya mengatasi kabut


negara, nonintervensi yang meratifikasi (2014) asap lintas batas

Meskipun mengikat secara Pentingnya kedauatan negara


Tidak ada konteks kebijakan
hukum kapasitas
iklim dan anti-korupsi kelembagaan ASEAN lemah
untuk menegakkan ATHP

Dokumen dalam produksi alam berperan guna melihat bagaimana pembangunan


itu sebuah socioecological fix yang membutuhkan dokumen kebijakan untuk
memperkuat fix tersebut secara ideologis untuk mendapatkan izin atau konten
masyarakat sehingga perlu ada satu tingkatan popularitas di masyarakat untuk adanya
kebijakan-kebijakan tersebut. Dalam dokumen-dokumen ini pada proses penulisannya
yang spesifik berakhir dalam depolitisasi pengelolaan alam dan lingkungan yang
merebut solusi atas krisis lingkungan dari kelompok tertentu dimana berganggapan
bahwa solusi yang paling pantas atas hal tersebut bukanlah solusi politik yang
selanjutnya kebijakan-kebijakan teknokratislah yang dianggap paling sesuai.

Anda mungkin juga menyukai