Anda di halaman 1dari 74

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan pemaparan dan pembahasan hasil penelitian resiliensi

anak pada keluarga single parent miskin di Desa Somawangi. Mengingat

penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan dan metode kualitatif-

deskriptif, maka pembahasan penelitian ditujukan untuk memaparkan,

menjelaskan, dan menggambarkan data yang telah diperoleh oleh peneliti melalui

wawancara mendalam, observasi dan studi dokumentasi yang dilakukan dengan

para informan. Pembahasan hasil penelitian berdasarkan sebagaimana adanya

yang terjadi di lapangan, yang dialami, dirasakan, dan dipikirkan oleh para

informan sebagai sumber data. Penjelasan pada bab ini dibagi menjadi tiga bagian

yang tersusun secara sistematis, yaitu meliputi gambaran umum Desa Somawangi

sebagai lokasi penelitian, hasil penelitian, dan pembahasan.

4.1 Gambaran Umum Desa Somawangi sebagai Lokasi Penelitian

4.1.1 Kondisi Geografis Desa Somawangi

Somawangi merupakan salah satu dari 16 desa yang ada di Kecamatan

Mandiraja Kabupaten Banjarnegara. Posisi Desa Somawangi terletak di bagian

barat dan diujung selatan Kabupaten Banjarnegara yang berbatasan langsung

dengan Kabupaten Kebumen. Desa Somawangi terdiri dari 45 Rukun Tangga, 8

Rukun Warga, dan 4 Dusun meliputi Dusun Kalirau, Kalipacet, Kembaran, dan

Wanasepi. Luas wilayah Desa Somawangi mencapai 690 Ha atau 13,11% dari

total luas Kecamatan Mandiraja. Luas lahan tersebut digunakan untuk berbagai

60
61

hal, diantaranya pekarangan/ bangunan, sawah, tegalan dan hutan. Penggunaan

lahan untuk pemukiman/ pekarangan/ bangunan yang hanya mencapai 45%,

menggambarkan bahwa Desa Somawangi masih memiliki ruang terbuka untuk

bermain anak-anak.

4.1.2 Kondisi Demografis Desa Somawangi

Somawangi merupakan desa dengan jumlah penduduk terbesar di

Kecamatan Mandiraja yang pada tahun 2016 mencapai 6.703 jiwa, terdiri dari

laki-laki 3.301 jiwa dan perempuan 3.402 jiwa. Sementara jika dilihat berdasarkan

kepala keluarga, Desa Somawangi terdiri dari 2.711 kk. Artinya jika dirata-rata

setiap kepala keluarga di Desa Somawangi memiliki 3 sampai 4 jiwa anggota

keluarga. Keseluruhannya terdiri dari berbagai macam kelompok umur.

UMUR
217 65+ 242
119 60-64 119
161 55-59 157
181 50-54 175
236 45-49 228
222 40-44 243
246 35-39 239
242 30-34 262
265 25-29 286
219 20-24 326
264 15-19 232
319 10-14 311
304 5-9 285
306 0-4 297

LAKI-LAKI (JIWA) PEREMPUAN (JIWA)

Gambar 4.1 Penduduk Desa Somawangi Menurut Kelompok Umur


Tahun 2016
Sumber: Kecamatan Mandiraja dalam Angka Tahun 2016
62

Gambar 4.1 memperlihatkan bahwa piramida penduduk Desa Somawangi

pada tahun 2016 berbentuk stasioner atau granat. Ciri piramida stasioner adalah

peduduk pada tiap kelompok umur hampir sama. Berdasarkan gambar 4.1 dapat

diketahui bahwa kelompok umur tertinggi ada di rentang 10-14 tahun yaitu

dengan jumlah 630 jiwa dari 34% kelompok usia anak.

Kondisi demografis Desa Somawangi dapat dipahami dengan melihat

tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat pada suatu

daerah menunjukkan semakin tinggi kualitas sumber daya manusianya. Semakin

tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin luas pola pikir, pola tindak, dan pola

lakunya. Estimasi penduduk Desa Somawangi berdasarkan tingkat pendidikan

dapat dilihat pada gambar 4.2.

PERGURUAN TINGGI 106

SMA/SMK 1007

SMP/MTS 1216

SD 2265

TIDAK TAMAT SD 1920

Jumlah Berdasarkan Tingkat Pendidikan (Jiwa)

Gambar 4.2 Penduduk Desa Somawangi Berdasarkan Tingkat


Pendidikan Tahun 2016
Sumber: Monografi Desa Somawangi Tahun 2016

Gambar 4.2 memperlihatkan bahwa secara umum Desa Somawangi

memiliki sumber daya manusia dengan tingkat pendidikan yang rendah. Tingkat

pendidikan paling banyak adalah tamat SD yaitu sebesar 2.265 jiwa. Hal itu juga
63

dijumpai pada orangtua anak single parent miskin yang menjadi informan.

Sementara dilihat dari jenis pekerjaan, sektor pertanian mendominasi mata

pencaharian penduduk Desa Somawangi dengan jumlah 2.555 jiwa.

Bagian dari penduduk Desa Somawangi yang penting untuk mendapat

perhatian khusus adalah populasi keluarga miskin. Berdasarkan data penerima

Raskin/ Rastra tahun 2017, keluarga miskin di Desa Somawangi mencapai 490 kk

atau 18% dari total penduduk per kepala keluarga. Melihat gambar 4.3 dapat

disimpulkan bahwa jumlah keluarga miskin di Desa Somawangi tersebar hampir

merata di delapan RW, kecuali RW 07 dan RW 08 yang sedikit lebih banyak

yaitu masing-masing mencapai 17% dari 490 kepala keluarga.

RW 04
RW 03 11%
12% RW 05
12%
RW 02
10% RW 06
10%
RW 01
11%
RW 07
RW 08 17%
17%

Gambar 4.3 Persebaran Keluarga Miskin Desa Somawangi Tahun 2016


Sumber: Data Penerima Raskin/ Rastra Desa Somawangi Tahun 2017

Membahas kependudukan Desa Somawangi juga terkait dengan konteks

keluarga yang terdiri dari suami/ ayah, istri/ ibu dan anak-anak yang belum

menikah. Anak merupakan anggota keluarga yang selalu menjadi kebanggaan

orangtua. Diantara populasi anak di Desa Somawangi, ada sebagian yang hidup
64

miskin dengan orangtua tidak lengkap. Peneliti tidak mendapatkan data jumlah

anak dengan single parent miskin dari berbagai instansi terkait. Sehingga diawal

studi ini, peneliti melakukan pendataan anak single parent miskin di Desa

Somawangi dengan melibatkan beberapa pihak, diantaranya: Karang Taruna,

PKK, dan Pemerintah Desa. Hasil pendataan diperoleh jumlah anak dengan single

parent miskin di Desa Somawangi sebanyak 40 anak.

10
8
7

4 4
3
2 2

1-5 Tahun 6-9 Tahun 10-13 Tahun 14-17 Tahun

PEREMPUAN (JIWA) LAKI-LAKI (JIWA)

Gambar 4.4 Jumlah Anak dengan Single Parent Miskin Berdasarkan


Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2017

Berdasarkan gambar 4.4 dapat diketahui jumlah anak single parent miskin

dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak dari perempuan. Jumlah laki-laki

sebanyak 25 anak, sedangkan perempuan sebanyak 15 anak. Sementara jika

dilihat dari kelompok umur, anak dengan orangtua tunggal (single parent) miskin

di Desa Somawangi didominasi oleh usia sekolah dasar dan sekolah lanjutan

tingkat pertama yaitu antara 6-13 tahun dengan jumlah 27 jiwa.


65

16

6
4
2
1

CERAI HIDUP PASANGAN MENINGGAL HAMIL DILUAR NIKAH


DUNIA

SINGLE MOTHER (JIWA) SINGLE FATHER (JIWA)

Gambar 4.5 Jumlah Single Parent Miskin di Desa Somawangi


menurut Penyebab dan Jenis Kelamin Tahun 2017

Keberadaan anak single parent miskin di Desa Somawangi tidak terlepas

dari latar belakang orangtuanya menjadi tunggal. Berdasarkan gambar 4.5 dapat

diketahui jumlah orangtua tunggal/ single parent miskin di Desa Somawangi

adalah 29 jiwa, yang terdiri dari single mother (janda) sebanyak 25 jiwa, dan

single father (duda) sebanyak 4 jiwa. Ada tiga penyebab mereka menjadi single

parent, diantaranya karena perceraian, ditinggal meninggal oleh pasangan hidup,

dan karena hamil diluar nikah. Penyebab paling banyak ditemui adalah karena

pasangan hidupnya (suami atau istri) meninggal dunia yaitu 20 jiwa, diikuti

karena perceraian sebanyak 7 jiwa, dan kaena tanpa menikah/ hamil di luar nikah

sebanyak 2 jiwa. Latar belakang orangtua yang tunggal dan miskin membuat

anak-anak dari kelompok rentan tersebut perlu memiliki resilien agar tetap survive

dan optimis menatap masa depan.

4.1.3 Kondisi Sosiografis Desa Somawangi

Masyarakat Desa Somawangi memiliki hubungan interaksi sosial yang erat

dan mendalam dalam kebersamaan. Sifat kekeluargaan sangat erat walau bukan
66

keluarga sesungguhnya. Hal ini menjadi bukti bahwa interaksi sosial pedesaan

memiliki kultur budaya yang lebih rukun dan ramah. Namun tidak dipungkiri

masyarakat Desa Somawangi dalam berinteraksi sosial pasti akan ada saja terjadi

suatu keadaan yang disebut situasi sosial yang menimbulkan suatu konflik atau

pertentangan. Meski demikian, masyarakat Desa Somawangi tetap saling

menyesuaikan diri, memahami, dan mengerti akan sesama, sehingga tetap terjaga

kultur budaya yang rukun dan ramah.

Desa Somawangi memiliki beragam kelembagaan sosial. Beberapa diantara

kelembagaan sosial yang dijumpai di Desa Somawangi antara lain: Karang Taruna

Somaliman, Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Lembaga

Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD), Badan Permusyawaratan Desa (BPD),

Muslimat NU, Majelis Pengajian Remaja, Kelompok Pendidikan Anak Usia Dini,

Taman Belajar Al-Qur‟an, Majelis Ulama Desa, Komunitas Anak Rantau Desa

Somawangi, serta Komunitas Kesenian dan Olaharaga. Beberapa diantaranya

yang masih aktif turut menyelenggarakan usaha kesejahteraan sosial anak antara

lain: Karang Taruna, Kelompok Pendidikan Anak Usia Dini, Taman Belajara Al

Qur‟an, Komunitas Anak Rantau, dan PKK.

Bahasa jawa dengan logat ngapak Banyumasan merupakan bahasa yang

sehari-hari digunakan untuk berkomunikasi oleh penduduk Desa Somawangi.

Dalam tataran bahasa jawa, bahasa logat ngapak merupakan istilah lain atau

sejajar dengan bahasa ngoko. Bahasa ini biasanya digunakan ketika

berkomunikasi dengan lawan bicara yang seumuran atau dibawahnya. Sementara

ketika seseorang sedang berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, maka yang
67

digunakan adalah bahasa krama dan krama inggil. Namun seiring perkembangan

zaman, tataran penggunaan bahasa jawa yang demikian sudah mulai ditinggalkan.

Sehingga saat ini banyak dijumpai seseorang menggunakan bahasa ngoko meski

sedang berbicara dengan orang yang lebih tua.

Perkembangan modernisasi teknologi memiliki pengaruh terhadap tatanan

kehidupan masyarakat Desa Somawangi saat ini. Pengaruh positif modernisasi

dapat dilihat dari penggunaan alat-alat teknologi canggih di sektor pertanian,

perdagangan, dan sektor usaha lainnya. Namun, masuknya modernisasi juga

memiliki dampak negatif bagi masyarakat desa, diantaranya adalah maraknya

penggunaan gadget di kalangan anak-anak. Akibatnya, anak-anak sangat mudah

mengakses, melihat dan meniru budaya dari luar. Selain itu, maraknya

penggunaan gadget di kalangan anak juga menimbulkan adanya kecemburuan

bagi anak miskin yang tidak sanggup membeli atau memiliki.

4.2 Hasil Penelitian

Hasil penelitian merupakan hasil dari observasi, studi dokumentasi dan

wawancara pada informan dalam mengetahui secara mendalam tentang resiliensi

anak pada keluarga single parent miskin di Desa Somawangi. Hasil penelitian ini

terdiri dari penjabaran tentang karakteristik anak single parent miskin serta

kemampuan resiliensi anak yang dilihat pada lima aspek, meliputi: pengaturan

emosi, mengendalikan keinginan, kemampuan menganalisa situasi, berempati,

dan optimisme. Hasil penelitian ditulis sebagaimana adanya yang terjadi di

lapangan, yang dialami, dirasakan, dan dipikirkan oleh sumber data atau para

informan.
68

4.2.1 Karakteristik Anak dari Keluarga Single Parent Miskin di Desa


Somawangi

Populasi anak dari keluarga single parent miskin di Desa Somawangi pada

tahun 2017 mencapai 40 anak. Sebanyak 33 anak adalah yang telah berusia 6-17

tahun. Anak dari keluarga single parent miskin mengalami kondisi yang

memperihatinkan, karena berada pada situasi ketidaklengkapan orangtua dan

kemiskinan. Situasi ketidaklengkapan orangtua dan kemiskinan merupakan

kerentanan bagi anak single parent miskin di Desa Somawangi. Ketidaklengkapan

orangtua yang dialami oleh anak single parent miskin di Somawangi disebabkan

oleh tiga faktor, yaitu karena perceraian, salah satu orangtua meninggal dunia, dan

orangtua yang hamil tanpa pernikahan. Masing-masing dari anak single parent

miskin berdasarkan faktor pennyebab tersebut memiliki karakteristik yang

beranekaragam.

Sebanyak dua anak single mother miskin di Desa Somawangi adalah lahir

dari Ibu yang hamil diluar nikah tanpa didampingi oleh seorang ayah. Hal itulah

yang membuat anak sampai saat ini hidup dengan orangtua tunggal sekaligus

dalam kondisi kemiskinan yang memprihatinkan. Rumah orangtuanya terbuat dari

anyaman bambu dan kayu (nonpermanent), lantainya beralaskan tanah, serta tidak

ada fasilitas mewah kecuali satu buah televisi. Anak single mother miskin karena

hamil diluar nikah rentan mengalami masalah emosional baik yang disebabkan

oleh orangtua maupun perlakuan teman-temannya. Anak dalam situasi tersebut

mudah mendapatkan hukuman dari orangtua, dan mendapatkan ejekan dari teman-

temannya disebabkan karena tidak diketahui siapa ayahnya. Kondisi demikian


69

menuntut anak untuk memiliki kemampuan tahan uji dan daya lenting atau

dikenal dengan kemampuan resiliensi.

Karakteristik lain dari anak single parent miskin adalah yang hidup miskin

bersama single father karena perceraian. Merasakan keharmonisan orangtua

adalah hal yang tidak didapatkan oleh anak dalam kondisi tersebut. Kondisi

keluarga yang miskin juga membatasi pilihan anak terhadap kepemilikan sesuatu.

Sebagian besar dari anak single father miskin sedang dalam menjelang

berakhirnya pendidikan sekolah dasar atau tahap akan memasuki sekolah

menengah pertama. Artinya anak sedang dalam tahap transisi menuju remaja awal

dimana masalah ketidaklengkapan dan kemiskinan yang dialami akan

berpengaruh terhadap perilaku selanjutnya. Oleh karena itu, anak perlu memiliki

resiliensi untuk menghadapi tantangan kehidupan sebagai anak dari keluarga

single parent miskin.

Sejumlah tujuh anak harus hidup miskin bersama single mother. Perceraian

orangtua merupakan penyebab kedua orangtuanya berpisah dan menjadi single

mother. Anak juga hidup dalam kondisi keluarga miskin yang ditandai dengan

kondisi rumah yang nonpermanen. Pasca perceraian, umumnya anak tidak lagi

dapat berjumpa dengan ayahnya sampai saat ini yang tengah menginjak usia 12

tahun. Usia tersebut termasuk dalam tahap usia transisi menuju remaja awal

dimana masalah ketidaklengkapan dan kemiskinan yang dialami akan

berpengaruh terhadap perilaku anak dimasa sekarang dan yang akan datang.

Sehingga anak perlu memiliki resiliensi untuk menghadapi tantangan kehidupan

sebagai anak dari keluarga single parent miskin.


70

4.2.2 Pengaturan Emosi Anak dari Keluarga Single Parent Miskin

Mengetahui pengaturan emosi informan dalam penelitian ini dipaparkan

dalam dua hal. Pertama, dengan memaparkan emosi yang muncul pada informan

ketika menghadapai situasi penderitaan karena kemiskinan dan ketidaklengkapan

orangtua. Kedua, dengan memaparkan cara atau hal-hal yang membuat informan

tetap tenang dan tidak larut dalam emosi.

a. Emosi Informan terhadap Situasi Sulit karena Miskin dan Orangtua Tunggal

Berbagai situasi penderitaan yang yang muncul sebagai anak single

parent miskin tidak dapat dipungkiri menimbulkan konsekuensi atas

munculnya beragam emosi. Hasil wawancara mendapatkan ada beragam emosi

yang diekspresikan oleh informan.

1) Sedih saat Tidak Memiliki Uang Saku

Salah satu bentuk emosi yang dirasakan oleh informan adalah emosi

sedih. Kesedihan muncul pada informan ketika tidak memiliki uang saku.

Salah satunya dialami oleh Infroman NV yang merupakan anak dari single

father karena perceraian. Informan NV mengatakan:

“Bendinane ora duwe sangu go tumbas jajan. Weruh batire


ditumbasna jajanan apa apa aku ya cokan kepengin. Tapi ya wong
bapake cokan lagi ora duwe duwit. Kadang-kadang disanguni
Rp.2.000-. Bingung arep jaluk duit bapake ora duwe duit, ora jaluk
tapi kepengin tumbas-tumbas jajan”.
(Hari-hariku tidak punya uang saku buat beli jajan. Lihat teman
dibelikan jajanan atau apa ya kadang kepengin. Tapi ya orang bapak
kadang tidak punya uang. Kadang-kadang dikasih uang saku
Rp.2.000-. Bingung mau minta uang, bapak tidak punya uang, ngga
minta tapi kepengin beli jajan).

Akibat tidak adanya uang saku, informan NV merasa iri kepada

teman-temannya. Informan NV mengungkapkan bahwa melihat temannya


71

diberi cukup uang oleh orangtuanya untuk dapat membeli jajan,

memunculkan perasaan iri/ cemburu. Informan NV sebenarnya ingin

meminta sejumlah uang kepada ayahnya, namun tak kuasa karena tahu

ayahnya tidak memiliki sejumlah uang untuk alokasi jajan NV. Kesedihan

informan NV juga terlihat dengan raut wajah menahan keluarnya air mata

pada saat proses wawancara.

“Nangis nang batin tok, apa sing dikepengina ora mesti teyeng
ketuku. Terus ya sedih cokan nganti nangis, ora bisa apa-apa
bisane meneng”.
(Nangis di dalam hati aja, apa yang diinginkan ngga mesti bisa
kebeli. Terus ya sedih kadang nganti nangis, tidak bisa apa-apa
bisanya diam).

Sedih dan menangis adalah ekspresi yang dimunculkan oleh informan

NV sebagai anak miskin ketika tidak memiliki sejumlah uang saku. Hal ini

memperlihatkan bahwa informan NV merasa tidak berdaya terhadap situasi

tersebut. Ketidakberdayaan informan NV ditunjukkan dengan hanya dapat

menangis penuh kesedihan. Sementara ayah NV yaitu informan HI

mengatakan tentang pemberian uang saku kepada NV. Informan HI

mengatakan:

“...tek wei sangu sedina 2000, 3000, cukup ora cukup bodoa, kaya
kenene lagi ana-anaa. ya mutung ora gelem mangkat ya tau”.
(...kuberi uang sehari 2000, 3000, cukup ngga cukup terserah, kaya
disini lagi ada-adaa, ya ngambek tidak mau berangkat (sekolah) ya
pernah).

Hal yang sama juga dialami oleh informan RT yang merupakan anak

usia 9 tahun dari seorang single mother miskin. Informan RT

mengungkapkan perasaan sedihnya karena tidak memiliki uang saku, serta


72

cemburu pada temannya yang hidupnya tidak miskin. Informan RT

mengatakan:

“Ora diwei sangu, ora teyeng tuku dolanan. Wong kan pada sugih,
duwe duite akeh duwe pit, nyong miskin dewekan. Nyong ora duwe
apa-apa. TV ne siji tok burek, nonton TV remote rebutan karo
mamake karo biyunge. Maeme lawueh ora enak, ko kan maeme
lawuh iwak, nyong paling lawuh mi. Dolanan karo batir-batire
dewadani. Batire pada pit-pitan aku ora dewekan. Duite batire
ilang ndarani nyong sing nyolong.”.
(Tidak diberi uang saku, tidak bisa beli mainan. Orang kan pada
kaya, punya uang banyak, punya sepeda, saya miskin sendiri, saya
tidak punya apa-apa. TV-nya cuma satu gambarnya tidak jelas,
nonton TV remotnya rebutan sama mamah sama nenek. Makan
lauknya tidak enak, kamu kan makan pake lauk ikan, saya paling
lauk mi. Bermain sama teman-teman diejeki. Teman-teman semua
pada punya sepeda, saya tidak sendiri. Uangnya teman saya hilang,
dikira saya yang mencuri.

Informan RT menceritakan bahwa kesengsaraan hidup sebagai anak

miskin salah satunya ketika berbagai kebutuhan dasar dan keinginannya

tidak terpenuhi dengan baik oleh orangtua. Beberapa diantaranya seperti

kualitas menu makan yang menurutnya tidak enak, tidak memiliki sepeda,

dan satu-satunya hiburan bersama keluarga adalah TV namun kondisinya

sudah tidak bagus yang bahkan sering menimbulkan ketegangan dengan

anggota keluarga lain karena berebut remot TV.

2) Cemburu dengan Teman

Informan memandang bahwa dirinya memiliki perbedaan kebahagiaan

dengan anak-anak yang lain yang tidak miskin. Anak single parent miskin

yang menjadi informan penelitian, umumnya menilai anak-anak lain

seusianya yang tidak lahir/ tidak hidup dari keluarga miskin dan orangtua

tunggal merasakan hidup yang lebih bahagia dan tercukupi. Sehingga


73

muncul perasaan iri/ cemburu pada informan ketika melihat dan

membandingkan kehidupannya dengan kehidupan anak lain yang kaya dan

orangtuanya lengkap.

Kecemburuan yang membuatnya menahan sesuatu yang tidak

menyenangkan dirasakan oleh informan. Salah satunya adalah informan CS

yang mengungkapkan bahwa situasi yang tidak menyenangkan diantaranya

ketika tidak bisa memiliki sesuatu yang diinginkan, seperti Handphone

sebagaimana teman-teman lain yang sebagian besar sudah memilikinya. Hal

itu diungkapan oleh informan CS sebagai berikut:

“Ya kadang batire ana sing duwe kiye duwe kiye, nyong ora duwe
kaya kuwe. Duwe hape kaya kuwe, nyong ora duwe. Wa aku tulung
tukokna HP wa, ora duwe duit ndra aya kuwe. Ya nggo dolanan, go
game-game-an apa-apa kaya kuwe, batire wis pada duwe kabeh.
Terus bapake karo wane kadang ngomong lah wong ora duwe ndra
aja njaluk werna-werna, kaya kuwe.Ya cemburu iri masa batire be
apa-apa teyen apa-apa enak, lha nyong ora teyeng, nyong ya cokan
apa ya,ngrasa nang mbatin”.
(Ya kadang teman-teman ada yang punya ini punya itu, punya HP,
saya tidak punya. „Pak Dhe saya tolong belikan HP Pak Dhe‟, tidak
punya uang katanya. Ya buat permainan apa-apa gitu, teman-teman
sudah pada punya semua. Terus Bapak sama Pak Dhe kadang bilang
„lah kita orang ngga punya jangan minta macam-macam. Ya
cemburu iri masa teman-teman bisa segalanya enak, sedangkan saya
tidak bisa, saya ya kadang gimana, ngrasa di dalam hati (menahan
perasaan tidak nyaman di hati).

Pernyataan informan CS mengandung makna bahwa sebagai anak

miskin akan mengalami pikiran dan perasaan sengsara karena apapun

keinginannya untuk memiliki sesuatu layaknya teman-temannya akan sulit

didapatkan. Menganggap dirinya sengsara pada informan CS muncul saat

melihat dan membandingkan dengan kehidupan orang lain yang dalam hal

ini adalah temannya yang tidak miskin. Karena tren yang berkembang saat
74

ini adalah maraknya penggunaan gadget dikalangan teman-temannya, maka

CS merasa dirinya sengsara karena tidak mampu memiliki benda itu.

Fenomena maraknya penggunaan gadget dikalangan anak-anak Desa

Somawangi, nampaknya turut menimbulkan konsekuensi negatif bagi anak

miskin. Bagi kalangan keluarga yang tidak miskin, pemberian gadget pada

anak seusia CS memang sudah familiar di Desa Somawangi. Penggunaan

gadget tersebut tidak dibatasi ruang dan waktu oleh orangtuanya. Termasuk

anak yang memiliki HP/ gadget akan dibawanya pada saat bermain bersama

di ruang-ruang terbuka, yang disitu ada informan CS. Sebagai satu-satunya

anak yang tidak memiliki gadget/ HP diantara teman-teman yang lain,

informan CS harus menanggung sesuatu yang tidak menyenangkan. Sama

halnya seperti informan CS, cemburu kepada teman juga dirasakan oleh

informan DA sebagai anak single parent miskin. Informan DA mengatakan:

“Ora teyeng kaya batire, bisa apa-apa. Pengin apa-apa mamake


ora mesti nukokna. Kakehen njaluk werna-werna malah diomeih,’
njajan bae teyenge’’.
(Tidak bisa seperti teman-teman, bisa apa-apa. Pengin apa-apa,
mamah saya tidak mesti belikan. Kebanyakan minta macam-macam
malah dimarahin „jajan terus bisanya‟).

Keinginan untuk dapat memiliki sesuatu seperti teman-temannya

harus informan DA kubur dalam-dalam karena berpikir Ibunya tidak akan

mau dan mampu membelikan. Menurut DA apabila meminta dibelikan

sesuatu oleh orangtua justru akan mendapatkan amarah dari Ibunya.

Keinginan untuk dapat memiliki sesuatu seperti teman-temannya harus

dikubur dalam-dalam karena berpikir orangtua tidak akan mau dan mampu
75

membelikannya adalah gambaran kecemburuan informan sebagai anak

single parent miskin.

3) Sedih saaat Orangtua menjadi Perbincangan Tetangga

Kesedihan juga dialami oleh informan DA sebagai seorang anak

perempuan dari single mother miskin. Salah satu respon yang merupakan

paling menjengkelkan dan membuat sedih informan DA adalah ketika

orangtuanya menjadi bahan gosip tetangga. Informan DA mengatakan:

“Siki bapake wis lunga gari mamake cokan digrendengi nang wong.
Cokan aku meng warung tuku apa krungu ana wong ngomongi
mamakku. Terus akhire aku dadi males meng warung maning, nek
ora ya pindah warung liya”.
(Sekarang bapak sudah pergi tinggal mamah kadang suka digosipin
sama orang. Kadang aku ke warung beli apa dengar ada orang
bicarain mamah. Terus aku jadi males ke warung, kalau ngga ya
pindah warung lain).

Saat informan DA mengungkapkan kesedihannya dengan suara lirih

dan kepala tertunduk seakan menunjukkan bahwa informan DA mencoba

menahan supaya tidak keluar air mata. Informan DA mengatakan:

“Ya sedih, sing mamah ora ngerti. Aku ya jane melu lara angger
mamake diomong nang wong sing ora-ora. Njengkeli nang ati,
tapi aku etok-etok ora krungu”.
(Ya sedih, yang mamah tidak tahu. Aku ya sebenarnya ikut sakit
hati kalau mamah dibicarain sama orang yang engga-engga.
Menjenhgkelkan di hati, tapi aku pura-pura tidak mendengarnya).

Informan DA sebagai anak miskin dari seorang single mother merasa

sedih yang mana kesedihan tidak ingin diketahui oleh orang lain termasuk

oleh Ibunya. Dalam hal ini kesedihan DA dirasakan ketika Ibunya menjadi

bahan gosip orang lain. Sedih diikuti dengan rasa sakit hati adalah respon

DA terhadap kejadian tersebut. Banyak hal yang dapat dipetik dari


76

kesedihan informan DA, salah satunya adalah bahwa seorang anak adalah

observer sejati yang selalu mengamati bagaimana lingkungan sosial

mempengaruhi dirinya.

4) Kecewa saat Orangtua tidak Menghadiri Pertemuan Wali Murid di Sekolah

Selain kemiskinan, salah satu situasi yang merupakan kemalangan

bagi informan adalah ketika orangtua tidak dapat hadir dalam acara

perkumpulan wali murid di Sekolah. Ketidakhadiran orangtua pada acara

perkumpulan wali murid di Sekolah menyebabkan perasaan kecewa pada

informan. Hal itu terjadi pada anak miskin dari seorang single father.

Seperti yang diungkapkan oleh informan CS yang mengatakan:

“Kadang cok kemutan mamake aya kuwe, ana sing ngomong


enggane mamake ko egin urip ko mesti dieman nang mamake. La
wong wis takdir aku jawab kaya kuwe tok. Nang Bapake ya dieman
sih tapi ya maksude lewih dieman maning apa kepriwe aya kuweh,
keluargane komplit. Kan salah siji ana mengkosing teyeng njiotna
rapot. Nyong sebel ming bapak ora teka meng sekolah padahal
jarake ora patia adoh”.
(Kadang suka ingat mamah gitu, ada yang bilang seandainya
mamahku masih hidup pasti saya disayang sama mamah. Lah orang
sudah takdir saya jawab kaya gitu aja. Sama bapak disayang sih tapi
ya maksudnya lebih disayang lagi apa gimana, keluarganya lengkap.
Nanti biar salah satu ada yang bisa mengambilkan rapot. Saya sebel
ke bapak tidak hadir di Sekolah (pertemuan wali murid: mengambil
rapot), padahal jaraknya tidak terlalu jauh (jarak rumah ke sekolah).

Orangtua adalah sosok yang menjadi penyemangat dalam pendidikan

anak. Bagi informan CS, bentuk dukungan orangtua kepada pendidikan

anaknya dapat berwujud kehadiran mereka di Sekolah. Menurut informan

CS, jika orangtuanya lengkap maka akan ada satu dari mereka yang dapat

hadir di Sekolah untuk mengambilkan rapot. Sementara ketidakhadiran sang


77

ayah satu-satunya menambah situasi penderitaan bagi informan CS sebagai

anak miskin dari orangtua tunggal.

Ketidakhadiran orangtua informan CS dalam acara-acara perkumpulan

wali murid juga didukung oleh pernyataan SR selaku Kepala Sekolah yang

juga merangkap sebagai guru wali kelasnya. Informan SR dalam

kesempatan wawancara bersama peneliti mengatakan:

“Orangtua CS memang jarang sekali hadir di Sekolah pada saat


pembagian rapot hasil belajar siswa. Kalo tidak salah itu sejak CS
masuk kelas 4. Saat itu kan saya sudah jadi kepala sekolah jadi tahu.
Ya gimana ya, hal itu tentu kami sesalkan pada ayahnya. Kenapa,
apa memang benar-benar sibuk. Padahal kami sudah kasih surat
undangannya, anak-anak juga kami suruh untuk menyampaikan
kepada orangtua masing-masing. Akhirnya jadi dia (CS) lah yang
mengambil sendiri, atau kadang-kadang tetangganya, pamannya.
Kaya kemarin yang ngambil ya CS sendiri. Kami ya akhirnya
memaklumi. Sangat disayangkan lah ya. Padahal tujuannya
orangtua untuk hadir kan biar bisa mengerti dari kami tentang
proses dan hasil belajar CS di Sekolah supaya kedepannya bisa ikut
memotivasi juga. Dilihat dari perilaku CS kayaknya si baik-baik
saja ya tidak ada masalah, mungkin karena dia (CS) tidak manja ya,
tapi saya tidak tahu apa yang ada di dalamnya. Tapi keliatannya si
baik-baik saja”.

Berdasarkan pernyataan SR sebagai guru kelas informan CS, dapat

diketahui bahwa tidak hadirnya orangtua dalam acara perkumpulan wali

murid di Sekolah adalah benar adanya. Selain itu dari pernyataan SR, dapat

ditemukan bahwa ada semacam kontradiktif antara apa yang berusaha

dilihatkan dengan yang dirasakan oleh CS. Menurut SR, informan CS

terlihat baik-baik saja meskipun orangtua CS (ayahnya) tidak dapat hadir

mengambilkan rapot. Tetapi dari hasil wawancara kepada informan CS,

menunjukkan bahwa sebenarnya ada kekecewaan terhadap ayahnya. Hal ini


78

juga didukung dengan gestur informan CS yang menunduk pada saat

berlangsungnya wawancara.

Sementara itu, ketidakhadiran orangtua di acara perkumpulan wali

murid juga dialami oleh informan NV. Informan NV mengatakan:

“Bapake karo mamake pisah, mamake meng Jakarta. Embane


mamake esih nang kene, nyong nang ngumah ora sepi. Bapake
cokane baline sore. Seringe bapake ora gelem jukutna rapot, ana
kumpulan nang sekolahan ora mangkat. Kur prentah ming lilike”.
(Bapak sama mamah pisah, mamah ke Jakarta. Seandainya mamah
masih disini, saya di rumah ngga sepi. Bapak kadang pulang sore.
Seringnya bapak tidak mau ambilkan rapot, ada kumpulan di
sekolahan tidak hadir, cuma nyuruh Lilik).

Perceraian orangtua membuat informan NV saat ini kehilangan sosok

Ibu di rumahnya. Informan NV merasa kecewa ketika ayahnya tidak dapat

menghadiri undangan dari sekolah seperti mengambil rapot. Menurut

informan NV, kesibukan ayahnya dalam bekerja membuatnya tidak dapat

menghadiri acara pembagian rapot di Sekolah atau acara perkumpulan

orangtua lainnya di Sekolah. Kehadiran orangtua di sekolah ketika ada

perkumpulan orangtua merupakan kebahagiaan informan. Sebaliknya,

ketidakhadiran satu-satunya orangtua di acara tersebut merupakan hal yang

tidak menyenangkan bagi informan.

5) Sedih saat Dibully Teman

Seorang anak tidak dapat memilih dari mana dilahirkan. Begitu juga

RT yang tidak dapat memilih jika harus dilahirkan tanpa ada seorang ayah

disampingnya. RT merupakan anak single mother dari R yang lahir tanpa

pernikahan atau karena hamil diluar nikah. Hal yang membuat informan RT
79

merasa sedih salah satunya adalah ketika dijuluki anak haram oleh

temannya saat bermain bersama. Informan RT mengatakan:

“Wong-wong pada takon bapake ko nang ndi. Batire ya iya “ko si


bapake siki nang ndi, dilokna ora duwe bapak, anak haram”.
(Orang-orang (teman-teman) pada nanya bapakmu dimana, teman-
teman ya iya „kamu si bapaknya sekarang dimana„ katanya, dikatain
anak tidak punya bapak, anak haram).

Hal ini juga terlihat ketika peneliti melakukan observasi terhadap

kondisi informan RT pada saat bermain bersama temannya. Nampak

gambar 4.6 memperlihatkan informan RT sedang mendapat bullying dalam

bentuk verbal oleh teman-temannya. Saat itu kata-kata yang keluar dari

mulut teman-temannya kepada informan RT antara lain seperti: tidak pernah

mengganti baju, anake kaki landung (anaknya kakek Landung) yaitu orang

yang digosipkan adalah bapak kandung RT.

Gambar 4.6 Bullying Verbal dari Temannya


dialami oleh Informan RT

Saat berlangsungnya wawancara, informan RT yang merupakan

seorang anak berusia 9 tahun nampaknya belum mampu mengungkapkan

bagaimana kesedihannya dengan kalimat panjang. Informan RT hanya

menjawab dengan kalimat pendek yaitu “sedih, menangis”. Hal ini


80

menuntut peneliti untuk mendalami bagiamana kesedihan informan RT

sesungguhnya. Selain Ibunya, seorang guru wali kelasnya yaitu TA juga

peneliti wawancarai untuk menggambarkan informasi terkait emosi

informan RT. InformanTA mengatakan:

“RT memang siswa kami yang bisa dibilang “spesial” untuk


diperhatikan diantara siswa-siswa yang lain. Selaku gurunya, saya
hanya bisa memberikan informasi sedikit tentang RT ketika di
sekolah. RT memang kalau di Sekolah sering diledeki sama teman-
temannya. Kadang RT melawan, tapi saya nasihati supaya jangan
bertengkar sama teman-teman yang ngledekin. Saya juga kasih
pengertian ke teman-temannya supaya tidak mengulangi meledek
RT. RT pun nurut diam, terus mukanya terlihat kasian gitu. tapi kita
tidak tahu dibalik diamnya RT ada apa kan. Apakah sebenarnya dia
sedih atau marah, atau dua-duanya. Saya kok punya anggapan kalau
RT ini sudah mulai bisa melihat dan menilai kondisi keluarganya.
Ya memang betul dia kan anak yang hanya punya mamahnya.
Mungkin RT sudah mulai apa namanya ya dia kan sudah 9 tahun
kayaknya sudah mulai mengerti lah”.

Berdasarkan pernyataan TA yang merupakan seorang guru wali kelas

RT dapat diketahui bahwa RT sudah mulai dapat melihat dan menilai

kondisi keluarganya. Sehingga wajar saja jika RT merasa sedih dan

menangis saat mengalami situasi sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya.

Kesedihan informan RT menunjukkan bahwa informan berada dalam posisi

tidak berdaya atau “powerless”. Kesedihan yang diekspresikan sebagai

respon penderitaan atas kemiskinan dan ketidaklengkapan orangtua

ditunjukkan oleh informan RT dengan tidak merugikan orang lain.

Sementara itu, Ibunya (R) juga memberikan keterangan dan mengaku

bahwa informan RT sering mengadu kepadanya ketika informan RT telah

mendapat perlakuan atau perkataan tidak mengenakan dari teman-temannya.


81

Informan R mengatakan:

“RT kan esih cilik, nembe 9 taun. Nyong ya bingung apa enggane
bocah umur semana kudu ngerti apa anane. Kadang RT ya balik
dolanan mutung terus tek takoni kenangapa nangis, jere tes
diwadani nang kancane, tes ditakoni sapa bapake, diwadani anak
haram lah, anake kaki landung lah. Nang nyong ya mung tek parani
bocaeh mau sing ngomong kaya kuwe, tek omongi kon aja maning-
maning madani anake nyong. Kan niate nyong ben RT ngertine
mengko nek wis mandan gede kelas lima an lah”.
“RT masih kecil, baru 9 tahun. Saya ya bingung apa iya anak umur
segitu harus ngerti apa adanya. Kadang RT ya pulang habis bermain
ngembek terus saya tanyakan kenapa nangis, katanya habis diolok-
olok sama temannya, habis ditanyain siapa bapaknya, dikatain anak
haram lah, anaknya kakek Landung lah. cuma saya samperin anak
yang tadi ngomong seperti itu, saya nasihati supaya tidak lagi-lagi
ngatain ke anak saya. Kan niatanya saya supaya RT tahunya nanti
kalau sudah agak besar kelas lima-an lah”.

Menurut pengakuan R (Ibunya RT), anaknya memang sering pulang

dari bermain dengan keadaan menangis. Penyebab menangisnya adalah

karena mendapat perkataan tidak mengenakkan dari teman-temannya.

Pernyataan R diatas juga mengartikan bahwa R sebagai Ibu kandung

informan RT memang belum memberi tahu siapa ayah dari RT dan dimana

keberadaanya. Alasan bagi R masih menyembunyikannya terhadap RT

adalah karena informan RT dianggap masih belum cukup umur untuk

mengetahui hal yang sebenarnya. Padahal diluar rumah informan RT kerap

kali mendapatkan pertanyaan siapa dan dimana ayahnya. Hal ini terjadi

tidak hanya sekali atau dua kali, tetapi terjadi berkali-kali. Dan hal ini tentu

sangat dikhawatirkan informan RT akan mengalami puncak penderitaan

dikemudian waktu atau yang dikenal dengan istlah “bom waktu”.


82

6) Marah dalam Bentuk Diam saat Orangtua tidak Membelikan Keinginannya

Berbeda dengan informan NV, RT dan DA, informan CS justru

pernah memberikan ekspresi marah dalam merespon situasi-situasi adversity

yang dialami. Kesengsaraan akibat miskin nampaknya belum dapat diterima

sepenuhnya oleh CS. Hal itu diungkapkan oleh CS sebagai berikut:

“Pernah gela aku, gemien ya tau gela aku jaluk HP diwei ora.
Angger ditakoni aku meneng bae, terus nang kamar nangis. Sedih
tok teyenge, ya bersyukur bae lah, anu wis takdir”. (Pernah marah
saya, dulu ya pernah marah saya minta HP tidak dikasih. Kalau
ditanya saya diam aja, terus di kamar nangis. sedih aja bisanya, ya
bersyukur aja lah, sudah takdir).

Informan CS mengatakan bahwa dirinya marah akibat tidak dibelikan

handphone oleh ayahnya. Memang tren yang berkembang di Desa

Somawangi adalah populernya gadget dikalangan anak-anak. Penggunaan

gadget dikalangan anak-anak membuat CS merasa sangat ingin untuk

memiliki dan marah kepada ayahnya karena tidak dituruti. CS mengaku

marahnya hanya dalam bentuk diam, artinya ia hanya diam dan murung

apabila ditanya oleh sipapun. Hal ini juga diakui oleh ayahnya sendiri yaitu

DW yang mengatakan sebagai berikut:

“CS niku umpama lagi pengin jaluk apa-apa ning ora detukokna
anane mutung, tapi ya maksude mutung biasa, ditakoni nang sapa-
sapa meneng, bar kuwe lunga karo batire, la pikire kula mengko li
angger ngelih ya balik. CS kan wis6 taun ditinggal ninggal
mamake, dadi ya wis nrima, gemien mamake ninggal kan pas
melbung TK lah nek ora salah”. (CS itu kalau lagi ingin minta
sesuatu tapi tidak dibelikan bisanya ngambek, tapi ya maskudnya
ngambek biasa, ditanya sama siapa aja diam, setelah itu pergi sama
teman-temannya, pikiranku nanti kalau dia lapar li pulang. CS kan
sudah 6 tahun ditinggal mamahnya, jadi ya sudah dapat menerima,
dulu mamahnya meninggal kan waktu masuk TK).
83

Menurut DW, emosi yang ditunjukkan oleh RT merupakan hal wajar.

Sehingga tidak sampai merugikan dirinya maupun diri RT sendiri. Emosi

marah RT disebutnya hanya bentuk diam lalu kemudian pergi, namun DW

yakin jika RT lapar maka RT akan pulang dan keadaan kembali seperti

biasa. Lebih lanjut DW merasa yakin bahwa RT sudah dapat menerima

kondisinya sebagai anak yang sudah tidak memiliki seorang Ibu. Hal itu

dikarenakan RT sudah hidup tanpa seorang Ibu selama 6 tahun.

b. Cara Informan Tidak Larut dalam Emosi

Jika penderitaan fisik harus diatasi dengan cara medis, maka berbeda

dengan penderitaan psikis yang penyembuhannya terletak pada kemampuan si

penderita dalam menyelesaikan soal-soal psikis yang dihadapinya. Mampu

untuk tetap tenang meski dalam situasi sulit atau tertekan merupakan ciri

individu yang resilien. Hasil wawancara dan observasi menemukan bahwa

informan mampu tenang dan tidak larut dalam emosi yang berlebihan.

Ketenangan didadapatkan melalui beberapa hal atau sumber, diantaranya

adalah dengan bermain bersama teman, adanya pola pikir malu ketahuan sedih

oleh teman, serta hadirnya orang terdekat yang memberi nasihat.

1) Pergi Bermain Bersama Teman

Dunia anak adalah dunia untuk bermain. Bermain juga menjadi

pilihan seseorang untuk menghibur diri untuk melupakan pikiran dan

perasaan negatif. Tiga dari empat informan dalam penelitian ini

menyampaikan bahwa bermain merupakan wahana untuk dapat tetap tegar

dari segala perasaan dan pikiran tidak menyenangkan. Salah satu informan
84

yang menyatakan bermain sebagai cara supaya tidak larut dalam kesedihan

adalah informan CS. Informan CS mengatakan:

“Ya degawe seneng bae lah, dolanan karo batire kaya kuwe,
padane nangumah ora ana bocah ya dolanan gone batire. Ya
kadang dejaki bal-balan, badmintonan, terusan kadang dolanan
dara, wis kaya kuwe, nek ora ya maring sekolahan kono dolanan
dara karo batir akeh. Metu kang umah dolanan karo batire bae”.
(Ya dibuat seneng aja lah, bermain sama teman-teman gitu, semisal
di rumah tidak ada anak-anak ya main ke tempat.Ya kadang diajak
main sepak bola, badmintonan, terus kadang main burung merpati,
sudah kaya gitu, kalau ngga ya ke Sekolahan mainan burung dara
sama banyak teman).

Membawa suasana menjadi senang dengan pergi bermain bersama

teman adalah cara informan CS memodifikasi emosi (sedih) yang muncul

supaya tidak terus-menerus larut dalam kesedihan. Jenis permainan yang

dilakukan bermacam-macam, mulai dari sepak bola, bulu tangkis, dan

burung merpati yang semuanya cukup dilakukan di halaman sekolahnya.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan NV:

“Dolanan karo batire, degawa lunga-lunga jalan-jalan.


(Main sama teman-teman, dibuat pergi-pergi jalan-jalan).

Informan NV mengungkapkan cara agar dirinya tetap tenang dan tidak

larut dalam emosi/ perasaan menderita adalah dengan bermain dan jalan-

jalan. Berdasarkan ungkapan para informan tersebut menunjukkan bahwa

bermain bersama teman adalah cara melupakan emosi sehingga tidak larut

dan tidak terus terpikirkan oleh anak.

2) Malu Terlihat Sedih Dihadapan Teman

Setiap individu pernah merasa malu pada saat usia anak, termasuk

informan. Namun perasaan malu yang ditunjukkan oleh anak bukan karena
85

statusnya yang miskin atau orangtuanya yang tunggal. Akan tetapi perasaan

malu jika dirinya terlihat sedih atau menangis oleh teman-temannya.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh informan DA.

“Cukup sedela tok sedih nangise, soale Isin karo batire nek keton
matane tes nangis”.
(Cukup sebentar saja sedih nangisnya, soalnya malu sama teman-
teman kalau ketahuan matanya abis nangis).

Informan DA merasa malu jika ketahuan dirinya usai menangis atau

sedih. Adanya pikiran malu terlihat sedih inilah yang membuat informan

DA tidak larut dalam mengekspresikan emosi yang muncul atas penderitaan

yang ia alami. Apa yang disampaikan oleh DA ternyata sama seperti yang

diungkapkan menurut sahabatnya yaitu FD.

“Kan DA bocaeh isinan mas, nang sekolah ya isinan nang umah ya


isinan. DA tau nangis pas jam istirahat gara-gara tes ditukari.
Tapi pada batire melbu, DA ora sida nangis.Ditukarine ya akeh la
mas, cokan diwadani bocah ciwek. Iya DA tau cerita nek kae sebel
angger mamake digosipi”.
(Menurutku DA itu orangnya malu-malu mas, di sekolah ya malu-
malu, di rumah ya malu-malu. DA pernah nangis waktu jam
istirahat gara-gara habis diejek teman. Tapi pada teman-teman
masuk, DA tidak jadi nangis. Diejekinya ya banyak la mas, kadang
dikatain anak cengeng. Iya DA pernah cerita dia tidak suka kalau
mamahnya digosipin).

Informan FD sebagai sahabat DA mengungkapkan bahwa DA

memang anaknya pemalu baik di sekolah mapun di lingkungan rumah. FD

menceritakan kejadian ketika DA sedang menangis tetapi kemudian lewat

temannya, maka yang dilakukan oleh DA adalah berhenti menangis.

Menurutnya setiap DA nangis ketahuan temannya maka DA akan dijuluki

„si cengeng‟. Pikiran malu ini telah menjadi kebiasaan DA, sekaligus cara

DA untuk mampu tidak larut atas kesedihan yang dialami.


86

3) Mendengarkan Nasihat dan Tidak Banyak Berbicara

Kehadiran orang terdekat ketika merasa kemalangan adalah suatu

keniscayaan bagi informan. Diantara mereka yang hadir memberi nasihat

dan ketenangan adalah keluarga dan guru atau temannya. Hal tersebut

dialami oleh tiga informan anak. Diantaranya adalah CS yang

mengungkapkan sebagai berikut:

“Bapake neng-nengi la wis aja nangis, wane ya cokan. Angger lagi


diomongi ya dirungokna karo meneng bae, Bersyukur esih duwe
wongtua siji.”
(Bapak menenangkan la sudah jangan nangis, paman ya kadang.
Kalau lagi dinasihati saya mendengarkan sambil diam, Bersyukur
masih punya satu orangtua).

Informan CS mengaku ketika orangtua sedang berbicara maka CS

lebih senang mendengarkan tanpa banyak bicara. Hal itu sebagai bentuk

rasa syukur informan CS karena walau bagaiman pun masih memiliki satu

orangtua. Sama seperti informan NV yang menyatakan bahwa ayahnya juga

hadir memberi nasihat dan kata-kata menenangkan.

“Bapake si kadang ngomongi aku kon nrima apa anane, wis ora
ana mamake nang ngumah ya ora papa”.
(Bapak si kadang nasihati saya supaya menerima apa adanya, sudah
tidak ada mamah di rumah ya tidak papa).

Informan NV mengungkapkan bahwa ayahnya juga berperan dalam

mengatur emosi yaitu dengan memberi kata-kata nasihat yang menengkan.

Tidak ada yang dapat dilakukan oleh NV kecuali harus menerima apa yang

menjadi takdir hidupnya, salah satunya adalah hidup tanpa seorang Ibu di

rumah.
87

Selain keluarga, guru juga menjadi pihak yang hadir memberi

ketenangan pada informan. Hal ini diungkapkan oleh RT yang mengaku

bahwa gurunya lah yang memberi ketenangan ketika dorongan untuk

melawan/ membalas perbuatan temannya yang tidak mengenakkan.

Informan RT mengungkapkan sebagai berikut:

“Bu Guru TA sing ngomeih batir-batir sing pada nukari meng


nyong. Bu Guru ngomong nyong kon aja mbales, kon saba karo
tetep belajar”.
(Bu Guru TA yang nasihati teman-teman yang pada bully saya. Bu
Guru bilang saya supaya jangan melawan, supaya sabar dan tetap
belajar.

Apa yang dikatakan oleh RT menunjukkan bahwa ketika di sekolah,

seorang guru berperan sebagai pemberi ketenangan bagi anak didiknya.

Informan RT nyatanya menjadi anak yang paling berisiko mengalami

perlakuan bullying temannya. Dalam hal ini guru mampu menjadi pelindung

dan pemberi ketenangan bagi informan ketika merasakan kesedihan.

4.2.3 Pengendalian Keinginan Anak dari Keluarga Single Parent Miskin

Seorang anak yang berada dalam situasi penuh tekanan/ penderitaan

mengalami pengalaman dimana merasa tidak mampu menahan keinginannya.

Tapi bagi anak yang resilien hal itu dapat terkontrol. Informan mampu

mengontrol/ mengendalikan keinginan yang muncul dari dalam hatinya. Hasil

wawancara menemukan beberapa hal yang menjadikan informan mampu

mengendalikan/ mengontrol keinginannya, antara lain adalah karena mengerti dan

menerima keadaan orangtua.

Keinginan yang muncul pada seorang informan biasanya terkait dengan

jajan, dan barang. Hal yang membuat informan mampu mengontrol dorongan/
88

keinginan terhadap kepemilikan barang/ jajanan salah satunya dengan adanya

pikiran menerima dan mengerti keadaan orangtuanya. Seperti yang dikemukakan

oleh informan CS sebagai berikut:

“Ya nrima tapi ya ngger lagi jaluk ya pengin kaya kuwe. Wong aku ya
kadang cokan mikir wong wane ora mesti duwe duwit, bapake ya ora mesti
duwi duit, angger duwe duit paling angger adol kayu utawa adol wedus
kaya kuwe tok. Degawe seneng. Aja diemut-emutna bae, aja dibayang-
bayangna bae. La arep kepengin kaya ngapa lah wis ngonoh urung takdire
aku”. (Ya nerima tapi ya kalau lagi minta ya ingin gitu. Orang saya ya
kadang berpikir kalau paman tidak mesti punya uang, bapak ya tidak mesti
punya uang, kalau punya uang paling kalau jualan kayu atau jual kambing
kaya gitu aja. Dibuat seneng. Jangan dibayangin terus. La kalau mau
kepengin kaya apa lah ya sudah lah belum takdirnya saya).

Informan CS mengungkapkan bahwa seketika muncul keinginan untuk

membeli/ memiliki sesuatu layaknya temannya maka tidak lama ia akan memiliki

pikiran tentang kondisi orangtuanya yang tidak memiliki cukup uang. Informan

NV mengatakan:

Bersyukur. Seanane bae, ora wani jaluk werna-werna, wedi bapake gela.
Melampiaskane cukup nangis, nek wis nangis wis plong. gara-gara sering
nangis nilai pelajarane biasane mudun. Kan pas pertamane rengking siji
dadine mudun rengking enem. (Bersyukur. Melampiaskannya cukup
nangis, kalau sudah nangis plong, gara-gara sering nangis nilai
pelajarannya biasanya turun. Kan waktu pertamanya rengking satu jadi
turun rengking enam).

Informan NV tidak ada keinginan untuk melampiaskan kekecewaannya

dengan hal-hal yang negatif. Informan hanya melasmpiaskan dengan menangis.

Namun karena seringnya menangis menyebabkan nilai rangking di kelas menjadi

turun dari semula rengking satu menjadi enam. Bersyukur adalah cara informan

NV menyikapi kesulitan. Perasaan takut membuat ayah marah membuat informan

NV tidak berani menuntut banyak hal. Selain itu, bersyukur membuat informan
89

NV mampu mengerti dan menerima keadaan orangtua, sehingga tidak banyak

menuntut kepada orangtua. Mampu menahan keinginan dengan berpikir

menerima dan mengerti keadaan orangtua juga ditunjukkan oleh informan RT.

Informan RT mengatakan:

“Pengin tuku pit jere ora sida, tuku klambi ora olih, tuku klambi bal
barcelona terus ora olih, terus nukokna sepatu ora olih, carane cokane
mikir ora duwe duit”. (Ingin beli sepeda katanya tidak jadi, beli baju tidak
boleh, beli baju bola bola barcelona terus tidak boleh, terus belikan sepatu
tidak boleh. Caranya kadang mikir tidak punya uang).

Banyak keinginan RT yang sering muncul, baik karena melihat temannya

atau merasa butuh. Namun RT mampu menunda keinginan/ kebutuhannya

tersebut dengan adanya pikiran menerima keadaan. Informan RT mengerti kondisi

keluarganya yang tidak banyak memiliki uang untuk mampu membelikan sesuatu

yang diinginkannya. Memiliki pola pikir menerima juga ditunjukkan oleh

informan DA. Pola pikir yang dibangun oleh DA adalah bahwa kondisi

keluarganya tidak yang miskin menyebabkan Ibunya tidak akan mau membelikan

apa yang menjadi keinginan DA sebagaimana ungkapannya.

Informan DA:
“Ora macem macem jalukane. Seklereban kepengin mengko wis ora.
Sebabe ngerti jelas ora bakal dinumbasna nang mamake”.
(Tidak macem-macem mintanya. Sekilas ingin nanti sudah ngga. Sebab
ngerti jelas tidak akan dibelikan sama mamah).

Berdasarkan ungkapan tersebut, dapat diketahui bahwa informan mampu

mengendalikan keinginan untuk menjadi indiividu yang resilien. Tidak semua

anak mampu memahami kondisi orangtuanya ketika tidak mendapatkan apa yang

diminta pada orangtuanya. Namun informan memiliki pikiran menerima dan

mengerti kondisi orangtuanya yang miskin dan tanpa pasangan. Pikiran itu lalu
90

dijadikan sebagai tameng bagi informan untuk bisa menunda keinginan atau

dorongan yang muncul dalam hatinya.

4.2.4 Kemampuan Menganalisa Situasi Anak dari Keluarga Single Parent


Miskin

Mampu memandang secara tepat terhadap situasi yang mengganggu

ketenangan (adversity) adalah ciri seorang yang resilien. Mampu

mengidentifikasikan penyebab masalah atau keadaan yang dialami secara tepat

juga terlihat oleh para informan. Beberapa hal yang dilakukan oleh peneliti untuk

mengetahui kemampuan informan dalam mengnalisa situasi dilakukan dengan

meminta pandangannya tentang kondisi miskin dan ketidaklengkapan orangtua

(mulai dari arti, sebab, dan akibat), serta bagaimana menyikapinya secara positif.

a. Cara Informan Memahami Kemiskinan dan Ketidaklengkapan Orangtua

Berbagai cara informan mengartikan situasi miskin dan ketidaklengkapan

orangtua. Salah satunya bahwa kondisi miskin oleh sebagian informan

diterjemahkan sebagai kondisi yang uang sakunya sedikit. Hal ini diungkapkan

oleh informan NV dan DA. Informan NV mengatakan:

“Miskin kuwe uripe ora duwe, duite bapak setitik terus sangune dadi
diwei setingi malah kadang ora ana”.
(Miskin itu hidupnya tidak punya, uangnya bapak sedikit terus, uang
sakunya jadi dikasih sedikit malah kadang tidak ada).

Menurut informan NV, miskin adalah kondisi dimana orangtuanya tidak

memiliki banyak uang. Konsekuensi dari itu maka menurut NV uang saku

menjadi sedikit atau bahkan tidak ada. Sehingga miskin menurut NV lebih

kepada kondisi yang dirasa uang sakunya sedikit. Pandangan yang sama juga

diungkapkan oleh informan DA. Yang mengataan:


91

“Miskin ya keluarga sing uripe ora terjamin,ora duwe duit akeh,


sangune sekolahe setitik”.(Miskin ya keluarga yang hidupnya tidak
terjamin, tidak memiliki uang banyak, uang sakunya sedikit).

Informan DA mengartikan „miskin‟ sebagai keluarga yang hidupnya

tidak terjamin. Tidak terjamin dalam hal ini terkait dengan pernyataan DA pada

penjelasan tentang momen merasakan penderitaan sebagai anak single parent

miskin. Menurut informan DA, konsekuensi dari kondisi miskin yang dialami

adalah sedikitnya uang saku yang diterima. Hal tersebut memberikan

pengetahuan baru bagi peneliti bahwa salah satu ukuran/ indikator miskin

menurut informan adalah sedikitnya uang saku yang diterima dari orangtuanya.

Kemiskinan menururt pandangan anak juga dilihat dari keadaan rumah. Salah

satunya oleh informan RT yang mengartikan kondisi miskin diantaranya

adalah rumahnya kecil.

Informan RT:
“Miskin kuwe ora sugih, miskin umaeh cilik, ora kepenak, Pengin tuku
jajan ora olih lah, pengin tuku mercon ora olih lah, jaluk duit ora olih
lah, pengin tuku dolanan ora olih, ngangsu.
(Miskin itu tidak kaya, miskin rumahnya kecil, tidak nyaman, ingin
beli jajan tidak boleh lah, pengin beli mercon tidak boleh lah, minta
uang tidak boleh lah, ingin beli mainan tidak boleh, airnya „ngangsu‟
(mengambil di sumur yang ada di ladang)”.

Informan RT mengartikan miskin dengan gaya bahasanya yang polos,

yaitu dimulai dengan kalimat „miskin itu tidak kaya‟. Lalu kemudian informan

RT menjelaskan “tidak kaya” yang dimaksud adalah yang rumahnya kecil dan

tidak nyaman. Memang di beberapa arti tambahan menurut RT tentang miskin

disebutkan tidak sanggup membeli sesuatu. Namun diakhir pernyataannya RT

kembali mengartikan miskin dari sisi kondisi rumahnya, yaitu keharusan untuk

mengambil air dari ladang karena tidak memiliki sumber air di rumahnya.
92

Hasil observasi peneliti terhadap rumah RT menjadi informasi

pendukung pernyataan RT. Sekilas tampak rumah RT memang terlihat kecil

dan sempit dengan ukuran sekitar 10 m x 8 m. Kondisi rumahnya termasuk

nonpermanen, karena terlihat dinding rumah terbuat dari kayu, lantai berupa

tanah, serta atapnya berupa genteng dengan kualitas kurang baik.

Gambar 4.7 Potret Rumah Informan Anak Single


Parent Miskin (Informan RT)

Mengartikan miskin yang identik dengan rumah yang kecil/ sempit juga

dinyatakan oleh informan CS. Berbeda dengan informan RT, informan CS

lebih dapat menggambarkan pemahamannya tentang sebab keluarganya

miskin.

Ungkapan informan CS tentang arti miskin adalah sebagai berikut:

“Keluarga miskin ya uripe ora tercukupi,umaeh cilik udu gedong,


kadang batire utawa anake tanggane ana sing duwe kiye duwe kiye,
duwe motor akeh utawa duwe HP apa duwe apa akeh kaya kuwe, aku
ora mesti duwe. Jane si wane kerja nggarap sawaeh wong, bapake kur
tukang nderes, angger aku teyeng masak dewek ya bapake bisa teyeng
kerja ora mung nderes”.
(Keluarga miskin ya hidupnya tidak tercukupi, rumahnya kecil bukan
gedung (nonpermanen), kadang teman-teman atau anak tetangga punya
ini punya itu, punya motor banyak atau punya HP atau punya apa
banyak, saya tidak mesti punya. Sebenarnya si Paman kerja di
sawahnya orang, bapak “penderes”, kalau saya bisa masak sendiri ya
bapak bisa kerja tidak hanya jadi penderes).
93

Berdasarkan ungkapan informan CS, miskin itu dialami oleh keluarga

yang hidupnya tidak tercukupi, dan identik dengan rumah yang kecil dan bukan

permanen. Lebih lanjut menurut CS, sebab keluarganya menjadi miskin adalah

karena ayahnya hanya bekerja sebagai penderes nira, sedangkan pamannya

menjadi buruh di sawah milik orang lain. Menurut CS, kondisi akan lebih baik

jika ayahnya dapat bekerja di sektor lain. Namun sulit terjadi karena ayahnya

juga harus menyiapkan masakan di rumah.

Individu yang resilien adalah yang dapat mempersepsikan keadaan

menderitanya dengan tepat. Beragam pemaknaan tentang ketidaklengkapan

orangtua ditunjukkan oleh informan.

Informan CS:
“Wongtua komplit lewih dieman, tapi angger karo bapake tok ya
dieman si tapi kan lewih dieman keluargane komplit. Ora komplit ya
bisa sebabe ditinggal ninggal kaya aku, pisah ya iya”.
(Orangtua lengkap lebih disayang, tapi jika sama ayah saja ya
disayang si tapi kan lebih disayang kalau kelarganya lengkap. Tidak
lengkap ya dapat karena ditinggal meninggal seperti saya, pisah ya
iya).

Informan CS mengungkapkan bahwa hidup hanya dengan ayahnya

memang ada kasih sayang, namun akan merasa mendapat kasih sayang jika

lengkap dengan kehadiran seorang Ibu. Makna dibalik pernyataan informan CS

adalah bahwa orangtua yang lengkap akan memberikan kasih sayang yang

lengkap. Sebalilknya jika orangtua tidak lengkap karena sesuatu hal berarti

telah hilang sebagian kasih sayang orangtua. Sebagaimana informan lain,

informan DA mengartikan ketidaklengkapan orangtua.


94

Informan DA mengatakan:

“Ora lengkap berarti keluarga kuwe sing karo mamake tok utawa
bapake tok. Karena cerai bisa, pisah ya bisa”.
(Tidak lengkap berarti keluarga itu yang sama mamahnya saja atau
bapaknya saja. Karena cerai bisa, pisah juga bisa).

Informan DA mengartikan ketidaklengkapan orangtua sebagai kondisi

yang dalam keluarga tersebut anak hanya tinggal dengan ayah atau Ibunya saja.

Penyebabnya bisa karena perceraian atau meninggal dunia. Berbagai

pemaknaan para informan tentang ketidaklengkapan orangtua tersebut diatas,

dapat disimpulkan bahwa para informan mampu mengartikan kondisi

ketidaklengkapan orangtua dengan tepat. Meskipun kalimat yang digunakan

untuk menggambarkan kemiskinan dan ketidaklengkapan tidak panjang,

namun tetap mengarah pada muara yang tepat.

b. Gaya Berpikir Informan terhadap Kondisi Miskin dan Orangtua Tunggal

Selain mampu memahami sebab-akibat masalah, seorang yang resilien

juga akan mampu memunculkan solusi atas keadaan yang dialaminya. Solusi

yang dimaksud adalah mengubah cara pandang terhadap penderitaan karena

kemiskinan dan ketidaklengkapan orangtua secara postif. Anak single parent

miskin perlu memiliki keduanya untuk dapat resilien. Berbagai jawaban

informan penelitian muncul, diantaranya adalah dengan tidak menyalahkan

orangtua, dan meminta orangtua untuk menikah lagi.

1) Tidak Menyalahkan Orangtua

Anak tidak pernah meminta untuk dilahirkan dari orangtua yang

miskin dan tunggal. Namun para informan tidak membenci orangtuanya.

Hal ini karena orangtua dianggap lebih berharga dari apapun. Kehilangan
95

satu orangtua cukup membuat informan merasa sengsara. Hal ini kemudian

menunjukkan sikap tidak menyalahkan orangtua. Informan CS mengatakan:

“Kadang nyong ya bersyukur esih duwe wongtua. Jajal ndeleng


batire sing wis ora duwe mamak bapak. Wong nyong sing esih
nduwe bapak be wis nlangsa kaya kiye apa maning sing ora duwe
loro-lorone”.
(Kadang saya ya bersyukur masih memiliki orangtua. Coba liat
teman yang sudah tidak punya mamah bapak. Saya aja yang masih
punya bapak aja sudah nelangsa seperti ini apalagi yang ngga punya
dua-duanya).

Pernyataan tersebut menunjukkan rasa syukur informan CS karena

masih memiliki orangtua meski tidak lengkap. Informan CS membayangkan

betapa sengsaranya ketika hidup miskin tanpa memiliki kedua orangtua.

Diawali karena rasa syukur tersebut, mmbuat informan CS tidak ada pikiran

atau perasaan menyalahkan orangtua atas segala kesengsaraan yang

dialaminya. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh informan CS

selanjutnya.

“Bapake nyong pancen wong ora duwe, nyong duwene gari bapak
siji-sijine, bapake ya jane kerja keras, nek ora duwe duit ya pancen
anu urung rejekine. Bapake ora teyeng jukutna rapot ya ora papa,
nangumah ditakoni ikih rengking pira, kaya kiye uripe ya ora
papa”.
(Bapak saya memang orang tidak punya, saya punyanya tinggal
bapak satu-satunya (tidak ada Ibu), bapak ya sebenarnya kerja
keras, kalau tidak punya uang ya emang belum rejekinya. Bapak
tidak bisa mengambilkan rapot tidak papa, dirumah ditanyain inih
rengking berapa, seperti ini hidupnya ya tidak papa).

Situasi meyulitkan yang dialami oleh CS umumnya memang

disebabkan karena kemiskinan. Namun menurut informan CS, semua itu

bukan kesalahan orangtuanya. Karena informan CS menilai ayahnya sudah

bekerja keras, sehingga ketika tidak memperoleh uang berarti belum


96

rejekinya. Tidak menyalahkan orangtua atas kesengsaraan yang dialami

juga ditunjukkan oleh informan DA. Informan DA mengatakan:

“Wis takdire wongtuaku pisah, udu salaeh mamake udu salaeh


bapake. Udu salaeh sapa-sapa, dadi anak yatim ya nrima bae,
bersyukur”.
(Sudah takdirnya orangtuaku pisah, bukan salah mamah bukan salah
bapak. Bukan salah siapa-siapa, jadi anak yatim ya nrima saja
bersyukur”.

Menurut informan DA, tidak ada yang patut disalahkan atas

kemiskinan dan ketidaklengkapan orangtua. Cara yang paling baik adalah

mensyukuri segala takdir yang sudah ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa.

Berdasarkan jawaban-jawaban tersebut menunjukkan bahwa informan

mampu mengubah persepsi kemiskinan yang semula negatif menjadi positif.

Salah satu yang dilakukan adalah dengan tidak menyalahkan orangtua atas

kesengsaraan yang dialami informan.

2) Orangtua Menikah Lagi

Setiap anak memiliki gaya pikiran yang berbeda dalam menyikapi

situasi kemiskinan dan ketidaklengkapan orangtua. Agar dimasa depan

kondisi anak yang miskin dan memiliki orangtua tunggal, sebagian

informan anak berpikir bahwa untuk mengatasinya adalah dengan adanya

pasangan baru bagi orangtua. Salah satunya diungkapkan oleh informan CS,

sebagai berikut:

“Ya Bapake mbojo maning ya bisa tapi bapake cok ora gelem. Dadi
bapake kerja mamake sing masak kaya kuwe. Ya padane ana sing
ngomong mamak tiri jahat meng nyong ya nganah wong anu ko
mbe anu kae mbok mbojone kaya kae, nyong ya gemien duwe
mamak, ko angger galak meng nyong lunga bae si genah, tek omaih
sisan”.
(Ya Bapak nikah lagi ya bisa tapi bapak suka tidak mau. Jadi Bapak
97

kerja mamah yang masak. Ya semisal ada yang bilang Ibu tiri jahat
sama saya ya silakan orang kamu kan nikahnya seperti itu, saya ya
dulu punya mamah, dia kalau galak sama saya mending pergi aja,
saya marahin sekalian).

Peneliti menggarisbawahi makna dibalik ungkapan informan CS

bahwa solusi yang ditawarkan oleh informan terhadap penderitaannya

adalah dengan meminta sang ayah untuk menikah kembali. Tidak hanya itu,

informan CS merasa ayahnya harus mencari sosok pengganti Ibunya yang

penyayang. Hal itu diungkapkan CS karena sering mendapat informasi dari

luar bahwa Ibu Tiri adalah orang yang galak.

Pernyataan yang mirip bahwa orangtua baru yang penyayang sebagai

solusi atas keadaan miskin dan ketidaklengkapan orangtua juga

diungkapkan oleh informan DA. Berikut adalah ungkapan pernyataan

informan DA.

“Ya Mamah mending nikah maning. Tapi golet bapak go aku sing
eman, eman ming aku karo mamah”.
(Ya mamah harusnya nikah lagi. Tapi nyari bapak buat saya yang
sayang, sayang ke saya juga ke mamah).

Berdasarkan pernyataan diatas, menunjukkan bahwa informan pada

umumnya berkeinginan agar orangtuanya memiliki pasangan baru sebagai

ayah/ ibu baru bagi informan. Tapi dengan syarat, Ibu/ Ayah baru tersebut

adalah orang yang penyayang dan tidak galak baik kepada informan mapun

kepada orangtuanya.

Tak dapat dipungkiri bahwa salah satu penyebab sebuah keluarga

tetap miskin adalah karena hanya ada satu orang yang bekerja. Hal ini

memunculkan gaya pikiran baru dari para informan bahwa adanya sosok
98

ayah/ ibu baru juga agar dapat membantu pekerjaan orangtuanya.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh informan NV berikut:

“Kudune mamake balik maning meng ngumah karo bapak. Bapake


sing kerja mamake ya kerja tapi nangumah”.
(Harusnya mamah kembali lagi ke rumah sama bapak. Bapak yang
kerja mamah ya kerja tapi di rumah).

Informan NV memiliki pikiran bahwa agar tidak mengalami perstiwa-

peristiwa yang menderita karena keadaan miskin dan ketidaklengkapan

orangtua adalah dengan keluarga yang kembali utuh. Secara tersirat

ungkapan informan NV mengandung makna bahwa kembali utuhnya

orangtua akan membantu meringankan beban penderitaannya. Hal ini dapat

dilihat dari dua sisi. Disatu sisi informan merasakan kehadiran seorang Ibu,

disisi lain seorang Ibu juga dapat membantu ayahnya mencari uang. Dengan

kedua orangtua yang bekerja, maka pemenuhan kebutuhan dan keinginan

anak, sesekali akan mulai terpenuhi.

4.2.5 Kemampuan Berempati Anak dari Keluarga Single Parent Miskin

Empati sangat dibutuhkan oleh setiap manusia termasuk seorang anak single

parent miskin. Mengutip pendapatnya Reivich & Shatte (dalam Nasution, 2011)

bahwa empati merupakan kemampuan membaca dan merasakan perasaan orang

lain. Jika diterapkan pada seorang anak single parent miskin, maka kemampuan

empati dalam penelitian ditujukan untuk mengetahui kemampuan informan dalam

memahami dan merasakan pikiran dan perasaan orangtuanya, serta teman-

temannya.
99

a. Empati Informan pada Orangtuanya

Empati berarti melihat kerangka pikiran dan perasaan orang lain secara

akurat. Dalam memahami empati terhadap orangtuanya, informan seolah-olah

menempatkan posisinya pada posisi orangtuanya, seolah-olah merasakan

sebagaimana yang dirasakan dan dialami oleh orangtuanya. Berbagai tema

muncul dalam penelitian ini, diantaranya: informan menilai bahwa yang ada

dipikiran dan perasaan orangtuanya adalah yang terpenting kerja keras untuk

anaknya, dan menyesal telah berpisah bagi orangtuanya yang menjadi single

parent karena perceraian.

1) Orangtua Bekerja Keras Demi Anak

Informan anak dalam memiliki empati terhadap orangtua diantaranya

dengan merasakan seolah-olah informan berada dalam posisi orangtua.

Pernyataan yang disampaikan umumnya merupakan ungkapan yang

sederhana ala anak-anak. Salah satu tema yang muncul adalah anak menilai

bahwa yang ada dipikiran dan perasaan orangtuanya adalah „yang terpenting

kerja keras untuk menghidupi anak‟. Hal ini disampaikan salah satunya oleh

informan DA, sebagai berikut:

“Tek bede mamake nyong mikir sing penting nyong bisa sekolah,
mamake kerja ben dina demi nyong. Melas ya iya ora teyeng jajana.
Siki nyong lewih teyeng ngerteni mamake”.
(Saya kira mama h saya berpikir yang penting saya bisa sekolah,
mamah kerja setiap hari demi saya. Melas ya iya tidak bisa kasih
jajan. Sekarang saya lebih bisa ngertiin mamah)

Menurut informan DA, yang dirasakan dan dipikirkan oleh

orangtuannya adalah bagaimana agar anaknya bisa sekolah, meskipun kerja

keras „banting tulang‟, yang terpenting untuk kebahagiaan anak. Informan


100

DA juga mengatakan bahwa selama ini apabila DA meminta untuk

dibelikan sesuatu tetapi tidak diturti, menurut DA sesungguhnya Ibunya

kasian melihat DA. Ungkapan empati DA terhadap Ibunya ternyata seirama

dengan yang dikatakan oleh Ibunya yaitu informan GS.

Informan GS:
“Nyong kan wong wadon dewekan golet duwit dewek langka wong
lanang. Embane ngarah wong lanang ya urung tentu teyeng golet
duit mbok mas, wong siki akeh wong lanang pada ungkang-ungkang
sikil nang ngumah, wong wadon sing nggolet duit. Sing penting siki
kepriwe ban anake teyeng mangan, wongtua ora mangan ora papa
sing penting anake teyeng”.
(Saya kan wanita sendiri nyari uang sendiri, ngga ada laki-laki.
Semisal nyari laki-laki belum tentu bisa nyari uang kan mas, orang
sekarang banyak laki-laki pada duduk-duduk dirumah, perempuan
yang nyari uang. Yang penting sekarang gimana supaya anak-anak
saya bisa makan, orangtua ngga makan ya ngga papa yang penting
anaknya bisa).

Pernyataan GS sebagai Ibunya DA mengandung makna bahwa

sebagai seorang single mother yang miskin, GS rela bekerja keras agar demi

anaknya bisa makan. Lebih lanjut GS juga menuturkan bahwa prioritas

utama bukan mencari ayah baru untuk DA. Karena GS berpikir bahwa ada

tidaknya pengganti seorang ayah bagi DA tidak menjamin ayah barunya

mau bekerja. Apa yang disampaikan oleh GS ternyata senada dengan

pernyataan informan DA sebelumnya, yang menyatakan bahwa yang ada

dibenak pikiran dan perasaaan ibunya adalah kerja keras demi anak. Dengan

demikian berarti empati nforman DA telah akurat.

Kemampuan empati yang sama juga ditunjukkan oleh pernyataan

informan CS. Jika berada diposisi orangtuanya, informan CS mengaku pasti


101

memiliki pikiran yang terpenting „kerja keras demi anak‟. Hal ini

disampaikan dalam ungkapannya berikut ini:

“Kayane bapak si nlangsa, kerja banting tulang kadang nganti


mriang kadang ngasi masuk angin aya kuwe, kadang angger lagi
kaya kuwe aku ngomong: pak njaluk duite aku, terus bapeke njawab
lha wong lagi kaya kiye ko njaluk duit bae ndra ndra wong ngerti
ngerti lagi ora mahal. Aya kuwe”.
(Kayaknya bapak si sedih/ sengsara, kerja banting tulang kadang
sampai masuk angin, kadang kalau lagi kaya gitu saya bilang: „pak
minta uang‟, terus bapak jawab „lha orang lagi kayak gini kamu
minta uang terus, orang ngerti-ngerti lagi tidak kerja. Kaya gitu).

Menurut informan CS, yang ada dipikiran orangtuanya adalah ikhlas

kerja keras sampai rela sakit demi anak. Informan CS juga mengaku merasa

kasian karena pernah meminta uang disaat kondisi ayahnya sedang sakit.

Gambaran empati informan CS kepada orangtuanya kemudian juga

didukung oleh pernyataan orangtuanya yaitu DW. Informan DW seorang

single father dari CS memberi pernyataan sebagai berikut:

“CS si sebenere anake nrimaan, istilaeh ora manja lah. tapi


nyatane siki kan dolanane batir-batire akeh sing anake wong duwe,
dadi ya mungkin weruh batire pada nduwe apa kaya kuwe dadi
kepengin. Siki kula urung kepikiran mbojo, sing penting demi anak
bae”.
(CS si sebenarnya anaknya menerima, istilahnya tidak manja lah,
tapi nyatanya sekarang kan mainnya sama teman-teman yang
anaknya orang punya, jadi ya liat pada punya apa kaya gitu jadi
kepengin. Sekarang saya belum kepikiran nikah yang penting demi
anak saja).

Menurut informan DW, anaknya (CS) sebenarnya adalah anak yang

penerima, tidak banyak menuntut dan tidak manja. Akan tetapi karena

teman pergaulannya banyak dari anak orang kaya, sehingga CS dewasa ini

banyak menuntut untuk dibelikan sebagaimana kepunyaan temannya.

Diakhir pernyataannya, informan DW mengatakan bahwa dirinya tidak ada


102

kepikiran untuk menikah kembali, menurutnya yang terpenting saat ini

adalah kerja keras demi anak.

2) Orangtua Menyesali Perceraian

Sebagian informan anak single parent miskin dengan latar belakang

sebab perceraian memiliki anggapan berbeda dari informan sebelumnya.

Menyesal telah bercerai merupakan pikiran yang menurut informan ada

dibenak orangtuanya. Hal ini seperti diungkapkan oleh informan NV.

Informan NV mengatakan:

“Meren bapake pengin ngarah bojo maning,tapi rasane ya wis


pisah karo mamah ngajog, mamah ya pengin balik umah tapi wis di
gawe lara bapak”.
(Kayaknya Bapak ingin nyari istri lagi, tapi rasanya ya sudah pisah
sama mamah menyesal, mamah ya ingin pulang ke rumah tapi
sudah dibuat sakit sama bapak).

Menurut informan NV, perceraian orangtuanya terjadi karena ayah

yang telah menyakiti ibunya. Sehingga menurut informan NV, ayah

memiliki perasaan dan pikiran menyesal. Kaitannya dengan itu, ayahnya

(HI) mengatakan:

“Dadi wong lanang ya tanggung jawab masalah ekonomi. Ngopeni


anak gari siji be sirah dadi sikil sikil dadi sirah. Ya urung ana
kepikiran mbojo maning. Paling mamake NV angger gelem balikan
maning ya tek lakoni wong demi NV si. Tapi la ya mbokan nang
kana wis olih wong lanang ya dadi ora tek pikirna banget”.
(Jadi laki-laki ya tanggung jawab masalah ekonomi. Nafkahi anak
tinggal satu aja kepala jadi kaki kaki jadi kepala. Ya belum ada
kepikiran nikah lagi. Paling mamahnya NV kalau mau rujuk lagi ya
saya lakukan wong demi NV si. Tapi la ya siapa tau disana sudah
dapat laki-laki ya jadi tidak saya pikirkan banget).

Pada intinya informan HI memang merasa menyesal telah bercerai

dengan istrinya. Hal ini dibuktikan dengan kutipan pernyataan jika sitrinya
103

ingin rujuk kembali maka akan HI lakukan demi NV. Akan tetapi

sesungguhnya dibenak informan HI belum ada pikiran untuk menikah

kembali. Karena merasa mencari uang untuk menafkahi NV saja sudah

susah. Berdasarkan pernyataan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

informan baik dari latar belakang pasangan orangtua yang meninggal,

maupun bercerai, memiliki empati yang akurat terhadap orangtuanya.

b. Empati Informan pada Temannya

Kemampuan berempati juga ditunjukkan pada orang lain, salah satunya

adalah teman seusianya. Berbagai tema muncul ketika informan

mengungkapkan rasa empatinya kepada orang lain. Dua tema yang muncul

tersebut antara lain: bahwa anak miskin tanpa kedua orangtua lebih sengsara,

serta tema tentang teman untuk jangan disakiti.

1) Anak Miskin Tanpa Kedua Orangtua Lebih Sengsara

Ketidaklengkapan orangtua menurut para informan adalah hal yang

tidak mengenakkan. Namun para informan juga mengatakan bahwa tidak

memiliki orangtua sama sekali akan lebih menderita. Gambaran kemampuan

empati informan kepada orang lain dalam hal ini ditujukan kepada anak

seusianya yang mengalami situasi yang sama bahkan lebih menderita. Hal

ini diungkapkan oleh dua informan saat memahami pikiran dan perasaan

orang lain. Salah satunya adalah informan CS yang mengatakan:

“Kadang nyong ya bersyukur esih duwe wongtua. Jajal ndeleng


batire sing wis ora duwe mamak bapak. Wong nyong sing esih
nduwe bapak be wis nlangsa kaya kiye apa maning sing ora duwe
loro-lorone”.
(Kadang saya ya bersyukur masih memiliki orangtua. Coba liat
teman yang sudah tidak punya mamah bapak. Saya aja yang masih
104

punya bapak aja sudah nelangsa seperti ini apalagi yang ngga punya
dua-duanya).

Menghayati kalimat pernyataan informan CS diatas memberikan

pemahaman bahwa sebagai anak single parent yang miskin saja sudah

merasa nelangsa. Informan CS tidak sanggup membayangkan jika ada anak

miskin yang hidup tanpa kedua orangtua. Sehingga informan CS merasa

bersyukur. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh informan CS saat

mencoba berada di posisi orang lain terutama yang lebih menderita darinya.

Hal yang mirip juga diungkapkan oleh informan NV sebagai berikut:

“Melas ya melas nek weruh bocah ora duwe wongtua. Sebabe


ngrasani dewek. Sapa-sapa ora gelem kaya kiye.Kadang ana sing
melu kerja ngrewangi wong tua. Nyong kan wadon dadi nang
mamake ora olih ngapa-ngapa. Ya juga ora ana sing dikerjakna.
Paling gawe kranjang”.
(Kasian ya kasian kalau liat anak tidak punya orangtua. Sebab
merasakan sendiri , Siapa saja tidak ingin seperti ini. Kadang ada
yang ikut kerja bantuin orangtua. Saya kan perempuan jadi sama
mamah ngga boleh ngapa-ngapain. Ya juga tidak ada yang
dikerjakan. Paling buat kranjang).

Berpikir bahwa anak yang sama sekali sudah tidak memiliki kedua

orangtua hidupnya lebih sengsara juga ditunjukkan oleh informan NV.

Informan NV memiliki empati pada orang lain yang ditunjukkan dengan

merasa kasian bila seolah ia berada pada posisi anak yang tanpa memiliki

kedua orangtua. Lebih lanjut informan NV berpikir kadang ada diantara

mereka yang terpaksa harus ikut bekerja. Berdasarkan pernyataan para

informan dapat disimpulkan bahwa informan juga mampu berempati pada

orang lain. Salah satunya adalah dengan mengira bahwa anak yang hidup

miskin dan tanpa adanya keduaorangtua hidupnya lebih sengsara.


105

2) Tidak Menyakiti Teman

Individu yang tidak membangun kemampuan untuk empati tidak

mampu untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain, merasakan apa

yang dirasakan orang lain dan memperkirakan maksud dari orang lain. Salah

satu gambaran empati informan adalah adanya pikiran bahwa seorang teman

adalah cerminan diri. Hal ini diungkapkan oleh informan DA sebagai

berikut:

“Batir kaya keluarga, dadi aja ditukari Nek apikan karo batir,
batire ya apikan meng dewek”.
(Teman ibarat keluarga, jadi jangan dinakali/ disakiti. Kalau baik
sama teman, teman ya baik sama kita).

Menurut informan DA, teman adalah keluarga, sehingga tidak boleh

„nakal‟ kepada teman. Lebih lanjut DA mengatakan jika kita baik dengan

teman, maka teman akan baik dengan kita. Hal tersebut juga didukung

dengan pernyataan informan FD yang merupakan teman terdekat DA.

Informan FD merasa senang berteman dengan informan DA karena anak

yang baik. Informan FD mengatakan:

“DA bocah sing ora tau nukari batire, isinan tapi, gara-gara isinan
nang batire diwadani, DA ne ora mbales, jere mbokan dadi
dewadani terus”.
(DA anak yang tidak pernah menyakiti temannya, tapi pemalu,
gara-gara pemalu sama temannya diejeki, DA nya tidak membalas,
katanya takut diejeki terus).

Informan FD menganggap DA adalah orang yang tidak suka

menyakiti temannya. Meskipun DA pernah dikatain sama teman-temannya,

DA tidak mau membalas mengejek temannya itu. Menurut FD hal tersebut


106

karena DA adalah anak yang pemalu. Tidak tertarik untuk mengejek teman

juga dirasakan oleh informan RT.Informan RT mengatakan:

“Nyong sebel duwe batir tukang madani, padane nyong dadi kae
pada, moh madani batir”.
(Saya sebel punya teman tukang ngejeki, kalau saya jadi mereka,
ngga mau ngejek teman).

Diantara empat informan yang sering mendapat perlakuan tidak

mengenakkan dari temannya adalah informan RT. Namun informan RT

mengatakan bahwa jika dirinya jadi orang lain (teman), informan tidak

mengejek anak karena kondisi orangtuanya. Berdasarkan pernyataan

informan DA, peneliti menyimpulkan bahwa salah satu gambaran empati

informan terhadap orang lain adalah adanya anggapan bahwa seorang teman

tidak boleh disakiti.

4.2.6 Optimisme Anak dari Keluarga Single Parent Miskin

Mengutip pendapat Reivich & Shatte (2002) bahwa individu yang resilien

adalah individu yang optimis. Sementara individu yang optimis adalah yang

memiliki harapan pada masa depan dan percaya bahwa sesuatu yang baik akan

didapatkan. Opimisme pada informan digambarkan dengan melihat bagaimana

harapan dan keyakinan tentang masa depannya.

a. Harapan Informan tentang Masa Depan

Anak yang optimis adalah anak yang tetap memiliki harapan pada masa

depan yang lebih baik meski sekarang hidup dalam situasi sulit. Harapan yang

dimaksud terkaiit dengan kondisinya yang miskin dan ketidaklengkapan

orangtua. Pernyataan para informan penelitian memunculkan tema-tema

menarik terkait tentang harapan tentang masa depan. Berbagai tema tersebut
107

antara lain: lanjut sekolah hingga SMP, berprestasi di Sekolah, teman bersikap

baik, orrangtua panjang umur, serta orangtua yang perhatian terhadap

sekolahnya.

1) Bekerja setelah Lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP)

Terus bersekolah adalah harapan terhadap masa depan yang

diungkapkan oleh informan. Namun harapan untuk terus sekolah yang

dimiliki hanya sampai tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Hal ini

diketahui berdasarkan pernyataan tiga informan. Salah satunya adalah yang

diungkapkan oleh informan CS.

“Ya sekolah disit ngko nek padane lulus sekang SMP apa MTs kerja
lah. Lulus SD, sekolah meng SMP utawa MTs terus kerja. Kerjane
ya seanane bae lah, nek ana kerja kiye ya kiye, seteyenge bae.
Padane ana kerjaan cucian motor apa apa nang Jakarta ya angger
teyeng ya dilakoni bae lah”.
(Ya sekolah dulu nanti kalau lulus dari SMP atau MTs kerja lah.
Lulus SD sekolah ke SMP atau MTs terus kerja. Kerjanya ya
seadanya saja lah. Kalau ada kerjaan cucian motor apa apa di
Jakarta ya kalau bisa dijalani saja).

Informan CS mengungkapkan bahwa sebagai anak miskin dari

orangtua yang tunggal juga memiliki harapan akan masa depan yang lebih

baik. Diantaranya informan CS berharap agar tetap dapat sekolah sampai

SMP/ MTs. Setelah lulus SMP, informan memilih untuk kerja apa saja dan

dimana saja. Hal yang sama juga disampaikan oleh informan NV. Berikut

adalah pernyataan informan NV saat ditanya tentang harapannya terhadap

masa depan:

“Pertama SMPne pengin nang SMP 1 SMP favorit, tapi bapake


pengine nang SMP 3. Terus pengin sekolah terus gutul kuliah, tapi
jere bapak kon aja mikir mengonoh-ngonoh anu wong ora duwe, ya
palingan bar SMP terus kerja apa baen”.
108

(Pertama SMP nya ingin di SMP 1 SMP Favorit, tapi bapak


inginnya di SMP 3, terus ingin sekolah terus sampai kuliah, tapi
kata bapak supaya jangan berpikir ke situ-situ karena orang ngga
punya, palingan setelah SMP terus kerja apa aja).

Informan NV memiliki harapan untuk terus sekolah bahkan sampai

perguruan tinggi, namun informan NV mengurungkan niatnya itu dan

menganggap lebih baik setelah SMP langsung bekerja. Hal ini karena

orangtua (HI) juga menyuruh informan NV supaya tidak berpikir terlalu

jauh tentang kelanjutan sekolah. Terkait hal tersebut, informan HI

mengatakan:

“Nggo mangan wis alhamdulillah ya, ana hasile. Sekolah angele


kuwe kan nggo abendinane mas, nggo sangu. Sangu bocah siki
nang SMP ya ora terima 15.000 sedina, urung”
Buat makan sudah alhamdulillah ya, ada hasil. Kalau sekolah
susahnya itu kan untuk kesehariannya mas, untuk uang saku. Uang
saku sekarang di SMP ya ngga cukup 15.000 per hari, sudah tinggal
kerja saja.

Berdasarkan pernyataan informan HI tersebut dapat diketahui bahwa

tidak ada dukungan dari orangtua terkait cita-cita NV yang ingin

melanjutkan pendidikan tinggi nanti. Hal itu membuat NV pesimis.

Berdasarkan pernyataan para informan, dapat disimpulkan bahwa terdapat

harapan untuk melanjutkan studi pada diri informan meski hanya sampai

jenjang SMP. Kecenderungan untuk memilih bekerja setelah lulus SMP

juga diungkapkan oleh informan DA. Informan DA mengatakan:

“Jere mamake, aku nek bisa kerja bae embane lulus SMP. Aku ya
nek teyeng kerja ya kerja bae”
(Kata mamah, saya kalau bisa kerja saja semisal lulus SMP. Saya ya
kalau bisa kerja ya kerja).
109

Rendahnya motivasi informan DA ternyata dipengaruhi oleh orangtua.

Orangtua informan DA memintanya untuk lebih baik bekerja setelah lulus

SMP. Hal ini membuat informan DA mempertimbangkan kemauan

orangtuanya sehingga tidak lagi memiliki keinginan melanjutkan sekolah

setelah SMP.

2) Berprestasi di Sekolah

Informan memiliki harapan untuk dapat berprestasi di Sekolah. Hal

demikian juga dinyatakan oleh informan RT.

“Cita-citaku pengin dadi TNI. Karo kepengin rengking siji nang


kelas. Tapi ora bakal teyeng rengking anu angel pelajarane, ora
ana sng maraih sina, pada kan dewraih mamake ngerjakna PR”.
(Cita-citaku ingin jadi TNI. Sama ingin peringkat satu di kelas. Tapi
ngga bakal bisa peringkat, karena susah pelajarannya, tidak ada
yang ngajari belajar, pada kan (teman) diajari mamahnya
mengerjakan PR”).

Salah satu harapan informan RT adalah dapat menjadi peringkat satu

di kelas. Namun informan RT merasa kecil hati karena pelajarannya

dianggap sulit. Ketika peneliti mewawancarai gurunya, mengatakan bahwa

informan RT termasuk anak yang bukan berprestasi di Sekolah. Informan

TA (Guru RT) mengatakan:

Sebenarnya RT harusnya kan kelas 3, tapi karena belum bisa ya jadi


belum dinaikan. Kalau di kelas saya itu ada dua siswa yang belum
lancar baca, salah satunya RT. RT itu kalau ditanya jawabnya bisa-
bisa, tapi kenyataannya tidak. Terus RT masih suka bolos sekolah,
tidak masuk sekolah, tapi alhamdulillah seminggu ini tidak bolos.
Kadang ditanya kenapa ngga masuk sekolah, jawabnya sakit. Tapi
waktu saya ke mandiraja lewat jalan liat RT lagi main. Ya jadi ya
memang orangtuanya juga kurang menyemangati.

Berdasarkan pernyataan informan TA, dapat diketahui bahwa RT

memiliki penilaian yang tidak baik tentang kehadiran di Sekolah. Menurut


110

TA, salah satu penyebabnya adalah orangtua RT kurang terlibat/

berkontribusi dalam memberi semangat sekolah kepada RT. Walau

demikian, tetap saja bahwa berprestasi di kelas adalah salah satu harapan

informan RT.

b. Keyakinan Informan pada Masa Depan

Optimisme merupakan keyakinan akan mendapatkan hasil yang baik

di masa depan dan kemampuan untuk dapat bertahan menghadapi masalah

yang ada. Seorang anak yang resilien akan memiliki keyakinan bahwa masa

depannya akan lebih baik. Namun hal itu tidak terlihat pada informan.

Berbagai tema muncul dalam menggambarakan keyakinan informan.

Diantaranya informan tidak yakin dengan cita-cita dan harapan masa depan,

serta menganggap penderitaan karena miskin dan ketidaklengkapan

orangtua akan tetap dirasakan.

1) Tidak Yakin dengan Harapan Masa Depan

Ungkapan ketidakyakinan akan cita-cita dan harapannya

disampaikan oleh keempat informan. Salahsatunya adalah pernyataan

informan CS sebagai berikut:

“Ora pengin SMA lah, jelas angel lah. Cita-citaku Pengin dadi
TNI. Ya, Sekolah ya jane penting.. kepriwe ya, la wong aku ragu
lah, wong aku beh kadang sinau beh angger gelem tok, bapake
juga wong ora duwe”.
(Tidak ingin SMA lah, jelas sulit lah.Cita-citaku ingin jadi TNI.
Ya, sekolah ya sebenarnya penting, gimana ya, la wong saya ya
kadang belajar kalau mau aja, bapak juga orang tidak punya).

Tidak dapat dipungkiri bahwa ketidakyakinan informan CS akan

masa depannya ditengarai karena memahami kondisi miskin


111

orangtuanya. Menurut informan CS yang memiliki cita-cita menjadi TNI

itu mengerti bahwa sekolah adalah penting. Namun informan CS ragu,

merasa tidak yakin, dan tidak memiliki ketertarikan untuk melanjutkan

sekolah di tingkat SMA.

Ketidakyakinan CS untuk dapat terus sekolah ternyata dipengaruhi

oleh kata-kata orangtua. Pembicaraan tentang pendidikan pernah

informan CS sampaikan kepada orangtuanya. Informan CS mengatakan:

“Pernah omong-omongan karo bapake, pak nyong rampung


sekolah nerusna maning apa ora, terus bapake kur njawab ora
ana duit nggo sangu bendinane, terus nyong ya dadi lah ya wis
lah paling mengko kerja tes SMP”
(Pernah berbincang-bincang sama bapak, pak saya selesai
sekolah (SD) neruskan lagi ngga, terus bapak cuma jawab tidak
ada uang buat saku sehari-harinya, terus saya ya jadi lah ya
sudah lah paling nanti kerja setelah SMP).

Pernyataan CS tersebut menunjukkan bahwa dari pandangan

orangtua sendiri merasa sulit untuk membiayai sehari-sehari saat sekolah.

Peneliti kemudian mengobservasi dan menyimpulkan bahwa kebutuhan

pengeluaran sekolah per harinya lebih ditajuti oleh orangtua ketimbang

pembayaran bulanan. Pengeluaran per hari dari orangtua untuk keperluan

sekolah anak antara lain berupa uang saku, dan uang transportasi menuju

sekolah. Ketidakyakinan akan masa depan juga diungkapkan oleh

informan NV. Berikut adalah pernyataan informan NV:

“Nek nerusna meng SMA, bar SMA kuliah ya ora bisa ora ana
biayane. Ora ana sing golet. Kakange gemien be MTs ora
ditamatnaa pas esih ana mamake. Apamaning siki. Ya emabane
ana bantuan si ana tapi ya kayong ora mampu lah nggo sangu
bendinane bapake be langka”.
(Kalau meneruskan ke SMA, setelah SMA kuliah ya tidak bisa,
tidak ada biayanya. Tidak ada yang nyari. Kakak dulu juga MTs
112

tidak ditamatkan pas masih ada mamah. Apalagi sekarang. Ya


semisal ada bantuan si ada tapi ya kayanya tidak mampu lah
untuk uang saku tiap harinya saja langka).

Pernyataan diatas menunjukkan bahwa informan NV tidak yakin

akan bisa sekolah SMA dan kuliah. Hal demikian diyakini oleh informan

NV karena beberapa tahun sebelumnya kakanya juga akhirnya tidak

mampu menamatkan sekolah di tingkat MTs karena alasan tersebut.

Ketidakyakinan akan masa depan juga diungkapkan oleh informan DA.

Informan DA mengatakan:

“Ya nyong mikir-mikir maning nek arep sekolah duwur, ya


kepriwe yah wong nggo dinane be mamah kurang, nggo jajan,
nggo sangu, kabehan”.
(Ya saya mikir, mau sekolah tinggi, ya gimana yah orang buat
seharinya juga dari mamah kurang, untuk jajan, untuk uang saku,
semuanya).

Informan DA memiliki pola pikir bahwa untuk mencukupi

kebutuhan sehari-harinya dari orangtua masih kurang. Sehingga informan

DA merasa tidak mampu sekolah tinggi. Sementara dari pernyataan

orangtua terkait isu masa depan informan GS (Ibu dari DA) mengatakan:

“Njenengan anake wong duwe ya teyeng sekolah duwur. DA


anake wong ora duwe ya mbuh teyeng mbuh ora. Boro-boro
maraih sinau lah mas, wong tuane be keadaane kaya kiye, bodo,
ora ngerti apa-apa, pengine si anake aja tiru bodo kaya
mamake, tapi ya ekonomi kaya kiye, sing nggolet wong siji”.
(Kamu anaknya orang punya ya bisa sekolah tinggi. DA anaknya
orang ngga punya ya tidak tahu bisa apa ngga. Jangankan ngajari
belajar lah mas, wong orangtuanya juga keadaannya seperti ini,
bodo, tidak tahu apa-apa, inginnya si anaku jangan niru bodo
kaya mamahnya, tapi ya ekonomi seperti ini, yang nyari satu
orang.
113

Ketidakyakinan para informan terhadap harapan masa depan

umumnya masih terkait alasan kemiskinan. Berdasarkan pernyataan

informan, peneliti memperoleh temuan bahwa kemiskinan orangtua

ternyata dapat menyebabakan informan merasa tidak yakin akan

tercapainya harapan dan cita-cita masa depan.

2) Keadaan Sulit Berubah

Seorang yang resilien adalah yang optimis dan yakin bahwa pada

akhirnya yang akan terjadi adalah sesuatu yang baik. Meski hidup miskin

dan memiliki orangtua tunggal, seorang anak single parent miskin yang

resilien akan memiliki keyakinan bahwa pada akhirnyayang akan terjadi

kedepan adalah sesuatu yang baik atau kebahagiaan. Namun hal itu tidak

terlihat pada tiga informan. Salah satunya adalah informan CS yang

mengungkapkan:

“Angel kon lewih kepenak, ya kepriwe ya, angel bae lah. Tapi
bersyukur bae lah wis dadi takdire nyong.” (Susah untuk lebih
enak, ya gimana ya, sulit aja lah. Tapi bersyukur saja lah sudah
menjadi takdir saya).

Informan CS memiliki keyakinan bahwa kehidupan yang lebih baik

mungkin sulit diperoleh dikemudian hari. Meski demikian, informan

merasa bersyukur dan mampu menerima keadaan berkat nasihat ayahnya.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan NV. Informan NV

mengungkapkan sebagai berikut:

“Ya palingan tetep kaya kiye bae lah ora berubah. Selama kiye
ya kaya kiye bae mbok. Esih jarang diwei sangu jajan, mamah
ora balik ngumah. Ya tetep bae wis”.(Ya paling tetap seperti ini
aja lah tidak berubah. Selama ini ya kaya ini aja kan. Masih
jarang dikasih uang jajan, mamah tidak pulang rumah. Ya tetep).
114

Mnurut informan NV, situasi tidak mengenakkan karena miskin

dan ketidaklengkapan orangtua tidak akan berubah menjadi labih baik.

Informan NV akan tetap kekurangan uang jajan, Ibunya yang pergi tidak

akan kembali ke rumah, sehingga segalanya akan tetap sama seperti yang

yang telah lalu. Sementara hal yang sama juga terlihat pada informan

DA. Informan DA mengatakan:

“Ajeg kaya kiye, mamake ya ora tau ngerti nyong kepengin apa,
kepengin kiye kepengin kae, mamake ora ngerti, ora tau takon”.
(Sama saja begini, mamah ya tidak pernah tahu saya pengin apa,
kepengin ini kepengin itu, mamah tidak tahu, tidak pernah
nanya).

Informan DA mengemukakan bahwa dirinya akan tetap miskin dan

orangtua tetap tunggal. Informan DA juga merasa Ibunya tidak pernah

menanyakan tentang apa keinginannya. Hal ini menunjukkan bahwa

informan DA merasa Ibunya tidak care kepadanya. Berdasarkan berbagai

pernyataan para informan tersebut menunjukkan bahwa informan

memiliki ketidakyakinan bahwa yang akan terjadi kedepan adalah

sesuatu yang baik. Hal ini menjadi catatan penting bagi peneliti, karena

dengan demikian artinya informan memiliki optimisme yang buruk atau

pesimis.
115

Tabel 4.2 Hasil Penelitian Resiliensi Anak pada Keluarga Miskin Single Parent di Desa
Somawangi
Informan
No Aspek Penelitian
CS NV RT DA
1 2 3 4 5 6
1 Pengaturan Emosi 1. Cemburu 1. Sediih saat 1. Sediih saat 1. Cemburu
Emosi terhadap dengan teman tidak tidak memiliki dengan teman
situasi sulit yang tidak memiliki uang uang saku. yang tidak
karena miskin dan saku. 2. Sedih saat miskin dan
miskin dan orangtuanya 2. Kecewa saat dibully teman orangtuanya
orangtua lengkap. orangtua tidak 3. Marah dalam lengkap.
tunggal 2. Kecewa saat menghadiri bentuk diam 2. Sedih saat
orangtua tidak pertemuan saat orangtua orangtua
menghadiri wali murid di tidak menjadi
pertemuan sekolah. membelikan perbincangan
wali murid di barang tetangga.
sekolah. keinginannya.
3. Marah dalam
bentuk diam
saat orangtua
tidak
membelikan
barang
keinginannya.
Cara tidak 1. Pergi bermain Memilih pergi Mendengarkan Malu terlihat
larut dalam bersama bermain ke nasihat dan sedih dihadapan
emosi teman. rumah tidak banyak teman.
2. Mendengarka temannya. bicara.
n nasihat dan
tidak banyak
bicara.
2 Pengendalian Cara Dapat mengontrol Takut membuat Tidak banyak Memaklumi
Keinginan mengendal ketika muncl orangtua marah menuntut keadaan orangtua
ikan keininan untuk membuatnya orangtua untuk ketika tidak
munculnya membeli/ tidak berani menuruti mendapatkan apa
keinginan memiliki barang menuntut keinginannya. yang diminta pada
karena mengerti banyak hal. Dapat menahan orangtuanya.
dan menerima Memahami keinginan
keadaan orangtua. kondisi orangtua memiliki speatu
yang miskin baru, jajan,
membuatnya mamiliki baju
dapat menahan idola karena
keinginan yang mengerti dan
muncul terhadap menerima
kepemilikan keadaan orangtua.
barang.
3 Kemampuan Gaya Tidak Menginginkan Tidak Tidak
Menganalisa Berpikir menyalahkan orangtua untuk menyalahkan menyalahkan
Situasi informan orangtua. menikah orangtua. orangtua.
terhadap Menginginkan Menginginkan
kondisi orangtua untuk orangtua untuk
miskin dan menikah. menikah.
single
parent
116

1 2 3 4 5 6
4 Kemampuan Empati Merasakan Merasakan Merasakan Merasakan
Empati pada seolah-olah seolah-olah seolah-olah seolah-olah
orangtua berada dalam berada dalam berada dalam berada dalam
posisi orangtua posisi orangtua posisi orangtua posisi orangtua
dengan dengan dengan dengan
beranggapan beranggapan beranggapan beranggapan
bahwa orangtua bahwa bahwa orangtua bahwa orangtua
bekerja keras menyesali bekerja keras bekerja keras
demi anak. perceraian. demi anak. demi anak.

Empati Merasakan Merasakan Merasakan Merasakan


pada teman seolah-olah seolah-olah seolah-olah seolah-olah
berada dalam berada dalam berada dalam berada dalam
posisi teman yaitu posisi teman posisi teman yaitu posisi teman yaitu
anak miskin tanpa yaitu anak tidak menyakiti tidak menyakiti
kedua orangtua miskin tanpa teman. teman.
lebih sengsara. kedua orangtua
lebih sengsara.
5 Optimisme Harapan Bekerja setelah Bekerja setelah Berprestasi di Bekerja setelah
tentang Lulus Sekolah Lulus Sekolah kelas atau Lulus Sekolah
masa Menengah Menengah sekolah. Menengah
depan Pertama (SMP) Pertama (SMP) Pertama (SMP)

Keyakinan Pesimis terhadap Pesimis Pesimis mampu Pesimis terhadap


tentang kemampuan terhadap berprestasi di kemampuan
masa melanjutkan kemampuan sekolah melanjutkan
depan sekolah melanjutkan sekolah
sekolah
119

Tabel 4.3 Kesimpulan Hasil Penelitian Resiliensi Anak pada Keluarga Miskin Single Parent
di Desa Somawangi

No Aspek Penelitian Temuan Tematik


1 Pengaturan Emosi 1. Sedih saat tidak memiliki uang saku.
Emosi terhadap 2. Cemburu dengan teman yang tidak miskin dan
situasi sulit orangtuanya lengkap.
karena miskin 3. Sedih saat orangtua menjadi perbincangan
dan orangtua tetangga
tunggal 4. Kecewa saat orangtua tidak menghadiri
pertemuan wali murid di sekolah.
5. Sedih saat dibully teman
6. Marah dalam bentuk diam saat orangtua tidak
membelikan barang keinginannya.
Cara tidak 1. Pergi bermain bersama teman
larut dalam 2. Mendengarkan nasihat dan tidak banyak
emosi bicara.
3. Malu terlihat sedih dihadapan teman
2 Pengendalian Cara Mengerti dan menerima keadaan orangtua.
Keinginan mengendalikan
munculnya
keinginan
3 Kemampuan Gaya Berpikir 1. Tidak menyalahkan orangtua, dan;
Menganalisa informan 2. Menginginkan orangtua untuk menikah lagi.
Situasi terhadap
kondisi miskin
dan orangtua
tunggal
4 Kemampuan Empati pada Merasakan seolah-olah berada dalam posisi
Empati orangtua orangtua dengan beranggapan:
1. Orangtua bekerja keras demi anak.
2. Orangtua menyesali perceraian
Empati pada Merasakan seolah-olah berada dalam posisi teman:
teman 1. Anak miskin tanpa kedua orangtua lebih
sengsara.
2. Tidak menyakiti teman..
5 Optimisme Harapan 1. Bekerja setelah Lulus Sekolah Menengah
tentang masa Pertama (SMP)
depan 2. Berprestasi di Sekolah

Keyakinan 1. Tidak yakin dengan harapan masa depan.


tentang masa (pesimis terhadap kemampuan melanjutkan
depan sekolah, pesimis mampu berprestasi di sekolah)
2. Meyakini keadaan sulit berubah.
120

4.3 Pembahasan Hasil Penelitian

Hasil penelitian yang telah dikemukkan pada subbab sebelumnya

menggambarkan pencapaian resiliensi informan. Hasil penelitian yang telah

diperoleh dianalisis antara temuan lapangan dengan konsep teori yang relevan.

Pembahasan hasil penelitian di dalamnya mencakup teori dan temuan lapangan,

analisis masalah, analisis kebutuhan dan analisis sistem sumber.

Setiap individu akan bisa menjadi resilien, karena ada banyak faktor baik

internal maupun eksternal yang mendorong dan berperan dalam proses

pencapaiannya. Penelitian dilakukan pada anak single parent miskin dari latar

belakang yang beragam, diantaranya: anak single parent miskin dari orangtua

yang pasangannya meninggal, bercerai, dan hamil tanpa pernikahan. Resiliensi

anak single parent miskin dibentuk oleh beberapa aspek kemampuan yang ada di

dalam dirinya. Pencapaian resiliensi anak single parent miskin dalam hal ini

dilihat dari lima aspek kemampuan menurut Reivich & Shatee (2002) meliputi:

pengaturan emosi (emotional regulation), pengendalian keinginan (impulse

control), kemampuan menganalisa situasi (causal analysis), empati, dan

optimisme. Tema-tema pada hasil penelitian menggambarkan bagaimana anak

single parent miskin mampu resilien.

a. Resiliensi Anak Single Parent Miskin dilihat dari Pengaturan Emosi

Megutip pendapat Reivich dan Shatte (2002) yang mendefinisikan

pengaturan emosi sebagai kemampuan untuk tetap tenang meski dalam situasi

dan tidak menyenangkan. Penelitian tentang resiliensi anak single parent


121

miskin memperlihatkan kemampuannya dalam mengatur emosi terhadap

situasi sulit karena miskin dan ketidaklengkapan orangtua.

Hasil penelitian yang menemukan bahwa ada beragam emosi yang

diekspresikan oleh anak single parent miskin. Emosi yang muncul pada anak

keluarga miskin single parent antara lain: sedih saat tidak memiliki uang saku,

cemburu dengan teman yang tidak miskin, sedih saat orangtua menjadi

perbincangan tetangga, kecewa saat orangtua tidak menghadiri pertemuan wali

murid di sekolah, sedih saat dibully teman, dan marah dalam bentuk diam saat

orangtua tidak membelikan keinginannya.

Beragam emosi yang muncul tersebut mampu diatasi oleh anak single

parent miskin. Sehingga emosi yang muncul tidak berlarut-larut. Beberapa cara

yang digunakan oleh anak single parent miskin untuk mengontrol emosi

menjadi tenang antara lain dengan: pergi bermain bersama teman,

menyembunyikan kesedihan dari teman, serta mendengarkan nasihat dan tidak

banyak berbicara. Beberapa pihak yang terlibat dalam upaya pengaturan emosi

anak single parent miskin antara lain: teman bermain, keluarga/ orangtua, dan

guru.

Kemampuan anak single parent miskin dalam mengatur emosi tidak

didukung oleh peran orangtua. Anak single parent miskin mengalami situasi

penderitaan diantaranya timbul dari orangtua. Beberapa sumbangsih orangtua

terhadap munculnya emosi antara lain: ketidakhadiran orangtua dalam acara

perkumpulan wali murid di Sekolah, termasuk saat anak mengalami situasi


122

tidak menyenangkan dari lingkungan dan temannya. Orangtua belum berperan

sebagai pelindung anak dan tempat curahan hati anak.

Menurut Hurlock (2009) anak mulai mengetahui kapan mengendalikan

ekspresi emosi, serta memiliki keterampilan mengatur emosi yang

memungkinkan mereka secara efektif menutupi emosinya dalam cara yang

sesuai dengan masyarakat. Secara umum, anak single parent miskin lebih

mengekspresikan emosi negatif kepada orangtuanya daripada kepada

temannya, karena menduga bahwa mendapatkan respon negatif, misalnya

digoda atau diremehkan oleh temannya. Pada tahap ini anak single parent

merekam situasi penderitaan yang memunculkan emosi tersebut, dan lama-

kelamaan akan menjadi bom waktu yang dapat meledak pada saat anak single

parent tumbuh remaja dan dewasa. Mengacu pendapat Hurlock tersebut, maka

penyelesaian masalah emosi anak single parent miskin juga perlu melibatkan

terkait orangtua, karena sebagaian besar masalah emosi negatif muncul karena

faktor orangtua.

b. Resiliensi Anak Single Parent Miskin dilihat dari Pengendalian Keinginan

Istilah impuls dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai

rangsangan atau gerak hati yang timbul dengan tiba-tiba untuk melakukan

sesuatu tanpa pertimbangan. Reivich & Shatte (dalam Nasution, 2011)

mengatakan bahwa kemampuan untuk mengontrol impuls menjadi penting

karena berhubungan dengan kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan,

kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang.


123

Anak single parent miskin mampu mengontrol/ mengendalikan

keinginan yang muncul dari dalam dirinya. Seketika anak single parent miskin

muncul keinginan untuk membeli/ memiliki sesuatu layaknya temannya maka

tidak lama ia akan memiliki pikiran tentang kondisi orangtuanya yang tidak

memiliki cukup uang. Keinginan yang muncul pada seorang informan anak

single parent miskin biasanya terkait dengan jajan, dan barang. Hal yang

membuat informan anak single parent miskin mampu mengontrol dorongan/

keinginan terhadap kepemilikan barang/ jajanan adalah adanya pikiran

menerima dan mengerti keadaan orangtuanya. Selain itu anak single parent

miskin tidak memiliki keinginan untuk melampiaskan emosinya ke hal-hal

yang negatif.

Anak single parent miskin mampu mengendalikan keinginan dan

menjadi indiividu yang resilien. Anak single parent miskin memiliki pikiran

menerima dan mengerti kondisi orangtuanya yang miskin dan tanpa pasangan.

Pikiran itu lalu dijadikan sebagai tameng bagi anak single parent miskin untuk

bisa menunda keinginan atau dorongan yang muncul dalam hatinya.

c. Resiliensi Anak Single Parent Miskin Berdasarkan Kemampuan Menganalisa

Situasi

Kemampuan menganalisa situasi (causal analysis) merujuk pada

kemampuan individu untuk mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari

situasi yang mereka hadapi. Seligman (dalam Nasution, 2011)

mengidentifikasikan gaya berpikir explanatory yang erat kaitannya dengan

kemampuan causal analysis yang dimiliki individu. Explanatory style


124

memainkan peran penting dalam resiliensi. Menurut Nasution (2011) individu

yang selalu menghayati bahwa penyebab masalahnya adalah orang lain, tidak

akan dapat menemukan cara mengubah situasi, dan akan tetap tidak berdaya.

Hasil penelitian ini menemukan bahwa anak single parent miskin mampu

mengidentifikasikan penyebab masalah atau keadaan yang dialami secara tepat.

Anak single parent mampu mengartikan kondisi ketidaklengkapan orangtua

dengan tepat. Meskipun kalimat yang digunakan untuk menggambarkan

kemiskinan dan ketidaklengkapan tidak panjang, namun tetap mengarah pada

muara yang tepat. Selain itu, anak single parent miskin juga mampu mengubah

cara pandang terhadap situasi sulit karena kemiskinan dan ketidaklengkapan

orangtua secara postif. Berbagai cara yang ditunjukkan pada anak single parent

miskin, diantaranya adalah dengan tidak menyalahkan orangtua, dan meminta

orangtua untuk menikah lagi.

Explanatory style yang ditunjukkan oleh anak single parent miskin

ditunjukkan dengan tidak menyalahkan orangtua. Hal ini karena orangtua

dianggap lebih berharga dari apapun. Kehilangan satu orangtua cukup

membuat informan merasa sulit dan sengsara. Situasi meyulitkan yang dialami

oleh anak single parent miskin umumnya memang disebabkan karena

kemiskinan. Namun menurut anak single parent miskin, semua itu bukan

kesalahan orangtuanya. Karena anak single parent miskin menilai bahwa

orangtuanya sudah bekerja keras, sehingga ketika tidak memperoleh uang

berarti belum rejekinya.


125

Gaya explanatory style tersebut menunjukkan bahwa informan anak

single parent miskin mampu mengubah persepsi kemiskinan yang semula

negatif menjadi positif. Salah satu yang dilakukan adalah dengan tidak

menyalahkan orangtua atas kesengsaraan yang dialaminya sebagai anak single

parent miskin.

d. Resiliensi Anak Single Parent Miskin Berdasarkan Kemampuan Empati

Mengutip pendapat Reivich & Shatte (dalam Sri Mulyani Nasution,

2011) yang mengungkapkan bahwa empati merupakan suatu kemampuan

seseorang untuk bisa membaca dan merasakan bagaimana perasaan dan emosi

orang lain. Karena pada prinsipnya, empati merupakan fenomena kognitif dan

afektif (Duan & Hill dalam Taufik, 2012). Mengutip pendapatnya Carl Rogers

(dalam Taufik, 2012) yang menawarkan dua konsep tentang empati. Pertama,

bahwa empati adalah melihat kerangka pikiran orang lain secara akurat. Kedua,

dalam memahami orang lain tersebut, seseorang seolah-olah menempatkan

posisinya pada posisi orang lain, sehingga bisa merasakan sebagaimana yang

dirasakan dan dialami oleh orang lain. Empati dalam penelitian ini dibatasi

pada orangtua dan teman anak single parent miskin.

Hasil penelitian menemukan bahwa anak single parent miskin memiliki

kemampuan empati kepada orangtuanya secara tepat. Anak single parent

miskin mampu merasakan berada dalam posisi orangtua, dan menilai bahwa

yang ada didalam pikiran dan perasaan orangtua adalah yang terpenting kerja

keras untuk anaknya. Bagi anak single parent miskin karena orangtua bercerai,
126

memiliki kemampuan membaca pikiran dan perasaan orangtua yang

ditunjukkan dengan anggapan bahwa orangtua menyesali perceraian.

Sementara itu, kemampuan berempati juga ditunjukkan pada orang lain,

salah satunya adalah teman seusianya. Gambaran kemampuan empati seorang

anak single parent miskin kepada orang lain dalam hal ini ditujukan kepada

anak seusianya yang mengalami situasi yang sama bahkan lebih menderita.

Anak single parent miskin berasumsi bahwa anak miskin tanpa kedua orangtua

lebih sengsara, serta tema tentang teman untuk jangan disakiti. Hasil penelitian

menemukan bahwa anak single parent miskin juga mampu berempati pada

orang lain. Salah satunya adalah dengan berasumsi bahwa anak yang hidup

miskin dan tanpa adanya kedua orangtua hidupnya lebih sengsara. Salah satu

gambaran empati anak single parent miskin terhadap orang lain juga

ditunjukkan dengan adanya anggapan bahwa seorang teman tidak boleh

disakiti.

e. Resiliensi Anak Single Parent Miskin Berdasarkan Optimisme

Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Individu yang

resilien adalah yang memiliki harapan dan percaya pada masa depan (Reivich

& Shatte, 2002). Sejalan dengan itu, Gilham, Reivich, Shatte dan Seligman

(2007) mendefinisikan optimisme dalam dua konsep yang berkaitan. Pertama,

yaitu kecenderungan harapan atau keyakinan bahwa pada akhirnya yang akan

terjadi adalah sesuatu yang baik. Kedua, optimisme didefinisikan dengan

konsep yang lebih luas yang mengacu pada keyakinan, atau kecenderungan

untuk meyakini bahwa segala sesuatu di dunia memiliki kemungkinan untuk


127

terjadi secara positif. Opimisme pada anak single parent miskin digambarkan

dengan melihat bagaimana harapan dan keyakinan akan masa depannya.

Hasil penelitian menemukan bahwa anak single parent memiliki harapan

akan masa depannya. Harapan anak single parent miskin meliputi: lanjut

sekolah hingga SMP dan bekerja, berprestasi di Sekolah, serta orangtua yang

perhatian terhadap sekolahnya. Namun anak single parent miskin tidak

memiliki keyakinan tercapainya harapan masa depan. Anak single parent

hanya bercita-cita sekolah sampai jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Hasil penelitian mendapatkan pesimisme anak single parent miskin tentang

kemampuan melanjutkan pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa

ketidakyakinan anak single parent miskin akan masa depannya ditengarai

karena memahami kondisi miskin orangtuanya.

Sehingga hasil penelitian menunjukkan anak single parent miskin

memiliki ketidakyakinan bahwa yang akan terjadi kedepan adalah sesuatu yang

baik. Hal ini menjadi catatan penting bagi peneliti, karena dengan demikian

artinya anak single parent memiliki optimisme yang buruk atau cenderung

pesimis terhadap masa depan.

4.3.1 Analisis Masalah

Berdasarkan pembahasan menunjukkan bahwa anak single parent miskin

mampu resilien pada empat aspek, meliputi: mengendalikan keinginan,

kemampuan menganalisa situasi dan empati. Pada aspek pengaturan emosi, secara

umum anak single parent miskin lebih mengekspresikan emosi negatif kepada

orangtuanya daripada kepada temannya, karena menduga bahwa mendapatkan


128

respon negatif, misalnya digoda atau diremehkan oleh temannya. Pada tahap ini

anak single parent merekam situasi penderitaan yang memunculkan emosi

tersebut, dan lama-kelamaan akan menjadi bom waktu yang dapat meledak pada

saat anak single parent tumbuh remaja dan dewasa. Penyelesaian masalah emosi

anak single parent miskin dalam hal ini sebenarnya ada ditangan orangtua, karena

sebagaian besar masalah emosi dipicu dari dalam keluarga.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa anak single parent miskin laki-

laki dan perempuan berbeda dalam mengekspresikan emosi. Anak single parent

miskin perempuan menunjukkan sifat feminimnya dengan mengekspresikan

emosi sedih dan menghindari emosi marah, serta berusaha menutupi

kesedihannya. Sedangkan anak single parent miskin laki-laki lebih mudah

mengekspresikan emosi marah. Emosi negatif memang merupakan bagian dari

perkembangan anak, namun kehadirannya akan berbahaya jika dibiarkan berlarut-

larut. Dominasi emosi negatif pada anak dapat mempengaruhi pandangan hidup

anak dan mendorong pada perkembangan watak yang kurang baik. Karena itulah,

anak single parent miskin perlu dibantu untuk mengatasi emosi-emosi negatifnya.

Sementara masalah pada aspek optimisme terlihat dari ketidakyakinan anak

single parent miskin terhadap masa depan yang lebih baik. Anak single parent

miskin tidak yakin dengan kemampuan melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA

dan perguruan tinggi. Anak single parent miskin juga tidak yakin bahwa cita-

citanya akan tercapai dimasa depan. Ketidakyakinan para informan terhadap

harapan masa depan umumnya masih terkait alasan kemiskinan. Peneliti

memperoleh temuan bahwa kemiskinan orangtua dapat menyebabakan anak


129

single parent miskin merasa tidak yakin akan tercapainya harapan dan cita-cita

masa depan. Hal ini karena orangtua juga menyuruh anak single parent miskin

supaya tidak berpikir terlalu jauh tentang kelanjutan sekolah. Minimnya dukungan

dari orangtua terhadap cita-cita anak single parent miskin yang ingin melanjutkan

pendidikan tinggi nanti juga disebabkan karena orangtua sendiri bersikap pesimis.

Sehingga anak single parent miskin merasa pesimis tentang tercapainya harapan

masa depan karena pesimisme orangtua.

Membangun dan meningkatkan resiliensi anak single parent miskin akan

tidak hanya mengandalkan kemampuan kognitif anak. Akan tetapi memerlukan

kontribusi berbagai pihak. Hal ini dikenal dengan istilah sumber-sumber atau

faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya resiliensi. Pencapaian

kemampuan resiliensi atas lima aspek tersebut diperoleh karena ada beberapa

faktor yang mempengaruhinya. Mengutip pendapat Everall, dkk (dalam Ifdill &

Taufik, 2012) menyatakan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi

resiliensi, yaitu faktor individu, keluarga, dan komunitas.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijelaskan pada subbab sebelumnya,

setelah dilakukan analisis maka ditemukan beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi resiliensi anak single parent miskin, antara lain:

1) Faktor Individual

Faktor individual yang mempengaruhi resiliensi meliputi kemampuan

kognitif individu yang dimiliki individu (Ifdill & Taufik, 2012). Melalui

kemampuan kognitif anak single parent miskin dapat berpikir tentang kondisi

kemiskinan dan ketidaklengkapan orangtua secara positif. Berikut adalah


130

faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi dilihat dari kemampuan

kognitifnya:

a) Adanya pola pikir malu terlihat sedih yang membuat anak single parent

tidak larut dalam kesedihan.

b) Mengerti dan menerima keadaan orangtua.

c) Adanya pola pikir bahwa orangtua senantiasa bekerja keras demi anak.

d) Adanya pola pikir bahwa anak miskin tanpa kedua orangtua lebih sengsara,

sehingga anak single parent merasa lebih bersyukur.

2) Faktor Keluarga

Keterkaitan emosional dan batin antara anggota keluarga diperlukan

dalam mendukung anak single parent miskin dapat tetap tangguh dari segala

macam bentuk penderitaan/ kemalangan. Beberapa faktor keluarga yang

mempengaruhi resiliensi anak single parent miskin, antara lain:

a) Hadirnya orangtua atau anggota keluarga untuk memberi ketenangan pada

saat anak merasa sedih/ marah terhadap situasi penderitaan.

b) Dukungan orangtua terhadap pendidikan anak, salah satunya diwujudkan

dalam bentuk kehadiran orangtua pada acara pertemuan wali murid di

Sekolah.

3) Faktor Lingkungan Sekolah dan Pertemanan

Sekolah adalah rumah kedua bagi anak single parent miskin yang masih

berstatus sebagai siswa/ pelajar. Faktor lingkungan sekolah meliputi:

a) Hadirnya guru untuk memberi ketenangan pada saat anak single parent

miskin merasa sedih/ marah.


131

b) Dukungan guru dalam mendorong optimisme anak paada masa depannya.

Sementara lingkungan pertemanan juga mempengaruhi pencapaian resiliensi

anak single parent miskin. Faktor lingkungan pertemanan meliputi:

a) Hadirnya teman untuk memberi ketenangan pada saat anak single parent

miskin mengalami emosi atas penderitaan.

b) Penerimaan oleh teman dengan tidak memberikan bullying pada anak single

parent miskin.

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa resiliensi dipengaruhi oleh

faktor-faktor dari dalam individu (internal) dan faktor-faktor dari luar (eksternal)

sebagaimana yang dinyatakan menurut Ifdill & Taufik (2012). Faktor internal

dalam hal ini meliputi faktor individual, meliputi kemampuan kognitif anak single

parent miskin. Sedangkan faktor eksternal mencakup faktor keluarga, lingkungan

sekolah dan pertemanan.

Berdasarkan pembahasan hasil penelitian, menunjukkan bahwa

kemampuan-kemampuan resiliensi anak single parent miskin sebagian besar

bersumber dari dalam diri anak sendiri. Diantaranya berupa kemampuan kognitif

anak, seperti mampu berpikir menerima kondisi miskin dan ketidaklengkapan

orangtua. Pembahasan hasil penelitian jarang menemukan kontribusi orangtua

dalam upaya meningkatkan resiliensi anak single parent miskin. Padahal salah

satu faktor yang dapat meningkatkan keberlangsungan ketahanan anak adalah

keluarga atau orangtua.

Orangtua tunggal miskin tidak memiliki kemampuan yang memadai dalam

membantu anak-anak untuk mengembangkan kapasitas resilien, tidak mampu


132

memberikan respons terhadap berbagai kesulitan yang dialami anak karena

kemiskinan dan bullying. Orangtua tunggal miskin tidak memiliki pemahaman

yang memadai tentang kebutuhan-kebutuhan anak, khususnya kebutuhan kasih

sayang, keamanan secara sosial dari pengaruh perilaku teman, stimulasi yang

tepat untuk mengembangkan kemauan menuntaskan sekolah, sehingga anak

menjadi tidak memiliki karakter resilien terkait dengan optimisme meraih

keberhasilan di masa depan.

Penyebab utamanya kesenjangan kemampun optimisme anak pada dasarnya

adalah karena orangtua tuanggal/ single parent miskin tidak memiliki kemampuan

parenting yang memadai. Hal ini ditunjukkan dengan tidak diketahuinya risiko

masalah yang dirasakan anak, tidak mampu menjadi pendengar anak yang baik,

serta cenderung mengajari anak untuk pesimis. Ketidaktahuan atau wawasan yang

terbatas mengenai pengasuhan anak terkait juga dengan latar belakang pendidikan

orangtua yang rendah (tamat SD). Kondisi orangtua yang kurang terdidik

melemahkan kemampuan single parent miskin untuk berfungsi sebagai orangtua

yang baik karena tidak melihat adanya pilihan lain selain bekerja mencari uang

untuk anak-anaknya. Tidak terpenuhinya hak-hak anak karena kemiskinan dan

ketidaklengkapan orangtua dapat diantisipasi dengan meningkatkan keberfungsian

orangtua dalam pengasuhan.

Terbatasnya latar belakang pendidikan juga memengaruhi kemampuan

single parent miskin untuk memberikan stimulasi yang memadai bagi anak-anak

terutama dalam mengikuti tuntutan akademis di sekolah. Rendahnya tingkat

pendidikan orangtua membuat tidak bisa mendampingi anak belajar di rumah.


133

Single parent miskin merasa cukup tahu dengan status anaknya sebagai siswa di

sebuah sekolah formal. Sementara kualitas hasil belajar yang sebenarnya inti dari

pendidikan anak justru dibiarkan. Hal ini terlihat dengan kurangnya antusias

single parent/ orangtua tunggal miskin terhadap hasil belajar anak, dengan tidak

menghadiri acara pengambilan rapot anak di sekolah. Pada akhirnya, kemampuan/

ketrampilan parenting adalah salah satu yang penting bagi terbentuknya resiliensi

pada anak single parent miskin.

4.3.2 Analisis Kebutuhan

Berdasarkan penjelasan pada analisis masalah, dapat ditentukan pada bagian

mana kebutuhan untuk meningkatkan resiliensi pada anak single parent miskin.

Kebutuhan-kebutuhan tersebut antara lain:

a. Meningkatkan resiliensi dengan mengupayakan peningkatan aspek pengaturan


emosi dan optimisme anak single parent miskin

Pengaturan emosi merupakan kemampuan penting yang harus dimiliki

oleh anak single parent miskin agar situasi penderitaan yang menimbulkan

emosi negatif tidak menjadi bom waktu pada saat anak tumbuh remaja dan

dewasa. Selain itu, anak yang mempunyai optimisme akan mampu bertahan

dalam menghadapi masalah dengan tetap mempunyai keyakinan bahwa dirinya

akan berhasil. Karakteristik dari optimisme mempunyai dampak penting pada

cara anak single parent merespon tantangan masa depan. Adanya optimisme

terhadap masa depan juga dapat menjadi salusi nyata bagi anak single parent

untuk berusaha keluar dari kemiskinan, yaitu optimisme menggapai kesuksesan

melalui jalur pendidikan/ sekolah. Secara khusus, dua kemampuan tersebut

perlu ditingkatkan pada diri anak single parent miskin.


134

b. Pemberian pengetahuan dan keterampilan parenting bagi orangtua tunggal/


single parent miskin

Kemampuan parenting yang baik adalah salah satu yang upaya

mengembangkan dan menjaga resiliensi pada anak single parent miskin.

Pengasuhan yang baik akan dapat meminimalisir dampak negatif dari situasi

kemiskinan dan ketidaklengkapan orang tua yang dialami anak. Orangtua perlu

memiliki pengetahuan dan keterampilan spesifik dalam rangka meningkatkan

resiliensi anak single parent miskin. Hal ini karena anak yang hidup dalam

kondisi orangtua tunggal dan miskin memiliki faktor risiko yang tinggi untuk

mengalami adversity. Sehingga obat penawarnya salah satunya adalah

meningkatkan kapastas pengasuhan orangtua untuk memahami segala risiko

yang ada pada anak single parent miskin.

4.3.3 Analisis Sistem Sumber

Sistem sumber adalah sesuatu yang ada dan dapat dikerahkan dan

digunakan sebagai penolong agar berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dan

memecahkan suatu masalah. Apabila dikaitkan dengan hasil analisis masalah

dan kebutuhan, maka dibutuhkan sistem sumber yang relevan. Berbagai sistem

sumber yang releven adalah yang tersedia di lingkungan terdekat.

a. Sumber Internal dan Eksternal

1) Sumber Internal adalah sumber yang ada di dalam diri individu. Pada

penelitian ini, sumber internal yang ada di diri anak single parent miskin

meliputi kemampuan memahami dan menerima kondisi miskin dan

ketidaklengkapan orangtua, dan menyukai permainan. Sedangkan sumber


135

internal yang ada di orangtuanya meliputi motivasi dan pola pikir kerja

keras demi anaknya.

2) Sumber Eksternal adalah sumber yang ada di luar diri individu seperti

pihak-pihak yang dapat memberikan pertolongan, diantaranya adalah

pekerja sosial profesional/ sakti peksos anak, TKSK, Warga Karang

Taruna Somaliman, dan forum warga masyarakat peduli anak.

b. Sumber offisial/ formal dan sumber non-offisial/ non-formal

1) Sumber offisial dalam hal ini terdiri dari Dinas Sosial Kabupaten

Banjarnegara, Mitra Wacana, Lembaga dan organisasi ini dapat

dimanfaatkan untuk memudahkan akses dalam mendapatkan dukungan

yang ahli dalam bidang yang dibutuhkan.

2) Sumber non offisial merupakan bagian dari sistem sumber pertolongan

alamiah dimana dukungan, kasih sayang, dan kepedulian dari orang-

orang tertentu memiliki pengaruh dalam proses membangun resiliensi

anak single parent miskin. Sumber non offisial dalam hal ini berupa

dukungan emosional maupun sosial dari kerabat, tetangga, dan teman.

Anda mungkin juga menyukai