Anda di halaman 1dari 103

K.

H MOHAMMAD ISA ANSHARY

( SOSOK ULAMA ANTI KOMUNISME 1936-1968 )

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

Pada Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora.

UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Oleh :

Nrwan Jahaba

Nomor Pokok 1165010118

PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2020
ABSTRAK

K.H Mohammad Isa Anshary, sosok ulama Anti Komunisme yang perjuanganya

di Indonesia cukup mendapat perhatian dikalangan akademik. Perjuangannya demi

terwujudnya ideologi islam tidak pernah berhenti hingga akhir hayatnya. Dalam literature

sejarah Isa Ansahry diposisikan sebagai tokoh islam radikal, fundamentalis, karena

sifatnya yang tidak kompromistik terhadap ideologi yang menurutnya bertentangan

dengan nilai-nilai Islam. Dalam semoboyannya “Dengan al-Quran dan Sunnah” kita

berjuang dalam medan politik untuk menegakan ideologi Islam”. Maka tidak

menherankan jika Isa Anshary memiliki jiwa miltansi dan ketegasannya dalam menolak

Komunisme di Indonesia sebab menurut Isa Anshary komunisme secara basis ideologis

belum selesai bahkan secara dasar ideologi bertentangan dengan Islam.

Persis di bawah kepemimpinan Isa Anshary cenderung sangat politis. Sikap dan

pandangan Isa Anshary lebih tegas lagi. Ia menyatakan bahwa perjuangan dalam politik

saat itu adalah wajib.pimpinan Partai Masyumi wilayah Jawa Barat. Dalam kepengurusan

partai ditahun 1956, ia menjadi pengurus Pusat Masyumi. Ia juga menjadi anggota fraksi

Masyumi dalam Majelis Konsituante Republik Indonesia dari hasil Pemilu 1955.

Penilitian ini mengunakan pendekatan sejarah dan social-politik untuk memahami

latar belakang pemikiran dan gerakan politik Isa Anshary. Hasil kajian ini menujukan

bahwa karakter khas Isa Anshary yang bersifat radikal revolusioner pada komunisme

disebabkan faktor aktifitas dan lingkungan politik Isa Anshary pada peristiwa Revolusi

Fisik dan dinamika pada Jamiyah Persis dan Partai Islam Yakni Masyumi.
KATA KUNCI : Isa Anshary, Masyumi, Persis dan Komunisme

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil ‘alamain, puji syukur sepantasnya dihaturkan pada Allah

Sang Maha Pengatur. Atas perkenan-Nyalah, Skripsi ini selesai juga dirampungkan,

walaupun dalam keadaan yang sangat serba “kepepet”. Namun tentu saja ini bukan

apologi atas segala kekuarangan dalam skripsi ini. Segala kekurangannya semata karena

kelemahan penulis deniri.

Skripsi ini merupakan dedikasi lebih lanjut atas rasa hormat dan kebangaan saya

terhadap sosok tokoh pejuang yang menjadi tema pokok dalam skripsi ini yakni: K.H

MOHAMMAD ISA ANSHARY (SOSOK ULAMA ANTI KOMUNISME 1936-

1968). Skripsi ini merupakan tugas akhir dari masa menutut ilmu di perguruan tinggi UIN

sunan Gunung Jdati Bandung, namun bukan sebagai akhir dari pencarian Ilmu.

Proses penyusunan Skripsi ini dikerjakan berkat bantuan yang sangat banyak dari

berbagai pihak yang terkait. Pertama, penulis ingin mendedikasikan rasa terima kasih

kepada pihak Fakultas Adab Dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang

telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Secara

khusus rasa terimakasih ini penulis sampaikan kepada:

1. Dekan Fakultas Adab UIN Sunan Gunung Djati Bandung beserta Stafnya.

2. Ketua Jurusan Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab UIN Sunan Gunung

Djati Bandung beserta Stafnya.

3. Ibu Dr. Widiati Isana, M.Ag. selaku Dosen Pembimbing Akademik.


4. Bapak Usman Supendi M.pd. selaku Dosen Pembimbing skripsi yang telah

meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan masukan kepada penulis

demi terselesaikanya skripsi ini.

5. Ayahanda dan Almarahuma Ibu saya yang tercinta atas kasi saying, do’a serta

jerih payah mendidik ananda hingga sekarang. Kakak-kakakku tercinta serta

adik yang telah memberikan dukungan moral maupun moril untuk

menyelesaikan skripsi ini.

6. Teman-teman seangkatan SPI’C, yang telah memberikan dukungan kepada

penulis untuk menyesalikan skripsi ini.

7. Sahabat Kholid Ahamad, Hidayat Hassan, Sahrul Darwis, dan juga sahabat

yang selalu mengingati penulis untuk mengerjakan skripsi Indah Sari Safitri

Waikabu yang telah memberikan dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Kawan-kawan GMNI UIN Bandung, IKAPMIM, dan Juga HIMA PERSIS

yang telah memberi dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini. Serta semua

pihak yang secara tidak langsung terlibat dalam penyususnan skripsi ini.

Semoga segala amal kebaikan mereka diterima di sisi Allah SWT, Aamiin.

Selanjutnya kritik dan saran yang bersifat membangun penulis harapan demi

kesempurnaan skripsi ini.

Bandung, 23 Januari 2021


Penulis

Nirwan Jahab
DAFTAR ISI

ABSTRAK........................................................................................................................................i

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................1

A. Latar Belakang.................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah............................................................................................................7

C. Tujuan Masalah................................................................................................................7

D. Kajian Pustaka..................................................................................................................7

E. Langkah-Langkah Penelitian...........................................................................................9

1. Heuristik.......................................................................................................................9

2. Kritik..........................................................................................................................12

3. Interpretasi..................................................................................................................18

4. Historiografi................................................................................................................20
..........................................................................................................................................................

BAB II BIOGRAFI K.H. MOHAMMAD ISA ANSHARY.........................................................22

A. Biografi K.H Mohammad Isa Anshary..........................................................................22

1. K.H Mohammad Isa Anshary.....................................................................................22

4. Kiprah Awal KH Mohammad Isa Anshary................................................................23

F. Karya-Karya K.H Mohammad Isa Anshary..................................................................27


BAB III KH MOHAMMAD ISA ANSHARY (SOSOK ULAMA ANTI KOMUNISME 1936-

1968)..............................................................................................................................................30

A. KH Mohammad Isa Anshary Sebagai Ualama Dan Tokoh Politik Islam Indonesia.....30

1. Ketua Umum Persatuan Islam....................................................................................30

5. Anggota Partai Masyumi............................................................................................35

6. Anggota Sidang Konsituante......................................................................................42

G. K.H Mohammad Isa Anshary Sikap Politik Dan Konsep Dasar Negara.......................47

1. Pancasila.....................................................................................................................47

7. Islam Dan Nasionalisme.............................................................................................59

H. K.H Mohammad Isa Anshary Anti Komunisme............................................................66

8. Komunisme................................................................................................................66

9. Komunsime Di Indonesia...........................................................................................71

10. Islam Dan Komunisme...............................................................................................76

11. Front Anti Komunisme...............................................................................................82

BAB IV PENUTUP.......................................................................................................................92

A. Kesimpulan....................................................................................................................92

I. Saram.............................................................................................................................93

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................... 94
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di tahun 1930-1940 , ketika Indonesia masih dalam keadaan dijajah oleh Belanda,

telah terjadi perdebatan tentang bentuk Negara yang di cita-citakan jika Indonesia

merdeka. Di suatu pihak ada Soekarno yang mencetuskan konsep Negara sekuler seperti

Turki. Dan pada pihak lain ada Muhammad Natsir dan A. Hassan dari Persis yang

membela konsep Negara Isalam.1

Pada tahun 1920-1930 di kenal sebagai dasawarsa ideologi dalam sejarah modern

Indonesia. Pada masa ini bebagai jenis ideologi yang berpengaruh dalam pertumbuhan

keagamaan dan perjuangan politik, mulai di rumusakan hingga di perdebatkan. Sekitar

tahun 1920 “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” dengan jelas memperlihatkan

sebuah pertarungan ideologi-ideologi tersebut. Hal ini terjadi sebab permasalahan

ideologi itu tidak hanya terkait permasalahan strategi perjuangan dan pergerakan

Nasional, tetapi cuka dasar dan motivasi sebuah gerakan.2

Dalam konteks inilah, muncul berbagai organisasi Islam yang ikut aktif dalam

proses pergulatan politik tersebut. Salah satu organisasi itu adalag Persatuan Islam, yaitu

sebuah organisasi social kegamaan atau yang lebih dikenal dengan Persis. Organisasi

Persis (Persatuan Islam) di dirikan di Bandung Jawa Barat pada sekitar tahun 1920 oleh

1
Pepen Irfan Fauzan, Dinamika Pemikiran Politik Persis 1945-1957, Perbedaan Pandangan dan Sikap Politik Natsir
Behadapan dengan Isa Anshary tentang Konsep Negara. Tesis Universitas Indonesia. hlm 3.
2
Ibid
sekelompok pedagang yang berasal dari Palembang, yang sudah lama menetap di

Bandung, yaitu diantaranya H. Muhammad Zamzam dan H. Muhammad Yunus.3

Pada Perkembangan Oranisasi Persatuan Islam di tahun 1930-1940 para tokoh

yang terkemuka diantaranya Tuah Hassan dan Mohammad Natsir. Berdeirinya Organisasi

Perastuan Islam yang bersamaan dengan muculnya gejolak aliran politik pergerakan yang

menuntut kemredekaan, tidah hanya membuat Organisasi ini juga turut perkecimpun

dalam persoalan-persoalan politik Kemerdekaan. Tokoh-tokoh Persatuan Islam pada

dasawarsa ini pun menjadi corong perlawanan terhadap pemikiran pemikiran

Kominsisme dan Sekularisitk Soekarno.4

Pasa awal kemerdekaan, aktivitas Persatuan Islam semakin tinggi, bahakan secara

formal Persis menjadi anggota istimewa Partai Masyumi pada 1948 5 muncul wajah baru

di tubuh Persis dalam pergerakan Politik. Di samping Natsir yang toko politik Islam dan

politiknya paling menonjol, Persis pun memiliki sosok toko Mohammad Isa Anshary atau

atau Isa Anshary yang sangat kritis dan vocal. Kedua tokoh ini merupakan kader muda

Persis yang dididik langsung oleh A. Hassan.6

Di kalangan tokoh Persatuan Islam terdapat pandangan-pandangan Politik yang

beragam, bahakan sering terjadi perdebatan-perdebatan pandangan yang cukup tajam

berkenaan dengan menyakapi realistas politik, terutama sesudah kemerdekaan Indonesia.

setidaknya ada dua pendekatan politik. Yang pertama adalah pendekatan yang bersifat

3
Dalie Noer, Gerakan Moderen Islam Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1997, hlm, 105
4
Pepen Irfan Fauzan, Dinamika Pemikiran Politik Persis 1945-1957, Perbedaan Pandangan dan Sikap Politik
Natsir Behadapan dengan Isa Anshary tentang Konsep Negara. Tesis Universitas Indonesia. hlm 3-4.
5
Dalie Noer, Gerakan Moderen Islam Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1997, hlm, 5
6
Pepen Irfan Fauzan, Dinamika Pemikiran Politik Persis 1945-1957, Perbedaan Pandangan dan Sikap Politik
Natsir Behadapan dengan Isa Anshary tentang Konsep Negara. Tesis Universitas Indonesia. hlm 7
radikalistik, pendekatan model ini dipimpin oleh Isa Anshary dengan dukungan A.

Hassan. Pendekatan kedua, bersifat lebih moderat, gaya ini diperlihatkan oleh M. Natsir

yang mencoba mengakomodasi realitas politik saat itu, tanpa harus meninggalkan

prinsip-prinsip poitik Islam.7

K.H M. Isa Anshary, Pimpinan Pusat Persatuan Islam pada tahun 1948, dan

merumuskan juga menyusun buku Manifest Perjuangan Persatuan Islam, yang di

dalamnya menegaskan sebagai kelompok radikal-revolusioner.8

Isa Ansahry melakukan Aktifitas Front Anti Komunisme dengan dibantu oleh

Yusuf Wibisono dan Syarif usman, bersama mereka pula, Isa Anshary menerbitkan

sebuah buku yang berkenaan dengan penolakanya terhadap paham Komunnisme, buku

tersebut berdudul Bahaja Merah di Indonesia, dalam buku tersebut ada beberapa hal.

Pertama, karena Paham komunisme di dasarkan pada falsafah Historis-Materialsime

yang dianggapnya sebagai pandangan hidup yang belum selesai dan bertentangan dengan

fitrah kemanusiaan. Kedua, paham itu anti-Tuhan, anti-agama, bahkan sebuah agama

palsu. Ketiga, Isa Anshary menunjukan dari sejarah bahwa kaum komunis sesungguhnya

adalah pemerintahan teror. Oleh sebab itu, ia dengan sendirinya bertentangan dengan

demokrasi dan menciptakan imprealisme baru.9

Front Anti Komunis itu sendiri aktif di sebagaian kalangan masyarakat Muslim

yang sangat tergantung pada kelompok Masyumi local, akibatnya dukungan dari

kelompok islam lainya, terutama yang tidak berafiliasi ke partai Masyumi, cenderung

tidak terlalu kuat. Kelemahan lainya seperti ditunujkan oleh Fiederspiel ia menujukan
7
Ibid
8
Isa Anshary. Manifest Perjuangan Persatuan Islam, Bandung: Pusat Pimpinan Persatuan Islam, 1958, hlm. 33.
9
Anshary, Bjhaya Merah Di Indonesia, Bandung: PP Persis, 1968 hal 4-25
bahwa kekuatan Front Anti Komunis hanya di beberapa titik daerah, seperti Jakarta dan

Surabaya, tetapi tidak pernah benar-benar menjadi kekuatan yang bersifat nasional. Hal

ini dikarenakan masyarakat melihat front ini sangat dogmatis dan agak ekstrim. Padahal

di lain pihak , saat arus politik nasional sebagaimana dikehendaki Presiden Soekarno dan

kekuatan politiknya yang dominan justru menginginkan semua pandangan dan kekuatan

politik nasional (NASAKOM) harus di masukan dalam arena politik. Walaupun

demikian, dukungan terhadap organisasi ini cukup luas terutama seperti di sebutkan di

atas, di daerah Jakarta dan Surabaya. Pada kahirnya organisasi ini pun di bubarkan pada

tahun 1958.10

Persis (Persatuan Islam) di bawah kepemimpinan Isa Anshary (1948-1960),

jumlah anggota Persis pada waktu itu ditaksir mencapai sepuluh ribu. Demikian pula

cabang-cabang Persis yang berdiri dan tersebar luas di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah

bagian Barat, Bangil, Jawa Timur dan Palembang. Risalah, media resmi organisasi

mealporkan bahwa cabang-cabang Persis telah berdiri di Bandung, Simpang, Ciawi,

Cikalong, Tasikmalaya, Soreang, Cisomang, Sumedang, Cicalengka, Buah Batu,

Rajapolah, Palembang, Magung, Padaralang, Pinang, Purwakarta, Serang, Cianjur,

Pameumepeuk, Pamanuka, Subang, Mataram Utara Jakarta. Pada era ini organisasi

Persatuan Isla di bawah kepemimpinan Isa Anshary cenderung sangat politis. Sikap dan

pandangan Isa Anshary lebih tegas lagi ketika ia menyatakan, bahwa perjuangan dalam

politik saat itu adalah wajib. Perjuangan Islam, termasuk Persis, tidak hanya pada

lapangan fiqih Ibadah ritualistic saja, lebih dari itu adalah termasuk juga ibadah untuk

perjuangan pada medan politik. Hanya, tentu saja, perjuangan yang termasuk ibadah itu

10
Pepen Irfan Fauzan, Perumus Manifest Perjuangan Persatuan Islam, 2016, hlm 159.
adalah untuk memajukan ideologi Islam, bukan ideologi yang lain. Untuk itu, Persis pun

mendukung sepenuhnya Partai Masyumi.11

Dalam pergulatan politik, Masyumi menjadi ladang bagi para ulama kritis,

berpolitik merupakan bagian tuntunan agama. Mereka selalu meneriakan kebenaran

walaupun pahit dirasakan. Bagi mereka berpolitik adalah alat untuk mencapai cita-cita

umat islam, di bawa bendera Masyumi, ia semakain memperkuat posisinya sebagai

politisi. Tahun 1949, ia memimpin sebuah kongres Gerakan Muslim Indonesia.

ketelibatan Isa Anshary dalam pentas politik membua dia harus menghadapi resiko yang

tidak kecil, ketika terjadi razia terhadap orang-orang yang diusukan inggin membunuh

presiden dan wakil presiden pada bulan agustus 1951oleh PM Sukiman Wirdjosandjoyo,

Isa Anshary ditangkap, namun beberapa saat kemudian ia dilepaskan dan dinyatakan

tidak bersalah. Sepak terjangnya di bidang politik sempat menyedot perhatian massa. Di

mana ia memberikan pidato yang dipenuh massa yang inggin mendengarkan suaranya.

Biasanya massa yang hadir bukan hanya partisipan Masyumi, tapi juga masyarakat

umum. Pada masa Soekarno, Masyumi menjadi salah satu lawan politik Pemerintah yang

terus digencet. Saat tragedy Permesta meledak (1958), banyak tokoh-tokoh yang diciduk.

Termasuk Isa Anshary yang saat itu berada di Madiun bersama Prawotomangkusumito,

M. Roem, M. Yunan Nasution dan EZ. Muttaqien serta beberapa tokoh lainya.12

KH. Muhammad Isa Anshary lahir di Maninjau, Sumatra Barat, tempat

kelahiranya juga merupakan tempat kelahiran para pemikiran dan pejuang nasional

seperti Buya Hamka, M. Hatta, sampai Tan Malaka. Ia menempuh pendidikan Madrasa di

11
Isa Anshary, Manifest Perjuangan Persatuan Islam, Bandung: PP persis 1958, hlm 58.
12
KH. Isa Anshari (1916-1969) : "Sang Singa Podium" Dalam https://cabangmargaasih.blogspot.com/2013/10/kh-
isa-anshari-1916-1969-sang-singa.html Akses tanggal 22 januari 2020
desanya yang diurus oleh para moderenis Muslim. 13 Pada tahun 1932, ia merantau ke

Bandung untuk mengikuti gerakan politik yang dipimpin oleh Soekarno dan sekaligus

memperoleh pendidikan keagamaan dari Ahmad Hassan. Ia tetap tinggal di Bandung

meski Ahmad hasan pindah ke Bangil jawa Timur, dan ia pun memulai menulis masalah-

masalah agama dan politik di bawa bimbingan Muhammad Natsir.14

Ada beberapa sebutan atau julukan yang melekat pada diri Isa Anshary. Ada yang

menyebutnya sebagai Napoleon, ini karena bentuk tubuhnya yang pendek, gemuk,

berkobar-kobar dalam tiap konfrontasi, tangkas, dan agresif. Sedangkan di kalangan

Partai Masyumi Isa Anshary dikenal dengan julukan Singa Mimbar, karena dalam

berpidato ia dikenal sangat tegas dan tangkas. Oleh karena kepiawiannya itu, ia kerap

dikritik baik oleh lawan politiknya maupun oleh kalangan Masyumi sendiri. Isa Anshary

bukan saja seorang mubaliqh islam yang fasih, melainkan juga dia seorang penulis yang

tajam. Ia termasuk salah seorang perancang Qanun Asasi Persatuan Islam yang telah

diterima secara bulat dalam Muktamar V Persis tahun 1953, yang kemudian

disempurnakan pada Muktamar VIII Persis tahun 1967. Dalam kesibukanya sebagai

ulama dan politisi, ia berhasil menyusun sekitar 21 judul buku karyanya serta sebagai

penulis dalam majalah dan surat kabar.15

Isa Anshary Meninggal di Bandung bertepadan pada tanggal 11 Desember 1969,

semasa hidup beliau Ia sangat fasih dalam membicarakan Politik. Musuh utama Isa

Anshary adalah Komunisme baginya Komunisme itu haram bagi politik nasional, karena,
13
Nama K.H. Muhammad Isa Anshary sepertinya dilupakan, dalam http://www.Pikiranrakyat.co.id Akses tanggal 2
januari 2020.
14
Howard M. Federspiel, Persatuan Islam Pembaharuan Islam di Indonesia Abad XX, terj. Yudian W. Asmin, H.
Afandi Mochtar (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), hlm. 160.

15
Dadan Wildan, Yang Da’I Yang Politikus, (Bandung: Rosdakarya, 1997), hlm. 92.
komunisme itu anti Tuhan anti Agama dan dengan begitu anti Islam. 16 Untuk memerangi

kaum Komunis, dengan ulama Persis ia mempublikasikan buku dan mendeklarasikan

manifesto-manifesto politik, dan mengeluarkan fatwa-fatwa yang merasionalisasikan

penolakan keras terhadap komunisme.17 Karena pendirianya yang keras anti komunisme

M. Natsir secara pribadi menyebutnya “Joe McCarthy Kita.18

Oleh karena itu, dipandang perlu sebuah kajian yang mengungkapkan membahas

K.H Mohammad Isa Anshary dengan segala dinamikanya. Tulisan ini Berdul: “K.H

Mohammad Isa Anshary (Sososk Ulama Anti Komunisme 1936-1968)”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana K.H Mohammad Isa Anshary Anti Komunisme 1936-1968?

C. Tujuan Masalah

Berdasarkan Rumusan diatas maka tujuan penilitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui sosok K.H Mohammad Isa Anshary Anti Komunisme 1936-1968?

D. Kajian Pustaka

Penulis telah menemukan beberapa tulisan mengenai pemikiran Isa Anshary, terdapat

lebih 3 penelitian dan tulisan mengenai beliau. Tulisan berupa skripsi sebagai berikut:

1. Skripsi Fakultas Adab Dan Humaniora 2008 yang di tulis oleh Abdul Haris yang

berjudul KH. Muhammad Isa Anshary pemikiran dan perjuangannya, Skripsi ini

mengunakan penelitian historis (Historical Research) yang bertujuan merekonstruksi

16
Boland, Pergumulan Islam Di Indonesia, 1945-1947, Jakarta: Garfitti Pres, 1985, hlm. 107.
17
Dadan Wildan, Yang Da’I Yang Politikus, Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis, Bandung: Rosda, 1997, hal.
106
18
Syafiq, A.Muqhni, A. Hassan Bandung Pemikiran Islam Radikal. Surabaya: Bina Ilmu, 1980. hlm, 112.
masa lampau secara sistematis, koprehensif dan sedekat mungkin objektif. Jika dilihat

dari segi analisisnya, penelitian ini berifat kualitatif. Dilihat dari segi sumber-sumber

atau objek yang diteliti, penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan (Library

Research), yaitu penelitian yang menggunakan bahan-bahan tertulis seperti buku,

majalah, artikel dan sebagainya seputar perjuangan dan pemikiran K.H. Muhammad

Isa Anshary.Meski sama sama membahas mengenai K.H Mohammad Isa Anshary

pada penelitian ini penulis hanya memfokuskan pada K.H.Mohammad Isa Anshary

dalam membangun wacana ideologi bangsa.

2. Skripsi yang ditulis oleh Abdurrahman berjudul Persatuan Islam Dalam

Kepemimpinan K.H. Muhammad Isa Anshary tahun 2000. Dalam skripsi tersebut

dibahas mengenai organisasi Persatuan Islam pada masa kepemimpinan K.H.

Muhammad Isa Anshary. Pembahasan skripsi ini menitikberatkan pada analisis

kepemimpinan Isa Anshary dalam memimpin organisasi Persatuan Islam pasca

kepemimpinan Ahmad Hassan dan M. Natsir. yang mebedakandengan tulisan penulis

adalah K.H.Mohammad Isa Anshary Perumus Manifest Perjuangan Persatuan Islam

serta peranya di Partai Masyumi.

3. Skripsi yang ditulis oleh Saputri Lestari Ningsih Pemikiran Tokoh-Tokoh Persis

Tentang Negara Bangsa Tahun 1924-1997. Skripsi ini memfokuskan pada

permasalahan pemikiran tokoh-tokoh Persis tentang Negara Bangsa. Yang

membedakan skripsi ini dengan kajian penulis adalah K.H.Mohammad Isa Anshary

Perumus Manifest Perjuangan Persatuan Islam serta peranya di Partai Masyumi.

4. Skripsi yang ditulis oleh M. Ilyas Hawary Perbedaan pemikiran antara Isa Anshary

dan E Abdurrahman tentang Persis dan Politik (1960-1962) Skripsi ini membahas
tentang perbedaan pemikiran kedua tokoh dalam kepemimpin di organisasi Persatuan

Islam, yang membedakan Skripsi ini dengan kajian penulis adalah, Penilitian penulis

lebih memfokuskan Tokoh Isa Anshary Dalam menurumskan Manifest perjuangan

Persatuan Islam dan Kiprah di partai Masyumi.

5. Skripsi yang ditulis oleh Gugun Arif Gurnita Konsep Negara Islam K.H.M. Isa

Anshary (Studi Kasus Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia

(PRRI) Tahun 1958 Di Sumatera Barat) Skripsi ini membahas konsep negara Islam

yang digagas oleh Isa Anshary yang konteksnya ketika terjadi peristiwa

pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di

Sumatera Barat. Semenjak diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia dengan

mem persoalkan apa dasar negara Indonesia. Yang membedakan Skripsi ini dengan

penilitan penulis adalah K.H Isa Ansahary dan Manifest Perjuangan Persatuan Islam

serta kiprahnya dalam partai Masyumi.

Adapun artikel yang penulis temukan yakni artikel yang berasal dari situs tirto.id

(https://tirto.id/sejarah-hidup-isa-anshary-pendorong-negara-islam-di-jalur-resmi-dzi7).

Artikel ini menceritakan tentang biogtafi dan pemikiran mengenara Islam K.H

Mohammad Isya Anshary secara singkat.

Tulisan dan penelitian tersebut akan dijadikan sumber sekunder bagi penulis guna

menunjang penelitian penulis.

E. Langkah-Langkah Penelitian
Dalam penulisan sejarah, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan untuk

melakukan penelitian sebagai berikut:

1. Heuristik

Heuristik merupakan sebuah tahapan maupun tekhnik dalam metode sejarah

untuk memperoleh serta mengumpulkan sumber-sumber sejarah. Baik sumber primer

maupun sumber sekunder dapat diperoleh dari perpustakaan, lembaga kearsipan, dan

dilapangan. Dalam penelitian ini penulis memperoleh sumber-sumber dari buku dan

arsip.

Adapun sumber primer yang penulis dapatkan antara lain :

a. Arsip

1. Sekretariat Madjelis Ulama Persatuan Islam, Keputusan. Resolusi, Statemen

Muktamar Persatuan Islam Ke VII Di Bangil Dan Qaidah-Qaidah Madjlis

Ulama Persatuan Islam, Bangil, 2-5 September 1960.

2. Sekretariat Madjelis Ulama Persatuan Islam, Surat Edaran Kepada Pimpinan

Djabang Persatuan Islam Seluruh Indonesia, Bangil, 21 Djanuari 1961.

3. H. Azhari Rawi, Tulisan Tangan Isa Anshary, Bangil 23 Januari 1961.

4. Isa Anshary, Renungan Dalam Pengasingan Menjelang Hari Raya Kuraban,

4 Mei 1963.

5. Isa Anshary, 40 Tahun Persatuan Islam, 12 September 1963.

6. Isa Anshary, Kegiatan dan Perdjuangan, Bandung 13 Maret 1968.

b. Buku
1. Isa Anshary, 1958, Manifes Perdjuangan Persatuan Islam, Bandung:

Sekertariat PP. Persis.

2. Isa Anshary, 1952, Sebuah Manifesto, Bandung: Pasifik.

3. Isa Anshary, 1967, Mujahid Da’wah, Bandung: C.V Diponegoro.

4. Isa Anshary, 1967, Tugas dan Peranan Generasi Muda Islam dalam

Pembinaan Orde Baru, Jakarta: Media Dakwah.

5. Isa Anshary, 1953, Ummat Islam Dalam Pemilihan Umum, Bandung: Hasan

6. Isa Anshary, 1955, Beberapa Fakta P.K.I Pembela Negara Asing, Bandung:

Front Anti Komunis

7. Isa Anshary, dkk, tt, Bahaja Merah Di Indonesia, Bandung: Front Anti

Komunis.

8. Isa Anshary, 1954, Inilah Partai Masjumi, Bandung: Dewan Pimpinan

Masjumi Cabang Indramayu.

9. Isa Anshary, 1954, Islam dan Nasionalisme, Bandung.

Untuk menguatkan sumber utama di atas, maka penulis menggunakan sumber

sekunder sebagai rujukan yaitu berupa buku-buku yang secara umum mengkaji tentang

Persis dan yang bersentuhan terhadap tokoh di atas. Buku-buku tersebut terdapat di

perpustakaan pribadi dan organisasi diantaranya adalah:

1. Dadan Wildan, 1995, Sejarah Perjuangan Persis 1923-1983, Bandung: Gema

Syahida.

2. Abu Al-Ghifari, Dani Asmara, 2002, Sejarah Perjuangan Pemuda Persis,

Bandung: Mujahid Press.


3. Shiddiq Amien, 2005, Panduan Hidup Berjamaah, Bandung: Tafakur.

4. Baihaqi Mustafa, 2005, K.H.M. Rusyad Nurdin Ulama, Pejuang, Politikus,

Pemimpin Demokrasi, Pendidik, dan Pendakwah, Jakarta: Multipro.

5. Howard M. Federspiel, 1996, Persatuan Islam Pembaharuan Islam Indonesia

Abad XX, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

6. Haris Muslim, “Persis Dari Masa ke Masa: Sebuah Refleksi Sejarah” dalam

Fospi Kairo Mesir, 2000, Siapkah Persis Menjadi Mujaddid lagi? Upaya

Mewujudkan Wacana Persis Baru Yusuf Burhanuddin (ed). Bandung:

Alqaprint Jatinangor.

7. Ajip Rosidi, 1990, M. Natsir Sebuah Biografi, Jakarta: PT. Anem Kosong

Anem.

8. Dadan Wildan, 1997, Yang Dai Yang Politikus Hayat Perjuangan lima Tokoh

Persis, Bandung: Remaja Rosdakaria Offset.

9. Ikin Sodikin, Persis Harus Jaga Jarak Dengan Kekuasaan, dalam Pikiran

Rakyat Edisi Senin (MANIS) 20 September 2010

10. Arini Haqqi, 2014, Persatuan Islam (Persis) Era Latief Muchtar: 1983-1997

Mandiri Tanpa Isolasi Diri, Skripsi, Jakarta: Universitas Indonesia.

11. Tiar Anwar, 2008, Sikap Intelektual Persatuan Islam terhadap Kebijakan

orde Baru, Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia.

12. Mohammad Orsan, 2017, Menuju Republik Indonesia Berdasarkan Islam

Debat dasar Negara Di Majelis Konsituante 1957-1959, Bandung: Sega Arsy

13. Tiar Anwar, 2019 Sejarah Pemikiran Dan Gerakan politik Persis, Bandung:

Persis Pers
2. Kritik

Pada tahapan kritik, sumber data yang telah diperoleh kemudian diuji melalui

kritik dengan tujuan untuk mengetahui keotentikan dan kerosinilan data dan fakta.

Pada tahapan kritik ini melalui 2 proses pengkritikan yaitu kritik eksternal dan

internal.

a. Kritik Ekstern

Kritik Ekstern adalah tahapan pengujian keaslian sumber dengan

dilakukannya penyeleksian segi-segi fisik dari sumber, seperti meneliti jenis kertas,

tinta, gaya bahasa, gaya tulisan, serta tampilan luarnya. Dalam tahapan ini, perlu

dijawab tiga pertanyaan, yakni apakah sumber tersebut sesuai dengan sejarah yang

diangkat, apakah sumber tersebut asli ataukah turunan, serta apakah sumber tersebut

mengalami perubahan atau tidak19.

Dalam penelitian ini penulis menyimpulkan beberapa Arsip dan buku rujukan seperti

a. Sumber Arsip

1. Sekretariat Madjelis Ulama Persatuan Islam, Keputusan. Resolusi, Statemen

Muktamar Persatuan Islam Ke VII Di Bangil Dan Qaidah-Qaidah Madjlis

Ulama Persatuan Islam, Bangil, 2-5 September 1960. Arsip ini berbentuk

naska hasil muktamar persatuan islam ke VII bentuk kertasnya warnah putih,

masi bagus dan dapat dibaca, menjadikan sumber yang otentik.

2. Sekretariat Madjelis Ulama Persatuan Islam, Surat Edaran Kepada Pimpinan

Djabang Persatuan Islam Seluruh Indonesia, Bangil, 21 Djanuari 1961. Arsip

19
Sugeng Priyadi, Metode Penelitian Pendidikan Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2012), hal. 63.
ini berbentuk surat dan memiliki warna kertas putih dan masih bagus dan

dapat di baca, menjadikan sumber,

3. Isa Anshary, Renungan Dalam Pengasingan Menjelang Hari Raya Kuraban,

4 Mei 1963. Arsip ini berbentuk naksah yang memiliki warnah kertas kuning

dan masi jelas dapat dibaca dan dapat dijadikn sumber yang otentik,

4. Isa Anshary, 40 Tahun Persatuan Islam, 12 September 1963. Arsip ini

berbentuk naksah yang memiliki warnah kertas kuning dan masi jelas dapat

dibaca dan dapat dijadikn sumber yang otentik,

b. Sumber Buku

1. Sebuah Manifesto (Bandung 17 Februari 1952), Buku ini merupakan karangan

KH Muhammad Isya Anshary, kertas yang di gunakan masih menggunakan

kertas kuning, dari penerbit Pustaka Djihad Bandung, buku ini bercover

Merah dan putih, masih bagus dan dapat di baca, menjadikannya sumber yang

otentik.

2. Ummat Islam Menghadapi Pemilihan Umum (Bandung 17 Februari 1953),

Buku ini merupakan karangan KH Muhammad Isya Anshary, kertas yang di

gunakan masih menggunakan kertas kuning, dari penerbit PA Front Mubaliqh

Islam dan ejaan yang belum di sempurnakan, buku ini masih bagus dan dapat

di baca, menjadikannya sumber yang otentik.

3. Inilah Partai Masjumi (Bandung 8 Maret 1954), Buku ini merupakan

karangan KH Muhammad Isya Anshary, kertas yang di gunakan masih

menggunakan kertas kuning, dan ejaan yang belum di sempurnakan, buku ini

masih bagus dan dapat di baca, menjadikannya sumber yang otentik.


4. Islam dan Nasionalisme (Bandung 22 Maret 1954), Buku ini merupakan

karangan KH Muhammad Isya Anshary, kertas yang di gunakan masih

menggunakan kertas kuning, dan ejaan yang belum di sempurnakan, buku ini

masih bagus dan dapat di baca, menjadikannya sumber yang otentik.

5. Beberapa Fakta PKI Pembela Negara Asing (Bandung 1 April 1955), Buku

ini merupakan karangan KH Muhammad Isya Anshary, kertas yang di

gunakan masih menggunakan kertas kuning, dan ejaan yang belum di

sempurnakan, buku ini masih bagus dan dapat di baca, menjadikannya sumber

yang otentik.

6. Manifes Perjuangan Persatuan Islam (Bandung April 1958), Buku ini

merupakan karangan KH Muhammad Isya Anshary, kertas yang di gunakan

masih menggunakan kertas kuning, dan ejaan yang belum di sempurnakan,

buku ini masih bagus dan dapat di baca, menjadikannya sumber yang otentik.

7. Mujahid Dakwah (Bandung April 1967), Buku ini merupakan karangan KH

Muhammad Isya Anshary, kertas yang di gunakan masih menggunakan kertas

kuning, dari penerbit C.V Diponegoro dan ejaan yang belum di sempurnakan,

buku ini masih bagus dan dapat di baca, menjadikannya sumber yang otentik.

8. Tugas dan Peranan Generasi Muda Islam (Jakarta 19 Seprtember 1987),

Buku ini merupakan karangan KH Muhammad Isya Anshary, kertas yang di

gunakan kertas putih, Cetakan Ke-2 Cover warna merah buku, ini masih

bagus dan dapat di baca, menjadikannya sumber yang otentik.

9. Bahaya Merah di Indonesia (tanpa tahun) Buku ini merupakan karangan KH

Muhammad Isya Anshary, kertas yang di gunakan masih menggunakan kertas


kuning, dan ejaan yang belum di sempurnakan, buku ini masih bagus dan

dapat di baca, menjadikannya sumber yang otentik.

b. Kritik Intern

Kritik intern dilakukan untuk mengetahui kredibilitas sumber (apakah isi

dokumen dapat dipercaya, apakah sumber tidak dimanipulasi, apakah sumber sejarah

tersebut dikecohkan, dan apakah sumber tersebut mengandung bias. Dalam tahapan

ini, diteliti tiga hal, yakni sifat sumber (resmi atau tidak), aspek mental penulis

sumber, serta koorborasi atau perbandingan antara dua informasi yang berasal dari

dua kesaksian atau lebih untuk mendapatkan kredibilitas yang lebih umum.20

Dalam penelitian ini penulis menyimpulkan beberapa Arsip dan buku rujukan

seperti:

a. Arsip

1. Sekretariat Madjelis Ulama Persatuan Islam, Keputusan. Resolusi, Statemen

Muktamar Persatuan Islam Ke VII Di Bangil Dan Qaidah-Qaidah Madjlis

Ulama Persatuan Islam, Bangil, 2-5 September 1960. Arsip ini berbentuk

naska hasil muktamar persatuan islam ke VII bentuk kertasnya warnah putih,

masi bagus dan dapat dibaca, dan Arsip ini bersisi tentang keputusan resolusi

muktamar Persatuan Islam Ke VII di Bangil.

2. Sekretariat Madjelis Ulama Persatuan Islam, Surat Edaran Kepada Pimpinan

Djabang Persatuan Islam Seluruh Indonesia, Bangil, 21 Djanuari 1961. Arsip

ini berbentuk surat edaran kepada pimpinan cabang persatuan islam seluruh

Indonesia tentang keputusan Muktamar Persis VII dibatalkan.


20
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto, (Jakarta: UI Press, 1973), hal. 114.
3. Isa Anshary, Renungan Dalam Pengasingan Menjelang Hari Raya Kuraban,

4 Mei 1963. Arsip ini berbentuk naksah yang berisi ceramah.

4. Isa Anshary, 40 Tahun Persatuan Islam, 12 September 1963. Arsip ini

berbentuk naksah yang berisi tentang 40 persatuan islam.

b. Buku

1. Sebuah Manifesto (Bandung 17 Februari 1952), Buku ini merupakan karangan

KH Muhammad Isya Anshary, tentang peran dan pemikiran politik Isa

Anshary dalam merumuskan ideologi dan dasar pergerakan politik Islam pada

jamiyah Persatuan Islam. Rumusan ideologi politik dan Manifesto Perjuangan

Persatuan Islam.

2. Ummat Islam Menghadapi Pemilihan Umum (Bandung 17 Februari 1953),

Buku ini merupakan karangan KH Muhammad Isya Anshary, Buku ini

menjelaskan tentang islam yang akan menghadapi pemilihan umum.

3. Inilah Partai Masjumi (Bandung 8 Maret 1954), Buku ini merupakan

karangan KH Muhammad Isya Anshary, buku ini menjelaskan tentang partai

masyumi dari awal berdirinya sampai dibubarkan.

4. Islam dan Nasionalisme (Bandung 22 Maret 1954), Buku ini merupakan

karangan KH Muhammad Isya Anshary, Dalam buku ini menjelaskan tentang

pemikiran K.H Isa Anshary bagaimana Islam berbicara tentang nasionalisme.

5. Beberapa Fakta PKI Pembela Negara Asing (Bandung 1 April 1955), Buku

ini merupakan karangan KH Muhammad Isya Anshary, kertas yang di

gunakan masih menggunakan kertas kuning, dan ejaan yang belum di

sempurnakan.
6. Manifes Perjuangan Persatuan Islam (Bandung April 1958), Buku ini

merupakan karangan KH Muhammad Isya Anshary, dalam buku ini

menjelaskan tentang persatuan islam dalam merumuskan ideology politik dan

perjuangan persatuan islam dalam menghadapi dinamika politik di Indonesia.

7. Mujahid Dakwah (Bandung April 1967), Buku ini merupakan karangan KH

Muhammad Isya Anshary, dalam buku ini berisi tentang tentang pidato dan

pemikiran yang menjelaskan tentang negara islam dan dakwa islam dan

tantangan dakwa di Indonesia.

8. Tugas dan Peranan Generasi Muda Islam (Jakarta 19 Seprtember 1987),

Buku ini merupakan karangan KH Muhammad Isya Anshary, Buku ini berisi

tentang bagaimana anak berperan di medan dakwa dan juga dunia politik.

9. Bahaya Merah di Indonesia (tanpa tahun) Buku ini merupakan karangan KH

Muhammad Isya Anshary, dalam buku berisi tentang bahaya Komunisme Di

Indonesia dan bagaman bahaya Ideologi Komunis.

3. Interpretasi

Interpretasi atau sering disebut juga analisis (penafsiran). Analisa sendiri

mempunyai pengertian menguraikan dan secara terminologi berbeda dengan sintesis

yang berarti menyatukan,21 namun kedua metode ini merupakan hal yang paling

utama dalam interpretasi. Tahap ini penting karena merupakan upaya untuk

mengkronologiskan sebuah peristiwa sejarah, sehingga menghasilkan konstruksi

sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan.22

21
Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah, hlm. 64.
22
Poespoprodjo, Interpretasi (Bandung: Remaja Karya, 1987), hlm. 192.
Interpretasi dilakukan dengan menganalisa hal-hal berkaitan dengan

pembahasan yang terdapat dalam referensi, sehingga diharapkan dapat menemukan

jawaban atas permasalahan yang ada. Bukti fakta sejarah tidak dapat menjelaskan

apapun tanpa dibarengi dengan tafsiran manusia.23

Semua faktanya yang tampak sebenarnya bersumber pada ekspresi dari apa

yang terjadi dalam mental orang antara lain pikiran, ide, kepercayaan dan segala

macam unsur kesadaran. Sehingga kesadaran berperan penting sebagai faktor

penggerak. Dalam penelitian ini tokoh yang penulis bahas meninggalkan banyak

bekas24 berupa tulisan sehingga mentifact yang penulis pakai menggunakan studi

literasi.

Pembahasan yang dilakukan dalam sejarah intelektual berupa pembedahan

dialektik antara ideologi dan penghayatan yang dilakukan sang tokoh. Dengan

memakai pendekatan biografi khususnya sosio-kultural sang tokoh yang berpengaruh

pada alam pemikirannya.25

Setelah melalui dua tahapan sebelumnya yaitu heuristik dan kritik. Tahapan

selanjutnya adalah tahapan interpretasi. Tahapan ini adalah proses untuk

menyinkronkan fakta-fakta yang telah di analisis dari tahapan sebelumnya yaitu krtitk

dan ditambahkan pendekatan teori sehingga dapat merekontruksi sebuah peristiwa

dengan baik.

23
William H. Frederick, Pemahaman Sejarah Indonesia, terj. Soeri Soeroto (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 10.
24
Bukti sejarah dalam bahasa sartono kartodirjo disini disebut bekas
25
Sartono Karto Dirdjo, ‘Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah’, 1992.
Berdasarkan fakta-fakta dan sumber yang didapatkan oleh penulis, disini

penulis berusaha untuk merekontruksi sebuah peristiwa yang diteliti dengan baik.

Dalam penelitian ini penulis menghubungkan dengan teori kepemimpinan menurut

Soerjono Soekanto.

Menurut perkembangannya, pemimpin muncul karena adanya hubungan

sosial. Di dalam suatu kelompok atau beberapa orang yang lebih berperan sehingga

mereka tampak lebih menonjol dan memiliki kelebihan dari pada anggota kelompok

lainnya. Munculnya mereka ini menurut Soekanto sangat diperlukan terutama apabila

kelompoknya menghadapi ancaman dari luar. Aplikasi teori Soerjono Soekanto bisa

menelaah tentang jejak dari K.H Muhammad Isa Anshary, yang melihat model

pemimpinn dari 3 katagori yakni Front leader, social leader dan Rear Leader.

Dalam tahap ini penulis melakukan analisa terhadap sumber data yang telah

diverifikasi dalam tema-tema tertentu. Apabila terdapat data yang berbeda dalam

suatu permasalahan yang sama, penulis membandingkannya antara data yang satu

dengan yang lainnya untuk menentukan yang lebih mendekati kebenaran.

Berdasarkan teori yang dipakai penulis mencoba mengorganisasikan data berdasarkan

tema-tema yang dibuat dan kemudian didapat kesimpulan. Pada tahap ini dilakukan

analisa terhadap peran dan perjuangannya yang berkaitan dengan penelitian ini.

Langkah selanjutnya adalah dengan melakukan sintesa guna mengembangkan data,

konsep-konsep dan teori sejarah biografi melalui referensi yang masih berkaitan

dengan Jejak Ulama K.H Mohammad Isa Ansary Dalam menolak Komunis.

4. Historiografi
Historiografi merupakan tahap akhir dari sebuah penelitian sejarah. Penulisan

dalam tahap ini menjelaskan isi keseluruhan makalah dengan menggunakan EYD

serta kata-kata yang dapat diserap dengan mudah oleh kalangan umum.

Sistematika penulisan dalam penelitian ini sebagai berikut :

Bab I, didalamnya memuat Pendahuluan, rumusan masalah, tujuan penelitian , kajian

pustaka, serta langkah-langkah penelitian.

Bab II, menguraikan mengenai bahasan menyangkut Biografi, Latar belakang

pendidikan, karya-karyanya dan karir organisasi

Bab III, menguraikan mengenai, K.H Mohammad Isa Anshary Sebagai Ulama Dan

Toko Politik Islam Indonesia, K.H Mohammad Isa Anshary Dan Musuh Islam Politik

Kolonialisme, K.H Mohammad Isa Anshary Anti Komunisme

Bab IV, didalamnya memuat kesimpulan serta saran.


BAB II

BIOGRAFI K.H. MOHAMMAD ISA ANSHARY

A. Biografi K.H Mohammad Isa Anshary

1. K.H Mohammad Isa Anshary

KH Mohammad Isa Anshary (untuk selanjutnya ditulis Isa Anshary) lahir di

Sungai Batang maninjau Sumatra Tengah pada 1 Juli 1916. Setelah menyelesaikan

pendidikanya di madrasah Islam di tempat Kelahiranya, ia pergi merantau ke bandung

untuk mengikuti berbagai pelajaran ilmu pengetahuan umum. Isa Anshary merupakan

salah satu putra Minangkabau yang sejak kecil ia dididik dalam lingkungan yang religius,

di samping memperlajari ilmu agma dari kedua orang tuanya, Isa Anshary juga belajar di

Surau. Hingga ketika Isa Anshary meranjak remaja ia mulai aktif di berbagai organisasi

keislaman, yakni di antaranya PSII, Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia dan Indonesia

Berparlemen.26

Pada umur 16 tahun, ketika menyelesaikan pendidikan di madasah Islam, KH

Mohammad Isa Anshary pergi merantau ke Bandung untuk mengikuti berbagai pelajaran

ilmu pengetahuan umum. Dan di bandung juga Isa Anshary memperluas pengetahuan

keisalamanya dalam Jam’iyyah Persatuan Islam atau biasa di sebut Persis.

26
Herry Mohammad, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, Gema Insan Press, 2006
Isa Anshary selain sebagai Mubaliqh, ia juga dikenal sebagai penulis yang tajam.

Dan Ia termasuk seorang yang terlibat dalam merancang Qanun Asasi Persatuan islam

yang telah diterima secara bulat oleh Muktamar V Persis (1953) dan kemudian di

sempurnakan pada Muktamar VIII Persis (1967). Dalam sikap jihadnya, Isa Anshary

menganggap bahwa perjuangan Persis ini sangat vital dan juga Kompleks, karena

menyangkut berbagai kehidupan umat. Dalam hal ini bidang pembinaan kader, Isa

Anshary menekankan pentingnya sebuah madrasah, tempat untuk membina kader-kader

muda Persis. Semangatnya dalam bidang pembinaan kader tidak pernah padam walaupun

ia mendekam dalam tahanan orde lama di medium. Kepada Yahya Wardi yang menjabat

ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Persis periode 1957-1962, Isa Anshary

mengirimkan naskah “Renungan 40 Tahun Persatuan Islam” yang ia susun dalam tahanan

untuk di sebarkan kepada peserta muktamar dalam rangka mengingatkan kesadaran para

jamaah Persis. Melalui tulisanya, Isa Anshary mencoba untuk menhidupakan semangat

Jamaah dalam usaha mengembangkan penyebarkan ajaran agama Islam dan perjuangan

organisasi Persis. Dalam perjuangan menegaknya syariat Islam di Indonesia, Isa Anshary

memilih untuk berjuang melalui parlemen lewat Partai Masyumi, ia konsisten

memperjuangankan syariat Islam menjadi dasar-dasar Negara.

2. Kiprah Awal KH Mohammad Isa Anshary

Pada tahun 1930an Isa Anshari pergi ke bandung dan aktif secara resmi di

persatuan islam, setelah bergaul dan mengikuti pemikiran A. Hassan. Kemudian

bersama-sama M. Natsir, Facruddin dan lain-lainya aktif dalam pergerakan pendidikan

Persatuan Islam.
Sewaktu A. Hassan pindah ke Bangil, Isa Anshary tetap tinggal di Bandung dan

pada masa Jepang ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisasi Mubaliqh dan

Ulama di Bandung bernama Majelis Islam. Ketika itupuulah ia menjabat sebagai

sekretarit MIAI Priangan.27

Pada tahun 1945-1946 , Isa Anshary ikut andil berkiprah dalam proses perjuangan

revolusi fisik, sebagaimana hasil kongres Umat Isla 9 november 1945, di samping

membentuk Partai Masyumi, sekaligus juga menyerukan Resolusi Jihad, “60 Milyar

kaum Muslimin Indonesia siap berjihad fisabilillah, perang di jalan Allah, untuk

menentang tiap-tiap penjajahan” sebagai konsekuensi penjajahan ini, maka kongres juga

memutuskan untuk mengkonsolidasikan sebuah organisasi militer dengan membentuk

barisan sabilillah. Disebutkan juga lascar sabilillah merupakan barisan istimewa Tentara

Keamanan rakyat (TKR).28 Konsekuensi lain dari Resolusi jihad membela Negara

Indonesia ini adalah tugas penyempurnaan pembentukan Laskar Hizbullah.

Di daerah Priangan Isa Anshary menduduki posisi pimpinan pergerakan dan

menjadi Anggota Komite Nasional Idonesia darah wilayah Jawa Barat pada awal masa

revolusi. Sejak keendudukan Jepang, Isa Anshary juga telah di kenal sebagai salah satu

tokoh pergerakan dan perlawanan terhadap kebijakan Jepang. Ia menjadi pimpinan umum

“Gerakan Anti Fascis” (Geraf). Ia juga menjadi salah satu tokoh penerangan “Pusat

Tenaga Rakyat” (Putera) Priangan, sekaligus sebagai penasehat “Gerakan Koperasi

Daerah Priangan”.29 Dari aktifitasnya yang radikal dan juga bersifat non-kooperatif

27
M. Amien Rais, Demokrasi Dan Protes Politik, tulisan Pengantar untuk buku berjudul Demokrasi Dan proses
Politik, Seri Prisma, (Jakarta: LP#ES,1986), hal 16-25
28
Isa Anshary, Mujahid Dakwa, Jakarta: Media Dakwa, 1995, hal 311
29
Rusyad Nurdin, “Tausiyah Kepada Generasi Muda Islam” dalam Slamat Amimy. KHM Rusyad Nurdin, Profil
Seseorang Mubaliqh, Bandung: Corps Muballigh Bandung, 1988. Hal 18
terhadap kebijakan-kebijakan Jepang, Isa Anshary pernah di tahan dan di tangkap

beberpa bulan oleh Kenpetai Jepang.

Ketika revolusi Kemerdekaan pada tahun 1945, berbagai macam gerakan penting

yang dilakukan Isa Anshary di daerah gerliya Priangan. Isa Anshary menjai ketua barisan

Sabilillah, dan juga menjadi kepala penerangan Dewan Mobilisasi Daerah Priangan.

Tidak sampai disiitu, ia kemudian menjabat sebagai kepala penerangan Partai Masyumi

di daerah Priangan, Isa Anshary mengambarkan perjuangan fisik waktu zaman revolusi

itu.

Ketahanan revolusioner dan ketabahan berjuang, kesabaran menagunggkan

kekurangan, keteguhan pendirian mendaki puncak gunung, kesulitan untuk

menempuh jalan pendakian, yang ditanamkan dalam dada dan jantung selama

revolusi kemerdekaan, telah menjadi taruhan pasti menangnya bansa Indonesia

dalam mempertahankan proklamasi.30

Alasan Isa Anshary ikut serta secara total dalam proses perang revolusi ini

bernuansa religius. Ia mendasarkan perjuangan itu sebagai bagian dari perjuangan Jihad

Fisabilillah, suatu kondisi yang memang diharuskan oleh agama Islam. Isa Anshary

menegaskan hal itu,

Perang kemerdekaan, untuk mempejuangan hak mutlak bangsa kita, jelas artinya

Jihad fisabilillah, bukankah dalam Indonesia Merdeka umat Islam mengambil

kembali kemerdekaanya, kemerdekaan beragama yang telah di rampas oleh

Imprealisme Barat selama 3 ½ abad dan oleh imprealisme Timur (Jepang) 3 ½

30
Isa Anshary, Mujahid Dkawah, hal. 57
tahun? Lonceng kemerdekaan Indonesia yang berdentang pada tanggal 17

Agustus 1945 telah membuka kemungkinan luas bagi para mubaliqh Islam untuk

menyumbangkan dan mengorbankan apa yang di milikinya dalam revolusi

berdarah itu.31

Pada tahun 1948, ketika belanda mendirikan sebuah Negara di Jawa Barat, yang

di beri nama Pasundan. Negara ini yang di anggap sebagai boneka Belanda dan bahkan

oleh sebagaian besar penduduknya sendiri bertahan hingga tahun 1950, ketika ia

membubarkan dirirnya dan bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.32

Isa Anshary melalui artikel, Aliran Islam, yang dimulai pada tahun 1948 ia secara

terbuka mendukung gerakan Republik, dalam artikel-artikelnya merefleksikan ketidak

senaganya rakyat Jawa Barat terhadap aksi militer Belanda, dan di tahun 1948 militer

Belanda menangkap Soekarno, Hatta dan para pemimpin penting Republik lainya, dan

menentang pernyataan Belanda berikutnya bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada

lagi. Ketika pihak Belanda melanjutkan rencananya untuk menegakkan kekuasaan diatas

kepulaun Nusantara dengan membentuk Republik Indonesia Serikat yang terdiri atas lima

belas Negara bagian dan daerah-daerah khusus yang diakui Belanda, ia menyatakan

bahawa federasi semacam ini seharusnya tidak dibentuk tanpa keikutsertaan para

pemimpin republic yang di penjara.33

Meskin Isa Anshary mendukung para pemimpin sekuler Republik Indonesia, Isa

Anshary seperti halnya A. Hassan, tidak kehilangan utujuanya untuk mendirikan sebuah

Negara Indonesia yang di dasarkan pada prinsip Islam. Dalam Falsafah Perjuangan
31
Isa Anshary, Mujahid Dakwah, hal.55
32
Khain, Nasionalisme Dan Revolusi, hal 498-499
33
Aliran Islam, No. 3/Tahun I, Januari 1949. Hal 124
Islam, yang dutulis pada tahun 1949, Isa Anshary mengungkapkan bahwa kelompok-

kelompok muslim yang berpartisipasi dalam perjuangan kemerdekaan untuk menegakan

sebuah Negara yang di lindungi Tuhan sebagai tanggung jawab mereka sebagai muslim.

Kelompok-kelompok Muslim di Negara Republik Indonesia ini untuk mengatur serta

memberikan tuntunan dan kehidupan yang memperhatikan kebenaran dasar tentang

komunitas manusia, baik di bidang politik, ekonomi, maupu social.34

Isa Anshary Meninggal di Bandung bertepadan pada tanggal 11 Desember 1969,

semasa hidup beliau Ia sangat fasih dalam membicarakan Politik. Musuh utama Isa

Anshary adalah Komunisme baginya Komunisme itu haram bagi politik nasional, karena,

komunisme itu anti Tuhan anti Agama dan dengan begitu anti Islam. 35 Untuk memerangi

kaum Komunis, dengan ulama Persis ia mempublikasikan buku dan mendeklarasikan

manifesto-manifesto politik, dan mengeluarkan fatwa-fatwa yang merasionalisasikan

penolakan keras terhadap komunisme.36 Karena pendirianya yang keras anti komunisme

M. Natsir secara pribadi menyebutnya “Joe McCarthy Kita.37

B. Karya-Karya K.H Mohammad Isa Anshary

Libya pernah memiliki sosok pejuang Islam yang bernama Umar Mukhtar yang

di kenal dengan singa padang pasirnya karena keberanianya dan gagah yang mampu

membangkitkan semanagat para mujahidin dalam melawan imprealis Italia yang

mencoba menganggu Islam di Negerinya di Indonesia juga ada singa Islan namun berada

34
Aliran Islam, No. 3/Tahun I, Januari 1949, hal 122-125
35
Boland, Pergumulan Islam Di Indonesia, 1945-1947, Jakarta: Garfitti Pres, 1985, hlm. 107.
36
Dadan Wildan, Yang Da’I Yang Politikus, Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis, Bandung: Rosda, 1997, hal.
106
37
Syafiq, A.Muqhni, op.cit, hal.122
pada sektor yang berbeda, dia adalah singa podium KH Mohammad Isa Anshary yang di

kenal setiap orasinya mampu membakar ghiroh setiap orang yang mendengarkanya.

Tidak hanya mampu dalam berpidato, Isa Anshary juga dikenal sebagai seorang

pemikir dan penulis yang aktif, jejak pena yang ia hasilkan menjadi sebuah pelopor dari

suatu pemikiran, pandangan, ide dan cita.

Tulisan Isa Anshary ketika menjadi pemimpin redaksi Aliran Muda dan Laskar

Islam. Dia pernah aktif di Pelita Andalas Medan dan beberapa penerbitan di Bandung.

Adapun karya-karya buku tulisan Isa Anshary Adalah sebagai berikut:

1. Islam Dan Demokrasi (1938)

2. Tuntunan Puasa (1940)

3. Islam Dan Koletivisme (1941)

4. Pegangan Melawan Fascisme Jepang (1942)

5. Barat Dan Timur (1948)

6. Falsafah Perjuangan Islam (1949)

7. Sebuah Manifesto (1952)

8. Umat Islam Menghadapi Pemilihan Umum (1953)

9. Revolusi Islam (1953)

10. Inilah Partai MASYUMI (1954)

11. Islam Dan Nasionalisme (1955)

12. P.K.I Pembela Negara Asing

13. Islam Menentang Komunisme (1956)

14. Bahaya Merah Di Indonesia (1956)


15. Manifest Perjuangan Persatuan Islam (1958)

16. Ke Depan Dengan Wajah Baru (1960)

17. Bukan Komunisto Phobi, Tapi Keyakinan Islam (1960)

18. Umat Islam Menentukan Nasipnya (1961)

19. Pesan Perjuangan (1961)

20. Mujahid Da’wah (1966)

21. Tugas Dan Peran generasi Muda Islam Dalam Pembinaan Orde Baru (1966)

Sebelum Isa Anshary berpulang (2 Syawwal 1389/11 Desember 1969) beliau

sempat menyelesaikan dua naskah lagi yaitu Faksafah Moral Dan Pelita Indonesia.38

38
Isa Anshary, Mujahid Da’wah, hlm, 313
BAB III

KH MOHAMMAD ISA ANSHARY

(SOSOK ULAMA ANTI KOMUNISME 1936-1968)

A. KH Mohammad Isa Anshary Sebagai Ualama Dan Tokoh Politik Islam Indonesia

1. Ketua Umum Persatuan Islam

Persis berdiri pada hari rabu, 12 September 1923 di bandung oleh sekelompok

orang islam yang berminta dalam studi dan aktifitas keagamaan yang di pimpin oleh H.

Mohammad Zamzam dan H. Mohammad Yunus. Lahirnya organisasi Persatuan Islam

dilator belakangi oleh persoalan kemunduran masyarakat Islam. Ketika itu, keadaan umat

islam di Indonesia pada umumnya tenggelam dalam sikap taqlid (sikap membeo,

menerima sesuatu secara taken of granted), perbuatan bid’ah, Churafat, Takhayul, yang

kemudian disebut oleh kalangan reformis sebagai penyakit TBC. Karena itu, mereka

berusaha mengadakan pembaharuan sekaligus pemurnian ajaran Islam pada masyarakat

Islam Indonesia dengan slogan yang diterkenal “kembali kepada Al-Quran dan Al-

Sunnah dan membersihkan islam dari takhayul, churafat, dan bid’ah yang

megotorinya”.39 Demikianlah H. Zamzam selaku ketua P.B persis pada waktu membuka

konfrensi Persis ke-3 tahun 1936 membeberkan proses pendirian Persis yang dikatikan

dengan adanya kemuduran umat Islam.40

Beririnya organisasi Persatuan Islam, bersemboyang “kembali kepada Al-Quran

dan As-Sunnah” sehubungan dengan hal ini firman Allah yang berbunyi sebagai berikut :
39
PP. Persis, Tafsir Qanun Asasi-Qanun Dakhili Persatuan Islam, Bandung, 1984, hlm.4-5
40
Majalah al-Lisan No. 3/vol.I/Maret 1936.
“Dan berpeganlah kamu dengan tali Allah, dan janganlah kamu berpisah, dan

inggatlah nikmat Allah atas kamu, tatkalah kamu bermusuh-musuhan, lalu ia

jinakkan antara hati-hati kamu, tlantas dengan nikmat Allah kamu jadi

bersaudara, padahal, dahulunya kamu di pinggir lobang dari neraka, tetapi Ia

selamatkan kamu daripadanya, begitulah Allah terangkan kepada kamu tanda-

tandaNya supaya kamu mendap petunjuk (QS. Ali Imran: 103).41

Sejak tahun 1940 Isa Anshary telah Menjadi anggota Pimpinan Persatuan Islam ,

sehingga idah aneh jika kemudian ia berperan penting dalam proses reorganisasi setelah

Persis dibubarkan oleh Jepang pada tahun 1942.42 Masa setelah Proklamasi Kemerdekaan

Republik Indonesia merupakan periode kedua Persis sesudah kepemimpinan KH

Zamzam, Kh Muhammad Yunus, Ahmad Hasan, dan Mohammad Natsir yang

mendengunkan slogan kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Dan pada priode kedua

ini, salah seorang tokoh Persis yang pernah memimpin Adalah KH Mohammad Isa

Anshary.43

Persis didirikan kembali sebagai organisasi yang menjalankan fungsinya seperti

semula pada April 1948, tidak lama setelah Isa Anshary dan para anggota lainya yang

menjalankan pemerintahan Republik untuk wilayah Jawa Barat di garut di Izinkan

kembali ke Bandung oleh Belanda dengan syarat-syarat yang di tetapkan dalam

perjanjian Reville 1948. Pendeklarasian tersebut sebagaimana menyeatakan :

41
A. Hasan; Tafsir Al-Quran, (Surabaya:al-ikhwan, 2004), S.3 (Ali-Imran):103.
42
Pepen Irfan Fauzan, Negara Pancasila vis-à-vis Negara Islam .:( Pemikiran Politik M. Natsir dan M. Isa Anshary
1945-1960), hlm 42
43
SKI-B SEJARAH PEMIKIRAN MODEREN DALAM ISLAM, Bandung : Photocopy Pinggir Gerbang, 2016, hlm
150
Kami, Pimpinan Pusat Persis menyatakan bahwa pada 1 Aprilv 1948, Persis

kembali berfungsi seperti semula. Telah umum diketahui bahwa sebelum

dihancurkan oleh Perang Dunia II, Persis merupakan sebuah gerakan yang

perjuangan uatamanya adalah dalam bidang agama semata. Dengan pernyataan

ini, kami melanjutkan perjuangan agama tersebut. Kami menyeruh kepada seluruh

cabang Persis dan seksi –seksinya untuk melanjutkan kerja mereka sebagaimana

biasa dengan tetap mematuhi hokum-hukum Negara.44

Sebagaimana telah disebutkan, sejak tahun 1940, Isa Anshary telah menjadi

anggota Pimpinan Pusat Persis, sehingga tidak heran jika kemudian ia berperan penting

dalam proses reorganisasi ini setelah dibubarkan jepang pada tahun 1942. Ia juga yang

kemudian menjadi ketua umum dari organisasi yang kembali diaktifkan itu. Disamping

itu, ia juga merupakan salah seorang yang turut menjadi konseptor rencana Qanun Asasi-

Qanun Dakhili (AD/ART) Persis yang baru. Di samping Isa Ansahry, kemudian Persis

Juga di tanggani oleh E. Bachrum dan E. Abdurrahman, yang dari semula menjadi tokoh

pengajar di Pesantren Persis. E. Abdurrahman kemudian menjadi Sekretaris jendral

Persis, mengantikan E. Bachrum. Natsir diberi kedudukan sebagai Penasehat PP Persis,

bersama dengan tuan A. Hassan dan Fachrudin Alkahiri. Ini menandakan kemunculan

Persis secara formal sebagai organisasi social-keagamaan, tentunya dengan semangat dan

agenda baru.45

Susunan Pengurus Pusat Persis pada tahun 1953, merupakan hasil penyempurnaan

reoganisasi 1948,46 memperlihatkan komposisi sebagai berikut. Struktur Penasehat Persis


44
Abdul haris Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid VII, Bandung, 1984, hlm, 178.
45
Pepen Irfan Fauzan, Perumus Manifest Perjuangan Persatuan Islam, Vol. I, No.2, September 2016. Hlm 155
46
Dadan Wildan. Pasang Surut Gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia: Potret Perjalanan Sejarah Organisasi
Persatuan Islam (persis). Bandung: Persis Press, 2000, hlm. 312.
dijabat oleh Ahmad Hassan, Fachrudin Alkahiri, dan Mohammad Natsir. Ketua umum PP

Persis dijabat Oleh KH Mohammad Isa Anshary. Berturut-turut paraKetua I KHO.

Qomarudin Saleh, ketua II Nachrowi. Semntara itu, Sekretaris umum dijabat oleh E.

Bachrum, Sekretaris I KM. Joesef Zamzam, Sekretaris II RE. Soehandhi, dan Bendahara

A. Rustama.47

Di bawa kepemimpinan Isa Anshary (1948-1960), jumlah anggota Persis pada

kepemimpinanya ditaksir mencapau sepuluh ribu.48 Demikian pula cabang-cabang Persis

berdiri dan tersebar luas di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah bagian Barat, Bangil Jawa

Timur, dan Palembang. Risalah media resmi Organisasi melaporkan bahwa Persis telah

berdiri di Bandung, Simpang, Ciawi, Cikalong, Rajapolah, Palembang, Magun,

Padalarang, Pinang, Purwakarta, Serang, Cianjur, Pameumpeuk, Pamanukan, Subang,

Matraman Utara Jakarta, dan Palembang.49

Pada periode ini orientasi Persis di bawah kepemimpinan Isa Anshary cenderung

sangat politis. Sikap dan pandangan Isa Anshary lebih tegas lagi. Ia menyatakan bahwa

perjuangan dalam politik saat itu adalah wajib. Perjuangan Islam, termasuk Persis, tidak

hanya pada lapangan Fiqih Ibada ritualistic saja. Lebih dari itu, adalah termasuk juga

ibada untuk berjuang di medan politik. Hanya saja, perjuangan yang termasuk ibadah itu

adalah untuk memajukan ideology Islam, bukan ideology yang lain.50

Sturktur organisasi Persis dipusatkan di Bandung. Di markas pusat ini, terdapat

beberapa bagian yang menangani dan mengoordinasikan kegiatan-kegiatan oraganisasi.

47
Pepen Irfan Fauzan, Perumus Manifest Perjuangan Persatuan Islam, Vol. I, No.2, September 2016 hlm 156
48
Federspiel, Persatuan Islam, hlm.156-157.
49
Risalah, No. 1/Th.I/Agustus 1963, hlm 5
50
Isa Anshary, Manifest Perjuangan Persatuan Islam, Bandung: PP Persis, 1958, hlm. 24.
Bagian tabliqh bertanggung jawab untuk mengatur masalah penyebaran pesan-pesan

agama melalui tradisi lisan (oral) dan pembinaan Mubaliqh-Mubaliqh Persis, bagian

pendidikan mengatur kurikulum untuk pesantren Persis, bagi penyiaran bertugas

menerbitkan majalah-majalah sebagai corong organisasi, bagian Persatuan Islam Istri

mengoordinasikan kegiatan-kegiatan kewanitaan, bagian Pemuda Persis mengurus

aktivitas untuk kelompok pelajar, remaja, dan pemuda.51

Penghargaan yang tinggi terhadap usaha penerbitan yang menjadi ciri Persis

sebelum kemerdekaan terus berlanjut setelah organisasi itu berjalan. Persis menerbitkan

beberapa majalah baru sejak organisasi 1948. Umumnya majalah-majalah yang

diterbitkan itu memuat tulisan para anggota Persis mengenai masalah yang dihadapi umat

Islam Indonesia pada masa kemerdekaan terutama masalah kegamaan dan politik.52

Majalah pertama yang terbit adalah Aliran Islam pada tahun 1948. Majalah ini

memuat tulisan-tulisan dari tokoh-tokoh Persis, terutama Isa Anshary, M. Natsir, dan E.

Abdurrahaman, secara umum majalah ini membicarakan masalah-masalah politik.

Setelah itu, muncul Al-Muslimun, yang mulai terbit pada tahun 1954 diterbitkan di

Surabaya, majalah ini merupakan bagian dari Persis cabang bangil. Majalah ini berfungsi

sebagai media pendidikan agama dan memuat berbagai fatwa mengenai masalah

keagamaan. Juga majalah serial baru Pembela Islam diterbitkan kembali pada tahun

1956. Fomatnya sama dengan Al-Muslimun. Sejumlah majalah terbit di Bandung.

Hudjatul Islam, sebagai media resmi Persatuan Islam, terbit hanya satu kali, tetapi

memuat tulisan yang bagus yang mengaitkan sejarah Islam dengan situasi Indonesia masa

51
Tiar Anwar Bactiar, Persis Dan Politik, Sejarah Pemikiran Dan Aksi Politik Persis 1923-1997
52
ibd
kini. Pada tahun 1962, Persis menerbitkan Risalah. Pada dasarnya majalah ini merupakan

media internal, yang memberikan perkembangan organisasi.53

Demikian juga halnya dengan Pendidikan yang mulai ditata kembali. System

Pendidikan Persis berpusat di Bandung. Tanggung jawab masalah pendidikan di tangani

pleh bagian Pendidikan persis, yang didirikan tahun 1955. Bagian ini bertugas untuk

melakukan standarisasi semua pengajaran agama di semua lembaga pendidikan yang

dikelolanya. Adapun jenisya adalah pesantren yang ditata secara modern. Terdapat

jenjang-jenjang pendidikan yang harus di tempuh dari mulai tingkat dasar (ibtidaiyyah),

menegah(tajhiziyyah dan tsanawiyyah), dan tingkat keguruan (Mu’allimien). Materi

pembelajaranya pun sudah memadukan antara pelajaran gama dan umum yang

disesuaikan dengan jenjang kelas.54

2. Anggota Partai Masyumi

Sejarah terbentuknya partai Masyumi tidak bisa dilepaskan dari motif sejarah

pergerakan yang bersifat sosial, pendidikan, dan juga politik. Partai Masyumi lahir pada

tanggal 7 November 1945 yang berdasarkan keputusan kongres Muslim Indonesia di

Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta, Muhammadiyah adalah salah satu

organisasi yang turut mensponsori berdirinya Partai Masyumi.55

Tampilnya Mayumi sebagai Partai Islam yang bercorak satu kesatuan dalam

kemerdekaan Indonesia bukan suatu kebetulan dalam sejarah yang tidak dilatarbelakangi

kesadaran yang dalam dan panjang. Kelahiran Masyumi dapat dikatakan sebagai suatu
53
Dadan Wildan, Pasang Surut gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia: Potret Sejarah Organisasi Persatuan
Islam (Persis). Bandung; Persis Press, 2000, hlm 112.
54
Hamid, Persatuan Islam dan Usaha Pembaharuan pendidikan. Bandung: Sumber Prima, 1993, hlm 42-47
55
Jurnal Pemikiran Agama dan Peradaban / TANWIR, Perjalanan Politik Muhammadiyah dari Ahmad Dhalan
hingga Syafi’I Ma’arif, edisi Perdana, Vol, I, Mesi 2003
keharusan sejarah bagi perjalanan politik umat Islam Indonesia, inisiatif pembentukan

Masyumi adalah inisiatif toko partai politik dan gerakan social keagamaan Islam sejak

zaman pergerakan, seperti Agus Salim, prof. Abdul Kahar Muzakar, Abdul Wahid

Hasyim, Muhammad Natsir, Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Dr. Soekiman

Wirosandjojo, Kibagus hadikusumo, Mohammad Mawardi, dan Dr. Abu Hanifa.

Keputusan dalam pembentukan partai Masyumi oleh sejumlah tokoh islam bukan hanya

sekedar keputusan, akan tetapi sebuah keputusan dari seluruh umat Islam melalui wakil-

wakilnya. 56

Secara eksplisit strategi politik yang disusun Masyumi, adalah sebagai politik

yang tidak lepas dari fungsi-fungsi lain, seperti artikulasi kepentingan, dan komunikasi

politik. Seara jelas upaya pendidikan politik Masyumi adalah usaha untuk mencapai

tujuan yang dengan memperluas pengetahuan kecakapan umat Islam Indonesia dalam

perjuangan politik. Perjuangan politik Masyumi yang sangat kuat yaitu perjuangan

ideologi untuk menghadapi komunis yang diperjuangkan oleh PKI berdasarkan teori-teori

Marx, Engles Lenin, Stalin dan Mao tse Tung. Keyakinan Masyumi sebagai probaganda

ideology yang bisa menyesatkan adalah PKI, yang disebar luaskan melalui media cetak

seperti buku-buku tentang Marxime. Untuk mengantisipasi propaganda tersebut partai

Masyumi mengeluarkan sebuah kebijakan bagi para anggotanya, kebijakan itu adalah

buku-buku yang membahas sosialisme religus atau lebih dikenal dengan buku-buku

keluarga Masyumi.57

Isa Anshary menjadi pimpinan Partai Masyumi wilayah Jawa Barat. Dalam

kepengurusan partai ditahun 1956, ia menjadi pengurus Pusat Masyumi. Ia juga menjadi
56
Samsuri, Politik Islam Anti Komunis, (Jogjakarta, P.T. Safira Press, 2004) hlm. 9-10
57
Samsuri, Politik Islam Anti Komunisme, (Jogjakarta, P.T. Syafira Insani Press, 2004) hlm 96-97
anggota fraksi Masyumi dalam Majelis Konsituante Republik Indonesia dari hasil Pemilu

1955. Ada pun tokoh Persis yang menjadi anggota Konsituante dari Faraksi Masyumi

adalah Rusyad Nurdin dan E. Abdurrahman.58

Peranan penting yang dilakukan elit-elit persis dalam Masyumi adalah perjuangan

memenangkan ideology Islam berhadapan vis-à-vis dengan komunisme. Persis menjadi

corong perlawanan terhadap paham komunisme. Mereka pun sepakat dan mengharamkan

ajaran komunsiem. Mereka berpendapat bahwa paham komunisme tidak bisa hidup di

Indonesia. Pada awal keterlibatan politik nasional, gerak politik elit politik Islam tampak

sinergis, selain bahu-membahu untuk memenangkan ideology Islam yang di usung Partai

Masyumi. Dalam partai ini, berhimpun beberapa tokoh dan organisasi dengan bergam

latar belakang sosio-kultural. Sayangnya, sinergitas gerak politik tidak bertahan lama.

Pada tahun 1947, PSII keluar dari Masyumi.59 Peristiwa politik yang paling mengoyahkan

Masyumi adalah keluarnya NU, sebuah organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, dan

menjadi partai poitik baru dengan nama partai NU (PNU) pada tahun 1952.60

Sebagai sebuah partai yang pluralistik, elit-elit partai Masyumi sulit meredam

timbulnya pertentangan yang dilandasi perbedaan orientasi dan juga kepentingan

Politikdi dalam tubuh Partai. Terdapat berbagai kelompok politik, misaslnya saja disebut-

sebut adanya kelompok muda dibawah Natsir dan kelompok tua yang menjagokan

Sukiman yang selalu bersaing memperebutkan puncak kepemimpinan partai. Friksi

dalam partai pun terpolarisasi dalm bentuk karakteristik orientasi politik elit-elitnya. Ada

kelompok elit yang moderat, Muahmmadiyah, sebagai anggota istimewa , disebut-sebut

58
Bajasut, S. U. (ED), Alam Fikiran Dan Djedjak Perdjuabgan Prawoto Mangusasmito. Surabaya, 1972, hlm 435
59
Soemarsono, Mohammad Roem 70 Tahun: Perjuang-perunding. Jakarta; Bulan Bintang, 1978. Hlm 68
60
Irsyam, Ulama Dan Partai Politik, Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1984, hlm. 29
mewakili corak ini, NU, sebelum keluar dari keanggotaan partai Masyumi mewakili

sayap konservatif. Kelompok ini dibesut-sebut dibawa kendali Sukiman.61

Demikian juga dengan elit-elit Persis yang tergabung dalam partai Masyumi.

Mula-mula semenjak Persis masuk sebagai anggota istimewa partai Masyumi pada tahun

1948, terlihat sinergitas gerakan antara elit-elitnya, sperti M. Natsir, Isa Anshary, Rusyad

Nurdin, dan yang lainya. Ketika Natsir yang dikenal sebagai aktifis Persis, menjadi ketua

umum Partai Masyumi sejak tahun 1949, seringkali kritik dilontarkan oleh lawan-lawan

politiknya, terutama kubu Sukiman. Hanya saja, kedudukan Natsir dalam partai Masyumi

yang berlambang Bulan Bintang ini sangat tetap kuat.62

Pada tahun 1955, likangsungkanya Pemilu untuk pertamakalinya sejak

Kemerdekaan RI. Memang pada hari-hari pertama rakyat Indonesia menghirup udara

kemerdekaan, sesuda ada rencana para elit politik mengadakan Pemilu secara NAsiona.

Pada tanggal 5 Oktober 1945 sesudah di umumkanya rencana untuk mengadakan Pemilu

nasional. Malah pada tahun 1946, sudah ada beberapa pemilihan yang dilaksanakan di

karesidenan Kediri dan Surakarta. Pada tahun 1948, Badan Pekerja KNIP yang berlaku

sebagai parlemen pada awal kemerdekaan menyetujui undang-undang yang mengatur

suatu sisttem pemilihan tidak langsung berdasarkan perwakilan proporsional dan

memberikan hak pilih kepada semua orang yang berumur di atas 18 tahun. 63 Namun

semua itu tidak langsung terjadi.

Pemilu-pemilu Nasional yang pertama di Indonesia berlangsung pada September

1955 untuk pemilihan DPR dan pada Desember 1955 untuk Konsituante (yang dipilih
61
Maa’rif, Op Cit, hlm 93.
62
Noer, Op Cit, hlm. 106-110.
63
Daniel Dhakidae, Pemilihan Umum Di Indonesia, Prisma No.9 Th.X/Oktober 1986, hlm. 19.
untuk menyusun Undang-Undang Dasar yang permanen). Pada pemilu-pemilu ini, lebih

dari 170 partai politik termasuk calon independen non-partisan, berjuang untuk dipilih di

15 distrik pemilihan, dari jumlah tersebut, 28 berhasil memperoleh paling sedikit (1)

kursi di DPR. Sebagai tambahan terhadap orang-orang ini ada tigga wakil rakyat yang di

tunjuk untuk mewakili Papua (yang waktu itu masi dikuasasi oleh belanda), serta

perwakilan spesifik untuk warga Indonesia ketururnan Arab, Cina, dan Eropa.64

Pada pemilu yang di kenal dengan sebutan “Pemilu 1955” ini, partai Masyumi

yang waktu itu dipimpin Natsir, meraih peringkat kedua dengan perolehan suara sebesar

7.903.886. di bawa PNI yang peraup 8.434.653 suara. Berturut-turut kemudian partai NU

(PNU) yang mendapat 6.955.141 suara dan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebanyak

6.176.914 suara.65

Kekalahan dari PNI inilah yang kemudian menjadi kekecewaan dan sorotan tajam

terhadap kepemimpinan Natsir. Lebih jauhnya lagi, pandangan dan garis kepemimpinan

Natsir pun disalahkan. Kritik-kritik mulai muncul sejak itu. Akhirnya dalam kongres

Partai Masyumi tahun 1956 di Bandung, suatu Kritik keras diarahkan kepada

kepemimpinan Natsir. Isa Anshary, ketua umum Persis yang juga anggota DPP Masyumi,

mneyebut kongres 1956 di Bandung tersebut sebagai “awan mendung di tubuh Partai”.66

Kritik keras terhadap kepemimpinan Natsir dalam kongres tersebut juga muncul

dari sebagain elit Persis, yang nota bene rekan Natsir sendiri. Mereka tmpaknya, kecewa

terhadap pandangan dan kebijakan politik Natsir yang dinilai terlalu liberal dan

64
Alfian, Pemilihan Umum dan Pertumbuhan Demokrasi di Indonesia, Prisma, No.2. Th.VI/1977
65
Mariam Budiarjo, Demokrasi Di Indonesia (Jakarta): Gramedia, 1996 hlm. 45
66
Daulah Islamijah, No. 1/Th.I/Februari/1957, hlm. 3.
karenanya beroorientasi kebarat-baratan. Isa Anshary dengan keras mengkritik kekalahan

partai Masyumi dalam Pemilu 1955 tersebut dengan mengatakan:

Kita memandang, kenapa umat Islam tidak dapat kemenangan suara sedjumlah

jang mereka harapkan, sebabnja diantara lain; karena kebimbangan, kesangsian,

ketidak pastian Islam sendiri. Masjarkat kaum muslim tidak mendapat ketegasan,

kedjelasan dan gambaran jang bulat dan penuh dari para oemimpinnja, apa

sebenarja tudjuan dan ideology Islam jang hendak ditegakkan dalam Negara

Republik Indonesia sesuadah pemilihan umum.67

Keberadaan tokoh Isa Anshary salah seorang anggota DPP Masyumi yang ketika

itu juga menjabat ketua umum Persis, posisi Isa Anshary yang memegang tampuk

pimpinan organisasi Persis, menjadi salah satu faktor yang membuat pengaruh kelompok

Daulah Islamijah, mendapa respon yang tinggi membuat kalangan elit Persis lainya.

Tercatat yang mendukung upaya Isa Anshary untuk menyerang kepemimpinan Natsir

adalah Tamar Djaja dan Firdaus A. N. di kalangan tokoh lama Persis, dukungan datang

dari A. Hassan. Demikian juga halnya tokoh E. Abdurrahman dan Munarwan Cholil turut

mendukungnya.68

Oleh karena itu, disebut-sebut bahwa mayoritas anggota Persis memang

mendukung gerakakan politik Isa Anshary. Misalnya saja manifesto politik radikal dan

non-kompromistik yang disusun Isa Anshary pun menjadi pandangan resmi organisasi,

dengan nama Manifest Perjuangan Persatuan Islam.69 Walaupun demikian, masih ada

67
Mohammad Isa Anshary, “Hanja Negara Islam Jng Amanatkan Kepada Anggauta Konsituante”, Daulah
Islamiyah, Th. I/Pebruary 1957. Hlm 5.
68
Daulah Islamijah, No. 1/Th. I/pebruary 1957. Hlm. 1.
69
Isa Anshary, Manifest, Op Cit. hlm.3.
juga di antara kalangan Persis yang memilih pendekatan moderat Natsir.70 Sikap dan

pandangan politik Rusyad Nurdin misalnya, sedikit banyak mengitu pandangan politik

Natsir.

Aktifitas dan pengalaman politik yang berbeda inilah yang kemudian menjadi

potensi timbulnya keretakan hubungan antara Natsir dan Isa Anshary. Keretakan

hubungan ini menjadi nyata setelah Pemilu 1955, dimana Isa Anshary memendam

kekecewaan besar terhadap kepemimpinan Natsir di Partai Masyumi. Kekecewaan inilah

yang kemudian membuat Isa Anshary akhirnya memutuskan untuk melakukan tindakan

oposisi terhadap Natsir. Suatu tindakan yang kemudian diikuti oleh elit Persis lainya,

karena posisi Isa Anshary sebagai Ketua Umum Organisasi tersebut.71

3. Anggota Sidang Konsituante

Dari pemilu 1955 adalah terpilihnya anggota-anggota Konsituante. Pasal 134

UUDS 1950 menyatakan bahwa Konsituante bersama-sama Pemerintah bertugas

membentuk UUD RI yang baru untuk menggantikan UUD Sementara 1950 itu sendiri.

Sebagaimana di DPR, di Konsituante pun terdapat aliran besar lainya seperti,

nasionalisme, komunisme, dan sosialisme di samping islam, yang sama-sama tidak

memperoleh suara mayoritas dalam pemilu, dalam pemilu. Seusai pelantikan anggota

Konsituante pada 10 November 1956, ternyata persidangan lebih banyak diwarnai

perdebatan tentang Dasar Negara.72 Hingga kemudian dikeluarkan Dekrit 5 Juli 1959

70
Federspiel, Op Cit, hlm. 205.
71
Pepen Irfan Fauzan, Dinamika PemikiranPoitik Persis 1945-1957, Perbedaan Pandangan dan Sikap Politik Natsir
Berhadapan Dengan Isa Anshary Tentang Konsep Negara. Tesis Universita Indonesia 2011, hlm
72
Samsuri, Politik Islam Anti Komunisme, (Jogjakarta, P.T. Syafira Insani Press, 2004). Hlm 87
dengan salah satu keputusanya kembali kepada UUD 1945, persoalan dasar Negara masih

mengalami kebuntutan dalam pengambilan keputusan Konsituante.73

Perdebatan tentang dasar Negara di Konsituante secara garis besar terbagi ke

dalam tiga golongan pembela gagasan dasar Negara, yaitu, Islam, Pancasila, dan Sosial

Ekonomi. Paling mencolok dalam dari ke tiga golongan tersebut, ialah perdebatan antara

kelompok pembela dasar Negara menurut Islam Dan Pancasila . masyumi bersama partai

politik Islam lainya sama-sama memperjuangan Islam sebagai dasar Negara. Namun

yang paptut dikemukakan di sini adalah perdebatan anggota-anggota Konsituante dari

Masyumi mengenai pembelaan terhadap pancasila sebagai Negara oleh PKI.74

Mohammad Natsir memulai pembicaraan di konsituane dengan menyatakan

pendirian Masyumi untuk menjadikan Islam sebagai dasar Negara, yaitu “Negara

Demokrasi Berdasarkan Islam.” Menurut Natsir, analisis akhir manusia mengenai dasar

Negara, pada prinsipnya terbagi kedua bagian yaitu: (1) paham sekularisme tanpa agama,

dan (2) paham agama.75

Sekularisme tidak mampu memberikan keoutusan jika ada perentangan pikiran

dengan konsepsi masyarakat, hidup sempurna dan sebagainya. Peretentangan konsep

masyarakat, hidup sempurna dan sebagainya. Pertentangan konsep itu tidak mungkin

diselesaikan dengan paham sekularisme yang pada hakikatnya meralitfkan semua

pandangan hidup. Paham sekularisme di Indonesia telah menyuburkan ateisme. Di bagian

lain, sebaliknya paham agama telah memberikan dasar Negara yang terlepas dari

73
Ibid,
74
Samsuri, Politik Islam Anti Komunisme, (Jogjakarta, P.T. Syafira Insani Press, 2004). Hlm. 88.
75
Ibid
relativisme. Ibarat satu pohon, maka historis materialism, ataupun ateisme dan

komunisme adalah cabang-cabang dari sekularisme.76

Tanggapanya terhadap penerimaan Pancasila sebagai dasar Negara oleh kaum

Komunisme, Natsir mengatakan bahwa itu menandakan Pancasila lemah secara prinsipil.

Pancasila dapat diterima sebagian dengan menolak bagian sila yang lain, atau hanya

dapat diterima tetapi tidak dipercaya, karena Pancasila sebagai titik pertemuan lima ide.

Akan tetapi tidak ditemukan “relationship of interdependence” dari sila yang lima

tersebut. Jadi sangat beralasan apabila Pancasila pun diterima oleh suatu golongan yaitu

PKI meskipun ada satu sila darilima sila itu yang tidak dipercayainya.77

Sakirman dari PKI mengatakan alasan PKI menerima Pncasila sebagai dasar

Negara, dan bukanya komunisme itu sendiri adalah karena menginginkan supaya sila “

Ketuhanan Yang Maha Esa” diganti dengan sila “Kemerdekaan beragama dan

Berkeyakinan”. Alasana lainya, Pancasila secara objektif dapat dijadikan sebagai “alat

perjuangan guna mewujudkan tuntunan Revolusi Agustus yang anti imprealisme dan

feodalisme, guna mewujudkan keadilan social.78

Penggantian kalimat sila “Ketuhanan yang Maha Esa” dengan “Kemerdekaan

beragama” menurut Njoto, wakil Sekretaris Jendral Comite Central PKI sebagai lebih

bijaksana.79 Dengan merujuk kepada sejarah agama , Njoto mengatakan bahwa

“poloteisme mendahului monotheisme dan sampai detik ini pun monotheisme bukan

satu-satunya aliran agama, bahwa disamping monotheisme selalu tetap ada politeisme.

76
Ibid
77
Ibid, Hlm 88-89
78
Samsuri, Politik Islam Anti Komunisme, (Jogjakarta, P.T. Syafira Insani Press, 2004). Hlm. 89
79
Ibid
Perihal ateisme, ia mengakatakan bahwa kaum ateisme tidak hanya ada dalam Partai

Komunis Indonesia, tetapi ada juga dalam PSI, Partai Murba, PNI dan banyak anggota

yang agama Islam, juga Nasrani dan Hindu-Bali. Sekurang-kurangnya menurut Njoko,

anggaran dasar partai-partai tersebut tidak menolak orang-orang atheis untuk menjadi

anggotanya.80

Dugaan Njoko bahwa dikalangan orang beragama juga ada kaum atheis mendapat

kebenaran ketika seorang K.H. Achmad Dasuki Siradj menjadi salah satu juru bicara

fraksi PKI di Konsituante. Tokoh PKI inggin mengingatkan kepada figure di masa

pergerakan kemerdekaan yang membela islam sekaligus membela Komunisme, yaitu

Haji Misbach. Menurut Achmad Dasuki Siradj, alasan fraksi PKI di Konsituante menolak

islam sebagai dasar Negara adalah bukan karena partainya anti agama sebagaimana

dituduhkan “oleh pemakai agama sebagai topeng menuduhnya”, melaingkan melihat

praktik yang dijalnkan oleh pembela islam dari Masyumi yang jelas-jelas merugikan

Negara dan rakyat.81 Ia mencotohkan sikap Masyumi yang tidak tegas terhadap

gerombolan pengacau DI/TII di Jawa Barat maupun Aceh. Menurut Achmad Dasuki

Siradj, usulan agar memebrikan pengampunan dianggap sebagai bukti hipokrisi

Masyumi, yaitu bertentangan dengan apa yang dikatakan para tokoh Masyumi dengan

Quran yang selalu dijadikan argumentasi menghadapi kelompok Komunis.82

Tafsir PKI terhadap sila Ketuhanan yang Maha Esa sebagai “kebebasan

beragama” yang juga memuat pengertian atheisme dan politeisme di samping arti

monotheisme, menurut Kasman Singodimedjo dianggap sama dengan mengartikanya

80
Ibid
81
Ibid. hlm 90
82
Samsuri, Politik Islam Anti Komunisme, (Jogjakarta, P.T. Syafira Insani Press, 2004). Hlm. 90.
“kebebasan anti agama”. Kasman menambahakan bahwa tidak menyatukan dan

menyamakan arti dari perbedaan “beragama” dengan atheisme.83

Penerimaan Pacasila sebagai dasar Negara oleh PKI dan bukanya komunisme

dalam pandangan Kasman Singodimedjo merupakan bukti bahwa Komunisme oleh PKI

sendiri dianggap tidak cukup kuat untuk dijadikan dasar Negara. Namun mengingatkan

bahwa PKI tidak konsekuensi terhadap ismenya sendiri, sehingga ismenya (ideology

komunis) ditinggalkan begitu saja saat menghadapi persoalan penting mengenai tegak

tidaknya Negara yang ditentukan oleh dasarnya. Penerimaan pancasila sebagai dasar

Negara oleh PKI dapa dianggap sebagai siasat saja.84

Anggota Masyumi lainya, M. Rasjad Nurdin, meragukan keseriusan PKI

menerima pancasila karena semstinya PKI menolak Pancasila yang memuat sila

pertamanya. PKI tidak mungkin sepenuh hati menerima sila Ketuhanan Yang Maha Esa

karena bertentangan dengan Komunsime itu sendiri.85 Rusjad Nurdin merasa kecewa

terhadap sikap PKI itu, karena Pancasila hanya dipakai “tabir asap” dalam operasi

memperaktekan ideology Komunismenya. PKI tidak secara jujur menyatakan bahwa

mereka sebenarnya memperjuangkan komunsime sebagai dasar Negara. Dengan begitu

seharunya yang berhadapan di Konsituante bukan antara pembela islam dengan pembela

islam, tetapi antara Islam dengan Komunsime.86

Pada bagian lain, Mohammad Isa Anshary yang dikenal sebagai frkasi radikal di

dalam Masyumi mengapa partainya menolak Pancasila sebagai dasar Negara. Ia

83
Ibid,
84
Ibid
85
Ibi, hlm. 91.
86
Samsuri, Politik Islam Anti Komunisme, (Jogjakarta, P.T. Syafira Insani Press, 2004). Hlm. 91
menjelaskan “Pancasila yang sekarang ini secara keseluruhanya, bukan saja tidak tidak

mempunya daya perlawanan terhadap komunisme, melainkan justru dalam udara

pancasila aliran komunsime tambah lama tambah kuat dan mendapat tempat. Ini

disebabkan kehampaan Pancasila, sehingga sang penciptanya sendiri Bung Karno dalam

rangka menawar-nawarkan Pancasila dalam kampanye pribadinya, hendak

mempertemuka islam dengan komunsime, hendak mempertemukan kominisme dengan

Islamisme, hendak mencapurkan antara yang hak dan yang batil, atau hendak

mengkompromikan antara kebenaran agama dengan kebatilan anti-agama.87

Isa Anshary menegaskan bahwa jika tidak cepat bayi pancasila diserahkan ke

pangkuan islam, maka dalam waktu yang singkat Pancasila ini akan habis ditela oleh

Buto Terongnya imprealsime dan komunsime. Pancasila itu sendiri tidak kuat dan kuasa

mempertahankan diri dari ancaman maut komunisme dan atheisme. 88Pernyataan Isa

Anshary ini menunjukan betapa ia tidak sekedar pandai memperjuangkan retorika, tetapi

sekaligus menujukan kelemahan Pancasila yang siap dimanfaatkan Komunisme. Mahluk

raksasa yang rakus dalam mitologi Jawa yaitu mahluk Buto Terong.89

Perdebatan tentang dasar Negara tersebut pada giliranya tidak dapat mencapai

kompromi. Tugas Konsituante untuk menetapkan sebuah UUD baru menemukan jalan

buntu. Pertarungan ideologi yang mengemuka antara Masyumi sebagai barisan Utama

(avant garge) kelompok islam melawan kelompok pembela Pancasila, terutama PKI,

harus menelan kekecewaan. Konsituante sebagai arena perjuangan menjadikan islam

sebagai dasar Negara tidak berhasil mencapai tujuanya, setelah beberapa kali

87
ibid
88
Ibid
89
Ibid hlm. 92.
pemungutan suara untuk kembali ke UUD 1945 tidak mencapai kompromi meskipun

Konsituante telah berhasil menyelesaikan 90% tugas Konsituante, akhirnya harus

dibubarkan lewat Dekrit Persiden 5 Juli 1959.90

B. K.H Mohammad Isa Anshary Sikap Politik Dan Konsep Dasar Negara.

1. Pancasila

Pasca kemerdekaan isu berubah dari isu Nasionalsime ke isu dasar Negara dan

konseptualisasi Negara. Wacana-wacana ideology pun berkembang terus kea rah sana.

Dari sini masi terlihat polarisasi ideologis seperti masa sebelumnya. Hanya saja,

pertentang antara kelompok komunis dan nasionalis di dalam kelompok sekuler menjadi

semakin tajam, sementara kelompok ideologis islam terlihat bersatu secara isu, sekalipun

tidak selalu bersatu sepenuhnya secara politik, bukan lagi karena masalah-masalah

khilafiyah agama seperti masa-masa seblumnya.91

Pada fase ini watak ritisime Persatuan Islam terlihat tidak berhenti. Melalui dua

orang kadernya yang sangat potensial, yaitu M. Natsir dan M. Isa Anshary, Persatuan

Islam menjadi juru bicara cukup penting dalam perdebatan tentang dasar Negara,

sekalipun tidak berarti bahwa Persatuan Islam menjadi pelopor. Melalui serangkaian

pidato, artikel Koran dan majalah, brosur, buku-buku, serta manifest Isa Anshary

memperihatka dan mempublikasikan sikap mengenai isu-isu Politik terkimi, terutama

islam sebagai dasar Negara dan kemungkinan mempersatukan Indonesia dengan Islam.92

90
Samsuri, Politik Islam Anti Komunisme, (Jogjakarta, P.T. Syafira Insani Press, 2004). Hlm. 92.
91
Maarif, Islam Dan MAsalah Kenegeraan. Jakarta : LP3ES. 1996.hlm 114-115
92
Federspiel, Persatuan Islam; Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX. Jogjakarta: UGM Press hlm 122
Isa Anshary seseorang tokoh Persis dan juga Anggota Masyumi yang sangat

tajam dalam mengririk terkait masalah Pancasila yang dianggap sebagai modus vivendi

atau consensus antara kalangan Islam dengan kalangan sekuler pada tahun 1945, Isa

Anhary tidak bisa menerimanya, sebagaimana umumnya sikap radikalistik yang

cenderung nonkompromistik, maka Isa Anshary mempunya pandangan politik yang tegas

dan menolak konsep Negara Pancasila, berbeda dengan Hamka Dan Natsir, Isa Anshary

telah menyerang Pancasila dengan kata-kata yang keras. Menurut pandangan Isa

Anshary, tidak ada persesuaian apa pun antara islam dan pancasila sehingga hanya

seorang yang sudah bejat imanya saja yang inggin mempertahankan Pancasila itu.93

Kritik keras Isa Anshary ini terjadi dalam konteks perdebatan politik yang

mengulas pidato Persiden Soekarno di Amuntai, Kalimantan Selatan pada 27 Januari

1953. Soekarno mengakatakan, bahwa jika Negara islam didirikan di Indonesia, maka

hanya ada daerah-darah yang penduduknya tidak beragama islam akan melepaskan diri.

Soekarno dengan jelas menyebutkan daerah-daerah tersebut, yaitu Maluku, Bali, Flores,

Timor, Pulau Kai, dan Irian Barat.94

Pidato soekarno mengundang banyak reaksi dari kalangan Islam. Isa Anshary

adalah yang pertama menyatakan reaksi secara terbuka.95 Pada majalah Aliran Islam yang

dipimpinya, Isa Anshary mengkritik pidato Presiden tersebut sebagai suatu siakp yang

tidak demokratis dan tidak Konstitusional.96 Ia juga menyebutkan bahwa pidato tersebut

93
Yusril Izha Mahendra, Moderenisme Dan Fundamentalsime Dalam Politik Islam: Jakarta, 1999. Hlm 88
94
Antara, 29 Januari 1953
95
Pepen Irfan Fauzan, Dinamika PemikiranPoitik Persis 1945-1957, Perbedaan Pandangan dan Sikap Politik Natsir
Berhadapan Dengan Isa Anshary Tentang Konsep Negara. Tesis Universita Indonesia 2011, hlm 92
96
Aliran Islam, No. 45, Tahun VII, Februari 1953, hlm. 2-2.
sebagai tantangan terhadap ideology Islam. Pada tanggal 31 Januari 1953, ia pun

mengirim note protes kepada pemerintah.97

Tokoh-toko PNI pun membalas serangan Isa Anshary, dengan mendukung pidato

tersebut sebagai bagian dari hak preogratif seorang presiden. Mereka menyerang balik Isa

Anshary dengan menyebutnya sebagai seorang fanatik dan rekan gerakan Darul Islam

(DI). Bahakan pada waktu pertemuan umum PNI di bandung pada tanggal 19 April 1953,

Gatot Mangkupradja menentang agar diadakan pemilihan kepada masyarakat, apakah

mendukung Isa Anshary atau Bung Karno.98

Isa Anshary pun tidak hanya diam. Ia kembaliu menyerang para pendukung

pancasila ini. Ia menyatakan bahwa pada saat Indonesia sekarang ini (1953), telah ada

garis demarkasi yang jelas antara Islam dengan Islam dan bukan islam. Pernyataan Isa

Anshary ini diarahkan untuk menujukan para pendukung Pancasila sebagai orang-orang

yang munafik.99

Pernyataan Isa Anshary ini cenderung berlebihan dan reaksioner.100 Oleh karena

itu, Natsir dan Sukiman, para pemimpin utama Masyumi, mencoba memperkecil isu ini.

Natsir membuat statemen untuk meyakinkan rakyat bahwa perbedaan pendapat ini

sebagai hasil dari kekacauan isitilah (a confusion of term). Natsir juga menegaskan

bahwa masalah ini adalah masalah intern masyarakat muslim, sehingga tidak usah

dibicarakan di luar lingkunganya secara berlebih-lebihan.101

97
Aliran Islam, No. 45, Tahun VII, Februari 1953, hlm. 10-15
98
Pepen Irfan Fauzan, Dinamika PemikiranPoitik Persis 1945-1957, Perbedaan Pandangan dan Sikap Politik Natsir
Berhadapan Dengan Isa Anshary Tentang Konsep Negara. Tesis Universita Indonesia 2011, hlm 92
99
Ibid
100
Ibid, hlm. 93.
101
Ibid
Isa Anshary menujukan kekecewaanya secara terbuka, sebuah antiklimaks

terhadap perjuangan dukunganya pada pemerintah sekuler sejak zaman revolusi.

Walaupun Isa Anshary mendukung pemerintah sekuler pada zaman revolusi, namun hal

tersebut disertai pengharapan agar bisa menegakan hokum-hukum Islam pada Negara jika

keadaan sudah stabil. Jelas dengan adanya pernyataan Persiden pada tahun 1953, keadaan

tersebut memupuskan pengharpanya tersebut. Kelompok sekuler jelas-jelas tidak

menghendaki adanya Negara Islam , kekecewaan ini di secara eksplisit dinyatakan oleh

Isa Anshary,

Sewaktu kemerdekaan kita proklamirkan, di mana peperangan kemerdekaan

menuntut maha potensi dari umat islam jang bulat untuk dikerahkan untuk

membela dan mempertahnkan proklamasi itu, kepada kita kaum Muslimin pernah

didendangkan lagu jong seronok, bahwa setelah perang kemerdekaan berachir,

kelak kaum muslimin akan mendapatkan kesempatan memperjuangan

ideologinja.102

Kritik ini tidak hanya ditujuakan kepada kalangan sekuler, namun juga terhadap

sesame kelompok islam. Secara tidak langsung, Isa Anshary pun menyerang Hamka dan

Natsir yang mempunya pandangan moderat mengenai Pancasila. Baginya, prmimpin itu

adalah pemimpin yang tidak istiqomah.103

Kita mengetahui, banjak pemimpin2 islam jang “mengangkat tangan”, menjusun

djari nan sepuluh, membersihkan diri dan golongannja dari segala tudjuanitu, banjak

pemimpin Islam jang berubah 180 deradjat karena tidak kuat menghadapi golongan
Manifest, Op Cit, hlm. 22.
102

Pepen Irfan Fauzan, Dinamika PemikiranPoitik Persis 1945-1957, Perbedaan Pandangan dan Sikap Politik
103

Natsir Berhadapan Dengan Isa Anshary Tentang Konsep Negara. Tesis Universita Indonesia 2011, hlm 93
kampanje murah dan kampanje pitjisan golongan. Banjak pemimpin islam karena

ketakutan dan kesangsian memutar haluan perdjuangan, bahkan ada jang kapitulasi dan

melakukan likwidasi dimuka umum, menerima Pantja Sila semua itu karena takut dituduh

anti Pantja Sila.104

Bagi Isa Anshari Pancasila hanyalah slogan-slogan kosong belaka, sekedar untuk

“menjadi alat penidur kaum muslim”. Kaum komunis-atheis pun, menurutnya,

mendukung Pancasila yang dasar pertamanya adalah Ketuhanan. Padahal, mereka tidak

bertuhan bahkan anti-Tuhan. Kaum Kejawen (Penganut mistik Jawa) juga menerima

Pancasila yang mereka tafsirkan menurut falsafah Hindu-Budha.105

Menurut Isa Anshary, demikian banyak pihak yang mendakwakan diri

mempertahankan Pancasila atau setia kepada Pancasila, akhirnya telah membuat

Pancasila itu menjadi sejenis thaghut (berhala). Isa Anshary menjelaskan pemikiranya

tersebut yaitu :

Ketuhanan Jang Maha Esa, sila pertama dari dasar jang lima (Pantja Sila) jang

kono kabarnja dihadiahkan kepada umat islam sama sekali tidak menggambarkan

Akidah Islamijjah. Akidah Islamijjah kami adalah Dua kalimat Sjahadat:

Ketuhanan Jang Maha Esa, dengan pengertian Tauhid Uluhijjah dan Tauhid

Rububijjah, dan kedua; Ikarar-kesaksian bahwa Muhammad itu adalah hamba dan

pensuruhja, Ketuhanan Jang Maha Esa sadja bagi kami hanjalah berarti merobek

dua kalimat sjahadat dan memperkosa rangka tubuh agama kami sendiri.106

104
Isa Anshary,”Hanja Negara Islam Jang kami Amantkan Kepada Angguta konsituante”, Daulah Islamiyah, Th.
I/januari 1957. Hlm.5.
105
Manifest, Op Cit, hlm. 55-56
106
Ibid, hlm. 56.
Isa Anshary berargumeb bahwa setelah diterapkanya pancasila sebagai dasar

Negara RI, tidak ada kemajuan apapun bagi perkembangan agama Islam. Karena itulah,

ia dengan tegas menolak konsep Pnacasila:

Sebelas tahun lamanja kita ber-pantja Sila, nasib agama kita masi seperti

sediakala, tiada berubah. Memperatahankan dan menerima Pantja Sila sebagai asa-

kehidupan kenegaraan, berarti tidak membawa madju dan ladju islam sebagai Undang-

undang hidup jang menhiduokan. Bukan ideology Pantja Sila, bukan hokum Pantja Sila,

bukan Negara Pantja Sila wadjib kita tegakkan, tapi ideology islam, hokum Islam,

Negara Islam, hokum Islam harus tegak, ideology Islam harus menang, berpantang

kalah.107

Penolakan Isa Anshary terhadap Pancasila karena penfsiran yang rigid terhadap

aqidah Islam. Bagi Isa Anshary, Islam sebagai dasar Negara merupakan satu hal yang

tidak bisa dikompromikan. Landasan pemikiran Isa Anshary adalah penafsiran megenai

masalah ideologi Islam yang merupakan keyakinan agama, lebih tegasnya, ideology

Islam adalah sekaligus juga Aqidah islam: “ideology dan filosofi Negara adalah termasuk

aqidah bagi umat islam. Dalam lapangan aqidah umat islam haram mengadakan

kompromi. Siapa saja jang mau berkompromi, berchianatlag dia kepada islam kepada

Allah dan RasulNja”.108 Dan kemudian Isa Anshary menjelaskan tentang aqidah

Islamijjah yang merupakan persoalan prinsip bagi umat islam:

Berdjuang dengan kesadaran dan keisnsyafan, berdjuang mennegakkan aqidah

Ilamijjah, dan memandang serta membuat analisi perdjuangan dengan katjamata Aqidah

Ibid, hlm. 57
107

Isa Anshary, “kami menudju Republik Indonesia Berdasarkan Islam”, dalam Majelis Konsituante RI. Tentang
108

Dasar Negara Republik Indonesia. Bandung: Konsituante RI, 1959. Hlm. 5.


Islamijjah itu, Perdjuangan jang demikian itu jang dinamakan perdjuangan prinsipiil dan

konsekwen, tidak mengenal kompromi, tawar menawar atau bertolak-angsur.109

Dan kemudian terkait amat umat yang menjadi alasan kenapa Isa Anshary

menolak Pancasila:

Harapan dan tudjuan ummat Islam memilih para wakilnja duduk dalam madjelis

Konsituante, bukan untuk menerima Pantja Sila dimana agama disisipakan atau

diumpangkan. Harapan dan amanat kepertadjajaan jang diberikan oleh para pemilih

Ummat Islam kepada Pemimpinjah ialah, Hukum dan Ajaran Islam (Quran dan hatids)

harus di berdjalan dan terlaksana dalam Negara Republik Indonesia. Negara Islam, bukan

Negara Pantja Sila, Ideologi Islam, bukan Ideologi Pantja Sila.110

Pandangan non-kompromistitis dari Isa Anshary ini, cenderung menyulitkan

kalangan moderat untuk melakukan perundingan dengan kalangan nasionalis sekuler dan

Majelis Konstituante. Padahal, kalangan moderat ini, termasuk Natsir mengharpkan

adanya modus vivendi. Oleh karena itulah, beberapa tokoh Masyumi berusaha

mengadakan pendekatan kolompok Isa Anshary supaya menghentikan tantanganya itu.111

Memang secara dominan para pemimpin Masyumi termasuk Natsir cenderung

menghendaki adanya suatu rumusan kompromi yang bersifat win-win solution,112 ada

beberapa alasan yang menyebabkan pemimpin Masyumi tetap bersekukuh untuk

menjadikan Islam sebagai dasar Negara. Pertama mereka melihat dasar ini sebagai

109
Manifest, Op Cit, hlm. 24.
110
Daulah Islamiyah, No. 1/Th. I/Januari 1957, hlm. 5.
111
Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX. Jogjakarta: UGM Press, 1996,
hlm. 222.
112
Noer, Op Cit, hlm. 266.
masalah yang mereka janjikan selama kampanye pemilihan umum tahun 1954-1955.

Kedua, mereka melihat Konsituante sebagai forum tiap kelompok perlu mengungkapkan

cita-cita mereka sendiri, termasuk Islam. Ketiga, forum Konsituante dilihat sebagai media

dakwah untuk menyampaikan apa yang sebenarnya dimaksud dengan ideology Islam.

Tentu perlu ada kompromi dalam batas tertentu, tetapi kompromi itu akan lebih muda

tercapai bila masing-masing kelompok sudah menyampaikan pendirianya. Termasuk

dalam bagian kompromi ini adalah masalah Konstitusi.113

Menyikapi hal ini, Isa Anshary dengan tegas menolak. Baginya umat Islam harus

menolak setiap konstitusi yang berlawanan dengan Islam, tanpa ada kompromi sedikit

pun. Penolakan Isa Anshary ini dapat dipahami, karena iamenyampaikan masalah

konsitusi dengan Aqidah, sesuatu yang sangat prinsipil bagi umat islam. Ini tergambar

dari pernyataanya:

Para wakil umat Islam dalam dewan konstituante itu tidak boleh menempuh

kompromi sedikitpun djuga mengenai aqidah perdjuangan. Mereka sectara mutlak

wadjib pula menolak setiap hokum dan konsitusi jang lain apa djuga namnaja jang

tidak sesuai, berlawanan dan bertentangan dengan hukum Islam.114

Dan kemudian pada bagian lain, Isa Anshary juga menegaskan bahwa tindakan

berkompromi dalam perjuangan Islam sebagai dasar Negara sebagai tindakan yang

dipengaruhi pertimbangan untung-rugi. Oleh karena itu, tindakan kompromi dianggap

senagai suatu perbuatan memperjualbelikan keyakinan agama, kemudian ia mengatakan:

113
Pepen Irfan Fauzan, Dinamika PemikiranPoitik Persis 1945-1957, Perbedaan Pandangan dan Sikap Politik
Natsir Berhadapan Dengan Isa Anshary Tentang Konsep Negara. Tesis Universita Indonesia 2011, hlm 97
114
Isa Anshary, Manifest, Op Cit, hlm 49.
Perdjuangan dalam Konsituante djangan dipengaruhi oleh pertimbangan politik

sehari-hari, jang biasanja sangat dipengaruhi laba-rugi itu. Umat islam jangan

mundur walaupun setapak. Islam wadjib didjadikan dasar Negara. kita telah

tjukup memberikan toleransi dan “baik budi” kepada dunia luar, sekarang kita

harus “menerima”, bukan ‘memberi” kalau memberi berarti kompromi, berarti

kita mengorbankan Iman dan tauhid kita.115

Isa Anshary meyakini bahwa perjuangan kemrdekaan tidak akan lengkap dan

revolusi tidak akan berakhir sampai bentuk control islam terhadap Negara dibangun.

Untuk itu, Isa Anshary Beranggapan perlunya suatu “revolusi Islam”. Ia mengatakan

bahwa revolusi nasional yang terbatas pada batasan-batasan teritorial, tetapi lebih

merupakan revolusi untuk membebaskan manusia dari ekspoilatasi fisik dan spiritual. Ia

berpendapat bahwa teori, karakter, hakikat, karakteristik, dan filsafat revolusi ini

ditentukan oleh Tuhan melalui wahyu dalam bentuk sunnah (Nabi). Ia juga menekankan

bahwa revolusi Indonesia harus dilanjutkan, tetapi ia harus diberi muatan spiritual utnutk

mencapai tujuanya menegakkan islam dan hokum-hukumnya dalam Negara dan

masyarakat. Hal ini, menurutnya, adalah kewajiban umat islam yang telah turun-temurun

diperjuangkan. Dalam tulisanya pada Aliran Islam, ia menyatakan:

Kita umat islam ahli waris untuk menjambung dan meneruskan perdjuangan,

menegakan hukummah Islamjjah di tanah Indonesia walupun kaum kafir dan musjrik-

munafik tidak menjetudjui, anti serta bentji, menentang dengan sombong dan pongah.116

115
Isa Anshary. “Menjambut Ulang Tahun Masjumi”. Daulah Islamijjah No. 7/Th. I/November 1957. Hlm. 5-6
116
Isa Anshary, Mujahid, Op Cit, hl. 55.
Sikap radikali nonkompromistik Isa Anshary cenderung didasari pengalaman dan

aktivitas politik yang berbeda dengan Natsir. Pengalaman dan aktivitas yang penuh resiko

di zaman Jepang dan Revolusi sangat mempengaruhi corak dan sikap poitik Isa Anshary.

Sejak zaman jepang, Isa Anshary bersemangat membangun gerakan perlawanan fisik

terhadap Jepang. Salah satu resikonya adalah penyiksaan fisik yang diterimanya.

Semangat perjuangan fisik itu dilanjutkan dlam barisan Sabilillah pada zaman revolusi.

Semuanya itu di dasari keyakinan Isa Anshary sebagai bagian dari Jihad Fisabilillah

melawan kaum kafir, yang memang diperintahkan agama.117 :

Perang kemerdekaan, mempertahankan hak mutlak bangsa kita, jelas artinya:

Jihad Fisabilillah. Bukankah dalam Indonesia merdeka ummat islam beroleh

kembali kemerdekaan beragama, yang telah dirampas oleh Imprealisme Barat

selama 3 ½ abad dan oleh imprealisme Timur (Jepang) selama 3 ½ tahun.?

Lonceng kemerdekaan Indonesia yang berdentang pada tanggal 17 Agustus 1945,

telah membuka dan mengurbankan pa yang dimilikinya dalam revolusi berdarah

itu.118

Membekasnya pengalaman revolusi tersebut Isa Anshary terlihat dari penyusunan

konsep politik yang dibuatnya, baik itu tentang filsafat perjuangan, bahkan hingga

rumusan kaidah revolusi islam itu sendiri. Pernyataan Isa Anshary bahwa perjuangan

kemerdekaan tidak akan lengkap dan revolusi tidak akan berakhir sampai bentuk kontrol

Islam terhadap Negara dibangun, menunjukan Isa Anshary terinspirasi dan termotivasi

oleh aktivitas dan pengalamanya dirinya serta ummat islam dalam perjuangan revolusi

117
Pepen Irfan Fauzan, Dinamika PemikiranPoitik Persis 1945-1957, Perbedaan Pandangan dan Sikap Politik
Natsir Berhadapan Dengan Isa Anshary Tentang Konsep Negara. Tesis Universita Indonesia 2011, hlm 99
118
Isa Anshary, Mujahid, Op Cit, hlm. 55.
fisik. Berdasarkan pengalamanya itulahg, Isa Anshary menyusun kaidah revolusi islam

Khusunya di Indonesia.119

Menurut Isya Anshary, terdapat tiga qaidah revolusi islam. Pertama, perubahan

dan perbaikan umat islam harus dimulai dari keadaan bathiniyyah, (Mental-spritual), baru

keadaan lahiriyyah (fisik). Kedua, pembinaan dan pembangunan keadilan dan

kesejahateraan social harus dimulai dari bawah, sedangkan pembersihan ke-dzaliman,

penipuan, korupsi, harus dimulai dari atas.120

Dan sebab itulah, Isa Anshary menjadi geram ketika orang-orang menyerukan

untuk menghentikan perdebatan masalah furu’iayyah, demi tergalangnya persatuan

politik. Ia dengan tegas menyatakan bahwa Persatuan Islam tidak dapat menerima

pandangan tersebut, karena hal itu merupakan suatu penghianatan terhadap misi agama

(Islam)121:

Kami menganggap, pendapat jang memandang remeh atau ketjil segala persoalan

furu’ijjiah itu adalah sematjam penghianatan terhadap sektor keagamaan jang

penting itu. Persatuan Islam tidak akan tinggal diam terhadap setiap

pengchianatan itu.122

Fokus Isa Anshary adalah pelaksanaan hukum Quran-Hadits secara mutlak.

Dalam konteks inilah, bagi Isa Anshary yang dibutuhkan adalah kepemimpinan elit

ulama, termasuk dalam persoalan kenegaraan. Argumentasinya adalah karena elit-elit

119
Pepen Irfan Fauzan, Dinamika PemikiranPoitik Persis 1945-1957, Perbedaan Pandangan dan Sikap Politik
Natsir Berhadapan Dengan Isa Anshary Tentang Konsep Negara. Tesis Universita Indonesia 2011, hlm 99
120
Pepen Irfan Fauzan, Dinamika PemikiranPoitik Persis 1945-1957, Perbedaan Pandangan dan Sikap Politik
Natsir Berhadapan Dengan Isa Anshary Tentang Konsep Negara. Tesis Universita Indonesia 2011, hlm 100
121
Ibid,
122
Isa Anshary, Manifest, op Cit, hlm. 10.
ulama inilah yang paham tentang syariah dalam Quran dan Hadits. 123 Isa Anshary

menegaskan “printah Mustjawarah jang sering diterdjemahkan orang dengan istilah

demokrasi itu bebenarntja tidaklah dengan pengertian ber-Tahkim kepada orang banyak,

melalui pungutan suara, mentjari kemenangan separo tambah satu”.124 Dalam kajian

lainya Isa Anshary menjelaskan bahwa, “system hidup berdjamaah menurut adjaran

islam, ialah hidup berimamah, hidup memiliki ketahaatan. Hidup berpemimpinan dan

berkethaatan, ialah hidup ber-Quran dan ber-Sunnah”.125 Dalam khazana politik islam,

apa yang ditegaskan oleh Isa Anshary ni bukanlah tesis baru. 126

2. Islam Dan Nasionalisme

Pada dekate 1920-1930-an, Kota Bandung bisa dikatakan sebagai kota

pergerakan. Kurung waktu ini adalah sebuah masa dengan kemunculan berbagai jenis

organisasi pergerakan. Pada initinya, pergerakan-pergerakan itu menuntut agar Indonesia

merdeka, atau istilah yang terkenal dikemukakan pada waktu itu adalah”berpemerintah

sendiri’. Sebagai contoh, pada waktu syarekat Islam (SI) menyelengarakan kongres

nasional yang pertama di Bandung pada tanggal 1916, pemimpin organisas itu, HOS

Cokraminoto, dengan bersemangat menyuarakan pentingnya rakyat Indonesia mempunya

pemerintahan sendiri.127

123
Pepen Irfan Fauzan, Dinamika PemikiranPoitik Persis 1945-1957, Perbedaan Pandangan dan Sikap Politik
Natsir Berhadapan Dengan Isa Anshary Tentang Konsep Negara. Tesis Universita Indonesia 2011, hlm 100
124
Isa Anshary, “Natsir Kontra Bung Karno Tentang Demokrasi”. Daulah Islamiyah. No. 2/Th. I/Pebruary 1957.
Hlm. 9-10.
125
Ibid. hlm. 8.
126
Pepen Irfan Fauzan, Dinamika PemikiranPoitik Persis 1945-1957, Perbedaan Pandangan dan Sikap Politik
Natsir Berhadapan Dengan Isa Anshary Tentang Konsep Negara. Tesis Universita Indonesia 2011, hlm 101.
127
Tiar Anwar Bactiar, Persis Dan Politik, Sejarah Pemikiran Dan Aksi Politik Persis 1923-1997
Bagi seokarno pergerakan partai yang dipimpinya itu menuntut suapaya rakyat

Indonesia mereka. Untuk itu, ia menyatakan bahwa perlu adanya penggalangan

kekuasaan atas kesadaran kebangsaan atau nasionalsime:

PNI tak berhenti-hentinja menjubur-njuburkan semangat rakyat jang

disengsarakan oleh suatu keadaan, baik rakjat proletar maupun rakjat ditanah

tanah djadjahan, adalah semangat inggin merdeka kami menjuburkannja tidak

terutama dengan keinsjafan kelas, tetapi terutama dengan keinsjafan bagsa,

dengan keinsjafan nasionaliteit, dengan nansionalsime.128

Dalam usahanya untuk membangun persatuan kalangan pergerakan untuk

kemerdekaan, Soekarno mengembor-gemborkan paham Nasionalismenya, bagi Soekarno

soerang Nasionalis sejati adalag “jang menerima rasa nasionalsimenja itu sebagai suatu

wahju dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bagkti”.129

KH. Agus Salim, seorang toko Syarekat Islam (SI), dengan tegas menentang

pemikiran tersebut. Bagi Agus Salim, pemikiran seperti itu sama saja dengan mengangkat

nasionalsime ke posisi yang setingkat dengan agama. Nasionalisme sejajar dengan

agama. Jika diikuti, maka pandangan itu memperbudak mansuia menjadi penyembah tana

air. Konsekuensi logis dari pendirian nasionalsime adalah kemusrikan, sebab

“mencairkan keyakinan tawhid seseorang dan mengurangi bakti seseorang kepada

Tuhan”.130

128
Soekarno, Dibawa Bendera Revolusi. 1956:116
129
Ibid. 117
130
Daliar Noer, Gerakan Moderen Islam Di Indonesia 1900-1942, Jakarta : LP3ES, 1987, hlm. 175
Penentangan Agus Slaim ini tidak lantas menandakan ia sebagai seorang anti

pergerakan nasional. Namun, yang membedakan Salim dengan Soekarno adalah dalam

kerangka meletakan nasionalisme dibawah agama, rasa cinta tanah air di bawa rasa cinta

kepada Tuhan. Agus Salim dengan tegas menyatakan bahwa nasionalisme harus

diletakan dalam krangka pengabdian kita kepada Allah, karena prinsip yang harus

dinomorsatukan adalah Islam.131

Gerakan dan paham Seokarno ini dianggap oleh organisasi Pergerakan Islam

sebagai paham yang membahayakan, karena bersifat netral-agama. Inilah yang menjadi

dasar alasan dari Persatuan Islam (Persis) di Bandung untuk menentang paham

kebangsaan Soekarno itu. Dengan dua tokohnya yang utama A. Hassan dan Mohammad

Natsir, Persis mengimbangi pemikiran nasionalisme-netral agama Soekarno itu dengan

mengedepankan ideology islam. Yang dipermasalahkan bukanlah usaha pencapaian

kemerdekaan, melainkan lebih kepada masalah motivasi (niat) yang melatari usaha

tersebut. Disinilah paham kebangsaan atau nasionalisme netral agama di perdebatkan.132

Ahmad Hassan, yang sering menyebut nasionalsime itu degan istilah kebangsaan,

dengan tegas menolak paham itu dijadikan dasar dan tujuan pergerakan. Bagi A. Hassan,

nasionalisme berarti “mengatur negeri dengan hukum-hukum kinan mansuia”. Padahal

menurut A. Hassan, kita seharunya “mencari kemerdekaan diri dan tanah air untuk

melakukan padanya qanun Ilahi di antara manusia”133 jelas bahwa A. Hassan

mengontradiksikan paham nasionalisme dengan hukum islam.134

131
Ibid. hlm 176
132
Ibid.
133
Hassan, Islam Dan Kebangsaan: Menoleh ke BandungMenatap Masa Depan. Jakarta: Gema Insani Press. Hlm.
5.
134
Tiar Anwar Bactiar, Persis Dan Politik, Sejarah Pemikiran Dan Aksi Politik Persis 1923-1997. hlm 42
Sebagai dasar argumentasinya, Hassan menujuk Q.S. al-Maidah [3]:44-45 dan 47.

Dari ayat ini, Hassan Menafsirkan bahwa seseorang bisa diesbut kafir bila ia membuat

hukum sendiri, tidak mengindahkan hukum Allah karena dianggap tidak baik. Disebut

dzalim bila ia menghukum sesuatu tidak dengan hkum Allah karena ketidak tahuanya.

Disebut fasiq bila ia menghukum sesuatu tidak berdasarkan hukum Allah dengan sengaja

atau terpaksa.135

Lebih dari itu, Hassan mengritisi paham nasionalisme sebagai sebuah bentuk

“ashabiyyah”, yaitu rasa persatuan suku yang sangat mengikat pada jaman Jahiliyyah,

sebelum adanya persatuan dunia islam di bawa Nabi Muhammad Saw. A. Hassan

menjelaskan,

Buat kemegahan terhadapa orang lain Agama boleh seseorng sebut “saya orang

islam”, tetapi tidak boleh ia sebut “saya seorang Arab, saya seorang Indonesia”;

karena tidak ada kemegahan dengan sebab menjadi Arab, Indonesia. Adapun

terhadap orang-orang Islam sendiri, tidak ada kalimat kemegahan yang boleh

diucapkan, karena apabila seseorang bermegah yang Ia Anshar, dan yang lain

mebr,egah yang ia muhajir, maka timbul Ashabiyyah Jahiliyyah.136

Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa Islam “ melarang dan menjelekkan dan

tidak mengakui ummat seseorng yang menolong kaumnya atas dasar kebangsaan,

berperang atas dasar kebangsaan, menyeru manusia kepada berasas kebangsaan, dan

orang yang mati atas keadaan yang demikian, dipandang mati sesat”. 137 Pendepata ini di

135
Ibid.
136
Hassan, Islam Dan Kebangsaan: Menoleh ke BandungMenatap Masa Depan. Jakarta: Gema Insani Press. Hlm.
23
137
Ibid. hlm 23-24
dasarkan pada hadits-hadits yang melarang adanya perasaan “ta’ashub”, yakni cinta

kelompok secara berlebihan an-sich. Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud,

dalam teks Arabnya berbunyi sebagai berikut: “laisa minna man da’a ila ‘ashobiyyah,

wa laisa minna man qatalah ‘ala ‘ashobiyyatin, wa laisa minna man mata ‘ala

‘ashobiyyatin”.138

Hadist tersebut ditafsirkan oleh Hassan sebagai larangan untuk berasas

kebangsaan. Dengan kata lain, menurut Hassan, kebangsaan sama dengan ‘ashobiyyah:

“bukan dari golongan kita orang yang berperang atas dasar kebangsaan, dan bukan dari

golongan kita, orang mati atas dasar kebangsaan”.139

Pandangan keras A. Hassan terhadap kebangsaan (nasionalisme) ini menjadi

pandangan resmi Persis. Demikian juga menanggapi pandangan kompromistik dari

Persmi yang mengusulkan konsep “ Islam dan Kebangsaan”, kalangan Persis menolak

mentah-mentah. Dengan adanya embel-embel kebangsaan, menurut Persis, “seolah-olah

Islam saja tidak cukup”.140

Isa Anshary sebagai Ulama juga politus dari Partai Masyumi ia mengungkapkan

berbagai ketimpangan dalam system social kemasyarakatan. Secara khusus, ia begitu

tegas menentang pemerintah yang sudah terbelenggu dalam lingkaran tipu daya komunis,

Isa Anshary, dengan gaya retorikanya yang khas lantang, tajam dan memikat julukan

“Singa Mimbar”, karena keberanianya mengemukakan pendapatnya dan pemikiranya

dalam forum-forum dialog, rapat akbar atau pengajian141

138
Ibid.
139
iIbid.
140
Tiar Anwar Bactiar, Persis Dan Politik, Sejarah Pemikiran Dan Aksi Politik Persis 1923-1997. hlm 86
141
H. Abdul Mun;in DZ, Benturan NU-PKI 1948-1965, (Depok: Langgar Swadaya Nusantara, 2013), hlm 31.
Dalam pidatonya Isa Anshary di rapat akbar Persis di lapangan Tegal-lega

Bandung pada tanggal 20 September 1953. Dalam rapat akbar ini, Isa Anshary tampil

sebagai pembicara kedua setelah Mohammad Natsir menyampaikan pidatonya:

“Berjuang dengan dasar kebangsaan tidak boleh dalam islam. Saudara-

saudara, karena pendirian yang tegas ini orang-orang yang mabok dengan

apa yang dinamakan persatuan nasional menyatakan dan menuduh Persis

adalah pemeceah persatuan nasional. Lidah tidak bertulang. Ada orang

yang berkata; kalau pendirian Isla Persis tidak boleh membiarkan umat

islam berjuang dengan dasar kebangsaan, lidah yang bertulang pula

mengatakan tidak mengakui bangsa dan kebangsaan Indonesia. Ini salah.

Paduka yang mulia Persiden Soekarno dalam kuliah umumnya beberpa

bulan yang lalu di Jakarta, telah ikut menuduh Persis: “ceunah” Persis tidak

mengakui adanya kebangsaan dan bangsa Indonesia.

Dengan segala hormat dan hayat, saya atas nama Pusat Pimpinan Persis

menyangkah dan tidak membenarkan pidato Presiden di kuliah itu. Persis

sendiri adalah orang-orang bangsa Indonesia? Tetapi Persis menyatakan

dengan tegas kepada umat Islam berjuang di atas dasar kebangsaan.142

Dari orasinya tersebut dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa tidak dibenarkan

umat islam berjuang di atas dasar kebagsaan, yang dibenarkan ialah berjuang atas dasar

Islam. Ia juga menegaskan bahwa bukan berarti Persis tidak mengakui adanya kebagsaan

Dadan Wildan. Yang Da’I Yang Politikus (hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis), Bandung: PT Remaja
142

Rosdakarya. Hlm 109


Indonesia. Yang jelas bahwa Isa Anshary selalu mengelorakan semangat juang dan

idealisme keislaman di dalam bangsa dan Negara Indonesia ini.143

Menurut Isa Anshary, revolusi Islam bukan hanya sebatas revolusi nasional,

melainkan untuk melakukan pembebasan mansusia dari penjajahan fisik dan spiritual.

Sebaliknya, revolusi Indonesia sudah berakhir sebelum tugas seluruhnya rampung,

karena jatuh di tangan orang-orang kafir dan munafik. Untuk itu revolusi Indonesia harus

dilanjutkan terus, tetapi harus diisi dengan semangat spiritual untuk mencapai tegaknya

hukum-hukum Islam dalam Negara dan Masyarakat.144

Keberadaan Isa Anshary di Panggung politik nasional memang sudah diasahnya

degan matang. Sebagaimana dilakukan oleh banyak tokoh-tokoh Islam, untuk

mewujudkan cita-cita dan kepedulian terhadap bangsa dan Negara, Isa Anshary melihat

bahawa politik Praktis adalah salah satu sarana yang paling efektif. Partai politik

Masyumi, saat itu memang merupakan satu-satunya partai yang menjadi lading bagi para

ulama yang memiliki orientasi perjuangan lewat politik praktis. Bagi mereka berpolitk

adalah alat untuk mencapai cita-cita umat Islam. Mereka mengatakan bahwa berpolitik

mempunyai hukum yang kuat, baik secara kolektif maupun secara individu. Dengan

demikian, berpolitik dalam meraih cita-cita Islam dan berlakunya hukum Allah di dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dibutuhkan peran aktif ummat

Islam.145

143
Ibid, 117
144
Khalid. O. Santoso, MANUSIA DI PANGGUNG SEJARAH Pemikiran Dan Gerakan Tokoh-Tokoh Islam, hlm
203.
145
Ibid.
C. K.H Mohammad Isa Anshary Anti Komunisme

1. Komunisme

Komunsime sebagaimana yang yang telah kita pahami sekarang merupakan

istilah yang muncul sekitar tahun 1840-an. Isitilah ini merujuk kepada pergerakan social

politik yang terjadi di perancis. Ia merupakan sinonim dari sosialisme ilmiah yang

dirumuskan oleh Marx dan Engels. Penggunaan istilah “komunisme” bertujuan sebagai

pembeda antara gerakan sosialisme ilmiah dan dan sosialisme-sosialisme sebelumnya


146
yang masih bersifat utopia. Komunisme secara bahasa berarti paham kebersamaan.

Sebagai satu sitilah dari pergerakan yang lahir di Prancis, “commnue” (noun), semakna

dengan kata “common” dalam bahasa Inggris, akar katanya dari Latin “comun”, yang

artinya publik, bersama, umum atau universal.147 Istilah “coummune” sendiri dalam

kehidupan masyarakat Prancis abad 19 telah memiliki pengertian khusus; Pertama,

berarti sekelompok manusia, yang tidak terbatas hanya satu keluarga, hidup bersama dan

berbagi kepemilikan serta tanggung jawab. Kedua, daerah terkecil dari pemerintahan

local di Prancis yang memiliki system pemerintahan mandiri.148

Marx dan Engels sebagai pencetus paham ini lebih memknai komunisme sebagai

teori dan gerakan sosialisme ilmiahyang mereka rancang. Isitlah komunisme,

sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, sebagai pembeda antara teori dan gerakan

146
Muhammad Yakub Mubarak, Problem Teologis Ideologi Komunisme. TSAQAFAH, Vol. 13. No. I. Mei 2017.
Hlm. 48.
147
Ibid. hlm. 49.
148
Ibid
sosialisme ilmiah mereka dengan teori-teori dan gerakan-gerakan sosialisme terdahulu

yang mereka anggap bersifat utopia. Isitilah ini sekaligus dugunakan sebagai gerakan

sosialisme resmi untuk para buruh, diidentikan dengan gerakan para borjuis kecil. 149

Dalam tulisan-tulisanya, Marx mengambarkan komunisme sebagai keadaan yang muncul

setelah kapitalisme tumbang. Melalui determinisme sejarah, kapitalsime akan menemui

titik kehancurannya. Bersamaan dengan itu, kelas proletariat akan semakin terbentuk

keadarannya sehingga terjadi revolusi social. 150

Lenin, sebagai pendiri Negara komunis pertama, lebih memknai komunisme

sebagai sebuah gerakan revolusi dan kepemimpinan Negara dibawah kendali partai

komunis. Partai yang terdiri dari para revolusioner professional, orang-orang pilihan dari

kelas proletariat, berpengalaman, terlatih, dan teroganisir secara ketat melalui disiplin

tinggi serta struktur hierarkis yang dikendalikan oleh pusat. 151 Ia meyakini bahwa revolusi

social hanya akan terjafi apabila kelas tertindas melalui tangan para revolusioner

professional mampu mengambil kontrol Negara secara paksa dengan jalan revolusi

kekerasan. Transisi masyarakat kapitalis menuju masyarakat komunis dapat terlaksana

ketika kediktatoran proletariat melakukan penindasan bahakan pembersihan kelas borjuis

serta kelompok-kelompok yang di anggap kontra revolusi.152 Perpaduan teori komunisme

Marx dengan teori dan praktik revolusioner lenin kemudian lebih dikenal sebagai

Marxisme-Leninsme, yang mana para perkembangan selanjutnya menjadi definisi baru

dari isitilah komunisme.153

149
Ibid
150
Muhammad Yakub Mubarak, Problem Teologis Ideologi Komunisme. TSAQAFAH, Vol. 13. No. I. Mei 2017.
Hlm. 50
151
Ibid,
152
Ibid,
153
Ibid,
Stalin dan Mao, dua tokoh besar komunis selepas kematian Lenin, lewat praktik

kepemimpinanya, memberi makna baru dari komunisme lebih dari sekedar Marxisme-

Leninsime. Tidak sekapat dengan model kepemimpinan kolektif dalam partai dan Negara

sebagaimana yang dirumuskan Lenin, keduanya justru memilih menciptakan kultus

individu, di mana pemimpin partai merupakan satu-satunya orang yang berhak

menentukan arah kebijakan.154 Stalin yang cenderung kurang cakap dalam berteori, lebih

menekankan pada nasionalisme komunis dan praktek xenophobia yang berfungsi ganda,

yakni sebagai pengawasan ketat terhadap masyarakat sekaligus mempertahankan Negara

dari ancaman luar. Dengan ini ia telah menolak teori layunya Negara dari Marx dan

Engels, serta teori komunis internasional dari Lenin. 155 Adapun Mao, yang juga seorang

filsuf, cenderung mendukung gagasan Marxisme-Leninisme dengan situasi objektif Cina,

pengetahuan Intektualnya, dan pengalaman perjuangan revolusinya. Komunisme Mao

melalui teori keabsolutan konflik dan perubahan milknya kemudian cenderung bersifat

fleksibel dan prgmatis.156

Definisi komunisme dari waktu ke waktu pada kenyataanya mengalami

perkembangan. Komunisme modern tidak membatasi diri pada teori-teori Marx dan

Engels semata. Ia lebih cenderung kepada gerakan social-politik dari kelompok komunis

revolusioner dalam merebut dan menjalanka kekuasaan. Ciri utamanya adalah bersifat

yang totalitarian, di mana partai mengatur segala aspek kehidupan rakyatnya, termasuk

dalam beragama. Ia merupakan kumpulan teori dan praktik tokoh-tokoh besar komunis

seperti Lenin, Stalin, dan Mao, dalam upaya mereka untk menyesuaikan doktrin-
154
Hery J. Schmandi, Filsafat Politik (A History Of Political Philosophy), Ter. Ahmad Baidlow, (Yogyakarta:
Pusat Pelajar,2009) hlm 560-562
155
Idzam Fauzan, Filsafat politik, hlm, 234
156
Hery J. Schmandi, Filsafat Politik (A History Of Political Philosophy), Ter. Ahmad Baidlow, (Yogyakarta: Pusat
Pelajar,2009) hlm 537-538
doktrinkomunisme dengan realitas social-politik yang dihadapi masing-masing tokoh.

Doktrin-dokrin komunisme bersifat antroposentris, di mana pembebasan kelas proletariat

sebagai kelas tertindas merupakan isu utmanya.157

Teori sosialisme ilmia Marx atau konsep yan lebih dikenal dengan teori

komunisme memiliki tiga konsep dasar yakni: diletika, materialism historis, dan

pertentangan kelas. Dalam proses dialetika, mode produksi sebagai tesis menimbulkan

gerakan pertentangan yang merupakan antitesisnya, gerakan tersebut berupa kekuatan

produksi, teknologi, dan hubungan antarkelas, yang seluruhnya mengacu pada kondisi

masyarakat dalam menghasilkan produksi dan melakukan penukaran. Ketika masyarakat

mencapai titik konflik di mana struktur ekonomi serta mode produksi menghalangi

pemanfaatan kekuatan produksi di dalamnya, maka saat itu akan timbul revolusi social

untuk menghasilkan fase masyarakat selanjutnya sebagai sintesis baru. 158 Kedua,

Materialisme historis. Institusi social dan politikdibentuk dan ditentukan oleh mode

produksi. Selalu terdapat hubungan antara pemilik kondisi produsi dengan produsen di

dekatnya. Di dalamnya terdapat rahasia terdalam, basis tersembunyi bagi seluruh

bangunan social, kemudian bentuk politis hubungan kekuasaan serta ketergantungan. 159

Singkatnya, materialsime historis dalah perspektif teoritis tentang perkembangan social,

politik, dan ekonomi yang mengandung sejarah manusia melalui lensa determinisme

ekonomi.160

157
Muhammad Yakub Mubarak, Problem Teologis Ideologi Komunisme. TSAQAFAH, Vol. 13. No. I. Mei 2017.
Hlm. 51.
158
Ibid,
159
Ibid,
160
Ibid,
Ketiga, Pertentangan kelas, yaitu relasi individu-individu dengan alat produksi.

Kelas dibedakan pada sejauh mana mereka menguasai alat produksi.161 Pertentangan

antara kelas terjadi disebabkan perebutan alat produksi. Gerakan dialetika sejarah

terungkap dalam konflik tersebut. Konflik antarkelas, sebagai proses dialetika sejarah

dari masa ke masa selalu terjadi. Pada fase tribal konflik terjadi antara orang bebas

dengan budak, antara suku kuat dan suku lemah. Pada masa feudal antara bangsawan,

penguasa, dengan kaum hamba, petani, dan para pengrajin. Antara penindas dan

tertindas, berdiri dalam oposisi konstan satu salam lain, membawa semangat perlawanan,

kadang tersembunyi, kadang terbuka, dan setiap kali berakhir, entah dalam

pengonstitusian ulang masyarakat luas, atau hancurnya kelas yang melawan. 162 Marx

yakin dielatika sejarah bergerak kedepan arah masyarakat tanpa kelas. Fase kapitalsime

belum menghapus konflik, ia hanya menyederhanakan kelas yang bertentangan menjadi

borjuis dan proletariat.163

Metode dialetika dalam doktrin komunisme sangat bercorak antroposentris.

Engels mengatan bahwa Marx merupakan orang yang pertama kali menemukan kaida

pergerakan sejarah di mana seluruh pergulatan sejarah baik wilayah politik, agama,

filsafat, maupun ideology lainya, pada dasarnya merupakan perjuangan antara kelas. 164

Analisis kelas social dalam setiap fase masyarakat merupakan kunci utama penjelasan

dialetika sejarah. Marx bahkan meyakini bahwa hanya analisis kelas yang mampu

melampaui sejarah. Oleh karenanya dalam pandangan komunisme, Negara, undang-


161
Alat Produksi yakni hal-hal yang digunakan untuk memproduksi barang atau hal lain, seperti kekuasaan politik.
Alat produksi tiap fase masyarakat berbeda. Contohnya: Masyarakat tribal, alat produksinya adalah tanah dan
budak, dan masyarakat kapitalis, alat produksinya adalah mesin dan pabrik.
162
Muhammad Yakub Mubarak, Problem Teologis Ideologi Komunisme. TSAQAFAH, Vol. 13. No. I. Mei 2017.
Hlm. 58
163
Ibid,
164
Ibid, 59.
undang, moralitas, bahkan agama hanya sekedar suprastruktur yang di bangun pada

kondisi masyarakat tertentu, yang mana fungsinya dapat berubah dengan berubahnya

syarat-syarat dan kondisi masyarakat.165

2. Komunsime Di Indonesia

Ideologi komunis masuk ke Indonesia pada tahun 1913 diperkenalkan oleh

Handricus Josephus Franciscus Maria Sneevliet. Ia adalah bekas Ketua Keretaris Buruh

Nasional dan bekas pimpinan Partai Revolusioner Sosialis di salah satu provinsi di negeri

Belanda. Mula-mula ia bekerja di Surabaya sebagai staf redaksi wartawan perdagangan

Soerabajasbe Handelsblad milik sindikat prusahaan-perusahaan gula Jawa Timur. Tidak

lama kemudian ia pindah ke Semarang bekerja sebagai sekretaris pada sebuah maskapai

dagang.166

Kota Semarang pada saat itu menjadi pusat organisasi burh kereta api Vereenigin

van Spoor en Tramweg Personeel (VSTP/Serikat Personil Kereta Api dan Trem) yang

telah berdiri sejak tahun 1908. Pada tahun 1914 VSTP memerlukan propagandis-

propagandis untuk menyebarluaskan paham yang dianut oleh organisasi buruh itu.

Kesempatan itu di manfaatkan oleh Sneevliet berkenalan dengan massa buruh, dan

menyebarluaskan ideology pertentangan kelas.167

Pada bulan Juli 1914 itu Sneevliet bersama dengan P. Bergma J.A. Brandstedder,

H. W. Dekker (Sekretaris VSTP), mendirikan organisasi politik yang bersifat radikal,

Indische Social Democratische Vereenigin (ISDV) atau Serikat Sosial Demokrat Indai.

165
Ibid,
166
Saleh As’ad Djamhari Dkk, komunsime Di Indonesia Jilid I (Perkembangan Gerakan Dan Penghianatan
Komunisme Di Indonesia1913-1948). Jakaerta : Pasjarah TNI 2009. Hlm. 19.
167
Ibid,
ISDV menerbitkan surat kabar Het Vrije Woord (Suara Kebebasan). Terbitan pertama

suarat kabar ini tercatat tanggal 10 Oktober 1915. Melalui surat kabar ini Sneevliet dan

kawan-kawannya melakukan propaganda untuk menyebarkan marxisme.168

Oleh karenya anggota ISDV terbatas dari kalangan orang-orang belanda, maka

organisasi ini belum dapat menjamah dan mempengaruhi organisasi pergerakan nasional

sperti Boedi Oetomo dan Sarekat Islam (SI). Usaha ISDV untuk mendekati rakyat juga

gagal, karena ISDV tidak di dukung oleh rakyat. Dengan mengunakan organisasi buruh

di Semarang, ISDV mendekati Sarekat Islam yang dipimpin oleh Oemar Said

Tjokroaminoto. SI adalah Organisasi politik yang berdasarkan nansional-islam, yang

berwatak anti kolonial dan kapitalsime asing. Watak dan aktifitas Sarekat Islam ini

rupanya diminati secara cermat oleh Sneevliet, dan kawan-kawanya. Mereka bermaksud

mengexploitasi sentiment anti klonialisme dan kapitalsime asing dari para pengitu SI.169

Sesudah terjadinya revolusi di Rusia pada tahun 1917, watak gerakan ISDV

semakin radikal dan tegas-tegas menjadi komunis. Pemimpin-pemimpin ISDV mendekati

dan mempengaruhi pemimpin Sarekat Islam Semarang yang juga menjadi anggota VSTP

dengan Ide-ide revolusioner model Rusia. Di samping itu ISDV mengadakan propaganda

di lingkungan Angakatan Perang. Sneevliet mempengaruhi serdadu Angatan laut,

pegawai negeri didekati oleh Baars dan van Burink. Sneevliet melakukan aktivitas,

ceramah-ceramah, kursus-kursus politik. Atas hasutanya berhasil dibentuk Rad van

Matrozen en Mariniers (Dewan Kelasi dan Marinir), suatu organisasi di lingkungan

anggota militer yang berhaluan radikal revolusioner.170 Aktifitas Sneevliet ini dibantu

168
Ibid, hlm 20
169
Ibid,
170
Ibid,
spenuhnya oleh Brandstedder yang menjadi kepala dari Soerabajasche Marine Gebouw

(Balai Angakatan Laut Surabaya) dan direktur Koran Soldaten en Mattrozenkrant (Koran

Serdadu dan Kelasi). Rata-rata isi Koran ini adalah ide-ide komunisme yang revolusioner

dan ide-ide perjuangan kelas.171

Berbagai pamphlet juga diterbitkan dengan tujuan untuk melemahkan

kepercayaan bawahan kepada atasanya dalam tubuh Angakatan darat dan Angkatan

LAut. Pemerintah Hindia Belanda bertindak tegas. Pada bulan Desember 1918 Sneevliet

di usir dari Hidia Belanda karean aktivitasnya dianggap menganggu keamanan dan

ketertiban. Menyusul kemudian Brandstedder pada bulan September 1919.172

Sekalipun Sneevliet dan Brandstedder telahmeninggalkan Hindia Belanda namun

mereka berhasil menanamkan pengarunya di lingkungan Angatan Laut Surabaya, setidak-

tidsknya telah membentuk organisasi berhaluan komunisme. Di lingkungan Sarekat

Islam, ISDV berhasil mempengaruhi pimpinan SI Semarang, Semaun dan Darsono yang

juga adalah anggota VSDV mengubah namanya menjadi Perserikatan Komunis di Indie

(PKI). Semaun dipilih sebagai ketuanya dan Darsono sebagai wakil. Beberapa tokoh

ISDV yang orang Belanda diangkat sebagai pendamping, antara lain Bersgma sebagai

sekretaris, Dekker sebagai bendahara dan A. Baars sebagai anggota. Organ (media

massa) Partai Komunis Indonesia ditetapkan Soeara Ra’jat. Sekalipun Semaun dan

Darsono telah menjadi pimpinan PKI, namun mereka tetap menjadi Ketua Sarekat Islam

Semarang, yang juga memimpin organ (media massa) Si, Sinar Hindia. Aktifitas SI

171
Ibid,
172
AK. Pringgodigdo, SH. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Jakarta, 1986, hlm. 24
Semarang dan PKI berjalan berdampingan. SI Semarang mendirikan sekolah-sekolah Si,

namun kepada murid-muridnya diajarkan lagu internasinale, lagu komunis.173

Propaganda tentang komunisme diintensifkan dengan cara menumpang pada

petemuan-pertemuan Si. Aktivitas Si yang ditumpangi oleh PKi ini pada mulanya masi

diperbolehkan oleh Central Sarekat Islam (CSI) karena menurut anggarn dasar CSI,

seseorang anggota Si diperbolehkan menjadi anggota organisasi lain. Dengan kata lain, Si

tidak melarang adanya keanggotaan rangkap. Adanya system keanggotaan rangkap ini

dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh PKI, untuk memecah bela SI dari dalam. Memecah

belah organisasi dari dalam organisasi itu sendiri dalam dunia Komunis disebut taktik

aksi di dalam atau di blok di dalam (block within). Blok di dalam dilaksanakan dengan

cara menginflitrasikan kader atau anggota komunis untuk menjadi salah satu anggota

organisasi yang menjadi sasaranya. Selanjutnya mereka berusaha mempengaruhi atau

memecah belah organisas itu. Taktik “bloc di dalam pertama kali dipraktekan oleh PKi

terhadap Sarekat Islam. Yang pada saat itu merupakan organisasi pergerakan nasional

yang besar dan kuat.174

Sementara itu persaingan antara Si dan PKI yang di bentuk pada tahun 1920

semakin betambah sengit, khusunya berebut pengaruh di kalangan organisasi buruh. Pada

bulan Desember 1919 atas inisiatif, tokoh-tokoh Sarekat Islam dibentuk federasi

organisasi buruh yang bernama Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) yang diketuai

oleh Semaun pemimpin SI Semarang dan Ketua VSTP, Suryopranoto sebagai wakil ketua

dan Agus salim sebagai sekretaris. PPKB merupakan suatu federasi dari 22 organisasi

173
Saleh As’ad Djamhari Dkk, komunsime Di Indonesia Jilid I (Perkembangan Gerakan Dan Penghianatan
Komunisme Di Indonesia1913-1948). Jakaerta : Pasjarah TNI 2009. Hlm. 21.
174
Ibid
buruh dengan 27.00 anggota. Aktivitas organisasi ini terutama memperjuangan

kepentingan kaum buruh dengan melakukan pelbagai pemogokan karena peraturan

perburuan kolonial yang buruk. Dalam Kongres II (Juni 1921) Sarekat-sarekat sekerja

PPKB di Yogyakarta terjadi perpecahan. Semaun dan Bergsma bersama 14 Sarekat

Sekerja memisahkan diri dan membentuk Revolutionnair-Socialistische Vakcentrale,

yang dipelopori oleh VSTP pada bulan Juni 1921. Dalam persaingan ini Surjopranoto dan

AGus Salim berhasil menyelamatkan sebagian organisasi buruh dari pengaruh

komunisme.175

Sejak perpecahan itu corak gerakan buruh komunis semakin radikal. Sementara

itu para pengikut SI yang dengan terang-terangan telah menjafi PKI, mulai melancarkan

kritik keras terhadap SI. Semaun ketua PKI, yang juga Ketua SI Semarang dalam

pidatonya di kongres PKI bulan Desember 1920 menuduh SI membela kepentingan

capital pribumi, karena SI didirikan oleh para saudagar dank um Industri, bukan oleh

Rakyat.176

Pada Bulan Maret 1923 PKI mengadakan kongres kilat di Bandung dan

Sukabumi. Dalam kongres ini Darsono menganjurkan untuk membentuk SI tandingan

yang bersimpati pada Komunis. SI tandingan ini diberi nama SI Merah, kemudian di

ubah menjadi Sarekat Rakyat, dengan status sebagai organisasi dibawah naungan PKI.

System organisasi PKI ditentukan dalam kongres tanggal 7-10 juni 1924. Kongres ini

merupakan ini merupakan propaganda besar-besaran komunisme. Di atas kursi pimpinan

175
Saleh As’ad Djamhari Dkk, komunsime Di Indonesia Jilid I (Perkembangan Gerakan Dan Penghianatan
Komunisme Di Indonesia1913-1948). Jakaerta : Pasjarah TNI 2009. Hlm. 23.
176
AK. Pringgodigdo, SH,Ibid, hlm. 26-35
dagantungkan potret-potret tokoh komunis, seperti Kalr Marx, Lenin, Stalin, Sneevliet,

dan symbol palu arit.

Dalam waktu 4 tahun (Mei 1920-Desember 1924) PKI berhasil memperluas

pengaruhnya melalui cara legal dan illegal, seperti taktik aksi di dalam (block within) dan

propaganda yang intensif. Propaganda-propaganda PKI yang bertema pertentangan kelas

mendapat lahan yang subur pada masyarakat kolonial yang bercirikan diskriminasi

(social, ekonomi, politik, warna kulit). Oleh karena itu pengawasan secara ketat, namun

tidak berhasil membendug aktifitas PKI.177

3. Islam Dan Komunisme

Pergumulan islam dan kuminsime di Indonesia telah mewarnai perjalanan sejarah

modern bangsa ini. Sejak komunisme berkembang pada 1916-1920 hubungan lama yang

menjerah antara islam dan komunisme, baik di masa revolusi fisik ataupun di periode

sesudahnya, telah banyak menyita perhatian kajian banyak akademis.178

Pada masa revolusi, cara pandang terhadap kapitalisme banyak dianut oleh

sejumlah pemimpin Indonesia karena kapitalisme di anggap sebagai penjelmaan

penjajahan belanda. Aspek negativif kapitalisme dapat dilihat dari pandangan mereka

yang mendasarkan pada kritik Marxisme-Leninisme.179 Hal ini berakibat pada anggapan

pihak luar negeri terhadap rakyat dan pemerintah Indonesia yang dianggap terpengaruh

Moskow (komunisme), sekalgius bagian terbesar bangsa Indonesia adalah Muslim. Pada

177
Komando Operasional Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Gerakan 30 September Partai Komunis
Indonesia(G.30 S/PKI), Jakarta, 1995, hlm. 9-18
178
Samsuri, Politik Islam Anti Komunisme (Pergumulan Masyumi dan PKI di Arena Demokrasi Liberal)
Yogyakarta: Safira Insani Press 2004, hlm 100
179
Ibid, 102
akhirnya, anggapan ini berlanjut pada pemahaman bahwa “semangat islam Indonesia

sangat suka dengan paham-paham komunisme dan sosialisme.180

Sjafruddin Prawiranegara sebagai fugsionaris DPP merasa perlu untuk

meluruskan kekeliruan asumsi-asumsi yang mengatakan bahwa raktay Indonesia yang

mayoritas Muslim telah terpengaruh oleh komunsime. Pandangan kekeliruan itu

tampaknya disebebkan oleh karena pemerintah Indonesia di bawa cabinet Amir

Sjarifuddin, serta parlemen (KNIP) sebagai dasar didominasinya sayap kiri dari partai

sosialis.181

Pada masa revolusi bisa terjadi antara komunis dengan sosialis Indonesia adalah

pemeluk agama yang taat, baik Islam maupun Kristen. Inilah yang mengherankan

sehingga Sjarisuddin pun bertanya “Siapa yang benar, mereka (Mulim atau Kristen)

dengan menamakan dirinya sosialis atau komunis, atau saya dengar mengikuti partai

politik Islam Mssyumi?”182

Menurut Sjarifuddin terdapat perbedaan pendapat antara Marxisme dengan

Agama maupun juga. Perbedaanya adalah bahwa dasar-dasar Marxisme dalam bentuk

materialsime-historis yang sama sekali bertentangan dengan paham ketuhanan dari tiap-

tiap Agama.183

Lebih lanjut Sjarifuddin mengemukakkan perbedaan antara keduanya. Sosialisme-

Marxisme berdasarkan pada materialism-historis, sedangkan sosialisme agama


180
Sjarifyddin Prawiranegar, Tiinjauan Sosial Tentang politiek dan Revolusi Kita, (Yogyakarta: Badan Penilitian
Indonesia Raya, 1948), hlm. 4
181
Soe Hok Gie, Orang-orang di Persimnagan Kiri Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun September 1948,
(Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1997). Hlm. 129
182
Samsuri, Politik Islam Anti Komunisme (Pergumulan Masyumi dan PKI di Arena Demokrasi Liberal)
Yogyakarta: Safira Insani Press 2004, hlm. 23.
183
Ibid,,
berdasarkan sosialisme religion. Ajaran-ajaran Marxisme seolah-olah ada kemiripan

dengan ajaran-ajaran Islam. Ungkapan yang mengajarkan, “bekerjalah untuk duniamu

seolah-olah akan hidup selama-lamanya..” seolah-seolah merupakan dalil Marxisme,

padahal Islam melanjutkan dengan kalmia, “dan bekerjalah untuk akhiratmu seolah-olah

besok kamu akan mati esok hari.”184

Sjarifuddin Prawiranegara, salah seorang ideology dan konseptor Tafsir Asas

Masyumi,185 menyatakan bahwa “Islam merupakan kompromistik antara komunsime dan

kapitalsime. Beberapa persamaan antara Islam dan marxisme-komunisme adalah

mengenai “keadilan social, pengakuan adanya kelas dan golongan didalam

masyarakat”.186 Persamaan inilah yang menyebabkan antara golongan komunisme dan

Islam dapat berdampingan melawan imprealisme-kapitalsime Belanda di zaman

pergeraka, sehingga hampir sebagai suatu blok, (kedunya) tidak melihat siapa komunis

yang tulen dan siapa muslim yang asli. Berjuang bersama-sama di Digulkan bersama-

sama.187

Dari beberapa persamaan, ternyata ada banyak perbedaan mendasar antara Islam

dan komunisme. Diantara perbedaan tersebut, antara lain dapa dilihat pada persoalan

perjuangan kelas dan pengakuan hak individu. Menurut Sjarifuddin, Islam tidak

mengakui adanya perjuangan kelas sperti kaum Marxis untuk membelah kaum lemah

(Proletar) dan tidak mungkin menghapuskan suatu golongan (kapitalis), tetapi hanya

meringankan penderitaan kaum lemah, miskin, dan tertindas dengan meletakan tangung

jawab yang berat kepada golongan/kelas yang mempunyai kecukupan materi. Terhadap
184
Ibid,,
185
Dalie Noer, Partai Islam, hlm. 137
186
Sjarifuddin Prawiranegara, Islam Dalam Pergolakan Dunia, hlm 14-19
187
Ibid,
individu, komunisme mengabaikan individualism manusia, tetapi menitiberatkan kepada

pertengahan-pertengahan di dalam masyarakat.188 Pada bagian lain, Sjarifuddin

Prawiranega menjelaskan bahwa pengeharagaan terhadap potensi individual: diakui oleh

kapitalisme, hanya saja penghargaan tersebut tiak adabatansya, sehingga memunculkan

adanya liberalism kapitalsime. Berbeda dengan Merxisme yang tidak mengakui

invidualitas, bahakan letak sialm adalah ditengah-tengah antara kapitalsime dan

Marxisme.189

Dan hal tidak jauh berbedah dengan penjelasan Mohammad Natsir, menurut

Natsir, kesamaan antara kapitalsime dan komunisme itu dalam dilihat pada masalah

kebebasan mansusia untuk mencapai kemakmuran, yaitu:

“komunisme dalam mencapai kemakmuran menekan dan memperkosa taibat dan

hak-hak asasi manusia sedangankan kapitalsime dalam memberikan kebebasan

kepada tiap-tiap orang tidak mengindahkan prikemanusiaan dan hidup dari

pemerasan keringat orang lain dan membukakn jalan untuk kehancuran kekayaan

alam.190

Untuk itu, menurut Natsir umat islam perlu menjawab perosoalan yang

ditimbulkan sebagai akibat dari dua ideology dunia yang di anggap telah menjajah umat

islam selama berabad-abad itu. Sebagai agama fitrah islam memberikan tuntunan hidup

yang lengkap, serta memberikan kebebasan dan menyuruh manusia berusaha mencari

nafkah dan kekayaan sekuat-kuatnya baik di laut maupun di darat.191

188
Samsuri, Politik Islam Anti Komunisme (Pergumulan Masyumi dan PKI di Arena Demokrasi Liberal)
Yogyakarta: Safira Insani Press 2004, hlm 19.
189
Ibid
190
Ibid,
191
Ibid, hlm. 20.
Terhadap kepemilikan harta misalnya, Natsir perpendapat bahwa manusia diberi

kebebsan untuk beriktihar secara ihsan, melaukan hak dan kewajiban secara berimbang,

dan tidak dipakai sebagai alat pemuas nafsu. Untuk itu, Natsir memandang perlu

kewajiban zakat sebagai cara membangun kemakmuran seluruh masyarakat. Dengan

mengorganisasi zakat dengan baik, maka dapat dihilangkan kemiskinan dan kemelaratan

di dalam masyarakat. Dengan cara ini, jelas, sangat berbeda dengan komunise, “Islam

mengakui hak kepribadian dan memberikan kebebasan, bahakan mewajibkan kepada

tiap-tiap orang agar mencari reziki sekuat tenaga. 192 Sebaliknya berbeda dengan

kapitalsime, dalam Islam, “kekayaan yang di dapat tidak boleh digunakan untuk

kepentingan diri sendiri saja, tetapi harus pula dikeluarkan untuk menolong sesame

manusia, guna menciptakan kemakmuran bersama”.193

Dari uraian tersebut, baik sjarifudin Prawiranega maupun Natsir tanpak berfikir

apologetik dengan memandang kelebihan-kelebihan di dalam pemikiran kapitalisme dan

komunisme juga terdapat di dalam dan dicita-citakan dalam islam. Dengan cara

demikian, wajar apabilah George McTurnan Kahin mengelompokan keduanya terutama

Sjarifuddin sebagai tokoh sosialis religion di Masyumi. 194 Dari pertarungan ideologi

antara Islam dan Komunisme dan kapitalisme, maka tugas dan kewajiban Masyumi

adalah Pertama, mempertahnkan kedaulatan Republik Indonesia yang telah di

Proklamasikan oleh bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945, dan telah mendapat

pengakuan internasional dan mengisinya dengan melksanakan ajaran-ajaran Islam dalam

192
Mohammad Natsir, “Djawab Kita”, Suara Partai Masyumi. No. 1 th ke-7 ( Januari 1952), hlm. 5.
193
Ibid,
194
Samsuri, Politik Islam Anti Komunisme (Pergumulan Masyumi dan PKI di Arena Demokrasi Liberal)
Yogyakarta: Safira Insani Press 2004, hlm 21.
kehiduapan perseorangan, masyarakat, dan Negara Republik Indonesia yang berdasarkan

kedaulatan rakyat, melalui jalan demokrasi.195

Aspek-aspek ajaran Komunisme yang bertentangan dengan Islam.196

Aspek-aspek Ajaran Alasan Bertentangan dengan Islam


Komunisme
Komunisme adalah falsafah Ajaran islam menyatakan bahwa yang menjadikan dan
yang berdasarkan memberi segala sesuatu, baik berwujud kebendaan
materialsime-historis maupun kerohaniaan adalah Allah (QS 45:22, 25:2,
(paham kebendaan 20:5, 18:84, dan 4:78)
berdasarkan sejarah)
Komunsime memusuhi Ajaran Islam mengakui adanya Allah dan mengakui
agama dan mengingkari adanya agama-agama (QS 2:28, 10:99, dan 109:6)
adanya Tuhan (Atheisme)
Komunsime melenyapkan Ajaran islam memelihara dan mengatur serta
ikatan kekeluargaan dan menganggap suci ikatan keluarga dan perkawinan serta
menjadikan wanita milik mengharamkan perzinaan (QS 4:3, 17:32, 8:75, dan
bersama 47:22)
Komunisme pada dasarnya Ajaran Islam pada dasarnya mengakui hak milik
melenyapkan hak milik persorangan atas alat-alat produksi dan kekayaan, asal
perseorangan atas alat-alat
diperoleh dengan cara yang hala. Hak milik diberi beban
produksi dan kekayaan kewajiban serta dapat diatur dan diarahkan untuk
kepentingan umum (QS 13:26, 4:31, 5:19, 2:219, 9:34),
serta Hadits Nabi ketika dihaji wada’ yang artinya,
“sesunguhnya darah kamu dan harta kamu haram
diganggu sampai kamu mengahadap Tuhanmu, seperti
sucinya hari dan bulan haji ini.”
Komunisme Ajaran Islam menganjurkan syura antara segala
memperjuangkan dan golongan rakyat (QS 42:38, dan 3:159)
melaksanakan cita-cita
dengan system dictator-
proletar

4. Front Anti Komunisme

195
Ibid,
196
Ibid, hlm, 26.
Menyikapi wacana komunisme di dalam tubuh Masyumi sedikitnya melahirkan

dua faksi utama, yaitu faksi Sukiman Wrijosanjojo dan Faksi Natsir. Diluar kedua faksi

itu ada faksi Isa Anshary yang dikenal sangat radikal dan ekstrim. Faksi tersebut

memiliki tanggapan berbeda tentang komunisme sama-sama menolaknya.197

Jusuf Wibisono, sebagai salah seorang yang digolongkan kedalam faksi sukiman

menyatakan bahwa kewajiban bagi umat islam Indonesia untuk mengenal lebih dekat

Marxisme supaya dapat menyelidiki lebih seksama seberapa jauh perbedaan, kesearahan,

dan pertentanganya dengan islam.198 Dengan mengenal aliran Marxisme itu, maka dapat

di kurangi kesalapahaman yang tidak perlu, yang memrugikan Islam sendiri. Pada

giliranya, sikap demikian akan menumbuhkan penghargaan terhadap anasir-anasir yang

di anggap berguna dan dapat memperkaya pengetahuan para kader politik Masyumi.199

Sedangkan dari kelompok radikal, Isa Anshary anggota Mssyumi dan dari Persis,

adalah salah satu contoh yang sering disebut sebagai “ekstrimisme Muslim”. 200 Isa

Anshary membidikkan semua upaya untuk memperluas dan memanfaatkan isu anti

komunisme sebagai senjata politik utama. Isa Anshary membentuk Front Anti Komuns

tahun 1952. Front ini merupakan mengembanggan dari rencana pembentukan organisasi

Front Ketuhanan dan Demokrasi pada tahun 1952. Menurut Isa Anshary ia merasa

bahwa pertumbuhan komunisme di Indonesia merisaukan sejak lama. Ia menuntut sikap

Anti Komunisme yang lebih tegas sehingga di pilih nama Front Anti Komunis.201

Organisasi bentukan Isa Anshary ini tidak ada kaitan formal dengan Masyumi, tetapi oleh
197
Samsuri, Politik Islam Anti Komunisme (Pergumulan Masyumi dan PKI di Arena Demokrasi Liberal)
Yogyakarta: Safira Insani Press 2004, hlm 30.
198
Jusuf Wibisono, Islam dan Sosialisme, cet II (Jakarta: Pustaka istana, 1951) hlm. 4.
199
Ibid,
200
Boyd R. Compton. Kemelut Demokrasi Liberal: Surat-surat Rahasia. (Jakarta: LP3ES, 1993), hlm, 210.
201
Ibid, hlm, 211.
sebagaian tokoh Masyumi dianggap sebagai kelompok penekan yang ditujukan

kepadanya.202

Berbeda dengan kelompok radikal, kelompok moderat yang cenderung ditunjukan

faksi Sukiman jauh lebih lunak dalam memandang komunisme di Indonesia. Kalaupun

cenderung menentang cara-cara Isa Anshary dan menganggapnya rawan dan bahaya,

bukan berarti bukan berarti mereka mengamati pertumbuhan komunisme secara pasif.

Dalam melawan komunisme, mereka mengutamakan pengembangan suatu program

partai yang praksis. Oleh Compton, perbedaan dalam tubuh mayumi dalam tersebut tidak

berkaitan dengan perosoalan “apakah harus memerangi komunisme” melainkan

“baigaimana memerangi komunsime”.203

Isa Ansahry yang juga pemimpin Partai Masyumi wilayah Jawa Barat dalam

kepengurusan partai tahun 1956, dan juga tokoh Persis yang menjadi anggota konsituante

hasil pemilu 1955. Ketika tahun Persis dengan dimotori ketua umum, Isa Anshary,

membentuk Front Anti Komunis pada pertengahan November 1954. Tidak hanya itu,

kantor Persis pun di dijadikan Markas Front Anti Komunis. Isa Anshary menjelaskan

dasar pemikiran pendirianya itu:

“Front Anti Komunis adalah suatu gerakan dan bentukan perdjuangan total untuk

membendung bahja komunis, facisme, dan totalitarisme di Indonesia. Front Anti

Komunis bukanlah partia politik jang aktif melakukan praktek politik kenegaraan.

Front Anti Komunis berdjuang menjusun tenaga perlawanan jang merata dari

seluruh kaum anti komunis di Indonesia dari segala agama dan kepertjjaan..” 204
202
Ibid,
203
Ibid, hlm, 210-211.
204
Aliran Islam, No.65/Oktober-Desember 1954:hlm, 4.
Isa Anshary melakukan aktivitas Front Anti Komunisme itu dengan dibantu

Yusuf Wibisono dan Syarif Usman. Bersama mereka pula, Isa Anshary menerbitkan

buku yang berkenaan dengan penolakanya terhadap paham komunisme buku tersebut

berjudul Bahaja Merah di Indonesia yang di oleh M. Isa Anshary, Jusuf Wibisono, dan

Syarif Usman. Dalam buku tersebut intisarinya ada beberapa hal. Pertama, karena paham

komunisme didasarkan pada filsafat historis-materialsime yang dianggap sebagai

pandangan hidup yang belum selsai dan betentangan dengan fitrah kemanusiaan. Kedua,

paham itu Anti-Tuhan, anti agama bahakan sebuah agama palsu. Ketiga, Isa Anshary

menujukan dari sejarah bahwa kaum komunis sesuhunguhnya adalah pemerintah terror.

Oleh karean itu, ia dengan sendirinya bertentangan dengan demokrasi dan menciptakan

imprealisme baru.205

Alasan mendesak perjuangan Anti Komunisme adalah pertumbuhan komunis

yang pesat di masa kabinet Ali I. Menurut Isa Anshary PKI tumbuh pesat karena dua

sebab. Pertama, cabinet Ali Sastroamidjojo melindungi PKI. PKI memegang ‘posisi

penggerak” di parlemen, sebab dukunganya mutlak diperlukan oleh Kabinet. Kedua,

dibukanya kedutaan oleh Moskow dan Peking Jakarta, yang memberi nasehat dan

dukungan kepada PKI.206

Pendapat Isa Anshary ini sejalan dengan apa yang disimpulakn Donald Hindley

ketika mengamati pertumbuhan pesat PKI pada masa cabinet Ali I. setidaknya ada tujuh

keuntungan yang diperoleh oleh PKI selama pemerintahan Ali I.207 Pertama, PKI dan

ormas-ormasnya dibiarkan berjalan dengan larangan yang minim dari gangguan-


205
Isa Anshary, et al, Bahaja Merah di Indonesia (tanpa tahun), hlm, 4-25.
206
Samsuri, Politik Islam Anti Komunisme (Pergumulan Masyumi dan PKI di Arena Demokrasi Liberal)
Yogyakarta: Safira Insani Press 2004, hlm 54.
207
Ibid
gangguan pemerintah selama cabinet Ali tersebut. PKI dibawah kepemimpinan Aidit

telah mengebangkan ormas-ormas terbesar di Indonesia; PKI tumbuh dari 130 ribu

anggota menjadi sekitar satu juta; SOBSI telah mengosolidasikan organisasinya,

organisasi-organisasi petani komunis berfungsi, dan mengklaim anggotanya meningkat

dari sekita 400 ribu hingga 3,5 juta, Pemuda Rakyat meningkat anggotanya dari 7 ribu

hingga 500 ribu, dan GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia) dari 75 ribu anggota

meningkat hingga 400 ribu. Kedua, keuntungan kerja sama antara kaum nasionalis dan

komunis ditunjukan dengan suatu seksi penting PNI serta dengan Soekarno. Ketiga, kerja

sama dengan kaum Nasionalis membiarkan PKI mendapatkan kembali kehormatan

nasionalisnya. Keempat, sebuah persetujuan dengan Partai-partai pemerintah untuk tidak

menyerang satu sama lain selama masa kampanye yang menuntut kaum komunis untuk

memperoleh kemenangan dukungan massa menjadi lebih mudah. Kelima, dukungan

komunis terhadap cabinet Ali membiarkan kabinet untuk menduduki masa jabatanya

dengan bulan-bulan yang lebih lamadaripada yang akan dijalani, dan tiap-tiap bulan

cabinet pimpinan PNI yang mengeluarkan telah meninkatkan kerenggangan di antara dua

partai tersebut. Ini secara khusus terjadi ketika cabinet tergantung secara langsung atas

suara PKI. Keenam, dukungan komunis membiarkan kabinet untuk menduduki jabatan

lebih lama, dan juga membiarkan PNI untuk mengonsolidasikan jabatanya atas pegawai

negeri sipil, khususnya pegawai pemerintah di pedesaan, hingga menjadikan PNI partai

tunggal dalam pemilu September dan Desember 1955. Ini berarti bahwa masa depan

keseimbangan parlementer akan dijauhkan dari Masyumi. Ketujuh, dukungan PKI

terhadap pemerintah memberikan PKI kebebasan penuh untuk menyerang kaum Anti

Komunis, khususnya Masyumi dan PSI, dengan mengurangi kekhwatiran tindakan


pemerintah melawan serangan-serangan tersebut. Pada bagian lain, pemerintah pada

September 1953melarang demonstrasi-demonstrasi oleh kaum Anti Komunis atas

peristiwa Pemberontakan Madiun.208

Pada bagian lain, pernyataan Isa Anshary di atas juga didukung oleh anggota DPP

Masyumi lainya, yaitu Jusuf Wibisono ia mengatakan bahwa kabinet Ali I ini sebenarnya

telah menjadi kuda tunggangan PKI, meskipun kalangan PNI menolak anggapan

demikian. Jusuf Wibisono mengritik “manifest Pemilihan Umum” PKI yang menyatakan

bahwa rakyat sudah tidak suka lagi terhadap Masyumi dan PSI. pernyataan ini

merupakan suatu kepalsuan untuk menjatuhkan Masyumi-PSI di mata rakyat, yaitu

dengan ketidakikutsertaan Masyumi dan PSI dalam kabinet Ali I. Dengan begitu seolah-

olah rakyat tidak percaya lagi kepada Masyumi dan PSI.209

Ketika Jusuf Wibisono mengajukan mosi tidak percaya terhadap kebijakan

pemerintah tentang Irian Barat, Aidit mengejek Masyumi dan PSI dengan menyatakan

bahwa kabinet Ali itu 10 kali lebih baik dari kabinet Masyumi-PSI, kebrurukan kabinet

Masyumi menurut Aidit ditunjukan dengan adanya kebijakan anti komunis dalam

“Raziah Agustus” pada masa kabinet Sukiman, Front Anti Komunis yang di dukung

sayap Masyumi Jawa Barat, dan Moehammad Roem (saat menjabat Menteri Dalam

Negeri Kabinet Wilopo) telah memerintahkan bawahanya untuk mentraktor kaum petani

demi kepentingan perkebunan asing di Tanjung Morawa.210

Jusuf Wibisono meminta kabinet Ali I bubar, karena tidak lagi didukung oleh PIR

dan pemberhentian Menteri Ekonomi Isqak Tjokrohhadisurjo dengan diterimanya Mosi


208
Ibid, hlm 55-56.
209
Ibid, hlm, 56-57
210
Ibid
Tjikwan (Masyumi). Namun justru kabinet Ali tetaop bertahan diri, dengan dukungan

dari PKI. Seharunya, pemerintah Ali belajar kepada tiga kabinet sebelumnya, yaitu

apabila salah satu menteri dikenai Mosi tidak percaya oleh parlemen semsetinya solider

dengan menteri bersangkutan untuk mundur bersam-sama dari kabinetnya.211

Pada akhirnya Kabinet Ali I pun bubar, bukan karena oposisidi dalam parlemen,

melainkan karena pertentanganya dengan pemimpin Angkatan Darat. Pejabat Angkatan

Darat menolak campur tangan politik dari pemerintah terhadap Angkatan Perang,

terutama dari Iwa Kusumasumantri selaku Menetri Pertahanan.

Semenjak peristiwa 27 Juni hingga terbentuknya kabinet baru, telah

memunculkan penghinaan dan kemarahan para pendukung kabinet Ali yang tercermin

dalam ekspresi perasaan mereka dan bentuk bahasa yang kuat di media pers. PKI sendiri

merasa terisolasi dari PNI. Kedua partia itu menjadi takut terhadap Angakatan Darat, dan

PKI menduga kemungkinan besar akan terjadi serangan besar seperti pada masa Kabinet

Sukiman dalam “Razia Agustus’ 1951.212

Pada pemilu anggota DPR dan Konsituante pada 29 September dan 15 Desember

1955 Masyumi menduduki urutan kedua di bawah PNI dar empat perolehan suara

tertinggi yitu (PNI, Masyumi, NU dan PKI), Natsri mengatakan bahwa Partainya

menginginkan kabinet nanti susunanya dapat menjamin kestabilan pemerintah. Oleh

karena itu, kabinet koalisi antara Masyumi-PNI-NU akan menjadi jaminan bagi stabilitas

pemerintahan disebabkan oleh tidak adanya perselisihan yang prinsip dibandungkan

211
Ibid, hlm, 58.
212
Ibid. hlm, 60.
apabila PKI ikut bergabung. Dengan demikian, infiltradi dalam kabinet hasil pemilu

harus diberantas apalagi masuknya Komunis (PKI) dalam Kabinet213

Ususlan Masyumi menolak PKI diajak dalam kabinet bertentangan dengan

gagasan Presiden Soekarno yang mengharapkan kabinet hasil pemilu adalah “kabinet

berkaki empat”, yang di topang oleh empat partai besar. Ternyata desakan Masyumi

berhasil ketika Ali Sastroamidjojo sebagai fermatur kabiner menyusun kabinet tanpa

PKI. Kabinet Ali II yang dilantik 24 Maret 1956 terdiri atas PNI (5 kursi Menteri),

Masyumi (5 kursi), NU (5 kursi), sedangkan Parkind, PSII, dan Partai Katolik masing-

masing memperoleh dua kursi jabatan menteri. Satu Jabatan Mnteri diberikan kepada

IPKI, partai dan nonpartai.214

Pembentukan kabinet Ali II tersebut mengundang kerisauan Presiden Soekarno,

karena PKI sebagai salah satu empat besar pemenang Pemilu tidak diikutkan dalam

Pemerintahan. Ia sangat tidak suka dengan “kuda kaki tiga”, untuk menyindir Kabinet Ali

II itu.215 Ketidak puasan Presiden Soekarno terhadap system Pemerintahan parlemen

ditandai dengan beberapa pernyataan yang inggin “mengubur partai-partai” dan dibentuk

Kabinet Gotong Royong yang mencakup semua golongandan partai Politik. Pada

peringatan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1956, Presiden Soekarno mengajukan

konsepsinya bahwa Indonesia lebih cocok dengan “Demokrasi terpimpin” sebagai

“Demokrasi Indonesia Asli” yang berdasarkan Musyawarah dan Gotong Royong.

Demokrasi parlementer yang tengah diterapkan dianggap sebagai model Barat, sehingga

tidak cocok dengan keperibadian bangsa Indonesia. Demokrasi parlementer

213
Ibid, hlm, 62.
214
Ibid
215
Ibid.
mensyaratkan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang tinggi, sementara penduduk

Indonesia tidak demikian.216 Ide penguburan Partai-partai dan dibentuknya kabinet

Gotong Royong sebagai konsekuensi menuju Demokrasi Terpimpin di ucapkan ulang

Presiden Soekarno pada 22 Februari 1957 yang terkenal dengan sebutan “Konsep

Presiden”217

Natsir menanggapi konsep Presiden itu dengan mengatakan “Demokrasi

Parlementer” tidak tergantung kepada tingkat pengetahuan dan taraf kehidupan rakyat.

Menurut Natsir, pada hakikatnya demokrasi bersandar pada kesatuan rakyat, cinta

kebenaran dan rasa keadilan yang kuat.218 Dan kemudian tanggapan pedas dari kalangan

Masyumi perihal Konsepsi Presiden Soekrano itu di sampaikan pula oleh Isa Anshary,

tokoh garis keras dan radikal di Masyumi. Ia menyatakan bahwa konsep Bung Karno

mengancam kehidupan agama, karena dalam konsep Gotong Royong akan pula

memasukkan PKI ke dalamnya. Padahal, PKI adalah “Partai Anti Ketuhanan” . 219

penolakan Isa Anshahry juga di dukung oleh organisasi induknya, Persis, yang juga

anggota istimewa Masyumi.220

Front Anti Komunisme sendiri aktif di sebagian masyarakat Muslim dan sangat

tergantung pada kelompok Masyumi lokal akibatnya, dukungan dari kelompok,

dukungan dari kelompok islam lainya, terutama yang tidak berafiliasi ke partai

Masyumi, cenderung tidak terlalu kuat. Kelemahan lainya, seperti dalam analisis
216
M. Isa Anshary, “Natsir Konta Bung karno Tentang Demokrasi”, Daulah Islamiyyah, No. 2 Th. I (Februari 1957)
hlm, 3-4
217
Samsuri, Politik Islam Anti Komunisme (Pergumulan Masyumi dan PKI di Arena Demokrasi Liberal)
Yogyakarta: Safira Insani Press 2004, hlm 65.
218
Ibid,
219
M. Isa Anshary, “Natsir Konta Bung karno Tentang Demokrasi”, Daulah Islamiyyah, No. 2 Th. I (Februari 1957)
hlm, 4-6
220
“Persatuan Islam (Persis) menolak Konsepsi Bung Karno”, Suara Masjumi, No. 1, Th. XII (1 Maret 1967), hlm,
8.
Fiederspiel menujukan, bahwa kekuatan Front ini hanya di beberapa titik daerah, seperti

Jakarta dan Surabaya, tetapi tidak pernah benar-benar menjadi kekuatan yang bersifat

nasional. Hal tersebut dikarenakan masyarakat melihat Front ini sangat dogmatis dan

agak ekstrim. Padahal di lain pihak, saat tersebut arus politik nasional sebagaimana

dikehendaki Bung Karno dan kekuatan politiknya yang dominan justru menginginkan

semua pandangan dan kekuatan politik nasioanl (NASAKOM) harus dimasukkan dalam

arena politik.221

Walaupun demikian, dukungan terhadap organisasi ini cukup luas, terutama

seperti disebutkan diatas, di daerah Jakarta dan Surabaya. Pada akhirnya, organisasi ini

pun di bubarkan pada tahun 1958.222 Isa Anshary tidak berhenti dengan mendirikan Front

Anti Komunis. Ia kemudian menyusun pemikiran politiknya yang telah ditulis secara

beruntun pada berbagai media, terutama majalah Aliran Islam. Pemikiran politiknya lebih

dirumuskan secara sistematis menjadi sebuah buku kecil yang diberi nama Manifest

Perjuangan Persatuan Islam. Rumusan itulah yang kemudian dijadikan sebagai buku

rujukan ideology politik radikal-revolusioner Persis. Ia sendiri menegaskan sebagai

kelompok radikal-revolusioner:

Djikalau kita mendjelajah perkembangan aliran pemikiran dalam masjarakat

kaum muslimin juga di Indonesia kita melihat ada tiga aliran tjarah berfikir dalam

memaahamkan persoalan agama. Pertama aliran konservati-reaksionarisme, aliran

beku dan djumud, jang setjacah a priori menolak setiap paham dan kejakinan jang

hendak merubah paham. Kedua, aliran Moderat-liberalisme, mengetahui mana

jang sunnah dan mana jang bid’ah, mengenai kesesatan bid’ah, tetapi tidak aktif
221
Pepen Irpan Fauzan, Perumus Manifest Perjuangan Persatuan Islam, No. 2/Juni-Oktober, 2016. Hlm 159
222
Ibid
dan positif memberantas bid’ah. Ketiga, aliran revolusioner-radikalisme, aliran

jang hendak merubah masjarakat ini sampai ke akar-akarnya. Kaum “Persatuan

Islam’ adalah penganut aliran jang keyiga ini.223

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dapat diambil kesimpulan dari penulisan skripsi ini adalah:

K.H Muhammad Isa Anshary adalah soerang ualam dan juga seorang politisi di

Indonesia. latar belakang lingkungan dan pendidikina turut mempenegaruhi tindakan

dalam kencan dakwah dan politik di Indonesia. aktifitas dalam oragnisasi baik Persis,

Masyumi dan organisasi lain yang digelutinya mulai dari tahun 1936 hingga menjelang

1968. Banyak aktifitas yang membuat ia dikenal sebagai sosok ualam dan politisi yang
223
Isa Anshary, Manifest Perjuangan Persatuan Islam. Bandung: Sekretaris PP. Persatuan Islam, 1958, hlm. 33
radikal-revolusioner. Oleh karena itu, pemikiran politik yang terkandung di dalamnya

menegaskan sikap politik kompromistik. Secara terbuka, Isa Anshary menetang dan

mengkritik pemikiran dan sikap politik kelompok islam yang di anggap lemah, tidak

konsisten dan cenderung kebarat-baratan. Bagi Isa Anshary, berdirinya Negara

Hukumiyah Islamiyah di Indonesia merupakan suatu keyakinan politik Isa Anshary,

adalah juga aqidah Islamiyah, sehingga tidak bisa dikompromikan dengan ideologi mana

pun juga. Untuk itu Revolusi Islam yang bermuatan spiritual Islam harus terus

berlangsung sampai suatu bentuk kontrol tertentu Islam (syari’at) terhadap Negara bisa

dibangun di Indonesia.

Isa Anshary bersikap lebih tegas lagi. Ia menolak dan menentang ideology

komunisme dan menyebutnya sebagai “lawan dan musuh nomor satu”. Baginya, Isa

Anshary umat Islam harus menolak setiap konstitusi yang berlawanan dengan Islam,

tanpa ada kompromi sedikit pun. Penolakan Isa Anshary ini dapat dipahami karena ia

menyamakan masalah konstitusi dengan aqidah suatu yang sangat prinsip bagi umat

Islam.

B. Saram

Masa lalu selalu ada nilai sejarah yang harus di ambil untuk dijadikan pelajaran

lewat sebuah riset ilmiah, untuk masa mendatang agar lebih baik, begitupun dalam

penulisan sejarah. Oleh karena itu saran diberikan untuk penulisan ini:
1. Tulisan-tulisan sejarah terutama mengenai tokoh-tokoh Indonesia masi banyak

yang harus di tulis dan dijadikan penilitian, seperti halnya sosok Ulama dan juga

politisi K.H Mohammad Isa Anshary, sebab kalau kita riset lebih jauh ia

memiliki kontribusi yang tidak kecil terhadap bangsa Indonesia. terlebih lagi

dalam pergulatanya menolak paham Komunisme di Indonesia. Untuk itu

diharapkan untuk calon sejarawan terus melakukan riset ilmia mengenia tokoh-

tokoh bangsa Indonesia sebab mereka pantas untuk di abadikan dalam tinta

Sejarah Perjuangan Kemerdekan Indonesia.

2. Sosok ulama dan juga politisi seperti Isa Anshary dapat di jadikan sebagai

contoh bagi generasi mendatang, yakni tidak gampang untuk kompromi dengan

gagasan dan ideology yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, agar generasi

mendatang tidak terjerumus dalam kegelapan sejarah. Demi tercapai Indonoesia

Berkeadilan.

3. Untuk penilitian skripsi ini masi ada kelemahan dan juga kekurangan,

diharapkan ada yang menyempurnakan skripsi ini di masa akan datang.


DAFTAR PUSTAKA

Buku

Alfian, Pemilihan Umum dan Pertumbuhan Demokrasi di Indonesia, Prisma, No.2.


Th.VI/1977

Anshary, Isa, Bjhaya Merah Di Indonesia, Bandung: PP Persis, 1968

Anshary, Isa. Manifest Perjuangan Persatuan Islam, Bandung: Pusat Pimpinan Persatuan
Islam, 1958,

Anshary, Isa, Manifest Perjuangan Persatuan Islam, Bandung: PP persis 1958,

Anshary, Isa, Mujahid Dakwa, Jakarta: Media Dakwa, 1995,


Bajasut, S. U. (ED), Alam Fikiran Dan Djedjak Perdjuabgan Prawoto Mangusasmito.
Surabaya, 1972,

Bactiar, Tiar Anwar, Persis Dan Politik, Sejarah Pemikiran Dan Aksi Politik Persis
1923-1997

Budiarjo, Mariam, Demokrasi Di Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1994

Boland, Pergumulan Islam Di Indonesia, 1945-1947, Jakarta: Garfitti Pres, 1985,

Compton, Boyd R.. Kemelut Demokrasi Liberal: Surat-surat Rahasia. Jakarta: LP3ES,
1993,

Dirdjo, Sartono Karto, ‘Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah’, 1992.

Dhakidae, Daniel, Pemilihan Umum Di Indonesia, Prisma No.9 Th.X/Oktober 1986,

Dkk, Saleh As’ad Djamhari, komunsime Di Indonesia Jilid I (Perkembangan Gerakan


Dan Penghianatan Komunisme Di Indonesia1913-1948). Jakaerta : Pasjarah
TNI 2009.

DZ, H. Abdul Mun’in, Benturan NU-PKI 1948-1965, Depok: Langgar Swadaya


Nusantara, 2013

Fauzan, Pepen Irfan, Perumus Manifest Perjuangan Persatuan Islam, 2016,

Fauzan, Pepen Irfan, Negara Pancasila vis-à-vis Negara Islam .:( Pemikiran Politik M.
Natsir dan M. Isa Anshary 1945-1960),

Federspiel, Howard M., Persatuan Islam Pembaharuan Islam di Indonesia Abad XX, terj.
Mochtar, Yudian W. Asmin, H. Afandi Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1996,

Frederick, William H., Pemahaman Sejarah Indonesia, terj. Soeri Soeroto Jakarta:
LP3ES, 1982,

Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto, (Jakarta: UI Press,


1973),

Gie, Soe Hok, Orang-orang di Persimnagan Kiri Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun
September 1948, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1997.

Hasan, A.; Tafsir Al-Quran, (Surabaya:al-ikhwan, 2004), S.3 (Ali-Imran):103.


Hamid, Persatuan Islam dan Usaha Pembaharuan pendidikan. Bandung: Sumber Prima,
1993,

Hassan, Islam Dan Kebangsaan: Menoleh ke BandungMenatap Masa Depan. Jakarta:


Gema Insani Press.1996

Irsyam, Ulama Dan Partai Politik, Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1984,

Ketertiban, Komando Operasional Pemulihan Keamanan dan, Gerakan 30 September


Partai Komunis Indonesia(G.30 S/PKI), Jakarta, 1995,

Maarif, Ahmad Syafi’i Islam Dan Masalah Kenegeraan. Jakarta : LP3ES. 1996.

Mahendra, Yusril Izha, Moderenisme Dan Fundamentalsime Dalam Politik Islam:


Jakarta, 1999.

Mohammad, Herry, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, Gema Insan Press,
2006

Muqhni, Syafiq, A., A. Hassan Bandung Pemikiran Islam Radikal. Surabaya: Bina Ilmu,
1980.

Nasution, Abdul haris, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid VII, Bandung, 1984,

Noer, Dalie, Gerakan Moderen Islam Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1997,

Priyadi, Sugeng, Metode Penelitian Pendidikan Sejarah, Yogyakarta: Ombak, 2012,

Poespoprodjo, Interpretasi, Bandung: Remaja Karya, 1987,

Rais, M. Amien, Demokrasi Dan Protes Politik, tulisan Pengantar untuk buku berjudul
Demokrasi Dan proses Politik, Seri Prisma, Jakarta: LP3ES,1986,

Schmandi, Hery J., Filsafat Politik (A History Of Political Philosophy), Ter. Ahmad
Baidlow, Yogyakarta: Pusat Pelajar,2009

Soemarsono, Mohammad Roem 70 Tahun: Perjuang-perunding. Jakarta; Bulan Bintang,


1978.

Santoso, Khalid. O., Manusia di Panggung Sejarah: Pemikiran Dan Gerakan Tokoh-
Tokoh Islam. Segar Arsi, 2007

SH, AK. Pringgodigdo,. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Jakarta, 1986,


Sjarifyddin, Tiinjauan Sosial Tentang politiek dan Revolusi Kita, Yogyakarta: Badan
Penilitian Indonesia Raya, 1948,

SKI-B Sejarah Pemikiran Modern Dalam Islam, Bandung : Photocopy Pinggir Gerbang,
2016,

Wildan, Dadan, Yang Da’I Yang Politikus, Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis,
Bandung: Rosda, 1997,

Wildan, Dadan. Pasang Surut Gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia: Potret


Perjalanan Sejarah Organisasi Persatuan Islam (persis). Bandung: Persis Press,
2000,

Wibisono, Jusuf, Islam dan Sosialisme, cet II. Jakarta: Pustaka istana, 1951

Majalah

Aliran Islam, No. 3/Tahun I, Januari 1949.

Aliran Islam, No. 45, Tahun VII, Februari 1953,

Aliran Islam, No.65/Oktober-Desember 1954

Daulah Islamijah, No. 1/Th. I/pebruary 1957.

Majalah al-Lisan No. 3/vol.I/Maret 1936.

Risalah, No. 1/Th.I/Agustus 1963, hlm 5

Anshary, Isa, “Hanja Negara Islam Jng Amanatkan Kepada Anggauta Konsituante”,
Daulah Islamiyah, Th. I/Pebruary 1957.
Anshary Isa. “Menjambut Ulang Tahun Masjumi”. Daulah Islamijjah No. 7/Th.
I/November 1957.

Isa Anshary, “Natsir Kontra Bung Karno Tentang Demokrasi”. Daulah Islamiyah. No.
2/Th. I/Pebruary 1957. Hlm. 9-10.

Persis, PP., Tafsir Qanun Asasi-Qanun Dakhili Persatuan Islam, Bandung, 1984,

Jurnal Pemikiran Agama dan Peradaban / TANWIR, Perjalanan Politik Muhammadiyah


dari Ahmad Dhalan hingga Syafi’I Ma’arif, edisi Perdana, Vol, I, Mesi 2003
Mubarak, Muhammad Yakub, Problem Teologis Ideologi Komunisme. TSAQAFAH,
Vol. 13. No. I. Mei 2017.

Natsir, Mohammad, “Djawab Kita”, Suara Partai Masyumi. No. 1 th ke-7 ( Januari
1952),

Persatuan Islam Persis, menolak Konsepsi Bung Karno”, Suara Masjumi, No. 1, Th. XII
(1 Maret 1967),

Internet

KH. Isa Anshari (1916-1969) : "Sang Singa Podium" Dalam


https://cabangmargaasih.blogspot.com/2013/10/kh-isa-anshari-1916-1969-sang-
singa.html Akses tanggal 22 januari 2020

Nama K.H. Muhammad Isa Anshary sepertinya dilupakan, dalam


http://www.Pikiranrakyat.co.id Akses tanggal 2 januari 2020.

Anda mungkin juga menyukai