Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN MASUK DAN BERKEMBANGNYA

PENJAJAHAN KE INDONESIA

Disusun Oleh : M. Rheza Adisaputro (17)


Kelas : XI MIPA 7
Guru Pembimbing : Hj. Aryulina Amir

SMA NEGERI 2 BANDAR LAMPUNG 2020/2021


BAB 1, PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam sejarah, Indonesia telah dijajah oleh bangsa asing selama 3 abad lebih. Jika Soekarno
dan para pahlawan di masa lalu tak berperang untuk kemerdekaan, maka saat ini Indonesia
masih menjadi negara yang terjajah.

Faktanya memang di masa lalu banyak dari warga Indonesia yang kurang kompeten.
Pendidikan bukanlah sesuatu yang penting. Hal inilah yang menyebabkan penjajah masuk
dan membuat semuanya jadi kacau. Mereka mengeruk semua keuntungan dari negeri ini
lalu membawanya kembali ke negeri aslinya. Jika saja di masa lalu orang Indonesia lebih
kompeten, memiliki teknologi yang tinggi, maka penjajah tak akan bisa masuk. Kalau pun
masuk mereka tak akan bertahan lama. Kerajaan-kerajaan besar di Indonesia pasti
menumpasnya dengan segara. Namun sayang beribu sayang negeri ini kalah segalanya.

Orang-orang Indonesia di masa lalu juga mudah sekali dipengaruhi oleh kepentingan asing.
Bahkan budaya itu masih bertahan hingga sekarang. Saat Indonesia telah mendapatkan
kemerdekaan selama 70 tahun, nyatanya penjajah masih saja menyusup dalam bentuk lain.
Bahkan bisa dibilang mengerikan. Indonesia mudah sekali dipengaruhi oleh pihak asing.
Sebut saja kasus Freeport yang pemerintah saja tidak tegas. Mereka sengaja mengulur
waktu dan membuat banyak orang jadi bingung. Pihak asing menyusup dan menjajah
Indonesia dengan menguasai semua set penting seperti tambang yang menjadi komoditas
utama Indonesia.

Sedikit menengok ke belakang di zaman kerajaan Nusantara, ternyata kala itu banyak sekali
orang yang rakus. Dalam artian penjajah menawarkan sejumlah uang dan mereka mau
melakukan apa saja. Asal ada uang maka semua orang bisa jadi teman. Tak peduli dengan
sebenarnya ia lawan yang sengaja menjatuhkan.

Dan juga mudah sekali terpecah belah, inilah yang disukai oleh Belanda di masa lalu. Mereka
akhirnya melakukan politik adu domba dan membuat semua kubu jadi hancur karena saling
berperang. Di era modern seperti sekarang, kekacauan juga terjadi akibat perbedaan suku.
Semboyan yang dijunjung tinggi tinggallah sebuah semboyan. Pada praktiknya konflik suku,
rasa, dan agama terus terjadi dan membuat Indonesia semakin hancur.

Disamping itu, yang dilakukan penjajah semata mata ingin mengambil alih semua
keberagaman sumber daya Indonesia yang melimpah ruah. Kedatangan mereka berambisi
untuk berburu dan menguasai rempah-rempah dengan menjajah Nusantara.
BAB II, ISI

Karena rempah-rempah yang dimiliki Indonesia sangat melimpah, ada diberbagai wilayah.
Bahkan menjadi komoditas dengan nilai jual tinggi atau mahal pada waktu itu. Rempah-
rempah juga memiliki manfaat untuk pengobatan dan kesehatan. Sekitar 1390, setiap
tahunnya, cengkeh yang masuk ke Eropa mencapai sekitar 6 metrik ton dan buah pala
sekitar 1,5 metrik ton. Bangsa Eropa yang pertama datang ke Nusantara, yakni Portugis.
Kemudian Spanyol dan Belanda yang datang ke Indonesia sebagai pedagang seperti ;

1. Jan Pieterszoon Coen

Jan Pieterszoon Coen ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal VOC pada pertengahan 1618.
Kendati belum resmi dilantik, namun Coen sudah berancang-ancang menyusun strategi
untuk menguasai Jayakarta yang merupakan salah satu bandar dagang paling sibuk di
Kepulauan Nusantara kala itu.

Cukup lama Coen bersiap, termasuk sempat mengalami kekalahan. Dan akhirnya, pada 30
Mei 1619, tepat hari ini 399 tahun lalu, operasi penaklukan Jayakarta dilaksanakan. VOC
mengerahkan pasukannya untuk merebut kota pelabuhan yang sebenarnya milik Kesultanan
Banten itu, dan berhasil. Jayakarta kini kepunyaan VOC.

Untuk memperoleh izin berdagang, VOC harus membayar 1.200 real kepada pejabat
pribumi yang ditugaskan memimpin wilayah itu, yang dikenal sebagai Pangeran Jayakarta.
Maka, lanjut Setiono, sejak saat itu kapal-kapal Belanda diizinkan singgah di pelabuhan
Jayakarta. Kompeni juga diperbolehkan membangun pos dagang dan gudang di kawasan itu.

Hingga akhirnya, Jan Pieterszoon Coen melihat bahwa amat menguntungkan bagi VOC jika
Jayakarta mampu dikuasai. Kepada The Heeren XVII, pada 1614 Coen mengatakan bahwa
VOC tidak akan dapat menguasai perdagangan tanpa melakukan peperangan dan
sebaliknya. Coen menegaskan, hanya ada satu cara untuk memperkokoh kekuasaan VOC,
yaitu menghancurkan semua pihak yang merintangi, termasuk dalam urusan Jayakarta.
Langkah awalnya adalah dengan menghentikan semua pembelian lada, kebijakan ini tentu
saja mengacaukan pasar perdagangan lada.

Coen kemudian mengancam akan memindahkan semua pabrik milik VOC ke Jayakarta.
Selain itu, ia juga bernegosiasi dengan para pedagang Cina. Ketika Inggris mulai ikut campur
dalam situasi ini, Coen hampir bisa memaksakan harga lada turun drastis hingga 50%.

Kesultanan Banten yang turut merasa terancam dengan sepak-terjang Coen pun menjalin
kerjasama dengan Inggris. Keduanya punya musuh bersama, yakni VOC. Terjadilah
pertempuran di laut, pasukan gabungan Banten dan Inggris mulai menyerang kapal-kapal
Cina yang hendak merapat ke Jayakarta.

VOC, yang sebelumnya sudah memiliki kantor dagang di Jayakarta, tentunya tidak tinggal
diam. Coen memerintahkan gudang kompeni di Jayakarta diubah menjadi benteng
pertahanan, dan mulai menyerang pos-pos dagang milik Inggris di lokasi yang sama.
Pasukan Coen membakar habis semua aset Inggris di Jayakarta. Kubu Inggris tentu saja
murka dan mengancam akan memotong seluruh jalur komunikasi VOC dengan dunia luar.
Inggris mengerahkan 11 kapal tempurnya untuk berpatroli di sekitar perairan Jayakarta.
Perang terbuka segera dimulai.

Jan Pieterszoon Coen tak gentar. Pada awal 1619 itu, ia memimpin 7 kapal Belanda untuk
menghadapi armada perang Inggris dan pecahlah pertempuran selama 3 jam. Hasilnya, VOC
kewalahan dan akhirnya kalah. Coen terpaksa mundur, meninggalkan garnisunnya di
Jayakarta dan berpesan kepada mereka untuk bertahan sampai titik darah penghabisan.
Coen berlayar jauh menuju Maluku, pusat VOC kala itu, sembari mengkoordinasikan kembali
pasukannya. Ia juga menulis surat kepada para petinggi VOC di Negeri Belanda dan
melaporkan kekalahannya itu. Coen meminta tambahan pasukan serta kapal tempur untuk
melawan Inggris.

Benteng VOC di Jayakarta ternyata selamat. Pasalnya, lawan-lawan mereka sibuk ribut
sendiri terkait kepemilikan Jayakarta. Inggris dan Banten berebut hak milik atas kota
pelabuhan itu. Begitu pula dengan Pangeran Jayakarta yang ternyata juga menyimpan
hasrat serupa. Perpecahan tersebut dimanfaatkan betul oleh Coen berlayar kembali dari
Maluku. Tanggal 28 Mei 1619, armada Coen memasuki benteng VOC di Jayakarta dan segera
bersiap melakukan penyerangan. Dua hari kemudian, Coen memimpin 1.000 orang
menyerbu pos-pos musuh mereka yang sedang lengah.

Tanggal 30 Mei 1619, Coen berhasil menguasai Jayakarta dan hanya kehilangan 1 orang
prajuritnya yang tewas. Coen memerintahkan pasukannya untuk membumihanguskan kota
pelabuhan yang kemudian diduduki sepenuhnya oleh VOC, Coen juga mengirimkan 17
armada lautnya untuk menyerang pelabuhan Banten. VOC meraih kemenangan mutlak.
Inggris kabur, Banten kewalahan, dan Jayakarta pun berhasil direbut. Di atas puing-puing
Jayakarta, Coen memerintahkan pembangunan sebuah benteng baru yang lebih besar dan
kuat. Selain itu, ia juga membangun kota kecil untuk tempat bermukim orang-orang Belanda
yang telah turut bertempur bersamanya.

Kota itulah yang dikenal sebagai Batavia, kendati Coen sebenarnya ingin memberinya nama
Nieuw Hoorn alias Hoorn Baru, mengacu kepada kota kelahirannya di Belanda. Namun,
usulan Coen terkait penamaan itu tidak disetujui para petinggi VOC. Tanggal 4 Maret 1621,
nama Batavia dikukuhkan. Pemerintah daerahnya pun dibentuk. Sejak saat itu, Batavia
resmi menjadi pusat kekuasaan VOC. Dari sinilah Belanda mengendalikan Nusantara hingga
berabad-abad lamanya.

2. Herman William Daendels

Kapal yang membawa Herman Willem Daendels berlabuh di Anyer pada awal Januari 1808.
Berbulan-bulan ia berlayar menuju Jawa: mengitari Tanjung Harapan, terombang-ambing
ganasnya Samudera Hindia, sampai akhirnya tiba di negeri yang hanya ia kenal dari mulut
para pejabat di Den Haag. Saat kapalnya melempar sauh, lima ajudannya tetap setia
mengawal Sang Marsekal dari Gelderland itu.

Setahun sebelumnya, pada 29 Januari 1807, Raja Belanda Louis Napoleon mengangkatnya
sebagai gubernur jenderal Hindia Timur. Pengangkatan ini perintah langsung dari Kaisar
Napoleon Bonaparte. Pertimbangannya: sebagai mantan komandan Legiun Asing Perancis,
Daendels adalah perwira tinggi Belanda paling cakap untuk membereskan administrasi
sekaligus menata pertahanan perang. Ia juga dikenal sebagai loyalis Perancis.

Saat itu, Belanda memang sedang berada di bawah kekuasaan Perancis. Karena sejak 1795,
negeri kincir angin itu berhasil ditaklukkan Napoleon. Penguasaan tidak hanya sebatas
Belanda saja, tapi juga beserta seluruh koloninya. Daendels merasa dirinya sebagai anak
kandung Revolusi Perancis. Liberte, egalite, fraternite (kebebasan, kesetaraan,
persaudaraan)—tiga semboyan Revolusi Prancis—begitu memesonanya. Napoleon, orang
yang dianggap menyebarkan spirit revolusi itu ke seluruh dunia, adalah sosok yang amat
dikagumi Daendels.

Gagasan-gagasan dari Revolusi Perancis tersebut coba diterapkan di Hindia. Imajinasi negara
dalam benak Daendels adalah model Napoleonik yang terinspirasi dari negara ciptaan
Napoleon Bonaparte di Eropa. Konsep negara dan birokrasi modern di Indonesia sebenarnya
berasal dari gagasan yang dibawa Daendels itu. Ia selalu mengidentifikasi dirinya sebagai
Napoleon kecil yang harus menegakkan napoleonic state di koloni Hindia. Dan dalam sebuah
negara Napoleonik, pemerintahan hanya berkiblat pada dua hal: sentralistisme dan
efektivitas.
Ketika datang ke Jawa, Daendels mewarisi sebuah negara warisan VOC yang carut marut.
Bagaimana pun, VOC adalah maskapai dagang. Para pejabat VOC hampir tidak pernah
memikirkan bagaimana mengelola sebuah negara modern. Daendels adalah orang baru
dalam pemerintahan kolonial di Hindia. Sebelumnya, ia tidak memiliki pengalaman apapun
dalam mengurus tanah koloni. Kebiasaan yang berlaku sejak zaman VOC, seorang gubernur
jenderal adalah pejabat karier yang sudah lama berkiprah di Hindia Timur. Karena itu,
tindakannya melakukan reorganisasi pemerintahan dinilai sebagai kebijakan “di luar
kebiasaan”. Dengan kata lain, Daendels sesungguhnya melakukan terobosan baru.

Daendels menekankan pentingnya sentralisasi kekuasaan di bawah wewenang pemerintah


pusat. Gubernur jenderal, yang dibantu para pejabat di Batavia, adalah pusat kekuasaan.
Wakil raja Belanda di tanah koloni merupakan penguasa tertinggi yang memiliki wewenang
besar untuk mengatur birokrasi sampai level paling bawah. Dengan kekuasaan macam itu, ia
bisa memecat siapa saja yang dianggap menyeleweng dan melakukan apa saja untuk
membuat pemerintahan berjalan efektif.

Langkah yang bisa diambil seorang gubernur jenderal dengan kewenangan besar macam itu
salah satunya memberantas korupsi yang telah mengakar selama bertahun-tahun. Birokrasi
peninggalan VOC inefisien, tapi juga sangat korup dan penuh penyelewengan. Daendels
benar-benar memanfaatkan kewenangannya untuk mencopot para pejabat korup dan
memberantas berbagai penyelewengan yang dilakukan bekas pegawai VOC.

Salah satu pos korupsi terbesar sampai dengan Daendels berkuasa adalah Provinsi Pantai
Timur Laut Jawa. Di zaman VOC, Gubernur Pantai Timur Laut Jawa bisa lebih berkuasa dari
pemerintah pusat di Batavia. Hal ini dimungkinkan lantaran betapa banyak uang yang
dihasilkan dari monopoli perdagangan VOC di wilayah tersebut. Sang Gubernur, karena itu,
punya posisi tawar yang sangat tinggi di hadapan gubernur jenderal. Bahkan dengan pola
macam itu, seorang pejabat rendahan kerap menyuap pejabat yang lebih tinggi untuk
memuluskan tindakan koruptifnya.

Melihat gelagat macam itu, tanpa banyak basa-basi, Daendels segera melakukan langkah
tegas: membubarkan pemerintahan Pantai Timur Laut Jawa. Pembubaran ini menghasilkan
unit pemerintahan baru setingkat prefektur (pada masa selanjutnya disebut karesidenan).
Ada sembilan prefektur yang dibentuk Daendels di Jawa, tiap prefektur dipimpin seorang
berkebangsaan Belanda. Sementara di bawahnya ada beberapa distrik (kabupaten) yang
dipimpin orang pribumi.

Itu memang salah satu langkah visioner yang diambil Daendels. Dengan pemerintahan
terpecah menjadi beberapa prefektur, justru sentralisasi kekuasaan bisa berjalan secara
efektif, karena pemerintah pusat makin mudah mengontrol daerah. Kelak, ketika negara
Hindia Belanda mulai mapan berdiri, karesidenan-karesidenan dan kabupaten-kabupaten
yang dibentuk Daendels itulah yang menjadi tulang punggung kekuasaan kolonial dalam
mengeruk keuntungan dari tanah jajahan.

Daendels juga menerapkan birokrasi ala Napoleon dalam hal memberikan kepangkatan
militer bagi pemerintahan sipil. Asumsi pertama atas kebijakan ini: sistem komando militer
mempermudah jalur perintah dari pusat ke daerah. Dengan begitu, sentralisasi bisa
dilaksanakan secara efektif.

Itu memang salah satu standarisasi Napoleon di tiap negara yang dikuasainya. “Militerisasi”
birokrasi ini bertujuan untuk mempermudah kontrol dan pengawasan kepada para
bawahan. Daendels sendiri menggunakan pangkat Marsekal. Para bupati pribumi juga
mendapat kepangakatan militer, tapi tidak diberi wewenang mengerahkan pasukan.

Kenaikan gaji birokrat juga merupakan salah satu kebijakan penting yang diambil Daendels.
Ia tidak mau korupsi ala pegawai VOC berulang dengan alasan gaji kecil. Pemberian gaji
tinggi dianggap akan memperbaiki kinerja dan para pegawai tak perlu mencari uang
tambahan di luar upah mereka. Kenaikan gaji itu berbanding lurus dengan mekanisme
hukuman yang diberikan. Semua instruksi dari atas diberikan dengan uraian yang jelas
beserta hak dan kewajibannya.

Dalam hal pengangkatan para bupati, gubernur jenderal bisa langsung menunjuk tanpa
konsultasi kepada raja jika bupati bersangkutan berada di wilayah kerajaan. Pada saat
mengangkat sumpah jabatan, para bupati tersebut harus menyatakan sumpah setia kepada
gubernur jenderal, raja Belanda, dan, tentu saja, Kaisar Napoleon Bonaparte. Cara-cara lama
dalam menyatakan kesetiaan kepada penguasa dalam bentuk upeti, hadiah, atau uang bekti
dilarang dan dihapus di seluruh Jawa. Siapa pun yang melanggar larangan ini akan dipecat
secara tidak hormat. Sementara itu, kerajaan-kerajaan tradisonal tak luput dari reformasi
Daendels. Langkah pertama yang ia lakukan dalam mengatur hubungan kerajaan dengan
pemerintah: menetapkan residen yang bertugas di wilayah kerajaan berada langsung di
bawah gubernur jenderal dan tidak diperkenankan menerima perintah dari raja.

Kebijakan itu berimplikasi pada pola hubungan pemerintah kolonial dengan kerajaan-
kerajaan. Semula, hubungan tersebut bersifat horisontal. Setelah Daendels datang,
gubernur jenderal dan raja berkedudukan seperti atasan dan bawahan. Itu artinya, raja tidak
lagi bertindak sebagai pemilik tanah dan pemerintah kolonial sebagai penyewanya, tapi
menjadi hubungan subordinasi antara yang dikuasai dan yang menguasai. Inilah yang
kemudian membuat hubungan raja-raja Jawa dengan pemerintah kolonial makin renggang.

Demikianlah, Daendels, yang lahir tepat 255 tahun lalu pada 21 Oktober 1762, menorehkan
bekas pada negeri yang pernah diperintahnya. Ia meninggalkan warisan berharga dalam
masa kekuasaan yang cuma tiga tahun (1808-1811). Di luar kekejaman Sang Marsekal
Guntur ketika membangun jalan raya pos Anyer-Panarukan, ia telah berjasa dalam
meletakkan dasar-dasar birokrasi efektif dan membangun fondasi bagi negara modern
Hindia Belanda. Pada 17 Agustus 1945—134 tahun setelah Daendels hengkang dari Jawa—
negara suksesor Hindia Belanda yang baru lahir meneruskan warisan Daendels itu.
3. Jan Willem Janssens

Di bulan Mei tahun 1811, Daendels dipanggil untuk kembali ke negaranya, Belanda. Untuk
melanjutkan masa pemerintahannya di Hindia Belanda, pemerintah Republik Bataaf
memanggil Jan Willem Janssen. Janssen ini dikenal sebagai seorang ahli politik
berkebangsaan Belanda. Sebelum memerintah di Hindia Belanda, Janssen menjabat sebagai
Gubernur Jenderal di Tanjung Harapan yang sekarang menjadi daerah Afrika Selatan di
tahun 1802-1806. Tahun 1806, Janssen terpaksa harus keluar dari Tanjung Harapan karena
daerah itu sudah ditaklukkan oleh Inggris. Di tahun 1810, Janssen diberi tugas untuk pergi ke
wilayah Hindia Belanda untuk menggantikan kepemimpinan Daendels. Ketika itu, Janssen
berusaha untuk memperbaiki kondisi Hindia Belanda yang sudah banyak ditaklukan oleh
pemerintahan Inggris. Seakan nggak mau kalah, Inggris memerintahkan Thomas Stamford
Raffles untuk memimpin pasukan Inggris di tanah Jawa.

Raffles mempersiapkan pasukannya untuk melakukan penyebrangan ke Laut Jawa.


Pengalaman Janssen sepertinya terulang lagi. Pada tanggal 4 Agustus 1811, 60 kapal Inggris
yang dipimpin oleh Raffles muncul di daerah perairan Batavia. Setelah itu, pada tanggal 26
Agustus 1811, Batavia sudah dapat ditaklukkan oleh Inggris. Sebagai pemimpin pendudukan
Inggris di Indonesia, Raffles mengambil beberapa kebijakan penting seperti:
1. Penerapan pajak tanah dan penghapusan peyerahan wajib.
2. Penghapusan perbudakan.
3. Mengirimkan ekspedisi penelitian menemukan kembali candi Borobudur, dan candi
Prambanan serta bunga Rafflesia.
4. Menerapkan sistem Karesidenan.
5. Membangun Kebun Raya Bogor.
4. Thomas Stamford Raffles

Raffles diangkat sebagai Letnan Gubernur Jawa pada tahun 1811, ketika Kerajaan
Inggris mengambil alih jajahan-jajahan Kerajaan Belanda dan ia tidak lama kemudian
dipromosikan sebagai Gubernur Sumatra, ketika Kerajaan Belanda diduduki oleh Napoleon
Bonaparte dari Prancis.
Sewaktu Raffles menjabat sebagai penguasa Hindia Belanda, ia telah mengusahakan banyak
hal, yang mana antara lain adalah sebagai berikut: dia mengintroduksi otonomi terbatas,
menghentikan perdagangan budak, mereformasi sistem pertanahan pemerintah kolonial
Belanda, menyelidiki flora dan fauna Indonesia, meneliti peninggalan-peninggalan kuno
seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan, Sastra Jawa serta banyak hal lainnya. Tidak
hanya itu, demi meneliti dokumen-dokumen sejarah Melayu yang mengilhami pencarian
Raffles akan Candi Borobudur, ia pun kemudian belajar sendiri Bahasa Melayu. Hasil
penelitiannya di pulau Jawa dituliskannya pada sebuah buku berjudul: History of Java, yang
menceritakan mengenai sejarah pulau Jawa. Dalam melakukan penelitiannya, Raffles
dibantu oleh dua orang asistennya yaitu: John Crawfurd dan Kolonel Colin Mackenzie.
Istri Raffles, Olivia Mariamne, wafat pada tanggal 26 November 1814 di Buitenzorg dan
dimakamkan di Batavia, tepatnya di tempat yang sekarang menjadi Museum Prasasti.
Di Kebun Raya Bogor dibangun monumen peringatan untuk mengenang kematian sang istri.
Kebijakan-Kebijakan Raffles di Bidang tertentu:
Bidang Birokrasi dan Pemerintahan
Langkah-langkah Raffles pada bidang pemerintahan adalah:

• Membagi Pulau Jawa menjadi 18 karesidenan (sistem karesidenan ini berlangsung


sampai tahun 1964).
• Mengubah sistem pemerintahan yang semula dilakukan oleh penguasa pribumi menjadi
sistem pemerintahan kolonial yang bercorak Barat.
• Bupati-bupati atau penguasa-penguasa pribumi dilepaskan kedudukannya yang mereka
peroleh secara turun-temurun.
• Sistem juri ditetapkan dalam pengadilan.
Bidang Ekonomi dan Keuangan
Petani diberikan kebebasan untuk menanam tanaman ekspor, sedang pemerintah hanya
berkewajiban membuat pasar untuk merangsang petani menanam tanaman ekspor yang
paling menguntungkan. Penghapusan pajak hasil bumi (contingenten) dan sistem
penyerahan wajib (verplichte leverantie) yang sudah diterapkan sejak zaman
Pemerintahan Herman Willem Daendels. Karena Herman Willem Daendels berorientasi
pada besar kecilnya kesalahan. Badan-badan penegak hukum pada masa Sir Thomas
Stamford Raffles sebagai berikut:

• Court of Justice, terdapat pada setiap residen.


• Court of Request, terdapat pada setiap divisi.
• Police of Magistrate.
Bidang Sosial
Penghapusan kerja rodi (kerja paksa) dan penghapusan perbudakan, tetapi dalam
praktiknya ia melanggar undang-undangnya sendiri dengan melakukan kegiatan sejenis
perbudakan. Peniadaan pynbank (disakiti), yaitu hukuman yang sangat kejam dengan
melawan harimau.
Bidang Ilmu Pengetahuan

• Ditulisnya buku berjudul History of Java di London pada tahun 1817 dan dibagi dua jilid
• Ditulisnya buku berjudul History of the East Indian Archipelago di Edinburgh pada
tahun 1820 dan dibagi tiga jilid
• Raffles juga aktif mendukung Bataviaach Genootschap, sebuah perkumpulan
kebudayaan dan ilmu pengetahuan
• Ditemukannya bunga Rafflesia Arnoldi
• Dirintisnya Kebun Raya Bogor
• Memindahkan Prasasti Airlangga ke Calcutta, India sehingga diberi nama Prasasti
Calcutta
Dari kebijakan ini, salah satu pembaruan kecil yang diperkenalkannya di wilayah kolonial
Belanda adalah mengubah sistem mengemudi dari sebelah kanan ke sebelah kiri, yang
berlaku hingga saat ini.
Pada tahun 1815 Raffles kembali ke Inggris setelah Jawa dikembalikan ke Belanda setelah
Perang Napoleon selesai. Pada 1817 ia menulis dan menerbitkan buku History of Java, yang
melukiskan sejarah pulau itu sejak zaman kuno.
Tetapi pada tahun 1818 ia kembali ke Sumatra dan pada tanggal 29 Januari 1819 ia
mendirikan sebuah pos perdagangan bebas di ujung selatan Semenanjung Malaka, yang di
kemudian hari menjadi negara kota Singapura. Ini merupakan langkah yang berani,
berlawanan dengan kebijakan Britania untuk tidak menyinggung Belanda di wilayah yang
diakui berada di bawah pengaruh Belanda. Dalam enam minggu, beberapa ratus pedagang
bermunculan untuk mengambil keuntungan dari kebijakan bebas pajak, dan Raffles
kemudian mendapatkan persetujuan dari London.
Raffles menetapkan tanggal 6 Februari tahun 1819 sebagai hari jadi Singapura modern.
Kekuasaan atas pulau itu pun kemudian dialihkan kepada Perusahaan Hindia Timur Britania.
Akhirnya pada tahun 1823, Raffles selamanya kembali ke Inggris dan kota Singapura telah
siap untuk berkembang menjadi pelabuhan terbesar di dunia. Kota ini terus berkembang
sebagai pusat perdagangan dengan pajak rendah.
5. Johannes Van den Bosch

Johannes graaf van den Bosch (lahir di Herwijnen, Lingewaal, 1 Februari 1780 – meninggal
di Den Haag, 28 Januari 1844 pada umur 63 tahun) adalah Gubernur-Jenderal Hindia
Belanda yang ke-43. Ia memerintah antara tahun 1830 – 1834. Pada masa pemerintahannya
Tanam Paksa (Cultuurstelsel) mulai direalisasi, setelah sebelumnya hanya merupakan
konsep kajian yang dibuat untuk menambah kas pemerintah kolonial maupun negara
induk Belanda yang kehabisan dana karena peperangan di Eropa maupun daerah koloni
(terutama di Jawa dan Pulau Sumatra).

Van den Bosch dilahirkan di Herwijnen, Provinsi Gelderland, Belanda. Kapal yang
membawanya tiba di Pulau Jawa tahun 1797, sebagai seorang letnan; tetapi pangkatnya
cepat dinaikkan menjadi kolonel. Pada tahun 1810 sempat dipulangkan ke Belanda karena
perbedaan pendapat dengan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Setelah
kepulangannya ke Belanda pada bulan November 1813, Van den Bosch beragitasi untuk
kembalinya Wangsa Oranje. Dia diangkat kembali sebagai kolonel di ketentaraan dan
menjadi Panglima Maastricht. Di Belanda karier militernya membuatnya terlibat sebagai
komandan di Maastricht dengan pangkat sebagai mayor jenderal. Di luar kegiatan karier,
Van den Bosch banyak membantu menyadarkan warga Belanda akan kemiskinan akut di
wilayah koloni. Pada tahun 1827, dia diangkat menjadi jenderal komisaris dan dikembalikan
ke Batavia (kini Jakarta), hingga akhirnya menjadi Gubernur Jenderal pada tahun 1830. Van
den Bosch kembali ke Belanda sesudah lima tahun. Dia pensiun secara sukarela pada
tahun 1839.

Anda mungkin juga menyukai