6 Bab Ii
6 Bab Ii
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tablet
1. Pengertian
Tablet adalah sediaan padat yang mengandung bahan obat dengan ataupun
tanpa bahan pengisi. Sebagian besar tablet dibuat dengan cara pengempaan
dan merupakan bentuk sediaan yang paling banyak digunakan. Tablet dapat
dibuat dengan berbagai ukuran, bentuk dan penandaan permukaan tergantung
pada desain cetakan. Tablet berbentuk kapsul umumnya disebut kaplet
(Depkes RI, 1995:4).Tablet dicetak dari serbuk kering, kristal atau granulat,
umumnya dengan penambahan bahan pembantu, pada mesin yang sesuai,
dengan menggunakan tekanan tinggi. Tablet dapat memiliki bentuk silinder,
kubus, batang, atau cakram, serta bentuk seperti telur atau peluru. Garis
tengah tablet pada umumnya 5-17 mm, sedangkan bobot tablet 0,1-1 g (Voigt,
R., 1994:164).
2. Macam-macam Tablet
Macam-macam tablet antara lain (Kemenkes RI, 2014:57).
a. Tablet Kempa
Tablet kempa dibuat dengan memberikan tekanan tinggi pada serbuk atau
granul menggunakan cetakan baja. Tablet dapat dibuat dalam berbagai ukuran,
bentuk, dan penandaan permukaan tergantung pada desain cetakan.
b. Tablet Cetak
Tablet cetak dibuat dengan cara menekan massa serbuk lembab dengan
tekanan rendah ke dalam lubang cetakan. Kepadatan tablet tergantung pada
ikatan kristal yang terbentuk selama proses pengeringan selanjutnya dan tidak
tergantung pada kekuatan tekanan yang diberikan.
c. Tablet Triturat
Merupakan tablet cetak atau kempa berbentuk kecil, umumnya silindris,
digunakan untuk memberikan jumlah terukur yang tepat untuk peracikan obat.
6
7
d. Tablet Hipodermik
Tablet cetak yang dibuat dari bahan yang mudah larut atau melarut
sempurna dalam air, umumnya dulu digunakan untuk membuat sediaan
injeksi hipodermik.
e. Tablet Bukal
Tablet bukal digunakan dengan cara meletakkan tablet diantara pipi dan gusi.
f. Tablet Sublingual
Tablet sublingual digunakan dengan cara meletakkan tablet dibawah lidah,
sehingga zat aktif diserap secara langsung melalui mukosa mulut. Tablet
nitrogliserin merupakan salah satu obat yang mudah diserap dengan cara ini.
g. Tablet Efervesen
Tablet efervesen yang larut, dibuat dengan cara dikempa. Selain zat aktif,
tablet efervesen juga mengandung campuran asam (asam sitrat, asam tartrat)
dan natrium bikarbonat, yang jika dilarutkan dalam air akan menghasilkan
karbon dioksida. Tablet harus disimpan dalam wadah tertutup rapat atau
dalam kemasan tahan lembab, dan pada etiket tertera tablet tidak untuk
langsung ditelan.
h. Tablet Kunyah
Tablet ini dimaksudkan untuk dikunyah, memberikan residu dengan rasa
enak dalam rongga mulut. Jenis tablet ini digunakan dalam formulasi tablet
untuk anak, terutama multivitamin, antasida dan antabiotik tertentu.
Tablet ini dibuat dengan cara dikempa, pada umumnya menggunakan
manitol, sorbitol atau sukrosa sebagai bahan pengikat dan bahan pengisi, serta
mengandung bahan pewarna dan bahan pengaroma untuk meningkatkan
penampilan dan rasa.
i. Tablet Lepas-Lambat
Tablet lepas-lambat atau tablet dengan efek diperpanjang. Tablet ini dibuat
sedemikian rupa sehingga zat aktif akan tersedia selama jangka waktu tertentu
setelah obat diberikan.
8
4. Komposisi Tablet
Komposisi umum dari tablet adalah zat berkhasiat, bahan pengisi, bahan
pengikat atau perekat, bahan pengembang dan bahan pelicin. Kadang-kadang
dapat ditambahkan bahan pewangi (flavoring agent), bahan pewarna (coloring
agent) dan bahan-bahan lainnya (Kemenkes, RI 2014: 58).
a. Zat berkhasiat
Zat berkhasiat atau zat aktif jarang diberikan dalam keadaan murni, tetapi
harus dikombinasikan terlebih dahulu dengan zat-zat yang bukan obat yang
mempunyai fungsi khusus agar dapat dibentuk menjadi sediaan tablet (Anief,
1994:93).
b. Bahan pengisi
Untuk mendapatkan berat yang diinginkan, terutama apabila bahan obat
dalam jumlah yang kecil. Bahan pengisi haruslah bersifat inert. Bahan-bahan
yang umum digunakan sebagai bahan pengisi antara lain laktosa, sukrosa,
manitol, sorbitol, avicel, bolus alba, dan kalsium sulfat (Lachman, dkk., 2008:
698-701).
c. Bahan pengikat
Agar tablet tidak pecah atau retak dan dapat merekat. Zat pengikat lebih
efektif jika ditambahkan dalam larutan dibandingkan dalam bentuk kering.
Bahan pengikat yang umum meliputi Gom Akasia, gelatin, sukrosa, povidon,
metilselulosa, karboksimetilselulosa dan pasta pati terhidrolisis. Bahan
pengikat kering yang paling efektif adalah selulose mikrokristal, yang
umumnya digunakan dalam membuat tablet kempa langsung. (Kemenkes,
2014:58)
d. Bahan pengembang
Zat penghancur yang membantu hancurnya tablet setelah ditelan. Bahan
penghancur yang paling banyak digunakan adalah pati, pati dan seulosa yang
dimodifikasi secara kimia, asam alginat, selulosa mikrokristal, dan povidon
sambung-silang (Syamsuni, 2006: 172).
e. Bahan pelicin
Untuk mengurangi gesekan selama proses pengempaan tablet dan juga
berguna untuk mencegah massa tablet melekat pada cetakan. Biasanya yang
11
digunakan adalah senyawa asam stearat dengan logam, asam stearat, minyak
nabati terhidrogenasi dan talk (Kemenkes, 2014 : 58).
f. Bahan Pewarna
Bahan pewarna dan lak yang diizinkan sering ditambahkan pada formulasi
tablet berfungsi meningkatkan nilai estetika atau untuk identitas produk.
Misalnya zat pewarna dari tumbuhan (Depkes RI, 1995:5).
5. Kerusakan Tablet
Kerusakan pada tablet terdapat tujuh macam, yaitu binding, sticking,
whiskering, splitting, capping, mottling, dan crumbling (Syamsuni, 2006:175).
a. Binding, kerusakan pada tablet akibat massa yang akan dicetak melekat pada
dinding ruang cetakan.
b. Sticking/picking, perlekatan yang terjadi pada punch atas dan bawah akibat
permukaan punch tidak licin, ada lemak pada pencetak, zat pelicin kurang,
atau massa basah.
c. Whiskering, terjadi karena pencetak tidak pas dengan ruang cetakan atau
terjadi pelelehan zat aktif pada tekanan tinggi, akibatnya pada penyimpanan
dalam botol, sisi-sisi yang berlebih akan lepas dan menghasilkan bubuk.
d. Splitting, lepasnya lapisan tipis dari permukaan tablet terutama pada bagian
tengah.
e. Capping, membelahnya tablet di bagian atas.
f. Mottling, terjadi karena zat warna tersebar tidak merata pada permukaan
tablet.
g. Crumbling, tablet menjadi retak dan rapuh.
6. Evaluasi Tablet
a. Keseragaman ukuran
Ukuran dan bentuk tablet dapat dituliskan, dipantau dan dikontrol.
Ketebalan tablet akan tetap dari batch ke batch yang lain, ataupun dalam satu
batch hanya bila granulasi tablet atau pencampuran bubuk cukup konsisten
ukuran partikelnya serta ukuran distribusinya. Selain itu ketebalan juga harus
terkontrol,guna memudahkan pengemasan (Lachman, dkk., 2008:648-649).
Uji keseragaman ukuran dilakukan untuk mengetahui diameter dan tebal
pada tablet. Pengujian ini dilakukan pada sepuluh tablet menggunakan alat
12
jangka sorong. Harus ditekankan disini bahwa tekanan yang diberikan bukan
saja mempengaruhi ketebalaan tetapi juga kekerasan tablet. Maka berbeda-
bedanya ketebalan tablet lebih dipengaruhi oleh tekanan yang diberikan (Ansel,
H.C.,1989:254).
Persyaratan: Kecuali dinyatakan lain garis tengah tablet tidak lebih dari
3 kali dan tidak kurang dari 1 1/3 kali tebal tablet (Depkes RI,1979:6).
−
% = 100%
dikenal hardness tester yang masih dipakai adalah alat penguji; Monsanto,
Strong-Cobb, Pfizer, Erweka, dan Schleuniger (Lachman, dkk., 2008:651).
Persyaratan : Kekerasan tablet yang baik sebesar 4-10 kg (Sulaiman,
2007).
d. Kerapuhan tablet
Untuk mengetahui keutuhan tablet karena tablet mengalami benturan
dengan dinding wadahnya. Tablet yang mudah menjadi bubuk, menyerpih dan
pecah- pecah pada penanganannya, akan kehilangan keelokannya serta
konsumen enggan menerimanya, dan dapat menimbulkan pengotoran pada
tempat pengangkutan dan pengepakan, juga dapat menimbulkan variasi pada
berat dan keseragaman isi tablet (Lachman, dkk., 2008:654).
Alat penguji friabilitas untuk laboratorium dikenal sebagai friabilator. Alat
ini memperlakukan sejumlah tablet terhadap gabungan pengaruh goresan dan
guncangan dengan memakai sejenis kotak plastik yang berputar pada
kecepatan 25 rpm, menjatuhkan tablet sejauh enam inci pada setiap putaran.
Biasanya tablet yang telah ditimbang diletakkan di dalam alat itu, kemudian
dijalankan sebanyak 100 putaran (Lachman, dkk., 2008:654).
15
e. Waktu hancur
Menurut Lachman dkk. (2008:659), jika dikaitkan dengan disolusi maka
waktu hancur merupakan faktor penentu dalam pelarutan obat. Sebelum obat
larut dalam media pelarut maka tablet terlebih dahulu pecah menjadi partikel-
partikel kecil sehingga daerah permukaan partikel menjadi lebih luas. Namun
uji ini tidak memberi jaminan bahwa partikel-partikel akan melepaskan bahan
obat dalam larutan dengan kecepatan yang seharusnya, karena uji waktu hancur
hanya menyatakan waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di bawah
kondisi yang ditetapkan, dan lewatnya seluruh partikel melalui saringan
berukuran mesh-10.
Semua tablet harus melalui pengujian daya hancur secara resmi yang
dilaksanakan in vitro dengan alat uji khusus atau biasa disebut disintegration
tester. Secara singkat alat ini terdiri dari rak keranjang yang dipasang 6 pipa
gelas yang ujungnya terbuka, dan diikat secara vertikal (Ansel,
H.C.,1989:257).
16
f. Disolusi
Disolusi adalah proses melarutnya obat (Ansel, 1989:257). Dua sasaran
dalam mengembangkan uji disolusi in vitro yaitu untuk menunjukkan
pelepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100% dan laju pelepasan obat
seragam pada tiap batch dan harus sama dengan laju pelepasan dari batch yang
telah dibuktikan mempunyai bioavaibilitas dan efektif secara klinis (Lachman,
dkk., 2008:660).
Alat untuk menguji laju disolusi atau disebut dissolution tester terdiri atas
bejana dan tutup, yang berfungsi sebagai wadah yang mendisolusi zat aktif;
pengaduk, motor pemutar pengaduk; termometer; penangas air yang dilengkapi
dengan thermostat (Siregar dan Wikarsa, 2010:86).
Persyaratan : Dalam waktu 30 menit harus larut tidak kurang dari 80 %
(Q) C8H9NO2 dari jumlah yang tertera pada etiket (Kemenkes RI, 2014:1001).
17
B. Parasetamol
1. Sifat Fisika Dan Kimia Parasetamol(Depkes RI, 1995:649).
Sinonim : Paracetamolum
Asetaminofen.
Nama kimia : 4-hidroksiasetanilida.
Rumus molekul : C8H9NO2
2. Farmakologi
Parasetamol merupakan salah satu derivat aminofenol. Derivat P-
aminofenol yang lain adalah fenasetin. Asetaminofen merupakan metabolit
fenasetin, parasetamol merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik
yang sama. Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen. Parasetamol
di Indonesia lebih dikenal dengan nama Parasetamol dan tersedia dalam obat
bebas. Walaupun demikian laporan kerusakan fatal hepar akibat overdosis akut
perlu diperhatikan, efek anti inflamasi parasetamol hampir tidak ada
(Gunawan, S.G., 2009:237).
C. Tablet Parasetamol
1. Sifat Fisika Dan Kimia Tablet Parasetamol(Depkes RI, 201:650).
Kandungan : Tablet parasetamol mengandung parasetamol,
C8H9NO2 tidak kurang dari 90,0 % dan tidak lebih dari
110,0 % dari jumlah yang tertera pada etiket
Identifikasi : a. Waktu retensi puncak utama larutan uji sesuai
dengan larutan baku seperti yang tertera pada penetapan
kadar.
b. Sejumlah serbuk tablet setara dengan lebih kurang 50
mg parasetamol larutkan dalam 50 ml methanol P,
saring, filtrat memenuhi uji identifikasi secara
kromatografi lapis tipis menggunakan fase gerak
campuran diklometana P-metanol P (4:1).
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.
Disolusi : media disolusi : 900 ml larutan dapar pospat pH 5,8
alat tipe 2 : 50 4pm
waktu : 30 menit
ukuran yang lebih besar. Metode granulasi ini terdiri dua metode yaitu metode
granulasi basah dan metode granulasi kering.Parasetamol mempunyai sifat alir
dan kompresibilitas yang jelek, sehingga digunakan metode granulasi basah
untuk memperbaiki sifat alir dan kompresibilitasnya (Normayanti, 2007:1).
Metode yang digunakan pada tablet parasetamol yaitu dengan metode
granulasi basah. Granulasi basah adalah proses menambahkan cairan pada
suatu serbuk atau campuran serbuk dalam suatu wadah yang dilengkapi dengan
pengadukan yang akan menghasilkan aglomerasi atau granul (Siregar dan
Wikarsa, 2010:193).
3. Metode Analisis Parasetamol
Ada dua sumber untuk dapat mengidentifikasi parasetamol, yaitu:
1. Menurut Rohman (2012), parasetamol dapat ditentukan kadarnya dengan
beberapa metode berikut:
a. Metode Titrimetri, ada 2 cara dalam metode titrimetri yang dapat
menganalisis parasetamol :
1) Diazotisasi
Sejumah tertentu serbuk tablet yang setara kurang lebih 500 mg
parasetamol ditimbang secara seksama dan di refluks selama 1 jam dengan 30
ml asam sulfat 10% (b/b). larutan dipindahkan dengan bantuan sejumlah air ke
dalam labu titrasi yang sesuai, lalu ditambahkan dengan 10 ml HCl pekat.
Suhu larutan diatur 150C, lalu natrium nitrit 0,1 N ditambahkan tetes demi
tetes dengan penggojokan secara terus menerus. Ketika mendekati titik akhir
titrasi, penambahan lanjutan titran dilakukan setelah diuji dengan indicator
kertas kanji-iodida yang menunjukkan bahwa reaksi yang disebabkan oleh
penambahan sebelumnya adalah sempurna. TAT tercapai jika muncul warna
biru segera pada kertas kanji-iodida setelah penambahan satu tetes titran
(Rohman, 2015: 13).
2) Titrasi dengan N,N-dibromo dimetilhidantoin
Sebanyak 20 tablet ditimbang secara seksama lalu digerus halus. Sejumlah
serbuk tablet yang setara dengan 150 mg parasetamol ditimbang secara
seksama lalu dilarutkan dalam 50 ml asam asetat 10% dalam air dan disaring
dengan kertas Whatman nomer 41. Residu dicuci 5 kali dengan asam asetat
20
10% dalam air. Filtrate dan hasil cucian yang terkumpul diencerkan sampai
250,0 ml. Parasetamol murni (±150 mg) juga disiapkan dalam larutan asam
asetat 10% dalam air. Sebagai indikator digunakan larutan Amaranth 0,2 %
dalam etanol. Sebanyak 5-15 ml volume sampel yang kan diukur ditambah
dengan 2 tetes indikator Amaranth 0,2%, lalu dititrasi dengan baku DBH.
Titik akhir titrasi ditandai dengan hilangnya warna merah jingga (pink).
Kadar parasetamol dalam sampel yang dititrasi dihitung dengan rumus sebagai
berikut :
Berat parsetamol (mg) = M x V x N
n
M = berat molekul parasetamol
V = volume larutan baku DBH
N = normalitas larutan DBH
n = bilangan ekivalen (valensi )yang besarnya 4
b. Metode Spektrofotometri UV
Cara penetapan kadar: sebanyak 100 mg parasetamol ditimbang secara
seksama lalu dilarutkan dalam etanol. Larutan dimasukkan dalam labu takar
100 ml dan ditambah etanol sampai batas tanda. Sebanyak 0,5 ml larutan
diatas diambil dan dimasukkan dalam labu takar 100 ml, dan ditambah etanol
sampai batas tanda. Larutan ini selanjutnya dibaca absorbansinya pada
panjang gelombang 249 nm terhadpa blanko yang berisi etanol sehingga akan
didapatkan absorbansi larutan baku (Ab). Untuk sampel dilakukan hal yang
sama sehingga didapatkan absorbansi sampel (As). Untuk perhitungan kadar
sampel digunakan rumus berikut ini :
filtrat dengan air secukupnya hingga 100,0 ml. pada 10,0 ml natrium
hidroksida 0,1 N, encerkan dengan air secukupnya hingga 100,0 ml. ukur
serapan-1 cm larutan pada maksimum lebih kurang 257 nm. A (1%, 1 cm)
pada maksimum lebih kurang 257 nm adalah 715.
2. Menurut Farmakope Indonesia Edisi V, penetapan kadar parasetamol dapat
dilakukan dengan menggunakan metode KCKT (Kromatografi Cair Kinerja
Tinggi). Pada fase gerak dibuat campuran air-metanol P (3:1), saring dan
awaudarkan. Jika perlu lakukan penyesuaian menurut kesesuaian sistem
seperti yang tertera pada kromatografi. Pembuatan larutan baku, timbang dan
serbukkan tidak kurang dari 20 tablet setara dengan lebih kurang 100 mg
parasetamol, masukkan dalam labu tentukur 200-ml, tambahkan lebih kurang
100 ml fase gerak sampai tanda. Pipet 5 ml larutan kedalam labu terukur 250-
ml, encerkan dengan fase gerak smapai tanda. Saring larutan melalui
penyaring dengan porositas 0,5 μm atau lebih halus, buang 10 ml filtrate
pertama. Gunakan filtrate sebagai larutan uji. Pada sistem kromatografi
lakukan seperti yang tertera pada kromatografi. KCKT dilengkapi dengan
detector 243 nm dan kolom 3,9 mm x 30 cm berisi bahan pengisi L1. Laju
aliran lebih kurang 1,5 ml per menit. Lakukan kromatografi terhadap larutan
baku, rekam renpons puncak seperti yang tertera pada prosdur: efisiensi kolom
tidak kurang dari 2 dan simpangan baku relatif pada penyuntikan ulang tidak
lebih dari 2,0%. Prosedur suntikan secara terpisah sejumlah volume yang
sama (lebih kurang 10 μl) larutan baku dan larutan uji kedalam kromatograf.
Rekam kromatogram, ukur resons puncak utama. Hitung jumlah dalam mg
C8,H9NO2 dalam serbuk tablet yang digunakan dengan rumus:
10.000
D. Spektofotometri
1. Pengertian Spektrofotometri
Spektrofotometri adalah pengukuran pengabsorpsian energi cahaya oleh
suatu sistem kimia pada panjang gelombang tertentu (Day, 2002: 382).
Metode spektrofotometri UV digunakan untuk menetapkan kadar senyawa
obat (Gandjar, 2007: 245), dan dapat digunakan rumus Hukum Lambert-Beer,
yaitu :
A = abc
Yang mana :
A = Absorban
a = absorptivitas
b = tebal kuvet (cm)
c = konsentrasi
Absorptivitas (a) merupakan suatu konstanta yang tidak tergantung pada
konsentrasi (c), ataupun tebal kuvet (b) yang menenai larutan sampel.
Absorptivitas tergantung pada suhu, pelarut, struktur molekul, dan panjang
gelombang radiasi. Hukum Lambert-Beer menyatakan bahwa intensitas yang
diteruskan oleh larutan zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan
konsentrasi larutan. Batasan dalam Hukum Lambert-Beer yaitu sinar yang
digunakan dianggap monokromatsi, penyerapan terjadi di dalam suatu volume
yang mempunyai penampang luas yang sama, senyawa yang menyerap dalam
larutan tersebut tidak tergantung pada senyawa lain, tidak terjadi fluoresensi,
serta indeks bias tidak tergantung pada konsentrasi larutan (Day, 2002: 240-
243).
Persamaan kurva kalibrasi merupakan hubungan antara sumbu x dan
sumbu y, yang dimana sumbu x merupakan konsentrasi yang diperoleh
sedangkan sumbu y merupakan absorbansi yang diperoleh dari hasil
pengukuran. Sehingga didapat persamaan regresi linier dari kurva kalibrasi
yang diperoleh adalah y = a + bx. Dengan harga kolerasi mendekati 1 yang
berarti menyatakan hubungan yang linier antara konsentrasi dengan serapan
yang dihasilkan (Uno, Sri, & Astuty, 2015).
23
2. Pengertian Spektrofotometer
Spektrofotometer adalah suatu instrument untuk mengukur sampel pada
suatu panjang gelombang.Alat analisis spektrofotometri disebut
spektrofotometer, yang dapat digunakan untuk analisis kimia secara
kuantitatif. Metode yang umum digunakan pada spektrofotometri adalah
spektrofotometri UV-vis (Kedua, 2013).
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam analisis spektrofotometer
UV-Vis.Tahapan-tahapan yang harus diperhatikan, yaitu:
a. Pembentukan molekul yang dapat menyerap sinar UV-Vis.Hal ini perlu
dilakukan jika senyawa yang dianalisis tidak menyerap pada daerah tersebut.
Cara yang digunakan adalah dengan merubah menjadi senyawa lain atau
direaksikan dengan pereaksi tertentu.
b. Waktu operasional (operating time). Cara ini biasa digunakan untuk
pengukuran hasil reaksi atau pembentukan warna. Tujuannya adalah untuk
mengetahui waktu penguuran yang stabil. Waktu operasinal ditentukan
dengan mengukur hubungan antara waktu pengukuran dengan absorbansi
larutan.
c. Pemilihan panjang gelombang. Panjang gelombang yang digunakan untuk
analisis kuantitatif adalah panjang gelombang yang mempunyai absorbansi
maksimal. Untuk memilih panjang gelombang maksimal, dilakukan dengan
membuat kurva hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang dari
suatu larutan baku pada konsentrasi tertentu.
d. Pembuatan kurva baku. Dibuat seri larutan baku dari zat yang akan dianalisis
dengan berbagai konsentrasi. Masing-masing absorbansi larutan dengan
berbagai konsentrasi diukur, kemudian dibuat kurva yang merupakan
hubungan antara absorbansi (y) dengan konsentrasi (x).
e. Pembacaan absorbansi sampel atau cuplikan. Absorban yang terbaca pada
spektrofotometri hendaknya antara 0,2 sampai 0,8 atau 15% sampai 70% jika
dibaca sebagai transmitan. Anjuran ini berdasarkan anggapan bahwa
kesalahan dalam pembacaan T adalah 0,005 atau 0,5% (kesalahan foto-
metrik). (Gandjar, 2012: 252-256)
24
Gambar 2.7
Komponen-komponen spektrovotometri UV-Vis
4. Pelarut
Pelarut yang digunakan tidak hanya harus melarutkan sampel, tetapi
juga tidak boleh juga menyerap cukup banyak daerah dimana penetapan itu
dibuat. Air merupakan pelarut yang bagus sekali dalam termbus cahaya
diseluruh daerah tampak dan turun sampai panjang gelombang sekitar 200
nm di daerah ultraviolet. Tetapi air juga menjadi pelarutyang jelek bagi
senyawa organik, lazimnya pelarut organik digunakan pelarut seperti
hidrokarbon alifatik, methanol, etanol, dan dietil eter. Titik batas transparasi
dalam daerah ultraviolet dari sejumlah pelarut dipaparkan dalam tabel 2.2
(Day, 2002: 415-416).
Tabel 2.2
Pelarut-pelarut untuk daerah Ultraviolet dan Cahaya Tampak
5. Panjang Gelombang
Penetapan secara kuantitatif dilakukan dengan mengukur serapan
larutan zat dalam pelarut dan panjang gelombang tertentu. Pengukuran
serapan biasanya dilakukan pada panjang gelombang serapan maksimum dan
umunya lebih dicantumkan pada monografi. Kerena letak serapan maksimum
dapat berbeda jika digunakan alat yang berbeda, maka sebaiknya pengukuran
dilakukan pada panjang gelombang serapan maksimum yang diperoleh
dengan alat yang digunakan asalkan panjang gelombang yang diperoleh tidak
berbeda lebih dari ± 0,5 nm pada daerah 240 nm – 280 nm, tidak lebih dari ±
1 nm pada daerah 280 mn- 320 nm, serta tidak lebih dari ± 2 nm diatas 320
nm, dari panjang gelombang yang ditentukan (Depkes RI, 1979: 773).
26
D. Kerangka Teori
Tablet
Tablet
Parasetamol
Evaluasi Tablet
Parasetamol
1. Keseragaman Bobot
2. Keseragaman Ukuran
3. Kekerasan
4. Friabilitas
5. Waktu Hancur
6. Disolusi
7. Penetapan Kadar
E. Kerangka Konsep
Metode Spektrofotometri
UV-Vis
F. Definisi Operasional