Interprofesional Kolaborasi Diantara Tenaga Kesehatan.
Interprofesional Kolaborasi Diantara Tenaga Kesehatan.
Sebagai salah satu jenis tenaga kesehatan, apoteker memiliki peran yang cukup
penting dalam dimensi pelayanan kesehatan. Dalam ketentuan formal, pelayanan
kefarmasian didefinisikan sebagai suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab
kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil
yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.
Kolaborasi antara perawat dengan dokter
Pada saat ini berkembang paradigma baru dalam upaya pemberian palayanan
kesehatan yang bermutu dan konfrehensif, tentu hal ini dipicu ketika WHO pada tahun 1984
mendefinisikan sehat yang meliputi sehat fisik,sehat psikis,sehat sosial, dan sehat spiritual.
Dulu orang memandang masing –masing berdiri sendiri, hanya sedikit keterkaitan antara
satu sama lainnya. Oleh karena itu penanganan kesehatan pada umumnya akan melibatkan
berbagai elemen disiplin ilmu yang saling menunjang. Hubungan dokter dan perawat dalam
pemberian asuhan kesehatan kepada pasien merupakan hubungan kemitraan ( partnership)
yang lebih mengikat dimana seharusnya terjadi harmonisasi tugas, peran dan tanggung
jawab dan sistem yang terbuka.Sebagaimana American Medical Assosiasi ( AMA ), 1994,
menyebutkan kolaborasi yang terjadi antara dokter dan perawat dimana mereka
merencanakan dan praktek bersama sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan dalam
batasan-batasan lingkup praktek mereka dengan berbagai nilai – nilai yang saling mengakui
dan menghargai terhadap setiap orang yang berkontribusi untuk merawat individu, keluarga
dan masyarakat. Apabila kolaborasi antara dokter dan perawat berjalan sebagaimana
dimaksudkan tentu berdampak langsung terhadap pasien, karena banyak aspek positif yang
dapat dihasilkan tetapi pada kenyataannya terutama dalam praktek banyak hambatan
kolaborasi antara dokter dan perawat sehingga kolaborasi sulit tercipta.
1) Dominasi Kekuasan
Dari pengamatan penulis terutama dalam praktek Asuhan Keperawatan perawat belum
dapat melaksanakan fungsi kolaborasi dengan baik khususnya dengan dokter walaupun
banyak pekerjaan yang seharusnya dilakukan dokter dikerjakan oleh perawat, walaupun
kadang tidak ada pelimpahan tugasnya dan wewenang. Hal ini karena masih banyaknya
dokter yang memandang bahwa perawat merupakan tenaga vokasional. Degradasi
keperawatan ke posisi bawahan dalam hubungan kolaborasi perawat-dokter, secara empiris
hal ini menunjukkan bahwa dokter berada di tengah proses pengambilan keputusan dan
perawat melaksanakan keputusan tersebut. Pada tahun 1968, psikiater Leonard Stein
menggambarkan hubungan perawat-dokter pada kenyataanya perawat menjadi pasif.
2) Perbedaan Tingkat Pendidikan/Pengetahuan
Perbedaan tingkat pendidikan dan pengetahuan dokter dan perawat secara umum
masih jauh dari harapan hal ini dapat berdampak pada interprestasi terhadap masalah
kesehatan pasien yang berbeda, tentu juga akan berdampak pada mutu asuhan yang
diberikan.
3) Komunikasi
4) Cara Pandang
Perbedaan antara dokter dan perawat dalam upaya kolaboratif terlihat cukup mencolok.
Dokter dapat menentukan atau memandang kolaborasi dalam perspektif yang berbeda dari
perawat. Mungkin dokter berpikir bahwa kerjasama tersirat dalam tindak lanjut sehubungan
dengan mengikuti perintah /instruksi daripada saling partisipasi dalam pengambilan
keputusan. Meskipun komunikasi merupakan komponen yang diperlukan, itu saja tidak
cukup untuk memungkinkan kolaborasi terjadi. Gaya maupun cara berkomunikasi juga
berpengaruh terhadap efektivitas komunikasi. Pelaksanaan instruksi dokter oleh perawat
dipandang sebagai kolaborasi oleh dokter sedangkan perawat merasa mereka sedang
diperintahkan untuk melakukan sesuatu. Kemungkinan kedua adalah bahwa perawat tidak
merasa nyaman “menantang” dokter dengan memberikan sudut pandang yang berbeda..
Atau, mungkin input yang perawat berikan tidak dihargai atau ditindaklanjuti, sehingga
interaksi tersebut tidak dirasakan oleh perawat sebagai kolaborasi.
Komunikasi antara Perawat dengan Ahli Gizi. Kesehatan dan gizi merupakan faktor penting
karena secara langsung berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia(SDM).
Pelayanan gizi di RS merupakan hak setiap orang dan memerlukan pedoman agar tercapai
pelayanan yang bermutu. Agar pemenuhan gizi pasien dapat sesuai dengan yang
diharapkan maka perawat harus mengkonsultasikan kepada ahli gizi tentang obatan yang
digunakan pasien, jika perawat tidak mengkonunikasikannya maka dapat terjadi pemilihan
makanan oleh ahli gizi yang bisa saja menghambat absorbsi dari obat tersebut. Jadi
diperlukanlah komunikasi dua arah yang baik antara hubungan kerja antara perawat dan
profesi gizi juga di wujudkan dalam bentuk Kolaborasi, karena dalam menyelesaikan
masalah Pasien, ada beberapa hal yang harus di perhatikan diantaranya: Mutu peleyanan,
Wewenang dan kolaborasi yang memerlukan otonomi, kepimimpinan, advokasi dan
perhatian untuk mengembangkan kualitas pelayanan perawatan pasien, penelitian, atau
pendidikan dari tingkat tenaga non ahli sampai tenaga ahli. (Professional Practice
atuniversity health network,2002). Kolaborasi merupakan bagian dari Kemitraandengan
prinsip perencanaan dan pengambilan keputusan bersama, berbagi saran, kebersamaan,
tanggung gugat, keahlian dan tujuan serta tanggung jawab bersama(ANA cit Sieglar 1994).
Perawat anestesi merupakan mitra kerja dokter anestesi. Seorang perawat anestesi
bekerjasama dengan dokter anestesi dalam pra anestesi, intra anestesi, dan maupun post
anestesi. Perawat anestesi mempunyai kompetensi tersendiri dalam melakukan perawatan
pra anestesi, intra anestesi, dan post anestesi, namun perawat anestesi harus mampu
bekerja sama dengan dokter spesialis anestesi. Seorang perawat anestesi boleh melakukan
tindakan anestesi atas pelimpahan wewenang dari dokter spesialis anestesi secara resmi,
atas pelimpahan dari operator operasi yang bertanggung jawab, dan atas pelimpahan dari
pemerintah.
1) Pra Anestesi
Pada proses pra anestesi, perawat anestesi dan dokter anestesi bekerjasama dalam
melakukan persiapan sebelum anestesi. Misalnya melakukan kunjungan kepada pasien.
Melakukan kunjungan pada pasien sebelum proses anestesi ini sangat penting yang
bertujuan untuk memberikan informed consent pada pasien untuk mendapatkan anestesi,
menjelaskan tentang proses dan tujuan anestesi, menentukan jenis dan obat anestesi yang
akan digunakan, mengurangi rasa cemas pada pasien pra anestesi dan menentukan ASA
anestesi. Kunjungan pra anestesi ini sebaiknya dilakukan oleh dokter spesialis anestesi dan
perawat anestesi, namun pada praktiknya dokter spesialis anestesi boleh memberikan
pelimpahan wewenang kepada perawat anestesi untuk melakukan kunjungan kepada
pasien yang kemudian dikonsultasikan kembali kepada dokter spesialis anestesi.
2) Intra Anestesi
3) Post Anestesi
Pada proses post anestesi, pasien dipindahkan di ruang recovery room. Di dalam
recovery room, perawat anestesi mempunyai wewenang penuh dalam memonitoring pasien
hingga pasien terlepas dari anestesi. Namun, perawat anestesi harus tetap bekerjasama
dengan dokter spesialis anestesi dalam konsultasi tentang keadaan pasien post operasi.