Anda di halaman 1dari 27

Rahasia Perbankan dan Pemeriksaan Pajak

https://www.pajak.go.id/id/artikel/rahasia-perbankan-dan-pemeriksaan-pajak

Kartika Cahyani pegawai direktorat jenderal pajak

Akhir-akhir ini kita membaca di media massa atau elektronik terkait keinginan pemerintah
untuk mempercepat prosedur pembukaan rahasia perbankan secara elektronik yang dikenal
dengan AKASIA. Gebrakan ini muncul seiring dengan berakhirnya masa Amnesti Pajak yang
mengusung tema keterbukaan akses informasi untuk kegiatan perpajakan.

Selama ini dengan menggunakan prosedur manual memakan waktu yang cukup lama
sehingga banyak para pemeriksa pajak mendapatkan kendala dalam memperolah informasi
data perbankan. Keadaan seperti ini merupakan informasi yang asimetris sehingga
memunculkan moral hazard bagi pihak Wajib Pajak perbankan untuk melakukan tax
avoidance bahkan evasion.

Sudah sejak lama kerahasiaan perbankan menjadi alat bagi Wajib Pajak perbankan untuk
menghindari kewajiban pemeriksaan pajak yang menyentuh informasi nasabah seperti bukti
pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas Bunga Tabungan atau Deposito.

Dari sisi kenyamanan dalam dunia usaha, kerahasiaan perbankan merupakan hal yang paling
penting karena menyangkut keamanan harta para nasabah. Begitu prudennya kerahasiaan ini
sehingga pemerintah Indonesia menjaminnya melalui ketentuan-ketentuan yang diatur oleh
otoritas perbankan maupun perpajakan. Peraturan Bank Indonesia nomor: 2/19/PBI/2000
mengemukakan bahwa pihak perbankan harus merahasiakan segala sesuatu yang
berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanan nasabah. 

Terkait dengan Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maka apabila untuk keperluan
perpajakan aparat pajak bermaksud memperoleh data atau keterangan mengenai rekening
nasabah/Wajib Pajak maka harus dimulai dengan permintaan ijin dari komisioner OJK.
Terkait dengan ketentuan perbankan dan OJK tersebut, Undang-undang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) pun mengatur dalam Pasal 35 ayat (2) bahwa
kerahasiaan perbankan ditiadakan atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan.

Ketentuan-ketentuan tersebut di atas menunjukkan bahwa klausul hukum terkait kerahasiaan


menjadi daya tarik bagi Wajib Pajak yang menjalankan dunia bisnis perbankan karena hanya
dapat dibuka melalui izin Menteri Keuangan dengan proses manual yang cukup panjang.
Sayangnya hampir semua Wajib Pajak perbankan menafsirkan kerahasiaan perbankan
tersebut dengan kegiatan pemeriksaan pajak terkait pemenuhan kewajiban with holding tax-
nya. Dalam Pasal 29 UU KUP ditegaskan bahwa apabila dalam proses pemeriksaan Wajib
Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan informasi, data, dokumen maka
kewajiban untuk merahasiakan tersebut harus ditiadakan.  

Masih banyak sengketa banding dengan nilai ratusan milyar rupiah yang bermuara di
Pengadilan Pajak akhir-akhir ini terkait dengan kewajiban pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2)
atas bunga tabungan atau deposito. Alasan Wajib Pajak yang menggunakan Pasal 35 ayat (2)
UU KUP terkait dengan kerahasiaan perbankan adalah awal munculnya sengketa. Pemeriksa
pajak dalam menjalankan pemeriksaan tentunya menjalankan kewenangannya sesuai Pasal 29
ayat (4) UU KUP bahwa dalam hal Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban merahasiakan
informasi atau dokumen maka harus ditiadakan. Ketentuan dalam Pasal 29 ayat (4) dan 35
ayat (2) UU KUP sekilas mempunyai atmosfir yang bertentangan. Menarik untuk diulas
terkait dua pasal tersebut yang banyak dari para pemangku kepentingan perpajakan pun bias
dalam menanggapi kasus ini.

Kegiatan pemeriksaan pajak terhadap Wajib Pajak perbankan sebagai pihak terperiksa terkait
dengan pengujian atas kebenaran pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas bunga deposito atau
tabungan tentunya tunduk kepada Pasal 29 UU KUP. Dalam ketentuan perpajakan,
pemotongan PPh dikenakan atas Bunga Deposito atau Tabungan dengan tarif 20% atau sesuai
dengan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan bersifat final.  Kewajiban
pemotongan ini berlaku untuk semua bank yang berkedudukan termasuk cabang bank luar
negeri yang ada di Indonesia.  Namun terdapat pengecualian atas pemotongan PPh Pasal 4
ayat (2) sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 131 seperti bunga
deposito dan tabungan yang,

 dimiliki oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang seluruh penghasilannya termasuk
bunga deposito/ tabungan yang tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak
 jumlah deposito/ tabungan tidak melebihi Rp. 7.000.000,- (tujuh juta rupiah) untuk
jumlah yang tidak terpecah-pecah,
 yang diperoleh diterima atau diperoleh bank atau cabang bank luar negeri yang ada di
Indonesia.
 diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya disahkan oleh Menteri
Keuangan.
 diterima atau diperoleh bank yang ditunjuk oleh pemerintah dalam rangka
kepemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana.

Dalam rangka untuk menguji pemenuhan kepatuhan pihak Wajib Pajak perbankan terkait
pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) terhadap Bunga Deposito atau Tabungan maupun
pembebasannya maka pemeriksa pajak harus memeriksa pembukuan dan mengidentifikasi
masing-masing rekening nasabah secara individu. Selain daripada itu, Peraturan Dirjen Pajak
nomor PER-53/PJ./2009 yang mengharuskan kepada Wajib Pajak perbankan untuk membuat
bukti potong PPh Pasal 4 ayat (2) terhadap Bunga Deposito atau Tabungan lengkap dengan
identitas perpajakan dari nasabah, tidak dilaksanakan sehingga pemeriksa pajak tidak dapat
memastikan kebenaran pemotongan pajaknya.

Prinsipnya, ketentuan perpajakan telah mengakomodasi kerahasiaan perbankan dengan


perlakuan khusus bagi Bukti Potong PPh Pasal 4 ayat (2) atas Bunga Deposito atau Tabungan
untuk tidak melaporkannya kepada KPP. Namun hal ini dipandang berbeda oleh para Wajib
Pajak Perbankan, mereka dalam prakteknya tidak mengisi identitas perpajakan nasabah
dalam bukti potongnya dan bahkan tidak memenuhi kewajiban perpajakannya dalam rangka
pemeriksaan. 
Terkait dengan pemeriksaan pajak tersebut, muncul resistensi dari para Wajib Pajak
perbankan dengan dalil kerahasiaan perbankan. Wajib Pajak perbankan tidak memberikan
pembukuan atau dokumen terkait dengan deposito atau tabungan dan bukti pemotongan PPh
Pasal 4 ayat (2) atas Bunga Deposito atau Tabungan dengan dalil pemeriksa pajak belum
mengajukan ijin dari Menteri Keuangan sebagaimana diatur dalam ketentuan perbankan, OJK
maupun perpajakan. Pemeriksaan pajak yang dilakukan berakhir dengan ketidaksepakatan
dalam komitmen pembayaran pajak. Ketidaksepakatan ini juga berlanjut pada tingkat proses
keberatan sehingga para Wajib Pajak mengajukan banding atas sengketanya. 

Dalam sengketa seperti ini tentunya kita harus mencermati secara seksama ketentuan
perpajakan yang terungkap dalam Pasal 29 ayat (4) dan 35 ayat (2) UU KUP. Penulis
berpendapat bahwa terdapat perbedaan ranah ketentuan perpajakan antara Pasal 29 dengan
Pasal 35 UU KUP.  Pasal 35 UU KUP yang merupakan ranah ketentuan khusus perpajakan
menyatakan bahwa kedudukan pihak perbankan adalah sebagai pihak ketiga yang
memberikan informasi/keterangan atau bukti terkait keadaan keuangan nasabah penyimpan,
bukan sebagai terperiksa yang berkedudukan sebagai pihak kedua.

Seiring dengan hal tersebut, tidak tepat kiranya jika Wajib Pajak perbankan menggunakan
Pasal 35 ayat (2) UU KUP sebagai dalil untuk tidak menyampaikan data-data atau dokumen
maupun pembukuan terkait kewajiban pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas Bunga Deposito
atau Tabungan. Sedangkan Pasal 29 ayat (4) UU KUP yang merupakan ranah pemeriksaan
pajak menempatkan Wajib Pajak perbankan sebagai terperiksa, pihak kedua. Dalam hal ini,
pemeriksa pajak tidak melakukan pemeriksaan terhadap nasabah penyimpan.

Alasan terkait dengan perbedaan ranah ketentuan perpajakan tersebut menunjukkan bahwa
kegiatan pemeriksaan pajak tidak relevan dengan ketentuan kerahasiaan perbankan yang
diatur dalam UU perbankan dan UU OJK maupun Pasal 35 ayat (2) UU KUP. Jika Wajib
Pajak perbankan  yang mengharuskan pemeriksa pajak untuk meminta ijin kepada Gubernur
Bank Indonesia melalui Menteri Keuangan dengan menyebutkan nama nasabah penyimpan
yang dikehendaki keterangannya maka hal tersebut merupakan hal yang tidak mungkin
karena  nasabah penyimpan bukan sebagai Wajib Pajak terperiksanya. Ketentuan PBI terkait
kerahasiaan perbankan sangat relevan dengan Pasal 35 ayat (2) UU KUP namun tidak untuk
Pasal 29 UU KUP.

Permasalahan terkait dengan ketakutan dari para Wajib Pajak perbankan akan bocornya
informasi keadaan keuangan nasabah sebenarnya dapat diatasi dengan mekanisme khusus
dalam pemeriksaan pajak. Mekanisme khusus tersebut berupa kegiatan pemeriksaan pajak
atas data-data/dokumen informasi deposito atau tabungan dilakukan dalam suatu ruangan
khusus yang dapat dipantau dan direkam oleh pihak bank tanpa ada kegiatan dokumentasi
yang dilakukan oleh pemeriksa pajak seperti fotokopi Bukti Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2)
atas Bunga Deposito atau Tabungan, pemotretan dokumen melalui telepon seluler ataupun
kamera dan lain-lain. Mekanisme khusus ini sekiranya mendapat perhatian kepada otoritas
perpajakan di Indonesia untuk dapat dibakukan dalam suatu peraturan dalam ruang lingkup
pemeriksaan pajak.(*)

https://www.pajak.go.id/id/artikel/rahasia-perbankan-dan-pemeriksaan-pajak
Pajak Perbankan Rendah 2008

ortax.org/ortax.?mod=berita&page=show&id=2912&q=&hlm=104

direktorat jenderal pajak mengatakan, perbankan merupakan salah satu sektor yang sangat
penting dalam perpajakan. Sebagai pembayar pajak, perbankan merupakan pemungut pajak
terbesar di Indonesia. Namun penerimaan pajak dari sektor perbankan masih sangat rendah
jika dibandingkan sektor lain. Pertumbuhan pembayaran pajak perbankan dibawah rata-rata,
sebesar 49%.

Menghindari atau Menggelapkan Pajak?

Oleh Rijanto

walaupun kasus yang dituduhkan ICW kepada bank dengan inisial PIB pada dasarnya
merupakan kasus lama, namun masalah penggelapan pajak (tax avoidance) atau
penghindaran pajak (tax evasion) menjadi hal yang sangat penting saat ini, mengingat
pemerintah sedang berusaha mencari sumber-sumber penerimaan baru untuk mengurangi
defisit APBN 2001. Apa pun yang terjadi, apakah penggelapan ataupun penghindaran pajak,
keduanya mempunyai implikasi sama, yaitu pemerintah tidak akan memperoleh/menerima
apa-apa. Karena itu, apa yang dilontarkan oleh ICW tersebut tampak memperoleh perhatian
serius dari instansi perpajakan.

Pada awal 1990-an, perbankan Indonesia yang mulai tumbuh dan berkembang sejalan dengan
berlakunya Pakto 1988, saling berlomba untuk meningkatkan kinerjanya, terutama dalam
melakukan mobilisasi dana masyarakat. Berbagai upaya dan cara dilakukan, baik dengan
memberikan insentif bunga tinggi, pelayanan lebih baik/door to door, pemberian berbagai
hadiah, serta cara-cara yang dinilai pelaku perbankan tidak melanggar aturan yang berlaku.

Untuk hal terakhir itu kelompok bank devisa memanfaatkan statusnya sebagai bank devisa,
dengan antara lain melakukan kegiatan atau bahkan membuka kantor-kantor
cabang/perwakilan, afiliasi, membentuk perusahaan patungan, bekerja sama dengan mitra
usaha di luar negeri dan sebagainya, terutama di negara-negara yang aturan di sektor
keuangan, moneter, atau devisanya, cukup longgar. Dengan berbagai fasilitas serta
kemudahan yang sangat menguntungkan, terutama izin yang mudah, perlindungan dan
kerahasiaan, bebas pajak bagi penyimpan, beban operasional dan pajak yang ringan dan
sebagainya, sejumlah negara/wilayah yang terkenal dengan Tax Haven Country sangat
menarik bagi kelompok bank devisa Indonesia dalam menjalankan operasinya.

Negara/wilayah seperti Kepulauan Cayman, Kepulauan Antigua, Bahama, Bermuda,


Monsteraat dan Antillen Belanda, maupun negara atau pulau-pulau lain seperti Channel
Islands, Gibraltar, Luxemburg, Panama, Austria, Hong Kong serta Lebanon, memiliki
karakter seperti digambarkan di atas.
Negara-negara, terutama di wilayah Laut Karibia dan Atlantik Selatan memiliki peraturan
dan fasilitas yang memungkinkan berkembangnya the financial secrecy business, sehingga
wilayah itu menarik bagi pelarian modal yang bersumber dari secret money atau dirty money.
Dana yang berasal dari underground activities business dan hasil kejahatan dari berbagai
negara terutama dari Amerika Latin dan Asia (termasuk Indonesia) kemudian dicuci dan
disebarkan ke seluruh penjuru dunia dengan berbagai cara.

Terminologi dirty money atau secret money seperti lazim dipergunakan oleh kalangan


perbankan di AS, memiliki cakupan sangat luas. Tidak hanya berkaitan dengan dana atau
uang-uang yang berasal dari tindak kejahatan seperti pencurian, perampokan, penipuan serta
hasil-hasil dari transaksi perdagangan narkotik dan hasil korupsi, komisi, sogokan, dan
sebagainya, tetapi juga kegiatan-kegiatan lain yang dinilai menyimpang dari kelaziman yang
berlaku, dan dianggap tidak wajar, termasuk uang yang berasal dari hasil penggelapan atau
penghindaran pajak.

Negara-negara yang dianggap sebagai Tax Haven Country umumnya merupakan tempat


pencucian uang (money laundering) dan lazimnya memiliki fasilitas di bidang keuangan dan
perpajakan yang sangat menarik seperti diutarakan di atas, sehingga negara-negara/wilayah-
wilayah tersebut merupakan wilayah penampungan dana/uang dari berbagai sumber yang
umumnya dianggap tidak jelas.

Kemudahan yang tersedia dan diberikan oleh otoritas misalnya di An-tigua, seperti untuk
keperluan registra-si secara khusus dalam pembentukan/pendirian suatu bank atau perusa-
haan, tidak diperlukan jaminan mau-pun screening terhadap pemohon. Penguasa atau instansi
yang berwewenang dapat dengan segera memberikan kepastian pendirian suatu badan usaha
beserta dokumen-dokumen yang diperlukan dengan biaya ringan dan proses yang cepat.

Kepulauan Cayman maupun pulau-pulau kecil lainnya seperti disinggung di atas merupakan
prototipe suatu negara Tax Haven Country, dengan karakter antara lain tidak ada pajak atas
pendapatan, laba, pemberian atau hibah, transfer modal atau kekayaan dan setiap
individu/perusahaan diperbolehkan memiliki rekening valuta asing dari negara-negara yang
mata uangnya kuat, serta yang terpenting tidak ada kontrol devisa.

Peraturan mengenai rahasia bank jauh lebih ketat dibandingkan dengan misalnya di Swiss.
Seseorang dapat dipenjarakan hanya karena permintaannya untuk mengetahui aktivitas
keuangan dari langganan suatu bank, atau tentang perusahaannya. Akibatnya Kepulauan
Cayman maupun wilayah-wilayah kecil serupa sering kali dianggap sebagai surga terbesar
bagi para penyimpan (dengan tidak mempersoalkan asal usulnya, baik clean maupun dirty
money).

Berbagai bentuk dana yang berasal dari kegiatan-kegiatan atau transaksi yang dinilai
menyimpang seperti korupsi, komisi, sogokan, pungli, mark up, penghindaran pajak,
penyunatan anggaran, penyelundupan, hasil kejahatan, serta berbagai bentuk kegiatan yang
menyimpang lainnya seperti digambarkan di atas, merupakan hal yang sudah lama
berkembang dan diperkirakan banyak terjadi di Indonesia dan masuk ke dalam sistem
perbankan tanpa dapat dideteksi karena ada ketentuan dilarang mengusut asal usulnya.
Praktek-praktek untuk menghindarkan pajak tersebut telah berkembang sedemikian rupa
sehingga menurut informasi pada awal tahun 1990-an jumlah deposito rupiah yang
ditempatkan dengan cara ’’penghindaran pajak’’ tersebut mencapai angka sekitar Rp 3 - Rp 5
triliun sehingga kondisi itu sangat merugikan negara.

Di samping tersedianya berbagai fasilitas itu, pulau-pulau tersebut terutama Cayman, juga
dianggap sebagai pusat administrasi Eurocurrency terbesar di dunia. Di sana beroperasi lebih
dari 450 bank dan trust company, di samping sekitar 17000 perusahaan serta lebih dari 300
perusahaan asuransi. Di pulau tersebut juga terdapat 43 kantor dari 50 bank yang terbesar di
dunia, yang deposito valas yang dihimpun dewasa ini diperkirakan mencapai angka lebih dari
1000 miliar dolar AS.

Walaupun Cayman maupun pulau-pulau kecil di wilayah Karibia berulang kali memperoleh
tekanan dari Pemerintah AS (karena dianggap sebagai pusat pencucian uang terutama dari
bisnis narkotik), namun wilayah itu masih tetap menawarkan perlakuan perpajakan yang
menggiurkan serta membuka peluang yang lebih luas dalam kegiatan bisnis, terutama di
bidang jasa-jasa keuangan seperti fund management dan advis-advis mengenai pembentukan
lembaga-lembaganya dengan persyaratan-persyaratan yang sangat riskan.

Semua kemudahan tersebut diharapkan mampu menetralisasi akibat-akibat yang ditimbulkan


oleh berkurangnya kerahasiaan sebagai akibat tekanan yang dilakukan AS tersebut di atas.

Dengan kondisi seperti digambarkan itu, dapat disimpulkan Indonesia yang menganut sistem
devisa bebas, otoritas moneter pada dasarnya tidak memiliki alat yang efektif untuk
memantau dan memonitor kegiatan dan lalu lintas devisa yang dilakukan oleh setiap pelaku
terutama pelaku swasta.

Penempatan dana di Cayman melalui bank-bank devisa dengan tujuan untuk menghindarkan
pajak menjadi semakin berkembang, terutama sejak Pemerintah (pada awal 1990-an) terus
menguber para penyimpan untuk membayar PPH atas bunga simpanan tersebut.

Dengan adanya fasilitas bebas pajak atas pendapatan, laba, pemberian, transfer modal atau
kekayaan di bank-bank Cayman, fasilitas tersebut telah dimanfaatkan oleh sejumlah bank
nasional (BUSN maupun BUMN) maupun asing/ campuran untuk menarik dana-dana
masyarakat dengan cara tersebut.

Penulis adalah pengamat perbankan.

http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/F18607/Menghindari%20atau
%20Menggelapkan%20Pajak.htm

Kasus Pajak BCA Gerbang KPK Selidiki Perbankan RI

April 2014

JAKARTA - Hadi Poernomo akhirnya dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan


Korupsi (KPK). Dia diduga menyalahgunakan wewenangnya selaku Dirjen Pajak saat
pengurusan Wajib Pajak PT Bank Central Asia Tbk Tahun 1999 di Ditjen Pajak pada 2003-
2004.

Peneliti Kebijakan Publik Perkumpulan Prakarsa, Ah Maftuchan mengatakan, dengan


tertangkapnya Hadi Poernomo dan telah ditetapkan menjadi tersangka, mengindikasikan
bahwa kasus kejahatan perpajakan di sektor perbankan dan lembaga keuangan lainnya
banyak, tidak hanya pada BCA saja.

"Kasus BCA ini bisa menjadi alat masuk bagi penegak hukum untuk menelusuri adanya
kemungkinan penyalahgunaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh perbankan
maupun pihak lain," kata Maftucha saat acara diskusi Forum Pajak Berkeadilan di Chese
Cake Factory, Cikini, Jakarta, Jumat (25/4/2014).

Kasus BCA, sebenarnya diawali oleh keberatannya BCA terhadap koreksi pajak yang
dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Di mana, BCA menganggap bahwa hasil
koreksi DJP terhadap laba fisika Rp6,78 triliun harus dikurangi sebesar Rp5,77 triliun karena
BCA sudah melakukan transaksi pengalihan aset ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN).

"Sehingga BCA mengklaim tidak ada pelanggaran terhadap mereka, tambahnya," tambahnya.

Oleh karena itu, tegas Maftuchan, KPK harus menyelidiki klaim BCA atas pengalihan aset
tersebut sebab sampai saat ini skema BLBI-BPPN masih menyisakan permasalahan.
Pasalnya, jika melihat laporan keuangan BCA, terdapat kejanggalan yang indikasinya
mengarah ke modus pengelakan pajak (tax evasion) dan atau penghindaran pajak (tax
avoidance).

https://economy.okezone.com/read/2014/04/25/457/975953/kasus-pajak-bca-gerbang-kpk-
selidiki-perbankan-ri

Kronologi kasus pajak BCA, seret Hadi jadi tersangka

Rico Afrido

Selasa, 22 April 2014 - 19:49 WIB

Sindonews.com - Presiden Direktur (Presdir) PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja
Setiaatmadja menjelaskan, pada tahun 1998 BCA mengalami kerugian fiskal sebesar Rp29,2
triliun, yang merupakan akibat dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia.
Berdasarkan Undang-undang (UU) yang berlaku, lanjut dia, maka kerugian dimaksud dapat
dikompensasikan dengan penghasilan (tax loss carry forward), mulai tahun pajak berikutnya
berturut-turut sampai dengan lima tahun.
Selanjutnya, sejak tahun 1999, ujar dia, BCA sudah mulai membukukan laba dimana laba
fiskal tahun 1999 tercatat sebesar Rp174 miliar. Lebih lanjut dia mengatakan, berdasarkan
pemeriksaan pajak yang dilakukan pada tahun 2002, Ditjen Pajak telah melakukan koreksi
laba fiskal periode 1999 tersebut menjadi sebesar Rp6,78 triliun.
"Di dalam nilai tersebut, terdapat koreksi yang terkait dengan transaksi pengalihan aset
termasuk jaminan sebesar Rp6,77 triliun yang dilakukan dengan proses jual beli dengan
BPPN yang tertuang dalam perjanjian jual beli dan penyerahan piutang No.SP-
165/BPPN/0600," ujar Jahja Setiaatmadja saat jumpa pers di Menara BCA, Grand Indonesia,
Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (22/4/2014).

Hal ini, menurut dia, dilakukan sejalan dengan instruksi Menteri Keuangan dan Gubernur
Bank Indonesia tanggal 26 Maret 1999. Lebih lanjut dia memaparkan, transaksi pengalihan
aset tersebut merupakan jual beli piutang, namun Ditjen Pajak menilai transaksi tersebut
sebagai penghapusan piutang macet.

Dia menambahkan, sehubungan dengan hal-hal tersebut, maka pada tanggal 17 Juni 2003
BCA mengajukan keberatan kepada Ditjen Pajak atas koreksi pajak yang telah dilakukan.
Keberatan yang disampaikan oleh BCA diterima Ditjen Pajak dan dinyatakan dalam SK
No.KEP-870/PJ.44/2004 tanggal 18 Juni 2004.

"Pada saat berakhirnya masa kompensasi kerugian pajak tahun 1998, masih terdapat sisa
kompensasi yang belum digunakan sebesar Rp7,81 triliun, dengan demikian seandainya
keberatan BCA atas koreksi pajak senilai Rp5,77 triliun tidak diterima oleh Ditjen Pajak,
maka masih terdapat sisa tax loss carry forward yang dapat dikompensasikan sebesar Rp2,04
triliun," jelasnya.

Dituturkannya, sisa tax loss carry forward tersebut tidak bisa dipakai lagi (Hangus) setelah
tahun 2003. Hal demikian dikatakannya terkait penetapan tersangka Mantan Ketua Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dalam kasus keberatan pajak yang diajukan BCA.

Kapasitas Hadi sebagai Direktur Jenderal Pajak pada tahun 2002-2004, dalam penetapan
tersangka terkait kasus yang diduga merugikan negara sekira Rp375 miliar itu.

https://nasional.sindonews.com/read/856665/13/kronologi-kasus-pajak-bca-seret-hadi-jadi-
tersangka-1398170983

Kasus Century dalam Bayang-Bayang Surga Pajak Mauritius

https://tirto.id/kasus-century-dalam-bayang-bayang-surga-pajak-mauritius-cYGf

Oleh: Ringkang Gumiwang - 13 September 2018

Dibaca Normal 3 menit

Mauritius masuk daftar negara yang berkomitmen menerapkan pertukaran informasi secara
otomatis untuk kepentingan perpajakan antarnegara.

tirto.id - Skandal Bank Century ibarat luka yang kembali menganga setelah satu dekade
silam. Media online Hong Kong Asia Sentinel menyampaikan hasil investigasi tentang
konspirasi di balik kasus Bank Century yang akhirnya berubah jadi Bank Mutiara dan
dikuasai oleh korporasi J Trust asal Jepang. Artikel berjudul "Indonesia's SBY Governmant:
Vast Criminal Conspiracy" ini ditulis langsung oleh pendiri Asia Sentinel, John Berthelsen
mengungkapkan masalah ini.

Laporan investigasi John Berthelsen berdasarkan dokumen gugatan perusahaan investasi


yang berbasis di Negara Mauritius, Weston Capital International Ltd ke Mahkamah Agung
Negara Mauritius setebal 488 halaman pada pekan lalu. Weston Capital juga pernah
mengajukan gugatan kepada para petinggi Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) di
Indonesia—LPS sebelumnya pemilik Bank Century—ke otoritas pengadilan Mauritius
pada November 2017 lalu ihwal penjualan Bank Century yang dianggap palsu. Pada medio
2013, Weston Capital termasuk yang berminat membeli Bank Century yang kala itu sudah
bernama Bank Mutiara.

Mauritius yang jadi basis kantor Weston Capital International Ltd selama ini dicap sebagai
negara surga pajak bagi penghindar pajak atau mereka yang menimbun dana "gelap". Rekam
jejak hubungan Mauritius dengan Indonesia terkait perpajakan cukup panjang.

Pada 2004, kedua negara pernah bersitegang. Pemerintah Indonesia menuding pemerintah
Mauritius melanggar perjanjian tax treaty yang telah disepakati. Tax treaty yang dimaksud
adalah persetujuan antar dua negara atau lebih dengan membagi hak untuk mengenakan pajak
atas suatu penghasilan yang berasal dari suatu negara yang diperoleh penduduk negara lain.

Perjanjian tersebut diperlukan untuk mencegah pengenaan pajak berganda (double taxation),
penghindaran pajak (tax avoidance) dan pengelakkan pajak (tax evasion). Kesepakatan antara
Indonesia dan Mauritius itu akhirnya dihentikan pada 2005.

“Terlalu banyak penyalahgunaan perjanjian di sana, di antaranya seperti chanelling dan treaty


shopping,” kata Kasubdit Perjanjian Perpajakan dan Kerja Sama Internasional Ditjen Pajak
Astera Primanto Bakti dikutip dari Antara pada 2010.

Mauritius memang merupakan salah satu negara tujuan suaka pajak atau tax haven. Bahkan,
negara ini juga sempat masuk dalam 12 Negara Surga Pajak Paling Menguntungkan di Dunia.
Sebagai salah satu negara tax haven, Mauritius kerap dimanfaatkan perusahaan multinasional
yang dianggap untuk mengelak pajak termasuk dari pemerintah Indonesia, yakni dengan
mendirikan perusahaan perantara (conduit company) di Mauritius.

Korporasi Indonesia yang bersinggungan dengan Mauritius tak sedikit. Misalnya Arindo


Holdings, anak usaha dari PT Adaro Energy Tbk. melantai di Stock Exchange of Mauritius
Ltd (SEM) pada 15 Desember 2017. Dari pencatatan saham itu, Arindo menghimpun dana
sebesar US$12,1 juta. Bagi Adaro, posisi Arindo memiliki peran yang penting, yakni sebagai
perusahaan investasi yang mencari peluang investasi di luar negeri. Melalui pencatatan saham
di SEM, akses permodalan Arindo akan semakin luas.

PT Indofood Sukses Makmur Tbk. juga sempat memiliki anak perusahaan di Mauritius. Anak
usaha tersebut bernama Indofood International Finance Ltd. Anak usaha Indofood ini juga
merupakan perusahaan investasi. Grup Djarum juga diketahui memiliki perusahaan di
Mauritius dengan nama Farindo Investment (Mauritius) Ltd. Farindo sebelumnya memegang
kepemilikan saham di Bank BCA, namun saat ini sudah dialihkan ke PT Dwimuria Investama
Andalan— yang juga milik Grup Djarum.

Dalam perkembangannya, Mauritius mulai menghilangkan citra negatif sebagai surga pajak.
Pasalnya, Mauritius dijadwalkan akan mulai bertukar data secara otomatis untuk kepentingan
pajak atau Automatic Exchange of Information (AEoI).

Masih Ada Celah

Upaya penggelapan pajak secara global saat ini masih merajalela. Dokumen bertajuk Panama
Papers dirilis oleh organisasi jurnalis investigasi global di awal 2016 setidaknya dapat jadi
gambaran betapa masifnya upaya penggelapan pajak. Data yang bersumber dari bocoran data
Mossack Fonseca ini berisikan 11,5 juta dokumen daftar klien Fonseca dari berbagai negara.
Para klien Fonseca ini diduga menyembunyikan harta untuk menghindari pajak di negara
masing-masing.

Dunia internasional tidak tinggal diam. Berbagai cara dilakukan untuk mencegah
penggelapan pajak, di antaranya dengan memfasilitasi otoritas pajak untuk mengakses data
perbankan secara otomatis atau biasa disebut program AEoI. Program AEoI merupakan
program dari negara G20 yang diinisiasi oleh Organisation for Economic Co-operation and
Development (OECD). Tujuan dari program ini adalah membangun suatu sistem yang dapat
mendukung pertukaran informasi wajib pajak antarnegara.

Dengan sistem itu, wajib pajak yang membuka rekening di negara lain dapat terlacak secara
langsung oleh otoritas pajak negara asalnya. Apabila terwujud, upaya penghindaran pajak
dari oknum wajib pajak dapat diminimalisir.

Sejumlah negara pun ikut serta dalam pertukaran informasi untuk kepentingan perpajakan itu.
Berdasarkan data OECD per Juni 2018, sebanyak 106 negara berkomitmen untuk melakukan
pertukaran informasi perdana mulai 2018.

Dari 106 negara itu, di antaranya adalah Indonesia dan Mauritius. Kedua negara dijadwalkan
sama-sama mulai pertukaran informasi pada 2018. Mauritius melakukan peluncuran program
ini pada Juli 2018, untuk mendukung reputasi mereka sebagai pusat keuangan global.

Menurut Ditjen Pajak, data saldo rekening bank WNI di luar negeri sudah bisa didapatkan
pada akhir September ini. “Ini sebagai instrumen yang penting untuk mendorong kepatuhan
wajib pajak. Jadi, kami dapat data harta wajib pajak WNI kita di luar negeri,” kata Direktur
Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama dikutip dari Kompas.
Sayang, menurut catatan OECD, masih banyak negara-negara berkembang yang belum mau
berkomitmen mengikuti program AEoI ini. Jumlahnya sebanyak 43 negara, termasuk negara-
negara tetangga seperti Thailand dan Filipina. Masih banyaknya negara-negara berkembang
yang belum berkomitmen menerapkan AEoI, membuka peluang pergeseran tempat
menyimpan dana dari para wajib pajak, termasuk wajib pajak dari Indonesia ke negara yang
belum berkomitmen.

“Selalu ada peluang bagi negara lain yang belum bergabung dalam AEoI untuk mendapatkan
limpahan dana dari negara yang sudah komitmen,” tutur Bawono Kristiaji, pengamat pajak
dari DDTC kepada Tirto.
Namun, peluang wajib pajak menyembunyikan dana di tempat lain juga tergolong tipis.
Pasalnya, mayoritas negara yang tidak mengikuti AEoI itu tidak lagi memiliki kerahasiaan
perbankan dalam konteks pajak di negaranya. Di sisi lain, negara-negara di dunia saat ini
sudah semakin transparan, sehingga pertukaran informasi di kemudian hari sangat
dimungkinkan. Tinggal menunggu waktu saja, di mana seluruh negara bertukar informasi
demi kepentingan perpajakan.

“Jadi yang paling penting adalah konsistensi dari para partisipan AEoI. Apakah komitmennya
itu compliance atau tidak. Saya pikir perlu ada mekanisme sanksi untuk menjamin ini,” jelas
Bawono.

Ringkang Gumiwang

(tirto.id - Ekonomi)

Fitra: Setiap Tahun, Penghindaran Pajak Capai Rp110 Triliun

Adhitya Himawan

Kamis, 30 November 2017

https://www.suara.com/bisnis/2017/11/30/190456/fitra-setiap-tahun-penghindaran-pajak-
capai-rp110-triliun

Suara.com - Sekjen Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Yenny


Sucipto, mengakui bahwa data penghindaran pajak dan penggelapan pajak sulit diakses oleh
public. Sampai saat ini, Fitra mengajukan permintaan data tersebut kepada Direktorat
Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan dengan mengacu Undang-Undang No. 14 tahun
2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik.

“Sampai saat ini masih proses. Sekarang masih masa jeda 30 hari. Sampai sekarang belum
ada jawaban dari DJP,” kata Yenny saat dihubungi Suara.com, Kamis (30/11/2017).
Menurutnya, pengelakan pajak merupakan masalah serius di Indonesia. Diduga setiap tahun
ada Rp110 triliun yang merupakan angka penghidaran pajak. Kebanyakan adalah badan
usaha, sekitar 80 persen, sisanya adalah wajib pajak perorangan.

“Kebanyakan memang badan usaha yang bergerak di sektor mineral dan batubara.
Kebanyakan juga adalah perusahaan asing. Ada juga perusahaan berbadan hukum Indonesia,
tetapi kepemilikannya sebetulnya oleh asing,” ujarnya.

Yenny mendesak pemerintah segera mereformasi UU Ketentuan Umum Perpajakan.


Perbaikan dan reformsi perpajakan harus dilakukan dalam berbagai aspek. “Sayangnya revisi
UU KUP sudah dua tahun mandek di DPR,” tutupnya.

Berdasarkan hasil riset Perkumpulan Prakarsa, yang dipaparkan beberapa waktu lalu, selama
kurun waktu 2010-2014, akumulasi aliran dana gelap dari Indonesia ke luar negeri mencapai
Rp 914 triliun.

Jumlah tersebut setara dengan 45 persen pertambahan jumlah uang beredar dalam periode
yang sama di Tanah Air yang jumlahnya Rp 2.032 triliun.

Sementara, laporan Global Financial Integrity menyebutkan, dalam kurun 2004 – 2013, dana
illegal yang keluar dari indonesia mencapai 180,71 miliar dollar AS atau setara Rp 2.100
triliun.

Untuk urusan ini, Indonesia merupakan negara terbesar kesembilan di dunia. Indonesia hanya
kalah dari China, Rusia, Meksiko, Malaysia, India, Brasil, Afrika Selatan, dan Thailand.

Penghindaran Pajak Munculkan Risiko bagi Perusahaan

 10 Oktober 2018

https://ugm.ac.id/id/berita/17178-penghindaran.pajak.munculkan.risiko.bagi.perusahaan

Banyaknya jumlah wajib pajak yang ikut serta dalam tax amnesty menunjukkan masih
tingginya fenomena penghindaran pajak di Indonesia.

Meski penghindaran pajak dirasakan sebagai sesuatu yang bermanfaat, khususnya bagi
perusahaan, namun pada saat bersamaan penghindaran pajak juga memunculkan berbagai
risiko.

Salah satu teori yang berkaitan dengan fenomena ini, teori keagenan, berpendapat bahwa
penghindaran pajak merupakan aktivitas yang dapat memfasilitasi oportunistik manajemen
seperti manipulasi laba dan dapat menyebabkan pemilik modal dan kreditur menjadi
dirugikan.

“Ketika mengambil keputusan yang oportunistik ini, manajemen mengabaikan kepentingan


pemilik sehingga pemilik menghadapi beberapa risiko terkait dengan penghindaran pajak,”
ujar Dewi Kusuma Wardani saat mengikuti ujian terbuka program doktor di Fakultas
Ekonomika dan Bisnis UGM, Rabu (10/10).

Dewi memaparkan, teori keagenan menjadi salah satu teori yang dipercaya dapat
menjelaskan dampak dari fenomena penghindaran pajak. Meski demikian, teori ini mendapat
tentangan dari teori stewardship yang mengatakan bahwa penghindaran pajak tidak
berpengaruh terhadap risiko perusahaan, atau bahkan berpengaruh negatif.

Dalam disertasinya, pengajar di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa ini meneliti pengaruh


kecenderungan penghindaran pajak terhadap risiko dengan corporate
governance dan financial constraint sebagai pemoderasi.

Indonesia, menurut Dewi, memiliki karakteristik yang menyebabkan konflik keagenan


menjadi tinggi. Karakteristik tersebut adalah kepemilikan terkonsentrasi yang menyulitkan
pihak luar menjadi pemegang saham, tipisnya batasan antara pemegang saham dan kontrol
yang menyebabkan lemahnya akuntabilitas dan struktur pengawasan, struktur kepemilikan
yang kurang jelas, serta badan perusahaan yang kurang memadai.

“Keempat karakteristik ini menyebabkan manajemen dapat mengambil kebijakan secara


oportunistik, termasuk kebijakan penghindaran pajak,” jelasnya.

Melalui penelitian ini, ia menemukan bahwa corporate governance yang lemah dan financial


constraint yang tinggi dapat memperkuat pengaruh positif kecenderungan penghindaran pajak
terhadap risiko perusahaan. Di luar kondisi tersebut, kecenderungan penghindaran pajak tidak
berpengaruh pada risiko perusahaan.

Temuan ini disebabkan oleh kondisi penegakan hukum di Indonesia yang rendah sehingga
risiko deteksi pelanggaran pajak juga masih rendah. Lamanya waktu antara periode
perusahaan melakukan penghindaran pajak sampai dengan diputuskan bersalah dan
dikenakan sanksi cukup panjang sehingga tidak dapat ditangkap oleh volatilitas pembayaran
pajak selama 5 tahun setelah kejadian.

“Penelitian ini mendukung teori bahwa mekanisme yang dapat mengatasi masalah keagenan
tipe kedua adalah tata kelola yang baik, yaitu adanya komisaris independen yang memadai
dan dapat melindungi kepentingan pemegang saham mayoritas,” imbuh Dewi.

Pemerintah, menurutnya, perlu membuat aturan hukum yang jelas bahwa ketika perusahaan
melakukan pelanggaran pajak maka yang dikenai sanksi tidak hanya perusahaan, namun juga
pemilik, manajemen, dan konsultan yang memberikan advis strategi penghindaran pajak yang
diambil oleh perusahaan. Hal ini diharapkan dapat mengurangi kasus penghindaran pajak
yang terencana dan ditutupi dengan jasa keuangan, yaitu jasa audit, oleh kantor akuntan
publik yand bereputasi.

“Aturan hukum ini harus dibarengi dengan penegakan hukum yang ketat sehingga dapat
menimbulkan efek jera bagi pelakunya,” pungkasnya. (Humas UGM/Gloria)
Sri Mulyani: Batas Dunia Makin Tipis, Ada Risiko Penghindaran Pajak Kompas.com -
21/08/2019, 12:18 WIB

https://money.kompas.com/read/2019/08/21/121800626/sri-mulyani--batas-dunia-makin-
tipis-ada-risiko-penghindaran-pajak?page=all#page2

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menilai globalisasi


telah mengikis batas-batas antar negara. Hal ini, kata Sri Mulyani, dimanfaatkan oleh
sebagian pihak untuk mencoba melakukan praktik penghindaran pajak. "Ini penting (disikapi)
karena globalisasi membuat batas dunia semakin tipis," ujarnya saat bicara dalam acara
seminar di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (21/8/2019). "Kita harus jaga kepentingan negara
melalui perpajakan melalui kerja sama internasional dan negosiasi yang baik dalam rangka
menjaga kepentingan Indonesia," sambung dia. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu
mengatakan, Direktorat Jenderal Pajak akan memanfaatkan data hasil pertukaran informasi
perpajakan atau Automatic Exchange of Information ( AEoI). Sebanyak 120 negara sepakat
menjalin kerja sama pertukaran informasi perpajakan atau Automatic Exchange of
Information (AEoI) pada 2018. Menurut Direktorat Jenderal Pajak, sudah ada 65 negara yang
memberikan informasi terkait harta warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri pada awal
2019 lalu. "Kami juga terus akan manfaatkan data yang diperoleh melalui kerjasama pajak
internasional melalui AEoI dan upaya kurangi tax avoidance melalui based erosion profit
shifting," kata Sri Mulyani. Menteri yang kerap disapa Ani itu memastikan, pemerintah tidak
akan sembarangan menggunakan data AEoI. Ia mengatakan penggunaannya akan sesuai
aturan perundang-undangan yang berlaku. Pertukaran data perpajakan atau AEoI semakin
gencar. Terakhir, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengeluarkan Pengumuman DJP PENG-
05/PJ/2019. Dari pengumuman itu tercatat jumlah yurisdiksi partisipan saat ini mencapai 98
negara atau terjadi peningkatan dibandingkan dengan tahun lalu yang hanya 65 negara.
Sementara itu, untuk negara tujuan pelaporan tahun ini sebanyak 82 negara juga jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan tahun lalu yang hanya 54 negara. Direktur Penyuluhan,
Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Hestu Yoga Saksama mengatakan Pengumuman DJP
PENG-05/PJ/2019 adalah sebagai update atas pengumuman sebelumnya akhir Maret 2019
lalu. Baca juga: Sambut Keterbukaan Data Perpajakan, DJP Minta Lembaga Keuangan
Mendaftar Yang mana terdapat penambahan empat yurisdiksi partisipan di mana Indonesia
akan menerima data AEoI pada akhir September nanti maka secara total mencapai 102
negara. Ada pula penambahan satu yurisdiksi pelaporan di mana Indonesia akan
mengirimkan datanya, artinya menjadi 66 negara.

POPULER MONEY] Kasus Rp 800 Triliun Bank Mandiri | Pajak Gundala | Nexmedia
Berhenti Siaran Kompas.com - 02/09/2019, 06:06 WIB

https://money.kompas.com/read/2019/09/02/060600726/-populer-money-kasus-rp-800-
triliun-bank-mandiri-pajak-gundala-nexmedia?page=all.

1. Bank Mandiri, Rp 800 Triliun Disembunyikan, 2 Kali Pindah Ibu Kota Setelah sebelumnya
diterpa isu tak sedap akan merugi, PT Bank Mandiri Tbk kembali terkena serangan hoaks.
Serangan hoaks kali ini adalah bakal dituntut nasabah karena menghilangkan dana Rp 800
triliun. Corporate Secretary Bank Mandiri Rohan Hafas menceritakan kronologi kejadiannya.
Tanggal 17 April, pria asal Swedia bernama Olsson Bo Michael menyambangi kantor cabang
Bank Mandiri cabang Cempaka Mas. Tujuannya, untuk menanyakan transfer dana sebesar 50
miliar Euro. Sehari setelahnya, Olsson mengirimkan email ke Bank Mandiri cabang Cempaka
Mas ke kantor pusat Bank Mandiri tanggal 18 April. "Selanjutnya, tanggal 24 April 2019,
Bank Mandiri mengirimkan surat penjelasan kepada Olsson tidak pernah ada transfer sebesar
50 miliar euro ke rekening yang bersangkutan. Bank Mandiri juga mengundang Olsson
tanggal 25 April ke kantor cabang untuk menjelaskan validitas transfer itu," cerita Corporate
Secretary Bank Mandiri Rohan Hafas. Baca selengkapnya di sini 2. Perombakan Pimpinan
BUMN, Rini Langgar Perintah Jokowi? Menteri BUMN Rini Soemarno pada Juli 2019 lalu
meminta lima perusahaan BUMN yang go public untuk menggelar Rapat Umum Pemegang
Saham Luar Biasa ( RUPSLB). Sebagai pemegang saham mayoritas, Menteri BUMN
memang berhak untuk meminta hal itu. Kelima perusahaan pelat merah itu adalah PT Bank
Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Tabungan Negara
(Persero) Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Perusahaan Gas Negara
(PGN) Tbk. Akhir Agustus ini, kelima BUMN tersebut beres melakukan RUPSLB. Hasilnya,
dua direktur utama bank BUMN, yakni Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara ( BTN)
Maryono dan Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Suprajarto menjadi
"korban". Apakah keputusan Rini itu melanggar perintah Presiden Joko Widodo? Baca di sini
3. Soal Kabar Nasabah Jenius Dibobol Hacker, Ini Penjelasan BTPN Perkembangan layanan
perbankan digital memang menawarkan berbagai kemudahan bagi nasabah untuk
bertransaksi. Namun, berbagai kemudahan tersebut pun dalam praktiknya harus diiringi
dengan kehati-hatian, baik oleh nasabah, perbankan, maupun pihak ketiga dalam bertransaksi.
Pasalnya, kian canggih perkembangan teknologi, kian meningkat pula pula kemampuan
pihak-pihak yang berniat jahat untuk meretas teknologi tersebut. Para peretas alias hacker
menjadikan layanan digital perbankan sebagai sasaran mereka untuk mendapatkan
keuntungan. Seperti yang dialami oleh influencer Wisnu Kumoro baru-baru ini. Ia
mengklaim akun rekening Jenius yang merupakan layanan digital milik Bank BTPN,
mengalami pembobolan dan uangnya ludes dalam waktu kurang dari 24 jam. Nah bagaimana
tanggapan BTPN mengenai hal ini? Simak di sini 4. 'Booming' Gundala, Ditjen Pajak Tanya
'Mas Patriot Udah Bikin NPWP?' Ada-ada saja unggahan di akun media sosial Direktorat
Jenderal (Ditjen) Pajak untuk mengingatkan masyarakat bayar pajak. Setelah sebelumnya
pernah membahas mukena Syahrini yang harganya fantastis, kali ini Ditjen Pajak
memanfaatkan film superhero lokal, Gundala, untuk memberikan edukasi pajak. Dalam akun
Twitter resminya, @DitjenPajakRI mengunggah gambar dengan sosok yang mirip dengan
Gundala sedang memegang kartu Nomor Pokok Wajib Pajak ( NPWP). Di dalam gambar itu
terdapat tulisan: "MAS PATRIOT, UDAH BAYAR PAJAK?". Disertai tulisan besar
jawabannya: GUA UDALA dan tulisan Udah bayar pajak uga 0,5 persen di bawahnya. Simak
selengkapnya di sini 5. Mulai Hari Ini, Nexmedia Berhenti Siaran Layanan televisi kabel
Grup Emtek, Nexmedia, berhenti beroperasi efektif mulai hari ini, Minggu (1/9/2019).
Dikutip dari laman resmi Nexmedia, pihaknya telah menghentikan siaran pada Sabtu
kemarin, (31/8/2019). "Terima kasih atas kebersamaan Anda bersama Nexmedia selama ini.
Bersama ini kami informasikan bahwa Nexmedia akan menghentikan siaran pada tgl 31
Agustus 2019," kata pihak Nexmedia dikutip laman resminya, Minggu (1/9/2019). Tak lupa,
Nexmedia mengucapkan terima kasih kepada pelanggan setia yang menggunakan layanan TV
kabelnya.

Bank Terbesar Swiss Didenda Rp72 T dalam Kasus Pajak

CNN Indonesia | Kamis, 21/02/2019 15:24 WIB

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190221144831-78-371480/bank-terbesar-swiss-
didenda-rp72-t-dalam-kasus-pajak Jakarta, CNN Indonesia --
Pengadilan Prancis menjatuhkan hukuman denda senilai US$5,1 miliar atau setara Rp72,4
triliun (kurs Rp14.199 per dolar AS) kepada kepada Union Bank of Switzerland (UBS).
Denda mereka jatuhkan terkait upaya UBS dalam membantu klien mereka dalam melarikan
diri dari kewajiban pajak. 

Denda tersebut, sebesar US$907 juta di antaranya dijatuhkan untuk mengganti kerugian
perdata yang dialami Prancis akibat kejahatan perpajakan yang dibantu UBS. Putusan denda
pengadilan tersebut dibacakan di Paris Rabu (20/2) kemarin.

Putusan dijatuhkan karena UBS dinyatakan pengadilan Prancis telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah dalam membantu nasabah mereka melakukan pencucian uang. Putusan
denda tersebut sontak menggoncang saham UBS.

Paska denda dijatuhkan, saham UBS langsung anjlok 4,2 persen. Maklum, jika dihitung,
denda yang dijatuhkan tersebut nilainya setara dengan laba bersih UBS pada 2018 kemarin.

UBS belum memberikan pernyataan resmi atas denda tersebut. Bank terbesar Swiss tersebut
mengatakan akan mengeluarkan pernyataan.

"Sesegera mungkin setelah persyaratan pengungkapan yang berlaku." kata mereka seperti
dikutip dari CNN.com, Kamis (21/2).

"UBS percaya bahwa jumlah yang diminta tidak didukung oleh bukti yang disajikan atau
hukum, dan bahwa ada pembelaan hukum yang kuat terhadap tuduhan yang relevan," tambah
mereka.

Bank mengatakan Rabu bahwa itu akan mengajukan banding atas putusan pengadilan. Jaksa
penuntut Prancis telah meminta pengadilan untuk menerapkan denda yang bahkan lebih besar
dari € 5,3 miliar ($ 6 miliar) saat sidang akhir akhir tahun lalu.

\
Pembatasan Tunai dan Pajak

Oleh: Anandita Budi Suryana, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Seorang anggota DPR membicarakan wacana pembubaran Komisi Pemberantasan Korupsi


(KPK)  karena tidak berhasil mencegah korupsi. Apakah perlu dibubarkan? Alih-alih
berdebat tentang pembubaran KPK, akan bermanfaat semua pihak  memperhatikan kondisi
korupsi saat ini. Menurut KPK ada 19 Bupati/Walikota yang tersangkut Operasi Tangkap
Tangan (OTT) di tahun 2018. Jumlah ini belum termasuk OTT Aparatur Sipil Negara (ASN)
dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, baik di pusat dan daerah.

PPATK (Pusat Pengawasan dan Analisis Transaksi Keuangan) melalui UU Nomor 8/2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, mewajibkan bank
untuk melaporkan transaksi mencurigakan dan/atau transaksi tunai melalui transfer dengan
batasan nilai Rp500 juta ke atas. Kewajiban juga berlaku untuk penyedia barang dan jasa
mewah seperti developer properti, dealer kendaraan, pedagang perhiasan dan balai lelang
dengan nilai transaksi Rp500 juta.

Hal menarik di India. Pemerintah Perdana Menteri Modi di tahun 2016 menarik pecahan
rupee 500 karena sering dipalsukan untuk terorisme dan 1.000 rupee ditarik karena sering
digunakan untuk menyuap. Tentu saja ini membuat kesulitan transaksi. Namun pemerintah
India mengakomodasi sistem Paytm (Pay Through Mobile) sejak 2014 untuk transaksi
pembayaran dengan scan barcode, sampai ke pasar-pasar. Di luar dugaan, aplikasi Paytm ini
bisa menggantikan pembayaran tunai secara masif.

Beberapa negara telah menerapkan batasan non cash payment, diantaranya Italia, Mexico,
dan Denmark. Italia menetapkan batasan lebih dari 1,000 poundsterling harus non tunai,
untuk mencegah pencucian uang dan penghindaran pajak. Di Mexico, batasan tunai 100 ribu
peso (US$ 7,700) untuk mencegah pembelian real estate, kendaraan dan barang mewah
dengan uang ilegal. Denmark membatasi tunai maksimal 10,000 krone (setara 1,330 pounds)
untuk mencegah penghindaran pajak dan mendeteksi transaksi terutang PPN (Pajak
Pertambahan Nilai). Amerika Serikat (AS) sendiri menerapkan batasan maksimal tunai US
$10,000.

PPATK belakangan ini sudah mengajukan revisi UU No8/2010 dengan batasan tunai menjadi
maksimal 100 juta. Secara nyata ada memang dua celah: pertama, batasan nilai transaksi
sebesar Rp500 juta terlalu besar, karena transaksi kurang dari Rp500 juta tidak perlu
dilaporkan ke PPATK. Celah ini juga dimanfaatkan penyedia barang dan jasa mewah batasan
nilai Rp500 juta dengan skema tunai keras. Kedua, batasan pembayaran tunai belum ada
sehingga nasabah leluasa mencairkan dana tunai berapapun besarnya untuk membayar semua
barang. Alasan nasabah mengambil tunai untuk membayar gaji karyawan dan pembelian
bahan baku produksi, tidak masuk akal, karena semuanya bisa ditransfer via rekening bank.

Maka bukan KPK yang dibubarkan tapi korupsi yang harus dicegah dengan pengawasan
transaksi. Agar pengawasan maksimal, perlu ada pembatasan nominal pembayaran tunai dan
mengedepankan pembayaran non tunai (non cash payment), termasuk penukaran valuta
asing. Ini menjadi domain PPATK. Dalam kasus OTT terakhir KPK di Jakarta Selatan,
terduga penyuap menukar dollar Singapura di money changer secara tunai untuk suapt.
Sedangkan dari sidang kasus OTT KPK tahun 2017 atas seorang pejabat eselon satu, bahwa
penyuap melakukan penyamaran kepemilikan rekening bank. Kemudian atas rekening
tersebut, kartu ATM dipegang oleh tersangka. KPK ternyata bisa melakukan arus keuangan
dengan metode ini.

Dalam sistem penerimaan negara, model perpajakan di Italia, Mexico, Denmark dan AS
menerapkan self assessment. Wajib pajak mengisi laporan penghasilan dan menyetorkan
pajak secara sukarela karena transaksi keuangan di perbankan dan lembaga keuangan lain
sudah terawasi oleh Pemerintah. Jika ada kecurangan, otoritas pajak dengan mudah akan
mengusut kasus tersebut.

Korupsi tidak bisa dipandang hanya stand alone crime. Uang suap pasti dihitung pengusaha
sebagai biaya untuk pengurang penghasilan yang seharusnya dikenakan pajak. Sebagai
contoh, jika penyuap menyerahkan suap 1 miliar, maka perusahaan ini akan membiayakan
pengeluaran 1 miliar ini sebagai biaya pengurang penghasilan kena pajak, entah dengan dalih
fiktif atau apapun. Akibat suap ini, negara dirugikan dari Pajak Penghasilan (PPh) Badan
sebesar 25 persen dikalikan 1 miliar atau 250 juta.

Langkah maju Pemerintah adalah penetapan UU Nomor 9 Tahun 2017 yang mengesahkan
Perppu No 1/2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Aturan
UU ini mewajibkan Bank dan Lembaga lainnya menyampaikan informasi keuangan (saldo)
nasabah per akhir tahun, paling lambat akhir April tahun berikutnya. Masalahnya, masyarakat
masih ada pilihan untuk menggunakan tunai dalam transaksi sehingga tidak semua melalui
bank.

Pembayaran non tunai

Inti pembatasan tunai adalah mewajibkan masyarakat untuk menggunakan instrumen


perbankan untuk jual beli dan pembayaran lainnya. Pengaturan non tunai mungkin dilakukan
karena jumlah rekening bank sudah mencapai 55 persen jumlah penduduk. Belum lagi kanal
pembayaran online payment seperti Go Pay dan OVO yang masif digunakan oleh pengguna
seluler untuk pembayaran belanja online.

Pemerintah Indonesia dan DPR harus segera mengesahkan pembatan tunai, bahkan kalau bisa
jauh dibawah 100 juta. Pemerintah hanya perlu mengatur transaksi business to
business, business to person atau person to person menggunakan mekanisme non cash
payment. Misalnya secara bertahap tahun 2019 maksimal hanya Rp100 juta, tahun 2020 turun
ke Rp50 juta dan tahun 2021 maksimal Rp25 juta, sisanya harus kartu debit, kartu kredit,
transfer bank atau online payment. Tidak ada valuta asing tunai tapi harus dengan bank notes.

Kepentingan Pajak

Dari pencatatan non cash payment, memudahkan akses Pemerintah untuk memantau data lalu
lintas keuangan yang setara Produk Domestik Bruto senilai Rp16.000 triliun (asumsi APBN
pada tahun 2019). Data ini digunakan sebagai data reference untuk crosscheck kebenaran
isian SPT Tahunan pajak penghasilan. Untuk pengawasan wajib pajak diperlukan data
eksternal indikasi penghasilan seperti pembelian polis asuransi, kendaraan bermotor, properti,
dan surat berharga/efek.

Misalkan untuk kepentingan legalisasi setoran pajak transaksi pengalihan properti. Ada
kewajiban mencantumkan nomor rekening bank, namun wajib pajak masih bersikeras metode
pembayaran pengalihan secara tunai. Tentu tidak masuk logika transaksi ratusan juta bahkan
milyaran dengan tunai. Dengan revisi UU No8/2010 tentang batasan pembayaran tunai, maka
wajib pajak saat legalisasi setoran pajak, wajib mencantumkan nomor rekening bank
sehingga kantor pajak bisa melacak kebenaran transaksi tersebut.

Dengan pencatatan non cash payment secara tertib, Negara akan mudah melacak keabsahan
transaksi. Penjual harus melaporkan nama pembeli barang dan jasa mewah. Jika Pemerintah
mendapat laporan transaksi barang dan jasa mewah, namun transaksi itu tidak terindikasi
PMH (Perbuatan Melanggar Hukum), maka pemungutan pajak atas transaksi itu
dioptimalkan.

Kado terbaik peringatan Hari Antikorupsi 2019, adalah pembatasan tunai dengan segera
mensahkan revisi UU No8/2010. (*)

https://www.pajak.go.id/artikel/pembatasan-tunai-dan-pajak

Sri Mulyani Bandingkan Utang RI dengan Malaysia dan Jepang

Sri Mulyani, Menteri Keuangan Republik Indonesia dalam Kabinet Kerja Jokowi Jilid I tahun
2015-2019 dan Jilid II periode 2019-2024. (Instagram@smindrawati)

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan


pembiayaan utang pemerintah pada 2019 telah menembus Rp 300 triliun. Hal tersebut
dikatakan Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen,
Jakarta pada Senin, 4 November 2019.

Data Kementerian Keuangan menunjukkan hingga 30 September 2019, realisasi pembiayaan


utang berada pada angka Rp 317,7 triliun. Angka ini naik 3,7 persen bila dibandingkan
dengan periode yang sama pada tahun lalu yaitu Rp 306,4 triliun.

Sri Mulyani mengatakan, angka tersebut akan terus dijaga pemerintah agar rasio utang tidak
membebani PDB Indonesia. Adapun kisaran rasio utang pemerintah yakni 29,4 - 30,1 persen
dari PDB.

"Rasio utang Indonesia lebih kecil bila dibandingkan dengan Malaysia yaitu 50 persen dari
PDB dan Jepang yang mencapai 200 persen dari PDB," katanya.

Ia melanjutkan, pihaknya juga akan melakukan efisiensi biaya utang. Pengadaan utang oleh
pemerintah akan difokuskan pada utang dengan imbal hasil (yield) dan cost of funds yang
paling kompetitif.
Selain itu, pemerintah juga akan mempertimbangkan produktivitas utang terhadap
perekonomian dunia. Ia mengatakan pemerintah akan memanfaatkan instrumen-instrumen
pembiayaan yang lebih produktif seperti sukuk guna mendukung pembangunan proyek yang
berpotensi mendatangkan keuntungan secara maksimal.

Sri Mulyani menambahkan, pihaknya juga akan terus menjaga komposisi utang valas
dan utang rupiah dalam porsi yang dapat dikendalikan. Hal ini dilakukan dengan
memprioritaskan sumber pembiayaan rupiah dan pendalaman pasar keuangan. "Salah satu
upaya yang akan dilakukan adalah memperbesar Surat Berharga Negara (SBN) ritel,"
katanya.

https://bisnis.tempo.co/read/1268276/sri-mulyani-bandingkan-utang-ri-dengan-malaysia-dan-
jepang/full&view=ok

Kasus Bank Mandiri bikin bank-bank lain waspada

https://keuangan.kontan.co.id/news/kasus-bank-mandiri-bikin-bank-bank-lain-waspada
Senin, 22 Juli 2019 / 18:37 WIB

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Kegagalan sistem IT yang dialami PT Bank Mandiri Tbk


(BMRI) anggota indeks Kompas100 ini, Sabtu (19/7) yang bikin tumpang tindih data nasabah
bikin bank lain meningkatkan kewaspadaan-nya dalam mengelola sistem IT.

Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), anggota indeks Kompas100 ini, Santoso


misalnya mengaku akan terus memastikan keandalan sistem IT perseroan.

“Selama ini tim kami terus memastikan sistem dapat memberikan layanan kepada nasabah.
Tentunya kami juga tetap waspada, dan belajar dari kasus-kasus yang terjadi di bank lain agar
tak terjadi di BCA,” kata Santoso kepada Kontan.co.id, Senin (22/7).

Meski demikian Santoso menambahkan bahwa bank swasta terbesar di tanah air ini memiliki
sistem yang memadai dan andal. Makanya pasca kejadian Bank Mandiri, perseroan tak
melakukan upaya khusus.

Sementara Head of Digital Banking, Branchless & Partnership PT Bank CIMB Niaga Tbk
(BNGA), anggota indeks Kompas100 ini, Bambang Karsono Adi mengatakan sejatinya
industri perbankan pasti memiliki sistem yang memadai terkait keandalan sistem IT.

“Kalau keandalan sistem saya yakin semua bank punya kebijakan yang cukup untuk
memastikan sistem berjalan dengan baik dengan maintenence proses yang dilakukan secara
laik dan terjadwal,” katanya.

Reporter: Anggar Septiadi


Editor: Noverius Laoli

Berburu Pajak di Tengah Geliat Bisnis Fintech


Tuesday, 15 January 2019

https://mucglobal.com/publication/newsletter/read/538/Berburu-Pajak-di-Tengah-Geliat-
Bisnis-Fintech

Oleh: Nendi Bahtiar & Bayu Cahyadiputra

Dewasa ini, layanan keuangan berbasis teknologi atau financial technology (fintech) tumbuh


pesat dan semakin menyemarakan industri keuangan nasional maupun global. Namun,
sejatinya layanan fintech bukanlah hal baru, melainkan respons atas teknologi yang
senantiasa bergerak aktif. Dalam hal ini, teknologi internet menjadi faktor utama yang
mendukung transformasi sistem penyedia jasa keuangan, yang membuat
pelayanan fintech menjadi tanpa batas.

Ragam jasa keuangan yang ditawarkan fintech pun tergolong mirip dengan jasa keuangan
konvensional, mulai dari jasa perbankan, asuransi, investasi, hingga sistem pembayaran.
Perbedaannya adalah fintech memungkinkan pelanggan untuk dapat mengakses seluruh jasa
keuangan tersebut hanya dengan bantuan gawai (gadget). Bahkan pelanggan kini bisa
mendapatkan nasihat keuangan otomatis tanpa harus berinteraksi dengan manusia lain.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendefinisikan fintech sebagai aktivitas pembaruan proses


bisnis, model bisnis, dan instrumen keuangan yang memberikan nilai tambah baru di sektor
jasa keuangan dengan melibatkan ekosistem digital. Ada empat kategori jasa keuangan
berbasis online versi OJK. Pertama, fintech yang bisnis intinya berupa jasa pembayaran
(payment), kliring (clearing), dan penyelesaian (settlement). 

Kedua, fintech yang sifatnya mengumpulkan berbagai informasi pilihan layanan keuangan—


berupa persandingan, mulai dari harga, fitur, hingga manfaat produk keuangan—untuk
kemudian ditawarkan kepada calon konsumen (market aggregator). 

Ketiga, fintech yang berfokus pada manajemen risiko dan investasi dengan mengembangkan


perangkat lunak sistem perencanaan keuangan melalui pemetaan situasi dan kondisi
keuangan berdasarkan informasi dasar yang diinput pengguna.

Keempat, fintech pengepul dana atau pembiayaan melalui aplikasi yang memfasilitasi


interaksi antarindividu yang bertindak sebagai debitur dan kreditur. Fintech jenis ini dikenal
dengan crowd funding dan Peer-to-Peer (P2P) Lending.

Jenis fintech yang terakhir, yakni jasa pinjaman P2P merupakan fintech dengan nilai


transaksi yang cukup signifikan di Indonesia. OJK mencatat nilai penyaluran kredit P2P per
Agustus 2018 mencapai Rp11,68 triliun. Otoritas memprediksi angka penyaluran pembiayaan
industri P2P Lending bakal menembus nominal Rp20 triliun hingga akhir tahun 2018. (Bisnis
Indonesia, Oktober 2018)

Sumber Masalah

Harus diakui bahwa keberadaan fintech memberi banyak manfaat, seperti waktu akses jasa
keuangan yang lebih efektif serta kenyamanan yang dapat disesuaikan dengan mobilitas
pelanggan, sehingga biaya yang dikeluarkan oleh pelanggan maupun penyedia jasa keuangan
menjadi lebih efisien. Walaupun demikian, bukan berarti fintech bebas dari risiko.

Hingga 8 November 2018, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta telah menerima
pengaduan dari 283 debitur pinjaman online terkait berbagai bentuk pelanggaran hukum oleh
penyedia jasa fintech P2P Lending. Bentuk pelanggarannya bermacam-macam, mulai dari
cara penagihan yang tidak beradab hingga penyalahgunaan data pribadi. Sumber masalahnya
adalah bunga tinggi yang membuat nasabah seolah dijebak oleh “rentenir digital” berkedok
P2P Lending.  (CNBC Indonesia, November 2018)

Model bisnis fintech yang berbeda dengan penyedia jasa keuangan konvensional mempersulit


regulator melakukan identifikasi atas hak dan kewajiban yang ditanggung oleh penyedia
layanan tersebut dan pelanggan. Minimnya pertemuan antara pelanggan dan
penyedia fintech membuat keputusan yang diambil pelanggan menjadi rentan terhadap
sengketa akibat asimetri informasi. Selain itu, fintech juga rentan terhadap gangguan, bahkan
penyalahgunaan data dan informasi pribadi karena berbasis teknologi yang dijalankan secara
daring.

OJK telah membuat aturan main bagi para pelaku industri fintech, yang antara lain diatur
dalam POJK Nomor 77/POJK.01/2016 (POJK 77/2016) tentang Layanan Pinjam Meminjam
Uang Berbasis Teknologi Informasi dan POJK Nomor 13/POJK.02/2018 (POJK 13/2018)
tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan. Tujuannya adalah untuk
menciptakan ekosistem yang kondusif di dalam industri keuangan digital serta melindungi
pihak-pihak yang bertransaksi.

Melalui paket regulasi tersebut, OJK secara rinci mengatur profil penyelenggara maupun
penguna. Khusus penyelenggara, OJK masih membatasi status badan hukum hanya yang
berbentuk perseroan terbatas atau koperasi yang dinyatakan sebagai lembaga jasa keuangan
lainnya. Selain bentuk badan hukum, dari sisi kepemilikan pun OJK mewajibkan lembaga
tersebut didirikan atau dimiliki oleh warga negara dan/atau badan hukum asing, dengan porsi
kepemilikan maksimal sebesar 85%.

Selain itu, penyelenggara juga wajib memenuhi Regulatory Sandbox atau program uji coba
sistem dan layanan dengan rentang waktu antara 6-12 bulan sebelum bisnis dioperasikan
secara penuh. Dengan demikian, OJK dapat menilai risiko transaksi dan keandalan proses
bisnis, model bisnis, instrumen keuangan, dan tata kelola penyelenggara.

Terkait pengguna—dalam hal ini adalah penerima dan pemberi pinjaman—OJK


mempersilakan warga negara dan/atau badan usaha asing termasuk lembaga internasional
untuk turut serta menjadi pemberi pinjaman. Namun, penerima pinjaman hanya
diperuntukkan bagi warga negara dan/atau badan hukum yang berasal dan berdomisili di
Indonesia.

Menyoal Pajak
Apabila melihat masifnya pertumbuhan industri fintech, nilai transaksi jasa keuangan
berbasis teknologi sangat signifikan. Pun demikian seharusnya dengan potensi pajak yang
menyertainya.

Untuk P2P Lending, misalnya, potensi pinjaman yang dapat disalurkan nilainya bisa
mencapai Rp2 miliar untuk setiap penerima pinjaman. Apabila memperhitungkan bunga atas
pinjaman, bayangkan berapa besar potensi pajak yang dapat masuk ke kas negara dari bisnis
ini.

Pada prinsipnya, setiap tambahan penghasilan atau kekayaan wajib dikenakan pajak. DJP
dalam berbagai diskusi dengan pelaku industri digital kerap menjabarkan aspek perpajakan
yang melekat terhadap jasa layanan keuangan, tanpa terkecuali fintech. Pendekatan pajak
disesuaikan dengan klasifikasi industri keuangan, yang berdasarkan kajian DJP terdapat lima
jenis aktivitas fintech.

Pertama, fintech jasa pembayaran seperti crowd funding atau P2P Lending. Berdasarkan


ketentuan perpajakan, keuntungan yang didapat dari pelaku bisnis ini seharusnya dikenakan
PPh Pasal 23 sebesar 2% dari total pendapatan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar
10% atas penyerahan jasa.

Kedua, fintech perdagangan software keuangan. Pajak yang menyasar fintech jenis ini adalah


PPN sebesar 10% atas penyerahan barang tidak berwujud.

Ketiga, fintech jasa riset penilaian kredit. Sama halnya dengan sebelumnya, fintech jenis ini
juga dapat dikenakan PPN sebesar 10% atas penyerahan jasa penilaian kredit.

Keempat, fintech di bidang manajemen investasi. Fintech jenis ini dikenakan PPh Pasal 23


sebesar 2% dari total pendapatan dan PPN sebesar 10% atas penyerahan jasa.

Kelima, fintech yang bergerak di bidang jasa keuangan dan asuransi—termasuk tabungan,


pinjaman, dan permodalan—secara umum dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 15% atas
pendapatan yang berasal dari bunga pinjaman, dividen, atau keuntungan lainnya.

Namun, pada hakekatnya Indonesia mengadopsi sistem perpajakan self-assessment. Artinya,


Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri
pajak yang seharusnya terutang. Karenanya, “kepatuhan” Wajib Pajak menjadi kata kunci
dan, untuk itu, himbauan saja tidaklah cukup.

Sayangnya, belum ada regulasi khusus yang mengatur mekanisme pemajakan atas
keuntungan atau penghasilan dari bisnis fintech—utamanya P2P Lending. Karenanya, wajar
jika DJP kesulitan untuk menentukan subjek pajak dan mengidentifikasi pendapatan dari
bisnis pinjaman online di Indonesia.

Ada sejumlah isu yang menjadi tantangan DJP untuk bisa memajaki bisnis fintech. Antara
lain, cara untuk menentukan objek dan subjek pajak, menetapkan tarif pajak yang
proporsional, serta mengenakan pajaknya. Selain itu, ketersediaan data transaksi yang
terbatas dan cara melacak keberadaan pelaku fintech juga menjadi pekerjaan rumah bagi
Fiskus.

Belum lagi cara memetakan media transfer dana dalam transaksi fintech, serta menentukan
metode pemajakan yang berkeadilan.  Itu semua belum masuk pada ranah perpajakan
internasional, yang mana hak pemajakan Indonesia terikat pada Perjanjian Penghindaran
Pajak Berganda (tax treaty).

Sejauh ini, pemerintah berharap adanya kesadaran dan kepatuhan dari para
pegiat fintech untuk menunaikan kewajiban perpajakannya secara baik dan benar. Regulasi
yang dijadikan pemanis untuk merayu Wajib Pajak saat ini baru Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 23 Tahun 2018, yang memberikan fasilitas pajak murah bagi pelaku Wajib Pajak
dengan nilai peredaran bruto tertentu (UMKM) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
Nomor 197 Tahun 2013 tentang batasan pengusaha kecil kena PPN.

Ketika Otoritas Pajak Indonesia masih terpincang-pincang merespons dinamika


bisnis fintech, sejumlah negara di dunia telah lari kencang dengan teknologi dan kebijakan
perpajakannya yang dinamis. Pemerintah Inggris, misalnya, melalui Financial Conduct
Authority (FCA) mereka berupaya untuk mengakomodasi industri ini melalui regulasi terkait
P2P Lending, termasuk soal perpajakannya. Mengacu pada the Introduction of the Innovative
Finance ISA pada April 2016, bunga dan keuntungan P2P Lending dibebaskan dari pajak.
Caranya dengan menambahkan pendapatan bunga yang didapatkan pemberi pinjaman ke
dalam penghasilan kena pajak mereka.

P2P Lending dengan nilai pinjaman £10.000 akan memperoleh pendapatan bunga 10% per
tahun atau £1.000 per tahun. Sehingga, tarif dasar (basic rate) yang harus dibayarkan oleh
Wajib Pajak adalah 20% dari nilai £1.000, atau £200. Tingkat pendapatan bunga yang lebih
tinggi (higher rate) akan membuat Wajib Pajak membayar pajak yang lebih tinggi (40%).
Adapun Wajib Pajak dengan tarif pajak yang lebih tinggi lagi (additional rate) diharuskan
membayar pajak sebesar 45%. Meskipun demikian, Personal Saving Allowance pada bulan
April 2016 memperkenankan Wajib Pajak kecil (lower rate) untuk mendapatkan £1.000
sebagai bunga bebas pajak.

Mekanisme pajak yang demikian, pada prinsipnya, mirip dengan mekanisme pajak orang
pribadi di Indonesia. Pendapatan dari P2P Lending diklasifikasikan sebagai penghasilan lain-
lain yang secara otomatis menaikkan jumlah pendapatan kotor WP. Namun, untuk kasus
P2P Lending, Indonesia belum memiliki dasar hukum untuk mengenakan pajak atas
penghasilan tersebut. Walhasil, P2P Lending masih menjadi pekerjaan rumah yang harus
diselesaikan oleh Otoritas Pajak Indonesia.
Kemenkeu Prediksi Penerimaan Pajak 2019 Tak Capai Target

https://www.liputan6.com/bisnis/read/4104214/sepanjang-2018-pemerintah-klaim-berikan-
insentif-hingga-rp-220-triliun

Liputan6.com

16 Jul 2019, 20:40 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memperkirakan


penerimaan pajak untuk keseluruhan tahun 2019 tidak akan bisa mencapai target. Diketahui
target yang dipatok dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 sebesar
Rp 1.577,56 triliun.

Direktur Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Robert Pakpahan mengatakan,


kekurangan penerimaan pajak atau shortfall hingga akhir tahun diperkirakan mencapai Rp
140 triliun.

Dia menjelaskan, untuk penerimaan pajak hingga akhir tahun hanya akan mencapai 91 persen
dari target dengan pertumbuhan hanya sebesar 9,5 persen dari tahun lalu. Padahal,
pertumbuhan penerimaan pajak tahun lalu bisa mencapai 14,3 persen meski hanya 92 persen
dari target.

"Outlook perpajakan DJP dan DJBC kan 91 persen, shortfall kurang lebih Rp 143 triliun,
khususnya DJP outlook-nya 91,1 persen dari target. Shortfall diperkirakan 140 triliun," kata
dia, saat ditemui, di Kompleks DPR RI, Jakarta, Selasa (16/7).

Dia menjelaskan shortfall lebih disebabkan karena adanya penurunan drastis harga komoditas


pada tahun ini. "Penyebabnya harga komoditas yang turun, kurs tidak selemah yang diduga,
impor turun cukup drastis, restitusi dipercepat juga kita berikan,"

Sebagai informasi, penerimaan pajak hingga Semester I 2019 baru mencapai Rp 603,34
triliun, atau 38,25 persen dari target APBN 2019. Sementara itu, prediksi realisasi total
penerimaan pajak hingga akhir 2019 hanya Rp 834,1 triliun, yang setara 91 persen dari
target. 

Penerimaan pajak yang berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) hingga Semester I 2019 tercatat
baru mencapai Rp 376,32 triliun atau tumbuh 4,71 persen dari tahun lalu. Rinciannya, PPh
Migas baru mencapai Rp 30,16 triliun atau tumbuh 0,31 persen, serta PPh Nonmigas Rp
346,16 triliun atau 5,11 persen.

Sementara itu, Pajak Pertambahan Nilai atau PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPnBM) baru mencapai Rp 212,32 triliun dengan pertumbuhan negatif 2,66 persen dari
tahun lalu. Sementara Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan lainnya baru mencapai Rp 14,7
triliun atau tumbuh 265,81 persen.

Reporter: Wilfridus Setu Embu


Sumber: Merdeka.com

2 dari 4 halaman

Target Rasio Penerimaan Pajak di 2020 Turun

Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Jazilul Fawaid
mengatakan target rasio penerimaan pajak pada 2020 sebesar 10,6 hingga 11,2 persen.
Artinya, target tersebut turun jika dibandingkan dengan target tahun ini sebesar 12,2 persen.

"Tahun 2020, rasio penerimaan perpajakan diupayakan dapat mencapai 10,6 persen hingga
11,2 persen terhadap PDB," ujar Jazilul dalam rapat paripurna DPR bersama pemerintah di
Gedung DPR, Jakarta, Selasa (9/7/2019).

Target tersebut telah disetujui bersama pemerintah untuk kembali dibahas dalam rapat kerja
sampai diputuskan dalam nota keuangan di Agustus mendatang.

"Terget ini dengan tetap mempertimbangkan capaian realisasi perpajakan tahun sebelumnya
dan kondisi perekonomian terkini," jelasnya.

Kebijakan umum perpajakan tahun 2020 akan dilakukan dalam rangka mendorong
peningkatan rasio penerimaan perpajakan dengan tetap memberi insentif fiskal untuk daya
saing dan investasi, melalui pemberian insentif, optimalisasi penerimaan dan menyelaraskan
peraturan.

"Insentif perpajakan yang tepat untuk meningkatkan investasi, daya saing, dan kualitas SDM
dengan memberikan dorongan kepada sektor usaha yang berorientasi ekspor, sektor usaha
hulu, dan terciptanya hilirisasi industri. Insentif perpajakan juga diberikan melalui perluasan
tax holiday dan investment allowance pada industri dan kawasan tertentu," jelas Ketua
Banggar DPR itu.

3 dari 4 halaman

Sri Mulyani Ingin Bayar Pajak Semudah Beli Pulsa

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan) bersama Gubernur BI Perry Warjiyo
mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta,
Senin (17/6/2019). Raker tersebut membahas mengenai asumsi dasar makro dalam RAPBN
2020. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menginginkan cara pembayaran pajak lebih mudah


dibandingkan membeli pulsa telepon. Hal ini dalam rangka mendorong peningkatan tax ratio.
Menurutnya, sistem pembayaran pajak yang mudah akan membuat wajib pajak lebih patuh.

"Kepatuhan perpajakan adalah fungsi dari mudahnya membayar pajak. Saya bilang sama Pak
Robert dan timnya. Saya ingin membayar pajak lebih mudah dari beli pulsa telepon, kalau
beli pulsa dalam semenit kita bisa pakai mobile banking harusnya bayar pajak lebih mudah
lagi," ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, Senin (17/6/2019).
Sri Mulyani mengatakan, penyederhanaan pembayaran pajak menjadi kunci penting dalam
meningkatkan tax ratio. Tidak hanya itu, pengawasan dan penegakan hukum juga tidak kalah
penting untuk terus ditingkatkan.

"Makanya reform di bidang administrasi dan proses itu menjadi penting, bagaimana
disederhanakan, bagaimana proses untuk complience, pembayaran. Di luar itu kami tetap
melakukan enforce complience. Terutama pengawasan dan penegakan hukum namun ini
dilakukan berdasarkan risiko dari penerimaan perjalanan dan profil dari tax payer," paparnya.

Sementara itu, dari sisi penyederhanaan administrasi perpajakan, Kementerian Keuangan


melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Bea dan Cukai sudah melakukan
berbagai terobosan. Satu di antaranya melalui optimalisasi penyampaian informasi melalui
media digital.

"Terobosan dari sisi administrasi perpajakan, ini adalah 3 hal termasuk optimalisasi media
digital, mobile tax unit kita perbaiki bisnis prosesnya, dan juga perbaikan dalam pembayaran
pajak atau tax," tandasnya.

Anda mungkin juga menyukai