Anda di halaman 1dari 63

5

Kehidupan yang Pertama:


Hukum Alam atau Keagungan Ilahi?
“Allah tidak pernah melakukan mukjizat untuk meyakinkan kaum ateis,
karena hasil karya-Nya yang biasa saja telah menyediakan cukup bukti.”
––Ariel roth

Buang Sampahnya––mama
Johnny, seorang remaja berumur enam belas tahun keluar dari kamarnya di
lantai dua dan berlari kecil ke dapur untuk makan sereal favoritnya—Alpha-
Bits. Ketika ia sampai di meja makan, ia terkejut melihat kotak serealnya sudah
terguling, dan abjad sereal Alpha-Bits berbunyi “BUANG SAMPAHNYA––
MAMA” ada di atas alas makan.
Johnny mengingat kembali pelajaran di kelas Biologi baru-baru ini,
ia tidak menghubungkan pesan itu dengan ibunya. Lagi pula, ia baru saja
diajarkan bahwa hidup ini hanyalah produk hukum alam yang tidak berakal
budi. Jika demikian, pikir Johnny, bukankah pesan singkat seperti “Buang
sampahnya––Mama” merupakan hasil dari hukum alam juga? Mungkin
saja seekor kucing menyenggol kotak sereal itu, atau ada gempa bumi yang
mengguncang rumahnya. Tidak perlu menyimpulkan apa pun. Lagi pula
Johnny tidak mau membuang sampah. Ia tidak punya waktu untuk melaku-
kan tugas yang tidak penting itu. Ini kan liburan musim panas, dan ia ingin
pergi ke pantai. Mary juga akan ke sana.
Karena Scott juga menyukai Mary, Johnny ingin sampai di pantai lebih
awal untuk mengalahkan Scott. Tetapi sesampainya Johnny di sana, ia melihat
Mary dan Scott sedang berjalan di pinggir pantai sambil bergandengan
tangan. Sembari mengikuti mereka dari kejauhan, Johnny menunduk dan
melihat sebuah gambar hati di pasir dengan tulisan “Mary cinta Scott” di
tengahnya. Sesaat, Johnny merasa hancur. Tetapi ingatan akan kelas Biologi
menyelamatkannya dari rasa sakit hati. “Mungkin ini cuma contoh lain dari
hukum alam yang sedang berlangsung!” pikirnya. “Mungkin saja ada kepiting
126 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst

atau ombak aneh yang membuat tulisan cinta ini secara alami.” Tidak masuk
akal jika ia harus menerima kesimpulan yang tidak ia sukai! Johnny harus
mengabaikan bukti yang ia lihat bahwa mereka berdua sedang bergandengan
tangan.
Terhibur oleh fakta bahwa prinsip-prinsip yang ia pelajari di kelas Biologi
dapat membantunya menghindari kesimpulan yang tidak ia sukai, Johnny
memutuskan untuk berbaring sejenak sambil berjemur. Saat ia meletakkan
kepalanya di atas handuk, ia melihat sebuah pesan di langit: “Minumlah
Soda”, tulisan putih yang menggelembung dengan latar belakang langit biru.
“Bentuk awan yang aneh?” pikir Johnny. “Karena tiupan angin, mungkin?”
Tidak, Johnny tidak dapat mengelak lagi. “Minumlah Soda” adalah hal
yang nyata. Pesan seperti itu jelas merupakan tanda adanya makhluk berakal
budi. Tidak mungkin pesan itu berasal dari kekuatan alam karena kuasa
alam tidak pernah teramati dapat menulis pesan. Meskipun ia tidak melihat
ada pesawat terbang, Johnny tahu, tadi baru saja ada skywriter di atas sana.
Selain itu, ia ingin memercayai pesan ini––matahari yang terik membuatnya
kepanasan dan haus akan Soda.

Kehidupan yang Sederhana? TidaK ada hal Semacam iTu!


Seseorang harus berlagak pilon atau buta agar dapat mengatakan bahwa pesan
seperti “Buang sampahnya––Mama” dan “Mary cinta Scott” adalah hasil
karya dari hukum alam. Tetapi kesimpulan ini benar-benar konsisten dengan
prinsip-prinsip yang diajarkan dalam mata pelajaran Biologi di hampir seluruh
sekolah menengah atas dan kampus-kampus hari ini. Itulah tempatnya para
ahli biologi naturalistik mengklaim secara dogmatis bahwa pesan-pesan yang
jauh lebih rumit adalah hasil dari hukum alam yang tidak berakal. Mereka
membuat klaim ini untuk menjelaskan asal muasal kehidupan.
Ahli biologi yang naturalistik menekankan bahwa kehidupan dihasilkan
secara spontan dari unsur-unsur kimia tidak hidup (non-living) tanpa campur
tangan dari pribadi cerdas. Teori seperti itu tampaknya masuk akal bagi
ilmuwan abad XIX yang saat itu belum mengenal teknologi untuk menyelidiki
sel dan menemukan kerumitannya yang luar biasa. Tetapi di masa kini, teori
naturalistik ini ada di dalam segala hal yang kita tahu mengenai hukum alam
dan sistem biologis.
Sejak tahun 1950-an, teknologi yang semakin berkembang telah memung-
kinkan para ilmuwan menemukan dunia kecil dari Desain yang mengagumkan
dan kerumitan yang menakjubkan. Pada saat yang sama, teleskop kita mampu
Kehidupan yang Pertama: Hukum Alam atau Keagungan Ilahi? 127

melihat jauh ke luar angkasa, mikroskop yang kita miliki juga lebih tajam
yang memungkinkan kita melihat ke dalam komponen-komponen kehidupan.
Ketika penyelidikan antariksa telah menghasilkan Prinsip Antropik fisika
(yang akan kita diskusikan dalam bab terakhir), penyelidikan kehidupan juga
menghasilkan Prinsip Antropik biologi yang sama hebatnya.
Untuk menunjukkan maksud kami, mari perhatikan kehidupan “seder-
hana”––dari binatang bersel satu yang dikenal sebagai ameba. Kaum evo-
lusionis naturalis mengklaim bahwa ameba bersel satu ini (atau sesuatu yang
seperti itu) dihasilkan dari generasi spontan (contohnya, tanpa intervensi dari
pribadi cerdas) di sebuah kolam kecil yang hangat di suatu tempat pada zaman
awal terbentuknya bumi. Menurut teori mereka, semua kehidupan biologis
telah berevolusi dari ameba pertama tadi tanpa bimbingan pribadi cerdas
sama sekali. Tentu saja ini merupakan teori makroevolusi: Dari makhluk
bersel satu, menjadi reptil, menjadi manusia; atau dari goo (cairan lengket)
menjadi you (Anda) melalui zoo (kebun binatang).
Orang-orang yang percaya pada teori ini disebut dengan banyak nama:
evolusionis naturalis, materialis, humanis, ateis, dan Darwinis (dalam sisa bab
ini dan bab selanjutnya, kami akan menyebut penganut teori evolusi ateistik
ini sebagai kaum Darwinis atau ateis. Ini tidak termasuk orang-orang yang
percaya evolusi teistik––yaitu penganut yang percaya bahwa evolusi diatur
oleh Tuhan). Tanpa menghiraukan sebutan kami atas penganut teori ini,
pertanyaan kunci kita adalah: “Apakah teori ini benar?” Tampaknya tidak.
Lupakan prasangka kaum Darwinis mengenai manusia yang berasal
dari kera atau burung yang berevolusi dari reptil. Masalah terbesar kaum
Darwinis bukanlah mengenai cara menjelaskan bagaimana semua bentuk
kehidupan dapat saling berhubungan (meskipun, seperti yang akan kita lihat
di bab selanjutnya, hal itu masih menuai kontroversi). Masalah terbesar kaum
Darwinis adalah penjelasan mengenai asal mula kehidupan yang pertama. Agar
teori makroevolusi naturalis yang tanpa campur tangan pribadi cerdas dapat
menjadi benar, kehidupan yang pertama harus berasal dari unsur kimia yang
tidak hidup secara spontan. Sayangnya, bagi kaum Darwinis––kehidupan
pertama––memang bentuk kehidupan––bukan berarti “sederhana.” Hal ini
menjadi amat jelas di tahun 1953, ketika James Watson dan Francis Crick
menemukan DNA (deoxyribonucleic acid), unsur kimia yang berisi instruksi
untuk membangun dan meniru semua mahkluk hidup.
128 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst

DNA memiliki struktur mengulir yang berbentuk seperti tangga berputar.


Bagian sisi tangga itu dibentuk oleh molekul deoksiribos dan fosfat yang
berselang-seling, dan bagian anak tangganya terdiri dari susunan empat dasar
nitrogen yang spesifik. Unsur nitrogen ini adalah adenine, thymin, cytosine
dan guanine, yang secara umum disimbolkan dengan huruf A, T, C, dan G.
Huruf-huruf ini dikenal sebagai empat huruf genetik. Abjad ini sama dengan
abjad dalam bahasa kita dalam hal kemampuannya untuk mengomunikasikan
sebuah pesan, kecuali bahwa abjad genetik ini hanya memiliki empat huruf
dan bukan dua puluh enam.1 Sama seperti urutan khusus dari huruf-huruf
dalam kalimat ini yang mengisyaratkan pesan yang unik, urutan khusus dari
abjad A, T, C, dan G dalam sel yang hidup menentukan rancangan genetik
yang unik dari entitas yang hidup itu. Istilah lain untuk pesan atau informasi
itu, entah di dalam sebuah kalimat atau susunan DNA, adalah “kerumitan
yang spesifik.” Dengan kata lain, DNA itu tidak hanya kompleks tetapi juga
mengandung pesan khusus.
Kerumitan spesifik yang luar biasa dari kehidupan itu menjadi amat jelas
ketika seseorang mengetahui pesan yang ditemukan dalam DNA seekor ameba
bersel satu (sebuah makhluk yang amat sangat kecil, beberapa ratus ameba
yang dijejerkan ukurannya hanya satu inci). Seorang Darwinis yang setia
bernama Richard Dawkins, profesor zoologi di Oxford University, mengakui
bahwa pesan yang terdapat pada nukleus seekor ameba lebih banyak dari
ketiga puluh jilid Encyclopedia Britannica yang disatukan, dan keseluruhan
komponen ameba memiliki informasi dalam DNA-nya setara dengan 1.000
jilid lengkap Encyclopedia Britannica!2 Dengan kata lain, seandainya Anda
mengeja semua A, T, C, dan G dalam “ameba yang secara tidak adil disebut
‘primitif ’” (seperti yang dijelaskan Dawkins), huruf itu akan memenuhi 1.000
jilid ensiklopedia!
Nah, sekarang kita harus menekankan bahwa keseribu ensiklopedia ini
tidak terdiri dari huruf yang acak tetapi huruf dalam urutan yang spesifik,
sama seperti ensiklopedia betulan. Jadi pertanyaan kunci untuk kaum
Darwinis seperti Dawkins: Jika pesan sederhana seperti “Buang sampahnya
––Mama,” “Mary cinta Scott,” dan “Minumlah Soda” membutuhkan sosok
berakal budi, mengapa tidak demikian dengan pesan yang sama dengan 1.000
ensiklopedia?
Kaum Darwinis tidak dapat menjawab pertanyaan dengan menunjukkan
cara kerja hukum alam. Sebaliknya, mereka membuat aturan sains yang amat
dangkal yang terlebih dahulu menyingkirkan peran pribadi berakal budi, dan
Kehidupan yang Pertama: Hukum Alam atau Keagungan Ilahi? 129

hanya menyatakan bahwa hukum alam sajalah yang berkuasa. Sebelum kita
menjelaskan bagaimana dan mengapa kaum Darwinis melakukannya, mari
kita lihat prinsip-prinsip ilmiah yang akan digunakan untuk menemukan
bagaimana kehidupan pertama dimulai.

menyelidiKi aSal mula Kehidupan yang perTama


Banyak evolusionis, begitu juga kreasionis yang seolah-olah benar-benar tahu
bagaimana kehidupan yang pertama muncul. Tentu saja mereka tidak bisa
benar kedua-duanya. Jika salah satu benar, maka yang lainnya salah. Jadi
bagaimana caranya agar kita mengetahui siapa yang benar?
Faktanya sangat amat gamblang, tetapi sering kali diabaikan: Tidak ada
manusia yang telah menyelidiki asal mula kehidupan yang pertama. Peristiwa
historis, munculnya kehidupan pertama di bumi hanya terjadi sekali saja dan
tidak dapat terulang. Tidak ada satu pun manusia––baik kaum evolusionis
ataupun kreasionis yang pernah hadir dan menyaksikannya, dan kita tentu
saja tidak dapat memutar kembali masa lalu dan menyelidiki secara langsung
apakah kehidupan yang pertama diciptakan oleh seorang pribadi supercerdas
atau oleh hukum alam dari benda mati.
Hal ini memicu satu pertanyaan penting: jika kita tidak dapat menyelidiki
masa lalu secara langsung, maka prinsip ilmiah manakah yang dapat kita
gunakan untuk membantu menemukan penyebab kehidupan pertama?
Kita menggunakan prinsip yang sama yang digunakan setiap hari dalam
sistem pengadilan kriminal––yaitu prinsip forensik. Dengan kata lain,
asal mula kehidupan merupakan pertanyaan forensik yang mengharuskan
kita menyusun bukti seperti seorang detektif yang menyusun bukti pem-
bunuhan. Detektif tidak dapat kembali ke masa lalu dan menyaksikan sen-
diri peristiwa pembunuhan itu. Mereka juga tidak dapat menghidupkan
kembali korbannya dan melakukan sejumlah eksperimen di laboratorium
yang memampukan mereka meneliti dan mereka-ulang tindak kriminal itu
lagi dan lagi. Sebaliknya, mereka harus menggunakan prinsip sains forensik
untuk memahami kejadian sebenarnya.
Prinsip utama dalam sains forensik adalah Prinsip Uniformitas (Kesera-
gaman), yang mengatakan bahwa penyebab di masa lalu adalah penyebab
yang sama yang sedang kita selidiki sekarang. Dengan kata lain, dengan
Prinsip Uniformitas, kita berasumsi bahwa di masa lalu dunia bekerja dengan
cara yang sama seperti dunia di masa sekarang, terutama yang terkait dengan
penyebab. Jika pesan “Buang sampahnya––Mama” membutuhkan adanya
130 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst

pribadi berakal budi di masa kini, maka pesan yang serupa di masa lalu juga
pasti membutuhkan penyebab berupa pribadi berakal budi. Sebaliknya, jika
hukum alam berlaku di masa kini, maka Prinsip Uniformitas akan membuat
kita menyimpulkan bahwa hukum alam juga melakukan tugasnya di masa
lalu.
Perhatikan Grand Canyon. Apa yang menyebabkan Grand Canyon
ada? Apakah ada orang yang melihatnya terbentuk? Tidak, tetapi dengan
Prinsip Uniformitas kita dapat menyimpulkan bahwa proses-proses alam,
khususnya erosi air, merupakan penyebab adanya Grand Canyon. Kita dapat
dengan yakin menyimpulkan, meskipun kita tidak ada di sana saat peristiwa
itu terjadi, karena kita dapat meneliti proses alam yang menciptakan ngarai-
ngarai atau tebing dan jurang-jurang yang ada sekarang. Kita melihat hal ini
di alam ketika kita meneliti efek yang dihasilkan air atas daratan yang luas.
Kita bahkan melakukannya di laboratorium dan berulang kali menuangkan
air ke tengah-tengah setumpuk tanah, dan kita akan selalu mendapatkan
ngarai atau jurang.
Sekarang perhatikan formasi geologis lainnya: Gunung Rushmore. Apa
yang menyebabkan gunung itu ada? Akal sehat mengatakan, tidak mungkin
wajah para presiden di gunung itu adalah hasil hukum alam. Erosi tidak dapat
melakukannya. “Akal sehat” kita sebenarnya merupakan Prinsip Uniformitas.
Karena kita tidak pernah meneliti hukum alam yang dapat memahat kepala
presiden dengan begitu mendetail di atas batu pada masa kini, kita dapat
menyimpulkan bahwa hukum alam juga tidak dapat melakukannya di masa
lalu. Kini kita melihat bahwa hanya pribadi cerdas yang mampu menciptakan
pahatan sedetail itu. Jadi, kita dapat menyimpulkan bahwa di masa lalu hanya
pribadi berakal budi (seorang pemahat) yang dapat mengkreasikan wajah-
wajah di Gunung Rushmore.
Dengan cara yang sama, ketika kita melihat kehidupan bersel satu yang
pertama, Prinsip Uniformitas mengatakan bahwa hanya penyebab berakal budi
yang dapat menyusun sesuatu yang setara dengan 1.000 ensiklopedia. Hukum
alam tidak pernah terbukti dapat menciptakan pesan sederhana seperti
“Minumlah Soda,” apalagi pesan yang setara dengan 1.000 ensiklopedia.
Jika demikian mengapa kaum Darwinis menyimpulkan bahwa kehidupan
yang pertama dibentuk secara spontan dari unsur kimia yang tidak hidup
tanpa campur tangan makhluk berakal budi? Generasi spontan yang ada
dalam kehidupan tidak pernah diteliti sebelumnya. Sejak Pasteur mensterilkan
tabung-tabungnya, salah satu penelitian paling mendasar dalam sains
Kehidupan yang Pertama: Hukum Alam atau Keagungan Ilahi? 131

adalah bahwa kehidupan muncul dari kehidupan yang sama yang sudah
ada. Para ilmuwan tidak mampu mencampurkan unsur-unsur ke dalam
tabung percobaan dan menghasilkan molekul DNA, apalagi kehidupan.3
Nyatanya, semua eksperimen yang dirancang untuk menghasilkan kehidupan
yang spontan––termasuk eksperimen Urey Miller [yang tidak dipercaya
lagi]––tidak hanya telah gagal tetapi juga tidak memiliki aplikasi yang
sah dari pribadi berakal budi.4 Dengan kata lain, dengan cerdas akal budi
para ilmuwan telah melakukan eksperimen dan mereka masih tidak dapat
melakukan apa yang dikatakan telah dilakukan hukum alam yang tidak berakal
budi. Mengapa kita harus percaya bahwa proses-proses yang tidak berakal
budi dapat melakukan hal yang tidak mampu dilakukan para ilmuwan?
Dan meskipun para ilmuwan akhirnya dapat menciptakan kehidupan dari
laboratorium, hal itu akan menunjukkan bukti penciptaan. Kenapa? Karena
usaha mereka akan menunjukkan bahwa butuh kecerdasan untuk mencipta-
kan kehidupan.
Apakah kaum Darwinis menekankan generasi spontan karena mereka
tidak melihat bukti penciptaan? Sama sekali tidak. Justru, sebaliknyalah
yang benar––mereka melihat bukti dengan jelas! Sebagai contoh, Richard
Dawkins menamai bukunya The Blind Watchmaker untuk merespons argu-
men penciptaan yang dikemukakan William Paley yang kami kutip di bab
terakhir. Munculnya Desain kehidupan diakui dalam halaman pertama The
Blind Watchmaker. Dawkins mencatat, “Biologi merupakan kajian rumit yang
menunjukkan bahwa sesuatu telah dirancang untuk sebuah alasan.”5 Dua
halaman selanjutnya, meskipun ia mengakui adanya “arsitektur yang rumit
dan teknik yang presisi” di dalam kehidupan manusia dan di setiap triliunan
sel dalam tubuh manusia, Dawkins dengan enteng menolak bahwa kehidupan
manusia atau kehidupan lainnya telah diciptakan. Rupanya Dawkins tidak
mengizinkan adanya penelitian yang mengganggu kesimpulannya. Hal ini
amat aneh bagi seorang pria yang percaya pada supremasi sains yang seha-
rusnya berpijak pada penelitian.
Francis Crick, salah seorang penemu DNA dan penganut Darwinis yang
berapi-api, setuju dengan Dawkins mengenai hadirnya Desain. Fakta adanya
Desain begitu gamblang sehingga ia memperingatkan bahwa “ahli biologi harus
terus ingat bahwa apa yang mereka lihat tidak dirancang, tetapi berevolusi.”6
Pesan singkat Crick kepada ahli biologi membuat Phillip Johnson, seorang
penulis buku dan juga pemimpin pergerakan Intelligent Design (ID) menilai,
“Ahli biologi Darwinian harus terus menerus memperingatkan diri mereka
132 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst

sendiri, karena jika tidak, mereka akan menyadari kenyataan yang sedang
memelototi dan berusaha menarik perhatian mereka.”7
Kompleksitas DNA bukanlah satu-satunya masalah bagi kaum Darwinis.
Asal mula DNA juga merupakan masalah bagi mereka. Dilema ayam-telur
yang sulit muncul karena DNA bergantung pada protein agar dapat dihasilkan,
tetapi protein juga bergantung pada DNA. Kalau begitu, yang mana yang
ada lebih dulu, protein atau DNA? Yang satu harus ada terlebih dulu agar
yang lainnya dapat dibuat.
Jadi mengapa Crick, Dawkins, dan kelompok lainnya mengabaikan
implikasi yang sudah jelas atas bukti yang ada di hadapan mereka? Karena
ideologi mereka yang sudah terbentuk sebelumnya, yaitu naturalisme,
membutakan mereka untuk mempertimbangkan adanya penyebab cerdas.
Seperti yang kita lihat, ini merupakan sains yang buruk dan mengarah pada
kesimpulan yang salah.

SainS yang BaiK vS. SainS yang BuruK


Banyak orang yang percaya bahwa perdebatan mengenai hal yang disebut-
sebut sebagai kreasi-evolusi (sekarang sering disebut sebagai perdebatan desain
intelgen vs. naturalisme) memicu perang antara agama dan sains, Alkitab
dan sains, atau iman dan akal sehat. Persepsi ini terus menerus digaungkan
oleh media, yang secara konsisten menggambarkan debat itu seperti film
tahun 1960 berjudul Inherit the Wind, yang menceritakan kisah fiksi Scopes
tahun 1925 yaitu “monkey trial” (pengadilan monyet). Anda pasti tahu
gambarannya. Intinya seperti ini: Para fundamentalis agama yang gila itu
berulah lagi, dan mereka hendak memaksakan agama dogmatis mereka dan
mengabaikan sains yang objektif.
Sebenarnya, tidak ada yang dapat dipisahkan dari kebenaran. Perdebatan
mengenai kreasi-evolusi bukanlah tentang agama versus sains atau Alkitab
versus sains––itu semua mengenai sains yang baik versus sains yang buruk.
Oleh karena itu, perdebatannya bukanlah tentang iman versus akal sehat––
tetapi mengenai iman yang masuk akal versus iman yang tidak masuk akal.
Mungkin Anda akan kaget melihat siapa yang menerapkan sains yang buruk,
dan siapa yang memiliki iman yang tidak masuk akal.
Seperti yang sudah kita sebutkan sebelumnya, sains merupakan proses
pencarian penyebab. Secara logika, hanya ada dua jenis penyebab: Pribadi
berakal budi dan tidak berakal budi (contohnya alam). Grand Canyon memi-
liki penyebab alam, dam Gunung Rushmore memiliki penyebab berakal
Kehidupan yang Pertama: Hukum Alam atau Keagungan Ilahi? 133

budi (lih. Gbr. 5.1). Sayangnya, untuk pertanyaan mengenai kehidupan


yang pertama, kaum Darwinis seperti Dawkins dan Crick menghilangkan
penyebab berakal budi sebelum mereka melihat bukti. Dengan kata lain,
kesimpulan mereka sudah mendahului asumsi mereka. Generasi spontan
dari hukum alam harus menjadi penyebab kehidupan karena mereka tidak
memiliki pilihan lain.

Dua Jenis Penyebab

Pribadi Berakal Budi Alam

Gunung Rushmore Grand Canyon

Gambar 5.1

Generasi spontan adalah hal yang disebut para kritikus evolusi sebagai
cerita yang “tampak cocok persis.” Evolusionis tidak menyajikan bukti untuk
mendukung teori mengenai generasi spontan. Teori itu tidak didukung
dengan penyelidikan empiris atau prinsip-prinsip sains yang forensik.
Semua itu “tampak cocok persis” karena kehidupan, dan karena penyebab
yang berakal budi sudah dikesampingkan sebelumnya, maka tidak ada lagi
penjelasan lain yang memungkinkan.
Masalah kaum Darwinis ini amat besar. Ahli biokimia Klaus Dose
mengakui bahwa penelitian yang dilakukan selama lebih dari tiga puluh tahun
mengenai asal mula kehidupan telah mengarah pada “persepsi yang lebih baik
mengenai besarnya masalah asal mula kehidupan di Bumi, daripada solusi.
Saat ini, semua diskusi mengenai teori dasar dan eksperimen di lapangan telah
menemui jalan buntu atau terabaikan.”8 Francis Crick mengeluh, “Setiap kali
saya menulis laporan mengenai asal muasal kehidupan, saya bersumpah tidak
134 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst

akan menulis laporan ini lagi, karena melibatkan terlalu banyak spekulasi
dan terlalu minimnya fakta.”9
Bukti adanya pribadi berakal budi begitu kuat dan amat bertentangan
dengan naturalisme sehingga tokoh-tokoh evolusi terkemuka berpendapat
bahwa alien-lah yang menyebabkan kehidupan di bumi ini. Fred Hoyle
(evolusionis yang juga memperkenalkan Steady State Theory yang kita bahas
di bab 3) menciptakan teori yang amat aneh (yang disebut “panspermia” yang
artinya “benih tersebar di mana-mana”) setelah memperhitungkan probabi-
litas tentang munculnya kehidupan dari generasi spontan yang secara efektif
adalah nol (Tentu saja panspermia tidak menyelesaikan masalah––justru
memicu pertanyaan lain: siapa yang menciptakan alien-alien cerdas?).
Sama gilanya dengan teori itu, setidaknya para pendukung teori pan-
spermia mengetahui bahwa sesosok pribadi berakal budi adalah penyebab
keajaiban kehidupan. Tetap saja, para evolusionis terkemuka harus berpegang
pada alien untuk menjelaskan asal mula kehidupan, Anda tahu hidup yang
paling sederhana saja sudah amat sangat kompleks.
Pendukung panspermia lainnya, Chandra Wickramasinghe, mengakui
bahwa kaum Darwinis bertindak berdasarkan iman yang buta ketika berbicara
dengan generasi spontan. Ia menyelidiki, “Munculnya kehidupan di Bumi
dari zaman purba, hanya semata-mata masalah iman yang amat susah
dipahami para ilmuwan. Tidak ada bukti eksperimen yang dapat mendukung
hal ini sekarang. Memang benar, bahwa semua usaha untuk menciptakan
kehidupan dari benda mati, mulai dari Pasteur, tidak pernah berhasil.”10
Ahli mikrobiologi Michael Denton, meskipun seorang ateis, menambahkan,
“Kerumitan dari sel yang paling sederhana benar-benar luar biasa sehingga
kita tidak mungkin mengakui bahwa objek seperti itu dihasilkan dari kejadian
yang aneh dan mustahil. Peristiwa seperti itu tidak dapat dibedakan dengan
mukjizat.”11
Sehubungan dengan penjelasan yang “tampak cocok persis” seperti
generasi spontan dan panspermia, menurut Anda siapa yang menerapkan sains
yang buruk: orang-orang yang diejek sebagai “kaum religius” (teis/ kreasionis)
atau “kaum yang diberi pencerahan” (ateis/ Darwinis) yang sebenarnya
sama religiusnya dengan “kaum religius?” Ahli fisika dan informasi, Hubert
Yockey menyadari bahwa jawabannya adalah kaum Darwinis. Ia mencatat,
“Keyakinan bahwa kehidupan di bumi ada dengan spontan dari benda mati
hanyalah masalah iman yang dangkal dan berdasarkan ideologi semata.”12
Kehidupan yang Pertama: Hukum Alam atau Keagungan Ilahi? 135

Yockey benar. Kaum Darwinis dengan keliru percaya bahwa mereka


dapat menurunkan nilai kehidupan menjadi sekadar komponen kimia yang
tidak hidup. Itulah ideologi reduksionisme. Untuk kaum Darwinis seperti
Dawkins atau Crick yang harus percaya bahwa hanya materi saja yang eksis
(dan hal yang nonmateri tidak), maka hidup hanyalah sekadar bahan kimia.
Tetapi jelas sekali bahwa kehidupan ini lebih dari sekadar unsur kimia. Hidup
ini mengandung pesan atau kode––DNA––yang diekspresikan dalam unsur
kimia, tetapi kode kimia itu tidak lebih dari sekadar rumus kimia di atas
kertas daripada pesan yang tertulis di halaman ini. Sebuah pesan mengacu
pada sesuatu yang melampaui unsur-unsur kimia. Pesan di dalam kehidupan,
sama seperti yang ada di dalam halaman ini, mengacu kepada sosok pribadi
berakal budi yang melampaui unsur kimia itu (Kita menyadari bahwa hidup
ini jelas lebih dari sekadar unsur kimia dengan rumus tertentu, tetapi poin
utamanya di sini adalah bahwa hidup ini tidak hanya itu saja).
Jadi dengan kesetiaan yang buta terhadap ideologi naturalis yang eduk-
sionis ini––yang bertolak belakang dengan semua penyelidikan dan akal
sehat––kaum Darwinis secara dogmatis menekankan bahwa kehidupan
muncul secara spontan dari komponen kimia yang mati. Ironisnya, inilah
yang selama ini ditentang kaum Darwinis––yaitu mengizinkan ideologi
mereka mengesampingkan observasi dan akal sehat. Kenyataannya, kaum
Darwinislah yang mengizinkan iman mereka mengesampingkan observasi dan
akal sehat. Para pendukung Kreasionis dan Desain Inteligen telah membuat
kesimpulan yang rasional dari bukti yang ada. Mereka mengikuti ke mana
bukti itu memimpin mereka––kembali ke penyebab berakal budi.
Yockey bukanlah satu-satunya orang yang menunjukkan bahwa kaum
Darwinis memiliki bias filosofis terhadap penyebab inteligen. Phillip Johnson
menjadi ujung gergaji tajam yang kini memotong kayu naturalisme dalam
komunitas sains. Dengan tepat ia mengoreksi bahwa “Darwinisme bertumpu
pada komitmen a priori (terlebih dahulu) dalam materialisme, bukan berda-
sarkan penilaian netral secara filosofis terhadap bukti yang ada. Coba
saja pisahkan filosofi dari sains, maka menara kesombongan mereka akan
runtuh.”13
Selain itu, bukan hanya kritikus evolusi yang melihat bias ini. Tokoh
Darwinis terkemuka pun mengakuinya. Nyatanya, Dawkins sendiri mengakui
bias ini ketika merespons pertanyaan Phillip Johnson melalui e-mail.
“Komitmen filosofis [kami] terhadap materialisme dan reduksionisme itu
benar,” ungkap Dawkins, “Tetapi saya lebih memilih menganggapnya sebagai
136 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst

komitmen filosofis terhadap penjelasan real untuk menentang penjelasan aneh


Anda yang amat tidak memadai itu.”14 (Mungkin Dawkins pikir ia memiliki
“penjelasan yang real”, tetapi seperti yang sudah kita lihat, penjelasannya
bertentangan dengan semua bukti penyelidikan dan forensik.)
Jika Richard Dawkins membocorkan pengakuannya mengenai bias hanya
setengah hati, Darwinis seperti Richard Lewontin dari Harvard University
mengaku dengan terang-terangan secara tertulis. Coba baca bagaimana
Lewontin menyatakan bahwa kaum Darwinis menerima kisah-kisah yang
“tampak benar” yang absurd yang bertolak belakang dengan akal sehat karena
komitmen awal mereka terhadap materialisme:
Kami bersedia menerima klaim ilmiah yang berlawanan dengan akal sehat
yang menjadi kunci untuk memahami pergulatan berat antara sains dan
hal-hal supranatural. Kami mendukung sains tanpa memedulikan beberapa

banyak janji-janji muluk mengenai kesehatan dan kehidupan, tanpa


memedulikan toleransi komunitas ilmiah terhadap kisah-kisah yang

terlebih dulu membuat komitmen terhadap materialisme


bahwa metode dan susunan sains membuat kami menerima penjelasan
material dari dunia yang fenomenal, justru sebaliknya kami dipaksa

menghasilkan penjelasan-penjelasan material, meskipun semuanya saling

lagi, materialisme itu amat absolut sehingga


.15
Sekarang sudah terbukti. Kebenaran ini bukanlah bukti yang mendukung
Darwinisme––justru, menurut Lewontin dan akal sehat kita sendiri, penjelasan
kaum Darwinis amat sangat “kontra-intuitif.” Kebenaran yang sebenarnya
adalah kaum Darwinis telah mendefinisikan sains sedemikian rupa sehingga
Darwinisme menjadi satu-satunya jawaban yang mungkin. Definisi lain,
terlarang bagi Tuhan, Tuhan tidak boleh ikut-ikutan!
Pada bab selanjutnya kami akan menyelidiki motivasi mereka yang
mengesampingkan campur tangan Tuhan. Sekarang, intinya adalah: peristiwa
yang dibutuhkan untuk membuat teori makroevolusi ateistik dihilangkan —
generasi spontan yang ada pada kehidupan pertama—dipercaya karena asumsi
filosofis palsu yang menyamar sebagai sains. Bukan karena ada penelitian
ilmiah yang mendukung generasi spontan. Sains yang salah adalah sains
Kehidupan yang Pertama: Hukum Alam atau Keagungan Ilahi? 137

yang buruk, dan kaum Darwinislah yang mempraktikkannya. Keyakinan


mereka terhadap generasi spontan berasal dari iman buta mereka terhadap
naturalisme. Butuh iman yang amat besar untuk memercayai makhluk
bersel satu yang pertama muncul akibat hukum alam, karena itu sama saja
dengan memercayai 1.000 ensiklopedia berasal dari ledakan di perusahaan
percetakan! Kaum ateis tidak dapat menjelaskan asal muasal perusahaan
percetakan, apalagi 1.000 ensiklopedia. Oleh karena itu, kami tidak memiliki
cukup iman untuk menjadi ateis.

BeriKan KeSempaTan Kepada WaKTu dan KeSempaTan!


“Tidak bisa secepat itu!” kata kaum Darwinis. “Anda sudah mengabaikan
waktu dan kesempatan sebagai penjelasan yang masuk akal mengenai
bagaimana hidup muncul secara spontan.”

Berikan Waktu Lebih Banyak Waktu!


Kaum Darwinis menolak kesimpulan bahwa pribadi yang berakal budi penting
bagi kelangsungan kehidupan yang pertama. Mereka berasumsi jika waktu
yang diberikan lebih banyak, maka hukum alam akan dapat melakukan
tugasnya. Coba beri waktu beberapa miliar tahun dan kita akan segera
mendapatkan kehidupan. Apakah ini masuk akal?
Mari kita kembali ke Gunung Rushmore. Kaum Darwinis menekankan
bahwa sains dibangun atas dasar observasi dan repetisi. Oke, anggap saja kita
menyelidiki dan mengulang sebuah eksperimen dengan mengizinkan hukum
alam melakukan tugasnya terhadap bebatuan untuk sepuluh tahun ke depan.
Apakah kita akan mendapatkan gunung Rushmore? Tidak akan pernah.
Mungkin Anda berpikir, hukum alam bisa saja melakukannya jika
kita memberinya waktu sepuluh miliar tahun. Tetap saja—tidak mungkin.
Kenapa? Karena sifat alam itu mengacaukan, bukan merapikan (fakta bahwa
alam memiliki sifat yang merusak adalah aspek lain dari Hukum Kedua
Termodinamika). Waktu yang diberikan akan memperparah semua hal bagi
kaum Darwinis, bukannya bertambah baik. Bagaimana bisa?
Coba bayangkan, Anda menghamburkan confetti (guntingan kertas
warna-warni) merah, putih dan biru dari sebuah pesawat yang tingginya 1.000
kaki di atas rumah Anda. Berapa banyak peluang agar potongan-potongan
kertas itu membentuk bendera Amerika ketika jatuh di halaman rumah
Anda? Kemungkinannya amat kecil. Kenapa? Karena hukum alam akan
menyebarkan atau mengacak confetti itu. Kemudian Anda berkata, “Beri
138 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst

sedikit waktu lagi.” Oke, mari kita bawa pesawatnya ke ketinggian 10.000
kaki untuk memberi waktu bagi hukum alam untuk bekerja. Apakah hal ini
meningkatkan kemungkinan bahwa bendera itu akan terbentuk di halaman
rumah Anda? Tidak, waktu yang lebih banyak justru membuat benderanya
semakin sulit terbentuk karena hukum alam memiliki waktu yang lebih lama
untuk bekerja––yaitu menyebar dan mengacak potongan-potongan kertas itu.
Apa bedanya dengan asal muasal kehidupan yang pertama? Kaum
Darwinis bisa saja mengatakan bahwa Hukum Kedua Termodinamika tidak
dapat diterapkan terus menerus ke dalam sistem yang hidup. Lagi pula,
benda-benda yang hidup bertumbuh dan perlahan-lahan dapat menjadi ter-
atur. Ya, itu benar, tetapi tetap saja mereka kehilangan energi ketika mereka
bertumbuh. Makanan yang terserap oleh sesuatu yang hidup tidak benar-
benar diproses secara efisien. Jadi Hukum Kedua juga dapat diterapkan
pada sistem yang hidup. Tetapi bukan itu poinnya. Poinnya adalah kita
tidak sedang berbicara mengenai apa yang dapat sesuatu lakukan setelah ia
hidup; melainkan mengenai caranya menghasilkan kehidupan. Bagaimana
bisa kehidupan muncul dari unsur yang tidak hidup, tanpa campur tangan
makhluk berakal budi, jika unsur kimia yang tidak hidup rentan terhadap
Hukum Kedua? Kaum Darwinis tidak memiliki jawabannya, yang mereka
punya hanyalah iman.

Berikan Kesempatan pada Kesempatan!


Dapatkah semua hal luar biasa yang amat sangat rumit di dunia dijelaskan
sebagai kesempatan? Tidak bisa! Ateis dan teis sama-sama telah menakar
kemungkinan bahwa kehidupan bisa muncul dari unsur yang tidak hidup.
Hasil perhitungan mereka menunjukkan bahwa peluangnya amatlah kecil––
mendekati nol peluang. Sebagai contoh, Michael Behe mengatakan bahwa
peluang untuk mendapatkan satu molekul protein (yang mengandung sekitar
100 asam amino) sama dengan peluang seorang yang ditutup matanya
kemudian menemukan satu pasir yang ditandai di Gurun Sahara tiga kali
berturut-turut. Dan, satu molekul protein bukanlah kehidupan. Untuk
mendapatkan kehidupan, Anda harus mengumpulkan sekitar 200 molekul
protein!16
Kemungkinannya, hampir nol. Tetapi kami percaya bahwa kemung-
kinannya sebenarnya nol. Kenapa? Karena “peluang” bukanlah penyebab.
Peluang adalah kata yang kita gunakan untuk menjelaskan kemungkinan-
kemungkinan matematika. Peluang itu sendiri tidak mempunyai kekuatan apa
Kehidupan yang Pertama: Hukum Alam atau Keagungan Ilahi? 139

pun. Peluang itu tidak bermakna apa-apa. Itulah yang diimpikan sebongkah
batu.
Jika seseorang melempar sebuah koin dari bagian ekor, berapakah
peluang agar berubah menjadi kepala? Menurut kami 50%. Ya, tetapi
apa yang menyebabkannya berubah menjadi kepala? Apakah peluang?
Tidak, penyebab awalnya adalah makhluk berakal budi yang memutuskan
untuk membalikkan koin dan mengerahkan begitu banyak tenaganya untuk
melakukan hal itu. Penyebab kedua, tekanan fisik dari angin dan gravitasi
juga memengaruhi hasil pelemparan koin itu. Jika kita mengetahui semua
variabelnya, kita dapat memperhitungkan bagaimana hasil pelemparan itu
sebelumnya. Tetapi kita tidak tahu variabelnya, maka kita menggunakan
istilah “peluang” untuk menutupi ketidaktahuan kita.
Kita tidak dapat membiarkan ateis menutupi ketidaktahuan mereka
dengan istilah “peluang.” Jika mereka tidak mengetahui mekanisme natural
yang memunculkan kehidupan pertama, maka mereka harus mengakui bahwa
mereka tidak tahu, bukannya mengajukan istilah lemah yang sudah pasti
bukanlah penyebab sesungguhnya. “Peluang” hanyalah contoh lain dari sains
buruk yang dipraktikkan para Darwinis.

SainS adalah BudaK FilSaFaT


Sayang sekali, kaum Darwinis telah berhasil meyakinkan masyarakat bahwa
sains yang buruk adalah sains yang tidak sepakat dengan Darwinisme (dan
itu sama sekali bukan sains––itu hanya sekadar agama yang memakai topeng
sains). Faktanya, justru kebalikannya yang benar. Kaum Darwinislah
yang menganut sains yang buruk, karena sains mereka dibangun di atas
filosofi yang salah. Sebagai akibatnya, agama naturalis sekuler mereka telah
membuat mereka menganggap sepi bukti ilmiah adanya desain yang dapat
dideteksi secara empiris.
Pelajaran apa yang kita dapatkan dari sains buruk kaum Darwinis?
Untuk menjawab pertanyaan itu, mari kita lihat lagi perdebatan di bab 3,
antara William Lane Craig, seorang Kristen, dan Peter Atkins, seorang ateis
yang kami kutip.17 Perdebatan itu mengenai keberadaan Tuhan. Pada satu
titik, Atkins berpendapat bahwa Tuhan tidak diperlukan karena sains dapat
menjelaskan semuanya.
“Tidak perlu ada Tuhan,” kata Atkins. “Semua hal yang ada di dunia
dapat dimengerti tanpa perlu membawa-bawa Tuhan. Anda harus menerima
bahwa itulah satu-satunya pandangan yang mungkin terkait dunia.”
140 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst

“Tentu, mungkin saja,” Craig mengakuinya. “Tetapi . . .”


[Interupsi] “Apakah Anda menolak bahwa sains dapat menjelaskan semua
hal?” tantang Atkins.
“Ya, saya memang menolak pendapat bahwa sains dapat menjelaskan
semua hal,” kata Craig.
“Kalau begitu apa yang tidak dapat dijelaskan oleh sains?” desak Atkins.
Sebagai pendebat kawakan, Craig siap menjawab dengan multi-segi. “Saya
pikir ada beberapa hal yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah tetapi dapat
diterima rasio,” katanya. Kemudian Craig mengutip lima contoh kepercayaan
rasional berikut yang tidak dapat dibuktikan oleh sains:
1. Matematika dan logika (sains tidak dapat membuktikannya
karena sains dibuat setelah mereka memperkirakannya terlebih
dahulu),
2. Kebenaran metafisika (contohnya, ada akal budi yang eksis selain
akal budi saya sendiri),
3. Penilaian etis (Anda tidak dapat membuktikan secara ilmiah
bahwa Nazi adalah orang-orang jahat, karena moralitas bukanlah
subjek metode ilmiah),
4. Penilaian estetika (hal yang indah, seperti hal yang baik, tidak
dapat dibuktikan secara ilmiah), dan, ironisnya,
5. Sains itu sendiri (kepercayaan bahwa metode ilmiah dapat mene-
mukan kebenaran tidak dapat dibuktikan oleh metode ilmiah itu
sendiri); (selebihnya mengenai hal ini akan dijelaskan di bawah
ini).
(Setelah menyimak sejumlah contoh yang melawan pandangan Atkins
ini, si moderator William F. Buckley, Jr., tidak dapat menyembunyikan rasa
puasnya terhadap jawaban Craig. Ia menoleh pada Atkins dan berujar,
“Teruslah berkhayal !”)
Craig benar. Metode ilmiah yang dipakai untuk mencari penyebab
dengan cara observasi dan repetisi hanyalah salah satu cara mencari kebenaran.
Metode ilmiah bukanlah satu-satunya cara untuk menemukan kebenaran.
Seperti yang sudah kita lihat di bab 1, hukum non-ilmiah (filosofis) seperti
hukum logika juga dapat membantu kita menemukan kebenaran. Nyatanya,
hukum-hukum itu juga digunakan dalam metode ilmiah!
Selain itu, klaim Atkins bahwa sains dapat menjelaskan segalanya tidak
hanya keliru karena lima contoh serangan balik dari Craig tadi, tetapi juga
keliru karena klaimnya menghancurkan dirinya sendiri. Sebagai akibatnya,
Kehidupan yang Pertama: Hukum Alam atau Keagungan Ilahi? 141

Atkins mengatakan, “Sains adalah satu-satunya sumber kebenaran objektif.”


Jika kita menguji pernyataan tersebut dengan taktik Road Runner dari bab
1, kita bisa lihat bahwa pernyataan itu bunuh diri, dan dengan demikian
salah. Pernyataan mengenai “sains adalah satu-satunya sumber kebenaran
yang objektif ” mengklaim sebagai kebenaran yang objektif, tetapi secara
ilmiah tidak. Pernyataan itu sifatnya filosofis––tidak dapat dibuktikan secara
ilmiah––jadi pernyataan itu runtuh dengan sendirinya.
Mungkin ini mengarahkan kita pada satu pelajaran terbesar yang dapat
kita pelajari dari sains buruk ala kaum Darwinis: Sains dibangun di atas dasar
filosofi. Dengan demikian sains adalah budak filosofi. Filosofi yang buruk
akan menghasilkan sains yang buruk, dan sains yang baik membutuhkan
filosofi yang baik. Mengapa? Karena:
1. Sains tidak dapat dilakukan tanpa filosofi. Asumsi-asumsi filo-
sofis digunakan untuk mencari penyebab, dan karenanya tidak
dapat menjadi akibat. Sebagai contoh, para ilmuwan berpendapat
(dengan iman) bahwa nalar dan metode ilmiah memampukan kita
memahami dunia di sekitar kita secara akurat. Hal ini tidak dapat
dibuktikan oleh sains itu sendiri. Anda tidak dapat membuktikan
sarana sains––yaitu hukum logika, Hukum Kausalitas, prinsip
Uniformitas atau reliabilitas sebuah penelitian––dengan semacam
eksperimen. Anda harus berasumsi bahwa semua hal itu benar
agar dapat melakukan eksperimen! Maka sains dibangun di
atas dasar filosofi. Sayangnya, banyak orang yang disebut-sebut
sebagai ilmuwan ternyata adalah filsuf yang sangat buruk.
2. Asumsi-asumsi filosofis secara dramatis dapat berdampak pada
kesimpulan ilmiah. Jika seorang ilmuwan berasumsi terlebih
dahulu bahwa hanya penyebab alam yang mungkin, maka tidak
ada bukti yang dapat meyakinkannya bahwa Pribadi Cerdas
menciptakan ameba bersel satu pertama atau entitas yang lain.
Ketika kaum Darwinis berasumsi terlebih dahulu bahwa tidak
mungkin ada penyebab berupa Pribadi Cerdas, maka hukum
alamlah yang berkuasa. Begitu juga, jika kaum kreasionis meng-
hilangkan unsur penyebab alam terlebih dahulu (dan kami tidak
tahu apakah ada yang melakukannya) maka mereka juga berisiko
tidak mendapatkan jawaban yang sebenarnya. Tetapi seorang
ilmuwan yang berpikiran terbuka terhadap penyebab alam atau
142 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst

Pribadi Cerdas dapat mengikuti bukti yang ada ke mana pun


bukti itu mengarahkannya.
3. Sebenarnya sains tidak mengatakan apa-apa––ilmuwanlah yang
melakukannya. Data yang ada selalu diinterpretasikan oleh
para ilmuwan. Ketika ilmuwan itu membiarkan pengalaman
pribadinya atau asumsi filosofis yang belum terbukti mendikte
interpretasi mereka terhadap bukti, mereka melakukan sendiri
apa yang selama ini mereka tuduhkan pada orang-orang religius––
yaitu membiarkan ideologi mereka mendikte kesimpulannya.
Jika demikian, maka kesimpulan mereka patut dipertanyakan,
karena bisa saja kesimpulan itu hanyalah dugaan filosofis yang
diterima sebagai fakta-fakta ilmiah.

maTerialiSme memBuaT aKal SehaT menjadi muSTahil


Ketika Anda menemukan akar masalahnya, Anda akan mendapati bahwa sains
buruk kaum Darwinis berasal dari filosofi yang salah terhadap naturalisme atau
materialisme yang mendasari pola pandang mereka. Mengapa materialisme
salah? Berikut adalah lima alasan yang menyebabkan materialisme tidak
masuk akal:
Pertama, seperti yang telah kami tekankan, ada pesan di dalam kehidupan
yang secara teknis disebut kompleksitas, yang tidak dapat dijelaskan secara
materi. Pesan ini tidak dapat dijelaskan dengan hukum alam yang tidak cerdas,
dibandingkan pesan yang ada di dalam buku ini yang dapat dijelaskan oleh
hukum non-inteligen dari kertas dan tinta.
Kedua, pemikiran manusia dan teori-teori tidak hanya melulu materi saja.
Unsur kimia juga berperan dalam proses pemikiran manusia, tetapi mereka
tidak dapat menjelaskan semua pemikiran manusia. Teori materialisme tidak
terbuat dari molekul. Dengan demikian, pikiran seseorang, entah itu cinta
atau benci, bukanlah unsur kimia. Berapa beratnya cinta itu? Bagaimana
komposisi kimia benci? Pertanyaan ini begitu janggal karena pemikiran,
pendirian, dan emosi tidak benar-benar bertumpu pada hal yang materi.
Karena mereka tidak benar-benar berasal dari materi, maka materialisme
salah.
Ketiga, jika hidup ini tidak lebih dari sekadar materi, maka kita akan
mampu mengambil semua materi kehidupan––materi yang sama yang dite-
mukan dalam debu––dan membuat sesuatu yang hidup. Kita tidak bisa
melakukannya. Jelas sekali bahwa ada sesuatu yang melampaui materi
Kehidupan yang Pertama: Hukum Alam atau Keagungan Ilahi? 143

dalam kehidupan ini. Penjelasan apa yang dapat diberikan kaum materialis
mengenai mengapa satu tubuh hidup dan yang lainnya mati? Keduanya
mengandung unsur kimia yang sama. Mengapa satu tubuh hidup pada menit
ini dan kemudian mati pada menit berikutnya? Kombinasi material apakah
yang berperan dalam kesadaran manusia? Bahkan Atkins sekalipun, di dalam
debatnya dengan Craig, mengaku bahwa usaha untuk menjelaskan mengenai
kesadaran merupakan masalah besar bagi kaum ateis.
Keempat, jika materialisme benar, maka semua orang dalam sejarah
manusia yang pernah memiliki pengalaman spiritual telah keliru selama ini.
Meskipun hal ini mungkin, tetapi karena sejumlah besar orang mempunyai
pengalaman-pengalaman spiritual, sepertinya tidak demikian. Amat susah
percaya bahwa setiap pemimpin spiritual besar dan para pemikir dalam sejarah
umat manusia––termasuk beberapa pemikir yang paling rasional, ilmiah dan
kristis––benar-benar telah keliru menafsirkan pengalaman spiritual mereka,
termasuk Abraham, Musa, Yesaya, Kepler, Newton, Pascal dan Yesus Kristus
sendiri. Jika ada satu saja pengalaman spiritual yang benar di sepanjang
sejarah manusia, maka materialisme salah.
Terakhir, jika materialisme benar, maka akal sehat itu sendiri tidak
mungkin. Karena jika proses-proses mental hanyalah reaksi kimia di dalam
otak, maka tidak ada alasan untuk percaya bahwa semua hal itu benar
(termasuk teori materialisme). Unsur kimia tidak dapat mengevaluasi benar
atau salah sebuah teori. Unsur kimia tidak memiliki penalaran, tetapi unsur
kimia bereaksi.
Ini amat ironis bagi kaum Darwinis––yang mengklaim berjuang bagi
kebenaran dan akal sehat––membuat keduanya mustahil karena teori mate-
rialisme mereka. Jadi meskipun kaum Darwinis benar akan suatu hal, pola
pandang mereka tidak memberi alasan bagi kita untuk percaya––karena
penalaran itu sendiri adalah hal yang tidak mungkin dilakukan di dalam
dunia yang hanya diatur oleh kekuatan kimia dan fisika.
Bukan hanya akal sehat yang tidak mungkin di dunia Darwinisme,
tetapi pernyataan kaum Darwinis bahwa kita harus bergantung pada akal
sehat pun tidak dapat dibenarkan. Mengapa tidak? Karena sebenarnya akal
sehat membutuhkan iman. Seperti yang ditekankan J. Budziszewski, “Moto
‘Akal Sehat adalah Segalanya!’ adalah omong kosong. Akal sehat itu sendiri
mengisyaratkan iman. Kenapa? Karena pembelaan akal sehat oleh akal sehat
adalah cara berpikir yang tak berujung pangkal, oleh karena itu sia-sia saja.
144 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst

Satu-satunya garansi bahwa akal sehat manusia bekerja adalah Tuhan yang
menciptakannya.”18
Mari kita bongkar poin Budziszewski dengan melihat sumber akal
sehat. Kemampuan kita untuk bernalar bisa datang dari salah satu hal ini:
entah kemampuan penalaran kita muncul dari akal budi yang sudah ada
sebelumnya, atau muncul dari materi tidak berakal budi. Dengan iman, para
ateis/Darwinis/materialis percaya bahwa pikiran kita timbul dari materi yang
tidak berakal tanpa campur tangan pribadi cerdas. Kami katakan dengan
iman karena bertentangan dengan semua penelitian ilmiah, yang menunjukkan
bahwa sebuah akibat tidak dapat lebih besar dari penyebabnya. Anda tidak
dapat memberikan sesuatu yang tidak Anda punyai sebelumnya, tetapi kaum
materialis percaya bahwa materi yang tidak hidup, yang tidak berakal budi
menghasilkan hidup yang berakal budi. Ini sama saja seperti memercayai
bahwa Perpustakaan Kongres adalah hasil ledakan perusahaan percetakan!
Lebih masuk akal bahwa pikiran manusia diciptakan menurut citra dan
rupa Allah––Sang Pemilik Akal Budi yang Agung. Dengan kata lain, pikiran kita
dapat mengerti kebenaran dan menalar kenyataan karena pikiran kita dibangun
oleh Arsitek Kebenaran, realitas dan akal sehat itu sendiri. Materialisme tidak
dapat menjelaskan akal sehat lebih daripada akal sehat itu sendiri mampu
menjelaskan kehidupan. Intinya materialisme tidak masuk akal. Oleh karena
itu, kami tidak memiliki cukup iman untuk menjadi materialis!

Kaum TeiS vS. KonSulTan penalaran KriTiS


Fakta bahwa kaum Darwinis merasa memiliki alasan untuk menjadi ateis,
sebenarnya mengisyaratkan bahwa Tuhan itu eksis. Bagaimana bisa? Karena
akal sehat mengharuskan alam semesta ini dapat dinalar dan mengisyaratkan
bahwa ada tatanan, logika, desain dan kebenaran. Tetapi tatanan, logika,
desain, dan kebenaran dapat eksis dan diketahui hanya jika ada sumber dan
standar objektif yang tidak berubah. Agar dapat mengatakan bahwa sesuatu
tidak masuk akal, kaum Darwinis harus tahu apa yang masuk akal. Agar dapat
mengatakan bahwa sesuatu tidak dirancang, kaum Darwinis harus tahu apa
yang dirancang. Agar dapat mengatakan bahwa sesuatu tidak benar, kaum
Darwinis harus tahu apa itu kebenaran, dan seterusnya. Sama seperti cara
pandang nonteistik lainnya, kaum Darwinis meminjam cara pandang teistik
untuk membuat pandangannya sendiri dapat dipahami.
Kehidupan yang Pertama: Hukum Alam atau Keagungan Ilahi? 145

Kaum ateis tanpa sadar cenderung meminjam cara pandang teistik yang
dengan cerdas disingkapkan oleh penulis Pete Bocchino19 selama pertemuan
kurikulum The State of Georgia’s Department of Education. Pete, yang bekerja
untuk pelayanan Kristen internasional ternama pada saat itu, ditunjuk men-
jadi salah satu subkomite untuk membahas dan meningkatkan kurikulum
sekolah negeri dari kelas enam sampai kelas dua belas dalam mata pelajaran
seperti pemerintahan, hukum, etika dan pendidikan karakter.
Minggu pertama rangkaian rapat yang panjang itu berlangsung di
sebuah ruangan besar di mana semua anggota subkomite diberi kesempatan
untuk memperkenalkan diri. Pete, yang datang terlambat karena macet,
melewatkan sesi itu, dan langsung mencari tempat duduk. Ketika ketua
subkomite itu melihat Pete yang baru bergabung, ia mengatakan pada Pete
bahwa mereka semua telah memperkenalkan diri dan meminta Pete untuk
melakukan hal yang sama dengan menyebutkan nama, latar belakang, dan
pekerjaan. Pete kemudian menyebutkan namanya dan mengatakan bahwa
ia memiliki gelar teknik mesin. Pete berpikir di dalam hati, “Pokoknya saya
tidak mau membawa-bawa kekristenan dengan mengatakan bahwa saya
bekerja di sebuah badan pelayanan Kristen internasional.” Jadi ia dengan lirih
mengatakan, “Sekarang saya bekerja di organisasi nirlaba sebagai konsultan
penalaran kritis.”
Ketua itu berkata, “Sebagai apa?!”
“Konsultan penalaran kritis,” ulang Pete.
“Kalau begitu apa persisnya yang dilakukan seorang konsultan penalaran
kritis?” desak ketua.
“Yah, kita sudah terlambat, dan saya tidak mau menghabiskan waktu
komite ini,” Pete beralasan, “Tetapi Anda akan mengetahuinya dalam minggu
ini.”
Begitu pekan debat itu dimulai, komite itu melontarkan berbagai macam
topik, seperti perbedaan, toleransi, hak asasi manusia, dan isu kontroversial
lainnya. Pada satu titik, ketika mereka sedang berdiskusi tentang standar
psikologi, Pete mengingatkan bahwa standar-standar itu tidak menyinggung
definisi kepribadian. Ini merupakan lubang dalam kurikulum psikologi;
maka Pete mengajukan definisi berikut berdasarkan salah satu bagian buku
Mortimer Adler, Haves Without Have-Nots:20
146 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst

Mata Pelajaran: Psikologi/Topik: Keunikan


Standar: Mengevaluasi keunikan natur manusia dan konsep kepribadian.
1. gagasan intelektual/konseptual
2. kebebasan untuk memilih/kehendak bebas
3. tanggung jawab etis (standar-standar)
4. akuntabilitas moral (kewajiban), dan
5. hak-hak pribadi yang tidak dapat dicabut.
Segera setelah standar ini ditetapkan, seorang guru yang duduk ber-
hadapan dengan Pete––yang telah memperkenalkan dirinya sebagai ateis––
hendak menantang standar ini. Sebelum ia sempat melakukannya, Pete
menghentikannya dan berkata pada kelompok itu, jika ada yang tidak setuju
dengan standar ini, mereka harus melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Orang itu akan menghadap saya dengan gagasan konseptual
(seperti nomor 1 di atas).
2. Orang itu akan mempraktikkan “kebebasannya” untuk mela-
kukannya (seperti nomor 2 di atas).
3. Orang itu pasti berpikir bahwa ada tanggung jawab etis untuk
mengajarkan kebenaran (seperti nomor 3 di atas).
4. Orang itu sedang mencoba membuat saya bertanggung jawab
secara moral untuk mengajarkan kebenaran (seperti nomor 4
di atas).
5. Orang itu memiliki hak untuk tidak setuju dengan pendirian
saya (seperti nomor 5 di atas).
Jadi jika tidak ada yang keberatan dengan kriteria ini, orang itu
sebenarnya sedang mengonfirmasi validitas setiap poin dalam kriteria ini.
Kelompok itu terdiam sesaat. Kemudian Ketua kelompok itu angkat
bicara, “Sekarang kita semua tahu apa yang dilakukan seorang konsultan
penalaran kritis!” Karena itu, ketua komite menyuruh sekretaris memasukkan
standar tersebut ke dalam daftar rekomendasi.
Dengan sedikit penalaran kritis, kita melihat bahwa cara pandang Dar-
winian runtuh, tidak hanya karena kurang bukti tetapi juga karena mereka
harus meminjam pola pikir teistik untuk mempertahankan teori mereka.
Intelektual, kehendak bebas, moralitas objektif dan hak asasi manusia begitu
juga pertimbangan, logika, desain dan kebenaran dapat eksis hanya jika Tuhan
eksis. Tetapi kaum Darwinis berasumsi terhadap beberapa atau bahkan
seluruh realitas ini ketika mereka sedang mempertahankan cara pandang
ateistik mereka. Mereka tidak dapat mempertahankan kedua-duanya.
Kehidupan yang Pertama: Hukum Alam atau Keagungan Ilahi? 147

Kaum darWiniS memiliKi gamBaran uTama yang Salah


Di dalam bagian pendahuluan, kami mengatakan bahwa pola pandang itu
seperti gambaran besar yang memampukan Anda meletakkan kepingan-
kepingan puzzle kehidupan menjadi gambar yang utuh dan lengkap. Jika
Anda memiliki gambaran utama yang tepat, maka kepingan puzzle-nya pasti
cocok dengan gambar lengkapnya.
Tetapi apa yang terjadi jika Anda terus saja menemukan kepingan puzzle
yang tidak cocok dengan gambaran besar yang Anda miliki? Nalar Anda akan
mengatakan bahwa Anda memiliki gambaran besar yang salah, jadi Anda harus
mencari gambaran besar yang benar. Sayang sekali, kaum Darwinis tidak mau
melakukannya. Bukti yang ada dengan gamblang menunjukkan bahwa mereka
memiliki gambaran yang salah, tetapi mereka menolak untuk menerima bahwa
hal itu mungkin saja terjadi (dan tidak mau mencari yang benar). Gambaran
besar mereka yang telah terbentuk sebelumnya menunjukkan sebuah gambar
yang tanpa penyebab cerdas. Namun, seperti yang mereka ketahui sendiri,
mereka telah menemukan banyak kepingan puzzle yang memiliki bentuk
yang jelas bahwa mereka dirancang oleh pribadi cerdas. Sebagai akibatnya,
mereka mencoba mencocokkan kepingan teistik itu ke dalam puzzle ateistik/
materialistik mereka. Bagaimana mereka melakukannya?
Alih-alih menyingkirkan gambaran besar yang salah dan mencari yang
benar, kaum Darwinis justru bersikeras bahwa kepingan-kepingan itu tidak
seperti kelihatannya, mereka mencoba untuk mencocokkan setiap keping––
mulai dari alam semesta yang dirancang dengan amat presisi sampai kepada
sel tunggal yang kaya informasi––menjadi puzzle yang tidak memiliki
kepingan-kepingan yang disebutkan di atas. Saat mereka melakukannya,
mereka mengacuhkan observasi yang merupakan esensi utama sains empiris
yang mereka klaim sebagai hal yang hebat. Seperti yang mereka akui sendiri,
kaum Darwinis secara filosofis setia pada gambaran utama puzzle mereka,
tidak peduli kepingan puzzle itu seperti apa.
Bagaimana Anda menemukan gambaran utama kehidupan yang benar?
Penemuan akan gambaran utama yang tepat bukanlah masalah pilihan (Anda
suka ateisme, saya suka teisme). Tidak, ini adalah masalah fakta yang objektif.
Dengan menggunakan prinsip logika pertama yang dapat membuktikan
dirinya sendiri dan prinsip penyelidikan ilmiah yang benar, di dalam bab 3
dan 4 kita menemukan bahwa alam semesta ini bersifat teistik. Jika alam
semesta ini bersifat teistik, maka naturalisme salah. Jika naturalisme salah,
maka kaum Darwinis mungkin tidak menginterpretasikan bukti dengan tepat.
148 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst

Memiliki gambaran utama yang benar adalah hal yang penting karena
gambaran itu akan memberikan konteks yang tepat untuk menginterpre-
tasi bukti. Konteksnya adalah lingkungan yang lebih luas di mana bukti
muncul. Jika Anda memiliki konteks yang salah, Anda bisa saja memiliki
kesimpulan yang salah mengenai bukti yang sedang Anda teliti. Sebagai
contoh, jika saya mengatakan pada Anda bahwa saya baru saja menyaksikan
seorang pria merobek perut seorang wanita dengan pisau, mungkin Anda akan
berpikir bahwa pria itu telah melakukan hal yang salah. Tetapi perhatikan
apa yang terjadi ketika saya mengungkapkan pada Anda konteksnya––
situasinya––di mana kejadian ini berlangsung: Kami sedang berada di ruang
bersalin sebuah rumah sakit, pria itu adalah seorang dokter, dan jantung bayi
itu baru saja berhenti. Sekarang apa yang Anda pikirkan mengenai pria itu?
Setelah Anda memahami situasinya, seluruh pandangan Anda terhadap bukti
pun berubah: Kini Anda menganggap pria itu sebagai pahlawan dan bukan
penjahat, karena sebenarnya ia sedang berusaha menyelamatkan nyawa bayi
itu.
Dengan cara yang sama, bukti dari ilmu biologi harus diinterpretasikan
dalam situasi lebih luas yang diketahui. Seperti yang sudah kita temukan,
situasi lebih luas yang dikenali adalah bahwa alam semesta ini bersifat teistik.
Sebenarnya ada Pribadi yang non-materi, berkuasa dan berakal budi yang
melampaui dunia netral, yang menciptakan alam semesta dan merancangnya
dengan presisi sehingga ada kehidupan di bumi. Dengan kata lain, kita sudah
mengetahui dengan pasti bahwa Sang Perancang adalah bagian dari gambaran
utama, karena bukti menunjukkan bahwa Ia telah merancang alam semesta
yang luar biasa ini dengan kompleksitas dan presisi yang menakjubkan.
Sehubungan dengan fakta bahwa ada Sang Perancang, ketika kita melihat
sistem biologis yang bahkan oleh seorang Darwinis seperti Richard Dawkins
ketahui “menunjukkan mereka dirancang untuk sebuah tujuan,” mungkin
kita dapat menyimpulkan bahwa alam semesta memang dirancang untuk
sebuah tujuan. Seperti yang ditekankan William Dembski, “Jika seekor
makhluk tampak seperti seekor anjing, berbau seperti anjing, menggonggong
seperti anjing, teraba seperti anjing dan terengah-engah seperti anjing,
beban pembuktian terletak pada orang yang bersikeras bahwa makhluk itu
bukanlah anjing.”21 Karena alam semesta diciptakan dan dirancang, maka
kita mestinya mengharapkan kehidupan diciptakan dan dirancang juga.
(Setidaknya mungkin bahwa kehidupan diciptakan oleh pribadi berakal budi.
Kehidupan yang Pertama: Hukum Alam atau Keagungan Ilahi? 149

Jika kita tidak mempertimbangkan kemungkinan itu terlebih dahulu, maka


hal itu tidak sah atau tidak benar).
Jadi, kesimpulan bahwa kehidupan merupakan hasil dari Perancang
Cerdas adalah hal yang masuk akal karena itu bukan hanya satu-satunya
bukti yang ada. Semua kesimpulan ini konsisten dengan penemuan ilmiah
yang lain. Atau, melanjutkan metafora puzzle kita, kepingan itu sangat cocok
dengan kepingan puzzle yang lain.

ringKaSan dan KeSimpulan


Karena kita sudah membahas banyak hal dalam bab ini, mari kita rangkum
semuanya dalam beberapa poin singkat:
1. Hidup tidak hanya terdiri dari unsur-unsur kimia. Jika
benar demikian, maka mencampur unsur kehidupan di dalam
tabung uji coba akan menghasilkan kehidupan. Hidup jelas
sekali terdiri atas lebih dari sekadar unsur kimia, tetapi juga
kerumitan yang spesifik (yang muncul hanya dari akal budi).
Oleh karena itu, materialisme adalah pandangan yang salah
(Ada beberapa alasan tambahan mengapa materialisme salah,
termasuk fakta bahwa akal sehat itu sendiri tidak akan mung
kin ada dalam alam semesta yang materialistis).
2. Tidak ada hukum alam yang diketahui dapat menciptakan kom-
pleksitas tertentu (informasi). Hanya pribadi cerdaslah yang telah
teruji dapat menciptakan kompleksitas yang spesifik (contohnya
pesan “Buang sampahnya––Mama,” “Minumlah Soda,” Gunung
Rushmore dll.).
3. Kehidupan yang paling sederhana terdiri dari kompleksitas
khusus yang luar biasa, yang setara dengan 1.000 jilid lengkap
Encyclopedia Britannica. Einstein mengatakan, “Tuhan tidak
sedang bermain dadu dengan alam semesta.”22 Ia benar. Seperti
dikatakan Phillip Gold, Tuhan bermain Scrabble!”23
4. Sains adalah usaha pencarian penyebab yang dibangun di atas
dasar filosofi. Ada dua jenis penyebab, yaitu pribadi cerdas dan
alam, tetapi kaum Darwinis secara filosofis mengesampingkan
penyebab cerdas sebelum mereka melihat bukti. Itulah mengapa
ketika kaum Darwinis melihat 1.000 ensiklopedia itu––bukannya
menyelidiki dan mengenali rancangan mereka yang jelas––mereka
malah menekankan bahwa alamlah penyebabnya. Tetapi jika
150 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst

pesan “Buang sampahnya––Mama” membutuhkan penyebab


Cerdas, maka 1.000 ensiklopedia juga demikian.
5. Generasi spontan dari kehidupan, yang dibutuhkan kaum Dar-
winis untuk memulai teori mereka, tidak pernah diteliti sebe-
lumnya. Semua itu didasarkan pada iman. Dan sehubungan
dengan bukti kosmologis dan teleologikal yang kuat bahwa
alam semesta ini bersifat teistik (dan juga karena banyak alasan
lainnya), kepercayaan kaum Darwinian terhadap naturalisme
(atau materialisme) juga merupakan perbuatan iman. Dengan
demikian, Darwinisme tidak lebih dari agama sekuler yang
bertopengkan sains.
Kaum skeptis mungkin berkata, “Tunggu dulu! Anda terlalu cepat
menyimpulkan. Mengapa Anda berpikir bahwa Desain Cerdas bersifat ilmiah?
Bukankah itu hanyalah model lain dari kegagalan “Allah-Pengisi-Celah”––yang
secara tidak sempurna memasukkan Tuhan ke dalam gambaran itu karena
Anda belum menemukan penyebab alam? Mengapa kami harus berhenti
mencari penyebab alam? Nyatanya, Desain Cerdas itu sepertinya hanya
sekelumit penciptaan selama enam hari dari Alkitab yang diselundupkan ke
dalam perdebatan dengan nama yang baru. Lalu bagaimana dengan bukti
evolusi kehidupan yang baru yang masih harus Anda sebutkan? ”
Jawaban atas pertanyaan ini dan klaim Darwinis lainnya akan dibahas
dalam bab selanjutnya. Kami tidak hanya akan membahas klaim itu, tetapi
juga menyediakan lebih banyak kepingan puzzle yang menguatkan bahwa
penganut Desain Cerdas memiliki gambaran utama, bukan kaum Darwinis.
6
Bentuk-bentuk Kehidupan Baru:
Dari Goo Menjadi You via Zoo?
“Di Sekolah Dasar saya diajarkan bahwa seekor katak yang berubah
menjadi seorang pangeran adalah dongeng belaka. Di universitas saya
diajarkan bahwa seekor katak yang menjadi seorang pangeran adalah
fakta!”
––Ron CaRlson

Di dalam sebuah film berjudul Contact, Jodie Foster berperan sebagai seorang
ilmuwan yang menjadi anggota tim peneliti Search for Extra-Terrestrial
Intelligence (SETI). SETI, yang merupakan organisasi real, memiliki ilmuwan-
ilmuwan yang menganalisa alam semesta untuk mendapatkan tanda yang pasti
dari kehidupan makhluk berakal budi (cerdas, inteligen). Apakah yang dapat
menjadi tanda pasti dari kehidupan makhluk berakal budi? Sebuah pesan.
Ya, sesuatu yang bunyinya seperti “Buang sampahnya––Mama.”
Dalam film tersebut, Foster amat bersemangat ketika antenanya menang-
kap gelombang radio yang tampaknya memiliki pola inteligen, “Satu, dua,
tiga, lima, tujuh, sebelas . . . itu prima semua!” serunya (maksudnya bilangan
prima). “Tidak mungkin ini hanya fenomena alam biasa!”
Memang benar, gelombang radio dapat dihasilkan secara natural, tetapi
gelombang yang mengandung sebuah pesan selalu memiliki sumber inteligen.
Bilangan prima, mulai dari 1 sampai 101 secara berurutan, membentuk sebuah
pesan yang hanya bisa dihasilkan oleh makhluk cerdas.
Foster amat yakin bahwa ET (alien) sudah ditemukan, oleh karena itu
ia mempublikasikan penemuannya. Pihak militer dan pemerintah kemudian
berkumpul di kantornya. “Jika memang ini bersumber dari makhluk berakal
budi, maka mengapa mereka tidak berbicara dengan bahasa Inggris saja?”
salah seorang aparat bertanya dengan nada mengejek.
“Karena matematika adalah satu-satunya bahasa universal!” balas
Foster. Tentu saja ia benar. Nyatanya, alfabet, dan bahasa itu sendiri, dapat
disederhanakan menjadi angka-angka. Karena itu alfabet bahasa Inggris
152 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst

identik secara matematis dengan alfabet generik DNA dan perbandingan


antara informasi dalam sel dan ensiklopedia saling berhubungan, bukan hanya
sekedar analogi.
Meskipun akhirnya Foster dan koleganya menemukan pesan yang lebih
rumit yang terkandung dalam gelombang radio, mereka amat yakin bahwa
bilangan prima itu saja sudah membuktikan bahwa pesan itu berasal dari
kehidupan makhluk cerdas. Mengapa mereka amat yakin akan hal ini?
Karena penyelidikan berulang-ulang mengatakan bahwa hanya makhluk
berakal budi yang dapat menciptakan pesan, bukan hukum alam. Ketika
kita melihat sebuah urutan bilangan prima, kita menyadari bahwa pesan
itu membutuhkan penyebab berakal budi sama seperti pesan “Buang sam-
pahnya––Mama” dan “Mary cinta Scott.”
Ironisnya, film Contact dibuat berdasarkan novel almarhum Carl Sagan,
seorang evolusionis sejati, yang memercayai generasi spontan dan merupakan
salah satu pemrakarsa program SETI yang sesungguhnya. Ironinya, Sagan
benar-benar yakin bahwa sebaris bilangan prima membuktikan keberadaan
makhluk berakal budi, tetapi kehidupan pertama yang bersel satu yang setara
dengan 1.000 ensiklopedia tidak. Butuh iman yang besar untuk tidak percaya
kepada Tuhan. Lebih daripada iman yang kita punya!
Selain itu, Sagan sendiri menulis mengenai otak manusia demikian:
Informasi pada otak manusia yang diekspresikan lewat kepingan-kepingan
kecil mungkin dapat dibandingkan dengan jumlah total hubungan antar-
neuron (antarsel syaraf)––kira-kira seratus triliun kepingan. Seandainya
ditulis dalam bahasa Inggris, informasi itu kira-kira akan menjadi dua puluh
juta jilid buku, sama banyaknya dengan buku di perpustakaan terbesar
dunia. Jumlah yang setara dengan dua puluh juta buku itu ada di dalam
kepala kita masing-masing. Otak kita adalah bagian yang amat luas di dalam
ruang yang sangat kecil . . . Reaksi neurochemistry di dalam otak kita itu amat
sangat sibuk. Otak kita memiliki sistem mesin yang jauh lebih mengagumkan
daripada alat tercanggih yang pernah ditemukan oleh manusia.1
Sebenarnya, Sagan mungkin menaksir konten informasi otak terlalu
rendah menjadi dua puluh juta buku saja. Meskipun demikian, angka itu
masih tetap mengagumkan. Untuk dapat memahaminya, bayangkan saja
Anda sedang berada di tengah lapangan Madison Square Garden beberapa
jam sebelum pertandingan basket dimulai. Anda satu-satunya orang yang
ada di lapangan itu, dan Anda sedang melihat hampir 20.000 kursi kosong
di sekeliling Anda. Berapa banyak buku yang harus Anda tumpuk di setiap
Bentuk-bentuk Kehidupan Baru: Dari Goo Menjadi You via Zoo? 153

tempat duduk agar dapat menyusun 20 juta buku dalam arena tersebut?
Anda harus menumpuk 1.000 buku di setiap tempat duduk agar dapat
mencapai jumlah dua puluh juta buku di Madison Square Garden. Bayangkan,
atapnya tidak cukup tinggi untuk memuat tumpukan buku itu, jadi Anda harus
membongkarnya agar Anda bisa terus menumpuk buku! Itulah gambaran
betapa spesifik dan rumitnya informasi yang ada di antara dua telinga Anda.
Sagan memang benar bahwa otak adalah tempat yang amat besar dalam
ruang yang amat kecil, dan itu adalah sesuatu yang tidak dapat diukur, lebih
mengagumkan daripada apa pun yang manusia ciptakan.
Sekarang mari kita tinjau fakta-faktanya: Sagan menyadari bahwa otak
manusia memiliki konten informasi yang setara dengan dua puluh juta buku.
Ia juga menyadari hal itu secara drastis lebih spesifik dan kompleks dari
sebaris bilangan prima. Kalau begitu, kenapa ia berpikir bahwa pesan yang
lebih sederhana membutuhkan makhluk berakal budi sedangkan pesan yang
setara dua puluh juta buku tidak? Kita bisa juga mengajukan pada Sagan dan
teman-teman Darwinis lainnya sebuah pertanyaan dengan bobot yang sama:
Jika manusia yang berakal budi tidak dapat menciptakan sesuatu yang sama
seperti otak manusia, mengapa kita berpikir bahwa hukum alam yang tidak
berakal budi dapat melakukannya?
Respons kaum Darwinis biasanya beralasan “seleksi alam.” Apakah alasan
ini cukup untuk menjelaskan bentuk kehidupan yang baru? Lagi pula, jauh
sekali perbandingan antara satu sel dengan otak manusia.

Bagaimana dengan Bentuk-Bentuk kehidupan yang Baru?


Sebelum mendiskusikan asal usul bentuk-bentuk kehidupan yang baru, kita
perlu meninjau kembali permasalahan asal mula kehidupan yang pertama.
Untuk mengubah satu sel menjadi otak manusia membutuhkan proses yang
amat panjang, tetapi proses bagi unsur kimia yang tidak hidup menjadi sel
pertama akan lebih panjang lagi. Itulah masalah kaum Darwinis yang paling
sulit. Dari manakah datangnya kehidupan pertama?
Apakah Anda melihat betapa seriusnya masalah kaum Darwinis ini?
Jika mereka tidak memiliki penjelasan mengenai kehidupan yang pertama,
maka apa gunanya berbicara tentang bentuk kehidupan yang baru? Proses
makroevolusi, seandainya mungkin, tidak dapat dimulai kecuali ada kehi-
dupan yang sudah ada sebelumnya.
154 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst

Tetapi seperti yang telah kita lihat di bab sebelumnya, fakta ini tetap
tidak menghentikan Darwinis. Mereka melawan semua bukti empiris dan
forensik, dengan membuat cerita yang “terkesan cocok persis”––yaitu
generasi spontan dan panspermia*––yang secara ajaib memberikan mereka
kehidupan pertama yang dibutuhkannya. Ini bukanlah sains––ini hanyalah
sebuah lelucon. Hal ini mengingatkan kami akan sebuah lelucon. Steve
Martin dulu selalu mengatakan, “Saya tahu caranya bagaimana Anda dapat
menjadi seorang milioner dan tidak perlu membayar pajak! Pertama, Anda
harus punya sejuta dolar. Oke, kemudian . . .”
Sikap kaum Darwinis jauh lebih bermasalah ketika Anda tahu bahwa
mereka tidak punya penjelasan mengenai sumber unsur kimia yang tidak
hidup, apalagi penjelasan mengenai kehidupan. Seperti yang sudah kita
lihat di bab 3, salah satu pertanyaan mendasar untuk diajukan adalah, “Jika
tidak ada Tuhan, mengapa ada keberadaan dan bukan ketiadaan?” Kita sudah
melihat bahwa kaum ateis tidak memiliki jawaban yang masuk akal atas
pertanyaan ini. Mengajukan kemungkinan tidaklah cukup––mereka harus
memberikan bukti jika mereka ingin bersikap ilmiah. Jelas sekali bahwa
mereka tidak tahu dari mana asal mula alam semesta. Gambaran besar yang
baik (worldview) harus mampu menjelaskan semua data dengan cara yang
masuk akal. Jika gambaran itu tidak dapat menjawab pertanyaan mendasar
mengenai asal mula dunia atau asal mula kehidupan, maka itu bukanlah
gambaran utama yang tepat. Sudah waktunya Anda mencari gambaran besar
yang lain.
Meskipun kita melihat bahwa gambaran besar kaum Darwinis itu
salah, kita perlu memerhatikan beberapa klaim yang dibuat kaum Darwinis
mengenai asal mula bentuk kehidupan yang pertama. Teori mereka adalah
makroevolusi.

Mikroevolusi Vs. Makroevolusi


Anda tentu masih ingat makroevolusi––dari ameba (Goo) menjadi Anda
(You) via kebun binatang (Zoo). Itu adalah kepercayaan bahwa semua bentuk
kehidupan diturunkan dari nenek moyang yang sama––makhluk bersel satu
yang pertama––dan semua ini terjadi dengan proses alamiah tanpa campur

*Panspermia adalah teori yang menyatakan bahwa kehidupan itu ada dan menyebar ke
seluruh alam semesta dalam bentuk bakteri atau spora yang berkembang dalam lingkungan
yang cocok bagi bakteri atau spora itu.
Bentuk-bentuk Kehidupan Baru: Dari Goo Menjadi You via Zoo? 155

tangan makhluk berakal budi. Tuhan tidak dilibatkan. Benar-benar proses


yang tidak jelas.
Darwinis mengatakan bahwa ini terjadi karena seleksi alam. Tetapi istilah
“seleksi alam” sendiri tidak cocok. Karena secara definisi proses evolusi itu
tanpa makhluk berakal budi, maka tidak akan ada “seleksi” apa pun. Itu
semua merupakan proses yang buta. Istilah “seleksi alam” berarti bahwa
makhluk yang paling kuatlah yang dapat bertahan hidup. Terus? Secara
definisi memang benar, bahwa yang terkuatlah yang dapat bertahan hidup
(ini disebut tautology––sebuah argumen berputar-putar yang tidak men-
jelaskan apa pun). Secara logika, mereka semua merupakan makhluk yang
diberikan unsur yang paling lengkap secara genetik atau struktural untuk
dapat menghadapi perubahan kondisi lingkungan (itulah mengapa mereka
dapat bertahan hidup).
Sebagai contoh “seleksi alam,” pikirkan apa yang terjadi terhadap bak-
teri yang digempur dengan antibiotik. Ketika bakteri mampu bertahan atas
serangan antibiotik dan menjadi berlipat ganda, sekelompok bakteri yang
mampu bertahan hidup itu menjadi kebal terhadap antibiotik. Mereka men-
jadi kebal terhadap antibiotik karena bakteri utama memiliki kemampuan
genetis untuk bertahan, atau entah bagaimana caranya mutasi biokimia yang
langka membantunya bertahan (kami katakan ‘langka’ karena biasanya mutasi
selalu membahayakan). Karena bakteri yang sensitif telah mati, bakteri yang
bertahan hidup berlipat ganda dan kini mendominasi.
Kaum Darwinis mengatakan bahwa bakteri itu telah berevolusi. Karena
berhasil beradaptasi dengan lingkungan, bakteri yang bertahan hidup itu
menjadi contoh evolusi bagi kita semua. Cukup masuk akal, tetapi evolusi
seperti apa? Jawaban yang akan kami berikan benar-benar kritis. Nyatanya,
di luar dugaan filosofis yang telah kami ungkapkan, penjelasan tentang
“evolusi” mungkin adalah titik kebingungan terbesar dalam kontroversi
kreasi-evolusi. Inilah titik di mana kesalahan dan klaim yang tidak benar dari
kaum Darwinis mulai berlipat ganda seperti bakteri jika tidak diperiksa oleh
orang-orang yang percaya bahwa observasi adalah hal yang penting diperlukan
dalam sains. Inilah hasil observasi: Bakteri yang bertahan hidup akan tetap
menjadi bakteri. Mereka tidak berevolusi menjadi jenis organisme lain, itu
adalah makroevolusi. Seleksi alam tidak pernah terbukti dapat menciptakan
jenis yang baru.
156 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst

Tetapi makroevolusi adalah hal yang diklaim kaum Darwinis dari data
yang ada. Mereka mengatakan bahwa perubahan mikro yang dapat diteliti
ini dapat diperhitungkan untuk membuktikan bahwa makroevolusi yang
tidak dapat diteliti itu telah terjadi. Mereka tidak membedakan antara
mikro-evolusi dan makro-evolusi, dan dengan demikian menggunakan bukti
mikro untuk membuktikan makro. Karena gagal membuat perbedaan kritis
ini, kaum Darwinis dapat membuat masyarakat umum tertipu dan berpikir
bahwa perubahan yang dapat diteliti dari sebuah organisme apa pun dapat
membuktikan bahwa semua bentuk kehidupan telah berevolusi dari makhluk
bersel satu yang pertama.
Inilah mengapa penting sekali memperjelas perbedaan yang jelas dibuat
dan semua asumsi tersembunyi diekspos ketika mendiskusikan kontroversi
kreasi-evolusi. Jadi jika seseorang bertanya, “Apakah Anda percaya pada
evolusi?” Anda harus bertanya padanya, “Apa yang Anda maksud dengan
evolusi? Apakah maksud Anda mikro atau makroevolusi?” Mikroevolusi
telah diselidiki; tetapi itu tidak dapat digunakan sebagai bukti makroevolusi,
yang belum pernah diteliti sebelumnya.
Kaum Darwinis ahli dalam menjelaskan istilah “evolusi” dengan cukup
luas sehingga bukti dalam satu situasi bisa juga dianggap bukti bagi situasi
yang lain. Sayangnya, masyarakat sudah mulai mengerti taktik ini, dan kita
harus berterima kasih pada karya populer dari profesor hukum Berkeley
bernama Phillip Johnson. Dialah yang pertama kali menguak kelihaian
kaum Darwinis ini dalam karyanya yang menakjubkan berjudul Darwin on
Trial. Di buku itulah dia menunjukkan bahwa, “Tidak ada ‘bukti’ [seleksi
alam] yang memberikan alasan yang meyakinkan untuk memercayai bahwa
seleksi alam dapat menghasilkan spesies baru, organ baru atau perubahan
besar lainnya, atau bahkan perubahan kecil yang bersifat permanen.”2 Ahli
biologi Jonathan Wells sepakat dengannya ketika ia menulis, “Mutasi biokimia
tidak dapat menjelaskan perubahan skala besar dalam organisme yang kita
lihat dalam sejarah kehidupan.”3
Mengapa seleksi alam tidak dapat melakukannya? Berikut adalah lima
alasannya:

1. Batasan Genetik—Kaum Darwinis mengatakan bahwa mikroevolusi


di dalam tipe-tipe itu membuktikan bahwa makroevolusi telah terjadi. Jika
perubahan kecil ini dapat muncul dalam waktu yang singkat, bayangkan saja
apa yang dapat dilakukan seleksi alam dalam waktu yang lama.
Bentuk-bentuk Kehidupan Baru: Dari Goo Menjadi You via Zoo? 157

Sayangnya, batasan genetik ala Darwinis sepertinya dibentuk ke dalam


tipe dasar. Sebagai contoh, peternak anjing selalu menghadapi batasan
genetik saat mereka mencoba menciptakan jenis anjing baru. Anjing bisa
memiliki jenis yang beragam mulai dari Chihuahua sampai Great Dane,
tetapi meskipun peternak anjing sudah mengusahakan yang terbaik, anjing
tetap akan menjadi anjing. Begitu juga, meskipun ilmuwan yang cerdas telah
berusaha sekuat-tenaga untuk memanipulasi lalat buah, eksperimen mereka
tidak pernah mengubahnya menjadi makhluk lain (dan biasanya berakhir
dengan lalat yang cacat).4 Ini adalah hal yang signifikan karena hidup yang
singkat dari lalat buah memampukan para ilmuwan menguji berbagai gene-
tik dalam waktu yang singkat.

Mikroevolusi Makroevolusi
Dalam Satu Tipe yang Sama Dalam Tipe yang Berbeda
YA TIDAK

Gambar 6.1

Yang paling penting, perbedaan antara seleksi alam dan seleksi buatan
yang dilakukan peternak benar-benar cacat, seperti yang tabel 6.1 (hal. 158)
tunjukkan. Perbedaan terbesar adalah fakta bahwa seleksi buatan dikendali-
kan secara cerdas sementara seleksi alam tidak.
Kebingungan terhadap proses inteligen dan non-inteligen adalah kesa-
lahan yang umum terjadi di antara kaum Darwinis. Inilah yang terjadi
ketika saya (Norm) mendebat seorang humanis bernama Paul Kurtz di tahun
158 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst

Perbedaan
Krusial: SelekSi Buatan SelekSi alam
Tujuan Berdasarkan tujuan (akhir) Tidak berdasarkan tujuan
(akhir)
Proses Proses yang dibimbing oleh Proses tidak jelas
sosok berakal budi
Pilihan Pemilihan benih oleh sosok Tidak ada pemilihan benih
berakal budi oleh sosok berakal budi
Proteksi Benih-benih dilindungi dari Benih-benih tidak dilindungi
proses yang destruktif dari proses yang destruktif
Keajaiban Mempertahankan keajaiban Membuang semua keajaiban
yang diinginkan
Interupsi Interupsi yang berkelanjutan Tidak ada interupsi yang
untuk mencapai tujuan yang berkelanjutan untuk
diinginkan mendapatkan tujuan apa pun
Kelangsungan Perlakuan istimewa Tidak ada perlakuan
Hidup terhadap kelangsungan terhadap kelangsungan
hidup hidup
Tabel 6.1

1986 mengenai topik evolusi. Perdebatan yang dipimpin oleh seorang


apologis televisi bernama John Arkenberg, yang berubah topiknya menjadi
makroevolusi:
Geisler : [Chandra] Wickramasinghe [seorang ateis] mengatakan,
“Percaya bahwa kehidupan ada karena kesempatan itu
sama saja dengan memercayai bahwa pesawat Boeing
747 dihasilkan dari tornado yang menghancurkan
gudang barang bekas.” Anda harus memiliki iman yang
amat besar untuk memercayainya!
Kurtz : Yah, Boeing 747 kan berevolusi. Kita bisa melihat ke
masa lalu pada zaman Wright bersaudara dan melihat
jenis pesawat pertama yang mereka ciptakan . . .
Geisler : Ciptakan?
Kurtz : Ya, tetapi . . .
Ankerberg : Berdasarkan kecerdasan atau karena kesempatan?
[Tertawa]
Bentuk-bentuk Kehidupan Baru: Dari Goo Menjadi You via Zoo? 159

Kurtz : Ada suatu periode di mana bentuk-bentuk ini berubah


...
Ankerberg : Tetapi bukankah mereka menciptakan pesawat itu
dengan memakai kecerdasan mereka?
Kurtz : Saya ini sedang menggunakan analogi yang digunakan
Dr. Geisler.
Geisler : Nah, kalau begitu Anda menguatkan argumen saya
dong! [Tertawa]. Anda tidak boleh menggunakannya
dan harus cari analogi lain!
Kurtz : Tidak, tidak. Saya pikir poin saya bagus karena ada
perubahan dari pesawat sederhana menjadi pesawat
yang lebih rumit.
Geisler : Iya, tetapi perubahan itu karena ada campur tangan
makhluk berakal budi!
Memang benar, perubahan pesawat yang terarah karena sosok berakal
budi tidak membuktikan apa pun mengenai kemungkinan perubahan kehi-
dupan yang terarah tanpa campur tangan pribadi berakal budi. Seperti yang
akan kita lihat di bagian selanjutnya, perubahan langsung pada benda hidup
oleh seleksi alam tidak pernah diteliti sebelumnya, dan perubahan langsung
dalam benda hidup oleh campur tangan pribadi berakal budi terhenti oleh
batasan genetik. Jadi meskipun seandainya hal itu dilakukan secara cerdas,
evolusi juga terhenti oleh tembok batasan. Dengan kata lain, meskipun para
ilmuwan dengan cerdas memanipulasi makhluk-makhluk dengan suatu tujuan
akhir––yang merupakan antitesis proses Darwinian yang buta––tetap saja
makroevolusi tidak bekerja! Jika ilmuwan yang cerdas tidak dapat menem-
bus pembatas genetik, bagaimana mungkin kita mengharapkan seleksi alam
yang tidak berakal budi melakukannya?

2. Perubahan Siklus—Perubahan yang terjadi pada sesama tipe genetik


tidak hanya memiliki batasan genetik, tetapi juga memiliki siklus. Dengan
kata lain, perubahan tidak terjadi secara terarah melalui perkembangan bentuk
kehidupan yang baru, seperti yang dituntut teori makroevolusi, tetapi secara
sederhana mereka bolak-balik dalam batas yang terbatas. Sebagai contoh,
burung-burung kutilang Darwin memiliki ukuran paruh yang berbeda,
yang berhubungan dengan cuaca.5 Paruh yang lebih besar membantu
menghancurkan biji yang lebih besar dan lebih keras selama musim kemarau,
dan paruh yang lebih kecil dapat bekerja dengan baik ketika cuaca yang lebih
160 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst

lembab membawa banyak sekali biji yang lebih kecil dan lembut. Ketika
cuaca menjadi lebih kering, ukuran tubuh kutilang dengan paruh yang lebih
besar hampir sama dengan kutilang yang berparuh lebih kecil. Tubuhnya
membesar dengan sendirinya sesuai dengan periode cuaca yang lembab.
Perhatikan, tidak ada bentuk kehidupan baru yang muncul (mereka tetap
menjadi burung kutilang); hanya ukuran tubuh kutilang berparuh lebih besar
yang berubah menjadi setara dengan yang berparuh kecil. Perhatikan juga
bagaimana seleksi alam tidak dapat menjelaskan bagaimana burung kutilang
bisa ada lebih dulu. Dengan kata lain, seleksi alam mungkin bisa menjelaskan
proses suatu spesies bertahan hidup (survival), tetapi tidak dapat menjelaskan
datangnya spesies (arrival).

3. Kerumitan yang Tidak Dapat Disederhanakan—Pada tahun 1859,


Charles Darwin menulis, “Jika saja bisa didemonstrasikan bahwa organ
kompleks yang ada tidak mungkin dapat dibentuk dari sejumlah modifikasi,
suksesif, dan kecil, maka teori saya pasti akan gagal.”6 Sekarang kita semua
tahu bahwa ada banyak organ, sistem, dan proses dalam kehidupan yang
cocok dengan penjelasan itu.
Salah satu organ itu adalah sel. Pada zaman Darwin, sel merupakan
‘kotak hitam’––yaitu bagian kecil penuh misteri dari kehidupan yang tidak
dapat dilihat orang. Tetapi kini kita memiliki kemampuan untuk melihat ke
dalam sel, kita melihat bahwa kehidupan di level molekuler benar-benar lebih
kompleks daripada yang pernah Darwin bayangkan. Bahkan, amat sangat
kompleks. Sebuah kerumitan yang tidak dapat disederhakan merupakan
sistem yang “dibentuk dari beberapa bagian yang cocok dan saling mengikat
yang memiliki fungsi dasar, yang jika salah satu dari bagian ini dihilangkan,
akan mengakibatkan sistem itu tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.”7
Itu semua adalah perkataan Michael Behe, seorang profesor biokimia di
Lehigh University, yang menulis buku yang revolusioner berjudul Darwin’s
Blackbox: The Biochemical Challenge to Evolution. Penelitian Behe mem-
buktikan bahwa benda hidup benar-benar mengandung mesin-mesin
molekuler yang melakukan banyak sekali fungsi kehidupan. Mesin-mesin
molekuler ini kerumitannya amat sulit dijelaskan, yang artinya semua bagian
mesin itu harus dibentuk secara sempurna, berada di posisi yang tepat, ukuran
yang tepat, dalam tatanan operasional, di saat yang sama agar mesin itu dapat
berfungsi.
Bentuk-bentuk Kehidupan Baru: Dari Goo Menjadi You via Zoo? 161

Mesin mobil adalah salah satu contoh sistem kerumitan yang tidak dapat
disederhanakan. Jika ada perubahan ukuran piston, akan mengakibatkan
adanya perubahan pada ukuran roda blok, sistem pendinginan, kompartemen
mesin dan sistem lainnya, atau mesin baru tidak berfungsi.
Behe menunjukkan bahwa benda hidup memiliki kerumitan yang tidak
dapat disederhanakan, sama seperti mesin mobil. Dengan detail yang amat
sangat rinci, ia menunjukan sejumlah fungsi tubuh––seperti penggumpalan
darah––cilia (organisme penggerak sel)––dan penglihatan, yang kesemuanya
membutuhkan sistem yang amat kompleks yang tidak mungkin dapat dikem-
bangkan dalam model Darwinian yang bertahap. Mengapa? Karena sistem
yang belum sempurna tidak akan berfungsi. Mengenai mesin mobil, semua
komponen yang tepat harus berada di tempatnya dalam ukuran yang tepat
juga agar mesinnya dapat berfungsi. Anda dapat menyusun komponen mesin
bagian demi bagian (dan itu membutuhkan akal budi), tetapi Anda tidak
bisa menyetir ke tempat kerja hanya dengan separuh komponen saja. Anda
juga tidak dapat menggunakan mobil itu jika salah satu komponen penting
telah dimodifikasi dan yang lainnya tidak. Dengan cara yang sama, sistem
kehidupan, langsung tidak berfungsi jika komponennya dimodifikasi bagian
demi bagian.
Ukuran kerumitan yang luar biasa dalam benda yang hidup benar-benar
tidak bisa dipahami oleh akal pikiran. Perhatikan lagi alfabet genetik DNA
yang terdiri dari empat huruf: A, T, C dan G. Nah, di dalam setiap sel manu-
sia ada sekitar 3.000 juta pasang huruf tersebut.8 Tubuh Anda tidak hanya
memiliki triliunan sel dan terus membelah diri menjadi sel yang baru setiap
detik, tetapi setiap sel juga memiliki kerumitan yang kompleks dan terdiri
dari sub-sistem yang kompleks pula!
Penemuan Behe berakibat sangat fatal bagi Darwinisme. Kerumitan
yang luar biasa berarti bahwa kehidupan yang baru tidak mungkin muncul
dari metode Darwinian yang perubahannya sedikit demi sedikit dalam kurun
waktu yang lama. Darwinisme tersebut erat dengan kekuatan alam––tanpa
campur tangan makhluk berakal budi––menghasilkan mesin yang dapat
menggerakkan mobil (contohnya ameba) dan kemudian memodifikasi mesin
dengan kerumitan yang tidak dapat disederhanakan itu menjadi mesin yang
belum sempurna hingga kekuatan alam itu akhirnya dapat membuat pesawat
luar angkasa (contohnya manusia). Kaum Darwinis tidak dapat menjelaskan
dari mana sumber materi untuk membuat mesin, apalagi menjelaskan
bagaimana mesin yang super-rumit bisa ada. Mereka juga tidak dapat
162 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst

menunjukkan proses tanpa akal budi yang memungkinkan mesin apa pun telah
berevolusi menjadi pesawat luar angkasa yang menghasilkan tenaga di setiap
langkah-langkah yang belum jadi itu. Inilah bukti ketiadaan penjelasan dari
kaum Darwinis mengenai bagaimana sistem yang super-rumit dapat muncul
secara bertahap. Behe menguak klaim-klaim omong kosong kaum Darwinis
saat ia menulis dalam bukunya,

. Tidak ada publikasi dalam literatur ilmiah––di dalam jurnal


atau buku––yang menjelaskan bagaimana evolusi molekuler dari sistem
biokimia yang nyata dan kompleks bisa terjadi atau mungkin sudah terjadi.

pengetahuan itu,
.9
Upaya kaum Darwinis yang lemah tidak mampu berhadapan dengan
kerumitan yang luar biasa menunjukkan betapa besarnya masalah teori
mereka. Seorang Darwinis bernama Ken Miller telah mengajukan pendapat
bahwa kerumitan luar biasa itu tidak nyata karena ia dapat menunjukkan
bahwa contoh kerumitan yang tidak dapat disederhanakan dari Behe––yaitu
perangkap tikus––tidak benar-benar rumit. Menurut Behe, kelima bagian
perangkap tikus biasa harus berada pada posisi yang tepat pada saat yang sama,
dengan tatanan yang tepat agar perangkap itu dapat berfungsi. Anda tidak
dapat menangkap tikus hanya dengan papan dan per saja, misalnya. Tetapi
Miller pikir ia dapat menjatuhkan poin Behe dengan membuat perangkap
tikus hanya dengan empat komponen saja (Miller benar-benar membahas hal
ini dalam debat di saluran televisi PBS pada akhir tahun sembilan puluhan).
Tetapi sebenarnya kritik Miller tidak tepat sasaran. Pertama, seperti
Darwinis pada umumnya, Miller mengacuhkan fakta bahwa perangkap
tikusnya membutuhkan sosok berakal budi untuk membuatnya. Kedua, Behe
tidak mengatakan bahwa Anda membutuhkan lima bagian untuk membuat
perangkap tikus jenis apa pun––tetapi hanya perangkap tikus biasa. Sepertinya
perangkap tikus Miller bukanlah perangkap yang lebih dulu ada sebelum
perangkap Behe. Dengan kata lain, proses perubahan perangkap tikus Miller
menjadi perangkap Behe membutuhkan lebih dari satu langkah acak (yaitu
model Darwinian)––proses ini membutuhkan tambahan bagian khusus lainnya
dan beberapa penyesuaian spesifik terhadap bagian yang sudah ada (dan itu
Bentuk-bentuk Kehidupan Baru: Dari Goo Menjadi You via Zoo? 163

membutuhkan sosok berakal budi). Ketiga, meskipun seandainya perubahan


itu bisa saja dibuat oleh proses-proses yang tidak berakal budi, perangkap itu
tidak akan berfungsi selama masa transisi. Tetapi agar Darwinisme benar,
fungsi suatu benda harus dipertahankan setiap saat karena makhluk hidup
tidak dapat bertahan hidup jika, katakan saja, organ-organ vital mereka
tidak melakukan tugasnya seperti biasa selama masa transisi trial-and-error
Darwinian.10 Alasan terakhir, sebuah perangkap tikus hanyalah sebuah ilus-
trasi. Sistem yang hidup jauh lebih kompleks daripada perangkap tikus.
Maka poin Behe jelas sekali tidak dapat diruntuhkan oleh Miller, ataupun
tokoh Darwinis lainnya.11
Pada waktu konferensi Intelligent Design di bulan Juli 2012, di mana Behe
dan saya (Frank) menjadi pembicaranya, ada seorang penganut Darwinis yang
bersikap militan dalam sesi tanya jawab selama seminar itu. Saya ingin sekali
membalik keadaan dan ganti bertanya padanya, maka saya melakukannya
dan memutuskan untuk duduk di sebelahnya selama makan siang.
“Apa yang akan Anda lakukan dengan argumen Behe mengenai kerumitan
yang luar biasa itu?” tanya saya sambil makan sepotong pizza.
Ia memutar bola matanya dan berkata, “Oh, itu sih bukan masalah
besar. Kan ada yang namanya tangga biokimia di dalam sebuah sistem yang
memampukannya berevolusi secara bertahap.”
Ketika kemudian saya bertemu Behe hari itu, saya mengatakan padanya
mengenai penjelasan si penganut Darwinis tadi. Kemudian Behe menjelaskan
dengan tepat bahwa: 1) Tidak ada bukti bahwa tangga-tangga biokimia itu
ada, dan 2) Sebenarnya tangga-tangga itu justru membuatnya semakin rumit
bagi kaum Darwinis, seandainya ‘tangga-tangga” ini benar-benar ada, maka
siapa yang menyusunnya dengan tepat selama ini? Pasti hal itu membutuhkan
campur tangan Pribadi berakal budi.
Ada orang lain yang berusaha menemukan jalur-jalur Darwinian dalam hal
kerumitan yang tidak dapat disederhanakan itu, tetapi semuanya telah gagal.
Behe menegaskan dengan pasti, “Untuk saat ini tidak ada bukti penelitian
yang menunjukkan bahwa alam ikut campur dalam hal kerumitan yang tidak
dapat disederhanakan.”12
Behe tidak meremehkan implikasi kerumitan yang tidak dapat dise-
derhanakan dan penemuan-penemuan lainnya sehubungan dengan pem-
bahasan kehidupan yang kompleks. Ia mencatat, “Hasil dari sekian banyak
usaha untuk menyelidiki sel––penelitian terhadap kehidupan dalam skala
molekuler––adalah jeritan yang keras, tajam yang memekakkan telinga
164 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst

mengenai ‘desain!’ Hasilnya benar-benar jelas dan amat signifikan sehingga


harus disebut sebagai pencapaian terbesar sepanjang sejarah sains. Penemuan
ini menantang penemuan Newton dan Einstein.”13

4. Bentuk Transisional Non-Viabilitas—Masalah lain yang menggangu


kemungkinan dari seleksi alam dalam menciptakan bentuk kehidupan baru
adalah fakta bahwa bentuk-bentuk transisional tidak dapat bertahan. Sebagai
contoh, perhatikan penekanan Darwinian bahwa burung berevolusi secara
bertahap dalam waktu yang lama dari seekor reptil. Proses ini mengharus-
kan transisi dari sisik menjadi bulu. Bagaimana mungkin makhluk itu bisa
bertahan hidup jika sudah tidak memiliki sisik lagi kendati bulunya pun
masih belum sempurna? Bulu adalah hal yang rumit luar biasa. Sesosok
makhluk dengan struktur setengah reptil dan setengah burung tidak memiliki
kemampuan untuk terbang. Ia akan menjadi mangsa yang empuk di darat,
air, dan udara. Dan karena masih separuh reptil dan separuh burung, ia
mungkin tidak dapat mencari makan untuk dirinya sendiri. Maka per-
masalahan kaum Darwinis berkali lipat: Pertama, mereka tidak memiliki
mekanisme yang memungkinkan mereka hidup dari reptil menjadi burung,
dan kedua, meskipun ada mekanisme tersebut, proses transisinya tidak akan
memungkinkan makhluk itu untuk bertahan hidup.

Gambar 6.2
Bentuk-bentuk Kehidupan Baru: Dari Goo Menjadi You via Zoo? 165

5. Isolasi Molekuler—Kaum Darwinis sering mengatakan bahwa bukti


adanya keturunan yang sama terletak pada fakta bahwa semua yang hidup
memiliki DNA. Sebagai contoh, Richard Dawkins menyatakan, “Alasan
kita mengetahui dengan pasti bahwa kita semua saling terhubung, terma-
suk bakteri, adalah universalitas kode genetik dan dasar-dasar biokimia
lainnya.”14 Kaum Darwinis berpikir bahwa kesamaan DNA antara kera dan
manusia, contohnya, beberapa orang katakan ada 85-95%,15 benar-benar
mengisyaratkan adanya hubungan nenek moyang.
Tetapi apakah ini bukti nenek moyang yang sama atau pencipta yang
sama? Bisa saja hal itu diinterpretasikan demikian. Mungkin kaum Darwinis
benar––mungkin kita memiliki kode genetik yang sama karena kita semua
adalah keturunan dari nenek moyang yang sama. Tetapi mereka juga bisa
salah––mungkin kita semua memiliki kode genetik yang sama karena pencipta
yang sama telah menentukan kita hidup dalam biosfer yang sama. Selain itu,
jika biokimia setiap makhluk hidup berbeda, mungkin tidak akan ada rantai
makanan. Mungkin hidup dengan komposisi biokimia yang berbeda itu
mustahil. Dan meskipun seandainya benar demikian, maka makhluk hidup
tidak akan dapat bertahan hidup dalam biosfer ini.
Perhatikan gambar 6.3. Apakah persamaan dan progres membuktikan
bahwa ketel air berevolusi dari sebuah sendok teh? Tidak. Kesamaan dan
progres tidak secara otomatis mengisyaratkan nenek moyang yang sama.
Dalam hal ini kita tahu bahwa itu berarti ada pencipta atau perancang yang
sama. Ini adalah situasi yang sama bagi benda hidup yang nyata yang kita
miliki.

Kesamaan dan Progres

adanya nenek moyang yang sama atau


desainer yang sama?
Apakah panci berevolusi dari sebuah
sendok teh?

Gambar 6.3
166 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst

Seperti yang sudah kami katakan sebelumnya, kemampuan alfabet genetik


DNA yang mengandung sebuah pesan sama dengan kapasitas alfabet bahasa
Inggris yang mengandung sebuah pesan (satu-satunya perbedaan adalah bahwa
alfabet DNA hanya memiliki empat huruf, sedangkan alfabet kita memiliki
dua puluh enam huruf). Karena semua makhluk hidup memiliki DNA dengan
empat basis kandungan nitrogen (dilambangkan dengan huruf A, T, C dan
G), kita berharap adanya kesamaan tingkat tinggi dalam informasi di antara
makhluk hidup, baik nenek moyang mereka ada hubungannya atau tidak.
Mari kita gunakan contoh kalimat untuk memperjelas maksud kami.
Berikut adalah dua kalimat dengan huruf yang benar-benar sama:
Charles Darwin adalah tuhan ilmiah.
Charles Darwin adalah hantu ilmiah.
Meskipun huruf di dalam kedua kalimat di atas identik dan urutannya kira-
kira sama (lebih besar dari 90%), perbedaan kecil dalam urutan hurufnya
memberikan makna yang bertolak belakang. Dengan cara yang sama, sedikit
saja perbedaan urutan dari huruf (A, T, C dan G) dalam makhluk hidup akan
menghasilkan makhluk yang amat berbeda dalam pohon evolusi hipotetis.
Sebagai contoh, meskipun beberapa studi menunjukkan bahwa kesamaan
DNA antara manusia dan sebagian besar jenis kera sekitar 90%, penelitian
yang lain menunjukkan bahwa kesamaan DNA antara manusia dan tikus juga
sekitar 90%.16 Perbedaan seperti itu amat kontroversial dan tidak benar-benar
dapat dipahami. Kita perlu melakukan lebih banyak penelitian mengenai hal
ini. Tetapi jika secara genetika tikus hampir sama dengan manusia, seperti
layaknya kera, ini akan benar-benar mempersulit penjelasan kaum Darwinis.
Tetapi mari coba kita bayangkan bahwa suatu hari nanti penelitian
menunjukkan bahwa DNA kera lebih dekat dengan manusia daripada DNA
makhluk lain. Ini tidak serta merta membuktikan kesimpulan Darwinis
bahwa ada hubungan nenek moyang. Sekali lagi, alasan kesamaan itu bisa
saja dikarenakan pencipta yang sama dan bukan nenek moyang yang sama.
Kita harus menemukan bukti lain dalam hal molekuler untuk membantu kita
menemukan apakah kode genetik yang sama merupakan bukti adanya nenek
moyang yang sama atau pencipta yang sama.
Bukti yang lain sudah ditemukan––dengan membandingkan rangkaian
protein. Protein merupakan batu bata kehidupan. Protein tersusun dari ran-
tai unit kimia yang panjang yang dinamakan asam amino. Sebagian besar
protein memiliki lebih dari 100 asam amino ini di dalam struktur mereka,
yang harus berada dalam tatanan yang spesifik. DNA mereka mengandung
Bentuk-bentuk Kehidupan Baru: Dari Goo Menjadi You via Zoo? 167

instruksi untuk mengatur asam amino di dalam protein, dan urutan itu amat
penting karena variasi protein biasanya akan berakibat pada disfungsi protein.
Inilah inti masalah kaum Darwinis. Jika semua spesies memiliki nenek
moyang yang sama, kita pasti akan mendapatkan susunan protein yang
transisional dari, misalnya, ikan dan amfibi, atau reptil dan mamalia. Tetapi
kita sama sekali tidak menemukan hal yang demikian. Sebaliknya, kita
menemukan bahwa tipe dasar yang berhubungan dengan molekul terisolasi
satu sama lain, sehingga tidak memungkinkan adanya relasi nenek moyang.
Michael Denton meneliti,
Pada tingkatan molekuler, tidak ada jejak transisi evolusi dari ikan

transisional antara ikan dan vertebrata melata lainnya, amat berbeda dari

mereka yang amat yakin dengan gambaran tradisional evolusi vertebrata,


hasilnya sungguh mencengangkan.17
Jadi meskipun semua organisme memiliki kode genetik yang sama
dengan tingkat kemiripan yang berbeda-beda, kode itu telah menyusun asam
amino di dalam protein dengan suatu cara sehingga tipe dasar berada dalam
isolasi molekuler dari yang lainnya. Tidak ada transisi Darwinian, yang ada
hanya celah/ jarak molekuler yang berbeda. Kaum Darwinis tidak dapat
menjelaskan keberadaan gap molekuler ini dengan seleksi alam daripada
mereka menjelaskan keberadaan gap yang sangat lebar yang terekam dalam
bukti fosil (yang akan kita bicarakan selanjutnya).

Bagaimana dengan Bukti Fosil?


Kalau begitu mari kita segera mengulang apa yang telah kita pelajari sejauh
ini. Berikut ini lima bukti yang menunjukkan bahwa seleksi alam tidak dapat
menghasilkan bentuk kehidupan baru:
1. Batasan genetik
2. Perubahan siklus
3. Kerumitan yang tidak dapat disederhanakan
4. Bentuk-bentuk transisional non-viabilitas
5. Isolasi molekuler
Tetapi bukankah bukti fosil mendukung teori Darwinian? Mari kita perha-
tikan.
168 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst

Tanpa kemudahan dari teknologi masa kini, Charles Darwin tidak dapat
mengenali masalah yang dihadapi oleh teorinya pada skala sel. Namun, ia
mengetahui bahwa bukti penemuan fosil menjadi masalah besar bagi teorinya
karena fosil itu tidak menunjukkan perubahan secara bertahap. Itulah sebab-
nya ia mencatat, “Jika demikian mengapa tidak semua formasi geologis dan
setiap lapisan menunjukkan adanya hubungan makhluk transisional? Jelas
sekali ilmu geologi tidak mengungkap adanya rantai organik yang bertahap,
dan mungkin ini adalah keberatan yang paling gamblang dan paling besar
yang dapat digunakan untuk melawan teori saya.”18
Tetapi Darwin berpikir, penemuan fosil selanjutnya akan menunjukkan
bahwa teorinya benar. Waktu telah membuktikan bahwa dia salah. Bertolak
belakang dengan apa yang mungkin Anda dengar dari media pada umumnya,
penemuan fosil malah menjadi hal yang benar-benar mempermalukan
kaum Darwinis. Jika Darwinisme benar, kita akan menemukan ribuan,
atau mungkin jutaan fosil transisional sekarang. Sebaliknya, menurut ahli
paleontologi (ahli fosil dan kepurbakalaan) Harvard, Stephen Jay Gould
(seorang evolusionis), yang sudah mendahului kita,
Sejarah sebagian besar spesies yang menjadi fosil memiliki dua karakter

dari nenek moyangnya; semuanya muncul sekali secara bersamaan dan


‘sudah dalam bentuk yang utuh.’19
Dengan kata lain, Gould mengakui bahwa tipe-tipe fosil itu muncul tiba-
tiba, sudah terbentuk, dan tetap memiliki bentuk yang sama sampai masa
kepunahan tanpa adanya perubahan atau menjadi sesuatu yang lain—
persisnya, hal yang dicari orang mengenai apakah penciptaan itu benar.
Tetapi alih-alih menyetujui penciptaan, Gould malah menolak teori
gradualisme Darwin dan menciptakan rumus yang dinamakan “Punctuated
Equilibria” (PE). PE berpendapat bahwa spesies yang berevolusi lebih cepat
dalam periode yang singkat, itulah yang menjelaskan tentang kesenjangan
fosil yang luas. Gould tidak memiliki mekanisme alam yang memungkinkan
hal ini dapat terjadi, tetapi karena ia seorang ateis, ia harus menjelaskan
Bentuk-bentuk Kehidupan Baru: Dari Goo Menjadi You via Zoo? 169

tentang catatan fosil itu bagaimanapun juga. Ini merupakan kasus klasik
yang mengizinkan praduga Anda menodai observasi Anda.
Tetapi kita tidak sependapat dengannya. Poin utamanya di sini adalah
bahwa catatan fosil sebenarnya menunjukkan urutan yang lebih baik dengan
penciptaan supranatural daripada makroevolusi. Memang benar bahwa tidak
ada bagian yang hilang––tetapi ada mata rantai yang hilang!
Tidak ada mata rantai karena hampir semua kelompok yang besar
dari binatang yang pernah ada muncul di dalam fosil begitu saja dan sudah
berbentuk lengkap di dalam lapisan tanah mulai dari periode Cambrian
(yang banyak ilmuwan perkirakan muncul antara 600 sampai 500 tahun
lalu). Jonathan Wells menulis, “Bukti dari fosil amat kuat, dan kejadiannya
sangat dramatis, sehingga itu dikenal sebagai ‘Ledakan Cambrian’ atau ‘Big
Bang dalam ilmu Biologi.’”20
Bukti ini, tentu saja, benar-benar tidak konsisten dengan Darwinisme.
Semua kelompok hewan muncul secara terpisah, sudah terbentuk sempurna,
dan dalam waktu yang sama. Itu semua bukanlah bukti evolusi yang terjadi
bertahap tetapi bukti penciptaan dalam waktu yang instan. Jadi pohon evolusi
yang sudah sering kita lihat tidak benar-benar mengilustrasikan catatan fosil
yang benar. Nyatanya, seperti penyelidikan Well, “Jika ada analogi botanikal
yang tepat, yang lebih tepat adalah ladang, bukan pohon.”21 Ladang itu
akan memiliki sekelompok rumput atau tanaman yang berbeda yang hanya
dipisahkan oleh tanah.
Pada titik ini Anda mungkin akan berpikir, “Tetapi bagaimana dengan
perubahan tempurung kepala yang sering kita lihat? Bukankah kelihatannya
manusia memang telah berevolusi dari kera?”
Beberapa tahun yang lalu, saya (Norm) mendebat seorang Darwinis yang
menjejerkan tempurung kepala di atas meja untuk mengilustrasikan bahwa
evolusi telah terjadi. “Bapak ibu sekalian, ini adalah bukti evolusi” serunya.
Wah, bagaimana mungkin Anda mengacuhkan fosil ini? Tempurung-tem-
purung kepala itu kelihatannya mengalami progres yang nyata. Sepertinya
mereka memiliki hubungan nenek moyang. Apakah ini bukti yang memadai
untuk Darwinisme? Tidak. Itu tidak lebih baik daripada bukti bahwa ketel
air yang besar berasal dari sebuah sendok.
Masalah kaum Darwinis adalah bahwa fosil itu tidak dapat membuktikan
adanya relasi nenek moyang. Mengapa tidak? Karena, menurut Michael
Denton, “99% dari biologi organisme mana pun berada dalam anatomi lunak,
yang tidak terdapat dalam fosil.”22 Dengan kata lain, sulit sekali menemukan
170 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst

susunan biologis dengan melihat sisa-sisa fosil saja. Jonathan Wells meneliti,
“Bukti fosil itu terbuka terhadap banyaknya interpretasi karena masing-masing
spesimen dapat direkonstruksi dengan berbagai cara, dan karena catatan fosil
tidak dapat membuktikan relasi nenek moyang-keturunan.”23
Tetapi hal ini tidak menghentikan kaum Darwinis. Karena Darwinisme
harus benar karena komitmen filosofis yang sudah mereka buat sebelumnya,
kaum Darwinis harus menemukan bukti yang mendukung pandangannya.
Jadi alih-alih mengakui bahwa fosil tidak dapat membuktikan adanya
relasi nenek moyang, mereka malah mengambil kemungkinan yang satu
persen dari fosil itu dan menggunakan 99% lainnya berupa peluang untuk
menggambarkan penemuan fosil mereka dengan mengisi kekosongan di
mana pun mereka mau. Dengan peluang tanpa fakta yang mendukung,
kaum Darwinis bebas membangun dengan kreatif seluruh “bagian yang
hilang” dari sisa-sisa fosil yang justru diambil dari benda yang tidak penting
seperti gigi. Inilah sebabnya banyak “bagian yang hilang” akhirnya diketahui
sebagai fakta palsu atau kesalahan.24 Henry Gee, penulis utama karya ilmiah
Nature, menulis, “Mengambil sejumlah fosil dan kemudian mengklaim bahwa
fosil-fosil itu adalah garis silsilah bukanlah hipotesis ilmiah yang dapat diuji,
tetapi hanya merupakan penekanan yang mengandung validitas yang sama
dengan dongeng sebelum tidur––menghibur, bahkan mungkin mengandung
pelajaran, tetapi tidak ilmiah.”25
Fosil itu bukan hanya tidak cukup untuk menentukan relasi nenek
moyang; berkenaan dengan apa yang kita tahu tentang natur kerumitan
yang tidak dapat disederhanakan dari sistem biologis, bukti fosil itu juga
tidak relevan dengan pertanyaannya. Kesamaan struktur atau anatomi di
antara jenis-jenis makhluk hidup (kadang-kadang disebut homologi) juga
tidak menyatakan apa-apa tentang nenek moyang yang sama. Michael Behe
menulis,

tanyaan mengenai apakah evolusi memiliki peran dalam level molekuler.

antara dengan , dan

bangkan tahap demi tahap.26


Bentuk-bentuk Kehidupan Baru: Dari Goo Menjadi You via Zoo? 171

Jadi, menurut Behe, ilmu Biologi mengerdilkan anatomi mengenai


pertanyaan makroevolusi yang masuk akal. Sama seperti isi buku yang
memberikan informasi lebih banyak daripada sampulnya, kondisi biologis
mahkluk hidup menyediakan lebih banyak informasi daripada struktur
tulangnya. Meskipun demikian, kaum Darwinis telah lama sekali berpendapat
bahwa kesamaan struktur antara, katakanlah, kera dan manusia merupakan
bukti adanya nenek moyang yang sama (atau keturunan yang sama). Apakah
mereka tidak pernah sadar bahwa kesamaan struktur bisa jadi merupakan bukti
adanya pencipta yang sama dan bukan nenek moyang yang sama?27 Selain
itu, di dalam dunia yang didominasi oleh hukum fisik dan kimia, mungkin
hanya ada beberapa bagian struktur anatomi yang kondusif bagi hewan yang
didesain untuk berjalan dengan dua kaki. Karena kita semua hidup di dalam
biosfer yang sama, kita berharap beberapa makhluk memiliki desain yang
sama.
Di samping itu, meskipun kera memiliki struktur yang mirip dengan
manusia, kita kerap lupa bahwa kera dan manusia hampir tidak memiliki
kemiripan dengan ular, jamur dan pohon. Tetapi menurut Darwinisme semua
makhluk hidup telah berevolusi dari nenek moyang yang sama. Untuk dapat
mengajukan teori Darwinisme, Anda harus bisa menjelaskan banyaknya
ketidakmiripan antara makhluk hidup. Anda harus menjelaskan bagaimana
pohon palem, burung merak, gurita, serangga, kelelawar, badak, landak, kuda
laut, kantong semar, manusia, dan lumut, misalnya, berasal dari kehidupan
pertama yang memiliki kerumitan yang tidak dapat disederhanakan tanpa
campur tangan sosok berakal budi. Anda juga harus menjelaskan bagaimana
kehidupan pertama dan alam semesta bisa eksis. Tanpa penjelasan yang tepat,
yang merupakan hal yang tidak dapat diberikan kaum Darwinis, iman yang
dibutuhkan untuk menjadi seorang Darwinis benar-benar sangat besar. Dan
itulah sebabnya kami tidak memiliki cukup iman untuk menjadi seorang
Darwinis.

apakah deSain inteligen merupakan alternatif Buatan SoSok


Berakal Budi?
Masih banyak yang dapat dibahas mengenai makroevolusi, tetapi sayang,
terlalu panjang untuk dibahas di sini. Meskipun demikian, kita bisa meng-
ambil kesimpulan yang masuk akal dari data yang telah kita selidiki di bab
ini. Berkenaan dengan bukti fosil, isolasi molekuler, kendala-kendala transisi,
kerumitan yang luar biasa, perubahan sirkuler dan batasan genetik (dan
172 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst

fakta bahwa mereka tidak dapat menjelaskan asal mula alam semesta atau
kehidupan yang pertama), Anda mungkin berpikir bahwa kaum Darwinis
akhirnya akan mengakui bahwa teori mereka tidak sesuai dengan bukti yang
dapat diteliti. Sebaliknya, kaum Darwinis malah memberikan kisah-kisah
yang “terlihat hebat” yang belum terbukti yang sebenarnya bertolak belakang
dengan penelitian ilmiah. Mereka masih saja bersikukuh bahwa evolusi itu
adalah fakta, fakta, fakta!
Kami setuju bahwa evolusi adalah fakta, tetapi bukan dalam pengertian
yang dipahami kaum Darwinis. Jika Anda mengartikan evolusi sebagai
“perubahan,” maka tentu saja makhluk hidup sudah berevolusi. Tetapi
evolusi yang terjadi bersifat mikro, bukan makro. Seperti yang sudah kita
lihat, makroevolusi bukan hanya kurang bukti, tetapi ada bukti positif bahwa
makroevolusi tidak pernah terjadi.
Jika makroevolusi tidak benar, maka manakah yang benar? Yah, jika tidak
ada penjelasan alam mengenai bentuk kehidupan yang baru, maka pasti ada
penjelasan dari sosok berakal budi. Itulah satu-satunya cara lain. Tidak ada
jalan tengah antara pribadi berakal budi dan yang tidak berakal budi. Entah
akal budi campur tangan di dalamnya atau tidak sama sekali. Tetapi kaum
Darwinis tidak menyukai pilihan ini. Maka mereka mengerahkan segenap
kemampuannya untuk mempertahankan posisi mereka dengan bukti ilmiah
yang objektif (dengan sangat cepat), kaum Darwinis biasanya menyerang
penganut Desain Inteligen––orang-orang yang percaya bahwa ada sosok yang
supercerdas di balik adanya alam semesta dan kehidupan. Berikut ini adalah
keberatan yang biasa diajukan dan respons kita terhadapnya:28

Keberatan: Desain Inteligen bukanlah sains.


Jawaban: Seperti yang sudah kita lihat, sains merupakan usaha pencarian
penyebab, dan hanya ada dua jenis penyebab: Pribadi berakal budi dan tidak
berakal budi (alam). Klaim kaum Darwinis yang mengatakan bahwa Desain
Inteligen bukanlah sains berdasarkan definisi subjektif mereka mengenai
sains. Argumen mereka berputar-putar! Jika definisi Anda mengenai sains
telah menghilangkan penyebab inteligen terlebih dahulu, maka Anda tidak
akan pernah mau menerima sains Desain Inteligen.
Ironis, jika Desain Inteligen bukanlah sains, maka Darwinisme juga tidak.
Mengapa? Karena kedua-duanya berusaha mencari tahu apa yang terjadi di
masa lalu. Pertanyaan mengenai asal usul adalah pertanyaan forensik, dan
dengan demikian membutuhkan penggunaan prinsip sains forensik yang
Bentuk-bentuk Kehidupan Baru: Dari Goo Menjadi You via Zoo? 173

telah kita diskusikan sebelumnya. Sebenarnya, jika mereka menghilangkan


unsur Desain Inteligen dalam ranah sains, selain harus menghilangkan unsur
Darwinisme sendiri, mereka juga harus menghilangkan unsur arkeologis,
kriptologis, kriminal dan juga unsur investigasi forensik, begitu juga dengan
Search for Extra Terrestrial Intelligence (SETI). Itu semua adalah sains forensik
logis yang melihat ke masa lalu mengenai penyebab inteligen. Pasti ada yang
salah dengan definisi sains Darwinis.
Dalam tabel 6.2 menunjukkan perbedaan antara sains empiris dan sains
forensik:

SainS empiriS (operaSi) SainS forenSik (aSal mula)


Mempelajari masa kini Mempelajari masa lalu
Mempelajari keteraturan Mempelajari keanehan
Mempelajari hal yang dapat diulang Mempelajari hal yang tidak dapat
diulang
Memiliki kemungkinan penciptaan Tidak mungkin melakukan
kembali penciptaan kembali
Mempelajari fungsi sesuatu Mempelajari asal mula sesuatu
Diuji dengan eksperimen yang dapat Diuji dengan keseragaman
diulang
Menanyakan tentang bagaimana Menanyakan tentang asal usul
sesuatu berfungsi sesuatu
Contoh: Contoh:
Bagaimana air bisa mengalir ke Dari asal usul tanaman
bawah? Hidroelektrik?
Bagaimana batu mengalami Dari mana asal mula gunung
pengikisan? Rushmore?
Bagaimana cara kerja sebuah mesin? Dari mana asal mula sebuah mesin?
Bagaimana caranya tinta menempel Dari manakah asalnya buku ini?
pada kertas? Dari manakah asal mula kehidupan?
Bagaimana cara hidup berfungsi? Dari mana asal mula alam semesta?
Bagaimana cara alam semesta
bekerja?
Tabel 6.2
174 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst

Keberatan: Desain Inteligen mendukung gagasan yang salah mengenai


Tuhan-Pengisi-Kekosongan (Gap)
Jawaban: Gagasan mengenai Tuhan-Pengisi-Kekosongan muncul ketika
seseorang keliru memercayai bahwa Tuhanlah penyebab suatu kejadian
ketika yang sebenarnya terjadi adalah fenomena alam yang masih belum
diteliti. Sebagai contoh, orang-orang dulu percaya bahwa kilat disebabkan
oleh Tuhan. Saat itu ada kesenjangan di dalam ilmu pengetahuan kita,
maka kita menghubungkannya dengan Tuhan. Kaum Darwinis menekankan
bahwa kaum teis melakukan hal yang sama dengan mengklaim bahwa Tuhan
menciptakan alam semesta dan kehidupan. Apakah mereka benar? Tidak,
karena sejumlah alasan.
Pertama, ketika kita menyimpulkan bahwa sosok berakal budi mencip-
takan sel pertama dalam otak manusia, itu semua bukan karena kita keku-
rangan bukti dari penjelasan alam, tetapi karena kita menemukan bukti empi-
ris yang juga dapat dibuktikan secara positif mengenai sosok yang berakal
budi. Sebuah pesan (dengan kerumitan luar biasa) dapat diteliti secara empiris.
Ketika kita mengenali sebuah pesan, seperti “Buang sampahnya––Mama”
atau pesan yang setara dengan 1.000 ensiklopedia––kita tahu bahwa pesan
itu pasti berasal dari pribadi berakal budi karena berdasarkan pengalaman
dari penelitian kita mengatakan bahwa pesan hanya dapat dibuat oleh pribadi
berakal budi. Setiap kali kita meneliti sebuah pesan, pasti pesan itu datangnya
dari pribadi berakal budi. Kami mencocokkan data ini dengan fakta bahwa
kita tidak pernah meneliti bahwa hukum alam dapat menciptakan semuah
pesan, dan kita tahu bahwa pribadi berakal budi pastilah penyebabnya. Ini
adalah kesimpulan ilmiah yang valid berdasarkan penelitian dan repetisi. Ini
bukanlah pendapat yang didasarkan pada ketidaktahuan, bukan juga karena
ada “gap” dalam pengetahuan kita.
Kedua, ilmuwan Desain Inteligen terbuka terhadap penyebab alam
maupun pribadi berakal budi. Mereka tidak menentang dengan melanjutkan
penelitian untuk mendapatkan penjelasan alam mengenai kehidupan yang
pertama. Mereka hanya meneliti bahwa semua penjelasan alam telah gagal,
dan semua bukti empiris yang dapat diteliti mengacu pada Desainer berakal
budi.
Sekarang, seseorang bisa mempertanyakan kebijakan dalam pencarian
penyebab alam dari kehidupan. William Dembski, yang telah mempublikasikan
banyak penelitian mengenai Desain Inteligen, menanyakan, “Sejak kapan
tekad (untuk menemukan penyebab alam) menjadi suatu hal yang bodoh dan
Bentuk-bentuk Kehidupan Baru: Dari Goo Menjadi You via Zoo? 175

tidak dapat dibelokkan? . . . Berapa lama lagi kita akan terus mencari sampai
akhirnya menyerah dan kemudian menyatakan bahwa meneruskan pencarian
adalah hal yang sia-sia tetapi juga bahwa objek pencarian itu sendiri memang
tidak eksis.”29
Perhatikan implikasi pertanyaan Dembski. Haruskah kita terus mencari
penyebab alam untuk fenomena seperti Gunung Rushmore atau pesan seperti
“Buang sampahnya––Mama?” Kapan semua itu akan berakhir?
Walter Bradley, salah seorang penulis buku The Mystery of Life’s Origin
yang diperkirakan akan menjadi karya yang terus berkembang, percaya bahwa
“Tampaknya tidak ada kemungkinan untuk menemukan [penjelasan alam]”
asal mula kehidupan. Ia menambahkan, “Saya pikir orang yang percaya bahwa
kehidupan ada secara alamiah harus memiliki iman yang jauh lebih besar
daripada orang rasional yang berpendapat bahwa ada Desain Inteligen.”30
Baik Anda berpikir kita harus terus mencari penjelasan alam ataupun
tidak, poin utamanya bahwa ilmuwan Desain Inteligen terbuka terhadap
penyebab alam maupun inteligen. Tetapi kenyataannya penyebab inteligen,
paling cocok dengan bukti yang ada.
Ketiga, kesimpulan mengenai Intelligent Design (ID)/Desain Inteligen
tidak dapat dipalsukan. Dengan kata lain, ID dapat ditolak jika suatu hari
nanti hukum alam terbukti dapat menciptakan kerumitan yang spesifik itu.
Namun, hal itu tidak dapat diterapkan dalam posisi Darwinis. Mereka tidak
mengizinkan pengujian mengenai “kisah penciptaan” mereka karena, seperti
yang sudah kami jelaskan, mereka tidak mengizinkan adanya kisah penciptaan
lain untuk dipertimbangkan. “Sains” mereka tidak bersifat sementara atau
terbuka terhadap koreksi; sains mereka lebih tertutup daripada sebagian besar
doktrin gereja yang dogmatik yang cenderung dikritik oleh kaum Darwinis.
Alasan terakhir, sebenarnya kaum Darwinislah yang menganut gagasan
keliru mengenai Tuhan-Pengisi-Kekosongan. Darwin sendiri pernah dituduh
bahwa ia menganggap seleksi alam sebagai “kekuatan aktif atau ketuhanan”
(lih. bab 4 mengenai Asal Mula Spesies). Tetapi tampaknya seleksi alam
adalah ketuhanan atau “Tuhan-Pengisi-Kekosongan” bagi kaum Darwinis
masa kini. Ketika mereka benar-benar telah gagal menjelaskan bagaimana
sistem biologis yang memiliki kerumitan luar biasa, sistem biologis yang kaya
informasi bisa eksis, mereka begitu saja menutupi kesenjangan pengetahuan
mereka dengan mengklaim bahwa seleksi alam, waktu dan kesempatanlah
yang melakukannya.
176 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst

Kemampuan mekanisme seperti itu untuk menciptakan sistem informasi


biologis yang kaya berlawanan dengan bukti penelitian. Mutasi biasanya
selalu merupakan hal yang berbahaya, dan waktu serta kesempatan sama
sekali tidak membantu kaum Darwinis, seperti yang sudah kami jelaskan di
bab 5. Yang paling memungkinkan adalah seleksi alam bisa jadi bertanggung
jawab terhadap perubahan kecil pada spesies yang hidup, tetapi seleksi alam
tidak dapat menjelaskan asal mula bentuk dasar kehidupan. Anda perlu
sesuatu yang hidup sebagai pemicu utama agar seleksi alam dapat bekerja.
Namun, meskipun masalah mekanisme mereka sudah jelas, kaum Darwinis
tetap bersikeras bahwa hal itu mengisi gap yang ada dalam pengetahuan
mereka. Lebih jauh lagi, mereka dengan sengaja mengabaikan adanya bukti
kuat yang dapat diteliti secara empiris mengenai adanya pribadi berakal
budi. Ini bukanlah sains melainkan dogma agama sekuler. Kaum Darwinis,
seperti lawan-lawan Galileo, membiarkan agama mereka mengesampingkan
penelitian ilmiah!

Keberatan: Desain Inteligen termotivasi secara religius.


Jawaban: Ada dua aspek mengenai keberatan ini. Yang pertama adalah bahwa
beberapa orang yang menganut Desain Inteligen bisa saja termotivasi secara
religius. Lalu? Apakah itu membuat pandangan tentang Desain Inteligen
salah? Apakah motivasi religius beberapa penganut Darwinis membuat
pandangan Darwinisme salah? Tidak, kebenarannya tidak bergantung pada
motivasi ilmuwannya, tetapi kualitas buktinya. Motivasi atau bias seorang
ilmuwan tidak serta merta membuatnya salah. Ia bisa saja memiliki bias dan
tetap dalam posisi yang benar. Bias atau motivasi bukanlah isu utama––
kebenaranlah isu utamanya.
Kadang-kadang keberatan itu dinyatakan begini: “Anda tidak dapat
memercayai semua yang ia katakan mengenai asal mula kehidupan karena
ia adalah seorang kreasionis!” Nah, itu seperti pedang bermata dua yang
kedua sisinya tajam. Kita bisa dengan gampang mengatakan, “Anda tidak
dapat memercayai semua yang ia katakan mengenai asal mula kehidupan
karena ia adalah seorang Darwinis!”
Mengapa kesimpulan-kesimpulan para kreasionis langsung dianggap
bias tetapi kesimpulan Darwinis dianggap objektif? Karena sebagian besar
orang tidak menyadari bahwa kaum ateis memiliki pola pandang yang sama
seperti kreasionis. Seperti yang kita lihat, pola pandang ateis tidak netral
dan sebenarnya membutuhkan iman yang lebih besar daripada kreasionis.
Bentuk-bentuk Kehidupan Baru: Dari Goo Menjadi You via Zoo? 177

Nah, seperti yang sudah kami katakan sebelumnya, jika bias filosofis
atau religius mencegah seseorang untuk dapat menginterpretasi bukti dengan
benar, maka kita memiliki dasar untuk mempertanyakan kesimpulan orang
itu. Dalam debat yang baru saja terjadi, masalah ini sepertinya lebih berat
bagi kaum Darwinis daripada yang lainnya. Namun, poin utamanya adalah
meskipun seandainya seseorang termotivasi karena agama atau filosofi,
kesimpulan mereka dapat dikoreksi dengan pandangan yang jujur atas bukti
yang ada. Para saintis maupun kreasionis mungkin mengalami kesulitan untuk
bersikap netral, namun jika mereka berintegritas, mereka dapat bersikap
objektif.
Aspek keberatan kedua adalah tuntutan bahwa penganut Desain Inte-
ligen tidak mempunyai bukti apa pun bagi pandangan mereka––mereka
hanya menirukan kata-kata dari Alkitab. Aspek keberatan ini juga sia-sia.
Kepercayaan Desain Inteligen bisa saja konsisten dengan Alkitab, tetapi
mereka bukan berdasarkan Alkitab. Seperti yang sudah kita lihat, Desain
Inteligen adalah kesimpulan yang didasarkan pada bukti yang dapat diteliti
secara empiris, bukan berdasarkan teks yang sakral. Seperti yang diselidiki
Michael Behe, “Kehidupan di bumi pada level yang paling mendasar, dalam
komponen yang paling penting, merupakan produk aktivitas berakal budi.
Kesimpulan dari desain inteligen mengalir secara natural dari data itu sendiri
––bukan dari kitab suci atau kepecayaan satu aliran saja.”31
Desain Inteligen juga bukan “sains penciptaan.” Ilmuwan Desain Inte-
ligen tidak membuat klaim yang dibuat oleh orang-orang yang disebut-sebut
sebagai “ilmuwan penciptaan.” Mereka tidak mengatakan bahwa data yang
ada amat mendukung enam-hari-dua-puluh-empat jam di dalam Kejadian,
atau bencana air bah yang menutupi seluruh permukaan bumi. Sebaliknya,
mereka tahu bahwa data Desain Inteligen bukanlah berdasarkan umur yang
spesifik atau sejarah geologis bumi. Ilmuwan Desain Inteligen mempelajari
objek yang sama yang juga dipelajari kaum Darwinis––kehidupan dan alam
semesta––tetapi mereka memiliki kesimpulan yang lebih masuk akal mengenai
penyebab objek-objek itu. Singkatnya, tanpa menghiraukan apa yang akan
dikatakan Alkitab mengenai hal ini, Darwinisme ditolak karena tidak sesuai
dengan data ilmiah, dan Desain Inteligen diterima karena sesuai dengan data
ilmiah.
178 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst

Keberatan: Desain Inteligen salah karena hal yang disebut-sebut desain


itu tidak sempurna.
Jawaban: Kaum Darwinis sudah lama berpendapat bahwa jika ada sesosok
desainer, ia pasti akan mendesain ciptaannya lebih baik. Stephen Jay Gould
membahas hal ini di dalam bukunya The Panda’s Thumb, di buku ini ia
mengutip desain yang kelihatannya tidak optimal yaitu benjolan tulang yang
ada pada ibu jari panda.
Masalah kaum Darwinis adalah jawaban ini justru berbalik mendukung
adanya desainer dan bukannya pendapat yang menentang adanya desainer.
Pertama, fakta bahwa Gould dapat menemukan sesuatu seperti desain
sub-optimal menyiratkan bahwa ia tahu tentang desain optimal itu. Anda
tidak mungkin mengetahui sesuatu itu tidak sempurna kecuali Anda tahu
apa itu sempurna. Maka observasi Gould mengenai desain yang kurang
optimal menyiratkan pengakuan bahwa desain itu ada pada ibu jari panda
(Ngomong-ngomong, inilah alasan lainnya mengapa kaum Darwinis salah
ketika mereka menekankan bahwa Desain Inteligen bukanlah sains. Ketika
mereka mengklaim sesuatu tidak dirancang dengan benar, maka mereka
menyiratkan bahwa mereka dapat menjelaskan sesuatu yang didesain dengan
benar. Ini membuktikan apa yang selama ini dikatakan oleh para ilmuwan
Desain Inteligen––Desain Inteligen adalah sains karena desain adalah sesuatu
yang dapat diteliti secara empiris).
Kedua, desain yang kurang optimal tidak berarti tidak ada desain. Dengan
kata lain, meskipun Anda mengatakan bahwa suatu hal tidak didesain secara
optimal, tidak berarti ia sama sekali tidak didesain. Mobil Anda tidak didesain
secara optimal, tetapi tetap saja ia memiliki desain––dan jelas tidak dirakit
oleh hukum alam.
Ketiga, agar dapat mengatakan sesuatu tidak optimal, Anda harus
tahu apa maksud atau tujuan desainer itu. Jika Gould tidak tahu maksud
penciptanya, maka ia tidak dapat mengatakan desain itu tidak seperti yang
diharapkan. Bagaimana Gould bisa tahu bahwa ibu jari panda sebenarnya
bukanlah hal yang ada dalam pikiran perantaranya? Gould berasumsi bahwa
panda itu seharusnya memiliki sepasang ibu jari yang saling berhadapan,
seperti manusia. Tetapi mungkin perancang memang menginginkan ibu
jari panda yang demikian. Lagi pula, jari panda itu bekerja dengan baik
saat ia harus mengupas kulit bambu hingga mendapatkan bagian yang dapat
dimakan. Mungkin panda tidak memerlukan ibu jari yang saling berhadapan
karena mereka tidak perlu membaca buku seperti Gould, mereka hanya perlu
Bentuk-bentuk Kehidupan Baru: Dari Goo Menjadi You via Zoo? 179

mengupas bambu. Gould tidak dapat menyalahkan sang desainer ibu jari itu
jika memang tidak dimaksudkan untuk melakukan hal lain selain mengupas
bambu.
Yang terakhir, di dalam dunia yang dibatasi oleh realitas fisik, semua
jenis desain membutuhkan keseimbangan. Laptop harus memerhatikan
keseimbangan antara ukuran, berat dan kinerja. Mobil yang lebih besar
mungkin lebih aman dan nyaman, tetapi juga sulit diarahkan dan mengon-
sumsi lebih banyak bahan bakar. Langit-langit yang tinggi membuat ruangan
terasa lebih dramatis, tetapi juga membutuhkan lebih banyak energi. Karena
keseimbangan tidak dapat dihindarkan dalam dunia ini, para insinyur harus
mencari posisi kompromi yang paling baik agar mendapatkan hasil yang
diinginkan. Misalnya, Anda tidak dapat menyalahkan rancangan mobil kecil
karena hanya bisa membawa lima belas penumpang. Pembuat mobil itu
memperhitungkan ukuran mobil yang irit bahan bakar dan untuk mencapai
hasil yang disasarnya. Begitu juga, desain ibu jari panda merupakan sebuah
kompromi yang masih sesuai untuk memenuhi hasil yang diinginkan. Ibu
jari panda yang amat pas untuk mengupas bambu. Jika seandainya desain ibu
jarinya berbeda, maka perbedaan itu akan membatasi panda dalam berbagai
hal. Intinya kita tidak akan tahu jika tidak mengetahui maksud sang pencipta.
Yang kita tahu adalah kritik Gould tidak mungkin sukses tanpa mengetahui
sasaran-sasarannya.

Jadi kenapa mereka maSih menJadi penganut darwiniS?


Jika bukti yang ada amat kuat bagi Desain Inteligen, maka mengapa mereka
masih menjadi penganut Darwinis? Lagi pula, mereka ini bukan orang-orang
bodoh––nama mereka biasanya diikuti dengan gelar Ph. D.!
Hal pertama yang harus diperhatikan bukan sekadar isu intelektual
semata di mana kaum Darwinis mengambil sikap tidak ingin mempertimbang-
kan bukti yang terpampang di hadapan mereka dan kemudian membuat
kesimpulan yang rasional. Richard Dawkins menulis pernyataan terkenal
yang berbunyi: “Jika Anda bertemu dengan seseorang yang mengklaim tidak
percaya pada evolusi, maka Anda bisa mengatakan bahwa orang itu dungu,
bodoh atau sinting (atau jahat, tetapi lebih baik saya tidak menganggapnya
demikian).”32 Tentu saja komentar Dawkins itu salah. Ada banyak orang
cerdas bergelar Ph. D. yang percaya pada Desain Inteligen. Tetapi pertanyaan
yang benar adalah, Mengapa harus mencaci maki? Mengapa harus emosi?
180 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst

Mengapa harus bermusuhan? Tadinya saya pikir ini sains. Pasti ada sesuatu
yang dipertaruhkan di sini.
Memang ada. Mari kita kembali melihat kutipan Richard Lewontin dari
bab sebelumnya. Ingatlah, penekanannya bahwa kaum Darwinis memer-
cayai kemustahilan yang mereka lakukan karena “materialisme bersifat
absolut, dengan demikian kami tidak mengizinkan keilahian ikut campur di
dalamnya.” Nah, itulah isu sebenarnya. Menyingkirkan Tuhan jauh-jauh.
Tetapi mengapa mereka tidak menginginkan “campur tangan Tuhan?” Kami
memiliki empat alasan utama.
Pertama, dengan mengakui adanya Tuhan, berarti kaum Darwinis
mengakui bahwa mereka bukanlah pihak yang memiliki otoritas mengenai
kebenaran. Baru-baru ini di dalam dunia yang teknologinya sedang berkem-
bang pesat, ilmuwan dipandang sebagai figur yang memiliki otoritas––
pendeta-pendeta baru yang membuat hidup menjadi lebih baik dan juga
orang yang memiliki sumber kebenaran yang objektif. Membiarkan adanya
Tuhan berarti melepaskan klaim superioritas mereka.
Kedua, mengakui Tuhan, berarti mereka mengakui bahwa mereka tidak
memiliki otoritas absolut untuk memberikan penjelasan. Dengan kata lain, jika
Tuhan itu ada, mereka tidak dapat menjelaskan setiap peristiwa sebagai hasil
dari hukum alam yang dapat diprediksi. Rechard Lewontin menjelaskannya
begini, “Mengakui ketuhanan (deity) yang mahakuasa berarti di saat apa pun
kita mengizinkan hancurnya keteraturan (regularitas) alam, dan mukjizat akan
terjadi.”33 Seperti yang dicatat Jastrow, ketika hal itu terjadi, “ilmuwan akan
kehilangan kendali,” tentu saja terhadap Tuhan dan mungkin juga pada ahli
teologi.34
Ketiga, dengan mengakui adanya Tuhan, kaum Darwinis berisiko kehi-
langan dukungan finansial dan pengakuan profesional. Kenapa? Karena ada
tekanan yang amat besar dalam komunitas akademik untuk mempublikasikan
sesuatu yang mendukung evolusi. Temukan sesuatu yang penting dan Anda
akan berada di halaman sampul majalah National Geographic atau narasumber
program khusus PBS. Jika tidak menemukan apa-apa, Anda tidak akan punya
pekerjaan, tidak ada kucuran dana, atau setidaknya bantuan dari kolega
Anda yang materialis. Jadi, untuk memajukan pola pandang Darwinian ada
motivasi berupa uang, posisi, dan prestise.
Alasan terakhir, dan mungkin yang paling penting, dengan mengakui
Allah, kaum Darwinis harus mengakui bahwa mereka tidak memiliki
otoritas untuk menentukan yang benar dan yang salah bagi diri mereka
Bentuk-bentuk Kehidupan Baru: Dari Goo Menjadi You via Zoo? 181

sendiri. Dengan menghilangkan hal supernatural, mereka dapat menghindari


kemungkinan bahwa ada hal yang dilarang secara moral, karena jika tidak
ada Tuhan, semuanya sah-sah saja, seperti sebuah karakter dalam novel
Dostoevsky yang diteliti35 (Kami akan mengelaborasi hubungan antara Tuhan
dan moralitas dalam bab berikut).
Memang, almarhum Julian Huxley, yang pernah menjadi pemimpin kaum
Darwinis, mengakui bahwa kebebasan seksual adalah motivasi di balik dogma
evolusi. Ketika ia ditanya di sebuah acara bincang-bincang yang dipimpin oleh
Merv Griffin, “Mengapa orang percaya kepada evolusi?” Huxley menjawab
dengan jujur, “Alasan mengapa kami menerima Darwinisme meskipun tanpa
bukti, karena kami tidak ingin Tuhan ikut campur dalam norma seksual
kami.”36 Perhatikan, ia tidak mengutip bukti dari generasi spontan atau bukti
dari fosil. Motivasi yang dia teliti dianggap sebagai hal yang lazim di antara
evolusionis yang hanya berdasarkan pilihan moral semata, bukan bukti ilmiah.
Lee Strobel, mantan ateis mengakui memiliki motivasi yang sama ketika
ia percaya akan Darwinian. Ia mencatat, “Saya amat senang menjadi bagian
dari Darwinisme sebagai alasan untuk membuang gagasan mengenai Tuhan
supaya saya bisa tanpa malu-malu mengejar agenda saya sendiri dalam
kehidupan tanpa batasan-batasan moral.”37
Penulis buku dan dosen Ron Carlson pernah bertemu dengan seorang
Darwinian yang mengakui hal yang sama kepadanya. Pada satu kesempatan,
setelah mengajar di salah satu universitas ternama mengenai masalah Dar-
winisme dan bukti adanya Desain Inteligen, Carlson makan malam dengan
seorang profesor biologi yang menghadiri kuliahnya.
“Jadi bagaimana pembahasan tadi menurut Anda?” tanya Carlson.
“Yah, Ron, “jawab sang profesor, “Yang Anda katakan tadi benar dan
masuk akal sekali. Tetapi saya akan tetap mengajarkan Darwinian.”
Carlson tercengang. “Mengapa begitu?” tanyanya.
“Yah, jujur saja ya, Ron, itu karena Darwinisme lebih nyaman secara
moral.”
“Nyaman secara moral? Maksud Anda?” desak Carlson.
“Maksud saya, jika Darwinisme benar—jika Tuhan itu tidak ada dan
kita semua berevolusi dari alga hijau yang berlendir––maka saya bisa tidur
dengan siapa pun yang saya inginkan,” demikian menurut si profesor. “Di
dalam Darwinisme, tidak ada standar moral.”38
182 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst

Nah, itulah momen yang amat terus terang. Tentu saja ini tidak berarti
bahwa semua Darwinis tidak bermoral––kami yakin masih ada beberapa
Darwinian yang bahkan lebih bermoral daripada orang yang mengaku Kristen.
Momen itu menunjukkan bahwa beberapa penganut Darwinis termotivasi
bukan karena bukti melainkan karena keinginan untuk bebas dari hal yang
dipandang sebagai batasan moral dari Tuhan. Motivasi ini dapat membuat
mereka mengabaikan bukti adanya Pencipta sehingga mereka dapat terus
hidup seperti yang mereka inginkan (Dalam hal ini mereka tidak ada bedanya
dengan agama lain yang juga mengatakan bahwa mereka memiliki cara untuk
mengatasi rasa bersalah yang ditimbulkan oleh perilaku tidak bermoral.
Bedanya adalah, meskipun merasa bersalah dan menawarkan cara untuk
menebusnya atau mencegahnya, beberapa penganut Darwinis berusaha
menghindari implikasi rasa bersalah dengan menekankan bahwa tidak ada
yang harus disesali mengenai perilaku tidak bermoral!).
Empat motivasi yang kami paparkan ini tidak mengagetkan. Seks dan
kekuasaan menjadi motivator di balik sebagian besar perdebatan budaya kita,
misalnya aborsi dan homoseksualitas. Manusia amat sering mengambil posisi
dalam perdebatan itu yang akhirnya hanya mementingkan hasrat pribadi
mereka daripada mempertimbangkan bukti yang ada.
Begitupun, kepercayaan Darwinisme sering kali hanyalah masalah kei-
nginan dan bukan masalah pikiran. Kadang-kadang orang menolak mene-
rima sesuatu yang mereka ketahui sebagai kebenaran karena akibat yang
harus mereka tanggung dalam kehidupan pribadi. Ini menjelaskan mengapa
beberapa penganut Darwinis mengajukan penjelasan “kontra-intuitif ” yang
amat mustahil––penjelasan yang “bertentangan dengan akal sehat.” Meskipun
bukti adanya desain sudah amat jelas, orang-orang ini takut melanggar batasan
Tuhan dalam hidup mereka melebihi ketakutan mereka terhadap kesimpulan
ilmiah mereka yang keliru.
Kami tidak bermaksud mengatakan bahwa semua Darwinis memiliki
motivasi yang sama atas kepercayaan mereka. Beberapa mungkin benar-
benar percaya bahwa bukti ilmiah mendukung teori mereka. Kami pikir
mereka mendapat miskonsepsi ini karena sebagian besar Darwinis jarang
sekali mempelajari penelitian lain tentang hal itu. Akibatnya, sedikit yang
memiliki gambaran utuh.
Hal ini biasanya terjadi pada kalangan ahli biologi. Seorang ahli biologi
molekuler dan sel bernama Jonathan Wells menyelidiki, “Sebagian besar
ahli biologi adalah ilmuwan yang jujur dan pekerja keras, yang menuntut
Bentuk-bentuk Kehidupan Baru: Dari Goo Menjadi You via Zoo? 183

penyajian bukti yang akurat, tetapi juga jarang sekali menyelidiki hal lain di
luar bidang mereka sendiri.”39 Dengan kata lain, meskipun mereka bekerja
dengan jujur, mereka hanya melihat kepingan puzzle milik mereka sendiri.
Karena mereka telah diajarkan bahwa gambaran Darwinianlah yang benar
(hanya detail mengganggu saja yang masih belum diselidiki), sebagian besar
ahli biologi menginterpretasikan kepingan puzzle mereka dengan gambaran
yang ada dalam pikiran mereka, membebaskan mereka dari keraguan terhadap
pandangan Darwinian dan berasumsi bahwa bukti kuat kaum Darwinian
berada di bagian lain biologi. Jadi meskipun seandainya mereka tidak
dapat melihat bukti adanya generasi spontan atau makroevolusi di dalam
kepingan puzzle mereka, bukti itu pasti ada di suatu tempat dalam biologi
karena gambaran Darwinian membutuhkan hal tersebut untuk dapat menjadi
benar. Hal ini membuat paradigma evolusi tidak dapat dibandingkan dengan
mayoritas ahli biologi.

SeBerapa pentingkah umur SemeSta?


Kita tidak dapat meninggalkan diskusi mengenai evolusi dan penciptaan
tanpa menyebutkan tentang umur alam semesta. Karena ada beberapa
pandangan dalam topik ini, terutama dalam lingkungan Kristen, kami tidak
memiliki cukup ruang untuk menjabarkan semuanya di dalam buku ini (semua
itu dibahas secara terperinci dalam buku Baker Encyclopedia of Christian
Apologetics and Systematic Theology, vol. 2).40
Namun, kami tetap ingin menekankan bahwa meskipun umur alam
semesta merupakan urusan teologis yang menarik, poin yang lebih penting
bukan mengenai kapan alam semesta diciptakan tetapi bahwa alam semesta
benar-benar telah diciptakan. Seperti yang sudah kita lihat, alam semesta
meledak dari ketiadaan, dan secara tepat telah diselaraskan untuk mendukung
kehidupan di bumi. Karena alam semesta ini––termasuk unsur ruang dan
waktu, memiliki awal––maka ia membutuhkan Pribadi yang Memulai tidak
masalah berapa lama dimulainya permulaan jagad raya ini. Dengan demikian,
karena alam semesta ini diciptakan, ia membutuhkan seorang Perancang sejak
kapan pun alam semesta dirancang.
Kita bisa berdebat mengenai berapa banyak hari di dalam kitab Kejadian,
atau mengenai asumsi yang dibuat dalam teknik penanggalan valid atau tidak.
Tetapi ketika kita berdebat, kita harus yakin tidak akan mengabaikan poin
yang lebih penting bahwa ciptaan ini membutuhkan seorang Kreator.41
184 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst

ringkaSan dan keSimpulan


Sekarang mari kita simpulkan garis besarnya. Hanya ada dua kemungkinan:
entah Tuhan menciptakan kita, atau kita yang menciptakan Tuhan. Entah
Tuhan benar-benar ada, atau Ia hanyalah rekaan akal pikiran kita. Seperti yang
sudah kita lihat, Darwinisme––bukan Tuhan––adalah ciptaan akal manusia.
Anda harus memiliki iman yang besar untuk menjadi seorang Darwinis. Anda
harus percaya bahwa tanpa intervensi dari pribadi berakal budi:
1. Sesuatu muncul dari ketiadaan (asal mula alam semesta).
2. Urutan muncul dari kekacauan (desain alam semesta).
3. Kehidupan muncul dari yang tidak hidup (yang artinya mak-
hluk berakal budi berasal dari sosok tidak berakal budi, dan
kepribadian berasal dari sesuatu yang tidak berpribadi).
4. Bentuk kehidupan yang baru muncul dari bentuk kehidupan yang
sudah ada meskipun ada bukti yang bertentangan seperti:
(1) Batasan genetik
(2) Perubahan siklus
(3) Kerumitan yang tidak dapat disederhanakan
(4) Isolasi molekuler
(5) Bentuk transisional, dan yang non-viabilitas
(6) Dokumen resmi tentang fosil
Nah, jadi bukti yang ada memberatkan makroevolusi. Tetapi bagaimana
dengan makroevolusi teistik? Barangkali sesuatu yang tidak dapat dijelaskan
secara natural akan masuk akal jika Anda menambahkan Tuhan di dalam
gambaran tersebut.
Mengapa demikian? Jika ada bukti akan keberadaan Tuhan dan juga
makroevolusi, maka mungkin ada alasan untuk menggabungkan keduanya.
Tetapi, seperti yang sudah kita lihat, tidak ada bukti bahwa makroevolusi telah
terjadi. Ini bukan seperti Anda memiliki bukti yang kontradiktif: Beberapa
bukti menunjukkan adanya makroevolusi dan bukti yang lainnya tidak.
Misalnya, jika Anda memiliki bukti fosil dengan jutaan bentuk transisional
di satu sisi, tetapi juga ada fosil makhluk yang sangat kompleks di sisi yang
lain, Anda mungkin berpendapat bahwa Tuhan mengatur evolusi melalui
gap yang tak terjembatani itu. Tetapi karena Tuhan tidak melakukan hal
demikian, tampaknya Tuhan tidak diperlukan untuk mengatur makroevolusi
karena tidak ada bukti bahwa makroevolusi telah terjadi!
Bentuk-bentuk Kehidupan Baru: Dari Goo Menjadi You via Zoo? 185

Alasan terakhir, mari kita lihat bukti tersebut dengan pertanyaan lain.
Harus seperti apakah bentuk bukti itu agar penciptaan (Desain Inteligen)
menjadi fakta yang nyata? Bagaimana jika:
1. Alam semesta itu ada dan meledak dari ketiadaan
2. Alam semesta yang mengandung lebih dari 100 konstanta
yang sudah disetel dengan amat tepat, memungkinkan adanya
kehidupan di planet kecil yang disebut Bumi
3. Hidup yang:

(tidak pernah diteliti sebelumnya bahwa hidup bisa


muncul secara spontan);

dapat diteliti secara empiris (dan dengan demikian lebih


dari sekadar unsur kimia yang tidak hidup);

(contohnya amat rumit luar biasa);

berkembang dari nenek moyang pada level molekuler);

secara lengkap yang muncul begitu saja, tidak berubah,


dan kemudian menghilang secara tiba-tiba.
Pandangan yang benar dan jujur atas fakta, menunjukkan adanya pen-
ciptaan, bukan makroevolusi. Seperti yang sudah kita lihat, kaum ateis harus
bekerja dengan sangat keras agar tidak menyimpulkan hal yang sudah jelas.
Itulah sebabnya mereka memerlukan iman yang lebih besar daripada kita.
Akhirnya, kami menawarkan bantuan untuk menyelesaikan debat melalui
apa yang harus diajarkan di sekolah umum berkenaan dengan penciptaan dan
evolusi. Apa salahnya mengajarkan mereka apa yang sudah kita bahas dalam
bab 3 sampai bab 6? Perhatikan bahwa kami belum mengutip ayat Alkitab
untuk menguatkan penekanan kami. Selama ini kami hanya mengutip bukti-
bukti ilmiah. Jadi ini bukanlah perang antara sains versus agama. Ini adalah
perang antara sains yang baik dan sains yang buruk. Sekarang, sebagian besar
anak-anak kita sedang belajar sains yang buruk karena mereka hanya diajarkan
tentang evolusi. Seharusnya tidak demikian. Apakah akan melanggar
konstitusi dengan mengajarkan bukti S.U.R.G.E., menunjukkan kepada
186 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst

mereka kerumitan kehidupan yang sangat sederhana, membedakan ilmu


mikroevolusi dan makroevolusi serta forensik dan empiris, atau membongkar
masalah-masalah dalam makroevolusi? Tidak ada. Jadi mengapa kita terus
saja mendoktrin anak-anak kita dengan teori yang cacat dan salah yang hanya
bertumpu pada dugaan filosofis daripada penelitian ilmiah? Mengapa kita
tidak memberi anak-anak kita bukti ilmiah––yang pro dan kontra––dan
membiarkan mereka menentukan sendiri? Lagi pula, bukankah kita harus
mengajarkan mereka berpikir kritis? Tentu saja kita harus melakukannya.
Tetapi kaum Darwinis akan berusaha keras agar hal itu tidak terjadi. Mereka
pikir lebih baik menghilangkan bukti daripada membiarkannya tersaji dengan
adil. Mengapa? Karena inilah daerah di mana kaum Darwinis kekurangan
iman—mereka tidak cukup iman untuk percaya bahwa teori mereka akan
tetap dipercaya setelah anak-anak kita melihat seluruh bukti.

Anda mungkin juga menyukai