Buang Sampahnya––mama
Johnny, seorang remaja berumur enam belas tahun keluar dari kamarnya di
lantai dua dan berlari kecil ke dapur untuk makan sereal favoritnya—Alpha-
Bits. Ketika ia sampai di meja makan, ia terkejut melihat kotak serealnya sudah
terguling, dan abjad sereal Alpha-Bits berbunyi “BUANG SAMPAHNYA––
MAMA” ada di atas alas makan.
Johnny mengingat kembali pelajaran di kelas Biologi baru-baru ini,
ia tidak menghubungkan pesan itu dengan ibunya. Lagi pula, ia baru saja
diajarkan bahwa hidup ini hanyalah produk hukum alam yang tidak berakal
budi. Jika demikian, pikir Johnny, bukankah pesan singkat seperti “Buang
sampahnya––Mama” merupakan hasil dari hukum alam juga? Mungkin
saja seekor kucing menyenggol kotak sereal itu, atau ada gempa bumi yang
mengguncang rumahnya. Tidak perlu menyimpulkan apa pun. Lagi pula
Johnny tidak mau membuang sampah. Ia tidak punya waktu untuk melaku-
kan tugas yang tidak penting itu. Ini kan liburan musim panas, dan ia ingin
pergi ke pantai. Mary juga akan ke sana.
Karena Scott juga menyukai Mary, Johnny ingin sampai di pantai lebih
awal untuk mengalahkan Scott. Tetapi sesampainya Johnny di sana, ia melihat
Mary dan Scott sedang berjalan di pinggir pantai sambil bergandengan
tangan. Sembari mengikuti mereka dari kejauhan, Johnny menunduk dan
melihat sebuah gambar hati di pasir dengan tulisan “Mary cinta Scott” di
tengahnya. Sesaat, Johnny merasa hancur. Tetapi ingatan akan kelas Biologi
menyelamatkannya dari rasa sakit hati. “Mungkin ini cuma contoh lain dari
hukum alam yang sedang berlangsung!” pikirnya. “Mungkin saja ada kepiting
126 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst
atau ombak aneh yang membuat tulisan cinta ini secara alami.” Tidak masuk
akal jika ia harus menerima kesimpulan yang tidak ia sukai! Johnny harus
mengabaikan bukti yang ia lihat bahwa mereka berdua sedang bergandengan
tangan.
Terhibur oleh fakta bahwa prinsip-prinsip yang ia pelajari di kelas Biologi
dapat membantunya menghindari kesimpulan yang tidak ia sukai, Johnny
memutuskan untuk berbaring sejenak sambil berjemur. Saat ia meletakkan
kepalanya di atas handuk, ia melihat sebuah pesan di langit: “Minumlah
Soda”, tulisan putih yang menggelembung dengan latar belakang langit biru.
“Bentuk awan yang aneh?” pikir Johnny. “Karena tiupan angin, mungkin?”
Tidak, Johnny tidak dapat mengelak lagi. “Minumlah Soda” adalah hal
yang nyata. Pesan seperti itu jelas merupakan tanda adanya makhluk berakal
budi. Tidak mungkin pesan itu berasal dari kekuatan alam karena kuasa
alam tidak pernah teramati dapat menulis pesan. Meskipun ia tidak melihat
ada pesawat terbang, Johnny tahu, tadi baru saja ada skywriter di atas sana.
Selain itu, ia ingin memercayai pesan ini––matahari yang terik membuatnya
kepanasan dan haus akan Soda.
melihat jauh ke luar angkasa, mikroskop yang kita miliki juga lebih tajam
yang memungkinkan kita melihat ke dalam komponen-komponen kehidupan.
Ketika penyelidikan antariksa telah menghasilkan Prinsip Antropik fisika
(yang akan kita diskusikan dalam bab terakhir), penyelidikan kehidupan juga
menghasilkan Prinsip Antropik biologi yang sama hebatnya.
Untuk menunjukkan maksud kami, mari perhatikan kehidupan “seder-
hana”––dari binatang bersel satu yang dikenal sebagai ameba. Kaum evo-
lusionis naturalis mengklaim bahwa ameba bersel satu ini (atau sesuatu yang
seperti itu) dihasilkan dari generasi spontan (contohnya, tanpa intervensi dari
pribadi cerdas) di sebuah kolam kecil yang hangat di suatu tempat pada zaman
awal terbentuknya bumi. Menurut teori mereka, semua kehidupan biologis
telah berevolusi dari ameba pertama tadi tanpa bimbingan pribadi cerdas
sama sekali. Tentu saja ini merupakan teori makroevolusi: Dari makhluk
bersel satu, menjadi reptil, menjadi manusia; atau dari goo (cairan lengket)
menjadi you (Anda) melalui zoo (kebun binatang).
Orang-orang yang percaya pada teori ini disebut dengan banyak nama:
evolusionis naturalis, materialis, humanis, ateis, dan Darwinis (dalam sisa bab
ini dan bab selanjutnya, kami akan menyebut penganut teori evolusi ateistik
ini sebagai kaum Darwinis atau ateis. Ini tidak termasuk orang-orang yang
percaya evolusi teistik––yaitu penganut yang percaya bahwa evolusi diatur
oleh Tuhan). Tanpa menghiraukan sebutan kami atas penganut teori ini,
pertanyaan kunci kita adalah: “Apakah teori ini benar?” Tampaknya tidak.
Lupakan prasangka kaum Darwinis mengenai manusia yang berasal
dari kera atau burung yang berevolusi dari reptil. Masalah terbesar kaum
Darwinis bukanlah mengenai cara menjelaskan bagaimana semua bentuk
kehidupan dapat saling berhubungan (meskipun, seperti yang akan kita lihat
di bab selanjutnya, hal itu masih menuai kontroversi). Masalah terbesar kaum
Darwinis adalah penjelasan mengenai asal mula kehidupan yang pertama. Agar
teori makroevolusi naturalis yang tanpa campur tangan pribadi cerdas dapat
menjadi benar, kehidupan yang pertama harus berasal dari unsur kimia yang
tidak hidup secara spontan. Sayangnya, bagi kaum Darwinis––kehidupan
pertama––memang bentuk kehidupan––bukan berarti “sederhana.” Hal ini
menjadi amat jelas di tahun 1953, ketika James Watson dan Francis Crick
menemukan DNA (deoxyribonucleic acid), unsur kimia yang berisi instruksi
untuk membangun dan meniru semua mahkluk hidup.
128 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst
hanya menyatakan bahwa hukum alam sajalah yang berkuasa. Sebelum kita
menjelaskan bagaimana dan mengapa kaum Darwinis melakukannya, mari
kita lihat prinsip-prinsip ilmiah yang akan digunakan untuk menemukan
bagaimana kehidupan pertama dimulai.
pribadi berakal budi di masa kini, maka pesan yang serupa di masa lalu juga
pasti membutuhkan penyebab berupa pribadi berakal budi. Sebaliknya, jika
hukum alam berlaku di masa kini, maka Prinsip Uniformitas akan membuat
kita menyimpulkan bahwa hukum alam juga melakukan tugasnya di masa
lalu.
Perhatikan Grand Canyon. Apa yang menyebabkan Grand Canyon
ada? Apakah ada orang yang melihatnya terbentuk? Tidak, tetapi dengan
Prinsip Uniformitas kita dapat menyimpulkan bahwa proses-proses alam,
khususnya erosi air, merupakan penyebab adanya Grand Canyon. Kita dapat
dengan yakin menyimpulkan, meskipun kita tidak ada di sana saat peristiwa
itu terjadi, karena kita dapat meneliti proses alam yang menciptakan ngarai-
ngarai atau tebing dan jurang-jurang yang ada sekarang. Kita melihat hal ini
di alam ketika kita meneliti efek yang dihasilkan air atas daratan yang luas.
Kita bahkan melakukannya di laboratorium dan berulang kali menuangkan
air ke tengah-tengah setumpuk tanah, dan kita akan selalu mendapatkan
ngarai atau jurang.
Sekarang perhatikan formasi geologis lainnya: Gunung Rushmore. Apa
yang menyebabkan gunung itu ada? Akal sehat mengatakan, tidak mungkin
wajah para presiden di gunung itu adalah hasil hukum alam. Erosi tidak dapat
melakukannya. “Akal sehat” kita sebenarnya merupakan Prinsip Uniformitas.
Karena kita tidak pernah meneliti hukum alam yang dapat memahat kepala
presiden dengan begitu mendetail di atas batu pada masa kini, kita dapat
menyimpulkan bahwa hukum alam juga tidak dapat melakukannya di masa
lalu. Kini kita melihat bahwa hanya pribadi cerdas yang mampu menciptakan
pahatan sedetail itu. Jadi, kita dapat menyimpulkan bahwa di masa lalu hanya
pribadi berakal budi (seorang pemahat) yang dapat mengkreasikan wajah-
wajah di Gunung Rushmore.
Dengan cara yang sama, ketika kita melihat kehidupan bersel satu yang
pertama, Prinsip Uniformitas mengatakan bahwa hanya penyebab berakal budi
yang dapat menyusun sesuatu yang setara dengan 1.000 ensiklopedia. Hukum
alam tidak pernah terbukti dapat menciptakan pesan sederhana seperti
“Minumlah Soda,” apalagi pesan yang setara dengan 1.000 ensiklopedia.
Jika demikian mengapa kaum Darwinis menyimpulkan bahwa kehidupan
yang pertama dibentuk secara spontan dari unsur kimia yang tidak hidup
tanpa campur tangan makhluk berakal budi? Generasi spontan yang ada
dalam kehidupan tidak pernah diteliti sebelumnya. Sejak Pasteur mensterilkan
tabung-tabungnya, salah satu penelitian paling mendasar dalam sains
Kehidupan yang Pertama: Hukum Alam atau Keagungan Ilahi? 131
adalah bahwa kehidupan muncul dari kehidupan yang sama yang sudah
ada. Para ilmuwan tidak mampu mencampurkan unsur-unsur ke dalam
tabung percobaan dan menghasilkan molekul DNA, apalagi kehidupan.3
Nyatanya, semua eksperimen yang dirancang untuk menghasilkan kehidupan
yang spontan––termasuk eksperimen Urey Miller [yang tidak dipercaya
lagi]––tidak hanya telah gagal tetapi juga tidak memiliki aplikasi yang
sah dari pribadi berakal budi.4 Dengan kata lain, dengan cerdas akal budi
para ilmuwan telah melakukan eksperimen dan mereka masih tidak dapat
melakukan apa yang dikatakan telah dilakukan hukum alam yang tidak berakal
budi. Mengapa kita harus percaya bahwa proses-proses yang tidak berakal
budi dapat melakukan hal yang tidak mampu dilakukan para ilmuwan?
Dan meskipun para ilmuwan akhirnya dapat menciptakan kehidupan dari
laboratorium, hal itu akan menunjukkan bukti penciptaan. Kenapa? Karena
usaha mereka akan menunjukkan bahwa butuh kecerdasan untuk mencipta-
kan kehidupan.
Apakah kaum Darwinis menekankan generasi spontan karena mereka
tidak melihat bukti penciptaan? Sama sekali tidak. Justru, sebaliknyalah
yang benar––mereka melihat bukti dengan jelas! Sebagai contoh, Richard
Dawkins menamai bukunya The Blind Watchmaker untuk merespons argu-
men penciptaan yang dikemukakan William Paley yang kami kutip di bab
terakhir. Munculnya Desain kehidupan diakui dalam halaman pertama The
Blind Watchmaker. Dawkins mencatat, “Biologi merupakan kajian rumit yang
menunjukkan bahwa sesuatu telah dirancang untuk sebuah alasan.”5 Dua
halaman selanjutnya, meskipun ia mengakui adanya “arsitektur yang rumit
dan teknik yang presisi” di dalam kehidupan manusia dan di setiap triliunan
sel dalam tubuh manusia, Dawkins dengan enteng menolak bahwa kehidupan
manusia atau kehidupan lainnya telah diciptakan. Rupanya Dawkins tidak
mengizinkan adanya penelitian yang mengganggu kesimpulannya. Hal ini
amat aneh bagi seorang pria yang percaya pada supremasi sains yang seha-
rusnya berpijak pada penelitian.
Francis Crick, salah seorang penemu DNA dan penganut Darwinis yang
berapi-api, setuju dengan Dawkins mengenai hadirnya Desain. Fakta adanya
Desain begitu gamblang sehingga ia memperingatkan bahwa “ahli biologi harus
terus ingat bahwa apa yang mereka lihat tidak dirancang, tetapi berevolusi.”6
Pesan singkat Crick kepada ahli biologi membuat Phillip Johnson, seorang
penulis buku dan juga pemimpin pergerakan Intelligent Design (ID) menilai,
“Ahli biologi Darwinian harus terus menerus memperingatkan diri mereka
132 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst
sendiri, karena jika tidak, mereka akan menyadari kenyataan yang sedang
memelototi dan berusaha menarik perhatian mereka.”7
Kompleksitas DNA bukanlah satu-satunya masalah bagi kaum Darwinis.
Asal mula DNA juga merupakan masalah bagi mereka. Dilema ayam-telur
yang sulit muncul karena DNA bergantung pada protein agar dapat dihasilkan,
tetapi protein juga bergantung pada DNA. Kalau begitu, yang mana yang
ada lebih dulu, protein atau DNA? Yang satu harus ada terlebih dulu agar
yang lainnya dapat dibuat.
Jadi mengapa Crick, Dawkins, dan kelompok lainnya mengabaikan
implikasi yang sudah jelas atas bukti yang ada di hadapan mereka? Karena
ideologi mereka yang sudah terbentuk sebelumnya, yaitu naturalisme,
membutakan mereka untuk mempertimbangkan adanya penyebab cerdas.
Seperti yang kita lihat, ini merupakan sains yang buruk dan mengarah pada
kesimpulan yang salah.
Gambar 5.1
Generasi spontan adalah hal yang disebut para kritikus evolusi sebagai
cerita yang “tampak cocok persis.” Evolusionis tidak menyajikan bukti untuk
mendukung teori mengenai generasi spontan. Teori itu tidak didukung
dengan penyelidikan empiris atau prinsip-prinsip sains yang forensik.
Semua itu “tampak cocok persis” karena kehidupan, dan karena penyebab
yang berakal budi sudah dikesampingkan sebelumnya, maka tidak ada lagi
penjelasan lain yang memungkinkan.
Masalah kaum Darwinis ini amat besar. Ahli biokimia Klaus Dose
mengakui bahwa penelitian yang dilakukan selama lebih dari tiga puluh tahun
mengenai asal mula kehidupan telah mengarah pada “persepsi yang lebih baik
mengenai besarnya masalah asal mula kehidupan di Bumi, daripada solusi.
Saat ini, semua diskusi mengenai teori dasar dan eksperimen di lapangan telah
menemui jalan buntu atau terabaikan.”8 Francis Crick mengeluh, “Setiap kali
saya menulis laporan mengenai asal muasal kehidupan, saya bersumpah tidak
134 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst
akan menulis laporan ini lagi, karena melibatkan terlalu banyak spekulasi
dan terlalu minimnya fakta.”9
Bukti adanya pribadi berakal budi begitu kuat dan amat bertentangan
dengan naturalisme sehingga tokoh-tokoh evolusi terkemuka berpendapat
bahwa alien-lah yang menyebabkan kehidupan di bumi ini. Fred Hoyle
(evolusionis yang juga memperkenalkan Steady State Theory yang kita bahas
di bab 3) menciptakan teori yang amat aneh (yang disebut “panspermia” yang
artinya “benih tersebar di mana-mana”) setelah memperhitungkan probabi-
litas tentang munculnya kehidupan dari generasi spontan yang secara efektif
adalah nol (Tentu saja panspermia tidak menyelesaikan masalah––justru
memicu pertanyaan lain: siapa yang menciptakan alien-alien cerdas?).
Sama gilanya dengan teori itu, setidaknya para pendukung teori pan-
spermia mengetahui bahwa sesosok pribadi berakal budi adalah penyebab
keajaiban kehidupan. Tetap saja, para evolusionis terkemuka harus berpegang
pada alien untuk menjelaskan asal mula kehidupan, Anda tahu hidup yang
paling sederhana saja sudah amat sangat kompleks.
Pendukung panspermia lainnya, Chandra Wickramasinghe, mengakui
bahwa kaum Darwinis bertindak berdasarkan iman yang buta ketika berbicara
dengan generasi spontan. Ia menyelidiki, “Munculnya kehidupan di Bumi
dari zaman purba, hanya semata-mata masalah iman yang amat susah
dipahami para ilmuwan. Tidak ada bukti eksperimen yang dapat mendukung
hal ini sekarang. Memang benar, bahwa semua usaha untuk menciptakan
kehidupan dari benda mati, mulai dari Pasteur, tidak pernah berhasil.”10
Ahli mikrobiologi Michael Denton, meskipun seorang ateis, menambahkan,
“Kerumitan dari sel yang paling sederhana benar-benar luar biasa sehingga
kita tidak mungkin mengakui bahwa objek seperti itu dihasilkan dari kejadian
yang aneh dan mustahil. Peristiwa seperti itu tidak dapat dibedakan dengan
mukjizat.”11
Sehubungan dengan penjelasan yang “tampak cocok persis” seperti
generasi spontan dan panspermia, menurut Anda siapa yang menerapkan sains
yang buruk: orang-orang yang diejek sebagai “kaum religius” (teis/ kreasionis)
atau “kaum yang diberi pencerahan” (ateis/ Darwinis) yang sebenarnya
sama religiusnya dengan “kaum religius?” Ahli fisika dan informasi, Hubert
Yockey menyadari bahwa jawabannya adalah kaum Darwinis. Ia mencatat,
“Keyakinan bahwa kehidupan di bumi ada dengan spontan dari benda mati
hanyalah masalah iman yang dangkal dan berdasarkan ideologi semata.”12
Kehidupan yang Pertama: Hukum Alam atau Keagungan Ilahi? 135
sedikit waktu lagi.” Oke, mari kita bawa pesawatnya ke ketinggian 10.000
kaki untuk memberi waktu bagi hukum alam untuk bekerja. Apakah hal ini
meningkatkan kemungkinan bahwa bendera itu akan terbentuk di halaman
rumah Anda? Tidak, waktu yang lebih banyak justru membuat benderanya
semakin sulit terbentuk karena hukum alam memiliki waktu yang lebih lama
untuk bekerja––yaitu menyebar dan mengacak potongan-potongan kertas itu.
Apa bedanya dengan asal muasal kehidupan yang pertama? Kaum
Darwinis bisa saja mengatakan bahwa Hukum Kedua Termodinamika tidak
dapat diterapkan terus menerus ke dalam sistem yang hidup. Lagi pula,
benda-benda yang hidup bertumbuh dan perlahan-lahan dapat menjadi ter-
atur. Ya, itu benar, tetapi tetap saja mereka kehilangan energi ketika mereka
bertumbuh. Makanan yang terserap oleh sesuatu yang hidup tidak benar-
benar diproses secara efisien. Jadi Hukum Kedua juga dapat diterapkan
pada sistem yang hidup. Tetapi bukan itu poinnya. Poinnya adalah kita
tidak sedang berbicara mengenai apa yang dapat sesuatu lakukan setelah ia
hidup; melainkan mengenai caranya menghasilkan kehidupan. Bagaimana
bisa kehidupan muncul dari unsur yang tidak hidup, tanpa campur tangan
makhluk berakal budi, jika unsur kimia yang tidak hidup rentan terhadap
Hukum Kedua? Kaum Darwinis tidak memiliki jawabannya, yang mereka
punya hanyalah iman.
pun. Peluang itu tidak bermakna apa-apa. Itulah yang diimpikan sebongkah
batu.
Jika seseorang melempar sebuah koin dari bagian ekor, berapakah
peluang agar berubah menjadi kepala? Menurut kami 50%. Ya, tetapi
apa yang menyebabkannya berubah menjadi kepala? Apakah peluang?
Tidak, penyebab awalnya adalah makhluk berakal budi yang memutuskan
untuk membalikkan koin dan mengerahkan begitu banyak tenaganya untuk
melakukan hal itu. Penyebab kedua, tekanan fisik dari angin dan gravitasi
juga memengaruhi hasil pelemparan koin itu. Jika kita mengetahui semua
variabelnya, kita dapat memperhitungkan bagaimana hasil pelemparan itu
sebelumnya. Tetapi kita tidak tahu variabelnya, maka kita menggunakan
istilah “peluang” untuk menutupi ketidaktahuan kita.
Kita tidak dapat membiarkan ateis menutupi ketidaktahuan mereka
dengan istilah “peluang.” Jika mereka tidak mengetahui mekanisme natural
yang memunculkan kehidupan pertama, maka mereka harus mengakui bahwa
mereka tidak tahu, bukannya mengajukan istilah lemah yang sudah pasti
bukanlah penyebab sesungguhnya. “Peluang” hanyalah contoh lain dari sains
buruk yang dipraktikkan para Darwinis.
dalam kehidupan ini. Penjelasan apa yang dapat diberikan kaum materialis
mengenai mengapa satu tubuh hidup dan yang lainnya mati? Keduanya
mengandung unsur kimia yang sama. Mengapa satu tubuh hidup pada menit
ini dan kemudian mati pada menit berikutnya? Kombinasi material apakah
yang berperan dalam kesadaran manusia? Bahkan Atkins sekalipun, di dalam
debatnya dengan Craig, mengaku bahwa usaha untuk menjelaskan mengenai
kesadaran merupakan masalah besar bagi kaum ateis.
Keempat, jika materialisme benar, maka semua orang dalam sejarah
manusia yang pernah memiliki pengalaman spiritual telah keliru selama ini.
Meskipun hal ini mungkin, tetapi karena sejumlah besar orang mempunyai
pengalaman-pengalaman spiritual, sepertinya tidak demikian. Amat susah
percaya bahwa setiap pemimpin spiritual besar dan para pemikir dalam sejarah
umat manusia––termasuk beberapa pemikir yang paling rasional, ilmiah dan
kristis––benar-benar telah keliru menafsirkan pengalaman spiritual mereka,
termasuk Abraham, Musa, Yesaya, Kepler, Newton, Pascal dan Yesus Kristus
sendiri. Jika ada satu saja pengalaman spiritual yang benar di sepanjang
sejarah manusia, maka materialisme salah.
Terakhir, jika materialisme benar, maka akal sehat itu sendiri tidak
mungkin. Karena jika proses-proses mental hanyalah reaksi kimia di dalam
otak, maka tidak ada alasan untuk percaya bahwa semua hal itu benar
(termasuk teori materialisme). Unsur kimia tidak dapat mengevaluasi benar
atau salah sebuah teori. Unsur kimia tidak memiliki penalaran, tetapi unsur
kimia bereaksi.
Ini amat ironis bagi kaum Darwinis––yang mengklaim berjuang bagi
kebenaran dan akal sehat––membuat keduanya mustahil karena teori mate-
rialisme mereka. Jadi meskipun kaum Darwinis benar akan suatu hal, pola
pandang mereka tidak memberi alasan bagi kita untuk percaya––karena
penalaran itu sendiri adalah hal yang tidak mungkin dilakukan di dalam
dunia yang hanya diatur oleh kekuatan kimia dan fisika.
Bukan hanya akal sehat yang tidak mungkin di dunia Darwinisme,
tetapi pernyataan kaum Darwinis bahwa kita harus bergantung pada akal
sehat pun tidak dapat dibenarkan. Mengapa tidak? Karena sebenarnya akal
sehat membutuhkan iman. Seperti yang ditekankan J. Budziszewski, “Moto
‘Akal Sehat adalah Segalanya!’ adalah omong kosong. Akal sehat itu sendiri
mengisyaratkan iman. Kenapa? Karena pembelaan akal sehat oleh akal sehat
adalah cara berpikir yang tak berujung pangkal, oleh karena itu sia-sia saja.
144 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst
Satu-satunya garansi bahwa akal sehat manusia bekerja adalah Tuhan yang
menciptakannya.”18
Mari kita bongkar poin Budziszewski dengan melihat sumber akal
sehat. Kemampuan kita untuk bernalar bisa datang dari salah satu hal ini:
entah kemampuan penalaran kita muncul dari akal budi yang sudah ada
sebelumnya, atau muncul dari materi tidak berakal budi. Dengan iman, para
ateis/Darwinis/materialis percaya bahwa pikiran kita timbul dari materi yang
tidak berakal tanpa campur tangan pribadi cerdas. Kami katakan dengan
iman karena bertentangan dengan semua penelitian ilmiah, yang menunjukkan
bahwa sebuah akibat tidak dapat lebih besar dari penyebabnya. Anda tidak
dapat memberikan sesuatu yang tidak Anda punyai sebelumnya, tetapi kaum
materialis percaya bahwa materi yang tidak hidup, yang tidak berakal budi
menghasilkan hidup yang berakal budi. Ini sama saja seperti memercayai
bahwa Perpustakaan Kongres adalah hasil ledakan perusahaan percetakan!
Lebih masuk akal bahwa pikiran manusia diciptakan menurut citra dan
rupa Allah––Sang Pemilik Akal Budi yang Agung. Dengan kata lain, pikiran kita
dapat mengerti kebenaran dan menalar kenyataan karena pikiran kita dibangun
oleh Arsitek Kebenaran, realitas dan akal sehat itu sendiri. Materialisme tidak
dapat menjelaskan akal sehat lebih daripada akal sehat itu sendiri mampu
menjelaskan kehidupan. Intinya materialisme tidak masuk akal. Oleh karena
itu, kami tidak memiliki cukup iman untuk menjadi materialis!
Kaum ateis tanpa sadar cenderung meminjam cara pandang teistik yang
dengan cerdas disingkapkan oleh penulis Pete Bocchino19 selama pertemuan
kurikulum The State of Georgia’s Department of Education. Pete, yang bekerja
untuk pelayanan Kristen internasional ternama pada saat itu, ditunjuk men-
jadi salah satu subkomite untuk membahas dan meningkatkan kurikulum
sekolah negeri dari kelas enam sampai kelas dua belas dalam mata pelajaran
seperti pemerintahan, hukum, etika dan pendidikan karakter.
Minggu pertama rangkaian rapat yang panjang itu berlangsung di
sebuah ruangan besar di mana semua anggota subkomite diberi kesempatan
untuk memperkenalkan diri. Pete, yang datang terlambat karena macet,
melewatkan sesi itu, dan langsung mencari tempat duduk. Ketika ketua
subkomite itu melihat Pete yang baru bergabung, ia mengatakan pada Pete
bahwa mereka semua telah memperkenalkan diri dan meminta Pete untuk
melakukan hal yang sama dengan menyebutkan nama, latar belakang, dan
pekerjaan. Pete kemudian menyebutkan namanya dan mengatakan bahwa
ia memiliki gelar teknik mesin. Pete berpikir di dalam hati, “Pokoknya saya
tidak mau membawa-bawa kekristenan dengan mengatakan bahwa saya
bekerja di sebuah badan pelayanan Kristen internasional.” Jadi ia dengan lirih
mengatakan, “Sekarang saya bekerja di organisasi nirlaba sebagai konsultan
penalaran kritis.”
Ketua itu berkata, “Sebagai apa?!”
“Konsultan penalaran kritis,” ulang Pete.
“Kalau begitu apa persisnya yang dilakukan seorang konsultan penalaran
kritis?” desak ketua.
“Yah, kita sudah terlambat, dan saya tidak mau menghabiskan waktu
komite ini,” Pete beralasan, “Tetapi Anda akan mengetahuinya dalam minggu
ini.”
Begitu pekan debat itu dimulai, komite itu melontarkan berbagai macam
topik, seperti perbedaan, toleransi, hak asasi manusia, dan isu kontroversial
lainnya. Pada satu titik, ketika mereka sedang berdiskusi tentang standar
psikologi, Pete mengingatkan bahwa standar-standar itu tidak menyinggung
definisi kepribadian. Ini merupakan lubang dalam kurikulum psikologi;
maka Pete mengajukan definisi berikut berdasarkan salah satu bagian buku
Mortimer Adler, Haves Without Have-Nots:20
146 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst
Memiliki gambaran utama yang benar adalah hal yang penting karena
gambaran itu akan memberikan konteks yang tepat untuk menginterpre-
tasi bukti. Konteksnya adalah lingkungan yang lebih luas di mana bukti
muncul. Jika Anda memiliki konteks yang salah, Anda bisa saja memiliki
kesimpulan yang salah mengenai bukti yang sedang Anda teliti. Sebagai
contoh, jika saya mengatakan pada Anda bahwa saya baru saja menyaksikan
seorang pria merobek perut seorang wanita dengan pisau, mungkin Anda akan
berpikir bahwa pria itu telah melakukan hal yang salah. Tetapi perhatikan
apa yang terjadi ketika saya mengungkapkan pada Anda konteksnya––
situasinya––di mana kejadian ini berlangsung: Kami sedang berada di ruang
bersalin sebuah rumah sakit, pria itu adalah seorang dokter, dan jantung bayi
itu baru saja berhenti. Sekarang apa yang Anda pikirkan mengenai pria itu?
Setelah Anda memahami situasinya, seluruh pandangan Anda terhadap bukti
pun berubah: Kini Anda menganggap pria itu sebagai pahlawan dan bukan
penjahat, karena sebenarnya ia sedang berusaha menyelamatkan nyawa bayi
itu.
Dengan cara yang sama, bukti dari ilmu biologi harus diinterpretasikan
dalam situasi lebih luas yang diketahui. Seperti yang sudah kita temukan,
situasi lebih luas yang dikenali adalah bahwa alam semesta ini bersifat teistik.
Sebenarnya ada Pribadi yang non-materi, berkuasa dan berakal budi yang
melampaui dunia netral, yang menciptakan alam semesta dan merancangnya
dengan presisi sehingga ada kehidupan di bumi. Dengan kata lain, kita sudah
mengetahui dengan pasti bahwa Sang Perancang adalah bagian dari gambaran
utama, karena bukti menunjukkan bahwa Ia telah merancang alam semesta
yang luar biasa ini dengan kompleksitas dan presisi yang menakjubkan.
Sehubungan dengan fakta bahwa ada Sang Perancang, ketika kita melihat
sistem biologis yang bahkan oleh seorang Darwinis seperti Richard Dawkins
ketahui “menunjukkan mereka dirancang untuk sebuah tujuan,” mungkin
kita dapat menyimpulkan bahwa alam semesta memang dirancang untuk
sebuah tujuan. Seperti yang ditekankan William Dembski, “Jika seekor
makhluk tampak seperti seekor anjing, berbau seperti anjing, menggonggong
seperti anjing, teraba seperti anjing dan terengah-engah seperti anjing,
beban pembuktian terletak pada orang yang bersikeras bahwa makhluk itu
bukanlah anjing.”21 Karena alam semesta diciptakan dan dirancang, maka
kita mestinya mengharapkan kehidupan diciptakan dan dirancang juga.
(Setidaknya mungkin bahwa kehidupan diciptakan oleh pribadi berakal budi.
Kehidupan yang Pertama: Hukum Alam atau Keagungan Ilahi? 149
Di dalam sebuah film berjudul Contact, Jodie Foster berperan sebagai seorang
ilmuwan yang menjadi anggota tim peneliti Search for Extra-Terrestrial
Intelligence (SETI). SETI, yang merupakan organisasi real, memiliki ilmuwan-
ilmuwan yang menganalisa alam semesta untuk mendapatkan tanda yang pasti
dari kehidupan makhluk berakal budi (cerdas, inteligen). Apakah yang dapat
menjadi tanda pasti dari kehidupan makhluk berakal budi? Sebuah pesan.
Ya, sesuatu yang bunyinya seperti “Buang sampahnya––Mama.”
Dalam film tersebut, Foster amat bersemangat ketika antenanya menang-
kap gelombang radio yang tampaknya memiliki pola inteligen, “Satu, dua,
tiga, lima, tujuh, sebelas . . . itu prima semua!” serunya (maksudnya bilangan
prima). “Tidak mungkin ini hanya fenomena alam biasa!”
Memang benar, gelombang radio dapat dihasilkan secara natural, tetapi
gelombang yang mengandung sebuah pesan selalu memiliki sumber inteligen.
Bilangan prima, mulai dari 1 sampai 101 secara berurutan, membentuk sebuah
pesan yang hanya bisa dihasilkan oleh makhluk cerdas.
Foster amat yakin bahwa ET (alien) sudah ditemukan, oleh karena itu
ia mempublikasikan penemuannya. Pihak militer dan pemerintah kemudian
berkumpul di kantornya. “Jika memang ini bersumber dari makhluk berakal
budi, maka mengapa mereka tidak berbicara dengan bahasa Inggris saja?”
salah seorang aparat bertanya dengan nada mengejek.
“Karena matematika adalah satu-satunya bahasa universal!” balas
Foster. Tentu saja ia benar. Nyatanya, alfabet, dan bahasa itu sendiri, dapat
disederhanakan menjadi angka-angka. Karena itu alfabet bahasa Inggris
152 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst
tempat duduk agar dapat menyusun 20 juta buku dalam arena tersebut?
Anda harus menumpuk 1.000 buku di setiap tempat duduk agar dapat
mencapai jumlah dua puluh juta buku di Madison Square Garden. Bayangkan,
atapnya tidak cukup tinggi untuk memuat tumpukan buku itu, jadi Anda harus
membongkarnya agar Anda bisa terus menumpuk buku! Itulah gambaran
betapa spesifik dan rumitnya informasi yang ada di antara dua telinga Anda.
Sagan memang benar bahwa otak adalah tempat yang amat besar dalam
ruang yang amat kecil, dan itu adalah sesuatu yang tidak dapat diukur, lebih
mengagumkan daripada apa pun yang manusia ciptakan.
Sekarang mari kita tinjau fakta-faktanya: Sagan menyadari bahwa otak
manusia memiliki konten informasi yang setara dengan dua puluh juta buku.
Ia juga menyadari hal itu secara drastis lebih spesifik dan kompleks dari
sebaris bilangan prima. Kalau begitu, kenapa ia berpikir bahwa pesan yang
lebih sederhana membutuhkan makhluk berakal budi sedangkan pesan yang
setara dua puluh juta buku tidak? Kita bisa juga mengajukan pada Sagan dan
teman-teman Darwinis lainnya sebuah pertanyaan dengan bobot yang sama:
Jika manusia yang berakal budi tidak dapat menciptakan sesuatu yang sama
seperti otak manusia, mengapa kita berpikir bahwa hukum alam yang tidak
berakal budi dapat melakukannya?
Respons kaum Darwinis biasanya beralasan “seleksi alam.” Apakah alasan
ini cukup untuk menjelaskan bentuk kehidupan yang baru? Lagi pula, jauh
sekali perbandingan antara satu sel dengan otak manusia.
Tetapi seperti yang telah kita lihat di bab sebelumnya, fakta ini tetap
tidak menghentikan Darwinis. Mereka melawan semua bukti empiris dan
forensik, dengan membuat cerita yang “terkesan cocok persis”––yaitu
generasi spontan dan panspermia*––yang secara ajaib memberikan mereka
kehidupan pertama yang dibutuhkannya. Ini bukanlah sains––ini hanyalah
sebuah lelucon. Hal ini mengingatkan kami akan sebuah lelucon. Steve
Martin dulu selalu mengatakan, “Saya tahu caranya bagaimana Anda dapat
menjadi seorang milioner dan tidak perlu membayar pajak! Pertama, Anda
harus punya sejuta dolar. Oke, kemudian . . .”
Sikap kaum Darwinis jauh lebih bermasalah ketika Anda tahu bahwa
mereka tidak punya penjelasan mengenai sumber unsur kimia yang tidak
hidup, apalagi penjelasan mengenai kehidupan. Seperti yang sudah kita
lihat di bab 3, salah satu pertanyaan mendasar untuk diajukan adalah, “Jika
tidak ada Tuhan, mengapa ada keberadaan dan bukan ketiadaan?” Kita sudah
melihat bahwa kaum ateis tidak memiliki jawaban yang masuk akal atas
pertanyaan ini. Mengajukan kemungkinan tidaklah cukup––mereka harus
memberikan bukti jika mereka ingin bersikap ilmiah. Jelas sekali bahwa
mereka tidak tahu dari mana asal mula alam semesta. Gambaran besar yang
baik (worldview) harus mampu menjelaskan semua data dengan cara yang
masuk akal. Jika gambaran itu tidak dapat menjawab pertanyaan mendasar
mengenai asal mula dunia atau asal mula kehidupan, maka itu bukanlah
gambaran utama yang tepat. Sudah waktunya Anda mencari gambaran besar
yang lain.
Meskipun kita melihat bahwa gambaran besar kaum Darwinis itu
salah, kita perlu memerhatikan beberapa klaim yang dibuat kaum Darwinis
mengenai asal mula bentuk kehidupan yang pertama. Teori mereka adalah
makroevolusi.
*Panspermia adalah teori yang menyatakan bahwa kehidupan itu ada dan menyebar ke
seluruh alam semesta dalam bentuk bakteri atau spora yang berkembang dalam lingkungan
yang cocok bagi bakteri atau spora itu.
Bentuk-bentuk Kehidupan Baru: Dari Goo Menjadi You via Zoo? 155
Tetapi makroevolusi adalah hal yang diklaim kaum Darwinis dari data
yang ada. Mereka mengatakan bahwa perubahan mikro yang dapat diteliti
ini dapat diperhitungkan untuk membuktikan bahwa makroevolusi yang
tidak dapat diteliti itu telah terjadi. Mereka tidak membedakan antara
mikro-evolusi dan makro-evolusi, dan dengan demikian menggunakan bukti
mikro untuk membuktikan makro. Karena gagal membuat perbedaan kritis
ini, kaum Darwinis dapat membuat masyarakat umum tertipu dan berpikir
bahwa perubahan yang dapat diteliti dari sebuah organisme apa pun dapat
membuktikan bahwa semua bentuk kehidupan telah berevolusi dari makhluk
bersel satu yang pertama.
Inilah mengapa penting sekali memperjelas perbedaan yang jelas dibuat
dan semua asumsi tersembunyi diekspos ketika mendiskusikan kontroversi
kreasi-evolusi. Jadi jika seseorang bertanya, “Apakah Anda percaya pada
evolusi?” Anda harus bertanya padanya, “Apa yang Anda maksud dengan
evolusi? Apakah maksud Anda mikro atau makroevolusi?” Mikroevolusi
telah diselidiki; tetapi itu tidak dapat digunakan sebagai bukti makroevolusi,
yang belum pernah diteliti sebelumnya.
Kaum Darwinis ahli dalam menjelaskan istilah “evolusi” dengan cukup
luas sehingga bukti dalam satu situasi bisa juga dianggap bukti bagi situasi
yang lain. Sayangnya, masyarakat sudah mulai mengerti taktik ini, dan kita
harus berterima kasih pada karya populer dari profesor hukum Berkeley
bernama Phillip Johnson. Dialah yang pertama kali menguak kelihaian
kaum Darwinis ini dalam karyanya yang menakjubkan berjudul Darwin on
Trial. Di buku itulah dia menunjukkan bahwa, “Tidak ada ‘bukti’ [seleksi
alam] yang memberikan alasan yang meyakinkan untuk memercayai bahwa
seleksi alam dapat menghasilkan spesies baru, organ baru atau perubahan
besar lainnya, atau bahkan perubahan kecil yang bersifat permanen.”2 Ahli
biologi Jonathan Wells sepakat dengannya ketika ia menulis, “Mutasi biokimia
tidak dapat menjelaskan perubahan skala besar dalam organisme yang kita
lihat dalam sejarah kehidupan.”3
Mengapa seleksi alam tidak dapat melakukannya? Berikut adalah lima
alasannya:
Mikroevolusi Makroevolusi
Dalam Satu Tipe yang Sama Dalam Tipe yang Berbeda
YA TIDAK
Gambar 6.1
Yang paling penting, perbedaan antara seleksi alam dan seleksi buatan
yang dilakukan peternak benar-benar cacat, seperti yang tabel 6.1 (hal. 158)
tunjukkan. Perbedaan terbesar adalah fakta bahwa seleksi buatan dikendali-
kan secara cerdas sementara seleksi alam tidak.
Kebingungan terhadap proses inteligen dan non-inteligen adalah kesa-
lahan yang umum terjadi di antara kaum Darwinis. Inilah yang terjadi
ketika saya (Norm) mendebat seorang humanis bernama Paul Kurtz di tahun
158 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst
Perbedaan
Krusial: SelekSi Buatan SelekSi alam
Tujuan Berdasarkan tujuan (akhir) Tidak berdasarkan tujuan
(akhir)
Proses Proses yang dibimbing oleh Proses tidak jelas
sosok berakal budi
Pilihan Pemilihan benih oleh sosok Tidak ada pemilihan benih
berakal budi oleh sosok berakal budi
Proteksi Benih-benih dilindungi dari Benih-benih tidak dilindungi
proses yang destruktif dari proses yang destruktif
Keajaiban Mempertahankan keajaiban Membuang semua keajaiban
yang diinginkan
Interupsi Interupsi yang berkelanjutan Tidak ada interupsi yang
untuk mencapai tujuan yang berkelanjutan untuk
diinginkan mendapatkan tujuan apa pun
Kelangsungan Perlakuan istimewa Tidak ada perlakuan
Hidup terhadap kelangsungan terhadap kelangsungan
hidup hidup
Tabel 6.1
lembab membawa banyak sekali biji yang lebih kecil dan lembut. Ketika
cuaca menjadi lebih kering, ukuran tubuh kutilang dengan paruh yang lebih
besar hampir sama dengan kutilang yang berparuh lebih kecil. Tubuhnya
membesar dengan sendirinya sesuai dengan periode cuaca yang lembab.
Perhatikan, tidak ada bentuk kehidupan baru yang muncul (mereka tetap
menjadi burung kutilang); hanya ukuran tubuh kutilang berparuh lebih besar
yang berubah menjadi setara dengan yang berparuh kecil. Perhatikan juga
bagaimana seleksi alam tidak dapat menjelaskan bagaimana burung kutilang
bisa ada lebih dulu. Dengan kata lain, seleksi alam mungkin bisa menjelaskan
proses suatu spesies bertahan hidup (survival), tetapi tidak dapat menjelaskan
datangnya spesies (arrival).
Mesin mobil adalah salah satu contoh sistem kerumitan yang tidak dapat
disederhanakan. Jika ada perubahan ukuran piston, akan mengakibatkan
adanya perubahan pada ukuran roda blok, sistem pendinginan, kompartemen
mesin dan sistem lainnya, atau mesin baru tidak berfungsi.
Behe menunjukkan bahwa benda hidup memiliki kerumitan yang tidak
dapat disederhanakan, sama seperti mesin mobil. Dengan detail yang amat
sangat rinci, ia menunjukan sejumlah fungsi tubuh––seperti penggumpalan
darah––cilia (organisme penggerak sel)––dan penglihatan, yang kesemuanya
membutuhkan sistem yang amat kompleks yang tidak mungkin dapat dikem-
bangkan dalam model Darwinian yang bertahap. Mengapa? Karena sistem
yang belum sempurna tidak akan berfungsi. Mengenai mesin mobil, semua
komponen yang tepat harus berada di tempatnya dalam ukuran yang tepat
juga agar mesinnya dapat berfungsi. Anda dapat menyusun komponen mesin
bagian demi bagian (dan itu membutuhkan akal budi), tetapi Anda tidak
bisa menyetir ke tempat kerja hanya dengan separuh komponen saja. Anda
juga tidak dapat menggunakan mobil itu jika salah satu komponen penting
telah dimodifikasi dan yang lainnya tidak. Dengan cara yang sama, sistem
kehidupan, langsung tidak berfungsi jika komponennya dimodifikasi bagian
demi bagian.
Ukuran kerumitan yang luar biasa dalam benda yang hidup benar-benar
tidak bisa dipahami oleh akal pikiran. Perhatikan lagi alfabet genetik DNA
yang terdiri dari empat huruf: A, T, C dan G. Nah, di dalam setiap sel manu-
sia ada sekitar 3.000 juta pasang huruf tersebut.8 Tubuh Anda tidak hanya
memiliki triliunan sel dan terus membelah diri menjadi sel yang baru setiap
detik, tetapi setiap sel juga memiliki kerumitan yang kompleks dan terdiri
dari sub-sistem yang kompleks pula!
Penemuan Behe berakibat sangat fatal bagi Darwinisme. Kerumitan
yang luar biasa berarti bahwa kehidupan yang baru tidak mungkin muncul
dari metode Darwinian yang perubahannya sedikit demi sedikit dalam kurun
waktu yang lama. Darwinisme tersebut erat dengan kekuatan alam––tanpa
campur tangan makhluk berakal budi––menghasilkan mesin yang dapat
menggerakkan mobil (contohnya ameba) dan kemudian memodifikasi mesin
dengan kerumitan yang tidak dapat disederhanakan itu menjadi mesin yang
belum sempurna hingga kekuatan alam itu akhirnya dapat membuat pesawat
luar angkasa (contohnya manusia). Kaum Darwinis tidak dapat menjelaskan
dari mana sumber materi untuk membuat mesin, apalagi menjelaskan
bagaimana mesin yang super-rumit bisa ada. Mereka juga tidak dapat
162 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst
menunjukkan proses tanpa akal budi yang memungkinkan mesin apa pun telah
berevolusi menjadi pesawat luar angkasa yang menghasilkan tenaga di setiap
langkah-langkah yang belum jadi itu. Inilah bukti ketiadaan penjelasan dari
kaum Darwinis mengenai bagaimana sistem yang super-rumit dapat muncul
secara bertahap. Behe menguak klaim-klaim omong kosong kaum Darwinis
saat ia menulis dalam bukunya,
pengetahuan itu,
.9
Upaya kaum Darwinis yang lemah tidak mampu berhadapan dengan
kerumitan yang luar biasa menunjukkan betapa besarnya masalah teori
mereka. Seorang Darwinis bernama Ken Miller telah mengajukan pendapat
bahwa kerumitan luar biasa itu tidak nyata karena ia dapat menunjukkan
bahwa contoh kerumitan yang tidak dapat disederhanakan dari Behe––yaitu
perangkap tikus––tidak benar-benar rumit. Menurut Behe, kelima bagian
perangkap tikus biasa harus berada pada posisi yang tepat pada saat yang sama,
dengan tatanan yang tepat agar perangkap itu dapat berfungsi. Anda tidak
dapat menangkap tikus hanya dengan papan dan per saja, misalnya. Tetapi
Miller pikir ia dapat menjatuhkan poin Behe dengan membuat perangkap
tikus hanya dengan empat komponen saja (Miller benar-benar membahas hal
ini dalam debat di saluran televisi PBS pada akhir tahun sembilan puluhan).
Tetapi sebenarnya kritik Miller tidak tepat sasaran. Pertama, seperti
Darwinis pada umumnya, Miller mengacuhkan fakta bahwa perangkap
tikusnya membutuhkan sosok berakal budi untuk membuatnya. Kedua, Behe
tidak mengatakan bahwa Anda membutuhkan lima bagian untuk membuat
perangkap tikus jenis apa pun––tetapi hanya perangkap tikus biasa. Sepertinya
perangkap tikus Miller bukanlah perangkap yang lebih dulu ada sebelum
perangkap Behe. Dengan kata lain, proses perubahan perangkap tikus Miller
menjadi perangkap Behe membutuhkan lebih dari satu langkah acak (yaitu
model Darwinian)––proses ini membutuhkan tambahan bagian khusus lainnya
dan beberapa penyesuaian spesifik terhadap bagian yang sudah ada (dan itu
Bentuk-bentuk Kehidupan Baru: Dari Goo Menjadi You via Zoo? 163
Gambar 6.2
Bentuk-bentuk Kehidupan Baru: Dari Goo Menjadi You via Zoo? 165
Gambar 6.3
166 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst
instruksi untuk mengatur asam amino di dalam protein, dan urutan itu amat
penting karena variasi protein biasanya akan berakibat pada disfungsi protein.
Inilah inti masalah kaum Darwinis. Jika semua spesies memiliki nenek
moyang yang sama, kita pasti akan mendapatkan susunan protein yang
transisional dari, misalnya, ikan dan amfibi, atau reptil dan mamalia. Tetapi
kita sama sekali tidak menemukan hal yang demikian. Sebaliknya, kita
menemukan bahwa tipe dasar yang berhubungan dengan molekul terisolasi
satu sama lain, sehingga tidak memungkinkan adanya relasi nenek moyang.
Michael Denton meneliti,
Pada tingkatan molekuler, tidak ada jejak transisi evolusi dari ikan
transisional antara ikan dan vertebrata melata lainnya, amat berbeda dari
Tanpa kemudahan dari teknologi masa kini, Charles Darwin tidak dapat
mengenali masalah yang dihadapi oleh teorinya pada skala sel. Namun, ia
mengetahui bahwa bukti penemuan fosil menjadi masalah besar bagi teorinya
karena fosil itu tidak menunjukkan perubahan secara bertahap. Itulah sebab-
nya ia mencatat, “Jika demikian mengapa tidak semua formasi geologis dan
setiap lapisan menunjukkan adanya hubungan makhluk transisional? Jelas
sekali ilmu geologi tidak mengungkap adanya rantai organik yang bertahap,
dan mungkin ini adalah keberatan yang paling gamblang dan paling besar
yang dapat digunakan untuk melawan teori saya.”18
Tetapi Darwin berpikir, penemuan fosil selanjutnya akan menunjukkan
bahwa teorinya benar. Waktu telah membuktikan bahwa dia salah. Bertolak
belakang dengan apa yang mungkin Anda dengar dari media pada umumnya,
penemuan fosil malah menjadi hal yang benar-benar mempermalukan
kaum Darwinis. Jika Darwinisme benar, kita akan menemukan ribuan,
atau mungkin jutaan fosil transisional sekarang. Sebaliknya, menurut ahli
paleontologi (ahli fosil dan kepurbakalaan) Harvard, Stephen Jay Gould
(seorang evolusionis), yang sudah mendahului kita,
Sejarah sebagian besar spesies yang menjadi fosil memiliki dua karakter
tentang catatan fosil itu bagaimanapun juga. Ini merupakan kasus klasik
yang mengizinkan praduga Anda menodai observasi Anda.
Tetapi kita tidak sependapat dengannya. Poin utamanya di sini adalah
bahwa catatan fosil sebenarnya menunjukkan urutan yang lebih baik dengan
penciptaan supranatural daripada makroevolusi. Memang benar bahwa tidak
ada bagian yang hilang––tetapi ada mata rantai yang hilang!
Tidak ada mata rantai karena hampir semua kelompok yang besar
dari binatang yang pernah ada muncul di dalam fosil begitu saja dan sudah
berbentuk lengkap di dalam lapisan tanah mulai dari periode Cambrian
(yang banyak ilmuwan perkirakan muncul antara 600 sampai 500 tahun
lalu). Jonathan Wells menulis, “Bukti dari fosil amat kuat, dan kejadiannya
sangat dramatis, sehingga itu dikenal sebagai ‘Ledakan Cambrian’ atau ‘Big
Bang dalam ilmu Biologi.’”20
Bukti ini, tentu saja, benar-benar tidak konsisten dengan Darwinisme.
Semua kelompok hewan muncul secara terpisah, sudah terbentuk sempurna,
dan dalam waktu yang sama. Itu semua bukanlah bukti evolusi yang terjadi
bertahap tetapi bukti penciptaan dalam waktu yang instan. Jadi pohon evolusi
yang sudah sering kita lihat tidak benar-benar mengilustrasikan catatan fosil
yang benar. Nyatanya, seperti penyelidikan Well, “Jika ada analogi botanikal
yang tepat, yang lebih tepat adalah ladang, bukan pohon.”21 Ladang itu
akan memiliki sekelompok rumput atau tanaman yang berbeda yang hanya
dipisahkan oleh tanah.
Pada titik ini Anda mungkin akan berpikir, “Tetapi bagaimana dengan
perubahan tempurung kepala yang sering kita lihat? Bukankah kelihatannya
manusia memang telah berevolusi dari kera?”
Beberapa tahun yang lalu, saya (Norm) mendebat seorang Darwinis yang
menjejerkan tempurung kepala di atas meja untuk mengilustrasikan bahwa
evolusi telah terjadi. “Bapak ibu sekalian, ini adalah bukti evolusi” serunya.
Wah, bagaimana mungkin Anda mengacuhkan fosil ini? Tempurung-tem-
purung kepala itu kelihatannya mengalami progres yang nyata. Sepertinya
mereka memiliki hubungan nenek moyang. Apakah ini bukti yang memadai
untuk Darwinisme? Tidak. Itu tidak lebih baik daripada bukti bahwa ketel
air yang besar berasal dari sebuah sendok.
Masalah kaum Darwinis adalah bahwa fosil itu tidak dapat membuktikan
adanya relasi nenek moyang. Mengapa tidak? Karena, menurut Michael
Denton, “99% dari biologi organisme mana pun berada dalam anatomi lunak,
yang tidak terdapat dalam fosil.”22 Dengan kata lain, sulit sekali menemukan
170 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst
susunan biologis dengan melihat sisa-sisa fosil saja. Jonathan Wells meneliti,
“Bukti fosil itu terbuka terhadap banyaknya interpretasi karena masing-masing
spesimen dapat direkonstruksi dengan berbagai cara, dan karena catatan fosil
tidak dapat membuktikan relasi nenek moyang-keturunan.”23
Tetapi hal ini tidak menghentikan kaum Darwinis. Karena Darwinisme
harus benar karena komitmen filosofis yang sudah mereka buat sebelumnya,
kaum Darwinis harus menemukan bukti yang mendukung pandangannya.
Jadi alih-alih mengakui bahwa fosil tidak dapat membuktikan adanya
relasi nenek moyang, mereka malah mengambil kemungkinan yang satu
persen dari fosil itu dan menggunakan 99% lainnya berupa peluang untuk
menggambarkan penemuan fosil mereka dengan mengisi kekosongan di
mana pun mereka mau. Dengan peluang tanpa fakta yang mendukung,
kaum Darwinis bebas membangun dengan kreatif seluruh “bagian yang
hilang” dari sisa-sisa fosil yang justru diambil dari benda yang tidak penting
seperti gigi. Inilah sebabnya banyak “bagian yang hilang” akhirnya diketahui
sebagai fakta palsu atau kesalahan.24 Henry Gee, penulis utama karya ilmiah
Nature, menulis, “Mengambil sejumlah fosil dan kemudian mengklaim bahwa
fosil-fosil itu adalah garis silsilah bukanlah hipotesis ilmiah yang dapat diuji,
tetapi hanya merupakan penekanan yang mengandung validitas yang sama
dengan dongeng sebelum tidur––menghibur, bahkan mungkin mengandung
pelajaran, tetapi tidak ilmiah.”25
Fosil itu bukan hanya tidak cukup untuk menentukan relasi nenek
moyang; berkenaan dengan apa yang kita tahu tentang natur kerumitan
yang tidak dapat disederhanakan dari sistem biologis, bukti fosil itu juga
tidak relevan dengan pertanyaannya. Kesamaan struktur atau anatomi di
antara jenis-jenis makhluk hidup (kadang-kadang disebut homologi) juga
tidak menyatakan apa-apa tentang nenek moyang yang sama. Michael Behe
menulis,
fakta bahwa mereka tidak dapat menjelaskan asal mula alam semesta atau
kehidupan yang pertama), Anda mungkin berpikir bahwa kaum Darwinis
akhirnya akan mengakui bahwa teori mereka tidak sesuai dengan bukti yang
dapat diteliti. Sebaliknya, kaum Darwinis malah memberikan kisah-kisah
yang “terlihat hebat” yang belum terbukti yang sebenarnya bertolak belakang
dengan penelitian ilmiah. Mereka masih saja bersikukuh bahwa evolusi itu
adalah fakta, fakta, fakta!
Kami setuju bahwa evolusi adalah fakta, tetapi bukan dalam pengertian
yang dipahami kaum Darwinis. Jika Anda mengartikan evolusi sebagai
“perubahan,” maka tentu saja makhluk hidup sudah berevolusi. Tetapi
evolusi yang terjadi bersifat mikro, bukan makro. Seperti yang sudah kita
lihat, makroevolusi bukan hanya kurang bukti, tetapi ada bukti positif bahwa
makroevolusi tidak pernah terjadi.
Jika makroevolusi tidak benar, maka manakah yang benar? Yah, jika tidak
ada penjelasan alam mengenai bentuk kehidupan yang baru, maka pasti ada
penjelasan dari sosok berakal budi. Itulah satu-satunya cara lain. Tidak ada
jalan tengah antara pribadi berakal budi dan yang tidak berakal budi. Entah
akal budi campur tangan di dalamnya atau tidak sama sekali. Tetapi kaum
Darwinis tidak menyukai pilihan ini. Maka mereka mengerahkan segenap
kemampuannya untuk mempertahankan posisi mereka dengan bukti ilmiah
yang objektif (dengan sangat cepat), kaum Darwinis biasanya menyerang
penganut Desain Inteligen––orang-orang yang percaya bahwa ada sosok yang
supercerdas di balik adanya alam semesta dan kehidupan. Berikut ini adalah
keberatan yang biasa diajukan dan respons kita terhadapnya:28
tidak dapat dibelokkan? . . . Berapa lama lagi kita akan terus mencari sampai
akhirnya menyerah dan kemudian menyatakan bahwa meneruskan pencarian
adalah hal yang sia-sia tetapi juga bahwa objek pencarian itu sendiri memang
tidak eksis.”29
Perhatikan implikasi pertanyaan Dembski. Haruskah kita terus mencari
penyebab alam untuk fenomena seperti Gunung Rushmore atau pesan seperti
“Buang sampahnya––Mama?” Kapan semua itu akan berakhir?
Walter Bradley, salah seorang penulis buku The Mystery of Life’s Origin
yang diperkirakan akan menjadi karya yang terus berkembang, percaya bahwa
“Tampaknya tidak ada kemungkinan untuk menemukan [penjelasan alam]”
asal mula kehidupan. Ia menambahkan, “Saya pikir orang yang percaya bahwa
kehidupan ada secara alamiah harus memiliki iman yang jauh lebih besar
daripada orang rasional yang berpendapat bahwa ada Desain Inteligen.”30
Baik Anda berpikir kita harus terus mencari penjelasan alam ataupun
tidak, poin utamanya bahwa ilmuwan Desain Inteligen terbuka terhadap
penyebab alam maupun inteligen. Tetapi kenyataannya penyebab inteligen,
paling cocok dengan bukti yang ada.
Ketiga, kesimpulan mengenai Intelligent Design (ID)/Desain Inteligen
tidak dapat dipalsukan. Dengan kata lain, ID dapat ditolak jika suatu hari
nanti hukum alam terbukti dapat menciptakan kerumitan yang spesifik itu.
Namun, hal itu tidak dapat diterapkan dalam posisi Darwinis. Mereka tidak
mengizinkan pengujian mengenai “kisah penciptaan” mereka karena, seperti
yang sudah kami jelaskan, mereka tidak mengizinkan adanya kisah penciptaan
lain untuk dipertimbangkan. “Sains” mereka tidak bersifat sementara atau
terbuka terhadap koreksi; sains mereka lebih tertutup daripada sebagian besar
doktrin gereja yang dogmatik yang cenderung dikritik oleh kaum Darwinis.
Alasan terakhir, sebenarnya kaum Darwinislah yang menganut gagasan
keliru mengenai Tuhan-Pengisi-Kekosongan. Darwin sendiri pernah dituduh
bahwa ia menganggap seleksi alam sebagai “kekuatan aktif atau ketuhanan”
(lih. bab 4 mengenai Asal Mula Spesies). Tetapi tampaknya seleksi alam
adalah ketuhanan atau “Tuhan-Pengisi-Kekosongan” bagi kaum Darwinis
masa kini. Ketika mereka benar-benar telah gagal menjelaskan bagaimana
sistem biologis yang memiliki kerumitan luar biasa, sistem biologis yang kaya
informasi bisa eksis, mereka begitu saja menutupi kesenjangan pengetahuan
mereka dengan mengklaim bahwa seleksi alam, waktu dan kesempatanlah
yang melakukannya.
176 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst
Nah, seperti yang sudah kami katakan sebelumnya, jika bias filosofis
atau religius mencegah seseorang untuk dapat menginterpretasi bukti dengan
benar, maka kita memiliki dasar untuk mempertanyakan kesimpulan orang
itu. Dalam debat yang baru saja terjadi, masalah ini sepertinya lebih berat
bagi kaum Darwinis daripada yang lainnya. Namun, poin utamanya adalah
meskipun seandainya seseorang termotivasi karena agama atau filosofi,
kesimpulan mereka dapat dikoreksi dengan pandangan yang jujur atas bukti
yang ada. Para saintis maupun kreasionis mungkin mengalami kesulitan untuk
bersikap netral, namun jika mereka berintegritas, mereka dapat bersikap
objektif.
Aspek keberatan kedua adalah tuntutan bahwa penganut Desain Inte-
ligen tidak mempunyai bukti apa pun bagi pandangan mereka––mereka
hanya menirukan kata-kata dari Alkitab. Aspek keberatan ini juga sia-sia.
Kepercayaan Desain Inteligen bisa saja konsisten dengan Alkitab, tetapi
mereka bukan berdasarkan Alkitab. Seperti yang sudah kita lihat, Desain
Inteligen adalah kesimpulan yang didasarkan pada bukti yang dapat diteliti
secara empiris, bukan berdasarkan teks yang sakral. Seperti yang diselidiki
Michael Behe, “Kehidupan di bumi pada level yang paling mendasar, dalam
komponen yang paling penting, merupakan produk aktivitas berakal budi.
Kesimpulan dari desain inteligen mengalir secara natural dari data itu sendiri
––bukan dari kitab suci atau kepecayaan satu aliran saja.”31
Desain Inteligen juga bukan “sains penciptaan.” Ilmuwan Desain Inte-
ligen tidak membuat klaim yang dibuat oleh orang-orang yang disebut-sebut
sebagai “ilmuwan penciptaan.” Mereka tidak mengatakan bahwa data yang
ada amat mendukung enam-hari-dua-puluh-empat jam di dalam Kejadian,
atau bencana air bah yang menutupi seluruh permukaan bumi. Sebaliknya,
mereka tahu bahwa data Desain Inteligen bukanlah berdasarkan umur yang
spesifik atau sejarah geologis bumi. Ilmuwan Desain Inteligen mempelajari
objek yang sama yang juga dipelajari kaum Darwinis––kehidupan dan alam
semesta––tetapi mereka memiliki kesimpulan yang lebih masuk akal mengenai
penyebab objek-objek itu. Singkatnya, tanpa menghiraukan apa yang akan
dikatakan Alkitab mengenai hal ini, Darwinisme ditolak karena tidak sesuai
dengan data ilmiah, dan Desain Inteligen diterima karena sesuai dengan data
ilmiah.
178 I Don’t Have enougH FaItH to Be an atHeIst
mengupas bambu. Gould tidak dapat menyalahkan sang desainer ibu jari itu
jika memang tidak dimaksudkan untuk melakukan hal lain selain mengupas
bambu.
Yang terakhir, di dalam dunia yang dibatasi oleh realitas fisik, semua
jenis desain membutuhkan keseimbangan. Laptop harus memerhatikan
keseimbangan antara ukuran, berat dan kinerja. Mobil yang lebih besar
mungkin lebih aman dan nyaman, tetapi juga sulit diarahkan dan mengon-
sumsi lebih banyak bahan bakar. Langit-langit yang tinggi membuat ruangan
terasa lebih dramatis, tetapi juga membutuhkan lebih banyak energi. Karena
keseimbangan tidak dapat dihindarkan dalam dunia ini, para insinyur harus
mencari posisi kompromi yang paling baik agar mendapatkan hasil yang
diinginkan. Misalnya, Anda tidak dapat menyalahkan rancangan mobil kecil
karena hanya bisa membawa lima belas penumpang. Pembuat mobil itu
memperhitungkan ukuran mobil yang irit bahan bakar dan untuk mencapai
hasil yang disasarnya. Begitu juga, desain ibu jari panda merupakan sebuah
kompromi yang masih sesuai untuk memenuhi hasil yang diinginkan. Ibu
jari panda yang amat pas untuk mengupas bambu. Jika seandainya desain ibu
jarinya berbeda, maka perbedaan itu akan membatasi panda dalam berbagai
hal. Intinya kita tidak akan tahu jika tidak mengetahui maksud sang pencipta.
Yang kita tahu adalah kritik Gould tidak mungkin sukses tanpa mengetahui
sasaran-sasarannya.
Mengapa harus bermusuhan? Tadinya saya pikir ini sains. Pasti ada sesuatu
yang dipertaruhkan di sini.
Memang ada. Mari kita kembali melihat kutipan Richard Lewontin dari
bab sebelumnya. Ingatlah, penekanannya bahwa kaum Darwinis memer-
cayai kemustahilan yang mereka lakukan karena “materialisme bersifat
absolut, dengan demikian kami tidak mengizinkan keilahian ikut campur di
dalamnya.” Nah, itulah isu sebenarnya. Menyingkirkan Tuhan jauh-jauh.
Tetapi mengapa mereka tidak menginginkan “campur tangan Tuhan?” Kami
memiliki empat alasan utama.
Pertama, dengan mengakui adanya Tuhan, berarti kaum Darwinis
mengakui bahwa mereka bukanlah pihak yang memiliki otoritas mengenai
kebenaran. Baru-baru ini di dalam dunia yang teknologinya sedang berkem-
bang pesat, ilmuwan dipandang sebagai figur yang memiliki otoritas––
pendeta-pendeta baru yang membuat hidup menjadi lebih baik dan juga
orang yang memiliki sumber kebenaran yang objektif. Membiarkan adanya
Tuhan berarti melepaskan klaim superioritas mereka.
Kedua, mengakui Tuhan, berarti mereka mengakui bahwa mereka tidak
memiliki otoritas absolut untuk memberikan penjelasan. Dengan kata lain, jika
Tuhan itu ada, mereka tidak dapat menjelaskan setiap peristiwa sebagai hasil
dari hukum alam yang dapat diprediksi. Rechard Lewontin menjelaskannya
begini, “Mengakui ketuhanan (deity) yang mahakuasa berarti di saat apa pun
kita mengizinkan hancurnya keteraturan (regularitas) alam, dan mukjizat akan
terjadi.”33 Seperti yang dicatat Jastrow, ketika hal itu terjadi, “ilmuwan akan
kehilangan kendali,” tentu saja terhadap Tuhan dan mungkin juga pada ahli
teologi.34
Ketiga, dengan mengakui adanya Tuhan, kaum Darwinis berisiko kehi-
langan dukungan finansial dan pengakuan profesional. Kenapa? Karena ada
tekanan yang amat besar dalam komunitas akademik untuk mempublikasikan
sesuatu yang mendukung evolusi. Temukan sesuatu yang penting dan Anda
akan berada di halaman sampul majalah National Geographic atau narasumber
program khusus PBS. Jika tidak menemukan apa-apa, Anda tidak akan punya
pekerjaan, tidak ada kucuran dana, atau setidaknya bantuan dari kolega
Anda yang materialis. Jadi, untuk memajukan pola pandang Darwinian ada
motivasi berupa uang, posisi, dan prestise.
Alasan terakhir, dan mungkin yang paling penting, dengan mengakui
Allah, kaum Darwinis harus mengakui bahwa mereka tidak memiliki
otoritas untuk menentukan yang benar dan yang salah bagi diri mereka
Bentuk-bentuk Kehidupan Baru: Dari Goo Menjadi You via Zoo? 181
Nah, itulah momen yang amat terus terang. Tentu saja ini tidak berarti
bahwa semua Darwinis tidak bermoral––kami yakin masih ada beberapa
Darwinian yang bahkan lebih bermoral daripada orang yang mengaku Kristen.
Momen itu menunjukkan bahwa beberapa penganut Darwinis termotivasi
bukan karena bukti melainkan karena keinginan untuk bebas dari hal yang
dipandang sebagai batasan moral dari Tuhan. Motivasi ini dapat membuat
mereka mengabaikan bukti adanya Pencipta sehingga mereka dapat terus
hidup seperti yang mereka inginkan (Dalam hal ini mereka tidak ada bedanya
dengan agama lain yang juga mengatakan bahwa mereka memiliki cara untuk
mengatasi rasa bersalah yang ditimbulkan oleh perilaku tidak bermoral.
Bedanya adalah, meskipun merasa bersalah dan menawarkan cara untuk
menebusnya atau mencegahnya, beberapa penganut Darwinis berusaha
menghindari implikasi rasa bersalah dengan menekankan bahwa tidak ada
yang harus disesali mengenai perilaku tidak bermoral!).
Empat motivasi yang kami paparkan ini tidak mengagetkan. Seks dan
kekuasaan menjadi motivator di balik sebagian besar perdebatan budaya kita,
misalnya aborsi dan homoseksualitas. Manusia amat sering mengambil posisi
dalam perdebatan itu yang akhirnya hanya mementingkan hasrat pribadi
mereka daripada mempertimbangkan bukti yang ada.
Begitupun, kepercayaan Darwinisme sering kali hanyalah masalah kei-
nginan dan bukan masalah pikiran. Kadang-kadang orang menolak mene-
rima sesuatu yang mereka ketahui sebagai kebenaran karena akibat yang
harus mereka tanggung dalam kehidupan pribadi. Ini menjelaskan mengapa
beberapa penganut Darwinis mengajukan penjelasan “kontra-intuitif ” yang
amat mustahil––penjelasan yang “bertentangan dengan akal sehat.” Meskipun
bukti adanya desain sudah amat jelas, orang-orang ini takut melanggar batasan
Tuhan dalam hidup mereka melebihi ketakutan mereka terhadap kesimpulan
ilmiah mereka yang keliru.
Kami tidak bermaksud mengatakan bahwa semua Darwinis memiliki
motivasi yang sama atas kepercayaan mereka. Beberapa mungkin benar-
benar percaya bahwa bukti ilmiah mendukung teori mereka. Kami pikir
mereka mendapat miskonsepsi ini karena sebagian besar Darwinis jarang
sekali mempelajari penelitian lain tentang hal itu. Akibatnya, sedikit yang
memiliki gambaran utuh.
Hal ini biasanya terjadi pada kalangan ahli biologi. Seorang ahli biologi
molekuler dan sel bernama Jonathan Wells menyelidiki, “Sebagian besar
ahli biologi adalah ilmuwan yang jujur dan pekerja keras, yang menuntut
Bentuk-bentuk Kehidupan Baru: Dari Goo Menjadi You via Zoo? 183
penyajian bukti yang akurat, tetapi juga jarang sekali menyelidiki hal lain di
luar bidang mereka sendiri.”39 Dengan kata lain, meskipun mereka bekerja
dengan jujur, mereka hanya melihat kepingan puzzle milik mereka sendiri.
Karena mereka telah diajarkan bahwa gambaran Darwinianlah yang benar
(hanya detail mengganggu saja yang masih belum diselidiki), sebagian besar
ahli biologi menginterpretasikan kepingan puzzle mereka dengan gambaran
yang ada dalam pikiran mereka, membebaskan mereka dari keraguan terhadap
pandangan Darwinian dan berasumsi bahwa bukti kuat kaum Darwinian
berada di bagian lain biologi. Jadi meskipun seandainya mereka tidak
dapat melihat bukti adanya generasi spontan atau makroevolusi di dalam
kepingan puzzle mereka, bukti itu pasti ada di suatu tempat dalam biologi
karena gambaran Darwinian membutuhkan hal tersebut untuk dapat menjadi
benar. Hal ini membuat paradigma evolusi tidak dapat dibandingkan dengan
mayoritas ahli biologi.
Alasan terakhir, mari kita lihat bukti tersebut dengan pertanyaan lain.
Harus seperti apakah bentuk bukti itu agar penciptaan (Desain Inteligen)
menjadi fakta yang nyata? Bagaimana jika:
1. Alam semesta itu ada dan meledak dari ketiadaan
2. Alam semesta yang mengandung lebih dari 100 konstanta
yang sudah disetel dengan amat tepat, memungkinkan adanya
kehidupan di planet kecil yang disebut Bumi
3. Hidup yang: