hemoglobin : protein utama dalam dalam sel darah merah. Terdiri dari empat rantai
polipeptida (globin), pada orang dewasa 2α dan 2β, masing-masing mengandung
satu atom besi yang terkait pada protoporfirin untuk membentuk hem.
Sumber: kapita selecta hematologic hoffbrand edisi 7
1.2 struktur
struktur hemoglobin terdiri atas satu golongan heme dan globin yang merupakan
empat rantai polipeptida yaitu asam amino yang terdekat terangkai dengan urutan
tertentu. Molekul-molekul hemoglobin terdiri dari dua pasang rantai polipeptida
(globin) dan empat gugus heme identic yang melekat pada 4 rantai globin.
Sintesis hem terutama terjadi dalam mitokondria melalui suatu rangkaian reaksi
biokimiawi yang dimulai dari kondensasi glisin dan suksinil koenzim A dalam
pengaruh kerja enzim kunci asam δ- aminolevulinat (ALA) sintase yang membatasi
laju reaksi.
Piridoksal fosfat (vitamin 𝐵6 ) adalah koenzim untuk reaksi ini. Pada akhirnya,
2+
protoporfirin bergabung dengan besi dalam bentuk ferro (𝐹𝑒 ) untuk membentuk
hem.
Suatu tetramer yang terdiri dari empat rantai globin masing-masing dengan
gugus hem-nya dalam suatu “kantong” kemudian dibentuk untuk menjadikan satu
molekul hemoglobin.
Sumber: Wulandari, R.D., 2018. Kelainan pada Sintesis Hemoglobin: Thalassemia dan
Epidemiologi Thalassemia. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma, 5(2), pp.33-44.
1.3 fungsi
Fungsi fisiologi utama hemoglobin (Hb) adalah mengatur pertukaran oksigen dengan
karbondioksida didalam jaringan tubuh. Mengambil oksigen dari paru-paru
kemudian dibawah keseluruh tubuh untuk dipakai sebagai bahan bakar. Membawa
karbindioksida dari jaringan-jaringan tubuh sebagai hasil metabolisme ke paru-paru
untuk dibuang. Namun menurut Anna Poedjiadi (2009) secara umum fungsi
hemoglobin adalah:
a. Mengikat Oksigen. Protein dalam sel darah merah memiliki fungsi sebagai
mengikat oksigen yang akan disirkulasikan ke paru-paru.
b. Pertahanan Tubuh. Sirkulasi darah yang terus dipompa oleh jantung dapat
mempertahankan tubuh dari serangan virus, bahan kimia, maupun bakteri.
Darah tersebut nantinya akan disaring oleh fungsi ginjal dan dikeluarkan melalui
urine sebagai hasil toksin dari tubuh.
c. Menyuplai nutrisi. Selain mengangkut oksigen, darah juga akan menyuplai nutrisi
ke jaringan tubuh dan mengangkut zat sebagai hasil dari metabolism
Sumber:
a. Rismayanthi, C., 2016. Profil tingkat volume oksigen maskimal (VO2 max) dan kadar
hemoglobin (HB) pada atlet Yongmoodo Akademi Militer Magelang. Jorpres (Jurnal
Olahraga Prestasi), 12(2).
b. Ristyaning, P., 2016. Madu sebagai peningkat kadar hemoglobin pada remaja
putri yang mengalami anemia defisiensi besi. Jurnal Majority, 5(1), pp.49-53.
Gen globin α dan α-like pada kromosom 16 (atas) dan gen globin β dan β-like pada
kromosom 11 (bawah).
Produksi Hb pada manusia dikarakterisasi oleh dua pergantian utama: produksi
Hb embryonik, yaitu Hb Gower 1 (ζ2ε2); Hb Gower 2 (α2ε2) dan Hb Portland (ζ2γ2)
dan perubahan setelah 2 bulan masa kehamilan dengan diproduksinya dua jenis Hb
janin (fetal) (α2Gγ2 dan α2Aγ2) dan sesaat sebelum lahir menjadi HbA (α2β2).
Hemoglobin fetal (HbF) adalah komponen Hb selama kehidupan janin dan saat
lahir, merupakan 80% hemoglobin total pada bayi baru lahir. Hemoglobin fetal (HbF)
diproduksi pada minggu ke enam kehamilan dan selama kehidupan janin,
menggantikan Hb embryo (Gower I, Gower II dan Portland). Setelah bayi lahir,
sintesis HbF menurun dengan cepat dan secara bertahap HbF digantikan oleh HbA
pada darah perifer, sehingga dalam dua tahun pertama kehidupan, fenotip Hb telah
sama dengan fenotip Hb pada dewasa dengan level HbF sangat rendah (kurang dari
1%). Pada dewasa normal, HbF didistribusikan di antara sel darah merah walaupun
sintesisnya terbatas pada populasi sel-sel yang disebut sel F. Sekitar 3-7% sel darah
merah adalah sel-F, yang mengandung 20-25% HbF. Hemoglobin fetal dibentuk dari
dua rantai globin α dan dua rantai globin ɣ (α2ɣ2), yang terdiri dari 141 dan 146
residu asam amino. Rantai ɣ merupakan karakteristik dari HbF dan berbeda dari
rantai β yang lain pada 39 residu. Terdapat dua macam rantai-ɣ yang terdapat pada
HbF, yaitu Gɣ dan Aɣ, yang ke duanya berfungsi secara identik tetapi berbeda pada
asam amino ke-136 yang mungkin alanin atau glycine. Rantai globin Gɣ dan Aɣ
dikode oleh dua gen berbeda yang berlokasi pada kluster globin β pada kromosom
nomer 11. Rasio Gɣ dan Aɣ sekitar 70:30 saat lahir dan umumnya 40:60 pada HbF
yang ditemukan pada individu dewasa. Perubahan rasio ini dapat ditemukan pada
beberapa kelainan pada hemoglobin.
Sintesis rantai globin (dalam persentase) dan organ yang memproduksi pada tahapan
usia kehamilan (dalam bulan).
Keterangan:
A. Tempat dan level berbagai molekul β-like globin dengan warna sesuai dengan
bermacam gen pada lokus globin beta (pada gambar B). (embryonik berwarna
biru, fetal dalam warna hijau dan Hb dewasa berwarna merah).
B. Gambar menunjukkan enhancer pada upstream dari lokus globin beta, yang
dikenal sebagai locus control region (LCR), HS1 adalah singkatan dari DNAse I
hypersensitivity sites.
Sumber: Wulandari, R.D., 2018. Kelainan pada Sintesis Hemoglobin: Thalassemia dan
Epidemiologi Thalassemia. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma, 5(2), pp.33-44.
2.2 etiologi
a. Thalassemia alfa terjadi akibat mutasi pada kromosom 16. Rantai globin alfa
terbentuk sedikit atau tidak terbentuk sama sekali sehingga rantai globin yang
ada membentuk HbBart (γ4) dan HbH (β4). Tetramer tersebut tidak stabil dan
badan inklusi yang terbentuk mempercepat destruksi eritrosit.
b. Thalassemia beta terjadi akibat mutasi gen globin beta sehingga produksi rantai
globin beta menjadi berkurang atau tidak terbentuk sama sekali. Rantai globin
alfa yang terbentuk tidak semua dapat berikatan dengan rantai globin beta
sehingga terjadi peningkatan HbF dan HbA2. Selain itu terbentuk pula rantai
tetramer alfa yang tidak stabil yang mudah terurai. Rantai globin alfa bebas
tersebut tidak larut, kemudian membentuk presipitat yang memicu lisis eritrosit
di mikrosirkulasi (limpa) dan destruksi di sumsum tulang.
2.3 epidemiologi
Thalassemia merupakan kelainan pada gen tunggal yang paling umum
ditemukan. Penyebaran penyakit ini mulai dari Mediterania, Timur Tengah, anak
benua (subcontinent) India dan Burma, sepanjang garis antara Cina bagian Selatan,
Thailand, semenanjung Malaysia, Kepulauan Pasifik dan Indonesia. Hasil
daripenelitian epidemiologi menunjukkan individu pembawa gen thalassemia alpha
atau beta dapat bertahan terhadap serangan malaria falciparum pada daerah-derah
yang endemik. Perkawinan antar kerabat juga memberikan kontribusi tingginya
prevalensi thalassemia pada daerah-derah tersebut. Akan tetapi, karena adanya
migrasi penduduk dari daerah dengan prevalensi tinggi, maka kelainan ini dapat
ditemukan di seluruh dunia.
Diperkirakan, jumlah individu pembawa lebih dari 270 juta, dan lebih dari
300,000 anak-anak dengan thalassemia atau salah satu varian struktur hemoglobin
lahir tiap tahun. Tabel 2 menggambarkan kelainan hemoglobinopati dan jumlah
penderita yang lahir tiap tahunnya.
Pada Tabel 2 terlihat anemia sel sickle menempati urutan tertinggi kelainan
hemoglobin pada bayi yang lahir di seluruh dunia, diikuti thalassemia beta major dan
HbE-thalassemia beta. Meskipun demikian, data di atas mungkin tidak akurat,
sehingga dibutuhkan pemetaan mikro (micromapping) lebih lanjut terutama pada
negara-negara dengan frekuensi kelainan hemoglobin yang tinggi.
Diperkirakan, sekitar 1.5% dari populasi dunia atau 80 sampai 90 juta penduduk
adalah pembawa thalassemia beta, sebagian besar berada di negara yang sedang
berkembang. Insidensi individu yang menunjukkan gejala thalassemia adalah 1 :
100.000 penduduk per tahun di seluruh dunia dan 1 : 10.000 orang di negara-negara
Uni Eropa. Akan tetapi, pada negara-negara yang diketahui atau diperkirakan banyak
penduduknya menderita thalassemia, data akurat jumlah individu pembawa (carrier)
tidak tersedia. Menurut Thalassemia International Federation, hanya sekitar 200.000
penderita thalassemia major yang bertahan hidup dan tercatat menerima
pengobatan teratur di seluruh dunia. Kombinasi yang paling umum ditemukan
adalah thalassemia beta dengan Hb abnormal atau varian struktur Hb, yaitu
HbE/thalassemia beta dan paling banyak ditemukan di Asia Tenggara, dengan
frekuensi carrier sekitar 50%.
Sumber: Wulandari, R.D., 2018. Kelainan pada Sintesis Hemoglobin: Thalassemia dan
Epidemiologi Thalassemia. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma, 5(2), pp.33-44.
2.4 klasifikasi
Thalasemia merupakan penyakit terbanyak di antara golongan anemia hemolitik
dengan penyebab intrakorpuskuler di Indonesia.
Sumber: Liansyah, T.M. and Herdata, H.N., 2018. Aspek Klinis dan Tatalaksana Thalasemia
pada Anak. Jurnal Kedokteran Nanggroe Medika, 1(1), pp.63-69.
2.5 patofisiologi
Sumber: Liansyah, T.M. and Herdata, H.N., 2018. Aspek Klinis dan Tatalaksana
Thalasemia pada Anak. Jurnal Kedokteran Nanggroe Medika, 1(1), pp.63-69.
Sumber: Tursinawati, Y. and Fuad, W., 2018. Pengetahuan Pengaruhi Sikap dan Tindakan
Mahasiswa terhadap Program Pencegahan Thalassemia di Indonesia. HIGEIA (Journal of
Public Health Research and Development), 2(4), pp.654-662.
Retikulosit
Jumlah retikulosit menunjukkan aktivitas sumsum tulang. Pasien thalassemia
memiliki aktivitas sumsum tulang yang meningkat, sedangkan pada anemia
defisiensi besi akan diperoleh hasil yang rendah.
High Perfomance Liquid Chromatography (HPLC)
a. Sebagai alat ukur kuantitatif HbA2 dan HbF, dan dapat dipakai untuk
mengidentifikasi dan menghitung varian hemoglobin secara presumtif.
Pemeriksaan alternatif dapat dilakukan jika varian hemoglobin yang
terdeteksi pada HPLC relevan dengan klinis pasien.
b. HbF dominan (>90%) pada hampir semua kasus thalassemia β berat, kecuali
pasien telah menerima transfusi darah dalam jumlah besar sesaat sebelum
pemeriksaan. HbA tidak terdeteksi sama sekali pada thalassemia β0
homozigot, sedangkan HbA masih terdeteksi sedikit pada thalassemia β+.
Peningkatan HbA2 dapat memandu diagnosis thalassemia β trait.
1. Kadar HbA2 mencerminkan derajat kelainan yang terjadi.
2. HbA2 3,6-4,2% pada thalassemia β+ ringan.
3. HbA2 4-9% pada thalassemia heterozigot β0 dan β+ berat.
4. HbA2 lebih dari 20% menandakan adanya HbE. Jika hemoglobin yang
dominan adalah HbF dan HbE, maka sesuai dengan diagnosis thalassemia
β/HbE.
Elektroforesis Hemoglobin
Beberapa cara pemeriksaan elektroforesis hemoglobin yang dapat dilakukan
adalah pemeriksaan Hb varians kuantitatif (electrophoresis cellose acetat
membrane), HbA2 kuantitatif (metode mikrokolom), HbF (alkali denaturasi
modifikasi Betke 2 menit), atau pemeriksaan elektroforesis menggunakan
capillary hemoglobin electrophoresis.
Analisis DNA
Analisis DNA merupakan upaya diagnosis molekular thalassemia, yang dilakukan
pada kasus atau kondisi tertentu:
i. Ketidakmampuan untuk mengonfirmasi hemoglobinopati dengan
pemeriksaan hematologi:
a. Diagnosis thalassemia β mayor yang telah banyak menerima transfusi.
Diagnosis dapat diperkuat dengan temuan thalassemia β heterozigot
(pembawa sifat thalassemia beta) pada kedua orangtua
b. Identifikasi karier dari thalassemia β silent, thalassemia β dengan HbA2
normal, thalassemia α0, dan beberapa thalassemia α+
c. Identifikasi varian hemoglobin yang jarang
ii. Keperluan konseling genetik dan diagnosis prenatal.
Rekomendasi
Diagnosis Banding
Sumber: KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
HK.01.07/MENKES/1/2018 TENTANG PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN
KEDOKTERAN TATA LAKSANA THALASEMIA
2.8 tatalaksana
1) Transfusi darah
Indikasi transfusi darah
Tujuan transfusi darah pada pasien thalassemia adalah untuk menekan
hematopoiesis ekstramedular dan mengoptimalkan tumbuh kembang anak.
Keputusan untuk memulai transfusi darah sangat individual pada setiap pasien.
Transfusi dilakukan apabila dari pemeriksaan laboratorium terbukti pasien
menderita thalassemia mayor, atau apabila Hb 2 minggu, tanpa adanya tanda
infeksi atau didapatkan nilai Hb >7gr/dL dan dijumpai, gagal tumbuh, dan/atau
deformitas tulang akibat thalassemia. (Level of evidence IV)
2.9 komplikasi
a. Komplikasi pada Jantung
Gejala yang timbul dapat berupa nyeri dada dan palpitasi, aritmia, dan
tanda-tanda gagal jantung secara umum. Perlu disingkirkan kemungkian etiologi
penyakit jantung yang berasal akibat penyakit lain terkait thalassemia seperti
hipotiroid, hipokalsemia, diabetes yang tidak terkontrol, infeksi akut, trombosis,
dan hipertensi pulmoner.
b. Komplikasi Endokrin
Komplikasi endokrin meliputi gagal tumbuh, perawakan pendek, pubertas
terlambat, hipogonadisme, hipotiroid, diabetes melitus, osteoporosis,
osteopenia, hipoparatiroid, hipoadrenal, impotensi, dan infertilitas. Klinisi
hendaknya memahami bagaimana thalassemia menyebabkan komplikasi
endokrin sehingga dapat mengupayakan tumbuh kembang optimal, termasuk
perkembangan pubertas dan fertilitas, mencegah komplikasi diabetes, tiroid, dan
paratiroid terkait thalassemia, serta menangani gangguan endokrin secara efektif
dan benar.
c. Komplikasi pada Hati
Manifestasi yang muncul dapat berupa tanda dan gejala hepatitis kronik
dan akut, gejala obstruksi pada sistem bilier, kolangitis, hipertensi portal, dan
keganasan. Kelasi besi deferipron memiliki efek toksik pada hati. Kenaikan ringan
nilai transaminase umum terjadi pada pasien yang menggunakannya, terutama
pada pasien dengan antibodi hepatitis C positif, namun hal ini tidak bersifat
progresif dan belum perlu untuk menghentikan terapi.
d. Komplikasi Sistem Muskuloskeletal
Pasien yang tidak mendapatkan transfusi secara adekuat akan mengalami
deformitas tulang terutama pada tulang kepala dan tulang wajah, maloklusi gigi,
dan sinusitis rekuren (akibat drainase inadekuat). Penanganan masalah ini
dilakukan bersama dengan departemen THT serta departemen gigi dan mulut.
Transfusi yang adekuat dapat mencegah deformitas tulang ireversibel
akibat ekspansi sumsum tulang. Kemungkinan lain masalah pada tulang
berkaitan dengan kelasi besi desferoksamin. Tanda-tanda yang perlu dicurigai
adalah nyeri tulang atau perawakan pendek. Lesi tulang berupa displasia
kartilago terjadi pada tulang panjang dan tulang belakang, sehingga tulang
belakang tampak pendek dan memberikan gambaran pseudorikets.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan kadar
kalsium, fosfat, alkalin fosfatase, dan 25-hidroksi vitamin D darah. Pemeriksaan
pencitraan seperti MRI tulang belakang dan bone mineral density (BMD) dapat
dilakukan untuk pasien dengan keluhan nyeri tulang.
e. Komplikasi Infeksi
Infeksi adalah penyebab kematian kedua terbanyak pada thalassemia
mayor, setelah kematian akibat komplikasi jantung. Pasien thalassemia memiliki
risiko lebih tinggi mengalami infeksi karena beberapa aspek imunitas pada pasien
thalassemia mengalami perubahan, di antaranya adalah penurunan jumlah
neutrofil, jumlah dan fungsi natural killer cells, peningkatan jumlah dan fungsi sel
T supresor CD8, makrofag, dan produksi interferon gamma. Infeksi merupakan
kondisi yang umum terjadi pada thalassemia. Infeksi menjadi penyebab kematian
kedua setelah jantung. Organisme utama penyebab infeksi di Asia adalah
Klebsiella spp, sedangkan di negara barat adalah Yersinia enterolitica. Infeksi yang
ditransmisikan melalui transfusi terutama adalah hepatitis C yang dapat
menyebabkan sirosis hati dan karsinoma hepatoselular. Infeksi yang sering pula di
Asia adalah pitiosis, yang disebabkan oleh jamur, dengan angka kematian yang
cukup tinggi. Klinisi perlu menyadari risiko infeksi yang tinggi pada pasien
thalassemia dan pentingnya tata laksana yang tepat untuk mengatasinya. Faktor
predisposisi yang perlu dipikirkan pada pasien thalassemia dengan infeksi adalah
splenektomi, transmisi infeksi dari transfusi darah, kelebihan besi, atau efek
samping kelasi besi.
2.10 pencegahan
Usaha pencegahan ini umpamanya meliputi usaha yang retrospektif dan prospektif.
Usaha retrospektif ialah usaha pemeriksaan yang dilakukan terhadap keluarga
penderita yang sudah dikenal, sedangkan usaha prospektif ialah melakukan
pemeriksaan skrining terhadap populasi yang belum dikenal. Strategi untuk
pemeriksaan prospektif ini melalui tahap-tahap sebagai berikut:
1) Sosialisasi dan pendidikan kesehatan bagi masyarakat
2) Melakukan skrining mencari pembawa sifat dan pasangan resiko tinggi
3) Konseling
4) Diagnosis antenatal
Di Indonesia tahap-tahap itu sedang diusahakan oleh berbagai institusi, baik institusi
penelitian maupun institusi pendidikan.
2.11 prognosis
● Prognosis ad vitam (hidup) pada penderita ini adalah dubia ad malam (tidak
dapat ditentukan/ ragu/ cenderung buruk). Penyebab kematian tersering
pada penderita thalasemia adalah komplikasi gagal jantung. Gagal jantung
biasanya terjadi pada dekade kedua dan ketiga kehidupan. Pada penderita ini
telah didapatkan gagal jantung dan kardiomiopati dilatasi disertai dengan
hemosiderosis yang memperburuk harapan hidupnya.
● Prognosis ad fuctionam (fungsi) untuk penderita ini adalah dubia ad malam
(tidak dapat ditentukan/ ragu/ cenderung buruk).
Sumber: Alam, M.D.S. and Sudjud, R.W., 2014. Anestesia dan Thalasemia. Majalah
Anestesia dan Critical Care, 32(1).