Anda di halaman 1dari 74

MODUL

PRAKTIKUM SATUAN OPERASI (603207P)

Tim Penyusun :
Isran Asnawi, S.Si., M.T.
Dewi Purnama Sari, S.T., M.Eng.
Muhammad Ridwan Septiawan, S.Si., M.T.

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA MINERAL


POLITEKNIK INDUSTRI LOGAM MOROWALI
2020
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kami mohonkan kehadirat Allah SWT yang


telah memberikan segalanya sehingga Modul Praktikum Satuan
Operasi ini dapat diselesaikan dengan baik tepat pada waktunya.
Modul Praktikum ini diharapkan akan membantu mahasiswa
memahami proses-proses pada teknologi pengolahan nikel. Modul
praktikum ini membahas proses-proses yang terdapat pada industri
pengolahan logam.

Modul praktikum ini dibuat, disesuaikan dengan kurikulum yang


telah ditetapkan pada Program D3 Teknik Kimia Mineral Politeknik
Industri Logam Morowali, tentu belum mampu memenuhi semua materi
yang diberikan. Namun demikian diharapkan kepada mahasiswa lebih
aktif dengan memanfaatkan waktu seoptimal mungkin, agar dapat
mencari relevansi lain yang sesuai tujuan instruksional umum dari
mata kuliah ini. Olehnya itu dibutuhkan masukan dan kritikan yang
membangun buat bapak/ibu yang terlibat langsung dengan materi ini.

Rasa terima kasih penulis sampaikan pada semua pihak yang


membantu dalam Modul Praktikum ini.

Jika ada hal-hal yang kurang jelas dalam mempelajari Modul


Praktikum ini, dapat disampaikan pada dosen yang mengajar. Akhirnya
belajar dan bekerjalah dengan penuh rasa tanggung jawab. Semoga
Allah SWT meridhoi setiap usaha yang kita lakukan.

Makassar, Juli 2020

Tim Penyusun

ii
Daftar Isi

MODUL 1 - PEMECAHAN (CRUSHING) .................................................. 1


MODUL 2 - PENGAYAKAN (SIEVING) ................................................... 12
MODUL 3 - PENGERINGAN (DRYING).................................................. 24
MODUL 4 – EKSTRAKSI PADAT-CAIR ................................................. 34
MODUL 5 – PENCAMPURAN (MIXING) ................................................. 50
MODUL 6 – SEDIMENTASI (SETTLING) ............................................... 61

iii
MODUL 1 - PEMECAHAN (CRUSHING)

A. Tujuan Praktikum
Untuk menentukan hubungan antara variasi jumlah bola, waktu
penggilingan, dan massa bahan terhadap fraksi massa pada
penggunaan alat Ball mill

B. Pendahuluan
Pemecahan (Crushing)
Pemecahan (Crushing) atau pengecilan ukuran berarti membagi-
bagi suatu bahan padat menjadi bagian-bagian yang lebih kecil
dengan menggunakan gaya-gaya mekanik. Pengubahan bentuk atau
ukuran bahan padat sering dilakukan di industri kimia baik sebagai
proses pendahuluan atau proses akhir. Tujuan operasi ini adalah:
1. Memperluas permukaan kontak (misalnya pada pembuatan
katalis).
2. Memudahkan pemisahan (misalnya pada uji hasil tambang).
3. Mendapatkan produk dengan ukuran dan bentuk tertentu
(misalnya pada industri permata).
4. Memudahkan pencampuran, baik padat-padat atau padat-cair
sehingga diperoleh hasil seseragam mungkin.
Bahan padat dapat dipecahkan dengan berbagai cara yang
berbeda, tetapi hanya 4 metoda yang biasa digunakan pada mesin
pemecah:
1. Tekanan (kompresi),
2. Pukulan (impak),
3. Gesekan (atrisi) dan
4. Pemotongan.

1
Peralatan pemecah bahan padat dapat dibedakan atas:
1. Mesin pemecah (crusher). Mesin ini bertugas melakukan kerja berat
memecah bongkahan besar menjadi kepingan kecil. Mesin
pemecah primer digunakan untuk memecahkan bahan mentah
hasil tambang dan dapat memecahkannya menjadi kepingan
berukuran 6-10 inci. Mesin pemecah sekunder memecahkan lagi
kepingan-kepingan menjadi partikel-partikel berukuran ¼ inci.
Contoh mesin pemecah: jaw crusher, gyratory crusher, dan
crushing roll.
2. Mesin giling (grinder). Mesin giling memperkecil umpan menjadi
serbuk. Hasil pemecah antara (intermediate grinder) berukuran
kira-kira 40 mesh. Contoh mesin giling: hammer mill, impactor,
attrition mill, bowl mill, roll mill, rod mill, ball mill dan tube mill.
3. Mesin giling ultrahalus (ultrafine grinder). Mesin giling jenis ini
dapat menghaluskan umpan berukuran > ¼ inci menjadi 1-50 μm.
Contoh mesin giling ultrahalus: fluid-energy mill, agitated mill dan
hammer mill.
4. Mesin pemotong. Mesin pemotong menghasilkan partikel yang
ukuran dan bentuknya tertentu, dengan panjang 2-10 mm. Contoh
mesin pemotong: knife- cutter dan slitter.

2
Contoh-contoh peralatan pengubah bentuk dan ukuran tersebut

Gambar 1.1. Jenis-jenis alat penggilingan

3
Pemilihan mesin untuk tugas pemecahan yang tertentu
dipengaruhi oleh sifat produk yang diperlukan, kuantitas dan ukuran
bahan yang akan ditangani. Selain ukuran, sifat-sifat umpan yang
penting adalah:
1. Kekerasan (hardness). Kekerasan bahan mempengaruhi konsumsi
daya dan keausan mesin. Untuk bahan yang keras dan abrasif
harus menggunakan mesin dengan kecepatan rendah. Bearing
harus dilindungi dari debu abrasif yang digunakan. Dalam skala
Mohr, bahan disusun berdasarkan kekerasan yang semakin
meningkat antara lain talc, feldspar, gypsum, kuartz, kalsit, topaz
flourit, korundum, sapphire, apatit, dan Berlian
2. Struktur. Bahan-bahan berbentuk bijih-bijihan seperti batu bara,
batuan dapat dipecahkan dengan gaya kompresi, impak dan
sebagainya. Bahan berserat memerlukan aksi sobek (tearing).
3. Kandungan uap lembab. Bahan yang mengandung 5 - 50% uap
lembab tidak akan mengalir dengan baik. Pada kondisi ini bahan
cenderung menggumpal dalam bentuk bola-bola. Pada umumnya,
penggilingan dapat dilakukan dengan memuaskan di luar batasan
ini.
4. Kekuatan pemecahan. Daya yang diperlukan untuk pemecahan
hampir sebanding dengan kekuatan pemecahan bahan.
5. Kerapuhan (friability). Kerapuhan bahan adalah kecenderungannya
untuk retak selama penanganan normal.
6. Stickiness. Bahan yang lengket akan menyumbat peralatan giling
oleh karena itu bahan demikian harus digiling dalam alat yang
mudah dibersihkan.
7. Soapiness. Sifat ini adalah ukuran koefisien friksi permukaan
bahan. Jika koefisien friksi rendah, pemecahan menjadi lebih
sukar.

4
8. Bahan yang mudah meledak hams digiling dalam keadaan basah
atau dalam lingkungan beratmosfir inert.
9. Bahan yang menghasilkan debu yang berbahaya harus digiling
pada kondisi dimana debu tidak dapat keluar dari mesin.

Ball Mill
Ball mill digunakan untuk menggiling berbagai jenis bahan,
mencakup batu bara, pigmen, dan felspar, Ball mill dapat menangani
umpan dengan ukuran hingga 50 mm. Efisiensi penggilingan
meningkat dengan kuantitas bahan hingga ruang-ruang kosong antar
bola terisi. Penambahan umpan lebih lanjut akan merendahkan
efisiensi.
Bola-bola terbuat dari baja atau porselen dan menempati ruang
antara 30 - 50% volume mill. Diamater bola yang digunakan berkisar
12 - 125 mm dan diameter optimumnya kira-kira sebanding dengan
pangkat dua ukuran umpan
Faktor-faktor yang mempengaruhi ukuran produk:
1. Laju umpan. Laju umpan yang tinggi akan mengurangi keefektifan
penggilingan.
2. Sifat-sifat bahan umpan.
3. Berat bola. Bola-bola yang berat akan menghasilkan produk yang
halus.
4. Diameter bola. Bola yang kecil akan menghasilkan produk yang
halus. Untuk operasi yang ekonomis maka harus menggunakan
bola dengan ukuran sekecil mungkin.
5. Kemiringan mill. Peningkatan kemiringan mill akan menambah
kapasitas.
6. Kecepatan rotasi mill. Kecepatan optimum sekitar ½ - ¾ kecepatan
kritis. Kecepatan kritis adalah kecepatan minimum dimana bola-
bola akan berputar bersama-sama dengan mill.

5
7. Level bahan di dalam mill. Konsumsi daya akan berkurang jika
level bahan di dalam mill rendah.
Keunggulan - keunggulan ball mill adalah sebagai berikut :
1. Dapat digunakan untuk penggilingan basah maupun kering,
2. Biaya instalasi dan daya murah,
3. Dapat digunakan pada atmosfir inert sehingga sesuai untuk
menggiling bahan yang mudah meledak,
4. Medium gilingan murah,
5. Sesuai untuk bahan dengan berbagai ukuran kekerasan,
6. Dapat digunakan untuk operasi batch atau kontinu.
7. Dapat digunakan pada sirkuit tertutup atau terbuka.

Contoh Pengolahan Data


Tabel 1.1 Data pengamatan variasi jumlah bola terhadap fraksi massa
Variasi Massa yang
Bukaan Massa yang Fraksi massa
jumlah No. lolos
ayak tertahan yang
bola Mesh ayakan, mn
(mm) ayakan (gram) tertahan, Xi
(buah) (gram)
50 0,297 279 221 0,4420
100 0,149 232 47 0,0942
10 150 0,100 199 33 0,0650
250 0,060 160 39 0,0784
300 0,050 136 24 0,0486
0,7282
50 0,297 300 200 0,4000
100 0,149 260 40 0,0800
20 150 0,100 230 30 0,0600
250 0,060 200 30 0,0600
300 0,050 136 20 0,0400
0,6400
50 0,297 100 0,2000
100 0,149 20 0,0400
30
150 0,100 15 0,0300
250 0,060 10 0,0200

6
300 0,050 5 0,0100
0,3000

Gambar 1.2 Grafik Hubungan Jumlah Bola dan Fraksi Massa


Tertahan
C. Metode Percobaan
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah Ball Mill, saringan ayak, goyangan ayak,
neraca analitik
Bahan yang digunakan adalah butiran bijih nikel.

Prosedur Kerja
1. Bahan baku yang akan digunakan disiapkan (300 gram)
2. Ukuran bahan baku diperkecil sebelum dimasukkan ke dalam
ballmill (menggunakan jaw crusher atau hammer)
3. Bola-bola dimasukkan sesuai variasi jumlah yang ditetapkan ke
dalam alat ballmill beserta bahan kemudian ballmill ditutup (10,
20, 30 bola)
4. Ballmill dihidupkan selama beberapa waktu tertentu (5 menit)
5. Ballmill dihentikan dan bahan yang telah digiling dikeluarkan

7
6. Bahan yang telah digiling diayak pada saringan 50, 100, 150, 250,
dan 300 mesh yang telah disusun secara berurut. Pengayakan
dilakukan selama 20 menit.
7. Setelah pengayakan, dilakukan penimbangan massa bahan yang
tertahan pada tiap saringan dan yang lolos pada pan
8. Dihitung fraksi massa yang tertahan dan dicatat pada tabel data
pengamatan
9. Dilakukan prosedur yang sama dengan melakukan variasi
terhadap waktu penggilingan (10 dan 15 menit) dan massa bahan
(400 dan 500 gram)
10. Dibuat kurva variasi jumlah bola, waktu penggilingan, dan massa
bahan terhadap fraksi massa tertahan seperti pada contoh
pengolahan data

D. Data Pengamatan
Variasi Jumlah Bola
Jenis bahan =
Massa bahan = 300 gram
Waktu penggilingan = 5 menit

Tabel 1.2 Data pengamatan variasi jumlah bola terhadap fraksi


massa
Fraksi
Massa
Variasi Bukaan Massa yang massa
yang lolos
jumlah No. Mesh ayak tertahan yang
ayakan,
bola (buah) (mm) ayakan (gram) tertaha
mn (gram)
n, Xi
50 X1
100 X2
10 150 X3
250 X4
300 X5
ΣX

8
50
100
10 150
250
300
ΣX
50
100
10 150
250
300
ΣX

Keterangan :

Variasi Waktu Penggilingan


Jenis bahan =
Massa bahan = 300 gram
Jumlah bola = hasil terbaik percobaan variasi bola
Tabel 1.3 Data pengamatan variasi jumlah bola terhadap fraksi
massa
Fraksi
Variasi Massa
Bukaan Massa yang massa
waktu yang lolos
No. Mesh ayak tertahan yang
penggilinga ayakan,
(mm) ayakan (gram) tertaha
n (menit) mn (gram)
n, Xi
50 X1
100 X2
150 X3
250 X4
300 X5
ΣX
50
100
150
250
300
ΣX

9
50
100
150
250
300
ΣX

Keterangan :

Variasi Massa Bahan


Jenis bahan =
Jumlah bola = hasil terbaik percobaan variasi bola
Waktu Penggilingan = hasil terbaik percobaan variasi waktu
Tabel 1.4 Data pengamatan variasi jumlah bola terhadap fraksi
massa
Fraksi
Variasi Massa
Bukaan Massa yang massa
massa yang lolos
No. Mesh ayak tertahan yang
bahan ayakan,
(mm) ayakan (gram) tertaha
(gram) mn (gram)
n, Xi
50 X1
100 X2
150 X3
250 X4
300 X5
ΣX
50
100
150
250
300
ΣX
50
100
150
250
300
ΣX

10
Keterangan :

E. Daftar Pustaka
Tim Penyusun, 2017, Penuntun Praktikum Ilmu Teknik Kimia I,
Laboratorium OTK Departemen Teknik Kimia FT Universitas
Sumatera Utara, Medan
Brown, G.G., 1950, Unit Operations, John Wiley and Sons, New York.
Mc.Cabe , W. L., 1985 : Unit Operation of Chemical Engineering, Mc Graw
Hill Company

11
MODUL 2 - PENGAYAKAN (SIEVING)

A. Tujuan Percobaan
Tujuan percobaan ini adalah menentukan nilai massa partikel,
jumlah partikel, nilai TAAD, nilai Dp dan Dv pada sampel bijih nikel
laterit

B. Pendahuluan
Bidang teknik kimia sering berhubungan dengan partikel
padatan, misalnya pada operasi pengecilan ukuran menggunakan
crushing, pengeringan, filtrasi, kristalisasi, padatan sebagai katalis , dan
sebagainya. Sifat partikel padatan dapat dibedakan manjadi dua : yang
merupakan sifat partikel itu sendiri dan yang merupakan sifat partikel
serta ruang diantaranya. Termasuk yang pertama adalah ukuran dan
bentuk padatan, volum, luas muka, dan massa. Termasuk yang kedua
dalah void fraction dan densitas efektif dari agregat massa padatan dan
ruang kosong.
Metode untuk pengukuran partikel dapat dibedakan atas alat
ukur yang digunakan:
1. Ayakan standar, partikel padat ditempatka diatas suatu seri ayakan.
Setiap ayakan mempunyai ukuran lubang yang lebih kecil
dibandingkan dengan yang di atasnya. Saat ayakan digoyang, partikel-
pertikel akan jatuh melewati tiap ayakan sampai suatu ayakan dengan
ukuran lubang cukup kecil untuk dilewati partikel tersebut.
2. Mikroskop, menghitung partikel dan mengukur dimensi tiap butir.
Jika ukuran partikel cukup kecil, maka digunakan mikrometer.
3. Kecepatan settling, pemisahan contoh berdasar pada kecepatan
settling
Di dalam penentuan ukuran partikel, cara analisis ayakan
dipergunakan jika partikel berada dalam kisaran yang dapat diukiur

12
dengan ayakan. Ayakan standar Tyler ataupun U.S sieve series sering
digunakan. Dalam pembuatan analisis ayakan, ayakan-ayakan disusun
sehingga ayakan dengan lubang yang lebih besar berada di atas. Suatu
wadah diletakkan di bawah ayakan terbawah untuk menampung
partikel lolos ukuran terkecil. Contoh diletakkan di atas ayakan teratas
dan susunan ayakan ditempatkan di dalam penggoyang. Goyangan
mengakibatkan partikel jatuh ke bawah. Goyangan dilakukan selama
10 sampai 20 menit. Ayakan selanjutnya dibongkar dan partikel yang
tertahan di atas masing-masing ayakan ditimbang. Hasil penimbangan
selanjutnya dinyatakan sebagai fraksi massa tertahan pada ukuran
ayakan tersebut.
Fraksi ukuran dapat dinyatakan dengan, misalnya, -10+14 yang
artinya adalah partikel berukuran lebih kecil dari 10 mesh tetapi lebih
besar dari 14 mesh. Alternatif lain adalah dengan 10/14. Untuk
menunjukkan hasil analisis ayakan dipergunakan :
1. Grafik hubungan antara fraksi massa (atau % massa) dengan
diameter rata-rata.
2. Grafik hubungan antara fraksi massa (atau % massa) kumulatif
dengan screen aperture.
3. Grafik hubungan antara fraksi massa (atau % massa) dengan
logaritma diameter rata-rata.
4. Grafik hubungan antara fraksi massa (atau % massa) kumulatif
dengan logaritma screen aperture
Pengayakan (shieving) dimaksudkan untuk menghasilkan
campuran butiran dengan ukuran tertentu, agar dapat diolah lebih
lanjut atau agar diperoleh penampilan/bentuk komersial yang
diinginkan.
Pada proses pengayakan, bahan dibagi menjadi bahan kasar
yang tertinggal (aliran atas) dan bahan lebih halus yang lolos melalui

13
ayakan (aliran bawah). Bahan yang tertinggal hanyalah partikel-
partikel yang berukuran lebih besar daripada lubang ayakan,
sedangkan bahan yang lolos berukuran lebih kecil daripada lubang-
lubang tersebut. Dalam praktek seringkali terjadi penyimpangan
keadaan ideal ini. Penyimpangan dapat dinyatakan dengan efisiensi
yaitu perbandingan antara jumlah bahan lolos sesungguhnya dan
bahan lolos secara teoritik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi pengayakan:
1. Bentuk butir. Bahan padat berupa butiran tak beraturan lebih
mudah lolos daripada bahan-bahan berbentuk bola, jarum atau
sisik yang dapat menyumbat atau menutup lubang ayakan.
2. Gerakan dan waktu tinggal. Efisiensi akan turun jika bahan yang
diayak membentuk lapisan yang terlalu tebal atau bergerak terlalu
cepat.. gerakan yang terlalu kuat dapat menyebabkan pengecilan
ukuran akibat pengikisan terutama pada bahan yang lunak.
3. Kelembaban. Umpan yang lembab akan menyebabkan
penggumpalan dan menutup lubang ayakan.
4. Muatan listrik statik. Bahan-bahan organik khusus yang halus
akan mempunyai kecendrungan membentuk gumpalan karena
adanya muatan listrik statik. Karena itu alat-alat yang digunakan
untuk mengayak bahan-bahan organik harus dibumikan.
5. Lubang ayakan. Semakin halus bahan yang diayak semakin cepat
terdapatnya kecendrungan penyumbatan lubang ayakan.
Ayakan biasanya berupa anyaman dengan mata jala (mesh) yang
berbentuk bujur sangkar atau empat persegi panjang, berupa pelat
yang berlubang-lubang bulat atau bulat panjang atau juga berupa
kisi. Ayakan terbuat dari bahan yang dapat berupa paduan baja, nikel,
tembaga, kuningan, perunggu, sutera dan bahan-bahan sintetik.
Material ini hams dipilih agar ayakan tidak mudah rusak baik karena

14
korosi atau karena gesekan. Selain itu selama pengayakan ukuran
lubang ayakan harus tetap. Yang menjadi ciri ayakan antara lain:
1. Ukuran mata jala.
2. Jumlah mata jala per satuan panjang misalnya per inci (sering
sama dengan nomor ayakan).
3. Jumlah matajala per satuan luas.
Partikel zat padat secara individu dikarakteristikan dengan
ukuran, bentuk dan densitasnya. Partikel zat padat homogen
mempunyai densitas yang sama dengan bahan bongkahan. Partikel-
partikel yang didapatkan dengan memecahkan zat padat campuran,
misalnya bijih yang mengandung logam, mempunyai berbagai
densitas, biasanya mempunyai densitas yang berbeda dari bahan
lindaknya. Untuk partikel yang bentuknya beraturan, misalnya yang
berbentuk bola dan kubus, ukuran dan bentuknya dapat dinyatakan
dengan mudah. Tetapi partikel yang bentuknya tidak beraturan
(seperti butir-butir pasir dan serpih mika), istilah “ukuran” (size) dan
“bentuk” (shape) tidak begitu jelas dan harus didefinisikan secara
acak.

Bentuk setiap partikel dikarakteristikkan dengan sferisitas atau


kebolaan (Sphericity) S , yang tidak bergantung pada ukuran partikel.
Untuk partikel berbentuk bola dengan diameter Dp, ¼ = 1; untuk
partikel yang tidak berbentuk bola, sferisitas didefinisikan oleh
hubungan :

6Vp
S = (2.1)
D p  Sp

15
dimana : Dp = diameter ekivalen atau diameter nominal
partikel

sp = luas permukaan ssatu partikel

vp = volume satu partikel

Diameter ekivalen kadang-kadang didefinisikan sebagai diameter


bola yang volumenya sama dengan volume partikel itu. Tetapi, bahan-
bahan berbentuk bijian (granular) halus, volume maupun luas
permukaannya tidak mudah ditentukan secara eksak, sehingga Dp
biasanya diambil dari ukuran nominal atas dasar analisis ayak (screen
analysis) atau melalui pemeriksaan mikroskop. Luas permukaan
didapatkan dari pengukuran adsorpsi atau dari penurunan tekanan di
dalam hamparan partikel, dan kemudian pers. (1) diterapkan untuk
menghitung S. Untuk kebanyakan bahan pecahan, nilai S berkisar
antara 0,6 dan 0,8, seperti terlihat pada tabel 1; tapi untuk partikel
yang telah membulat karena abrasi S bisa sampai setinggi 0,95.
Untuk kubus dan silinder yang panjangnya L sama dengan
diameternya, diameter ekivalen itu lebih besar dasri L, dan S yang
didapatkan dari diameter ekivalen ialah 0,61 untuk kubus dan 0,87
untuk silinder. Untuk bentuk-bentuk itu sebaiknya digunakan diameter
nominal L, karena rasio permukaan terhadap volume ialah 6/Dp, sama
dengan bola, dan hal ini membuat S sama dengan 1,0. Untuk isian
kolom (column packing) seperti cincin dan pelana, juga digunakan
ukuran nominal untuk menentukan S.
Pada umumnya, “diameter” dapat ditentukan untuk setiap
partikel yang ekidimensional. Partikel yang tidak ekidimensional, yaitu
yang panjang pada satu arah ketimbang pada arah yang lain, partikel
itu dikarakterisasi dengan dimensi utama yang kedua terpanjang.

16
Untuk partikel berbentuk jarum, umpamanya D p akan menunjukkan
tebal partikel, dan bukan pada panjangnya.
Ukuran partikel manurut konvensi, dinyatakan dalam berbagai
satuan, bergantung pada jangkauan ukuran yang terlibat. Parikel-
partikel kasar diukur dalam inci atau milimeter; partikel halus dengan
ukuran ayak, partikel yang sangat halus dengan ukuran mikrometer.
Partikel-partikel yang ultra halus kadang-kadang diberikan dengan luas
permukaan per satuan massa, biasanya dalam meter persegi per gram.
Tabel 2.1. Sifat bola untuk bermacam-macam bahan.
Sifat Sifat bentuk
Bahan bentuk Bahan bola
bola
Bola, kubus, silinder Pasir Rounded 0,95
pendek (L = Dp) 1,0 Pasir Ottawa 0,83
Cincin Raschig (L = Debu Coal 0,73
Dp)
L = Do, Di = 0,5 Do 0,58 Pasir Hitam 0,65
L = Do, Di = 0,75 Do 0,33 Gelas Crushed 0,65
Pelana Berl 0,3 Sempih Mica 0,28

Informasi dari analisis ukuran partikel didaftarkan untuk


menunjukkan massa atau jumlah fraksi yang terdapat didalam setiap
tokokan atau pertambahan kecil (increment) ukuran berbagai fungsi
ukuran partikel rata-rata (atau jangkauan ukuran) di dalam tokokan
itu. Analisis yang ditabulasikan dengan cara demikian dinamakan
analisis differensial (differensial analysis). Hasilnya biasanya disajikan
dalam bentuk histogram, seperti terlihat pada gambar 1a, dengan
menggunakan kurva kontinu sebagai pendekatan terhadap distribusi,
seperti ditunjukkan oleh garis putus-putus pada gambar itu. Cara
kedua untuk menyajikan informasi itu ialah dengan menggunakan
analisis kumulatif (Cumulatif Analysis) yang didapatkan dengan
menjumlahkan tokokan-tokokan itu secara berurutan, mulai dari yang

17
mengandung partikel terkecil; lalu mendaftarkan atau memetakan
jumlah kumulatif tersebut terhadap diameter maksimum dari partikel
yang terdapat di dalam tokokan itu. Gambar 1b, merupakan pemetaan
terhadap analisis kumulatif distribusi yang terlihat pada gambar 1a.
Dalam analisis kumulatif, data itu dapat dinyatakan dengan baik dalam
bentuk kurva kontinu.

Menghitung fraksi massa partikel dan persentasi massa

…. (2.2)

…. (2.3)

∑ …. (2.4)

…. (2.5)

Menghitung massa partikel

…. (2.6)

∑ …. (2.7)

ρn = densitas butiran ke-n (gram/cm3)

C = nilai spherisitas (sifat kebolaan) bahan (lihat pada tabel)

D3n= kubik diameter partikel ke-n (inchi)

Menghitung jumlah partikel

…. (2.8)

∑ …. (2.9)

Keterangan :

Ni = jumlah partikel dalam suatu butiran ke-n

Xn = fraksi massa ke-n

Nn = massa butiran ke-n (gram)

18
MPn = massa partikel ke-n (gram)

Menghitung diameter partikel rata-rata

…. (2.10)

Keterangan :

Davg = diameter rata-rata partikel (inch)

Dn = diameter ayakan ke-n

Menghitung True Arithmetic Average Diameter (TAAD)




…. (2.11)

Keterangan :

TAAD = True Arithmetic Average Diameter (inch)

Menghitung Mean Surface Diameter (Dp)


√ …. (2.12)

Dp = Mean Surface Diameter (inch)

Menghitung Mean Volume Diameter (Dv)


√ …. (2.13)

Keterangan :

Dv = Mean Volume Diameter (inch)

19
Tabel 2.2 Ayakan Baku Tyler

20
Contoh Pengolahan Data

Tabel 2.3 Data


Pengamatan
Massa Diameter
Undersize Oversize
awal mesh ayakan*
(gram) (gram)
(gram) (inch)

50 0,0117 279 221


100 0,0059 232 47
500 150 0,0039 199 33
250 0,0023 160 39
300 0,0019 136 24
Jumlah 1007 364
Tabel 2.4 Hasil Perhitungan
Davg
No. Mesh Nn (gram) Xn D3avg (inch3) MPn (gram) Ni X/Davg X/D3avg X/CD3avg TAAD Dp Dv
(inch)
1 Oversize 50 221 0,44 0,0117 1,60E-06 2,18E-06 44.620.851,37 37,69 2,75E+05 5,26E+05
2 Oversize 100 47 0,09 0,0088 6,81E-07 9,27E-07 4.784.890,99 10,70 1,38E+05 2,64E+05
3 Oversize 150 33 0,07 0,0049 1,18E-07 1,60E-07 13.196.438,31 13,27 5,52E+05 1,06E+06
4 Oversize 250 39 0,08 0,0031 2,98E-08 4,05E-08 75.816.774,22 25,29 2,63E+06 5,03E+06 7,70E- 5,22E- 2,74E-
12 06 03
5 Oversize 300 24 0,05 0,0021 9,26E-09 1,26E-08 93.720.136,62 23,14 5,25E+06 1,00E+07
6 Undersize 300 136 0,27 0,0019 6,86E-09 9,33E-09 3.986.999.560,48 143,58 3,98E+07 7,60E+07
3,32907E-
Jumlah 500 1 0,0325 2,44665E-06 4219138651,98 253,6742864 48618111 92900849
06

2,60
c 0,52

21
C. Metode Percobaan
Alat dan Bahan
Alat : mortar dan alu, ayakan, penggoyang, dan neraca analitik
Bahan : batu bara, bijih ore

Prosedur Kerja
1. Ditimbang sejumlah 200 gram bahan.
2. Dihaluskan dengan mortar.
3. Siapkan dan bersihkan ayakan jika perlu dengan menggunakan
kuas.
4. Ditimbang dan dicatat setiap berat dan ukuran mesh dari setiap
ayakan.
5. Konversi ukuran mesh ke inci pada data pengamatan
6. Disusun ayakan dengan ukuran mesh lebih kecil berada di atas
yang lebih besar.
7. Diletakkan pan (penampung) pada bagian paling bawah.
8. Ditempatkan bahan yang telah dihancurkan di atas ayakan teratas
dan tutup ayakan.
9. Ditempatkan ayakan yang telah disusun dalam mesin pengayak
(penggoyang).
10. Hubungkan kabel power, setting waktu pengayakan selama 20
menit dan tekan tombol on
11. Digoyang ayakan selama 20 menit sampai mesin berhenti
12. Timbang setiap ayakan dengan butiran bahan yang tertahan di
atasnya. Catat data berat ayakan pada data pengamatan. Oversize
adalah bahan yang tertinggal pada ayakan sedangkan undersize
adalah bahan yang lolos dari ayakan. Undersize pada ayakan
tengah dapat dihitung dengan mengurangkan data undersize pada
ayakan diatasnya dengan oversize pada ayakan tengah tersebut.

22
13. Dihitung fraksi massa partikel dengan rumus , presentasi massa,
massa partikel, jumlah partikel, rata-rata D, nilai TAAD menurut
persamaan (2.4) – (2.15) dan contoh pengolahan data

D. Data Pengamatan
Tabel 2.3 Data Pengamatan
Buatlah tabel pengamatam seperti pada contoh pengolahan data !

Keterangan :
Diameter ayakan* = mengacu pada ayakan baku Tyler
Oversize = Partikel yang tertahan (ukuran besar)
Undersize = Partikel yang lolos (ukuran kecil)

Tabel 2.4. Tabel Hasil Perhitungan


Buatlah tabel perhitungan seperti pada contoh pengolahan data !

E. Daftar Pustaka

Brown, G.G., 1950, Unit Operations, John Wiley and Sons, New York.
Danarto, Y.C. dan Kaavessina, M., 2014, Petunjuk Praktikum Satuan
Operasi II, Program Studi Diploma 3 Teknik Kimia FT Universitas
Sebelas Maret, Surakarta
Mc.Cabe , W. L., 1985 : Unit Operation of Chemical Engineering, Mc Graw
Hill Company
Tim Penyusun, 2016, Panduan Praktikum Operasi Teknik Kimia, Prodi
Teknik Kimia FT Universitas Brawijaya, Malang

23
MODUL 3 - PENGERINGAN (DRYING)

A. Tujuan Percobaan
1. Mengetahui kurva karakteristik pengeringan suatu bahan
2. Mengetahui pengaruh kurva karakteristik suatu bahan terhadap
kondisi dan/atau konfigurasi aliran gas pengering.

B. Pendahuluan
Pada dasarnya pengeringan zat padat berarti pemisahan
sejumlah kecil air atau zat cair lainnya dari bahan padatan, sehingga
mengurangi kandungan sisa zat cair di dalam zat padat tersebut.
Pengeringan biasanya merupakan langkah akhir dari rangkaian proses
dan hasil pengeringan biasanya langsung siap untuk dikemas. Contoh
zat padat basah seperti kayu, kapas, kertas yang dapat dikeringkan
dengan cara menghembuskan udara (gas) panas yang tak jenuh pada
bahan yang akan dikeringkan. Air atau cairan lain menguap pada
suhu yang lebih rendah dari titik didihnya karena adanya perbedaan
kandungan uap air pada bidang antar muka bahan padat gas dengan
kandungan uap air pada fasa gas.

Prinsip Pengeringan
Pola Suhu di dalam Pengering
Gejala perubahan suhu dalam pengering ditentukan oleh sifat
bahan umpan dan kandungan zat cairnya, temperatur medium
pemanas, waktu pengeringan, serta temperatur akhir yang
diperbolehkan dalam pengeringan zat padat tersebut.
Pola perubahan suhu tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.1

24
Gambar 3.1 Pola suhu dalam pengering a) Batch b) Kontinyu
Dalam pengering batch yang menggunakan medium pemanas
dengan suhu tetap (Gambar 3.1a), temperatur zat padat yang basah
itu meningkat dengan cepat dari nilai awal Tsa menjadi temperatur
penguapan Tv. Pada pengering non-adiabatik yang tidak menggunakan
gas pengering, Tv dapat dikatakan sama dengan titik didih zat cair
pada tekanan yang terdapat dalam pengering. Jika digunakan gas
pengering, atau jika pengeringan berlangsung adiabatik, Tv adalah
temperatur wet bulb (yang sama dengan temperatur jenuh adiabatik
apabila gasnya adalah udara dan zat cair yang diuapkan adalah air).
Pengaupan berlangsung pada Tv selama beberapa waktu. Artinya,
sebagian besar zat cair itu diuapkan pada temperatur jauh di bawah
temperatur medium pemanas.
Menjelang tahap akhir pemanasan itu, temperatur zat padat
naik sampai Tsb yang dapat lebih tinggi sedikit atau bahkan jauh lebih
tinggi dari Tv. Waktu pengeringan yang ditunjukkan pada Gambar
3.1a mungkin hanya beberapa detik saja, tapi mungkin pula mencapai
beberapa jam. Zat padat tersebut dapat berada ada temperatur Tv
selama sebagian besar siklus pengeringan, atau mungkin pula hanya
pada sebagian kecil dari siklus tersebut. Temperatur medium
pengering dapat konstan, namun dapat pula diprogram untuk
berubah selama berlangsungnya proses pengeringan.

25
Dalam pengeringan kontinyu, setiap partikel atau elemen zat
padat tersebut mengalami suatu siklus yang serupa dengan Gambar
1b selama proses pengeringannya dari masuk pengering sampai
keluar. Dalam operasi keadaan tunak, temperatur pada setiap titik di
dalam pengering kontinyu selalu konstan, tetapi berubah sepanjang
pengering itu. Pada gambar 1b terlihat pola temperatur dalam
pengering counter current adiabatik. Pemasukan zat padat serta
pengeluaran gas berlangsung di sebelah kiri, sedang pemasukan gas
dan pengeluaran zat padat di sebelah kanan. Di sini pun zat padat
mengalami pemanasan cepat dari temperatur Tsa ke Tv. Temperatur
penguapan Tv juga konstan karena temperatur bola basah tidak
berubah. Hal ini tidak berlaku jika ada kalor yang ditambahkan secara
tidak langsung pada zat padat. Di dekat pemasukan gas, zat padat itu
mungkin dipanaskan sampai melebihi Tv. Gas panas masuk pengering
pada suhu Tha biasanya dengan kelembaban (humidity) rendah. Gas
tersebut mendingin, mula-mula cepat, tetapi lalu agak perlahan
karena gaya dorong perbedaan temperatur makin berkurang.
Kelembabannya meningkat dengan teratur berhubung makin
banyaknya zat cair yang menguap ke dalam gas tersebut.

Perpindahan Kalor di dalam Pengering


Pengeringan zat pdat basah menurut definisinya adalah suatu
proses termal. Walaupun prosesnya bertambah rumit karena adanya
difusi di dalam zat padat atau melalui gas, pengeringan bahan dapat
dilakukan dengan terus memanaskannya sampai di atas titik didih zat
cair, misalnya dengan mengontakkan zat padat tersebut dengan uap
yang sangat panas (superheated steam). Dalam sebagian besar proses
pengeringan adiabatik, difusi selalu ada, tetapi biasanya laju
pengering itu dibatasi oleh perpindahan kalor, bukan perpindahan

26
massa. Karena itu, sebagian besar pengering dirancang hanya atas
dasar perpindahan kalor saja.

Perhitungan Beban Kalor


Kalor diberikan pada pengering dengan tujuan:
1. Memanaskan umpan (zat padat dan zat cair) sampai temperatur
penguapan
2. Menguapkan zat cair.
3. Memanaskan zat padat sampai temperatur akhirnya.
4. Memanaskan uap sampai suhu akhirnya.
Dalam kasus umum, laju total perpindahan kalor dapat dihitung
sebagai berikut: Jika ms adalah massa zat padat bone dry yang akan
dikeringkan per satuan waktu, dan Xa dan Xb adalah kandungan zat
cair awal dan akhir dinyatakan dalam massa zat cair per massa zat
padat bone dry, maka kuantitas kalor yang berpindah per satuan
massa zat padat (qT/ms) ialah:

(3.1)

dimana:
Tsa = Temperatur umpan
Tv = Temperatur penguapan
Tsb = Temperatur akhir zat padat
Tvb = Temperatur akhir uap
d = Kalor penguapan
CpS = Kalor spesifik zat padat
Cpl = Kalor spesifik zat cair
Cpv = Kalor spesifik uap

27
λ = Kalor laten penguapan
Dalam persamaan tersebut, diasumsikan semua kalor spesifik
dan kalor penguapan adalah konstan dan seluruh penguapan
berlangsung pada temperatur konstan Tv. Pendekatan ini memuaskan
jika temperatur diketahui atau dapat diperkirakan. Dalam pengering
adiabatik, Tv adalah temperatur bola basah gas, sedangkan Tvb
adalah temperatur gas keluar yang sama dengan Thb. Kalor yang
berpindah ke zat padat, zat cair, dan uap berasal dari pendinginan
gas. Pada pengering adiabatik kontinyu, neraca kalor menghasilkan:

(3.2)

dimana :
mg = Laju massa gas kering
ψ = Kelembaban gas pada waktu masuk
Csa = Kalor lembab gas pada kelembaban pada waktu masuk

Perubahan entalpi di dalam pengering adiabatik dapat pula


dihitung langsung dari grafik psikometrik.

Koefisien Perpindahan Kalor


Dalam perhitungan pengering berlaku persamaan dasar
perpindahan kalor seperti persamaan :
qT = U x A x ∆T (3.3)
dimana :
U = koefisien perpindahan kalor overall
A = luas perpindahan kalor
ΔT = beda temperaur rata-rata

Terkadang A dan ΔT diketahui dan kapasitas pengering dapat


diperkirakan dari nilai U menurut perhitungan ataupun pengukuran,

28
tetapi sering terdapat suatu ketidakpastian yang tidak dapat diabaikan
karena luas nyata perpindahan kalor. Fraksi perpindahan panas yang
berada dalam kontak dengan zat padat di dalam pengering
umpamanya sudah diperkirakan; luas total permukaan zat padat yang
terkena pada permukaan panas, atau gas panas pun sulit
diperkirakan. Oleh karena itu, banyak pengering yang dirancang atas
dasar koefisien perpindahan kalor volumetrik Ua, dimana a adalah
luas bidang peprindahan kalor per satuan volume pengering.
Persamaan yang menentukan adalah :
qT = Ua x A x ∆T (3.4)
dimana:
Ua = koefisien perpindahan kalor volumetrik
V = Volume pengering
ΔT = beda temperaur rata-rata
Oleh karena pola suhu cukup kompleks, beda suhu rata-rata
untuk pengering tersebut secara keseluruhan sulit didefinisikan.
Karena itu koefisien perpindahan kalor sulit ditaksir dan terbatas
penggunaannya. Suatu persamaan umum yang sangat berguna untuk
perhitungan ini adalah perpindahan kalor dari gas ke partikel bola
tunggal atau bola tersisih seperti berikut:

(3.5)

Terlihat bahwa untuk kebanyakan pengering tidak ada suatu


korelasi umum yang dapat digunakan, dan setiap koefisiennya harus
ditentukan melalui eksperimen. Koefisien-koefisien empirik biasanya
didasarkan atas definisi yang bersifat agak sembarang mengenai luas
permukaan perpindahan kalor dan perbedaan suhu rata-rata.

29
Mekanisme Pengeringan
Bila perpindahan kalor dan perpindahan massa terjadi bersama-
sama, mekanisme pengeringan bergantung pada sifat zat padat serta
pada metoda yang digunakan untuk mengontakkan zat padat dan gas.
Ada 3 macam zat padat yaitu kristal, zat padat berpori dan zat padat
tidak berpori. Partikel kristal tidak mengandung zat cair sampai ke
dalam partikelnya sehingga pengeringan hanya berlangsung pada
permukaan zat padat saja. Zat padat berpori, seperti katalis
mengandung zat cair di dalam saluran-saluran di dalam partikelnya.
Laju pengeringan zat padat yang mengandung zat cair sampai ke
dalam pori-porinya juga bergantung pada cara zat cair itu bergerak
serta jarak yang harus ditempuh untuk sampai ke permukaan. Hal ini
sangat penting terutama dalam pengeringan cross flow zat padat.
Pengeringan metoda cross flow biasanya sangat lambat dan
dilaksanakan dengan system batch.
Laju Pengeringan pada Kondisi Pengeringan Tetap
Dalam pengeringan batch biasanya terdiri dari W, berat padatan
basah total (padatan kering dan kadar air) yang berbeda untuk setiap
waktu (t) pada periode pengeringan. Data ini dapat terkonversi menjadi
laju pengeringan. Jika W merupakan berat padatan basah total air dan
padatan kering (kg) dan Ws merupakan berat padatan kering (kg),

Xt = = = (3.6)

Dalam kasus yang paling umum, setelah periode awal


penyesuaian, kadar air basis kering Xt menurun secara linier dengan
waktu, seiring dengan dimulainya penguapan. Hal ini dilanjutkan
dengan penurunan non-linier pada Xt hingga waktu tertentu, setelah
selang waktu yang sangat lama, padatan mencapai keseimbangan

30
kadar air (X*) dan proses pengeringan pun berhenti. Kadar air bebas (X
dalam kg air bebas/kg padatan kering) dapat didefinisikan sebagai :
Untuk mengkonversi abu layang batubara menjadi zeolit sintetis
X = Xt – X* (3.7)
Laju pengeringan dapat ditentukan menggukana persamaan :

R=- (3.8)

dimana :
R = Laju pengeringan (kg H2O/jam.m2)
Ls = berat kering padatan yang digunakan (kg)
A = luas area pengeringan (m2)
T = waktu pengeringan (jam)
(Geankoplis, 1983)

C. Metode Percobaan
Alat dan Bahan
Alat : Tray dryer, loyang, dan neraca analitik, sekop sampel, dan
penggaris
Bahan : Ore bijih nikel

Prosedur Kerja
1. Ditimbang bahan material ore sebanyak 250 gram
2. Material ore diletakkan pada loyang aluminium dan diratakan
membentuk segiempat dengan variasi luas permukaan yang
berbeda-beda
3. Diukur luas permukaan sampel menggunakan penggaris dan
dicatat pada data pengamatan.
4. Sampel yang telah ada dalam tray dryer dikeringkan selama 90
menit pada suhu 100 oC.

31
5. Dikeluarkan bahan dari tray dryer tiap 15 menit, catat massa
bahan setelah pengeringan, dan dimasukkan kembali ke dalam
tray dryer apabila telah ditimbang
6. Dilakukan prosedur yang sama untuk masing-masing bahan
material lain
7. Dicatat massa bahan hasil pengeringan pada tiap interval waktu
pada tabel data pengamatan
8. Dihitung luas permukaan material ore yang berbentuk segiempat
9. Dihitung laju pengeringan bahan pada tiap interval waktu
10. Dibuat kurva laju pengeringan terhadap kadar air
11. Dihitung koefisien perpindahan panas dan perpindahan massa

D. Data Pengamatan

Tabel 3.1 Kadar air yang tersisa setiap interval waktu


Luas
15 30 45 60 75 90
No permukaan
menit menit menit menit menit menit
sampel
1.
2.
3.

Tabel 3.2 Laju Pengeringan terhadap Interval Waktu


Luas
15 30 45 60 75 90
No permukaan
menit menit menit menit menit menit
sampel
1.
2.
3.

32
E. Daftar Pustaka

Tim Penyusun, 2016, Panduan Praktikum Operasi Teknik Kimia,


Program Studi Teknik Kimia FT Universitas Brawijaya, Malang

McCabe. 2005. “Unit Operations of Chemical Engineering”. Ney York :


WC Graw-Hill Companies.

Tim Dosen OTK I. 2018. “Praktikum Operasi Teknik Kimia I Modul 1


Drying”. Surabaya : UPN “Veteran” Jawa Timur.

33
MODUL 4 – EKSTRAKSI PADAT-CAIR

A. Tujuan Percobaan
1. Menentukan jumlah kadar nikel yang diperoleh selama operasi
ektraksi padat cair bijih nikel laterit
2. Menentukan jumlah pelarut murni yang diperlukan untuk operasi
ekstraksi padat-cair bijih nikel laterit
3. Menentukan jumlah stage ideal dan jumlah actual stage yang
diperlukan untuk operasi ekstraksi padat-cair

B. Pendahuluan
Ekstraksi padat-cair atau yang biasanya disebut juga dengan
Leaching (pelindian) merupakan operasi pengolahan yang melibatkan
komponen padatan (inert), misalnya campuran padat A dan C dimana
komponen C terikat pada bahan padat (inert) A. Jika akan diambil
komponen C-nya, maka perlu ditambahkan solven B cair yang dapat
melarutkan komponen A. Akan diperoleh ekstrak berupa larutan C
dalam B. Selanjutnya komponen C dipisahkan dari B, biasanya dengan
cara presipitasi, dan solven B dapat dipakai lagi untuk proses leaching.
Proses ini juga biasa dipakai untuk pengambilan minyak-minyak atsiri
dari tanaman.
Kelayakan dari proses ini sangat ditentukan oleh keberhasilan
pengambilan kembali (recovery) solven, yang membutuhkan peralatan
relatif baik. Harga solven biasanya mahal, sehingga kehilangan solven
akan sangat merugikan. Kelemahan lain proses leaching adalah
biasanya akan terdapat sedikit solven yang tertinggal dalam produk.
Proses leaching umumnya memerlukan suhu yang agak tinggi, karena
daya larut akan naik dengan naiknya suhu. Suhu agak tinggi sering
menimbulkan kerusakan bahan, sehingga kualitas produk turun.

34
Pada bab ini anda akan mempelajari metode pengambilan zat yang
terkandung dalam bahan padatan dengan melarutkan dengan pelarut
yang sesuai, yang lebih dikenal dengan operasi leaching. Akan dibahas
bagaimana menghitung jumlah tahap kesitimbangan dan kebutuhan
pelarut pada operasi ekstraksi padat-cair (leaching), menentukan
komposisi setiap arus yang keluar stage secara analitis. Materi ini
penting dipahami apabila anda bekerja di industri kimia yang
mempunyai unit proses leaching, seperti pada industri pengolahan biji
tembaga, industri pengolahan minyak atsiri, dan industri pembuatan
kautik soda yang dibuat dari lime dan soda ash.

Pelaratan yang Digunakan pada Operasi Pelindian


Operasi leaching banyak dipakai di industri kimia, misalnya pada
industri pengolahan logam tembaga. Biji tembaga yang diperoleh dari
penambangan biasanya berkadar rendah (< 1,5%). Untuk mendapatkan
tembaga dilakukan ektraksi dengan solven. Sebagai solven biasanya
dipakai asam sulfat encer. Asam sulfat encer akan menarik biji
tembaga. Selain itu juga pada industri pangan dan kacang-kacangan,
misalnya ekstraksi minyak kedelai dari biji kedelai dan eksktraksi
minyak ikan dari hati ikan Cod, dan lain-lain.
Operasi ektraksi terdiri atas 2 (dua) langkah utama, yaitu :
1. Kontak antara solven dengan solid yang mengandung solute,
tujuannya untuk memudahkan transfer konstituen (unsur yang
mudah larut) dalam solven
2. Pemisahan solven atau pencucian (washing) larutan dari solid yang
tersisa.
Peralatan yang digunakan biasanya tergantung pada tujuan pemisahan,
yaitu :
1. Ekstraktor type (Solid Bed)

35
1. Jenis tangki terbuka (open tank)
2. Jenis tangki tertutup (close tank), digunakan apabila solven
yang digunakan bersifat volatil.
2. Ekstrakstor type (Dispersed Contact)
a. Jenis ektrakstor, dimana partikel-partikel solid ditempat dalam
suatu tempat (keranjang), kemudian solven dialirkan melalui
partikel-partikel solid tersebut.
b. Jenis ekstraktor, bekerja dengan metode partikel-partikel solid
didespersikan ke dalam solven pada waktu-waktu tertentu.
Operasi kedua metode di atas dapat dilakukan secara Batch dan
Kontinyu.

Kesetimbangan Padat-Cair
Dalam ekstraksi padat cair, suatu pelarut dalam bentuk cairan
digunakan untuk melarutkan padatan yang bisa larut (solute), dan
memisahkannya dari padatan yang tidak larut (inert/solid). Sebagian
dari larutan yang terbentuk masih melekat pada zat inert tersebut. Satu
“Tahap Kesetimbangan” dapat didefinisikan sebagai tahap dimana
cairan yang melekat pada zat inert yang meninggalkan tahap tersebut
mempunyai komposisi yang sama dengan komposisi larutan (ekstrak)
yang meninggalkan tahap tersebut.
Diagram sistem terner segitiga siku-siku ABC seperti untuk
kesetimbangan cair-cair dapat pula dibuat untuk kesetimbangan
padatan-cairan ini. Kurva yang ditunjukkan dalam diagram tersebut
adalah “tempat kedudukan komposisi aliran bawah (underflow)”,
yang digunakan untuk menyatakan aliran padatan inert beserta larutan
yang melekat. Dalam prakteknya kurva tersebut ditentukan secara
eksperimen. Garis-garis pada kurva tersebut dapat ditarik untuk
komposisi aliran bawah dengan kondisi tertentu. Gambar 4.1

36
menunjukkan kurva umum diagram segitiga untuk kesetimbangan
sistem padat-cair.

Gambar 4.1. Kurva Kesetimbangan Pada-Cair

Keterangan Gambar:
RA massa larutan melekat
Kurva (1) : Ratio konstan untuk : 
RS massa zat inert

QA PA massa larutan melekat


Kurva (2) : Ratio konstan untuk :  
QS PB massa zat inert

massa larutan melekat


Kurva (3) : Kurva , yang ditetapkan secara
massa zat inert
eksperimen.

37
Ada 3 (tiga) anggapan dalam perhitungan operasi Leaching :
1. Sistem mempunyai tiga komponen, yaitu komponen A, B, dan C
A = solute (likuid atau solid) yang akan diambil atau diinginkan.
B = inert (solid), komponen yang tidak larut dalam solven.
C = solven (likuid), yang hanya melarutkan solute saja.
2. Solute tidak terserap oleh inert (baik secara fisika maupun secara
kimiawi)
3. Solute terikat kedalam solven secara physis (simple solution),
dimana tidak terjadi reaksi kimia.

V1 Vo (Solven)

Lo Stage L1 (Larutan+Solute+inert)

Lo = Umpan (Solute+inert)
V1 = Ekstrak (Solven+solute)
Larutan = Solute yang larut dalam solven
Kadar V1 Equibriluim/Berkesetimbangan dengan Kadar L1 ( V1 ≈ L1 )
(Catatan: Equibriluim/Berkesetimbangan bukan berarti sama !!!)
Stage Ideal (ideal stage) pada operasi leaching adalah : Stage
dimana kompoisisi dari ekstrak yang meninggalkan stage sama dengan
komposisi dari pelarut yang meninggalkan stage tersebut (Brown,
G.G.,et al., 1950)
Dasar perhitungan / Pemecahan masalah pada operasi Leaching :
1. Neraca massa
2. Banyaknya Larutan/cairan yang terbawa oleh solid
3. Pengertian Stage ideal:

38
Jumlah Ideal Stage
Jumlah Actual Stage :
Overall Stage Efisiensi

C. Metode Percobaan
Alat dan Bahan
Alat : Bahan :

1. Neraca analitik 1. Sampel ore bijih nikel laterit


2. Oven 2. Asam sitrat
3. Ayakan 3. Akuades
4. Gelas piala 500 ml 4. Kertas saring
5. Labu Ukur 1 L 5. EDTA 0,01 M
6. Batang Pengaduk 6. Ammonium klorida 1 M
7. Corong Kaca 7. Ammonium hidroksida pekat
8. Magnetic Stirrer
9. Hot Plate
10. Labu Semprot
11. Termometer
12. Buret 50 ml
13. statif dan klem
14. Labu Erlenmeyer

39
D. Prosedur Kerja
Ekstraksi Bijih Nikel Laterit dengan Asam Sitrat
1. Bahan ore bijih nikel laterit diayak menggunakan ayakan
berukuran 18 mesh. Setelah itu, dikeringkan terlebih dahulu dalam
oven pada temperatur 100 oC selama 30 menit. Setelah
dikeringkan, sampel diayak kembali hingga mencapai ukuran 100
mesh sebanyak 50 gr.
2. Melarutkan larutan asam sitrat dan aquadest dengan konsentrasi 1
M sebanyak 250 ml.
3. Mengambil hasil larutan asam sitrat 1M sebanyak 60 ml dan
memanaskan larutan tersebut di atas hot plate pada suhu 70 oC.
4. Setelah mencapai suhu 70 oC (diukur dengan termometer),
melakukan pengadukan pada larutan menggunakan magnegtic
stirrer pada kecepatan 500 rpm kemudian memasukan bijih ore
sebayak 5 gr ke dalam larutan asam sitrat dan melakukan proses
ekstraksi selama 10 menit.
5. Menyaring hasil ekstraksi menggunakan kertas saring.
6. Melakukan proses ekstraksi (mengulang poin 3,4 dan 5) dengan
variasi waktu 20 menit, 30 menit dan 40 menit.
7. Melakukan pengulangan ekstraksi sebanyak 3 kali pada variasi
waktu yang akan ditentukan.
8. Melanjutkan praktikum pada prosedur pengujian kadar nikel.

40
Pengujian Kadar Nikel
1. Mengambil 10 ml filtrat kemudian menambahkan 5 ml larutan
ammonium klorida 1M, 2 tetes ammonium hidroksida dan 2 tetes
indicator EBT,
2. Setelah warna filtrat berubah menjadi merah kecoklatan, titrasi
filtrat dengan larutan EDTA 0,01 M sampai terjadi perubahan warna,
Ketika perubahan warna mulai terjadi (titik akhir titrasi), tambahkan
lagi dua tetes ammonium hidroksida untuk mengunci warna pada
larutan tersebut.
3. Melakukan pengujian kadar nikel (mengulang poin 1 dan 2) pada
variasi waktu yang telah ditentukan.
4. Melakuan duplo pada setiap pengujian.
5. Mencatat setiap hasil pengamatan.

41
E. Analisis Data
1. Menentukan rendemen/perolehan kembali tiap sampel dan
mententukan nilai rata-rata rendemen pada satu variable waktu
yang telah ditentukan.

Keterangan:
MEDTA = 1 M (hasil standarisasi).
VEDTA = Volume EDTA yang terpakai pada proses titrasi.
BMNi = Berat molekul nikel.
Vsampel = Volume filtrat yang dititrasi.

2. Menetukan data kesetimbangan (XA dan XC)

3. Menentukan stage ideal dan actual stage pada proses ekstraksi


padat-cair secara keseluruhan.
 Menentukan basis hitungan neraca massa.
 Menentukan data kesetimbangan dengan membuat grafik XA
vs XC.


 Menghitung neraca massa total dan neraca massa komponen.
 Menentukan jumlah pelarut murni yang diperlukan.

42
F. Daftar Pustaka
Syabatini, A., 2008, Laporan Praktikum Kandungan Nikel dengan
Metode Gravimetri dan Kompleksometri, Prodi Kimia Fakultas
MIPA Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru
Sofia, I., 2009, Modul Ajar Satuan Operasi III, Program Studi D4
Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar
Jayanti, R.T., 2019., Pelindian Bijih Nikel Laterit dengan Pelarut Asam
Sitrat menggunakan Reaktor Kolom Gelembung Pancaran :
Laporan Akhir Penelitian Internal, Teknik Kimia Mineral
Politeknik Industri Logam Morowali, Morowali
Brown, G.G.,et al., 1950, Unit Operation, John Wiley and Sons, New
York

43
DATA PENGAMATAN

Kadar nikel dalam bijih ore (sebelum ekstraksi) = 5,13%


Rendamen ekstraksi yang diinginkan = 95%
BM Ni =… gr/mol
V sampel = … ml=…. L
MEDTA (hasil standarisasi) = 0,01 M

Tabel 4.1. Massa Larutan Hasil Ekstraksi pada Variasi Waktu


Waktu Erlenmeyer Erlenmeyer Densitas Massa filtrat
(menit) +filtrat, gr kosong, gr filtrat(C) hasil ekstraksi
(A) (B) ((A-B)*C)
0
10
20
30
40
*Menentukan densitas larutan=
Massa (piknometer + filtrat)-(massa piknometer kosong)/volume
piknometer

Tabel 4.2. Massa Padatan/Residu Hasil Ekstraksi pada Variasi Waktu


Waktu Kertas saring Kertas Massa residu (ore
(menit) +residu, gr (A) saring, gr (B) tanpa Ni) ((A-B)
0
10
20
30
40

44
*menimbang kertas saring + residu yang telah dioven selama 30 menit
pada suhu 100˚C
1. Menghitung jumlah kadar nikel.

Tabel 4.3. Perolehan Kadar Nikel Hasil Ekstraksi pada Berbagai


Variasi Waktu
Kadar nikel Kadar nikel Perolehan
Waktu Volume hasil hasil kembali/
(menit) EDTA ekstraksi ekstraksi rendamen
(ppm) (gr) (%)
0

10

20

30

40

45
2. Menghitung jumlah rendemen yang diperoleh.

Tabel 4.4. Jumlah Rata-Rata Perolehan Rendemen pada Variasi Waktu


…. Menit
Kadar Nikel Kadar Nikel Perolehan
Waktu Volume hasil hasil kembali/
(menit) EDTA ekstraksi ekstraksi rendamen
(ppm) (gr) (%)
S1

S2

S3

Rata-rata perolehan kembali/rendamen

46
3. Menghitung jumlah stage ideal dan actual stage.

 Menghitung nilai XA dan XC.

Tabel 4.5. Data Hubungan gr nikel/gr larutan VS gr larutan/gr residu

Waktu Massa Massa


(menit) filtrat residu
0

10

20

30

40

Tabel 4.6. Data Hubungan XA vs XC


Total Massa
Waktu(menit) XA XC
Underflow
0

10

20

30

40

47
 Menghitung neraca massa.

Basis perhitungan = 1000 gr ore (1)

Ni yang terkandung dalam ore=


Jumlah kadar awal nikel x Basis perhitungan (2)

Ore yang tidak mengandung Ni (residu)=


Basis perhitungan – Persamaan (2) (3)

Dalam residu masih mengandung Ni 5 %=


Presentase sisa x Persamaan (2) (4)

 Membuat kurva kesetimbangan XA vs XC.

 Neraca massa keseluruhan proses.

Tabel. 4.7 Neraca massa proses


Aliran masuk Aliran keluar

 Neraca massa total tiap stage.


 Neraca komponen tiap stage.
 Resume perhitungan untuk tiap stage

48
Tabel 4.8. Aliran yang keluar dari tiap stage (underflow leaving
stage)
Massa Massa Filtrat
Stage ke-n Total (Ln) Ni Filtrat terikut
(A) (B) (B-A)

Tabel 4.9 Aliran yang masuk dari tiap stage (solution entering,
overflow), Vn+1

Massa
(Vn+1), Massa
Stage ke-n Filtrat
Total (A) Ni(B)
(A-B)

49
MODUL 5 – PENCAMPURAN (MIXING)

A. Tujuan Percobaan
1. Memahami pengertian dasar pengadukan
2. Menjelaskan hubungan antar variable proses dan mengekspresikan
dalam bentuk grafik
3. Menentukan tenaga (power) pengadukan
B. Pendahuluan
Pengadukan adalah operasi yang menciptakan terjadinya gerakan
di dalam bahan yang diaduk. Tujuan dari operasi pengadukan tenitama
adalah terjadinya pencampuran (mixing). Pencampuran dapat terjadi
dengan cara menimbulkan gerak di dalam bahan yang menyebabkan
bagian-bagian bahan saling bergerak satu terhadap yang lainnya,
sehingga operasi pengadukan hanyalah salah satu cara untuk operasi
pencampuran. Pengadukan yang digunakan dalam proses industri
adalah untuk menghasilkan gerakan-gerakan turbulen dalam fluida
memakai peralatan mekanis. Pengadukan dapat dijumpai dalam
industri kimia, seperti pada proses ekstraksi, absorbsi, reaksi kimia dan
lain-lain.
Tujuan dan Mekanisme Pengadukan
Tujuan pengadukan adalah sebagai berikut :
1. Mencampur dua cairan yang saling melarut
2. Melarutkan padatan dalam cairan
3. Mendispersikan gas dalam cairan dalam bentuk gelembung
4. Untuk mempercepat perpindahan panas antara fluida dengan koil
pemanas dan jacket pada dinding bejana.
Secara khusus, proses pengadukan dan pencampuran digunakan
untuk mengatasi tiga jenis permasalahan utama, yaitu :

50
1. Untuk menghasilkan keseragaman statis ataupun dinamis pada
sistem multifase multikomponen.
2. Untuk memfasilitasi perpindahan massa atau energi diantara
bagian-bagian dari sistem yang tidak seragam.
3. Untuk menunjukkan perubahan fase pada sistem multikomponen
dengan atau tanpa perubahan komposisi.
Aplikasi pengadukan dan pencampuran bisa ditemukan dalam
rentang yang luas, diantaranya dalam proses suspensi padatan,
dispersi gas-cair, cair-cair maupun padat-cair, kristalisasi, perpindahan
panas dan reaksi kimia.
Pencampuran fase cair merupakan hal yang cukup penting dalam
berbagai proses kimia. Salah satu sarana untuk pencampuran fase cair
adalah tangki pengaduk. Impeller dengan ukuran dan bentuk berbeda
berputar pada batang yang dipasang pada tangki berbentuk silinder,
conical, hemispherical, maupun rectangular. Impeller dapat dipasang
lebih dari satu pada satu batang dan juga batang dapat dipasang lebih
dari satu. Seringkali dua impeller yang berdampingan diputar dengan
arah berlawanan untuk mendapatkan olakan yang baik. Apabila bahan
yang diaduk cenderung menempel pada dinding tangki, maka impeller
dibuat menyentuh dinding tangki. Supaya tidak terjadi vortex, tangki
dilengkapi dengan baffle.
Jenis Pengadukan
Tipe impeller yang akan digunakan tergantung pada mixing
required, kapasitas vessel dan sifat-sifat fluidanya terutama viskositas.
Berdasarkan bentuknya, impeller dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Propeller
2. Paddle
3. Turbin

51
Impeller pengaduk berdasarkan arus yang dibangkitkan dibedakan
menjadi tiga yaitu :
1. Impeller yang membangkitkan arus sejajar dengan sumbu poros
impeller (aksial) seperti propeller dan pitched-bladed turbines.
2. Impeller yang membangkitkan arus pada arah tangensial/ radial,
seperti flatbladed Turbines
3. Impeller yang membangkitkan aliran campuran, roenipakan
gabungan dari kedua jenis pengaduk di atas, seperti paddle
Waktu pencampuran merupakan lamanya operasi pencampuran
sehingga diperoleh keadaan yang serba sama. Pada operasi
pencampuran dengan tangki pengaduk, waktu pencampuran ini
dipengaruhi oleh beberapa hal:
1. Dari alat seperti ada tidaknya baffle, bentuk dan jenis impeller,
ukuran pengaduk, laju perputaran 'pengaduk, kedudukan
pengaduk (jarak dari dasar dan pola pemasangan), jumlah daun
pengaduk dan jumlah pengaduk
2. Dari cairan yang diaduk seperti densitas, viskositas jumlah cairan
dan jenis cairan (miscible, immiscible)
Sekat (Baffle) adalah lembaran vertical datar yang ditempelkan
pada dinding tangki. Tujuan utama menggunakan sekat dalam tangki
adalah memecah terjadinya pusaran saat terjadinya pengadukan dan
pencampuran. Oleh karena itu, posisi sumbu pengadukan pada tangki
bersekat berada di tengah. Namun, pada umumnya pemakaian sekat
akan menambah beban pengadukan yang berakibat pada
bertambahnya kebutuhan daya pengadukan. Sekat pada tangki juga
membentuk distribusi konsentrasi yang lebih baik di dalam tangki,
karena pola aliran yanag terjadi terpecah menjadi empat bagian.
Penggunaan ukuran sekat yang lebih besar mampu menghasilkan
pencampuran yang lebih baik.

52
Jenis pengadukan dalam pengolahan air dapat dikelompokkan
berdasarkan kecepatan pengadukan dan metoda pengadukan.
Berdasarkan kecepatannya, pengadukan dibedakan menjadi
pengadukan cepat dan pengadukan lambat. Jenis pengadukan dalam
pengolahan air dapat dikelompokkan berdasarkan kecepatan
pengadukan dan metoda pengadukan. Berdasarkan kecepatannya,
pengadukan dibedakan menjadi pengadukan cepat dan pengadukan
lambat.
Pengadukan mekanis adalah metoda pengadukan menggunakan
alat pengaduk berupa impeller yang digerakkan dengan motor bertenaga
listrik. Umumnya pengadukan mekanis terdiri dari motor, poros
pengaduk, dan gayung pengaduk (impeller).
Pengadukan mekanis adalah metoda pengadukan menggunakan
alat pengaduk berupa impeller yang digerakkan dengan motor bertenaga
listrik. Umumnya pengadukan mekanis terdiri dari motor, poros
pengaduk, dan gayung pengaduk (impeller).
Pengadukan pneumatis adalah pengadukan yang menggunakan
udara (gas) berbentuk gelembung yang dimasukkan ke dalam air
sehingga menimbulkan gerakan pengadukan pada air (Gambar 2.3).
Injeksi udara bertekanan ke dalam suatu badan air akan menimbulkan
turbulensi, akibat lepasnya gelembung udara ke permukaan air. Makin
besar tekanan udara, kecepatan gelembung udara yang dihasilkan
makin besar dan diperoleh turbulensi yang makin besar pula
Kebutuhan Daya Pengadukan
Besarnya tenaga (P) untuk operasi pengadukan akan
mempengaruhi besarnya gradien kecepatan yang dihasilkan. Bila suatu
sistem pengadukan telah ditentukan nilai gradien kecepatannya, maka
tenaga pengadukan dapat dihitung. Tenaga pengadukan dihasilkan oleh

53
suatu sistem pengadukan, misalnya alat pengaduk dan kecepatan
putarannya, aliran air, hembusan udara, dan sebagainya.
Perhitungan tenaga pengadukan berbeda-beda bergantung pada
jenis pengadukannya. Pada pengadukan mekanis, yang berperan dalam
menghasilkan tenaga adalah bentuk dan ukuran alat pengaduk serta
kecepatan alat pengaduk itu diputar (oleh motor).
Hubungan antar variabel tersebut dinyatakan dengan persamaan
7.1 untuk nilai bilangan Reynold lebih dari 10.000 :
(5.1)
dan persamaan berikut untuk nilai bilangan Reynold kurang dari 10 :
(5.2)
Bilangan tak berdimensi yang menyatakan perbandingan antara gaya
inersia dan gaya viskos yang terjadi pada fluida disebut bilangan
Reynold. Bilangan Reynold untuk suatu pengadukan dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut :

(5.3)

Keterangan :
P = tenaga pengadukan (N.m/det)
KT = konstanta pengaduk untuk aliran turbulen
n = kecepatan putaran (rps)
Di = diameter pengaduk (m)
ρ = massa jenis air, (kg/m3)
KL = konstanta pengaduk untuk aliran laminar
μ = Kekentalan absolute cairan (N-det/m2).
Dalam sistem pengadukan terdapat 3 jenis bentuk aliran yaitu laminar,
transisi dan turbulen. Bentuk aliran laminar terjadi pada bilangan
Reynold hingga 10, sedangkan turbulen terjadi pada bilangan Reynold
10 hingga 104 dan transisi berada diantaranya keduanya. Nilai KT dan

54
KL untuk tangki bersekat 4 buah baffle pada dinding tangki, dengan
lebar baffle 10 % dari diameter tangki diberikan pada tabel 5.1.
Tabel 5.1. Nilai Konstanta KT dan KL
Jenis Impeller KL KT
Propeller, pitch of 1, 3 blades 41,0 41,0
Propeller, pitch of 2, 3 blades 43,5 43,5
Turbine, 4 flat blades, vaned disc 60,0 60,0
Turbine, 6 flat blades, vaned disc 65,0 65,0
Turbine, 6 curved blades 70,0 70,0
Fan turbine, 6 blades at 45 ° 70,0 70,0
Shroude turbine, 6 curved blades 97,5 97,5
Shrouded turbine, with stator, no baflles 172,5 172,5
Flat paddles, 2 blades (single paddle), Di/Wi = 4 43,0 43,0
Flat paddles, 2 blades , Di/Wi = 6 36,5 36,5
Flat paddles, 2 blades , Di/Wi = 8 33,0 33,0
Flat paddles, 4 blades , Di/Wi = 6 49,0 49,0
Flat paddles, 6 blades , Di/Wi = 8 71,0 71,0

C. Metode Percobaan
Alat dan Bahan
Alat : Gelas piala 1 L, labu ukur 100 ml, neraca analitik, spatula,
Rangkaian alat pengaduk, penggaris, penghitung waktu, pinset,
piknometer, dan viskosimeter.
Bahan : Padatan NaCl, alumunium foil, dan akuades

55
Gambar 5.1. Rangkaian alat pencampuran

Prosedur Kerja
Proses Pengaadukan
1. Dilakukan pengukuran terhadap beberapa parameter berikut :
diameter gelas beker (Dt), diameter impeller/pengaduk (Da), tinggi
permukaan larutan (Zt), jarak pengaduk dari dasar tangki (Zi), dan
lebar baffle.
2. Dibuat larutan NaCl dengan konsentrasi 20, 40, dan 60 gram/L
pada labu ukur.
3. Tangki diisi dengan akuades setinggi Zt cm dari dasar tangki
4. Larutan NaCl dengan konsentrasi 20 gram/L dimasukkan ke dalam
tangki sebanyak 50 ml
5. Dihidupkan motor dan diatur kecepatan putar pengaduk pada 40
rpm hingga larut
6. Diukur viskositas dan densitas larutan tercampur tersebut
7. Diulangi percobaan dengan prosedur yang sama menggunakan
variasi kecepatan putar pengaduk berbeda (yakni 80, 120, 160, dan
200 rpm) dan konsentrasi yang berbeda (yakni 40 dan 60 gram/L)
8. Dicatat hasil yang diperoleh pada data pengamatan

56
9. Dilakukan penentuan nilai bilangan Reynold dan tenaga
pengadukan tiap sampel berdasarkan data yang diperoleh
10. Dilakukan hal yang sama prosedur penentuan waktu pengadukan
sempurna untuk tangki tanpa baffle maupun tangki dengan baffle,
pengadukan dilakukan selama 1 menit dan diamati terbentuk aliran
atau tidak.

D. Data Pengamatan
Berat NaCl :
Diameter gelas beker (Dt) :
Diameter impeller (Da) :
Lebar baffle :
Jenis impeller :
Tinggi impeller dari dasar tangki :
Berat piknometer kosong :
Suhu akuades :
Waktu alir akuades dalam viskosimeter :
Berat akuades :

57
Tabel 5.2. Data Pengamatan Hasil Pengadukan dengan Baffle

Konsentrasi Kecepatan Kecepatan Densitas Viskositas


Sampel larutan pengadukan pengadukan larutan larutan
(gram.L-1) (rpm) (rps) (gr.ml-1) (N.s.m-2)
1 20 40
2 20 80
3 20 120
4 20 160
5 20 200
6 40 40
7 40 80
8 40 120
9 40 160
10 40 200
11 60 40
12 60 80
13 60 120
14 60 160
15 60 200

Tabel 5.3. Data Pengamatan Hasil Pengadukan dengan tanpa Baffle


Konsentrasi Kecepatan Kecepatan Densitas Viskositas
Sampel larutan pengadukan pengadukan larutan larutan
(gram.L-1) (rpm) (rps) (gr.ml-1) (N.s.m-2)
1 20 40
2 20 80
3 20 120
4 20 160
5 20 200
6 40 40
7 40 80
8 40 120
9 40 160
10 40 200
11 60 40
12 60 80
13 60 120
14 60 160
15 60 200

58
Tabel 5.4. Data Pengamatan untuk Penentuan Tenaga Pengadukan
Tangki tanpa baffle Tangki dengan baffle
Ada dan Ada dan
Sampel Bilangan Tenaga Bilangan Tenaga
tidaknya tidaknya
Reynold Pengadukan Reynold Pengadukan
vortex vortex
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Perhitungan
1. Menghitung volume piknometer dan viskositas akuades
piknometer = akuades

2. Menghitung densitas larutan garam

3. Menghitung viskositas larutan garam

4. Menghitung bilangan Reynolds larutan

59
5. Menghitung tenaga pengadukan

Keterangan :
P : tenaga pengadukan (W)
Po : angka pengadukan pada aliran turbulen atau laminar
n : kecepatan putar impeller (rps)
Dt : diameter tangki (cm)
Da : diameter impeller (cm)
Zt : tinggi larutan (cm)

Daftar Pustaka
Brown, G.G.,et al., 1950, Unit Operation, John Wiley and Sons, New
York
Geankoplis, C.J., 1983, Transport Processes and Unit Operations, 2ed
ed. Allyn and Bacon, Massachusets.
Perry, R.H. and Green, D.W., 1999, Perry’s Chemical Engineers
Handbook, 7th Ed.., McGraw-Hill Book Company, New York
Danarto, YC., dan Kaavessina, M., 2014, Petunjuk Praktikum Satuan
Operasi I, Program Studi Diploma III Teknik Kimia FT Universitas
Sebelas Maret, Surakarta

60
MODUL 6 – SEDIMENTASI (SETTLING)

A. Tujuan Percobaan
1. Memperlihatkan faktor-faktor yang mempengaruhi sedimentasi.
2. Mengestimasi kecepatan settling partikel
B. Pendahuluan
Sedimentasi adalah pengendapan (settling) partikel-partikel dari
suspensi. Pada sedimentasi partikel-partikel dipisahkan dari fluida
akibat gaya gravitasi yang bekerja pada partikel-partikel tersebut.
Kebanyakan proses sedimentasi komersial dilang- sungkan secara
kontinu. Suspensi diumpankan ke satu atau lebih tangki atau kolam
pengendapan. Ketika suspensi dilewatkan, padatan-padatan akan
mengendap. Padatan ini kemudian dipisahkan bersama-sama dengan
sejumlah fluida sebagai aliran bawah yang kental (thickened underflow).
Fluida sisa akan mengalir secara overflow bersama-sama dengan
padatan yang tidak mengendap.
Tujuan proses sedimentasi adalah:
1. untuk memisahkan partikel-partikel dari alur fluida sehingga fluida
tersebut bebas dari kontaminan partikel.
2. Untuk memulihkan partikel-partikel sebagai produk (seperti
pemulihan fasa terdispersi pada ekstraksi cair-cair).
3. Untuk memisahkan partikel-partikel menjadi fraksi-fraksi dengan
ukuran atau densitas yang berbeda dengan cara menyuspensikan
partikel-partikel tersebut ke dalam sesuatu fluida.
Aplikasi sedimentasi mencakup penyisihan padatan dari limbah
cair, pengendapan kristal-kristal dari larutan induk, pemisahan
campuran cair-cair dari suatu tahapan ekstraksi di dalam settler,
pengendapan partikel-partikel pangan padat dari pangan cair dan
pengendapan campuran kental dari proses leaching kacang kedelai.

61
Partikel- partikel tersebut dapat berupa partikel-partikel padat atau
tetesan-tetesan cairan. Fluida yang dimaksud dapat berupa cairan atau
gas yang sedang bergerak atau dalam keadaan diam.
Jika pengendapan sesuatu partikel tidak dipengaruhi oleh
dinding wadah dan partikelpartikel lain maka proses ini disebut free
settling. Proses ini dapat tercapai jika rasio diameter partikel terhadap
diameter wadah < 1 : 200 atau konsentrasi partikel < 0,2% volum di
dalam campuran. Jika partikel sangat banyak, mereka akan
mengendap dengan laju yang lebih lambat dan proses ini disebut
hindered settling. Pemisahan lumpur encer atau suspensi oleh gravity
settling (pengendapan karena gravitasi) menjadi fluida jernih dan
lumpur pekat disebut sedimentasi.
Peralatan sedimentasi sangat bervariasi, tetapi pada umumnya
terdiri dari:
1. Suatu tangki atau kolam sebagai tempat terjadinya sedimentasi.
2. Suatu sistem pengumpanan yang efektif.
3. Sistem overflow untuk mengumpulkan keluaran yang jernih.
4. Suatu (biasanya suatu mekanisme) untuk mengangkut padatan
yang mengendap ke tempat penampungan/pembuangan.
Berikut adalah jenis-jenis tangki pengendap gravitasi dan
ditunjukkan pada gambar 8.1 :
1. Settler untuk dispersi cair-cair
2. Dust settling chamber
3. Gravity settling classifier
4. Spitzkasten gravity settling chamber
5. Continous thickeners

62
(a) (b)

(c)

(d)

63(e)
Gambar 6.1. Jenis-jenis tangki tangki pengendap gravitasi : (a)
Settler untuk dispersi cair-cair ; (b) Dust settling chamber ; (c) Gravity
settling classifier ; (d) Spitzkasten gravity settling chamber ; (e) Continous
thickeners.

Mekanisme Sedimentasi6Tahapan proses sedimentasi ditunjukkan


oleh gambar 6.2. Gambar 6.2 (a) menunjukkan suspensi dalam silinder
dengan konsentrasi padatan yang seragam. Seiring dengan berjalannya
waktu, partikel-partikel padatan mulai mengendap dimana laju
pengendapan partikel tersebut diasumsikan sebagai terminal velocity
pada kondisi hindered-settling. Pada Gambar 6.2 (b) terdapat beberapa
zona konsentrasi. Daerah D
didominasi endapan partikel-partikel padatan yang lebih berat dan
lebih cepat mengendap. Pada zona C terdapat partikel dengan ukuran
yang berbeda-beda dan konsentrasi yang tidak
seragam.
Gambar 6.2(a) menunjukkan suspensi dalam silinder dengan
konsentrasi padatan yang seragam. Seiring dengan berjalannya waktu
partikel-partikel padatan mulai mengendap dimana laju pengendapan
partikel tersebut diasumsikan sebagai terminal velocity pada kondisi
hindered-settling. Pada Gambar 6.2(b) terdapat beberapa zona
konsentrasi.
Daerah D didominasi endapan partikel-partikel padatan yang
lebih berat dan lebih cepat mengendap. Pada zona C terdapat partikel
dengan ukuran yang berbeda-beda dan konsentrasi yang tidak
seragam.
Daerah B adalah daerah dengan konsentrasi yang seragam dan
hampir sama dengan keadaan mula-mula. Di atas daerah B adalah
daerah A yang berupa liquid jernih. Jika sedimentasi dilanjutkan, tinggi
dari tiap daerah bervariasi seperti pada Gambar 8.2(c) dan Gambar 8.2

64
(d). Daerah A dan D semakin luas, sebanding dengan berkurangnya
daerah B dan C. Pada akhirnya, daerah B dan C akan hilang dan
seluruh padatan akan terdapat pada daerah D sehingga hanya tersisa
daerah A dan D. Keadaan seperti ini disebut dengan “Critical
SettlingPoint´_ _ditunjukkan pada Gambar 8.2 (e)), yaitu keadaan
dimana terbentuk bidang batas tunggal antara liquid jernih dan
endapan

Gambar 6.2. Tahapan proses pengendapan

Penentuan Kecepatan Settling


Kecepatan sedimentasi (settling) didefinisikan sebagai laju
pengurangan atau penurunan ketinggian daerah batas antara slurry
(endapan) dan supernatant (liquid jernih) pada suhu seragam untuk
mencegah pergeseran fluida karena konveksi.
Pada keadaan awal, konsentrasi slurry adalah seragam di seluruh
bagian tabung. Kecepatan sedimentasi konstan terlihat pada grafik

65
hubungan antara Z vs T (disajikan dalam gambar 8.3) yang membentuk
garis lurus untuk periode awal. Periode ini disebut free settling, dimana
padatan bergerak turun hanya karena gaya gravitasi. Kecepatan yang
konstan ini disebabkan oleh konsentrasi di lapisan batas yang relatif
masih kecil, sehingga pengaruh gaya tarik-menarik antar partikel, gaya
gesek dan gaya tumbukan antar partikel dapat diabaikan.. Partikel yang
berukuran besar akan turun lebih cepat, menyebabkan tekanan ke atas
oleh cairan bertambah, sehingga mengurangi kecepatan turunnya
padatan yang lebih besar. Hal ini membuat kecepatan penurunan
semua partikel (baik yang kecil maupun yang besar) relative sama atau
konstan. Semakin banyak partikel yang mengendap, konsentrasi
menjadi tidak seragam diikuti bagian bawah slurry menjadi lebih pekat.
Konsentrasi pada bagian batas bertambah, gerak partikel semakin
sukar dan kecepatan turunnya partikel berkurang. Kondisi ini disebut
hindered settling.
Pada proses sedimentasi, ada berbagai macam cara yang dapat
digunakan untuk mendapatkan kecepatan pengendapan, antara lain :
1. Persamaan Stokes-Newton Law
2. Persamaan Farag
3. Persamaan Fergusson-Church
4. Metode Grafik.
5. Pendekatan dengan metode Garis Singgung
6. Kecepatan Sedimentasi dari percobaan
Dalam modul ini metode perhitungan kecepatan sedimentasi yang
digunakan adalah pendekatan garis singgung. Pada suatu proses
sedimentasi, hubungan antara waktu pengendapan (t) dengan tinggi
endapan (Z) membentuk suatu grafik yang disajikan pada gambar 8.3.

66
Gambar 6.3. Kurva hubungan antara t vs Z pada peristiwa sedimentasi

Data-data pada proses sedimentasi dapat diubah kedalam bentuk


persamaan matematika. Penentuan bentuk persamaan pada umumnya
dilakukan dengan cara linierisasi hubungan kurva. Cara linierisasi
hubungan kurva banyak digunakan untuk menentukan persamaan
empiris. Persamaan empiris yang memiliki ralat paling kecil dalam
menentukan waktu sedimentasi disajikan pada persamaan berikut :

… (6.1)
Pada grafik proses sedimentasi, gradien dari garis singgung
merupakan kecepatan sedimentasi, dimana persamaan ini memiliki
bentuk yang sama dengan persamaan gradien (m) seperti pada
persamaan (13)

…(6.2)

Untuk persamaan t Z ab , persamaan gradient garis singgungnya


disajikan pada persamaan berikut :
…(6.3)
…(6.4)

67
Sehingga persamaan kecepatan sedimentasi disajikan pada persamaan
berikut :
…(6.5)
Dengan v adalah kecepatan pengendapan, a dan b adalah parameter
yang diperoleh berdasarkan data percobaan. t adalah turunnya partikel.
Persamaan ini merupakan pengembangan dari Stokes-Newton Law
dengan menambahkan variabel konsentrasi di dalam persamaan.

A. Metode Pecobaan

Alat dan Bahan


Alat : Gelas piala 1 L, neraca analitik, batang pengaduk, botol timbang,
spatula, penghitung waktu, dan alat jar tes.
Bahan : Sampel air sungai, padatan tawas, dan akuades

Prosedur Kerja
2. Dibuat larutan tawas dengan masing-masing variasi konsentrasi
20, 40, 60, 80, dan 100 ppm dengan menimbang sejumlah tertentu
bahan padat tersebut.
3. Sampel air sungai sebanyak 900 ml dimasukkan ke dalam gelas
piala 1 L. Gelas piala dimasukkan ke dalam alat jar tes dan
dijalankan pengaduk dengan kecepatan 100 rpm. Padatan tawas
dengan konsentrasi 20 ppm dimasukkan sebanyak 50 ml ke dalam
air sungai. Ketika tawas dan air sungai tepat saling bersentuhan
dilakukan penghtungan waktu selama 1 menit. Setelah satu menit
kecepatan pengadukan dikurangi menjadi 40 rpm, dan dilakukan
penghitungan waktu selama 15 menit. Setelah waktu 15 menit
tercapai, pengadukan dihentikan dan waktu sedimentasi dimulai.
4. Campuran dibiarkan tenang dan perhitungan waktu dimulai.

68
2. Pada interval waktu (yaitu 2, 4, 6, 8, 10, 12, dan 15 menit),
dicatat tinggi antarmuka antara cairan jemih dan suspensi keruh
dan dicatat sebagai nilai z
3. Pengambilan data dihentikan jika telah tercapai waktu percobaan
yang diinginkan atau tinggi antarmuka telah konstan.
4. Hasil pengamatan dicatat pada data pengamatan
5. Dilakukan prosedur yang sama dengan variasi konsentrasi
lainnya (yaitu 40, 60, 80, dan 100 ppm)
6. Dilakukan plot grafik z versus t, dan dihitung kecepatan settling
partikel
7. Kecepatan settling partikel adalah gradien dari kemiringan garis
dengan rumus (6.2)
Data Pengamatan

Tabel 6.1. Variasi konsentrasi padatan


T (menit) Z (cm) m (cm/min)
2
4
Konsentrasi tawas 6
20 ppm 8
10
12
15
2
4
6
Konsentrasi tawas 8
40 ppm 10
12
15

69
2
4
6
Konsentrasi tawas 8
60 ppm 10
12
15
2
4
6
Konsentrasi tawas 8
80 ppm 10
12
15
2
4
6
Konsentrasi tawas 8
100 ppm 10
12
15

B. Daftar Pustaka

Penyusun, Tim. Penuntun Praktikum Ilmu Teknik Kimia I. Medan:


Laboratorium Operasi Teknik Kimia, Departemen Teknik Kimia
FT, Universitas Sumatera Utara, 2017.
Brown, G.G.,et al., 1950, Unit Operation, John Wiley and Sons, New
York
Foust, A.S., et al 1959, Principles of Unit Operations, John Wiley and
Sons, New York
Geankoplis, C.J., 1983, Transport Processes and Unit Operations, 2ed
ed. Allyn and Bacon, Massachusets

70
Setiyadi, Setiyadi, et al. "Menentukan Persamaan Kecepatan
Pengendapan pada Sedimentasi." Widya Teknik, vol. 12, no. 2,
2013, pp. 9-17, doi:10.33508/wt.v12i2.1454.

71

Anda mungkin juga menyukai