Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN

INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT (IFRS)

Disusun oleh:

Dea Nasyahta Della 11161020000042

Farnia Zahra 11161020000046

Niken Salma Andayani 11161020000048

Rizky Ginanjar 11161020000065

Husni Ovia Wulandari 11161020000066

Putri Annafi Utami 11161020000069

Siti Istiqlalia 11161020000092

Kelompok 6

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

JUNI 2020

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 3
2.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 3
1.2 Tujuan ....................................................................................................................... 4
BAB II ISI ........................................................................................................................... 5
2.1 Manajerial di Instalasi Farmasi ................................................................................. 5
2.3 Perencanaan Obat.................................................................................................... 10
2.4 Pendistribusian Obat ............................................................................................... 13
2.5 Penyimpanan Obat .................................................................................................. 20
2.6 Pemusnakan Obat Kadaluarsa ................................................................................. 22
BAB III PENUTUP .......................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 24

2
BAB I

PENDAHULUAN

2.1 Latar Belakang


Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah unit pelaksana fungsional
yang menyelenggarakan seluruh kegiatan pelayanan Kefarmasian di rumah
sakit. Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem pelayanan Rumah Sakit yang berorientasi kepada
pelayanan pasien, penyediaan sediaan obat yang bermutu dan terjangkau bagi
semua lapisan masyarakat termasuk pelayanan farmasi klinik. Pelayanan
kefarmasian juga merupakan kegiatan yang bertujuan untuk
mengidentifikasi,mencegah dan menyelesaikan permasalahan terkait obat.

Obat berperan sangat penting dalam proses pelayanan kesehatan,


penanganan dan pencegahan berbagai penyakit tidak dapat dilepaskan dari
tindakan terapi dengan obat atau farmakoterapi. Pengelolaan persediaan obat
adalah bagaimana cara mengelola tahap tahap dari kegiatan tersebut agar
berjalan dengan baik dan saling mengisi sehingga dapat tercapai tujuan
pengelolaan persediaan obat yang efektif dan efisien agar obat yang
diperlukan oleh dokter selalu tersedian setiap saat dibutuhkan dalam jumlah
cukup dan mutu terjamin untuk mendukung palayanan yang bermutu.

Pelayanan kefarmasian saat ini telah semakin berkembang, dimana


selain berorientasi kepada produk (product oriented), juga berorientasi kepada
pasien (patient oriented) dan seiring dengan peningkatan kesadaran
masyarakat akan pentingnya kesehatan dan pergeseran budaya rural menjadi
urban, hal ini telah menyebabkan peningkatan dalam konsumsi obat, terutama
obat bebas, kosmetik, kosmeseutikal, health food, nutraseutikal dan obat
herbal.

Dalam laporan ini akan dibahas mengenai manajerial di instalasi


farmasi, pemgelolaan obat, perencanann obat, pendistribusian obat,
penyimpanan obat dan pemusnahan obat kadaluarsa.

3
1.2 Tujuan
1. Mengetahui manajerial di Instalasi Farmasi Rumah Sakit
2. Mengetahui pengelolaan, perencanaan, pendistribusian, penyimpanan dan
pemusnahan obat di Rumah Sakit

4
BAB II

ISI

2.1 Manajerial di Instalasi Farmasi


Apoteker di rumah sakit berperan dalam melaksanakan pelayanan
farmasi rumah sakit yang mana adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem pelayanan kesehatan Rumah Sakit, yang berorientasi pada pelayanan
pasien dengan penyediaan obat yang bermutu dan pelayanan farmasi klinik
yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat (Rikomah, 2017). Dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
juga dinyatakan bahwa dalam menjalankan praktik kefarmasian pada
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker harus menerapkan Standar
Pelayanan Kefarmasian yang diamanahkan untuk diatur dengan Peraturan
Menteri Kesehatan. Standar Pelayanan Kefarmasian merupakan tolak ukur
yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian termasuk
apoteker dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian (Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 34 tahun 2016).

Standar Pelayanan Kefarmasian di rumah sakit bertujuan untuk


meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian, menjamin kepastian hukum bagi
tenaga kefarmasian, dan melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan
obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).
Selain itu juga untuk menjamin sistem pelayanan kefarmasian dan
penggunaan obat yang lebih aman (medication safety), serta menurunkan
angka kesalahan penggunaan obat.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 tahun 2016,


Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi dua kegiatan, yaitu kegiatan
yang bersifat manajerial berupa pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan kegiatan pelayanan farmasi
klinik. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai adalah suatu kegiatan yang meliputi tahap pemilihan,
perencanaan kebutuhan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan,

5
pendistribusian, pemusnahan dan penarikan, pengendalian, administrasi dan
pelaporan serta evauasi yang diperlukan bagi kegiatan pelayanan rawat jalan
dan rawat inap yang masing-masing tahap merupakan suatu rangkaian yang
terkait.

Tahapan yang saling terkait dalam kegiatan manajemen pengelolaan


Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai tersebut
diperlukan suatu sistem suplai yang terorganisir agar kegiatan berjalan baik
dan saling mendukung, sehingga ketersediaan obat dapat terjamin yang
mendukung pelayanan kesehatan, dan menjadi sumber pendapatan rumah
sakit yang potensial (Satibi, 2014).

Ketidakterkaitan antara masing-masing tahap dan kegiatan akan


membawa konsekuensi tidak efisiennya sistem suplai dan penggunaan obat
yang ada, sehingga akan mempengaruhi kinerja rumah sakit baik secara
medik, ekonomi dan sosial serta dapat mengurangi kepercayaan masyarakat
terhadap layanan rumah sakit. Obat- obatan yang secara medis diperlukan
sesuai dengan keadaan pola penyakit setempat, terbukti secara ilmiah bahwa
obat tersebut bermanfaat dan aman untuk dipakai di rumah sakit yang
bersangkutan Manajemen obat di rumah sakit dilaksanakan agar obat yang
diperlukan tersedia setiap saat dibutuhkan, dalam jumlah yang cukup, mutu
yang terjamin dan harga yang terjangkau untuk mendukung pelayanan yang
bermutu. (Satibi, 2014).

2.2 Pengelolaan Obat

Seluruh kebijakan yang melandasi pelayanan farmasi di RS dikelola


satu pintu oleh IFRS. Pelayanan kefarmasian bersifat manajerial yakni
disebut dengan pengelolaan perbekalan sediaan farmasi yang mana berupa
siklus. Pengelolaan obat merupakan pelaksanaan manajemen obat. Prinsip
manajemen tersebut merupakan pegangan untuk terselenggarakan fungsi
pengelolaan obat dengan baik (Yohanes, 2015).

Siklus pengelolaan perbekalan sediaan farmasi yakni terdiri dari


perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian,

6
pemusnahan dan penarikan, serta administrasi yang berisi pencatatan dan
pelaporan (Peraturan Menteri Kesehatan No. 58 Tahun 2014). IFRS bertugas
dalam pengelolaan obat yaitu tahap seleksi, perencanaan dan pengadaan,
distribusi dan penggunaan. Pada pengendalian pengelolaan sediaan farmasi,
penggunaan obat sesuai FORNAS, penggunaan obat sesuai pedoman
diagnosis serta terapi dan pengendalian persediaan secara efisien, aman dan
bermutu.

Apoteker bertanggung jawab terhadap pengelolaan sediaan farmasi,


alat kesehatan dan bahan medis habis pakai. Apoteker bertanggung jawab
dalam siklus kegiatan dimulai dari pemilihan,perencanaan kebutuhan,
pengadaan, penerimaan, penyimpanan,pendistribusian, pemusnahan dan
penarikan, pengendalian dan administrasi.

Landasan hukum mngenai pengelolaan di perbekalan farmasi di rumah sakit:

1. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit: Persyaratan


Kefarmasian harus menjamin ketersediaan sediaan farmasi dan alat
kesehatan yang bermutu, bermanfaat, aman dan terjangkau.
2. Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika
3. Undang-undang Nomor 5 tentang Psikotropika
4. Peraturan Presiden nomor 4 tahun 2015 tentang pengadaan barang dan jasa
5. Permenkes No. 63 tahun 2014 ttg Pengadaan Obat berdasarkan Katalog
Elektronik (e-Catalogue)
6. Permenkes Nomor 3 tahun 2015 tentang peredaran, penyimpanan,
pemusnahan, dan pelaporan narkotika, psikotropika, dan prekursor
farmasi.
7. Permenkes No. 34 tahun 2014 tentang perubahan atas Permenkes No
1148/Menkes/Per/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi pasal 20
8. Permenkes no. 34 tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Rumah Sakit.

Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang


rumah sakit menyebutkan mengenai pengelolaan alat kesehatan, sediaan
farmasi, dan bahan medis habis pakai di rumah sakit harus dilakukan oleh

7
instalasi farmasi sistem satu pintu. Definisi dari sistem satu pintu mengenai
kebijakan kefarmasian termasuk pembuatan formularium, pengadaan dan
pendistribusian sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai
yang bertujuan untuk mengutamakan kepentingan pasien melalui instalasi
farmasi.

Dengan kebijakan pengelolaan sistem satu pintu, instalasi farmasi


sebagai satu-satunya penyelenggara pelayanan kefarmasian, sehingga rumah
sakit akan mendapatkan manfaat dalam hal:

1. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian penggunaan sediaan farmasi,


alat kesehatan dan bahan medis habis pakai.
2. Standarisasi sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai.
3. Penjaminan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis
pakai.
4. Pengendalian harga sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis
habis pakai.
5. Pemantauan terapi obat.
6. Penurunan risiko kesalahan terkait penggunaan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan bahan medis habis pakai (keselamatan pasien).
7. Kemudahan akses data sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis
habis pakai yang akurat
8. Peningkatan mutu pelayanan rumah sakit dan citra rumah sakit
9. Peningkatan pendapatan rumah sakit dan peningkatan kesejahteraan
pegawai.

Dalam pengelolaan obat di rumah sakit perlu dikembangkan kebijakan


mengenai pengelolaan obat yang bertujuan untuk meningkatkan keamanan.
Obat yang perlu diwaspadai (high- alert medication). High-alert medication
adalah Obat yang harus diwaspadai karena sering menyebabkan terjadi
kesalahan/kesalahan serius (sentinel event) dan obat yang berisiko tinggi
menyebabkan Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan (ROTD). Kelompok Obat
high-alert diantaranya:

8
1. Obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan
Ucapan Mirip/NORUM atau Look Alike Sound Alike/LASA).
2. Elektrolit konsentrasi tinggi (misalnya kalium klorida 2meq/ml atau yang
lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0,9% dan
magnesium sulfat =50% atau lebih pekat).
3. Obat-Obat sitostatika.

Kegiatan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis


habis pakai meliputi:

Pemilihan

Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis sediaan farmasi,


alat kesehatan dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan.
Pemilihan ini berdasarkan:

a. Formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan terapi


b. Standar sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai
yang telah ditetapkan
c. Pola penyakit
d. Efektifitas dan keamanan
e. Pengobatan berbasis bukti
f. Mutu
g. Harga
h. Ketersediaan di pasaran

Formularium Rumah Sakit disusun mengacu kepada Formularium


Nasional. Penyusunan dan revisi Formularium Rumah Sakit dikembangkan
berdasarkan pertimbangan terapetik dan ekonomi dari penggunaan obat agar
dihasilkan Formularium Rumah Sakit yang selalu mutakhir dan dapat
memenuhi kebutuhan pengobatan yang rasional.

Tahapan proses penyusunan Formularium Rumah Sakit:

a. Membuat rekapitulasi usulan Obat dari masing-masing Staf Medik


Fungsional (SMF) berdasarkan standar terapi atau standar pelayanan
medik.

9
b. Mengelompokkan usulan Obat berdasarkan kelas terapi.
c. Membahas usulan tersebut dalam rapat komite atau tim farmasi dan
terapi, jika diperlukan dapat meminta masukan dari pakar.
d. Mengembalikan rancangan hasil pembahasan komite atau tim farmasi dan
terapi, dikembalikan ke masing-masing SMF untuk mendapatkan umpan
balik.
e. Membahas hasil umpan balik dari masing-masing SMF.
f. Menetapkan daftar Obat yang masuk ke dalam Formularium Rumah Sakit.
g. Menyusun kebijakan dan pedoman untuk implementasi.
h. Melakukan edukasi mengenai Formularium Rumah Sakit kepada staf dan
melakukan monitoring.

Rumah Sakit harus mempunyai kebijakan terkait dengan penambahan


atau pengurangan Obat dalam formularium Rumah Sakit dengan
mempertimbangkan indikasi penggunaaan, efektivitas, risiko, dan biaya.

Kriteria pemilihan Obat untuk masuk Formularium Rumah Sakit:

a. Mengutamakan penggunaan obat generic


b. Memiliki rasio manfaat-risiko (benefit-risk ratio) yang paling
menguntungkan penderita
c. Mutu terjamin, termasuk stabilitas dan bioavailabilitas
d. Praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan.
e. Praktis dalam penggunaan dan penyerahan.
f. Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh pasien.
g. Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi
berdasarkan biaya langsung dan tidak lansung.
h. Obat lain yang terbukti paling efektif secara ilmiah dan aman (evidence
based medicines) yang paling dibutuhkan untuk pelayanan dengan harga
yang terjangkau

2.3 Perencanaan Obat


Perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan untuk menentukan jumlah
dan periode pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya

10
kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan efisien. Perencanaan
dilaksanakan setiap periode tertentu dengan tujuan untuk mendekatkan
perhitungan perencanaan dengan kebutuhan nyata, sehingga dapat
menghindari kekosongan dan menjamin ketersediaan obat. Perencanaan
dilakukan dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan
dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi,
epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi dan disesuaikan
dengan anggaran yang tersedia (Kemenkes, 2016).

Perencanaan merupakan proses penting yang menghubungkan


pelayanan kefarmasian dengan pengambil kebijakan di fasilitas pelayanan
kesehatan dan tingkat nasional, sehingga memberikan informasi kepada
pengambil keputusan di tingkat yang lebih tinggi mengenai keuangan dan
pengadaan obat. Hasil perencanaan digunakan untuk memaksimalkan
penggunaan sumber daya yang tersedia untuk pengadaan, memberikan
advokasi kepada pimpinan/pengambil keputusan dalam mendukung sumber
daya, dan jika diperlukan memberikan informasi ke produsen terkait siklus
produksi dan jadwal pengiriman obat (Kemenkes, 2019).

Perencanaan merupakan kegiatan yang berlangsung sepanjang tahun.


Keluaran kegiatan perencanaan harus dapat mendorong terjadinya proses
interaktif dalam pengkajian dan pembaruan data perencanaan dan asumsi
kebutuhan, dengan mempertimbangkan Kembali persyaratan komoditas total
dan biaya obat yang akan digunakan, perubahan kebijakan dan rencana, serta
masalah dalam ketepatan waktu. Hasil perencanaan dikaji secara berkala
minimal setahun sekali atau jika terjadi pertumbuhan kebutuhan yang cepat
dari yang biasanya atau terjadi perubahan pada program secara umum. Faktor
penting yang berdampak pada kualitas perencanaan adalah ketersediaan data.
Pelaksanaan review perencanaan secara periodik dan pembaruan data
pengadaan dapat membantu pelaksana untuk fokus menggunakan sumber daya
yang ada (Kemenkes, 2019).

Pedoman perencanaan harus mempertimbangkan (Kemenkes, 2016):

a. Anggaran yang tersedia

11
b. Penetapan prioritas
c. Sisa persediaan
d. Data pemakaian periode yang lalu
e. Waktu tunggu pemesanan
f. Rencana pengembangan

Sesuai Permenkes Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan


Kefarmasian di Rumah Sakit, pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
BMHP di rumah sakit dilakukan oleh instalasi farmasi rumah sakit (IFRS)
dengan sistem satu pintu. Apoteker di IFRS memiliki tanggungjawab dalam
pengelolaan dan rantai suplai obat di rumah sakit. Personel yang terlibat dalam
proses perencanaan yaitu:

a. Penanggung jawab logistik yaitu apoteker di instalasi farmasi rumah


sakit
b. Unit pengguna
c. Pengambil keputusan (pihak manajemen rumah sakit), berwenang
menentukan pemilihan dan penggunaan obat yang akan direncanakan
yang bisa saja spesifik untuk jenis pelayanan dan jenis komoditi yang
digunakan

Tahapan dalam proses perencanaan kebutuhan obat di rumah sakit yaitu


(Kemenkes, 2019):

a. Persiapan
1. Pastikan kembali program dan komoditas apa yang akan
disusun perencanaannya
2. Tetapkan stakeholder yang terlibat dalam proses perencanaan,
diantaranya adalah pemegang kebijakan dan partner pelaksana
3. Daftar obat harus sesuai Formularium Nasional dan
Formularium Rumah Sakit. Daftar obat dalam formularium
yang telah diperbarui secara teratur harus menjadi dasar untuk
perencanaan, karena daftar tersebut mencerminkan obat-obatan
yang diperlukan untuk pola morbiditas terkini

12
4. Perencanaan perlu memperhatikan lama waktu yang
dibutuhkan, estimasi periode pengadaan, estimasi safety stock
dan memperhitungkan leadtime
5. Perhatikan ketersediaan anggaran dan rencana pengembangan
jika ada
b. Pengumpulan data
Data yang dibutuhkan antara lain data penggunaan obat pasien
periode sebelumnya (data konsumsi), sisa stok, data morbiditas,
dan usulan kebutuhan obat dari unit pelayanan
c. Analisa terhadap usulan kebutuhan meliputi:
1. Spesifikasi item obat
Jika spesifikasi item obat yang diusulkan berbeda dengan data
penggunaan sebelumnya, dilakukan konfirmasi ke pengusul
2. Kuantitas kebutuhan
Jika kuantitas obat yang diusulkan jauh berbeda dengan
penggunaan periode sebelumnya maka harus dilakukan
konfirmasi ke pengusul
d. Menyusun dan menghitung rencana kebutuhan obat menggunakan metode
yang sesuai
e. Melakukan evaluasi rencana kebutuhan menggunakan analisis yang sesuai
f. Revisi rencana kebutuhan obat (jika diperlukan)
g. IFRS menyampaikan draft usulan kebutuhan obat ke manajemen rumah
sakit untuk mendapatkan persetujuan.

2.4 Pendistribusian Obat


Distribusi sediaan farmasi merupakan suatu kegiatan penyaluran baik obat
maupun bahan obat sesuai dengan persyaratan guna menjaga kualitas dari
sediaan farmasi yang didistribusikan tersebut. Distribusi menjadi aspek
penting dalam menjamin kualitas sediaan. Untuk memastikan mutu sepanjang
alur pendistribusian, maka kualitas produk perlu dipantau mulai dari produk
masuk gudang hingga sampai di tangan konsumen (dalam hal ini apotek,
rumah sakit, PBF). Salah satu cara pemerintah dalam menjamin mutu sediaan
farmasi adalah dengan menerapkan CDOB (Cara Distribusi Obat yang Baik).

13
CDOB diatur dalam Peraturan Kepala BPOM No. HK.03.1.34.11.12.7542
tahun 2012.Di Indonesia, kegiatan penyaluran obat dilakukan oleh PBF
(Pedagang Besar Farmasi). PBF merupakan perusahaan berbentuk badan
hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat
dan/atau bahan obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan (BPOM, 2012).
Distribusi merupakan kegiatan penting yang teritegrasi dengan manajemen
rantai pasok sediaan farmasi. Dalam prakteknya perlu dilakukan penjaminan
mutu pada semua aspek di setiap proses distribusi, mulai dari pengadaan,
penyimpanan, peraturan dan registrasi distribusi hingga diberikan kepada
pasien. Sediaan farmasi sampai di tangan pasien harus dalam keadaan aman,
berkhasiat, bermutu, dan terjangkau. Pengawasan obat secara komprehensif
perlu dilakukan pada jaringan distribusi obat demi terjaminnya mutu, khasiat,
keamanan, dan keabsahan obat. Penjaminan mutu dipantau seiring integritas
rantai distribusi, mulai dari kegiatan pengadaan, penyimpanan, penyaluran
hingga jika terjadi pengembalian. Pemantauan mutu mulai dari pembangunan
system mutu (Quality Management) hingga terjadi Recall dalam proses
distribusi diatur dalam Good Distribution Practice, sebagai berikut:
a. Quality Management
Kegiatan managemen mutu meliputi kesesuaian infrastruktur
seperti organisasi, SOP, proses serta sumber daya yang digunakan dan
tindakan sistematis yang diperlukan guna menjamin proses distribusi
berjalan sesuai GDP (Good Distribution Practice) sehingga memenuhi
persyaratan kualitas.
Setiap aspek dalam proses distribusi sediaan farmasi harus dapat
bertanggung jawab terhadap kualitas dan keamanan dari produk.
Dalam pelaksanaannya, sistem yang memadai harus tersedia untuk
memastikan produk dapat ditelusuri. Prosedur pengadaan dan perilisan
harus dikeluarkan secara resmi, guna memastikan bahwa produk
farmasi yang akan didistribusikan bersumber dari pemasok yang legal.
Semua entitas dalam proses rantai pasok harus dapat terlacak
berdasarkan jenis produk farmasi tersebut dan harus dilengkapi

14
prosedur dan catatan tertulis yang dapat menjamin ketelusuran produk.
Kegiatan penjaminan mutu dalam proses distribusi meliputi
managemen mutu, manajemen resiko mutu, kajian dan pemantauan
manajemen serta pengelolaan kegiatan distribusi berdasarkan kontrak.
Sertifikat kesesuaian sistem mutu yang berlaku baik nasional
maupun internasional (seperti International Standardization
Organization (ISO)) sangat direkomendasikan untuk suatu PBF. Jika
tidak memiliki sertifikat tersebut, dapat digantikan dengan
guidelines
pelaksanaan prinsip GMP terkait produk farmasi. SOP
resmi untuk setiap kegiatan operasional harus tersedia.

b. Self Inspection
Inspeksi diri adalah tindakan pencegahan terjadinya kesalahan
dalam kegiatan penjaminan mutu. Inspeksi diri dilakukan sebagai
tindakan korektif terhadap pelaksanaan distribusi obat berdasarkan
prinsip GDP. Inspeksi diri dilakukan oleh pihak yang independen dan
kompeten. Kegiatan inspeksi diri harus selalu terdokumentasi. Laporan
inspeksi diri harus berisi semua hasil observasi yang dilakukan selama
kegiatan yang kemudian akan dievaluasi dan diputuskan tindakan
korektif yang dapat dilakukan.

c. Premises, Warehousing And Storage


Good Storage Practice (GSP) harus diterapkan dalam lingkungan
penyimpanan dan proses distribusi produk farmasi. Prinsip dalam
penerapan GSP meliputi:
1. Area Penyimpanan
Area penyimpanan harus memiliki kapasitas yang
cukup untuk memungkinkan penyimpanan secara berurutan
dari berbagai kategori produk, yaitu produk massal dan
produk jadi, produk di karantina, dan produk yang dirilis,
ditolak, dikembalikan atau ditarik kembali. Area
penyimpanan harus dirancang untuk memastikan kondisi

15
penyimpanan yang baik. Area penyimpanan harus bersih
dan kering dan dipelihara dalam batas suhu yang dapat
diterima. Dalam kondisi penyimpanan khusus diperlukan
pada label suhu dan kelembaban relatif, yang harus terus
dipantau.
Produk farmasi harus disimpan di area yang mudah
dibersihkan dan dilakukan pemeriksaan. Palet harus
disimpan dalam kondisi yang baik dan bersih. Area
penyimpanan harus bersih, dan bebas dari akumulasi
limbah dan hama. Prosedur tertulis mengenai sanitasi dan
pengendalian hama harus tersedia untuk menunjukkan
frekuensi pelaksanaan dan metode yang digunakan. Agen
pengendalian hama yang digunakan harus aman, dan tidak
boleh ada risiko kontaminasi terhadap produk farmasi.
Harus ada prosedur yang tepat untuk membersihkan
tumpahan dan memastikan tidak adanya risiko kontaminasi.
Untuk produk dalam status karantina dipastikan
disimpan di area terpisah, ditandai dengan jelas dan
aksesnya dibatasi untuk personel yang berwenang. Setiap
sistem yang menggantikan pengecekan produk karantina
secara manual harus dapat menjamin keamanan. Contohnya
sistem komputerisasi dapat digunakan, asalkan tervalidasi
dalam keamanan akses. Jika pengambilan sampel dilakukan
di area penyimpanan, harus dilakukan sedemikian rupa
untuk mencegah kontaminasi. Prosedur pembersihan yang
memadai harus dilakukan untuk area sampling.
Selain itu, area penyimpanan untuk produk yang
ditolak, kadaluarsa, ditarik kembali atau dikembalikan
harus tersedia. Produk, dan area terkait harus diidentifikasi
secara tepat.
Bahan radioaktif, narkotika dan produk farmasi
berbahaya lainnya, sensitif dan / atau berbahaya, serta

16
produk yang dapat menyebabkan kebakaran, atau ledakan,
harus disimpan di area khusus yang dilengkapi dengan
protokol keselamatan dan keamanan tambahan yang sesuai.
2. Kondisi Penyimpanan
Kondisi penyimpanan untuk produk farmasi harus
sesuai dengan hasil pengujian stabilitas.
3. Monitoring Kondisi Penyimpanan
Data pemantauan suhu yang direkap untuk ditinjau.
Peralatan yang digunakan untuk pemantauan harus
diperiksa pada interval yang telah ditentukan sebelumnya
dan hasil dari pemeriksaan tersebut harus dicatat dan
disimpan. Semua catatan pemantauan harus disimpan
setidaknya selama masa simpan dari bahan yang disimpan
atau produk ditambah satu tahun. Pemetaan suhu harus
menunjukkan keseragaman suhu di area penyimpanan.
Monittoring suhu ditempatkan di area yang paling mungkin
menunjukkan fluktuasi.Peralatan yang digunakan untuk
pemantauan harus dikalibrasi pada interval yang
ditentukan.
Dokumentasi, meliputi instruksi tertulis dan rekap
data Informasi tertulis maupun elektronik harus ada untuk
setiap produk disertai dengan kondisi penyimpanannya.
Prosedur harus pemetaan suhu, keamanan gudang,
penghancuran stok yang tidak dapat dijual dan
penyimpanan catatan juga harus tersedia.
4. Peputaran dan Pengendalian stock
Rekonsiliasi stok secara periodic dilakukan untuk
membandingkan stok secara actual dan stok yang terekap
sebelumnya. Perbedaan yang signifikan harus diinvestigasi
sebagai tindakan pencegahan terhadap kemungkinan
terjadinya mix up dan/ pendataan yang salah.

17
d. Transportation and Products in Transit
Kondisi penyimpanan yang dipersyaratkan untuk produk farmasi
harus selalu dijaga bahkan saat proses pengiriman. Kondisi
penyimpanan yang spesifik untuk produk tertentu sebaiknya tidak
memakan waktu yang terlampau lama. Semua penyimpangan terkait
kondisi penyimpanan harus dikonsultasikan dengan pihak
manufacturer.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses pengiriman:
1. Kondisi khusus yang diperlukan produk selama proses
pengiriman harus dipantau dan dicatat.
2. Proses pengiriman tidak boleh memberikan efek negative
terhadap integritas dan kualitas dari sediaan farmasi
3. Prosedur tertulis harus disertai selama proses untuk
dilakukan investigasi terhadap segala penyimpangan terkait
kondisi penyimpanan, contohnya jika suhu tempat
penyimpanan produk saat proses pengiriman tidak sesuai.
4. Produk yang dikirim harus dapat dilacak selama proses
distribusi
5. Semua produk farmasi harus disimpan dan didistribusikan
dalam wadah yang tidak memberikan efek buruk terhadap
kualitas produk, dan memberikan perlindungan memadai
dari pengaruh eksternal, termasuk kontaminasi mikroba.
Label yang ditempelkan di wadah harus jelas, tidak
ambigu, secara permanen tertuju pada wadah dan tidak
mudah terhapuskan. Informasi tentang label harus sesuai
dengan produk. Produk yang mengandung dari bahan aktif
dan radioaktif obat dan bahan berbahaya lainnya yang
memberikan risiko penyalahgunaan, kebakaran, atau
ledakan (misalnya, cairan yang mudah terbakar, padatan
dan gas bertekanan) harus disimpan dan diangkut di dalam
wadah yang aman.
e. Dispatch

18
Produk farmasi hanya boleh dijual dan didistribusikan kepada
pihak yang berhak. Bukti otoritas tertulis harus diperoleh sebelum
dilakukan pengiriman ke pihak tersebut. Pemasok produk farmasi
harus dipastikan sebelum dilakukan pengiriman, dipastikan personil
yang menyetujui kontrak terkait pengiriman dan penyimpanan produk.
Pengiriman dan pengantaran produk farmasi dilakukan setelah
diterimanya permintaan pengiriman material, jika ada rencana
penambahan harus terdokumentasi.
Rekap data pengiriman produk farmasi harus memuat informasi
sebagai berikut:
1. Waktu pengiriman
2. Nama dan alamat yang bertanggung jawab untuk pengiriman
3. Nama, alamat, status instansi seperti retail farmasi, rumah sakit
dan komunitas klinik
4. Deskripsi produk meliputi nama, bentuk dan kekuatan sediaan
5. Jumlah produk, seperti jumlah container dan jumlah produk per
container
6. No batch dan tanggal kadaluarsa
7. Kondisi transportasi dan penyimpanan
8. Nomor unik untuk memungkinkan identifikasi pesanan
pengiriman.
f. Recall
Sistem dan prosedur tertulis diperlukan untuk mendeteksi secara
cepat dan efektif produk farmasi yang diketahui atau diduga cacat,
dengan personil yang bertanggung jawab untuk melakukan recall.
Pihak manufaktur juga harus diberi tahu jika dilakukan recall. Jika
penarikan kembali dilakukan oleh entitas selain produsen asli dan /
atau pemegang otorisasi pemasaran, konsultasi dengan produsen asli
dan / atau pemegang otorisasi pemasaran harus dilakukan, jika
memungkinkan, dilakukan sebelum dilaksanakan recall. Semua
pelanggan dan otoritas terkait harus segera diberitahu jika dilakukan
recall mengingat mutu dari produk tersebut.

19
Semua produk farmasi yang ditarik harus disimpan di area terpisah
yang aman untuk menunggu tindakan yang tepat. Kondisi
penyimpanan yang sesuai untuk produk farmasi yang ditarik kembali
harus dipertahankan selama penyimpanan sampai saat keputusan telah
dibuat terkait produk tersebut.
Dokumentasi harus tersedia untuk personil yang ditunjuk
bertanggung jawab atas penarikan kembali. Dokumen harus memuat
informasi yang cukup tentang produk farmasi yang diberikan kepada
pelanggan (termasuk jika produk diekspor). Proses recall harus dicatat
dan laporan akhir dikeluarkan, mencakup rekonsiliasi antara jumlah
produk yang dikirim dan yang diperoleh kembali.

2.5 Penyimpanan Obat


Setelah barang diterima di Instalasi Farmasi perlu dilakukan
penyimpanan sebelum dilakukan pendistribusian. Penyimpanan harus dapat
menjamin kualitas dan keamanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan persyaratan kefarmasian.
Persyaratan kefarmasian yang dimaksud meliputi persyaratan stabilitas dan
keamanan, sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan penggolongan jenis
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.

Komponen yang harus diperhatikan antara lain:

a. Obat dan bahan kimia yang digunakan untuk mempersiapkan Obat diberi
label yang secara jelas terbaca memuat nama, tanggal pertama kemasan
dibuka, tanggal kadaluwarsa dan peringatan khusus.
b. Elektrolit konsentrasi tinggi tidak disimpan di unit perawatan kecuali
untuk kebutuhan klinis yang penting.
c. Elektrolit konsentrasi tinggi yang disimpan pada unit perawatan pasien
dilengkapi dengan pengaman, harus diberi label yang jelas dan disimpan
pada area yang dibatasi ketat (restricted) untuk mencegah penatalaksanaan
yang kurang hati-hati.
d. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang
dibawa oleh pasien harus disimpan secara khusus dan dapat diidentifikasi.

20
e. Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk penyimpanan barang
lainnya yang menyebabkan kontaminasi.

Instalasi Farmasi harus dapat memastikan bahwa Obat disimpan secara


benar dan diinspeksi secara periodik.

Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang
harus disimpan terpisah yaitu:

a. Bahan yang mudah terbakar, disimpan dalam ruang tahan api dan diberi
tanda khusus bahan berbahaya.
b. Gas medis disimpan dengan posisi berdiri, terikat, dan diberi penandaaan
untuk menghindari kesalahan pengambilan jenis gas medis. Penyimpanan
tabung gas medis kosong terpisah dari tabung gas medis yang ada isinya.
Penyimpanan tabung gas medis di ruangan harus menggunakan tutup demi
keselamatan.

Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas terapi, bentuk


sediaan, dan jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai dan disusun secara alfabetis dengan menerapkan prinsip First Expired
First Out (FEFO) dan First In First Out (FIFO) disertai sistem informasi
manajemen. Penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai yang penampilan dan penamaan yang mirip (LASA, Look
Alike Sound Alike) tidak ditempatkan berdekatan dan harus diberi penandaan
khusus untuk mencegah terjadinya kesalahan pengambilan Obat.

Rumah Sakit harus dapat menyediakan lokasi penyimpanan Obat


emergensi untuk kondisi kegawatdaruratan. Tempat penyimpanan harus
mudah diakses dan terhindar dari penyalahgunaan dan pencurian.

Pengelolaan Obat emergensi harus menjamin:

a. jumlah dan jenis Obat sesuai dengan daftar Obat emergensi yang telah
ditetapkan;
b. tidak boleh bercampur dengan persediaan Obat untuk kebutuhan lain;
c. bila dipakai untuk keperluan emergensi harus segera diganti;

21
d. dicek secara berkala apakah ada yang kadaluwarsa; dan
e. dilarang untuk dipinjam untuk kebutuhan lain.

2.6 Pemusnakan Obat Kadaluarsa


Pemusnahan sediaan farmasi yang tidak dapat digunakan harus
dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Pelayanan Sediaan Farmasi di Rumah Sakit harus
mengikuti Standar Pelayanan Kefarmasian yang selanjutnya diamanahkan
untuk diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan (Kemenkes, 2016). Salah
satu alasan dilakukan pemusnahan sediaan farmasi adalah karena sediaan
farmasi telah kedaluwarsa. Obat kedaluwarsa yang telah memiliki perjanjian
dengan supplier dapat diretur atau dikembalikan kepada PBF tempat obat
tersebut dibeli.
Obat kedaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis dan
bentuk sediaan. Pemusnahan Obat kadaluwarsa atau rusak yang mengandung
narkotika atau psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan Obat selain narkotika dan
psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian
lain yang memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan
dibuktikan dengan berita acara pemusnahan (Kemenkes, 2014).
Pemusnahan narkotika, psikotropika, dan precursor farmasi yang telah
kedaluwarsa dilakukan oleh Industri Farmasi, PBF, Instalasi Farmasi
Pemerintah, Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik,
Lembaga Ilmu Pengetahuan, Dokter atau Toko Obat. Pemusnahan harus
dilakukan dengan tidak mencemari lingkungan, dan tidak membahayakan
masyarakat (Kemenkes, 2015).

22
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pelayanan kefarmasian di rumah sakit merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi
kepada pelayanan pasien, penyediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan
masyarakat termasuk pelayanan farmasi klinik.

23
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 2009. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang


Pekerjaan Kefarmasian. Departemen Kesehatan RI: Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI. 2019. Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat


Kesehatan: Pedoman Penyusunan Rencana Kebutuhan Obat dan
Pengendalian Persediaan Obat di Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI

La Dupai, L. D., Hasratna, H., & Nurzalmariah, W. (2016). Gambaran


Pengelolaan Persediaan Obat Di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum
Daerah Kabupaten Muna Tahun 2016. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan
Masyarakat Unsyiah, 1(3), 184123.

Menkes RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan No. 58: Tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Kementrian Republik Indonesia

Menkes RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72:
Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Kementrian
Republik Indonesia

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor


HK.03.1.34.11.12.7542 tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Cara
Distribusi Obat yang Baik

Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan


Kefarmasian di Apotek, (2014). https://doi.org/10.4324/9781315853178

Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 3 Tahun 2015 tentang Peredaran,


Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi, 1 (2015). http://e-
pharm.depkes.go.id/front/pdf/UU51997.pdf

24
Permenkes. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor. 34/
Menkes / Permenkes /2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Direktoral Jendral Pelayanan
Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta.

Permenkes, 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72


Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan kefarmasian di RumahSsakit.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta

Rikomah, S. E. 2017. Farmasi Rumah Sakit. Penerbit Deepublish. Yogyakarta.

Satibi. 2014. Manajemen Obat di Rumah Sakit. Universitas Gajah Mada,


Yogyakarta.

UUD 1945 Pasal 28 H ayat (1), Tersedia Online


http://jdih.pom.go.id/uud1945.pdf [Diakses 04 April 2018]

WHO. 2010. Good Distribution Practices (GDP) For Pharmaceutical Products.


WHO Technical Report Series, No. 957, Annex 5

Yohanes, Wahyu Waluyo. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia, Volume 13,


Nomor 1, April 2015.

25

Anda mungkin juga menyukai