Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rumah Sakit

2.1.1 Definisi Rumah Sakit

Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 Pasal 1 tentang rumah

sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan

pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan

rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat.

Rumah sakit juga merupakan tempat penyelenggaraan upaya kesehatan

yaitu suatu kegiatan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan serta bertujuan

untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Adapun yang

termasuk dalam upaya kesehatan dimulai dari pemeliharaan, peningkatan

kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit dan pemulihan yang

harus dilaksanakan secara selaras (Siregar dan Amalia, 2004).

2.1.2 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit

Tugas dan fungsi rumah sakit diatur di dalam Undang-Undang RI Nomor

44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, dimana di dalamnya dijelaskan bahwa

rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan

secara paripurna yang meliputi peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan

penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), pemulihan (rehabilitatif).

Rumah sakit juga memiliki beberapa fungsi yaitu:

a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai

dengan standar pelayanan rumah sakit.


b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan

kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan

medis.

c. Penyelanggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam

rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.

d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi

bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan

memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

2.1.3 Klasifikasi Rumah Sakit

Menurut UU No.44 tahun 2014, rumah sakit dapat dibagi berdasarkan

jenis pelayanan dan pengelolaannya. Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan,

rumah sakit dikategorikan dalam rumah sakit umum dan rumah sakit khusus,

sedangkan berdasarkan pengelolaannya dikategorikan dalam rumah sakit publik

dan rumah sakit privat.

2.2 Tim Farmasi dan Terapi (TFT)

Menurut Permenkes RI Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan

Kefarmasian di Rumah Sakit, dalam pengorganisasian rumah sakit dibentuk Tim

Farmasi dan Terapi (TFT) yang merupakan unit kerja dalam memberikan

rekomendasi kepada pimpinan rumah sakit mengenai kebijakan penggunaan obat

di rumah sakit yang anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili semua

spesialisasi yang ada di rumah sakit, apoteker instalasi farmasi, serta tenaga

kesehatan lainnya apabila diperlukan. TFT harus dapat membina hubungan kerja

dengan komite lain di dalam rumah sakit yang berhubungan/berkaitan dengan

penggunaan obat.
Ketua TFT dapat diketuai oleh seorang dokter atau seorang apoteker,

apabila diketuai oleh dokter maka sekretarisnya adalah apoteker, namun apabila

diketuai oleh apoteker, maka sekretarisnya adalah dokter. TFT harus mengadakan

rapat secara teratur, minimal 2 (dua) bulan sekali dan untuk rumah sakit besar

rapat diadakan sekali dalam satu bulan. TFT dapat mengundang pakar dari dalam

maupun dari luar rumah sakit yang dapat memberikan masukan bagi pengelolaan

TFT, memiliki pengetahuan khusus, keahlian-keahlian atau pendapat tertentu

yang bermanfaat bagi TFT (Menkes RI, 2016).

Berdasarkan Permenkes RI Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar

Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, TFT mempunyai tugas sebagai berikut:

a. Mengembangkan kebijakan tentang penggunaan obat di rumah sakit

b. Melakukan seleksi dan evaluasi obat yang akan masuk dalam

Formularium Rumah Sakit

c. Mengembangkan standar terapi

d. Mengidentifikasi permasalahan dalam penggunaan obat

e. Melakukan intervensi dalam meningkatkan penggunaan obat yang

rasional

f. Mengkoordinir penatalaksanaan reaksi obat yang tidak dikehendaki

g. Mengkoordinir penatalaksanaan medication error

h. Menyebarluaskan informasi terkait kebijakan penggunaan obat di rumah

sakit.

2.3 Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Instalasi farmasi rumah sakit merupan suatu bagian di rumah sakit yang

dipimpin oleh seorang apoteker sebagai penanggung jawab dan merupakan tempat
atau fasilitas penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang menjaminn tersedianya

sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang aman,

bermutu, bermanfaat, dan terjangkau (Siregar dan Amalia, 2004) (Menkes RI,

2016).

2.3.1 Tugas dan Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Berdasarkan Permenkes RI Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar

Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, instalasi farmasi rumah sakit memiliki

tugas dan fungsi yang penting dalam memberikan pelayanan kesehatan di rumah

sakit. Tugas dari instalasi farmasi rumah sakit, antara lain:

a. Menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi

seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian yang optimal dan profesional

serta sesuai prosedur dan etik profesi;

b. Melaksanakan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan

medis habis pakaiyang efektif, aman, bermutu dan efisien;

c. Melaksanakan pengkajian dan pemantauan penggunaan sediaan farmasi,

alat kesehatan dan bahan medis habis pakai guna memaksimalkan efek

terapi dan keamanan serta meminimalkan risiko;

d. Melaksanakan komunikasi, edukasi dan informasi (KIE) serta

memberikan rekomendasi kepada dokter, perawat dan pasien;

e. Berperan aktif dalam TFT;

f. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan pelayanan

kefarmasian;

g. Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan

Formularium Rumah Sakit.


Fungsi instalasi farmasi rumah sakit dapat dibagi menjadi dua bagian utama

yaitu pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai

dan pelayanan farmasi klinis (Menkes RI, 2016).

2.3.2 Struktur Organisasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 tahun 2016, dalam

penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit dapat dibentuk struktur

organisasi yang sesuai dengan kebutuhan yang merupakan bagian dari Instalasi

Farmasi Rumah Sakit.

Pengorganisasian instalasi farmasi rumah sakit harus mencakup

penyelenggaraan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis

habis pakai, pelayanan farmasi klinis dan manajemen mutu yang bersifat dinamis

dapat direvisi sesuai kebutuhan dengan tetap menjaga mutu.

2.3.3 Sumber Daya Manusia Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Instalasi farmasi harus memiliki apoteker dan tenaga teknis kefarmasian

yang sesuai dengan beban kerja dan petugas penunjang lain agar tercapai sasaran

dan tujuan instalasi farmasi rumah sakit. Ketersediaan jumlah tenaga apoteker dan

tenaga teknis kefarmasian di rumah sakit dipenuhi sesuai dengan ketentuan

klasifikasi dan perizinan rumah sakit yang ditetapkan oleh menteri (Menkes RI,

2016).

Menurut Menkes RI (2016), perhitungan kebutuhan apoteker berdasarkan

beban kerja pada pelayanan kefarmasian di rawat inap yang meliputi pelayanan

farmasi manajerial dan pelayanan farmasi klinis dengan aktivitas pengkajian

resep, penelusuran riwayat penggunaan obat, konseling, edukasi dan visite,

idealnya dibutuhkan tenaga apoteker dengan rasio 1 apoteker untuk 30 pasien.


Berdasarkan apoteker menurut beban kerja pada pelayanan kefarmasian di rawat

jalan yang meliputi pelayanan farmasi menajerial dan pelayanan farmasi klinik

dengan aktivitas pengkajian resep, penyerahan obat, pencatatan penggunaan obat

(PPP) dan konseling, idealnya dibutuhkan tenaga apoteker dengan rasio 1

apoteker untuk 50 pasien.

2.4 Manajemen Obat di Rumah Sakit

Sistem manajemen obat merupakan serangkaian kegiatan kompleks yang

merupakan suatu siklus yang saling terkait, pada dasarnya terdiri dari empat

fungsi dasar yaitu seleksi, perencanaan dan pengadaan, distribusi dan penggunaan

(Satibi, 2014). Menurut Quick (1997) manajemen obat di rumah sakit merupakan

salah satu unsur penting dalam fungsi manajerial rumah sakit secara keseluruhan,

karena ketidakefisienan akan memberikan dampak negatif terhadap rumah sakit

baik secara medis maupun secara ekonomis.

Sistem pengelolaan obat harus dipandang sebagai bagian dari keseluruhan

pelayanan kesehatan di rumah sakit dan dapat dilakukan dengan cara memberikan

pelayanan yang menjamin keamanan, efektif dan ekonomis dalam penggunaan

obat, sehingga dapat diperoleh keefektifan dan efisiensi pengelolaan obat. Dimana

keduanya merupakan konsep utama yang digunakan untuk mengukur prestasi

kerja manajemen (Jokosusilo, 2004).

Tujuan dari pentingnya manajemen obat di rumah sakit adalah agar obat

yang diperlukan tersedia setiap saat dibutuhkan, dalam jumlah yang cukup, mutu

yang terjamin dan harga yang terjangkau untuk mendukung pelayanan yang

bermutu (Quick, 1997). Rumah sakit harus menyusun kebijakan terkait

manajemen pengunaan obat yang efektif. Kebijakan tersebut harus ditinjau ulang
sekurang-kurangnya sekali setahun. Peninjauan ulang sangat membantu rumah

sakit memahami kebutuhan dan prioritas dari perbaikan sistem mutu dan

keselamatan penggunaan obat yang berkelanjutan (Menkes RI, 2016).

Quick (1997) menyebutkan bahwa siklus pengelolaan obat meliputi empat

fungsi dasar yaitu seleksi (selection), perencanaan dan pengadaan (procurement),

distribusi (distribution), dan penggunaan (use) yang memerlukan dukungan dari

organisasi (organization), ketersediaan pendanaan (financing sustainability),

pengelolaan informasi (information management) dan pengembangan sumber

daya manusia (human resources management) yang ada di dalamnya.

Dalam sistem manajemen obat, masing-masing tahapan saling terkait

dimana tahapan utama berperan berdasarkan fungsi sebelumnya dan menentukan

fungsi selanjutnya. Seleksi seharusnya didasarkan pada pengalaman yang

sebelumnya (aktual) terhadap kebutuhan untuk melakukan pelayanan kesehatan

dan obat yang digunakan, perencanaan dan pengadaan memerlukan keputusan

seleksi dan seterusnya. Setiap tahap siklus manajemen obat yang baik harus

didukung oleh keempat faktor tersebut sehingga pengelolaan obat dapat

berlangsung secara efektif dan efisien. Siklus pengelolaan obat tersebut dapat

digambarkan sebagai berikut: (Quick, 1997).


Seleksi/Perencanaan

Dukungan manajemen:
Organisasi
Pembiayaan
Penggunaan Manajemen Pengadaan

Distribusi

Kebijakan dan Perundang-undangan

Gambar 2.1 Siklus pengelolaan obat

Pada dasarnya, manajemen obat di rumah sakit adalah bagaimana cara

mengelola tahap-tahap dan kegiatan tersebut agar dapat berjalan dengan baik dan

saling mengisi sehingga dapat tercapai tujuan pengelolaan obat yang efektif dan

efisien agar obat yang diperlukan oleh dokter selalu tersedia setiap saat

dibutuhkan dalam jumlah cukup dan mutu terjamin untuk mendukung pelayanan

yang bermutu (Quick, 1997).

Pengelolaan obat di rumah sakit meliputi tahap-tahap seleksi, perencanaan

dan pengadaan, pendistribusian, dan penggunaan, yang saling terkait satu sama

lainnya, sehingga harus terkoordinasi dengan baik agar masing-masing dapat

berfungsi secara optimal. Ketidakterkaitan antara masing-masing tahap akan

mengakibatkan tidak efisiennya sistem suplai dan penggunaan obat yang ada
(Quick, 1997).
Ketidakefisienan dan ketidaklancaran pengelolaan obat dapat memberi

dampak negatif terhadap rumah sakit, maka perlu dilakukan penelusuran terhadap

gambaran pengelolaan serta pendukung manajemennya agar dapat diketahui

permasalahan dan kelemahan dalam pelaksanaannya sehingga dapat dilakukan

upaya perbaikan dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan kepada

masyarakat (Lilihata, 2011).

Departemen Kesehatan RI dalam Pedoman Supervisi Dan Evaluasi Obat

Publik dan Perbekalan Kesehatan (2008), Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan

Kesehatan Kementerian Kesehatan RI (2016), Pudjaningsih (1996), dan WHO

(1993) menetapkan beberapa indikator pengelolaan obat. Sejumlah indikator

pengelolaan obat yang dipilih dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Indikator efisiensi pengelolaan obat di rumah sakit

Tahapan Indikator Tujuan Nilai


Pembanding
Pemilihan 1. Kesesuaian item obat Untuk mengetahui
≥80% (Kemenkes,
(Selection) yang tersedia tingkat penggunan 2016)
dengan Formularium obat terhadap
(Kemenkes, 2016)
formularium

Perencanaan 1. Frekuensi Untuk mengetahui Rendah <


dan Pengadaan pengadaan tiap item berapa kali obat-obat 12x/tahun,
(Procurement) obat pertahun tersebut dipesan Sedang 12-
(Pudjaningsih, 1996)
dalam setahun 24x/tahun
Tinggi >
24x/tahun
(Pudjaningsih, 1996)

Distribusi 1. Ketepatan jumlah Untuk mengetahui 100%


(Distribution) obat pada kartu stok ketelitian petugas (Pudjaningsih, 1996)
(Pudjaningsih, 1996)
gudang
2. Sistem penataan Untuk menilai 100%
gudang (Pudjaningsih, sistem penataan FIFO/FEFO
(Pudjaningsih, 1996)
1996) gudang
Tabel 2.2 (Sambungan)

Tahapan Indikator Tujuan Nilai


Pembanding
3. Persentase dan nilai Untuk mengetahui ≤ 0,2%
obat yang besarnya kerugian (Pudjaningsih, 1996)
kadaluwarsa dan rumah sakit
atau rusak
(Pudjaningsih, 1996)

Distribusi 4. Persentase stok Untuk mengetahui 0% (Depkes RI,


(Distribution) mati (Depkes RI, 2008) sediaan yang tidak 2008)
mengalami
pergerakan
5. Tingkat Untuk mengetahui 12-18 bulan
ketersediaan obat kisaran kecukupan (WHO,1993)
(WHO,1993)
obat
1. Jumlah rata-rata Untuk mengukur 1,8-2,2
(WHO,1993)
item obat perlembar derajat polifarmasi
resep (WHO,1993)
2. Persentase obat Untuk mengukur 82%-94%
dengan nama kecendrungan untuk (WHO, 1993)
generik (WHO,1993) meresepkan obat
generic
3. Persentase Untuk mengukur <22,70% (WHO,
1993)
peresepan obat penggunaan
antibiotik (WHO, 1993) antibiotika
4. Persentase Untuk mengukur 0,2-48% (WHO,
1993)
Penggunaan peresepan injeksi penggunaan injeksi
(WHO, 1993)
(Use)
5. Persentase obat Untuk mengukur 100% (WHO,
yang masuk daftar tingkat kepatuhan 1993)
obat rumah sakit dokter terhadap
(WHO, 1993)
standar obat di rumah
sakit
6. Persentase obat Untuk mengetahui 76-100%
yang dapat cakupan pelayanan (Pudjaningsih, 1996)
diserahkan rumah sakit
(Pudjaningsih, 1996)

7. Persentase obat Untuk besarnya 100% (WHO,


yang dilabeli kelengkapan 1993)

dengan lengkap informasi pokok yang


(WHO, 1993)
harus ditulis pada
etiket
Manajemen obat di rumah sakit dimulai dari tahap pemilihan (selection),

perencanaan dan pengadaan (procurement), distribusi (distribution), penggunaan

(use) yang diperlukan bagi kegiatan pelayanan kesehatan.

2.4.1 Seleksi/Selection

Seleksi atau pemilihan obat merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau

masalah kesehatan yang terjadi di rumah sakit, identifikasi pemilihan terapi,

bentuk dan dosis, menentukan kriteria pemilihan dengan memprioritaskan obat

esensial, standarisasi sampai menjaga dan memperbaharui standar obat (Menkes

RI, 2016).

Penentuan seleksi obat merupakan peran aktif apoteker dalam Tim Farmasi

dan Terapi untuk menetapkan kualitas dan efektifitas (Satibi, 2014). Menurut

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 tahun 2016 tentang standar pelayanan

kefarmasian di rumah sakit, pemilihan sediaan farmasi di rumah sakit dapat

dilakukan berdasarkan kepada:

a. Formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan terapi

b. Standar sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai

yang telah ditetapkan

c. Pola penyakit

d. Efektivitas dan keamanan

e. Pengobatan berbasis bukti

f. Mutu

g. Harga

h. Ketersediaan di pasaran
Formularium rumah sakit disusun mengacu pada Formularium Nasional.

Formularium rumah sakit berisi daftar obat yang disusun mengacu pada

Formularium Nasional dan telah disepakati oleh staf medis rumah sakit, disusun

oleh Tim Farmasi dan Terapi (TFT) dan ditetapkan oleh pimpinan rumah sakit.

2.4.2 Perencanaan

Perencanaan kebutuhan merupakan suatu kegiatan untuk menentukan jenis,

jumlah dan periode pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis

habis pakai sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya

kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan efisien. Tahap perencanaan

bertujuan untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang

dapat dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan

antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan

epidemiologi dan disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Adapun pedoman

dalam pembuatan perencanaan harus mempertimbangkan anggaran yang tersedia,

penetapan prioritas, sisa persediaan, data pemakaian periode yang lalu, waktu

tunggu pemesanan dan rencana pengembangan (Menkes RI, 2016).

Badan Pengawasan Obat dan Makanan menyebutkan bahwa perencanaan

kebutuhan obat adalah salah satu aspek penting dan menentukan dalam

pengelolaan obat karena perencanaan kebutuhan akan mempengaruhi pengadaan,

pendistribusian, dan penggunaan obat di unit pelayanan kesehatan (Depkes RI,

2004).
Perencanaan merupakan tahap awal pada pengadaan obat. Ada beberapa

macam metode perencanaan yaitu:

a. Metode morbiditas/epidemiologi:

Metode ini diterapkan berdasarkan jumlah kebutuhan perbekalan farmasi

yang digunakan untuk beban kesakitan (morbidity load), yang didasarkan pada

pola penyakit, perkiraan kenaikan kunjungan dan waktu tunggu (lead time).

Persyaratan utama dalam metode ini adalah rumah sakit harus sudah memiliki

standar pengobatan, sebagai dasar untuk penetapan obat yang akan digunakan

berdasarkan penyakit.

Metode morbiditas/epidemiologi memiliki keunggulan dalam

memperkirakan kebutuhan mendekati kebenaran, standar pengobatan mendukung

usaha memperbaiki pola penggunaan obat, dan kelemahan dari metode ini adalah

membutuhkan waktu dan tenaga terampil dan data penyakit sulit diperoleh secara

pasti

b. Metode konsumsi

Metode ini diterapkan berdasarkan data riel konsumsi perbekalan farmasi

periode yang lalu, dengan berbagai penyesuaian dan koreksi. Hal yang harus

diperhatikan dalam menghitung jumlah perbekalan farmasi yang dibutuhkan,

yaitu dengan melakukan pengumpulan dan pengolahan data, analisa data untuk

informasi dan evaluasi, perhitungan perkiraan kebutuhan perbekalan farmasi, dan

penyesuaian jumlah kebutuhan perbekalan farmasi dengan alokasi dana. Adapun

yang termasuk dalam jenis data alokasi dana, daftar obat, stok awal, penerimaan,

pengeluaran, dan sisa stok, kadaluwarsa, obat kosong, stok pengaman.


Metode konsumsi memiliki kelebihan dalam pengambilan data yang

paling mudah dan akurat, tidak perlu data penyakit dan standar pengobatan,

kekurangan dan kelebihan obat sangat kecil. Kekurangan dari metode ini data

konsumsi, obat dan jumlah kontak pasien sulit didapat, tidak dapat digunakan

untuk dasar penggunaan obat dan perbaikan pola peresepan . Rumus yang

digunakan dalam metode konsumsi adalah:

A = (B+C+D) – E

Keterangan : A = Rencana pengadaan

B = Pemakaian rata-rata x 12 bulan

C = Stok Pengaman 10% - 20% atau sesuai kebijakan RS

D = Waktu tunggu E = Sisa stok

c. Metode Gabungan:

Yaitu gabungan dari mordibitas dan konsumsi. Metode ini untuk menutupi

kelemahan kedua metode tersebut (mordibitas dan konsumsi). Kelebihan metode

gabungan: Metode gabungan ini untuk menutupi kelemahan metode mordibitas

dan konsumsi (Hassan, 1986).

2.4.3 Pengadaan

Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan

perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan,

jumlah dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar

mutu. Pengadaan merupakan kegiatan yang berkesinambungan dimulai dari

pemilihan, penentuan jumlah yang dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan dan

dana, pemilihan metode pengadaan, pemilihan pemasok, penentuan spesifikasi

kontrak, pemantauan proses pengadaan dan pembayaran (Menkes RI, 2016).


Berdasarkan Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2015 tentang perubahan

keempat atas Peraturan Presiden no. 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang dan

jasa Pemerintah. Pemilihan pengadaan obat dilakukan melalui pembelian secara e-

purchasing dengan sistem e-catalgue. Prinsip pemilihan penyedia barang/jasa

secara elektronik bertujuan untuk efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing,

adil/tidak diskriminatif dan akuntabel.

Tahap pengadaan merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk

memperoleh obat yang dibutuhkan dengan harga yang layak, mutu baik,

pengiriman obat terjamin dan tepat waktu, proses berjalan lancar dan tidak

memerlukan waktu dan tenaga yang berlebihan (Quick, 1997). Selain itu tahap

pengadaan juga memegang peranan penting karena dengan pengadaan rumah sakit

yang baik dan sesuai maka akan mendapatkan obat dengan harga, mutu, dan

jumlah yang sesuai dengan kebutuhan. Maka dari itu rumah sakit tidak dapat

memenuhi kebutuhan pasien jika persediaan obat tidak ada, hal ini dapat berakibat

fatal bagi pasien dan akan mengurangi keuntungan yang seharusnya dapat

diterima di rumah sakit (Indriawati, 2001).

Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan

Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah untuk menentukan sistem pengadaan

perlu mempertimbangkan jenis, sifat, dan nilai barang/jasa yang ada.

Proses pengadaan terdiri dari beberapa langkah yang dimulai dengan

mereview daftar obat-obatan yang diadakan, menentukan jumlah item yang akan

dibeli, menyesuaikan dengan situasi keuangan, memilih metode pengadaan,

memilih rekanan, membuat syarat kontrak kerja, memonitor pengiriman barang

dan memeriksa, melakukan pembayaran serta menyimpan yang kemudian


didistribusikan. Agar proses pengadaan berjalan lancar dengan manjemen yang

baik maka memerlukan struktur komponen berupa personel yang terlatih dan

menguasai permasalahan pengadaan, adanya prosedur yang jelas dan

terdokumentasi didasarkan pada pedoman baku, sistem informasi yang baik,

didukung oleh dana dan fasilitas yang memadai (Indriawati, 2001).

Proses pengadaan dapat dilaksanakan dengan tiga elemen penting sehingga

diperoleh pengadaan yang baik, antara lain:

a. Metode pengadaan yang dipilih, bila tidak teliti dapat menjadikan biaya

tinggi.

b. Penyusunan dan persyaratan kontrak kerja, sangat penting untuk menjaga


agar pelaksanaan pengadaan terjamin mutu, waktu dan kelancaran bagi
semua pihak.
c. Order pemesanan, agar barang sesuai macam, waktu dan tempat (Utomo,
2006).
2.4.4 Penyimpanan

Penyimpanan merupakan suatu kegiatan pengaturan perbekalan farmasi

menurut persyaratan yang ditetapkan antara lain berdasarkan bentuk sediaan dan

jenisnya, suhu dan kestabilannya, mudah tidaknya meledak/terbakar, dan

tahan/tidaknya terhadap cahaya, disertai dengan sistem informasi yang selalu

menjamin ketersediaan perbekalan farmasi sesuai kebutuhan.

Tahap penyimpanan memiliki tujuan dalam mempertahankan kualitas obat,

mengoptimalkan manajemen persediaan, memberikan informasi kebutuhan obat

yang akan datang, melindungi permintaan yang naik turun, melindungi pelayanan

dari pengiriman yang terlambat, menambah keuntungan bila pembelian banyak,

menghemat biaya pemesanan, dan mengurangi kerusakan dan kehilangan.


Kegiatan dari penyimpanan, penyaluran dan pemeliharaan yang dilakukan

dapat diuraikan sebagai berikut : (Indriawati, 2001).

a. Menerima obat/barang dan dokumen-dokumen pendukungnya antara lain

surat pesanan/surat kontrak, surat kiriman, faktur obat/barang.

b. Memeriksa obat/barang dengan dokumen-dokumen yang bersangkutan

baik dari segi jumlah, mutu, expire date, merk, harga, dan spesifikasi lain

bila diperlukan, pentingnya meneliti barang-barang adalah sangat perlu

untuk menjamin kebenaran dari spesifikasi kuantitas dan kualitas barang

yang diterima.

c. Menyimpan obat sesuai ketentuan:

i. Perlu diperhatikan lokasi dari tempat penyimpanan digudang dan

menjamin bahwa obat yang disimpan mudah diperoleh dan

mengaturnya sesuai penggolongan barang, kelas terapi obat/khasiat

obat dan sesuai abjad.

ii. Perlu diperhatikan untuk obat-obatan dengan syarat penyimpanan

khusus, obat-obat thermolabiel, dan expire date obat.

d. Mengadministrasikan keluar masuknya obat dengan tertib.

e. Menjaga kebersihan dan kerapian ruang kerja dan tempat

penyimpanan/gudang.

Sistem penyimpanan obat di instalasi farmasi terdiri dari sistem First In

First Out (FIFO) yaitu obat yang datang kemudian diletakkan dibelakang obat

yang terdahulu dan sistem First Expired First Out (FEFO) yaitu obat yang

mempunyai tanggal kadaluarsa lebih dahulu diletakkan didepan obat yang

mempunyai tanggal kadaluarsa kemudian. Ada beberapa cara penempatan obat


yang dapat dilakukan yaitu menurut jenisnya, menurut abjad, menurut pabrik

yang memproduksi dan menurut khasiat farmakoterapinya (Indriawati, 2001).

2.4.5 Distribusi

Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka

menyalurkan/menyerahkan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis

pakai dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan/pasien dengan tetap

menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah dan ketepatan waktu. Rumah sakit harus

menentukan sistem distribusi yang dapat menjamin terlaksananya pengawasan

dan pengendalian sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai di

unit pelayanan (Menkes RI, 2016).

Sistem distribusi di unit pelayanan dapat dilakukan dengan beberapa cara

yaitu:

a. Sistem persediaan lengkap di ruangan (floor stock)

b. Sistem resep perorangan

c. Sistem unit dosis

d. Sistem kombinasi

Sistem distribusi Unit Dose Dispensing (UDD) sangat dianjurkan untuk

pasien rawat inap mengingat dengan sistem ini tingkat kesalahan pemberian obat

dapat diminimalkan sampai kurang dari 5% dibandingkan dengan sistem floor

stock atau resep individu yang mencapai 18%.

Sistem distribusi dirancang atas dasar kemudahan untuk dijangkau oleh

pasien dengan mempertimbangkan beberapa hal, antara lain:

a. Efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada

b. Metode sentralisasi atau desentralisasi (Menkes RI, 2016).


2.4.6 Penggunaan

Penggunaan obat adalah proses yang meliputi peresepan oleh dokter,

pelayanan obat oleh farmasi serta penggunaan obat oleh pasien. Seorang dokter

diharapkan membuat peresepan yang rasional, dengan indikasi yang tepat, dosis

yang tepat, memperhatikan efek sampig dan kontra indikasinya serta

mempertimbangkan harga dan kewajarannya. Obat yang ditulis dokter pada resep

selanjutnya menjadi tugas farmasi untuk menyiapkan dan menyerahkan kepada

pasien (Quick, 1997).

Penggunaan obat dikatakan rasional apabila memenuhi kriteria obat yang

benar, indikasi yang tepat, obat yang manjur, aman, cocok untuk pasien dan biaya

terjangkau, ketepatan dosis, cara pemakaian dan lama yang sesuai, sesuai dengan

kondisi pasien, tepat pelayanan, serta ditaati oleh pasien.

Manfaat penggunaan obat yang rasional adalah meningkatkan mutu

pelayanan, mencegah pemborosan sumber dana, dan meningkatkan akses terhadap

obat esensial. Sebaliknya penggunaan obat dikatakan tidak rasional jika:

a. Pemakaian obat dimana sebenarnya indikasi pemakaiannya secara

medik tidak ada atau samar-samar

b. Pemilihan obat yang keliru untuk indikasi penyakit tertentu

c. Cara pemakaian obat, dosis, frekuensi dan lama pemberian tidak sesuai

d. Pemakaian obat dengan potensi toksisitas atau efek samping lebih besar

padahal obat lain yang sama kemanfaatan (efficacy) dengan potensi

efek samping lebih kecil juga ada

e. Pemakaian obat-obat mahal padahal alternatif yang lebih murah dengan

kemanfaatan dan keamanan yang sama tersedia


f. Tidak memberikan pengobatan yang sudah diketahui dan diterima

kemanfaatan dan keamanannya (established efficacy and safety)

g. Memberikan pengobatan dengan obat-obat yang kemanfaatannya dan

keamanannya masih diragukan

h. Pemakaian obat yang semata-mata didasarkan pada pengalaman

individual tanpa mengacu pada sumber informasi ilmiah yang layak,

atau hanya didasari pada sumber informasi yang diragukan

kebenarannya

Dampak peresepan yang tidak rasional dapat menimbulkan dampak yang

negatif yaitu diantaranya dampak terhadap mutu pengobatan dan pelayanan baik

secara langsung maupun tidak langsung, dampak terhadap biaya pelayanan

pengobatan yang akan sangat dirasakan oleh pasien, dampak terhadap

kemungkinan efek samping obat, dan dampak psikososial (Quick, 1997).

Farmasi RS Universitas Sumatera Utara terdiri dari:

i. Kepala instalasi farmasi

j. Koordinator farmasi

k. Kelompok kerja pelayanan farmasi

l. Kelompok kerja perbekalan farmasi

m. Administrasi keuangan instalasi farmasi


Struktur organisasi instalasi farmasi Rumah Sakit Universitas Sumatera

Utara ditunjukkan pada Gambar 2.2 berikut ini:

Gambar 2.2 Struktur organisasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit Universitas


Sumatera Utara
3.1 Analisis Parameter

Langkah-langkah analisis setiap parameter dalam penelitian ini adalah:

a. Kesesuaian Item Obat yang Tersedia Dengan Formularium Nasional\

Obat yang tersedia di Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara harus

sesuai dengan Formularium Nasional. Data yang diambil berupa Formularium

Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara dan Formularium Nasional.


Rumus Kesesuaian item obat yang tersedia dengan Formularium

Nasional:

Jumlah obat yang sesuai dengan formularium nasional


Total jumlah obat di formularium rumah sakit

b. Frekuensi Pengadaan Tiap Item Obat Pertahun

Data yang diambil untuk menentukan frekuensi pengadaan item obat

pertahun berupa laporan pembelian obat tahun 2018, kemudian hitung berapa

kali tiap item obat tertera dalam laporan pembelian obat tersebut.

c. Ketepatan Jumlah Obat Pada Kartu Stok

Kecocokan jumlah barang nyata dengan kartu stok diperoleh dari jumlah

persediaan terakhir obat yang ada pada kartu stok kemudian dicocokkan

dengan jumlah persediaan obat yang ada di rak atau pallet. Data yang diambil

berupa kartu stok sebanyak 30% dari total seluruh obat yang ada di rumah

sakit. Rumus ketepatan jumlah obat pada kartu stok:

Jumlah item obat yang sesuai dengan kartu stok


× 100%
Jumlah kartu stok yang diambil

d. Sistem Penataan Gudang

Sistem penataan gudang dilakukan melalui pengamatan terhadap sistem

penyimpanan obat dengan cara mengamati nomor batch dan tanggal kadaluarsa

pada obat di rak atau pallet dan tanggal pembelian obat. Data yang diambil

berupa kartu stok sebanyak 30% dari total seluruh obat yang ada di rumah

sakit. Rumus sistem penataan gudang:


Jumlah item obat yang sesuai keadaan barang dalam no batch,
tanggal kadaluarsa dan tanggal pembelian
Jumlah kartu stok yang diambil X
100%

e. Persentase dan nilai obat yang kadaluarsa dan atau rusak

Obat rusak atau kadaluarsa yang ditemukan di rumah sakit

mencerminkan ketidaktepatan perencanaan atau disebabkan karena kurang

baiknya sistem distribusi, kurangnya pengamatan mutu dalam penyimpanan

obat. Data dikumpulkan dari dokumen yang ada di Instalasi Farmasi Rumah

Sakit Universitas Sumatera Utara berupa daftar obat yang rusak/kadaluarsa

dalam satu tahun. Rumus persentase dan nilai obat yang kadaluarsa dan atau

rusak:

Nilai obat kadaluarsa dalam setahun


× 100%
Nilai stok opname

f. Persentase stok mati

Obat stok mati yaitu obat yang selama 3 bulan atau lebih tidak

mengalami transaksi atau tidak digunakan. Data yang diambil berupa kartu

stok sebanyak 30% dari total seluruh obat yang ada di rumah sakit.

Rumus persentase stok mati:

Jumlah obat yang tidak mengalami transaksi (selama 3 bulan)


×
Jumlah obat yang ada stoknya
100%

g. Tingkat Ketersediaan Obat

Tingkat ketersediaan obat adalah tingkat persediaan obat baik jenis

maupun jumlah obat yang diperlukan oleh pelayanan pengobatan dalam


periode waktu tertentu. Data dikumpulkan dari dokumen yang ada di Instalasi

Farmasi Universitas Sumatera Utara berupa jumlah persediaan obat yang

tersedia, pemakaian obat setahun dan pemakaian rata-rata obat per bulan.

Rumus tingkat ketersediaan obat:

Jumlah stok obat + pemakaian obat setahun


× 1 bulan
rata − rata pemakaian obat perbulan

h. Jumlah rata-rata item obat perlembar resep

Data dikumpulkan secara retrospektif berupa pengamatan jumlah obat pada

tiap lembar resep yang terlayani pada tahun 2017 dan 2018. Sampel yang

diambil berupa resep masing-masing 600 lembar resep untuk tahun 2017 dan

2018 di instalasi rawat jalan dan rawat inap.

Total item obat yang ditulis pada


resep Jumlah lembar resep

i. Persentase obat dengan nama generik

Data dikumpulkan secara retrospektif berupa pengamatan jumlah obat

generik pada tiap lembar resep yang terlayani pada tahun 2017 dan 2018.

Sampel yang diambil berupa resep masing-masing 600 lembar resep untuk

tahun 2017 dan 2018 di instalasi rawat jalan dan rawat inap.

Rumus persentase obat dengan nama generik:

Jumlah item obat dengan nama generik


× 100%
Jumlah item obat yang diresepkan

j. Persentase peresepan obat antibiotik

Data dikumpulkan secara retrospektif berupa pengamatan peresepan

antibiotik pada tiap lembar resep yang terlayani pada tahun 2017 dan 2018.
Sampel yang diambil berupa resep masing-masing 600 lembar resep untuk

tahun 2017 dan 2018 di instalasi rawat jalan dan rawat inap.

Rumus persentase peresepan obat antibiotik:

Jumlah pasien yang menerima antibiotik


× 100%
Jumlah total obat yang diresepkan

k. Persentase peresepan injeksi

Data dikumpulkan secara retrospektif berupa pengamatan peresepan

injeksi pada tiap lembar resep yang terlayani pada tahun 2017 dan 2018.

Sampel yang diambil berupa resep masing-masing 600 lembar resep untuk

tahun 2017 dan 2018 di instalasi rawat jalan dan rawat inap.

Rumus persentase peresepan injeksi:

Jumlah pasien yang menerima injeksi


× 100%
Jumlah total obat yang diresepkan

l. Persentase obat yang masuk dalam formularium rumah sakit

Data dikumpulkan secara retrospektif dengan jumlah sampel masing-

masing 600 lembar resep untuk pasien rawat inap dan pasien rawat jalan.

Rumus persentase obat yang masuk dalam formularium rumah sakit:

Jumlah obat yang sesuai dengan formularium rumah sakit


× 100 %
Jumlah obat yang diresepkan

m. Persentase obat yang dapat diserahkan

Data dikumpulkan secara concurrent dengan jumlah sampel yang

diambil sebanyak 100 lembar resep untuk pasien pasien rawat jalan.

Rumus persentase obat yang dapat diserahkan:


Total jumlah item obat yang diserahkan kepada pasien
× 100
Jumlah item obat yang diresepkan
%

n. Persentase obat yang diberi label dengan lengkap

Data dikumpulkan secara concurrent dengan jumlah sampel yang

diambil sebanyak 100 lembar resep untuk pasien pasien rawat jalan.

Rumus persentase obat yang diberi label dengan lengkap:

Jumlah obat dengan etiket yang diberi label dengan lengkap


× 100%
Jumlah total obat yang diberikan kepada pasien
No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
1. Sistem Suatu rangkaian Ketersediaan - - -
pengelolaan kegiatan dimulai Dokumen
obat dari tahap
pemilihan,
perencanaan,
pengadaan,
pendistribusian,
dan penggunaan
obat

2. Pemilihan Proses memilih Formularium Penyesuaian Tingkat Nominal


sejumlah obat Kesesuaian
dengan tujuan
untuk
menghasilkan
penyediaan/penga
daan yang lebih
baik.
3. Perencanaan Menetapkan jenis Ketersediaan Penyesuaian Tingkat Ordinal
dan dan jumlah obat Dokumen Kesesuaian
Pengadaan sesuai kebutuhan;
dan
merealiasasikan
perencanaan
kebutuhan
4. Distrubusi Menyalurkan/men Kartu stok Observasi, Tingkat Nominal
yerah-kan obat pencatatan, Kesesuaian
dari tempat dan
penyimpanan menghitung
sampai kepada persentase
unit
pelayanan/pasien

5. Penggunaan Proses yang Resep Observasi, Tingkat Nominal


meliputi pencatatan, Kesesuaian
peresepan oleh dan
dokter, pelayanan menghitung
obat oleh farmasi, persentase
serta penggunaan
obat oleh pasien

Anda mungkin juga menyukai