Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH MANAJEMEN FARMASI

MANAJEMEN FARMASI DI RUMAH SAKIT

Disusun Oleh :

Evita Peron Yoewono (F.16.010)


Fatimah Sriwati (F.16.011)
Gita Wahyu Lestari (F.16.012)
Hamidah (F.16.013)
Hasbi Humaini (F.16.014)
Iman Setiadi (F.16.015)
Isna (F.16.016)
Kamaliah (F.16.017)

STIKES SARI MULIA BANJARMASIN


TAHUN 2018
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................2
C. Tujuan.........................................................................................................2
D. Manfaat.......................................................................................................2
BAB II ISI................................................................................................................3
A. Siklus Manajemen Obat (Drug Management Cycle)...................................3
B. Seleksi Obat (Selection of Drugs)................................................................4
C. Pengadaan Obat (Drug Procurement).........................................................11
D. Distribusi (Distribution).............................................................................16
E. Penggunaan (Use)......................................................................................25
F. Manajemen Pendukung (Management Support)........................................30
1. Human Capital.....................................................................................30
2. Information Capital..............................................................................33
3. Organizational Capital..........................................................................33
4. Manajemen Keuangan..........................................................................35
BAB III KESIMPULAN........................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................39

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan yang bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan
yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan
pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan
penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan
kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan
berkesinambungan. Konsep kesatuan upaya kesehatan ini menjadi pedoman
dan pegangan bagi semua fasilitas kesehatan di Indonesia, termasuk rumah
sakit. Rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat
dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh pengembangan ilmu
kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Sistem pengelolaan obat harus dipandang sebagai bagian dari
keseluruhan sistem pelayanan di rumah sakit dan diorganisasikan dengan
suatu cara yang dapat memberikan pelayanan berdasarkan aspek keamanan,
efektif, dan ekonomis dalam penggunaan obat sehingga dapat dicapai
efektifitas dan efesiensi pengelolaan obat. Keduannya merupakan konsep
utama yang digunakan untuk mengatur prestasi kerja manajemen. Pengolaan
obat di rumah sakit dibentuk di suatu instalasi farmasi rumah sakit.
Instalasi farmasi rumah sakit (IFRS) merypakan suatu bagian/ unit/
divisi atau fasilitas dirumah sakit, tempat penyelenggaraan semua kegiatan
pekerjaan kefarmasiaan yang ditunjukan untuk keperluaan rumah sakit itu
sendiri. Seperti diketahui, pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan, termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan
dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana siklus manajemen obat di rumah Sakit ?
2. Apa yang dimaksud dengan seleksi obat ?

1
3. Apa yang dimaksud dengan pengadaan obat ?
4. Bagaimana distribusi obat di rumah Sakit ?
5. Bagaimana penggunaan obat di rumah Sakit ?
6. Apa saja manajemen pendukung dalam siklus manajemen obat di rumah
sakit ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui siklus manajemen obat di rumah sakit.
2. Untuk mengetahui seleksi obat di rumah sakit.
3. Untuk mengetahui pengadaan obat di rumah sakit.
4. Untuk mengetahui bagaimana distribusi obat di rumah sakit.
5. Untuk mengetahui penggunaan obat di rumah sakit.
6. Untuk mengetahui manajemen pendukung dalam siklus manajemen obat
di rumah sakit.

D. Manfaat
Manfaat dalam pembuatan makalah ini adalah dapat menambah
pengetahuan bagi penulis dan para pembaca.

2
BAB II
ISI

A. Siklus Manajemen Obat (Drug Management Cycle)


Manajemen obat di rumah sakit merupakan salah satu unsur penting
dalam fungsi manajerial rumah sakit secara keseluruhan karena
ketidakefisienan akan memberikan dampak negatif terhadap rumah sakit, baik
secara medis maupun secara ekonomis. Tujuan manajemen obat di rumah
sakit adalah agar obat yang diperlukan tersedia ketika dibutuhkan, dalam
jumlah yang cukup, mutu yang terjamin, dan harga terjangkau untuk
mendukung pelayanan yang bermutu. Dalam sistem manajemen obat, masing-
masing fungsi utama terbangun berdasarkan fungsi sebelumnya dan
menentukan fungsi selanjutnya.
Siklus manajemen obat mencakup empat tahap, yaitu :
1. Seleksi (Selection)
2. Pengadaan (Procurement)
3. Distribusi (Distribution)
4. Penggunaan (Use)
Masing-masing tahap dalam siklus manajemen obat saling terkait
sehingga harus dikelola dengan baik agar masing-masing dapat dikelola secara
optimal. Tahapan yang saling terkait dalam siklus manajemen obat tersebut
diperlukan suatu sistem suplai yang terorganisir agar kegiatan berjalan baik
dan saling mendukung sehingga ketersediaan obat dapat terjamin yang
mendukung pelayanan kesehatan dan menjadi sumber pendapatan rumah sakit
yang potensial. Siklus manajemen obat disukung oleh faktor-faktor pendukung
manajemen (management support) yang meliputi organisasi, administrasi,
keuangan, Sistem Informasi Manajemen (SIM) dan sumber daya manusia
(SDM). Setiap tahapan siklus manajemen obat harus selalu didukung oleh
keempat management support tersebut sehingga pengelolaan obat dapat
berlangsung secara efektif dan efisien. Siklus manajemen obat dapat dilihat
pada Gambar 1.

3
Gambar 1. Siklus Manajemen Obat

B. Seleksi Obat (Selection of Drugs)


Seleksi merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau masalah
kesehatan yang terjadi di rumah sakit, identifikasi pemilihan terapi, bentuk
dan dosis, menentukan kriteria pemilihan dengan memprioritaskan obat
esensial, standarisasi sampai menjaga dan memperbarui standar obat. Seleksi
adalah proses memilih sejumlah obay dengan rasional di rumah sakit dengan
tujuan menghasilkan penyediaan/pengadaan yang lebih baik, penggunaan obat
yang lebih rasional, dan harga yang lebih rendah.
Penentuan seleksi obat merupakan peran aktif apoteker dalam Panitia
Farmasi dan Terapi untuk menetapkan kualitas dan efektivitas, serta jaminan
purna transaksi pembelian. Pemilihan obat di rumah sakit merujuk pada daftar
obat esensial nasional (DOEN) sesuai dengan kelas rumah sakit masing-
masing, formularium rumah sakit, formularium jaminan kesehatan bagi
masyaraka tmiskin, daftar plafon harga obat (DPHO) Askes dan jaminan sosial
tenaga kerja (Jamsostek). Kriteria pemilihan kebutuhan obat yang baik
meliputi : jenis obat yang dipilih seminimal mungkin dengan cara
menghindari kesamaan jenis, hindari penggunaan obat kombinasi, kecuali jika
obat kombinasi mempunyai efek lebih baik dibanding obat tunggal, apabila
jenis obat banyak, maka kita memilih berdasarkan obat pilihan (drug of
choice) dari penyakit yang prevalensinya tinggi. Seleksi obat bertujuan untuk
menghindari obat yang tidak mempunyai nilai terapetik, mengurangi jumlah
jenis obat dan meningkatkan efisiensi obat yang tersedia.

4
Menurut WHO, tahap-tahap seleksi obat dimulai dengan membuat
daftar masalah kesehatan umum yang dialami (list of common health
problems). Setelah itu menentukan terapi standar untuk memilih obat standar
yang digunakan dan terapi non obatnya. Tahap ketiga melihat daftar obat
esensial yang ada untuk kemudian dibuat daftar obat yang berguna untuk
menyusun formularium. Dari terapi standar yang ada dibuat suatu guideline
terapi untuk menentukan penggunaan obat yang rasional melalui pelatihan,
supervise, dan monitoring. Formularium yang telah disusun digunakan sebagai
sumber informasi obat yang digunakan untuk terapi di rumah sakit. Semua
tahap tersebut bertujuan untuk mendapat ketersediaan dan penggunaan obat
yang lebih rasional.
1. Pedoman Seleksi Obat dari WHO
Pedoman seleksi obat yang dikembangkan dari WHO, yaitu :
a. Dipilih obat yang secara ilmiah, medik, dan statistik memberikan efek
terapi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan resiko efek
sampingnya.
b. Diusahakan jangan terlalu banyak jenis obat yang akan diseleksi
(boros biaya), khususnya obat-obat yang memang bermanfaat untuk
jenis penyakit yang banyak diderita masyarakat. Agar dihindari
duplikasi dan kesamaan jenis obat yang diseleksi.
c. Jika memasukkan obat-obat baru, harus ada bukti yang spesifik bahwa
obat baru yang akan dipilih tersebut memang memberikan terapetik
yang lebih baik dibanding obat pendahulunya.
d. Sediaan kombinasi hanya dipilih jika memang memberikan efek
terapetik yang lebih baik daripada sediaan tunggal.
e. Jika alternatif pilihan obat banyak, pilih drug of choice dari penyakit
yang memang relevansinya tinggi.
f. Pertimbangkan administratif dan biaya yang ditimbulkan, misalnya
biaya penyimpanan.
g. Kontraindikasi, peringatan, dan efek samping juga harus
dipertimbangkan.
h. Dipilih obat yang standar mutunya tinggi.
i. Didasarkan pada nama generiknya dan disesuaikan dengan
formularium.
2. Tujuan Seleksi Obat
Tujuan dari seleksi obat adalah adanya suplai yang menjadi lebih
baik, pemakaian obat lebih rasional, biaya pengobatan lebih terjangkau

5
atau rendah, menghindari obat yang tidak mempunyai nilai terapetik,
mengurangi jumlah jenis obat, meningkatkan efisiensi obat yang tersedia.
Dalam hal ini ada dampak dari seleksi obat yaitu tingginya kualitas
perawatan (quality of care) dan biaya pengobatan lebih efektif.
3. Kriteria Seleksi Obat pada Pengelolaan di Rumah Sakit
a. Dibutuhkan oleh sebagian besar populasi.
b. Berdasar pola prevalensi penyakit (10 penyakit terbesar).
c. Aman dan manjur yang didukung dengan bukti ilmiah
d. Mempunyai manfaat yang maksimal dengan resiko yang minimal
termasuk mempunyai rasio manfaat-biaya yang baik.
e. Mutu terjamin.
f. Sedapat mungkin sediaan tuggal.
4. Kriteria Pemilihan Obat Esensial
Sebagai pembanding dalam seleksi obat, pemerintah melakukan
seleksi obat untuk daftar obat esensial nasional (DOEN), dalam kriteria
pemilihan obat esensial. Pemilihan obat esensial didasarkan pada kriteria
berikut :
a. Mempunyai rasio manfaat-resiko (benefit-risk ratio) yang paling
menguntungkan bagi pasien.
b. Kualitas harus terjamin, termasuk stabilitas dan bioavaibilitas.
c. Praktis dan mudah dalam penyimpanan dan pengangkutan.
d. Praktis dalam penggunaan dan penyerahan sesuai dengan tenaga,
sarana, dan fasilitas kesehatan.
e. Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penggunaan oleh pasien.
f. Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) (farmakoekonomi)
yang tertinggi berdasarkan biaya langsung (direct cost) dan tidak
langsung (indirect cost).
g. Apabila memiliki lebih dari satu pilihan yang mempunyai efek terapi
yang serupa, maka pilihan dijatuhkan pada :
1) Obat yang sifatnya paling banyak diketahui berdasarkan bukti
ilmiah.
2) Obat dengan sifat farmakokinetik yang diketahui paling
menguntungkan.
3) Obat yang memiliki stabilitas lebih baik.
4) Mudah untuk didapatkan.
5) Obat yang telah dikenal.
h. Obat yang jadi kombinasi tetap harus memenuhi kriteria berikut :
1) Obat hanya bermanfaat bagi pasien dalam bentuk kombinasi tetap.
2) Kombinasi tetap harus menunjukkan khasiat dan keamanan yang
lebih tinggi daripada masing-masing komponen.

6
3) Perbandingan dosis komponen kombinasi tetap merupakan
perbandingan yang tepat untuk sebagian besar pasien yang
memerlukan kombinasi tersebut.
4) Kombinasi tetap harus meningkatkan rasio manfaat-biaya (benefit-
cost ratio).
5) Untuk antibiotika kombinasi tetap harus dapat mencegah atau
mengurangi terjadinya resistensi dan efek merugikan lainnya.
5. Kriteria Penambahan dan Pengurangan
Dalam hal penambahan obat baru perlu dipertimbangkan untuk
menghapus obat dengan indikasi sama yang tidak lagi merupakan pilihan,
kecuali ada alasan kuat untuk mempertahankannya. Obat program
diusulkan oleh pengelola program dan akan dinilai sesuai kriteria
pemilihan obat esensial. Dalam pelaksanaan revisi seluruh obat yang ada
dalam DOEN edisi sebelumnya dikaji oleh Komite Nasional (Komnas)
Penyusunan DOEN. Hal ini memungkinkan untuk mengeluarkan obat-obat
yang dianggap sudah tidak efektif lagi atau sudah ada pengganti yang
lebih baik. Untuk obat yang sulit diperoleh dipasaran, tetapi esensial, maka
akan tetap dicantumkan dalam DOEN. Selanjutnya diupayakan pemerintah
untuk menjamin ketersediannya. Obat yang baru diusulkan harus memiliki
bukti ilmiah terkini (evidence based medicine), telah jelas efikasi dan
keamanan, serta keterjangkauan harganya. Dalam hal ini obat yang telah
tersedia dalam nama generik menjadi prioritas pemilihan.
6. Sistem Formularium
Sistem formularium merupakan suatu metode yang digunakan oleh
staf medik rumah sakit yang bekerja melaui PFT (Panitia Farmasi dan
Terapi), mengevaluasi, menilai, dan memilih dari berbagai zat aktif obat
dan produk obat yang tersedia, yang dianggap paling berguna dalam
perawatan pasien. Produk sistem formularium antara lain adalah Standar
terapi, Formulary list, dan Formularium manual.
a. Evaluasi Formularium
Formularium rumah sakit dapat dievaluasi dengan mengetahui :
1) Tingkat kepatuhan terhadap formularium
2) Persentase usulan kebijakan PFT yang diakomodasi direktur
3) Evaluasi penggunaan obat
4) Evaluasi formularium
5) Penetapan kriteria seleksi
6) standarisasi

7
b. Standarisasi Formularium
Dalam proses standarisasi formularium, dapat kita lakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut :
1) Menentukan manufaktur atau suplier yang memenuhi persyaratan
sesuai kriteria seleksi.
2) Melakukan sosialisasi tentang standarisasi obat pada SMF dan staf
farmasi.
3) Membuat matrik manufaktur atau suplier berdasar kriteria seleksi.
4) Menentukan cut of point.
5) Mengambil kesimpulan.
6) Dihasilkan formularium rumah sakit.
7. Panitia Farmasi dan Terapi
Panitia Farmasi dan Terapi adalah tim yang mewakili hubungan
komunikasi antara para staf medis dengan staf farmasi sehingga
anggotanya terdiri atas dokter yang mewakili spesialisasi-spesialisasi yang
ada di rumah sakit dan apoteker wakil dari farmasi rumah sakit, serta
tenaga kesehatan lainnya.
Susunan kepanitiaan Panitia Farmasi dan Terapi serta kegiatan
yang dilakukan bagi tiap rumah sakit dapat bervariasi sesuai dengan
kondisi rumah sakit setempat. Panitia Farmasi dan Terapi harus sekurang-
kurangnya terdiri atas 3 dokter, apoteker dan perawat. Untuk rumah sakit
yang besar tenaga dokter bisa lebih dari tiga orang yang mewakili semua
staf medis fungsional yang ada. Ketua Panitia Farmasi dan Terapi dipilih
dari dokter yang ada di dalam kepanitiaan dan jika rumah sakit tersebut
mempunyai ahli farmakologi klinik, maka sebagai ketua adalah dari
farmakologi. Sekretarisnya adalah apoteker dari instalasi farmasi atau
apoteker yang ditunjuk. Panitia Farmasi dan Terapi harus mengadakan
rapat secara teratur, sedikitnya 2 bulan sekali dan untuk rumah sakit besar
rapatnya diadakan sebulan sekali. Rapat Panitia Farmasi dan Terap dapat
mengundang pakar-pakar dari dalam maupun dari luar rumah sakit yang
dapat memberikan masukan bagi pengelolaan PFT.
a. Tujuan PFT
Tujuan dari PFT adalah menerbitkan kebijakan-kebijakan
mengenai pemilihan obat, penggunaan obat serta evaluasinya dan
melengkapi staf profesional di bidang kesehatan dengan pengetahuan

8
terbaru yang berhubungan dengan obat dan penggunaan obat sesuai
dengan kebutuhan.
b. Fungsi dan Ruang Lingkup PFT
1) Mengembangkan formularium di rumah sakit dan merevisinya,
pemilihan obat untuk dimasukkan dalam formularium harus
didasarkan pada evaluasi secara subjektif terhadap efek terapi,
keamanan serta harga obat dan juga harus meminimalkan duplikasi
dalam tipe obat, kelompok dan produk obat yang sama.
2) PFT harus mengevaluasi untuk menyetujui atau menola produk
obat baru atau dosis obat yang diusulkan oleh anggota staf medis.
3) Menetapkan pengelolaan obat yang digunakan di rumah sakit dan
yang termasuk dalam kategori khusus.
4) Membantu instalasi farmasi dalam mengembangkan tinjauan
terhadap kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan mengenai
penggunaan obat di rumah sakit sesuai peraturan yang berlaku
secara lokal maupun nasional.
5) Melakukan tinjauan terhadap penggunaan obat di rumah sakit
dengan mengkaji medical record dibandingkan dengan standar
diagnosa dan terapi, tinjauan ini dimaksudkan untuk meningkatkan
secara terus-menerus penggunaan obat secara rasional.
6) Mengumpulkan dan meninjau laporan mengenai efek samping
obat.
7) Menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang menyangkut obat kepada
staf medis dan perawat.
c. Peran PFT
Peran PFT adalah mengoptimalkan penggunaan obat yang rasional
dengan jalan mengevaluasi penggunaan obat di klinik,
mengembangkan kebijakan pengelolaan obat, dan mengelola sistem
formularium. PFT bertanggung jawab untuk mempromosikan
penggunaan obat yang rasional melalui pendidikan staf profesional,
pasien dan keluarganya.
8. Standar Terapi
Standar terapi merupakan standar untuk mendiagnosis dan
memberi terapi yang tepat. Di rumah sakit dicari secara epidemiologi yang
merupakan 10 penyakit dengan prevalensi tinggi tiap spesialisasi. Berisi
nama penyakit, patofisiologi, etiologi, gejala klinik, diagnosis (anamnesis,

9
pasien fisik, pasien penunjang), diagnosis banding, penatalaksanaan
(farmakologi, nonfarmakologi).

C. Pengadaan Obat (Drug Procurement)


Pengadaan barang dan jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang
dan jasa oleh kementerian lembaga satuan kerja perangkat daerah institusi
yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya
seluruh kegiatan untuk memperoleh barang dan jasa. Pengadaan merupakan
kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah direncanakan dan
disetujui melalui pembelian, produksi atau pembuatan sediaan farmasi, dan
sumbangan atau hibah. Tujuan pengadaan adalah untuk mendapatkan
perbekalan farmasi dengan harga yang layak, mutu yang baik, pengiriman
barang yang terjamin tepat waktu, proses berjalan lancar dan tidak
memerlukan tenaga serta waktu yang berlebihan. Secara umum, pengadaan
obat di rumah sakit dapat dilakukan dengan cara tahunan, triwulan, mingguan.
Dalam menentukan jumlah pengadaan perlu diketahui adanya stok minimum
dan maksimum, stok rata-rata, stok pengamanan, reordering level, economic
order quantity, waktu tunggu dan batas kadaluwarsa. Beberapa jenis obat dan
bahan aktif yang mempunyai kadaluwarsa relatif pendek harus diperhatikan
waktu pengadaannya, untuk itu harus dihindari pengadaan dalam jumlah
besar.
Pengadaan obat merupakan suatu proses dari penentuan item obat dan
jumlah tiap item berdasarkan perencanaan yang telah dibuat, pemilihan
pemasok penulisan surat pesanan (SP) hingga SP diterima pemasok.
Tujuannya adalah memperoleh obat yang dibutuhkan dengan harga yang
layak, mutu baik, pengiriman obat terjamin tepat waktu, proses berjalan
lancar, tidak memerlukan waktu dan tenaga yang berlebihan.
Menurut WHO (1996), pengadaan obat merupakan bagian terbesar dari
anggaran kesehatan. Di negara maju, biaya obat berkisar 10-15% dari
anggaran kesehatan. Sementara di negara berkembang, biaya ini lebih besar
lagi antara 35-65%, sedangkan di Indonesia 39%. Tanggung jawab pengadaan
obat esensial untuk pelayaan kesehatan dasar bukan lagi menjadi tanggung

10
jawab pemerintah pusat, melainkan menjadi tanggung jawab pemerintah
daerah kabupaten/kota.
Tujuan pengadaan obat adalah tersedianya obat dengan jenis dan
jumlah yang cukup sesuai kebutuhan pelayanan kesehatan dengan mutu yang
terjamin serta dapat diperoleh pada saat diperlukan. Hal-hal yang perlu
diperhatikan pada pengadaan ini adalah kriteria obat, persyaratan pemasok,
penentuan waktu pengadaan dan kedatangan obat serta penerimaan dan
pemeriksaan obat.
1. Kriteria atau Persyaratan Pemasok
Pemilihan pemasok secara hati-hati penting karena dapat
mempengaruhi, baik kualitas maupun biaya obat yang dibutuhkan. Untuk
pemilihan pemasok perlu diperhatikan/dibatasi dengan hal-hal sebagai
berikut :
a. Memilih izin pedagang besar farmasi atau industri farmasi.
b. Bagi pedagang besar farmasi (PBF) harus mendapatkan dukungan dari
industri farmasi yang memiliki sertifikat CPOB (Cara Pembuatan Obat
yang Baik) atau c-GMP.
c. Bagi industri farmasi harus yang telah memiliki sertifikat CPOB.
d. Pedagang besar farmasi atau industri farmasi sebagai supplier harus
memiliki reputasi yang baik dalam bidang pengadaan obat.
e. Pemilik dan/atau apoteker penanggung jawab PBF, apoteker
penanggung jawab produksi dan quality control industri farmasi tidak
dalam proses pengadilan atau tindakan yang berkaitan dengan profesi
kefarmasian.
2. Penentuan Waktu Pengadaan dan Kedatangan Obat
Waktu pengadaan dan waktu kedatangan obat dari berbagai sumber
anggaran perlu ditetapkan atau diusulkan oleh Unit Pengelola Obat
(UPO)/gudang farmasi, berdasarkan hasil analisis data :
a. Sisa stok
b. Jumlah obat yang akan diterima sampai dengan akhir tahun anggaran
c. Frekuensi pemakaian indeks musiman
d. Waktu tunggu/lead time.
Berdasarkan data tersebut dapat dibuat :
a. Bagan pemakaian/penggunaan obat
b. Penetapan waktu pesan dan waktu kedatangan obat
3. Metode Pengadaan Obat
Dalam proses pengadaan ada 3 hal penting yang harus
diperhatikan, yaitu:

11
a. Pengadaan yang dipilih, bila tidak teliti dapat menjadikan “biaya
tinggi”;
b. Penyusunan dan persyaratan kontrak kerja sangat penting untuk
menjaga agar pelaksanaan pengadaan terjamin mutu (misalnya
persyaratan masa kadaluwarsa, sertifikat analisis/standar mutu, harus
mempunyai Material Safety Data Sheet (MSDS) untuk bahan
berbahaya, khusus untuk alat kesehatan harus mempunyai certificate
of origin;
c. Waktu dan kelancaran bagi semua pihak dan lain-lain.
Pengadaan/pembelian perbekalan farmasi dapat dilakukan melalui
beberapa cara, yaitu:
a. Pembelian
Pembelian merupakan rangkaian proses pengadaan untuk
mendapatkan perbekalan farmasi.
Pengadaan adalah proses penyediaan obat yang bertujuan untuk
mendapatkan obat dengan harga yang wajar, mutu yang baik,
pengiriman yang tepat waktu. Menurut Quick, et al., (2012), agar
proses pengadaan dapat berjalan lancar dan teratur, maka diperlukan
struktur komponen berupa personil yang terlatih dan menguasai
masalah pengadaan, metode dan prosedur yang jelas, sistem informasi
yang baik serta didukung dengan dana dan fasilitas yang memadai.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengadaan adalah penentuan
pemasok, penentuan jumlah item obat, jumlah barang tiap item obat
dan kelengkapan surat pesanan atau kontrak, negosiasi harga, kapan
dipesan dan cara pembayaran. Keadaan ini harus diperhatikan karena
keluaran dari tahap pengadaan akan dapat dimonitor pada tahap
penyimpanan. Pengadaan persediaan sangat penting karena diharapkan
dapat memperoleh manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan
biaya-biaya yang ada. Pengadaan obat pada 2009-2012 diatur dalam
Perpres No. 54 Tahun 2010, di mana diatur pelaksanaan pengadaan
barang dan jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dari anggaran
BLUD. Tujuannya adalah agar pelaksanaan pengadaan barang/jasa
yang sebagian atau seluruhnya dibiayai anggaran BLUD dilakukan

12
secara efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak
diskriminatif, dan akuntabel.
Khusus untuk pengadaan obat, diatur dengan ketentuan-ketentuan
dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa instansi pemerintahan.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam tahap pengadaan, antara
lain sebagai berikut:
1) Memilih Metode pengadaan yang paling menguntungkan.
Ada empat metode dalam pengadaan perbekalan farmasi, yaitu
sebagai berikut :
a) Open Tender (Tender secara terbuka)
Open tender adalah suatu prosedur formal pengadaan obat
yang dilakukan dengan cara mengundang berbagai distributor,
baik nasional maupun internasional. Metode ini dilakukan
dalam jangka waktu tertentu, misalnya 2-3 kali setahun. Hal ini
disebabkan karena proses tender memerlukan waktu yang lama
dan harganya lebih murah. Selain itu biasanya metode ini
dipakai oleh pemerintah karena khusus sesuai sistemnya. Jadi,
untuk nominal tertentu dapat melakukan pengadaan dalam
jumlah tertentu pula.
b) Restricted Tender (Tender terbatas)
Metode ini dilakukan pada lingkungan yang terbatas, tidak
diumumkan di koran, biasanya berdasarkan kenalan,
nominalnya tidak banyak, serta sering ada yang melakukan
pengaturan tender, yaitu penawaran tertutup atau efektif, para
penyalur yang tertarik harus menerima semua persyaratan yang
diajukan, melalui suatu proses formal prekualifikasi yang
mengacu pada good manufacturing practices (GMPS).
Performa supply terdahulu, dan kekuatan finansial.
c) Competitive Negotiation (Kontrak)
Pembeli membuat persetujuan dengan pihak supplier untuk
mendapatkan harga khusus atau persetujuan pelayanan dan
pembeli dapat membayar dengan harga termurah. Metode
kontrak jauh lebih menguntungkan karena pihak rumah sakit
dapat melakukan negosiasi langsung dengan pabrik sehingga
dapat mengurangi dana (diskon).
d) Direct Procurement

13
Direct procurement adalah cara paling mudah dan
sederhana, tetapi cenderung lebih mahal karena jarang
memperoleh diskon. Ciri dari metode pengadaan langsung
adalah pihak rumah sakit secara langsung melakukan
pengadaan perbekalan farmasi (setelah barang habis) kepada
pihak PBF.
2) Melakukan negosiasi atas dasar kualitas, jaminan ketersediaan,
pelayanan purna jual, dan harga yang wajar.
3) Membuat kontrak yang spesifik sesuai hasil negosiasi.
4) Memonitor surat pesanan yang dibuat.
5) Memastikan kesesuain antara surat pesanan, spesifikasi barang, dan
dokumen pendukung yang menyertai.
6) Melakukan pembayaran sesuai waktu yang telah disepakati.
b. Produksi / pembuatan Sediaan Farmasi
Produksi sediaan farmasi di rumah sakit merupakan kegiatan
membuat, mengubah bentuk, dan pengemasan kembali sediaan farmasi
steril atau nonsteril untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan
di rumah sakit. Kriteria perbekalan farmasi yang diproduksi di rumah
sakit adalah :
1) Sediaan farmasi dengan formula khusus
2) Sediaan farmasi dengan mutu sesuai standar dengan harga lebih
murah
3) Sediaan farmasi dengan kemasan yang lebih kecil
4) Sediaan farmasi yang tidak tersedia dipasaran
5) Sediaan farmasi untuk penelitian
6) Sediaan nutrisi parenteral
7) Rekontruksi sediaan obat kanker
8) Sediaan farmasi yang harus selalu dibuat baru

Jenis sediaan farmasi yang diproduksi :


1) Produksi Steril
Persyaratan teknis untuk produksi steril :
a) Ruangan aseptis
b) Peralatan: contohnya LAF, autoclave, oven, alat pelindung diri.
c) SDM : Petugas terlatih.
2) Produksi Nonsteril
a) Pembuatan puyer
b) Pembuatan sirup
c) Pengemasan kembali
d) Pengenceran

14
Persyaratan teknis produksi nonsteril :
a) Ruangan khusus untuk pembuatan
b) Peralatan : peracikan, pengemasan.
c) SDM : Petugas terlatih.
c. Sumbangan / Dropping / Hibah
Pada prinsipnya pengelolaan perbekalan farmasi dari hibah
mengikuti kaidah umum pengelolaan perbekalan farmasi regular.
Sumbangan bisa berasal dari pemerintah atau APBN. Contoh: pada
program pemberantasan penyakit HIV/AIDS dan TB Paru, terdapat
beberapa obat yang di cover oleh pemerintah.

D. Distribusi (Distribution)
Sistem distribusi obat di rumah sakit adalah tatanan jaringan sarana,
personel, prosedur, dan jaminan mutu yang serasi, terpadu dan berorientasi
penderita dalam kegiatan penyampaian sediaan obat beserta informasinya
kepada penderita. Sistem distribusi obat mencakup penghantaran sediaan obat
yang telah di-dispensing IFRS ke daerah tempat perawatan penderita dengan
keamanan dan ketepatan obat, ketepatan penderita, ketepatan jadwal, tanggal,
waktu dan metode pemberian dan ketepatan personel pemberi obat kepada
penderita serta keutuhan mutu obat.
1. Sistem Distribusi Obat untuk Pasien Rawat Inap/Tinggal
Pada dasarnya ada beberapa jenis sistem distribusi obat untuk
penderita rawat tinggal (PRT), beberapa jenis tersebut adalah sebagai
berikut :
a. Sistem Distribusi Obat Resep Individu Sentralisasi
Resep individu adalah order resep yang ditulis dokter untuk tiap
penderita, sedangkan sentralisasi adalah semua order atau resep
tersebut yang disiapkan dan didistribusikan dari IFRS sentral sesuai
dengan yang ditulis pada resep/order atas nama PRT tertentu melalui
perawat ke ruang penderita tersebut.
Dalam sistem ini, semua obat yang diperlukan untuk pengobatan
di-dispensing dari IFRS. Resep orisinal oleh perawat dikirim ke IFRS,
kemudian order/resep tersebut diproses sesuai dengan kaidah “cara
dispensing yang baik dan obat disiapkan untuk didistribusikan kepada
penderita tertentu”.
1) Keuntungan

15
a) Semua resep/order dikaji langsung oleh apoteker, yang juga
dapat memberi keterangan atau informasi kepada perawat
berkaitan dengan obat penderita.
b) Memberi kesempatan interaksi profesional antara apoteker-
dokter-perawat-penderita.
c) Memungkinkan pengendalian yang lebih dekat atas perbekalan.
d) Mempermudah penagihan obat penderita.
2) Keterbatasan
Kemungkinan keterlambatan sediaan obat sampai pada
penderita. Jumlah kebutuhan personil di IFRS meningkat.
Memerlukan jumlah perawat dan waktu yang lebih banyak untuk
penyiapan obat di ruang pada waktu konsumi obat. Terjadinya
kesalahan obat karena kurangnya pemeriksaan pada waktu
penyiapan konsumsi
b. Sistem Distribusi Obat Persediaan Lengkap di Ruang (Floor Stock)
Dalam sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang, semua
obat yang dibutuhkan penderita tersedia dalam ruang tersebut, kecuali
obat yang jarang digunakan atau obat yang sangat mahal. Persediaan
obat di ruang dipasok oleh IFRS. Biasanya, seminggu sekali personil
IFRS memeriksa persediaan obat di ruang, lalu menambah persediaan
obat yang persediaannya sudah sampai tanda batas pengisian kembali.
Obat yang di-dispensing dibawah sistem ini terdiri atas obat
penggunaan umum yang biayanya dibebankan pada biaya paket
perawatan menyeluruh dan order obat yang harus dibayar sebagai
biaya obat. Obat penggunaan umum ini terdiri atas obat yang tertera
dalam daftar yang telah ditetapkan oleh PFT dan IFRS yang tersedia di
unit perawat, misalnya kapas pembersih luka, larutan antiseptik, dan
obat tidur. Biasanya, obat ini dibayar sebagai bagian dari biaya
pelayanan perawatan. Obat yang harus dibayar tersedia pada tiap unit
perawat dan penderita yang menggunakannya akan membayarnya
sebagai biaya obat.
Definisi dari sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang
adalah tatanan kegiatan penghantaran sediaan obat sesuai dengan yang
ditulis dokter pada order obat, yang disiapkan dari persediaan di ruang

16
oleh perawat dan dengan mengambil dosis/unit obat dari persediaan
yang langsung diberikan kepada penderita di ruang itu.
1) Keuntungan
a) Obat yang diperlukan segera tersedia bagi penderita.
b) Peniadaan pengembalian obat yang tidak terpakai ke IFRS.
c) Pengurangan penyalinan kembali order obat.
d) Pengurangan jumlah personil IFRS diperlukan.

2) Keterbatasan
a) Kesalahan obat sangat meningkat karena order obat tidak dikaji
oleh apoteker. Di samping itu, penyiapan obat dan konsumsi
obat dilakukan oleh perawat sendiri, tidak ada pemeriksaan
ganda.
b) Persediaan obat di unit perawat meningkat dengan fasilitas
ruangan yang sangat terbatas. Pengendalian persediaan dan
mutu kurang diperhatikan oleh perawat. Akibatnya,
penyimpanan yang tidak teratur, mutu obat cepat merosot, dan
tanggal kedaluwarsa kurang diperhatikan sehingga sering
terjadi sediaan obat yang tak terpakai karena telah kedaluwarsa.
c) Pencurian obat meningkat.
d) Meningkatnya bahaya karena kerusakan obat.
e) Penambahan modal investasi untuk menyediakan fasilitas
penyimpanan obat yang sesuai di setiap daerah perawatan
penderita.
f) Diperlukan waktu tambahan bagi perawat untuk menangani
obat.
g) Meningkatnya kerugian karena kerusakan obat.
Keterbatasan/kelemahan sistem distribusi oleh persediaan
lengkap di ruang sangat banyak. Oleh karena itu, sistem ini
hendaknya tidak digunakan lagi. Dalam sistem ini tanggung jawab
dibebankan pada perawat, yaitu menginterprestasi order dan
penyiapan obat, yang sebetulnya adalah tanggung jawab apoteker.
Sekarang telah diperkenalkan sistem distribusi obat desentralisasi
yang melaksanakan sistem persediaan lengkap di ruang, tetapi di
bawah pimpinan seorang apoteker. Jika sistem desentralisasi ini

17
dilakukan, maka banyak kekurangan dari sistem distribusi obat
persediaan lengkap di ruang akan dapat diatasi.

c. Sistem Distribusi Obat Kombinasi Resep Individu dan Persediaan di


Ruang
Rumah sakit yang menerapkan sistem ini, selain menerapkan
distribusi resep/order individual sentralisasi, juga menerapkan
distribusi persediaan di ruangan yang terbatas. Jenis dan jumlah obat
yang tersedia di ruangan ditetapkan oleh PFT dengan masukan IFRS
dan dari pelayanan keperawatan. Sistem kombinasi biasanya diadakan
untuk mengurangi beban kerja IFRS. Obat yang disediakan di ruangan
adalah obat yang diperlukan oleh banyak penderita, setiap hari
diperlukan, dan biasanya adalah obat yang relatif murah, mencakup
obat resep atau obat bebas.
1) Keuntungan
a) Semua resep/order individual dikaji langsung oleh apoteker.
b) Adanya kesempatan berinteraksi profesional antara apoteker-
dokter-perawat-penderita.
c) Obat yang diperlukan dapat segera tersedia bagi penderita.
d) Beban IFRS dapat berkurang.
2) Keterbatasan
a) Kemungkinan keterlambatan sediaan obat sampai kepada
penderita (obat resep individu).
b) Kesalahan obat dapat terjadi (obat dari persediaan ruang).
d. Sistem Distribusi Obat Dosis Unit (UDDS)
Sistem distribusi ini menggunakan istilah dosis unit yang
digunakan di rumah sakit berhubungan dengan jenis kemasan dan juga
sistem untuk mendistribusikan kemasan tersebut. Obat dosis unit
adalah obat yang diorder oleh dokter untuk penderita, terdiri atas satu
atau beberapa jenis obat yang masing-masing dalam kemasan dosis
unit tunggal dalam jumlah yang dikonsumsi saja.
Sistem distribusi obat dosis unit adalah metode dispensing dan
pengendalian obat yang dikoordinasi IFRS dalam rumah sakit. Namun,
unsur berikut adalah dasar dari semua sistem dosis unit, yaitu obat
dikandung dalam kemasan unit tunggal, di-dispensing dalam bentuk

18
siap konsumsi, dihantarkan ke atau tersedia pada ruang perawatan
penderita pada setiap waktu.
1) Keuntungan
a) Penderita menerima pelayanan IFRS 24 jam sehari dan
penderita membayar hanya obat yang dikonsumsinya saja.
b) Semua dosis yang diperlukan pada unit perawatan telah
disiapkan oleh IFRS, jadi perawat mempunyai waktu lebih
banyak untuk merawat langsung penderita.
c) Adanya sistem pemeriksaan ganda dengan
menginterprestasikan resep/order dokter dan membuat profil
pengobatan penderita (P-3) oleh apoteker, dan perawat
memeriksa obat yang disiapkan IFRS sebelum dikonsumsikan.
Jadi, sistem ini mengurangi kesalahan obat
d) Peniadaan duplikasi order obat yang berlebih dan pengurangan
pekerjaan menulis di unit perawat dan IFRS.
e) Pengurangan kerugian biaya obat yang tidak terbayar oleh
penderita.
f) Penyiapan sediaan intravena dan rekonstitusi obat oleh IFRS.
g) Meningkatkan penggunaan personel profesional dan
nonprofesional yang lebih efisien.
h) Mengurangi kehilangan pendapatan.
i) Menghemat ruangan di unit perawat dengan meniadakan
persediaan ruah obat-obatan.
j) Meniadakan pencurian dan pemborosan obat.
k) Memperluas cakupan dan pengendalian IFRS di rumah sakit
secara keseluruhan. Sejak dari dokter menulis resep/order
sampai penderita menerima dosis unit.
l) Kemasan dosis unit secara sendiri-sendiri diberi etiket dengan
nama obat, kekuatan, nomor kendali, dan kemasan tetap utuh
sampai obat siap dikonsumsi penderita. Hal ini mengurangi
kesempatan salah obat, juga membantu dalam penelurusan
kembali kemasan apabila terjadi penarikan obat.
m) Sistem komunikasi pengorderan dan penghantaran obat
bertambah baik.
n) Apoteker dapat datang ke unit perawat/ruang penderita untuk
melakukan konsultasi obat, membantu memberikan masukan

19
kepada tim sebagai upaya yang diperlukan untuk perawatan
penderita yang lebih baik.
o) Pengurangan biaya total kegiatan yang berkaitan dengan obat.
p) Peningkatan pengendalian obat dan pemantauan penggunaan
obat menyeluruh.
q) Pengendalian yang lebih besar oleh apoteker atas pola beban
kerja IFRS dan penjadwalan staf.
e. Sistem Distribusi Obat Desentralisasi
Pelayanan farmasi desentralisasi terbukti selama ini merupakan
suatu rencana pelaksanaan penting guna mencapai keamanan dan
keefektifan penggunaan obat bagi penderita.
1) Keuntungan
a) Obat dapat segera tersedia untuk dikonsumsikan pada pasien.
b) Pengendalian obat dan akuntabilitas semakin baik.
c) Apoteker dapat berkomunikasi langsung dengan dokter dan
perawat.
d) Sistem distribusi obat berorientasi penderita sangat berpeluang
diterapkan untuk penyerahan obat kepada penderita melalui
perawat.
e) Apoteker dapat mengkaji kartu pengobatan dan dapat berbicara
dengan penderita secara efisien.
f) Informasi obat dari apoteker segera tersedia bagi dokter dan
perawat.
g) Waktu kerja perawat dalam distribusi dan penyiapan obat untuk
digunakan penderita berkurang karena tugas itu lebih banyak
dilakukan oleh personel IFRS desentralisasi.
h) Spesialisasi terapi obat bagi apoteker dalam bidang perawatan
penderita dicapai lebih efektif.
i) Pelayanan klinik apoteker yang terspesialisasi dapat
dikembangkan dan diberikan secara efisien.
j) Apoteker lebih mudah melakukan penelitian klinik obat dan
studi assesment mutu terapi obat penderita.
2) Keterbatasan
Semua apoteker praktik klinik harus cakap bekerja secara
efektif dengan asisten apoteker dan teknisi. Apoteker biasanya
bertanggung jawab untuk pelayanan distribusi dan pelayanan
klinik. Waktu yang digunakan untuk bukan distribusi obat
bergantung pada ketersediaan asisten apoteker bermutu dan

20
berkemampuan teknisi. Pengendalian inventori obat dalam IFRS
keseluruhan lebih sulit karena anggota staf berpraktik dalam lokasi
fisik yang banyak. Lebih banyak alat yang diperlukan, misalnya
acuan pustaka informasi obat, laminar air flow, lemari pendingin,
rak obat dan alat untuk meracik. Jumlah dan keakutan penderita
menyebabkan beban kerja distribusi obat dapat melebihi kapasitas
ruangan dan personil dalam unit IFRS desentralisasi yang kecil.
f. Persyaratan Sistem Distribusi Obat untuk Penderita Rawat Tinggal
Suatu sistem distribusi obat yang efisien dan efektif sangat
bergantung pada desain sistem distribusi obat yang didesain dan
dikelola baik serta harus dapat mencapai berbagai hal sebagai berikut :
1) Ketersediaan obat yang tetap terpelihara.
2) Mutu dan kondisi obat tetap stabbil dalam seluruh proses distribusi.
3) Kesalahan obat minimal dan memberi keamanan maksimal pada
penderita.
4) Obat yang rusak dan kedaluwarsa sangat minimal.
5) Efisiensi dalam penggunaan sumber, terutama personel.
6) Pencurian dan/atau hilang dalam minimal.
7) IFRS mempunyai akses dalam semua tahap proses distribusi untuk
pengendalian, pemantauan dan penerapan pelayanan farmasi
klinik.
8) Terjadinya interaksi profesional dokter-apoteker-perawat-penderita.
9) Pemborosan dan penyalahgunaan obat minimal.
10) Harga terkendali.
11) Peningkatan penggunaan obat rasional;
2. Sistem Distribusi untuk Penderita Rawat Jalan
Lingkungan fisik untuk farmasi yang melayani pasien rawat jalan
bukan merupakan faktor utama mengingat bahwa pelayanan kesehatan ini
diberikan kepada pasien rawat jalan, dan bukan dirawat di RS. Pasien
rawat jalan berbeda dalam banyak hal dengan pasien rawat inap, pasien
yang dirawat di rumah sakit selalu dalam lingkungan yang secara rutin
diawasi di mana tanda-tanda penting yang terjadi juga dicatat secara rutin,
pengobatan dijadwal dan diberikan oleh tenaga medis terdidik yang
profesional, dan pasien ditempatkan pada suatu tempat yang khusus.
Sebaliknya, pasien rawat jalan biasanya berada dalam lingkungan yang
tidak terkontrol sehingga tanda-tanda penting yang terjadi di antara waktu
kunjungannya ke klinik tidak dicatat, dan kadang-kadang mungkin obat

21
yang digunakan pasien tidak teratur. Dengan demikian, sudah jelas
masalah pengobatan yang dihadapi oleh pasien rawat inap di rumah sakit.
Pasien rawat jalan sering kali harus bertanggung jawab terhadap
kesehatannya sendiri. Di samping obat-obat yang ditulis pada resep pasien
juga mungkin menggunakan obat lain yang dibeli dari farmasi luar atau
dari para pengecer obat lain. Bisa juga mungkin pasien menggunakan obat
yang diperoleh dari anggota keluarga atau teman. Tampaknya tidak
seorang petugas kesehatan pun yang benar-benar mengetahui pengobatan
pasien secara menyeluruh.
Dihadapkan pada masalah demikian, di samping melayani resep
dengan benar, farmasis harus menyediakan pelayanan farmasi yang
diperluas, yaitu memberikan informasi kepada pasien agar lebih mengerti
tentang obat-obat yang mereka gunakan.

E. Penggunaan (Use)
Salah satu faktor penentu keberhasilan pelayanan kefarmasian, secara
umum pelayanan kesehatan, adalah penggunaan obat yang rasional. WHO
memberikan definisi sebagai berikut: pasien menerima obat sesuai dengan
kebutuhan kliniknya, pada dosis yang tepat secara individual, waktu
pemakaian terukur, dan terjangkau harganya oleh pasien yang bersangkutan,
atau masyarakat sekelilingnya.
Parameter lain dipublikasikan oleh WHO (1993) yang menyebutkan
bahwa penelitian tentang penggunaan obat pada fasilitas kesehatan, penilaian
baik/rasional didasarkan pada 3 macam indikator, yang salah satu indikator
tersebut mensyaratkan tentang presentase penggunaan antibiotika, penulisan
obat generik, dan kesesuaian dengan formularium rumah sakit/nasional.
Untuk dapat menuliskan resep yang tepat dan rasional, seorang dokter
harus memiliki cukup pengetahuan dasar mengenai ilmu-ilmu farmakologi,
yaitu tentang farmakodinamik, farmakokinetik, dan sifat-sifat fisiko-kimia
obat yang diberikan. Oleh karena itu, dokter memainkan peranan penting
dalam proses pelayanan kesehatan, khususnya dalam melaksanakan
pengobatan melalui pemberian obat kepada pasien. Kejadian penulisan resep
yang tidak rasional dilaporkan dalam suatu penelitian oleh Oviave (1989),
yaitu 74,3% disebabkan oleh penulisan resep yang tidak esensial. Dalam suatu

22
survey mengenai polifarmasi pada pasien di rumah sakit dilaporkan terjadi
insiden efek samping karena adanya kemungkinan interaksi obat. Yang
dimaksud dengan interaksi obat ialah reaksi yang terjadi antara obat dengan
senyawa kimia (obat lain atau makanan) di dalam tubuh maupun pada
permukaan tubuh yang dapat memengaruhi kerja obat. Dapat terjadi
peningkatan kerja obat, pengurangan kerja obat atau obat sama sekali tidak
menimbulkan efek. Interaksi obat yang terjadi di dalam tubuh, yaitu interaksi
farmakokinetik dan farmakodinamik sering kali lolos dari pengamatan dokter
karena kurangnya pengetahuan dari mekanisme dan kemungkinan terjadinya
interaksi obat. Selain itu, kurangnya pengetahuan dokter mengenai
farmakologi (farmakodinamik dan farmakokinetik) suatu obat dapat
mengakibatkan tidak rasionalnya penulisan resep bila ditinjau dari interaksi
obat yang terjadi, mengingat bahwa masalah penulisan resep yang tidak
rasional ini dapat merugikan dan berbahaya bagi pasien.
Penggunaan obat yang tepat dan sesuai pedoman pengobatan akan
dapat menunjang optimasi penggunaan dana, serta meningkatan cakupan dan
mutu pelayanan kesehatan. Ketepatan penggunaan obat perlu didukung
dengan tersedianya jumlah obat yang tepat jenis dan jumlahnya serta dengan
mutu yang baik. Terjadinya penggunaan obat yang tidak rasional antara lain
disebabkan adanya pemberian pengobatan yang belum didasarkan pada
pedoman terapi yang telah ditetapkan, kurangnya sarana penunjanguntuk
membantu penegakkan diagnosa yang tepat, info yang sering biasa hingga
berakibat peresepan obat-obat yang tidak tepatdan tidak sesuai kebutuhan
pengobatan, adanya tekanan dari pasien untuk meresepkan obat-obat
berdasarkan pilihan pasien sendiri, serta sistem perencanaan obat yang lemah.
1. Dampak Negatif Pemakaian Obat yang Tidak Rasional
Dampak negative pemakaian obat yang tidak rasional sangat luas dan
kompleks, seperti halnya faktor-faktor pendorong atau penyebab
terjadinya. Secara ringkas dampak tersebut dapat digambarkan seperti
berikut.
a. Dampak Terhadap Mutu Pengobatan dan Pelayanan
Beberapa kebiasaan peresepan yang tidak rasional akan
memengaruhi mutu pengobatan dan pelayanan secara langsung atau
tidak langsung. Secara luas, dampak negatifnya terhadap upaya

23
penurunan mortalitas dan morbiditas penyakit-penyakit tertentu.
Misalnya, kebiasaan untuk selalu memberi antibiotik dan antidiare
terhadap kasus-kasus diare akut, tanpa disertai pemberian campuran
rehidrasi oral (oralit) yang memadai, akan berdampak negatif terhadap
upaya penurunan mortalitas diare.
b. Dampak Terhadap Biaya Pelayanan Pengobatan
Pemakaian obat-obatan tanpa indikasi yang jelas untuk kondisi-
kondisi yang sebetulnya tidak memerlukan terapi obat merupakan
pemborosan, baik dari sisi pasien maupun sistem pelayanan. Dokter
mungkin kurang memperhatikan dampak ekonomi ini, tetapi bagi
pasien yang harus membayar atau bagi sistem pelayanan yang harus
menanggung ongkos pengobatan, hal ini akan sangat terasa. Kebiasaan
peresepan yang terlalu bergantung pada obat-obat dengan nama
dagang (branded) yang mahal, jika ada alternatif obat generik dengan
mutu dan keamanan yang sama, jelas merupakan beban dalam
pembiayaan dan merupakan salah satu bentuk ketidakrasionalan.
c. Dampak Terhadap Kemungkinan Efek Samping Obat
Kemungkinan resiko efek samping obat dapat diperbesar oleh
pemakaian obat yang tidak tepat. Ini dapat dilihat secara individual
pada masing-masing pasien atau secara epidemiologik dalam populasi.
Pemakaian obat yang berlebihan, baik dalam jenis (multiple
prescribing) maupun dosis (over prescribing) jelas akan meningkatkan
resiko terjadinya efek samping. Pemakaian antibiotik secara berlebihan
juga dikatikan dengan meningkatnya resistensi kuman terhadap
antibiotik yang bersangkutan dalam populasi.
d. Dampak Psikososial
Pemakaian obat secara berlebihan oleh dokter sering kali akan
memberikan pengaruh psikologik pada masyrakat. Masyarakat
menjadi terlalu bergantung pada terapi obat walaupun intervensi obat
belum tentu merupakan pilihan utama untuk kondisi tertentu. Lebih
parah lagi karena terlalu percaya atau bergantung pada intervensi obat,
bentuk-bentuk intervensi lain untuk kondisi tertentu tersebut lalu
ditinggalkan. Sebagai contoh, disebabkan terlalu percaya bahwa
pemakaian obat seperti aspirin secara terus menerus akan dapat

24
mencegah penyakit jantung koronern maka profilaksi-profilaksi yang
lebih penting terhadap faktor resiko yang sudah jelas, misalnya tidak
merokok lantas diabaikan. Atau dalam klinik, karena terlalu percaya
pada pemberian profilaksi antibiotika, maka tindakan-tindakan pada
pembedahan lalu tidak diperhatiakn secara ketat.
2. Ciri Pemakaian Obat yang Tidak Rasional
Secara lebih luas pemakaian obat yang tidak rasional akan memberikan
ciri-ciri umum seperti yang diutarakan berikut :
a. Pemakaian obat yang sebenarnya indikasi pemakaian secara medic
tidak ada atau samar-samar.
b. Pemilihan obat yang keliru untuk indikasi penyakit tertentu.
c. Cara pemberian obat, dosis, frekuensi, dan lama pemberian yang tidak
sesuai.
d. Pemakaian jenis obat dengan potensi toksisitas atau efek samping lebih
besar padahal obat lain yang sama kemanfaatannya (efficacy) dengan
potensi efek samping lebih kecil juga ada.
e. Pemakaian obat-obatan mahal padahal alternative yang lebih murah
dengan kemanfaatannya dan keamanan yang sama tersedia.
f. Tidak memberikan pengobatan yang sudah diketahui dan diterima
kemanfaatannya dan keamanannya (established efficacy and safety).
g. Memberikan pengobatan dengan obat-obat yang kemanfaatan dan
keamannnya masih diragukan.
h. Pemakaian obat yang semata-mata didasarkan pada pengalaman
individual tanpa mengacu pada sumber-sumber informasi ilmiah yang
layak, atau hanya didasarkan pada sumber-sumber informasi yang
tidak dapat dipastikan kebenarannya.
i. Pemakain obat yang didasarkan pada insting dan intuisi tanpa melihat
fakta dan kebenaran ilmiah yang lazim. Ini misalnya terlihat pada
dokter-dokter yang mengklaim mempunyai cara-cara inkonvensional
dalam pengobatan.
3. Kriteria Kerasionalan
Suatu pengobatan dikatakan rasional bila memenuhi beberapa kriteria
tertentu. Kriteria ini mungkin akan bervariasi tergantung interpretasi
masing-masing, tetapi paling tidak akan mencakup hal-hal berikut :
a. Ketepatan indikasi.
b. Ketepatan pemilihan obat.
c. Ketepatan cara pemakaian obat.

25
d. Ketepatan penilaian terhadap kondisi pasien/dan tindak lanjut efek
pengobatan.
e. Ketepatan harga.
f. Waspada terhadap efek samping obat.
4. Indikator Pemakaian Obat
Secara praktis untuk memantau pola penggunaan/peresepan obat
secara umum, telah dikembangkan indikator oleh International Network
for the Rational Use of Drugs (INRUD) dan WHO. Indikator ini dapat
dipakai secara cepat untuk menilai pola penggunaan obat di unit
pelayanan, membandingkan antar unit, atau dipertimbangkan di sini adalah
kemungkinan terjadinya interaksi bila diberikan obat lebih dari satu.
Indikator penggunaan dibagi menjadi 3 macam, yaitu :
a. Indikator Peresepan
1) Jumlah rata-rata obat tiap resep.
2) Persentase obat generik yang diresepkan.
3) Persentase antibiotik yang diresepkan.
4) Indikator penggunaan obat yang bertujuan untuk mengukur aspek
khusus dari pasien dan penggunaan obat di rumah sakit atau unit
pelayanan kesehatan.
5) Persentase injeksi yang diberikan.
6) Persentase obat yang diresepkan dari daftar esensial atau
formularium.
b. Indikator Pelayanan Farmasi
1) Rata-rata waktu konsultasi.
2) Rata-rata dispensing time.
3) Persentase obat yang diberikan.
4) Persentase kelengkapan label obat.
5) Pengetahuan pasien akan dosis yang tepat.
c. Indikator Fasilitas Kesehatan
1) Ketersediaan copy daftar obat esensial atau formularium.
2) Ketersediaan obat-obat kunci.

F. Manajemen Pendukung (Management Support)


1. Human Capital
Saat sistem keuangan tidak dapat memberikan perangkat
pengukuran yang tepat, yang dibutuhkan professional SDM, maka
professional SDM harus mengembangkan cara mereka untuk menunjukan
peran mereka dalam membentuk kinerja perusahaan. Langkah awalnya

26
dengan mengesampingkan anggapan bahwa SDM adalah pusat biaya
utama. Para investor mengakui bahwa kesempatan yang dimiliki oleh para
manajer SDM adalah sumber aset intangible dan mempunyai peran
sebagai strategik.
Kompetensi SDM merupakan kunci keberhasilan dalam organisasi.
Kompetensi SDM ini meliputi pengetahuan, kemampuan, keterampilan
dan pengalaman dari karyawan dan manajer dalam melaksanakan
tugasnya. Untuk memperoleh SDM yang kompeten dapat dilakukan
dengan idenifikasi kebutuhan SDM, proses seleksi yang tepat,
memberikan pelatihan, motivasi, adanya komunikasi yang baik,
pembuatan kelompok kerja yang terkait dengan struktur organisasi, adanya
peran kepemimpinan dan perubahan organisasi yang relevan.
Peningkatan kapabilitas human capital tidah hanya pada aspek
explicit knowledge, tetapi yang lebih utama adalah tacid knowledge. Hal
ini penting untuk diperhatikan karena keunggulan kompetitif yang
bersumber dari tacid knowledge akan berkelanjutan (sustainable) dan
sangat sulit untuk ditiru oleh pesaing (casual ambiguity dan kompleksitas
history).
a. Sumber Daya Manusia IFRS
Mengacu pada standar pelayanan farmasi rumah sakit, Kepmenkes
No.56 tahun 2014, instalasi farmas rumah sakit harus memiliki
apoteker dan tenaga teknis kefarmasian yang sesuai dengan beban
kerja dan petugas penunjang lain agar tercapai sasaran dan tujuan
instalasi farmasi rumah sakit. Ketersediaan jumlah tenaga apoteker dan
teknis kefarmasian dirumah sakit dipenuhi sesuai dengan ketentuan
klasifikasi dan perizinan rumah sakit yang ditetapkan oleh menteri.
Uraian tugas tertulis dari masing-masing staf instalasi farmasi harus
ada dan sebaiknya dilakukan peninjauan kembali paling sedikit setiap
tiga tahun sesuai kebijakan dan prosedur di instalai farmasi rumah
sakit.
b. Kualifikasi Sumber Daya Manusia (SDM)
Berdasarkan pekerjaan yang dilakukan, kualifikasi SDM instalasi
farmasi diklasifikasikan sebagai berikut :
1) Untuk pekerjaan kefarmasian terdiri atas :
a) Apoteker;

27
b) Tenaga teknis kefarmasian
2) Untuk pekerjaan penunjang terdiri atas :
a) Operator komputer/teknisi yang memahami kefarmasian;
b) Tenaga administrasi;
c) Perkarya/pembantu pelaksanaan.
Untuk menghasilkan mutu pelayanan baik dan aman, maka dalam
penentuan kebutuha tenaga harus mempertimbangkan kompetensi
yang disesuaikan dengan pelayanan, tugas, fungsi, wewenang dan
tangguang jawabnya.
c. Persyaratan SDM
Pelayanan kefarmasian harus dilakukan oleh apoteker dan tenaga
teknis kefarmasian. Tenaga teknis kefarmasian yang melakukan
pelayanan kefarmasian harus dibawah supervisi apoteker. Apoteker
dan tenaga teknis kefarmasian harus memenuhi persyaratan
administrasi, seperti yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Ketentuan terkait jabatan fungsional di
instalasi farmasi rumah sakit diatur menurut kebutuhan organisasi dan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Instalasi farmasi rumah sakit harus dikepalai oleh seorang apoteker
yang merupakan apoteker penanggung jawab seluruh pelayanan
kefarmasian di rumah sakit. Kepala instalasi farmasi rumah sakit
diutamakan telah memiliki pengalaman berkerja di instalasi farmasi
rumah sakit minimal tiga tahun.
d. Beban Kerja dan Kebutuhan
1) Beban Kerja
Dalam perhitungan beban kerja perlu diperhatikan factor-faktor
yang berpengaruh pada kegiatan yang dilakukan, yaitu:
a) Kapasitas tempat tidur dan Bed Occupancy Rate (BOR);
b) Jumlah dan jenis kegiatan farmasi yangdilakukan (manajemen,
klinik, dan produksi);
c) Jumlah resep atau formalin permintaan obat (floor stock)
perhari;
d) Volume sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai.
2) Penghitungan Beban Kerja
Perhitungan kebutuhan apoteker berdasarkan beban kerja pada
pelayanan kefarmasian dirawat inap yang meliputi pelayanan

28
farmasi manajerial dan pelayanan farmasi kelinik dangan aktivitas
pengkajian resep, penelusuran riwayat penggunaan obat,
rekonsiliasi obat, pemantauan terapi obat, pemberian informasi
obat, konseling, edukasi dan visite, idealnya dibutuhkan tenaga
apoteker dengan rasio 1 apoteker untuk 30 pasien. Perhitungan
kebutuhan apoteker berdasarkan beban kerja pada pelayanan
kefarmasian diraat jalan yang meliputi pelayanan farmasi
menajerial dan pelayanan farmasi klinik dengan aktivitas
pengkajian resep, penyerahan obat, pencatatan penggunaan obat
(PPP) dan konseling, idealnya dibutuhkan tenaga apoteker dengan
rasio 1 apoteker untuk 50 pasien.
Selain kebutuhan apoteker untuk pelayanan kefarmasian rawat
inap dan rawat jalan, maka kebutuhan tenaga apoteker juga
diperlukan untuk pelayanan farmasi yang lain, seperti di unit
logistik medik/distribusi, unit produksi steril/aseptik dispensing,
unit pelayanan informasi obat dan lain-lain tergantung pada jenis
aktivitas dan tingkat cakupan pelayanan yang dilakukan oleh
instalasi farmasi. Selain kebutuhan apoteke untuk pelayanan
kefarmasian di rawat inap dan rawat jalan, diperlukan juga masing-
masing satu orang apoteker untuk kegiatan pelayanan kefarmasian
di ruang tertentu.
2. Information Capital
Sistem informasi adalah rangkaiam otang, prosedur, dan sumber
daya yang mengumpulkam, mengubah dan menyebarkan informasi dalam
sebuah organisasi, dan sebuah system yang menerima sumber daya
sebagai input dan memperosesnya kebalam produk informasi sebagai
outputnya. Sistem Informasi Manajemen (SIM) adalah sistem informasi
yang sudah terkomputerisasi yang berkerja karena adanya interaksi antara
manusia dan kompoter.
Karakteristik SIM adalah :
a. Beroperasi pada tugas-tugas yang terstruktur, yakni pada lingkungan
yang mendefinisikan (prosedur, aturan pengambil keputusan dan arus
informasi) dengan tegas dan jelas.
b. Meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya.

29
c. Menyediakan laporan dan kemudahanakses yang berguna untuk
pengambilan keputusan, tetapi tidak secara langsung (manajer
menggunakan laporan dan informasi serta membuat kesimpulan-
kesimpukan tersendiri untuk melakukan pngambilan keputusan).
3. Organizational Capital
Pengorganisasian sumber daya, tipenya dibuat berdasarkan 4
komponen :
a. Budaya
Budaya merupakan kesadaran dan internalisasi visi, misi dan nilai
untuk menggunakan strategi. Budaya mencerminkan sikap dan
perilaku pradominan yang mengkarakterisasikan fungsi dan grup atau
organisasi. Definisi budaya ini menyiratkan 3 hal :
1) Budaya adalah sebuah persepsi, bukan sesuatu yang dapat
disentuh atay dilihat secara fisik, tetap SDM menerima dan
memahaminya melalui apa yang mereka alami dalam organisasi.
2) Budaya organisasi bersifat diskriptif, yaitu berkenaan dengan
bagaimana para anggota menerima dan mengartikan budaya
tersebut, terlepas dari apakah mereka menyukai atau tidak.
3) Meskipun para individu didalam organisasi memiliki latar
belakang yang berbeda dan bekerja dalam jenjang organisasi yang
berbeda, mereka cenderung mengartikam dan mengutarakan
budaya organisasi dengan cara yang sama.
Dikerahui bahwa organizational capital juga merupakan tacit
organizational routines yang berkaitan dengan aspek informal
organisasi yang dikenal dengan dimensi kultural organisasi. Dimensi
cultural ini mempunyai peran penting dalam intelectual cultural, meski
perlu ditegaskan bahwa hanya kapital budaya tertentu yang kondusif
untuk inovasi, pembelajaran dan memiliki esensi yang dapat
mengoversikan human capital menjadi intelectual capital.
b. Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah suatu aktivitas untuk mengetahui perilaku
orang laik agar mereka mau diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu.
Hal tersebut mengandung pengertian bahwa jika seseorang telah mulai
berkeinginan untuk mempengaruhi perilaku orang lain, maka kegiatan
kepemimpinan telah dimulai. Pengaruh dan kekuasaan seorang
pemimpin mulai tampak relevansinya.

30
Ada 2 pendekatan untuk mendefinisikan peran kepemimpinan :
proses untuk mengembangankan pemimpindan model kompetensi
kepemimpinan, yang mendefinisikan karakteristik pemimpin.
Pendekatan kedua model kompetensi kepemimpinan focus pada hasrat
spesifik kompetensi dari pemimpin. Hal ini mengidentifikasi cirri
bahwa pemimpin harus menunjukkan penampilan yang lebih tinggi.
c. Penyelarasan
Individu, tim dan tujuan-tujuan setiap depatremen merangsang
hubungan untuk mendapatkan sasaran yang strategis. Komunikasi
terbuka serta dapat berkerja sebagai tim. Penyelarasan adalah kondisi
yang diperlukan sebelum member kuasa, individu akan menguatkan
seluruh tim. Penyelarasan pada organisasi mendorong peningkatan
kemampuan pekerja, inovasi, dan pengambilan risiko karena tindakan
individual diarahkan pada pencapaian sasaran yang lebih tinggi.
Penyelarasan umumnya membutuhkan dua langkah yang berurutan,
yaitu menciptakan kesadaran dan membuat insetifi. Oleh karena itu,
pemimpin harus mengomunikasikan sasaran strategi tinggi yang dapat
dipahami semua pekerja. Kemudian pemimpin harus meyakinkan
bahwa individu dan tim mempunyai sasaran local dan menghargai
pencapaian target sasaran yang lebih tinggi.
d. Kerja Tim
Kerja tim, pegetahuan dan kemampuan staf merupakan hal yang
potensial dalam mendukung strategi. Suatu organisasi seharusnya tidak
tertumpu pada masing-masing operasional individual pada
pengembangan biaya dalam proses, kualitas, waktu, dan servis.
Tahapan kritis dalam pembelajaran dan pertumbuhan adalah untuk
mengidentifikasi inovasi dan praktik terbaik pada setiapunit organisasi
dan untuk mensosialisasikan praktik terbaik pada setiap unit
organisasi. Sistem manajemen pengetahuan seharusnya menjadi kunci
praktik terbaik dalam organisasi. Kemampuan membangun tim kerja
yang efektif diperlukan dengan memanfaatkan kombinasi keterampilan
dan kepribadian perorangan dikalangan karyawan untuk dilibatkan
dalam mencapai tujuan dan sasaran organisasi. Hal ini karena manajer

31
memahami kondisi yang dibutuhkan untuk membangun tim kerja yang
efektif.
4. Manajemen Keuangan
Manajemen adalah suatu proses kegiatan yang terdiri atas
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dengan
memadukan penggunaan ilmu dan seni untuk mencapai tujuan organisasi.
Agar tujuan organisasi dapat tercapai, diperlukan unsur atau sarana (the
tool of management) yang meliputi unsur 5M, yaitu:
a. Men : sumber daya manusia
b. Money : uang yang dibutuhkan
c. Methods : metode yang digunakan
d. Materials : bahan yang digunakan
e. Machines : mesin yang digunakan
Keuangan terdiri dari tiga bidang yang saling terikat, yaitu :
a. Pasar uang dan pasar modal;
b. Investasi;
c. Manajemen keuangan.
Beberapa indikator kinerja dari perspektif keuangan antara lain:
a. Tingkat Kembalian Investasi (Return on Investment-ROI)
ROI merupakan pembagian antara keuntungan bersih dan aset
(aktiva/harta) total, dinyatakan dalam persentase. Salah satu indicator
ini mengukur efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan seluruh
sumber dayanya. ROI disebut juga sebagai tingkatan kembalian aset
(Return on Assset/ROA). Nilai persentase ROI yang semakin tinggi
menunjukkan bahwa kinerja perusahaan semakin besar bahwa kinerja
perusahaan semakin baik.
Laba Bersih
ROI = X 100 %
Total Aktiva

b. Growth Ratio on Sales


Indikator ini menghitung seberapa jauh perusahaan menempatkan
diri dalam sistem ekonomi secara seluruhan untuk industri yang sama.
Nilai Penjualan Terakhir
) 1/ jumlah tahun
Nilai Penjualan Dasar
TOR = ¿

c. Net Profit Margin


Indikator ini merupakan keuntungan bersih dibagi penjualan bersih
(net sales), dan dinyatakan dalam persentase. Rasio laba bersih

32
terhadap penjualan adalah yang paling penting karena mampu
menggambarkan kesuksesan dari suatu operasi perusahaan, dan rasio
ini biasa digunakan untuk memperkirakan atau memproyeksikan
profibabilitas dalam suatu rencana bisnis. Semakin tingginya nilai
persentase keuntungan bersih dibandingkan penjualan bersih,
menunjukkan bahwa kinerja perusahaan semakin baik.
Laba Bersih
Net Profit Margin = X 100 %
Penjualan

d. Rasio Aktivitas (Activity Ratio)


Indikator ini mengukur efektivitas manajemen perusahaan dari
semua sumber daya yang ada di perusahaan. Salah satu indikatornya
adalah tingkat perputaran inventori (inventory turn over ratio atau
TOR). Indikator ini dihitung dengan membagi harga pokok penjualan
(cost of goods sold) dengan persediaan rata-rata. Perputaran persediaan
(inventory turnover) menunjukkan beberapa kali persedian barang
dijual dan diadakan kembali selama satu periode akutansi. Semakin
tinggi nilai tingkat perputaran invetori, kinerja perusahaan semakin
baik karena akan memenuhi kebutuhan aliran kas dan modal kerja.
Harga Pokok Penjualan
TOR = (X)
Rata-rata Persediaan

33
BAB III
KESIMPULAN

Simpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah siklus manajemen
obat di rumah sakit mencakup empat tahap, yaitu :
1. Seleksi (Selection)
2. Pengadaan (Procurement)
3. Distribusi (Distribution)
4. Penggunaan (Use)
Masing-masing tahap dalam siklus manajemen obat saling terkait sehingga
harus dikelola dengan baik agar masing-masing dapat dikelola secara optimal.
Setiap tahapan siklus manajemen obat harus selalu didukung oleh keempat
management support (manajemen pendukung) sehingga pengelolaan obat dapat
berlangsung secara efektif dan efisien.

34
DAFTAR PUSTAKA

Siregar, Charles J.P. 2004. Farmasi Rumah Sakit Teori dan Terapan. Jakarta:
EGC.
Satibi. 2016. Manajemen Obat di Rumah Sakit. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Adisasmito, W. 2009. Sistem Manajemen Lingkungan Rumah Sakit. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.

35

Anda mungkin juga menyukai