Anda di halaman 1dari 6

BHAGAWADGITA

(dikumpulkan dari tulisan Luh Werti – Komunitas KARANA)

Bab I berjudul Arjuna Visada Yoga, terdiri dari 47 seloka.


Bab ini memulai pandangan ajaran yang bersandar pada dialektika teori konflik tentang hakikat yang
dialami manusia. Arjuna Visada Yoga atau ajaran keraguan yang timbul pada diri Arjuna setelah
menyadari akibat peperangan yang dapat terjadi dinilai bertentangan dengan ajaran agama. Termasuk
dalam Bab I adalah gambaran situasi di padang Kuru, tempat terjadinya perang saudara.
Masalah yang dihadapi Arjuna adalah pertentangan ‘Nilai Religi’, yaitu dasar-dasar agama yang
mengajarkan Ahimsa, larangan membunuh guru sebagai dosa besar (maha pataka), ajaran Vairagya
sebagai sistem pencapaian tujuan moksa, timbulnya kemerosotan moral dan musnahnya tradisi leluhur
sebagai ekses dari terjadinya peperangan, dan timbulnya kekacauan dalam sistem varnasrama dharma
termasuk persepsi tentang timbulnya kekacauan dalam jatidharma dan dharma.
Semua analisis pemikiran Arjuna yang dilihat secara empiris pada hakikatnya banyak terjadi
pertentangan dalam penerapan ajaran moral agama. Dengan demikian, bila tujuan hidup agama itu
harus direalisir, apapun dalihnya peperangan itu bertentangan dengan agama. Akan tetapi, Arjuna
menyadari pula bahwa ia tak mengingkari kemungkinan berbagai alternatif, namun untuk
memantapkannya Arjuna mengharapkan bimbingan dari Krsna untuk keluar dari kebingungan itu.

Bab II berjudul Samkhya Yoga, terdiri atas 72 seloka.


Krsna yang menanggapi pandangan dan perasaan yang dialami oleh Arjuna kemudian, menjelasakan
dasar pemikiran sebagai berikut. (1) Sifat lemah yang ada pada setiap diri manusia yang mudah
menyerah pada keadaan. Sifat lemah ini disebut anarya. Sifat putus asa seperti ini pada hakikatnya
bertentangan dengan ajaran agama Hindu yang mewajibkan agar tidak berputus asa dalam segala hal.(2)
Kebodohan atau avidya pada hakikatnya menimbulkan kesalahan dalam memahami terutama masalah
kirti dan yasa.
Oleh karena Krsna melihat masalah yang dihadapi oleh Arjuna bersumber pada hakikat di atas sehingga
usaha pertama yang diambil oleh Krsna adalah mencoba menjelaskan hakikat hidup dan tujuan hidup
yang sebenarnya, sebagaimana diajarkan dalam agama Hindu dengan ajaran Samkhya-Yoga.
Pada hakikatnya Samkhya-Yoga adalah ajaran filsafat (darsana), yaitu Samkhya merupakan ajaran
rasionalisme atau jnana-yoga. Yoga merupakan ajaran disiplin moral sebagai upaya untuk mencapai
tujuan hidup beragama (moksa).
Kedua ajaran itu didasarkan pada konsep Upanisad yang mengutarakan bahwa tujuan hidup manusia
pada hakikatnya dapat dicapai melalui dua jalan, yaitu Pravrtti Marga dan Nivrtti Marga. Kedua dasar
ajaran itu hendaknya dipahami dengan tepat agar tujuan hidup beragama dapat dicapai dengan baik
yaitu, dharma-artha-kama-moksa.

Bab III berjudul Karma Yoga, terdiri dari 43 seloka.


Bab ini membahas dasar-dasar pengertian Karma Yoga yang dibedakan dengan ajaran Samkhya Yoga.
Kedua ajaran ini dibahas dari aspek ajaran Samkhya dan Yoga.
Dengan memahami kesalahan pengertian bahwa Karma Yoga sebagai satu sistem perbuatan dianggap
bertentangan dengan sistem pengetahuan, sebagaimana diajarkan Sankhya Yoga, samnyasa,
Krisna mencoda menegaskan makna ajaran kama yoga secara lebih mendetail yang keseluruhannya
dibahas pada bab III, bab IX.
Pada bab II telah dikemukakan pentingnya rasio atau pemikiran ilmiah sebagai pangkal kegiatan. Jnana
dengan ajaran Jnana Yoga merupakan inti ajaran Samkhya, sebaliknya karma atau tindakan tidak harus
berarti sama dengan jnana.
Tentang karma ini dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu Subba Karma perbuatan yang baik dan Asubha
Karma perbuatan tidak baik. Perbuatan tidak baik dibedakan menjadi dua, yaitu Akarma dan Vikarma.
Dengan demikian, terdapat tiga macam bentuk tindakan, yaitu Karma perbuatan baik, Akarma perbutan
tidak berbuat, dan Vikarma perbuatan yang keliru.
Tujuan Karma Yoga adalah tercapainya kebebasan, yaitu moksa, kesempurnaan. Jadi, ada dua hakikat
karma, ritual atau yajnya dan tingkah laku. Ini tampak pada uraian bab III seloka 10 yang
menghubungkan arti karma dengan penciptaan alam oleh Tuhan. Apabila Tuhan menciptakan alam
bukan untuk kepentingan dirinya, maka hukum karma didasarkan pada azas ketakterikatan pada
kepentingan pribadi. Melainkan didasarkan atas dharma yang menjelma dari bentuk hukum hak dan
kewajiban.
Dengan demikian, azas vairagya sebagai satu ajaran mendorong pelaku berbuat karena kewajiban untuk
mencapai prestasi yang lebih baik. Ini harus dilakukan, baik rutin maupun insidentil sehingga kerja
mempunyai nilai guna. Soal pahala atau akibat yang timbul dari karma adalah hak yang pasti dan tak
harus dicari pasti akan diperoleh.

Bab IV berjudul Jnana Yoga, terdiri dari 42 seloka.


Bab ini menguraikan tentang Jnana Yoga yang sudah berkali-kali disampaikan Sri Krsna kepada umat
manusia untuk menjadikannya manusia-manusia bijak dalam tujuan pengembaraan kehibupannya.
Malahan manakala dharma terancam dan adharma merajalela, beliau sendiri turun kedunia dengan
mengenakan badan jasmani untuk melindungi dharma dari kehancuran dan untuk melindungi orang-
orang bijak yang mengabdi kepada dharma.
Di samping itu, ajaran tentang varnasrama dharma serta berbagai jalan yang ditempuh manusia dalam
rangka pencapaiannya yang tertinggi, juga diuraikan dalam bab ini.
Jnana Yoga sebagai satu-satunya cara mencapai kelepasan (moksa), sebagai tema utama dalam sebagian
besar kitab Upanisad, juga kembali ditekankan disini.
Selain kegiatan kerja tanpa pamrih yang tidak membelenggu, juga demikian kurban kebijaksanaan
sebagai kurban tertinggi. Dikatakan demikian, karena kebijaksanaan itu sendiri akan membakar habis
segala dosa dan akibat dari perbuatan. Selanjutnya, juga panjang lebar Krsna menjelaskan kepada
Arjuna kaitan antara Jnana Yoga dan Yoga lainnya yang memberikan kemantapan kepada Arjuna dalam
mengemban tugas sebagai seorang ksatriya dalam menghadapi pertempuran.

Bab V berjudul Karma Samnyasa Yoga, terdiri dari 29 seloka.


Bab ini intinya membandingkan antara dua sistem pemikiran menuju kesempurnaan, yaitu karma-
samnyasa dan karma-yoga. Penjelasan bab V merupakan pengembangan pengertian dari ajaran yang
sudah dijelaskan pada bab IV tentang Jnana-Yoga. Apa yang calon siswa ingin ketahui dari gurunya
adalah penjelasan yang terang tentang jawaban atas pertanyaan: mana yang lebih baik membebaskan
diri dari kerja (karma-samnyasa) atau kerja tanpa kepentingan pribadi atau tanpa motif mencari
keuntungan pribadi (karma-yoga)?.Sistem kerja yang kedua adalah lebih baik. Pertanyaan ini tentunya
dilakukan pada satu pengerttian dengan mengingat sistem catur asrama (Brahmacari-Grahasta-
Vanaprasta-Samnyasa).
Dalam Yoga, karma itu tetap ada, tetapi bukan dimotivasikan untuk kepentingan pribadi, melainkan
pelepasan keakuan terhadap benda-benda duniawi dengan memusatkan perhatian pada kebaktian
kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan bersamadhi.
Yoga artinya menghubungkan (Yuj) pikiran kepada Tuhan sehingga segala sifat hakiki Tuhan dapat
direfleksikan ke dalam jiwa.
Dengan demikian, berbuat itu tidak terikat oleh diri pribadi, tetapi karena kehendak Ilahi.

Bab VI berjudul Dhyana Yoga, terdiri dari 47 seloka.


Bab ini menguraikan makna Dyana Yoga sebagai sistem Yoga.
Bab VI berisi dialog lanjutan dari Bab V tentang Yoga. Yoga mengajarakan delapan macam disiplin untuk
mencapai tingkat kecucian dan kesempurnaan citta. Kedelapan disiplin Yoga, yaitu (1) Yama, (2) Niyama,
(3) Asana, (4) Pranayama, (5) Pratyahara, (6) Darana, (7) Dhyana, dan (8) Samadhi. Dhyana Yoga itu
syarat dan upaya melakukan yoga dan meditasi yang baik, yaitu sikap duduk yang baik, posisi leher, dan
kepala, duduk tidak bergerak merupakan sikap asana. Sikap asana yang baik menyebabkan orang mudah
melakukan konsentrasi pikiran atau dhyana. Mengingat pikiran bersifat seperti binatang liar yang sukar
dijinakkan sehingga sangat sulit dapat meninggalkan pikiran untuk mencapai tujuan. Semuanya ini
dijelaskan secara singkat yang pada intinya adalah membiasakan putusan yang baik melalui yama dan
niyama brata. Bagian ini, juga menjelaskan kesulitan mengendalikan pikiran, karena itu diberikan
alternatif berupa perbuatan kebajikan.
Manusia akan lahir kembali ke dunia sesudah sampai di surga, bila sudah selesai masanya penikmatan
hasil kebajikan itu. Hal ini akan berulang sampai berhasil melepaskan diri dari sarang laba-laba karma.
Pencapaian inilah disebut nirvana atau moksa atau brahma nirvana.
Seorang yogi lebih besar dari pertapa ataupun sarjana dan lebih besar dari pendeta yang melakukan
upacara yajna.

Bab VII berjudul Jnana Vijnana Yoga, terdiri dari 30 seloka.


Pada intinya bab ini membahas Jana dan Vijnana. Jnana artinya pengetahuan dan Vijnana artinya serba
tahu. Perhatian pembahasannya terletak pada tujuan atau objek dhyana, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam agama disebut Para Brahman - Para Atman - Parama Isvara, dan lain lain. Penjelasan dimulai dari
pengertian Atman dan hubungannya dengan Paramatman atau Brahman yang absolut.
Alam semesta dengan segala cipataan disebut bhuta yang mempunyai lima komponen dasar yang
disebut Panca Maha Bhuta, yaitu prthivi (tanah), apah (air), teja atau agni (api, panas), vayu (angin),
akasa (ether). Kelima unsur itu timbul dari prakerti dan sebagai akibat dari evolusi dari prakerti.
Di samping unsur materi terdapat unsur rohani yang disebut Atman atau Jiwa yang menyebabkan
timbulnya ciptaan (srsti). Jiwa atau Atman adalah bagian dari Brahman dan perlu disadari bahwa
hubungan antara Atman dan Brahman. Hakikat inilah yang dicapai dalam samadhi,
Dijelaskan pula tentang pengertian dan makna AUM atau Om Kara sebagai manifestasi wujud abadi.
Selain itu, juga disinggung tentang triguna sebagai hakikat sifat dasar prakerti dan proses evolusi sebagai
akibat ketidakseimbangan triguna.
Ketidaksadaran dan kekeliruan pandangan manusia disebabkan oleh kekuatan Maya sehingga salah
mengidentifikasikan diri dan menyamakan Atman dengan prakerti.
Pemahaman keliru ini ibarat melihat cermin, yaitu melihat diri pada cermin sehingga seakan-akan
manusia dalam cermin itu berbeda. Inilah yang disebut dengan kekuatan maya.
Apabila orang manyadari kekeliruan hal ini, maka orang akan mulai dapat mengarahkan pikirannnya
secara benar. Dari kesadaran ini akan terlihat bahwa aham (Aku) itu adalah Brahman (yang absolut
transedental) dan ada dalam setiap makhluk.
Bab VIII berjudul Aksara Brahma Yoga, terdiri dari 28 seloka.
Aksara Brahma Yoga adalah ilmu tentang hakikat sifat kekekalan Tuhan Yang Maha Esa. Aksara berarti
kekal. Bab ini menjawab pertanyaan Arjuna tentang Brahman-Adhyatman dan Karma. Selain itu, juga
tentang Adhibhuta, Adhidaiva, Adhiyajna, dan hakikat kematian. Pada bab ini dijelaskan tentang
Brahman dan Adhyatman yang pada hakikatnya adalah sama dengan Parama Atman.
Sebagaimana Atman mempunyai basis Adhyatman (Brahman), demikian juga hakikat bhuta, yaitu panca
mahabhuta dengan adhibhuta itu yang dalam sistem Samkhya disebut Prakrti dan Pradana dalam sistem
Vedanta. Pada bab ini, juga dijelaskan tentang adhiyajna dan adhidaivata (adhidaibata).
Dengan merujuk Weda bahwa penciptaan alam semesta dimulai dari proses mahayajna. Dalam hal ini,
mahapurusa menciptakan segala ciptaan melalui yajna. Yajna merupakan awal segala sesuatu sehingga
muncul istilah adhiyajna.

Bab IX berjudul Raja Vidyaraja Yoga terdiri atas 34 seloka.


Bab ini membahas hakikat dasar-dasar ajaran Raja Yoga dengan judul Raja Vidya Raja Guhya Yoga.
"Raja" sebagai istilah untuk menunjukkan raja dari semua ilmu (vidya), yaitu ajaran Ketuhanan.
Mengingat segala "ada" berasal dari Tuhan. Oleh karena itu, mempelajari Tuhan Yang Maha Esa
dianggap paling mulia dan ilmunya yang paling tinggi dari semua ilmu. Artinya, ilmu-ilmu lainnya bersifat
suplemen. Dalam hubungan ini, bab ini tidak saja menjelaskan kedudukan Tuhan sebagai Brahman,
sebagai Bapak atau Pelindung dan Pencipta, tetapi juga bagaimana alam semesta ini diciptakan.
Apabila hendak melakukan bhakti atau sembahyang, maka tujuan sembahyang adalah kepada Yang
Maha Esa, apapun gelar yang diberikan kepadaNya. Semua harus mencari perlindungan kepadaNya.
Tuhan sebagai poros dari semua ciptaan dan kebhaktian.

Bab X berjudul Vibhuti Yoga, terdiri dari 41 seloka.


Vibhuti Yoga berisi penjelasan tentang sifat hakikat Tuhan yang Absolut secara empiris.
Disimpulkan bahwa hakikat absolut transedental sebagai akibat hakikat tanpa permulaan-pertengahan-
akhir. Demikian pula manisfestasi Brahman dalam alam semesta sebagai kitab suci, Dewata, manusia,
dan huruf yang semuanya memerlukan pengertian dan dasar-dasar keimanan yang kuat.Bab XI berjudul
Visva Rupa Darsana Yoga terdiri dari 55 seloka.Visvarupa Darsana Yoga menguraikan penjelasan lebih
lanjut dari ajaran Vibhuti Yoga yang mencoba menjelaskan bentruk manifestasi Tuhan secara nyata.
Dengan menyadari persamaan itu, terjawablah misteri sekitar Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai hakikat
Yang Maha Ada.

Bab XI berjudul Visva Rupa Darsana Yoga terdiri dari 55 seloka.


Visvarupa Darsana Yoga menguraikan penjelasan lebih lanjut dari ajaran Vibhuti Yoga yang mencoba
menjelaskan bentruk manifestasi Tuhan secara nyata. Dengan menyadari persamaan itu, terjawablah
misteri sekitar Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai hakikat Yang Maha Ada.

Bab XII berjudul Bhakti Yoga, terdiri dari 20 buah seloka.


Ddalam bhakti yoga, manusia bersembah sujud kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ada dua model
persembahan, yaitu (1) menyembah Tuhan dalam wujudnya yang abstrak. (2) menyembah Tuhan dalam
wujud nyata misalnya, menggunakan nyasa atau pratima,berupa arca atau mantra. Kedua model
penyembahan ini sama baiknya. Penyembahan Tuhan dalam wujud abastrak, yaitu dengan
menanggalkan pikiran pada yang disembah adalah amat baik. Akan tetapi, hambatan dan kesulitannya
sangat banyak karena Tuhan yang tanpa wujud, kekal, tak berubah, dan tanpa atribut sangat sulit
dicapai oleh pikiran dan karena itu sangat sukar. Sebaliknya, dengan Yoga biasa diperlukan sarana
pratima atau arca akan lebih mudah mewujudkan rasa bhakti.

Bab XIII berjudul Ksetra Ksetrajna Vibhaga Yoga terdiri dari 34 seloka.
Bab ini membahas hakikat ketuhanan dihubungkan dengan hakikat purusa dan prakrti (pradana) sebagai
nama-rupa. Kebutuhan nama dan rupa yang digelari dengan purusa dan prakrti adalah untuk memberi
landasan dalam penjelasan tentang Tuhan sebagai hakikat yang mahamengetahui. Selain itu, juga
membahas tentang proses kejadian dari purusa dan prakrti sampai pada segala bentuk ciptaan alam
semesta melalui proses kejadian dari 24 macam elemen. Lebih penting lagi, bab ini menjelaskan sifat
orang yang dapat dikatagorikan sebagai arif bijaksana. Oleh karena itu, bab ini memberikan penjelasan
tentang kebaikan dan sifat rendah hati, tidak cepat marah, sabar, tawakal, adil, jujur, dan beriman.
Orang seperti ini adalah mereka yang suci lahir-batin dengan selalu mengendalikan pikiran, tutur kata,
dan tingkah laku sehingga terkendalinya ego. Bab ini menganjurkan, agar orang semakin bertambah baik
budinya.

Bab XIV berjudul Gunatraya Vibhaga Yoga terdiri dari 27 seloka.


Bab ini membahas triguna, yaitu guna traya (tiga macam guna). Ketiga macam guna yang dimaksud,
yaitu sattvam, rajas, dan tamas. Manifestasi guna pada diri seseorang dapat dilihat dari bentuk tingkah
lakunya. Mengingat tingkah laku merefleksikan triguna. Tujuan pembahasan tentang guna traya adalah
upaya mengatasi ketiga guna itu. Mengatasi pengaruh ketiga guna itu dapat mengatasi segalanya.
Khususnya untuk sifat-sifat seseorang yang telah dapat mengatasi pengaruh triguna digambarkan
sebagai seseorang yang memiliki watak tidak membenci, selalu hidup dalam keadaan tenang, tidak
memiliki pertentangan batin sebagai akibat pengaruh sifat-sifat yang bertentangan dalam diri
pribadinya, dan tidak mudah goyah atau berubah-ubah pendirian. Mereka yang dapat mengatasi tri
guna digambarkan selalu setia mengabdi dan berbhakti tanpa pamrih pada kehidupan.

Bab XV berjudul Purusottama Yoga terdiri dari 20 buah seloka.


Bab ini membahas pengertian purusa sebagai asal dari semua ciptaan. Purusattama atau purusa utama
adalah purusa yang Mahatinggi, yaitu hakikat Ketuhanan Yang Maha Esa dan hakikat Aku yang
transendental. Ia adalah Brahman. Menggambarkan hakikat hubungan Sang Pencipta dengan segala
ciptaannya. Bab ini mengibaratkan sebagai pohon asvattha atau ficus religiose (semacam pohon
beringin). Pohon itu berakar, berbatang, berdaun, dan lain-lainnya. Akarnya (asalnya) adalah purusa itu
sebagai kejadian lainnya adalah batang, dahan, dan daun-daunnya. Diajarkan bahwa Tuhan itu di atas,
karena itu pohon asvattha itu dikatakan akarnya ada di atas yang kemudian batangnya berjuruai ke
bawah dengan sifat-sifatnya adalah semua ciptaannya. Purusottama adalah adhyatman yang berarti
atman yang menghidupi makhluk ciptaan itu bertebaran ke bawah.

Bab XVI berjudul Daivasura Sampad Vibhaga Yoga terdiri atas 24 buah seloka.
Daivasura Sampad Vibhaga Yoga pada intinya membahas hakikat tingkah laku manusia yang dikenal
sebagai perbuatan baik dan buruk. Bab ini menggambarkan tentang sifat baik disebut sifat Devata dan
sifat jahat disebut sifat raksasa atau asura. Mulai dari seloka satu sampai dengan seloka tiga
menggambarkan tentang sifat-sifat mulia, Devata, sedangkan sifat-sifat asura yang berlawanan diperinci
dalam seloka empat. Dikemukakan pula bahwa secara empiris tidak ada manusia yang hidupnya
sempurna. Oleh karena itu, jangan berputus asa dan jangan merasa takut.
Seloka delapan menjelaskan paham lokayatika atau carvaka sebagai filsafat hedonis telah dikenal dalam
agama Hindu yang ditentang sebagai filsafat amoral. Seloka 24 yang terakhir pada bab XVI ditegaskan,
agar kitab sastra dan Veda dipedomani. Kitab sastra adalah Kitab Smrti sebagai tafsir dari Kitab Sruti.
Bab XVII berjudul Sraddhatraya Vibhaga Yoga teridiri dari 28 buah seloka.
Sraddha Traya Vibhaga Yoga untuk meyakinkan tiga hal, yaitu triguna - satwam, rajas, dan tamas.
Penekanan ini ditujukan untuk penanggulangan dan meyakinkan pelayanan sikap mental yang positif
terhadap pengaruh yang ditimbulkan oleh triguna. Tujuan akhir mengatasi pengaruh triguna untuk
mencapai kesempurnaan.Bagian ini terdiri atas hakikat berikut. Pertama, landasan etika atau dharma.
Kedua, hakikat AUM, Om Tat Sat sebagai pengakuan adanya Tuhan Yang Mahaada, tiada lain kecuali
Yang Mahaabadi disebut Aksara Brahman.
Ketiga, keyakinan akan tercapainya Moksa, juga disebut Brahma Nirvana.

Bab XVIII berjudul Samnyasa Yoga terdiri atas 78 seloka.


Bab ini merupakan bab terakhir dan simpulan dari semua ajaran yang menjadi inti dan tujuan
pelaksanaan agama yang tertinggi, yaitu Brahma Nirvana sebagai Sumumbonum. Dengan simpulan ini,
jelas bahwa Bhagawadgita mencoba mendorong manusia untuk bertindak tanpa ragu dan tidak
mengikatkan diri pada apa kewajiban itu dan apa pula akibatnya. Melainkan bertindak dan pasrah
kepada Tuhan sebagai Yang Maha Mengatur sehingga rasa berdosa dapat diatasi.

Anda mungkin juga menyukai