Anda di halaman 1dari 4

Penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan

a. Perempuan

1. Pengaruh perkembangan budaya yang semakin tidak menghargai etika berpakaian yang
menutup aurat, yang dapat merangsang pihak lain untuk berbuat tidak senonoh dan jahat.
2. Gaya hidup dan pergaulan di antara laki-laki dan perempuan yang semakin bebas, tidak atau
kurang bisa lagi membedakan antara yang seharusnya boleh dikerjakan dengan yang
dilarang dalam hubungannya dengan kaidah akhlak mengenai hubungan lakilaki dengan
perempuan sehingga sering terjadi seduktif rape.
3. Rendahnya pengamalan dan penghayatan terhadap normanorma keagamaan yang terjadi
di tengah masyarakat. Nilai-nilai keagamaan yang semakin terkikis di masyarakat atau pola
relasi horisontal yang cenderung semakin meniadikan peran agama adalah sangat potensial
untuk mendorong seseorang berbuat jahat dan merugikan orang lain.
4. Tingkat kontrol masyarakat (social control) yang rendah, artinya berbagai perilaku diduga
sebagai penyimpangan, melanggar hukum dan norma keagamaan kurang pengawasan dari
unsur-unsur masyarakat.
5. Putusan hakim yang cenderung tidak adil, misalnya putusan yang cukup ringan dijatuhkan
pada pelaku. Hal ini dimungkinkan dapat mendorong anggota masyarakat lainnya untuk
berbuat keji dan jahat. Artinya mereka yang hendak berbuat jahat tidak merasa takut lagi
dengan sanksi hukum yang akan diterimanya.
6. Ketidakmampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsu seksualnya. Nafsu
seksualnya dibiarkan mengembara dan menuntutnya untuk dicarikan kompensasi
pemuasnya.
7. Keinginan pelaku untuk melakukan (melampiaskan) balas dendam terhadap sikap, ucapan
dan perilaku korban yang dianggap menyakiti dan merugikan .

Di samping itu, kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah universal yang melewati batas-
batas negara dan budaya. Studi yang dilakukan di 90 komunitas yang berada di dunia menunjukkan pola
tertentu dalam insiden kekerasan terhadap perempuan. Menurut studi tersebut terdapat empat faktor
untuk terjadinya kekerasan Pertama: ketimpangan ekonomi antara perempuan dan laki-laki; selanjutnya
adalah penggunaan kekerasan sebagai jalan keluar suatu topik; otoritas dan kontrol laki-laki dalam
pengambilan keputusan; dan hambatan-hambatan bagi perempuan untuk meninggalkan setting
keluarga.

Masalah komunikasi juga sangatlah sentral dalam turut menyumbang terjadinya kekerasan di dalam
rumah tangga. Kesulitan dalam hubungan berkomunikasi antara suami dengan istri, atau tidak mengerti
apa yang diinginkan suami atau isteri berpuncak pada terjadinya kekerasan sebagai solusi yang efektif
terhadap masyarakat. Ditinjau dari psikologi komunikasi, bentuk-bentuk komunikasi dengan kekerasan
(terutama kekerasan fisik) merupakan suatu cara pemberian sugesti yang ampuh dan efisien. Itulah
sebabnya pemukulan dan bentuk-bentuk kekerasan fisik yang lainnya sering dipergunakan oleh suami
dalam mengakhiri konflik dengan isteri. Didukung oleh power secara sosial, suami adalah pihak yang
dapat dengan leluasa menggunakan cara ini dalam mengkomunikasikan sesuatu kepada isterinya.
Demikian pula halnya dengan anak laki-laki yang meniru pada kekerasan ayah dalam memperlakukan
ibunya, kelak ia berpotensi untuk menjadi pelaku kekerasan juga kepada isterinya karena secara kurtural
hal ini “diperbolehkan” bagi laki-laki.

Mitos-mitos seputar kekerasan yang selama ini berkembang di masyarakat bahwa kekerasan hanya
terjadi pada kelompok tidak berpendidikan dan berpenghasilan rendah. Kenyataannya, dari data-data
yang terkumpul, justru menunjukkan banyaknya kasus kekerasan kerap juga terjadi di ke lompok
berpendidikan ke atas. Bahkan terdapat laporan bahwa perempuan karier banyak mengalami kekerasan.
Indikasi ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan bukan saja disebabkan oleh situasi, tapi
lebih pada ketidaksetaraan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Pembagian peran sosial terhadap
perempuan dan laki-laki menyebabkan ketidakadilan yang salah satu bentuknya adalah kekerasan
terhadap perempuan.

Secara historis, akar terjadinya kekerasan terhadap perempuan yang sangat panjang, kekerasan itu
bermula dari munculnya jender yang diyakini masyarakat, yaitu adanya pembagian peran antara laki-laki
dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural oleh masyarakat, yang kemudian
melahirkan keyakinan adanya sifat feminitas (perempuan itu lemah, lembut, emosional).

b. Anak

Salah satu penyebab terjadinya tindak kekerasan menurut National Youth Violence Prevention
Resource Center (2002) adalah iklim sekolah yang tidak kondusif, kurangnya pengawasan orang dewasa
atau guru pada saat jam istirahat, ketidakpedulian guru dan siswa terhadap perilaku yang mengarah
pada bullying, serta penerapan peraturan anti bullying yang tidak konsisten merupakan kondisi-
kondisi yang menumbuhsuburkan terjadinya tindak kekerasan di sekolah.

Keadaan lain yang juga turut mempengaruhi terjadinya tindak kekerasan adalah latar belakang
keluarga dan pola pengasuhan orang tua. Sehubungan dengan perilaku imitasi, jika anak dibesarkan
dalam keluarga yang menoleransi kekerasan atau bullying, maka mempelajari bahwa tindak kekerasan
adalah suatu perilaku yang bisa diterima dalam membina suatu hubungan atau dalam mencapai hal-hal
yang diinginkannya (image), sehingga kemudian meniru (mengimitasi) tindak kekerasan tersebut,
dengan kata lain, terjadinya regenerasi kekerasan dalam siklus kehidupan anak dimulai dengan
perlakuan yang diterima anak sejak kecil sehingga akan “mewariskan” budaya kekerasan tersebut pada
saat dewasa.

Faktor lain yang mendorong terjadinya kekerasan pada anak adalah persepsi yang salah tentang cara
mendidik anak. Sebagian orang tua dan guru berpendapat bahwa mencubit dan berkata-kata dengan
suara keras adalah cara terbaik untuk mendidik anak agar anak menurut. Hal ini merupakan kesalahan
besar dalam mendidik anak sekaligus bentuk ketidakmampuan orang tua dan guru dalam
mengkomunikasikan sesuatu yang baik dan tidak baik kepada anak.
Dampak dan pengaruh kekerasan

a. Perempuan

Sehubungan dengan dampak tindak kekerasan terhadap kehidupan seksual dan reproduksi
perempuan, penelitian yang dilakukan oleh Rance (1994) yang dikutip oleh Heise, Moore dan
Toubia (1995) kekerasan dan dominasi laki-laki dapat membatasi dan membentuk kehidupan
seksual dan reproduksi perempuan. Selain itu, laki-laki juga sangat berpengaruh dalam
pengambilan keputusan tentang alat kontrasepsi yang dipakai oleh pasangannya. Selanjutnya
penelitian yang dilakukan di Norwegia oleh Schei dan Bakketeig (1989) yang dikutip oleh Heise,
Moore dan Toubia (1995) juga menyatakan bahwa perempuan yang tinggal dengan pasangan
yang suka melakukan tindak kekerasan menunjukkan masalahmasalah ginekologis yang lebih
berat ketim-bang dengan yang tinggal dengan pasangan/suami normal ; bahkan problem
gineko-logis ini bisa berlanjut dalam rasa sakit terus menerus
Dampak yang dialami perempuan saat mereka mengalami tindakan kekerasan adalah
mengalami sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami
rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan pada suami yang sudah menyiksa dirinya,
mengalami stress pasca trauma, mengalami depresi, dan keinginan untuk bunuh diri.

Menurut Suryakusuma (1995) efek psikologis penganiayaan bagi banyak perempuan lebih parah
dibanding efek fisiknya. Rasa takut, cemas, letih, kelainan stress post traumatic, serta gangguan makan
dan tidur merupakan reaksi panjang dari tindak kekerasan. Namun, tidak jarang akibat tindak kekerasan
terhadap istri juga meng-akibatkan kesehatan reproduksi terganggu secara biologis yang pada akhirnya
meng-akibatkan terganggunya secara sosiologis. Istri yang teraniaya sering mengisolasi diri dan menarik
diri karena berusaha menyembunyikan bukti penganiayaan mereka.

b. Anak

Kondisi kepribadian anak-anak yang mengalami tindak kekerasan, dari orang-orang terdekat dengan
anak, dapat memunculkan berbagai bentuk perilaku. Selama itu, mereka telah menginternalisasi
perlakuan tersebut. Apalagi jika anak mendapatkan perlakuan kekerasan secara bersamaan emosi
sekaligus fisik atau seksual, maka kehidupan pribadi atau kondisi psikologis anak menjadi buruk, selain
adanya kerusakan fisik.

Beberapa bentuk perilaku anak sebagai akibat perlakuan salah dari orang tua atau pengasuh dapat
dikelompokkan sebagai berikut:

1. Bersikap permisif, merasa tidak berguna, karena adanya perasaan tidak bermanfaat, akhirnya menjadi
pendiam, mengisolasi diri, dan tidak mampu bergaul, sebagai perilaku yang nyaman bagi dirinya. Anak
menjadi kurang berhasil dalam mengembangkan hubungan dengan sebayanya (Balger & Patterson, 2001
dalam Santrock, 2002).

2. Bersikap depressif, seperti selalu murung; karena adanya masalah yang selama ini sulit dihilangkan.
Anak menjadi pendiam, mudah menangis, meski dalam keadaan atau situasi menyenangkan sekalipun.
Anak dapat menjadi ketakutan terhadap obyek yang tidak jelas, mengalami kecemasan. Kondisi ini tidak
ada kesempatan atau mengalami kesulitan untuk berinisiatif, memecahkan masalah. Bahkan dapat
mengalami traumatic pada hal-hal yang berhubungan dengan pelaku atau figur otoritas (guru, orang
dewasa lainnya) yang selama ini melakukan kekerasan.

3. Bersikap agresif, berontak namun tidak mampu melawan pada pelaku, maka ia akan berperilaku
negatif, untuk menunjukkan bahwa dirinya sebagai orang yang kuat, memiliki kekuasaan. Selanjutnya
anak akan berperilaku buruk, seperti mulai merokok menggunakan obat-obatan, minum alkohol,
bergaul dengen teman-teman antisosial, perilaku seks bebas sejak dini. Hal ini menunjukkan ketidak
percayaan diri berlebihan, juga pengendalian emosinya buruk, yang akan berlanjut pada kesulitan
beradaptasi bahkan akan mengalami masalah psikologis yang lain (Cicciheti & Toth, 2006).

4. Bersikap destruktif, seperti adanya keinginan untuk menyakiti diri sendiri, karena ketidakmampuan
membela diri atau mencari pertolongan. Perasaan kesal, putus asa yang memuncak mendorong untuk
menyakiti dirinya sendiri, sampai akhirnya ada kenginan untuk melakukan percobaan bunuh diri. Semua
ini berawal dari beban pikiran dan stress yang tidak memperoleh penyelesaian, kemudian melakukan
kompensasi atau mengalihkan perilakunya pada hal-hal lain agar mendapat perhatian orang lain.

Dafpus :

Agustin, Mubiar.,Saripah,Ipah.,&Deni,Asep. (2018). ANALISIS TIPIKAL KEKERASAN PADA ANAK DAN


FAKTOR YANG MELATARBELAKANGINYA. Jurnal Ilmiah VISI PGTK PAUD dan DIKMAS. 13(1), 4-5

Amalia, Mia. (2011).KEKERASAN PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN SOSIOKULTURAL. Jurnal
Wawasan Hukum, 25(2), 405-406.

Cicchetti, D & Toth, Sheree L.(2006). “Children’s Basic Memory Processes, Stress, and Maltreatment”.
Journal. Development and Psychopathology 183). 2006, 759–769.

Kurniasari, Alit. (2019). DAMPAK KEKERASAN PADA KEPRIBADIAN ANAK IMPACT OF VIOLENCE IN
CHILDREN’S PERSONALITY. Sosio Informa, 5(1), 19-20.

Niken Savitri, Perspektif Gender Dalam Peradilan, Beberapa Kasus, Convention Watch-PKWJ UI, Jakarta,
2006, hlm. 83

Heise Lori L. Wits Jacquline Pitanguy and Adrianne Germain, Violence Againts Women, Washington DC:
World Bank Discussion Paper, 1994

Anda mungkin juga menyukai